I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Secara geografis, Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk dan memiliki garis pantai terpanjang dan terluas dari tiga buah teluk dua diantaranya
adalah Teluk Wambuloli dan Teluk Kalandiri yang terletak pada bagian selatan daratan Pulau Muna, tetapi secara administratif termasuk dalam wilayah
Pemerintah Kabupaten Buton. Lalu lintas utama dari dan ke Wilayah Perairan Teluk Lasongko ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal motor
dari tempat pemberangkatan Pelabuhan Jembatan Batu Kota Bau-Bau Ibu Kota Kabupaten ke arah barat laut dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.
Wilayah Perairan Teluk Lasongko terletak antara koordinat 05 23 54 LS
05 25 10 LS dan 122
28 05 BT - 122 31 15 BT. Melingkupi wilayah
pesisir yang meliputi empat belas desa pantai dalam dua wilayah administrasi kecamatan. Sebanyak empat desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan
Mawasangka Timur, yaitu Desa Inulu, Desa Wantoopi, Desa Lasori dan Desa Bungi, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lamena serta sebanyak
sepuluh desa pantai dalam wilayah administrasi Kecamatan Lakudo, yaitu Desa Lolibu, Desa Wajo Gu, Desa Moko, Desa Mone, Desa Matawine, Desa
Kelurahan Lakudo, Desa WaNepa-Nepa, Desa Nepa Mekar, Desa Boneoge dan Desa Madongka, dengan ibu kota kecamatan berkedudukan di Lakudo. Pada
bagian Barat Wilayah Perairan Teluk Lasongko berbatasan dengan Kecamatan Lakudo, bagian timur dengan Kecamatan Mawasangka Timur, bagian utara
dengan Kecamatan Gu serta bagian selatan dengan Laut Flores. Panjang garis pantai yang membentang sepanjang Wilayah Pesisir dan
Perairan Teluk Lasongko adalah 47,60 km dengan luas daratan 244,96 km
2
, terbagi atas panjang garis pantai Wilayah Pesisir Kecamatan Mawasangka Timur
adalah 14,80 km dengan luas daratan 48,96 km
2
dan panjang garis pantai wilayah Kecamatan Lakudo adalah 32,80 km dengan luas daratan 196 km
2
. Garis pantai Wilayah Pesisir Perairan Teluk Lasongko yang panjang memungkinkan
tersedianya jumlah, sebaran serta kualitas pertumbuhan hutan mangrove, padang
2
lamun dan terumbu karang yang signifikan bagi penyediaan barang dan jasa ekosistem untuk diberdayakan secara biologi maupun ekonomi sepanjang tidak
melampaui ambang batasnya. Hutan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang merupakan tiga ekosistem alami penting di daerah pesisir. Tiga ekosistem
tersebut berperan dalam melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti angin dan
gelombang. Selain fungsinya untuk menyangga kehidupan, ekosistem pesisir merupakan tempat untuk pemijahan spawning ground, pembesaran nursery
ground dan tempat untuk mencari makan feeding ground berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan dan species lainnya, selain fungsi
ekonomi dan jasa lingkungan. Berdasarkan laporan dari Bappeda Kabupaten Buton melalui proyek
MCMA, kondisi ekosistem utama Teluk Lasongko telah mengalami degradasi sebagaimana nampak pada Lampiran 1.
Karakteristik perikanan pada empat belas desa pantai di Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah perikanan artisanal artisanal fisheries. Menurut FAO
Fisheries Glossary, perikanan artisanal adalah bentuk perikanan tradisionil yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dengan menggunakan modal dan energi
dalam jumlah yang relatif kecil, kapal dengan kemampuan dan daya yang relatif kecil, melakukan short fishing trip disekitar wilayah pesisir dan utamanya hasil
yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Dengan demikian sebaran ekosistem manrgove, padang lamun dan terumbu karang di
sekitar wilayah teluk merupakan mata rantai yang menentukan kelangsungan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, baik antara nelayan dengan
ekosistem, nelayan dengan tangkapannya maupun nelayan dengan pemerintah melalui rejim pengelolaan yang digunakan
.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hasil tangkapan nelayan pada umumnya adalah jenis ikan yang berasosiasi dengan karang yang terhampar
di sepanjang teluk. Salah satu species perikanan penting dalam kegiatan penangkapan nelayan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah jenis
ikan karang konsumsi yaitu lencam. Data Sumberdaya Ikan yang dikeluarkan oleh
3
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton menunjukkan bahwa proporsi hasil tangkapan terbesar dari dua kecamatan dalam Wilayah Perairan Teluk
Lasongko didominasi oleh jenis ikan lencam. Pada tahun 2002 jenis ikan lencam yang tertangkap adalah sebesar 27 dari total hasil tangkapan dan 87 dari total
hasil tangkapan jenis ikan karang konsumsi, kemudian pada tahun 2005 hasil tersebut menunjukkan penurunan menjadi 22 dari total hasil tangkapan dan 63
dari total hasil tangkapan jenis ikan karang. Dengan alat tangkap dominan adalah bubu, jaring insang dasar dan pancing yang berasosiasi dengan dua armada
penangkapan yang digunakan, yaitu sampan dan perahu dengan motor tempel katinting.
Selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2005, jumlah total armada penangkapan yang beroperasi pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko
berfluktuatif dengan kecenderungan yang semakin meningkat, walaupun secara nominal terjadi peningkatan hanya sebesar 4 unit, dimana pada tahun 1994 total
armada penangkapan sebanyak 511 unit dan pada tahun 2005 sebanyak 515 unit. Hal ini menunjukkan indikasi terjadinya excessive effort.
Hal ini sangat ironis disaat jumlah rumah tangga nelayan sebanyak 3.726 pada dua kecamatan, 77 adalah keluarga miskin, kategori miskin adalah mereka yang
tergolong pra sejahtera dan sejahtera tahap I BKKBN dan Kependudukan Kabupaten Buton 2005,
sebagaimana nampak pada Gambar 1.
WTPL
Pra Sejahtera 44
Sejahtera Tahap I 33
Sejahtera Tahap II
20 Sejahtera Tahap
III 3
Pra Sejahtera Sejahtera Tahap I
Sejahtera Tahap II Sejahtera Tahap III
Gambar 1. Gambaran Keadaan Kesejahteraan Keluarga Dua Kecamatan pada Wilayah Pesisir Teluk Lasongko BKKBN Kabupaten Buton 2005
4
Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat masih miskin, jumlah ikan yang akan ditangkappun berkurang adalah potret saat ini masyarakat
nelayan pada Wilayah Pesisir dan Perairan Teluk Lasongko, diperhadapkan dengan kaidah rejim pengelolaan perikanan yang open access dan common
property serta pemikiran linier dan cenderung intuitif dengan orientasi pertumbuhan dari pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah menyebabkan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan mengalami krisis berupa degradasi dan destruksi.
Overfishing dan overcapacity merupakan dua sisi mata uang yang menyebabkan krisis sektor perikanan baik secara global, nasional dan lokal.
Sejalan dengan itu Ward 2000 mengemukakan bahwa kapasitas input yang berlebih excess capacity dan hasil tangkap lebih overfishing merupakan dua
masalah utama yang penting bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, didasarkan pada teori Bio-economic dari Gordon dan Schaefer.
1.2. Perumusan Masalah
Secara Global, laporan Komite Perikanan FAO COFI yang diterbitkan pada tahun 1995 mengemukakan bahwa 16 perikanan utama telah mengalami
overfishing, 6 mengalami deplesi dan hanya 3 secara perlahan-lahan pulih sebagai akibat kapasitas penangkapan yang berlebihan excessive harvesting
capacity. Kemudian pada tahun 1999, dunia mengadopsi The FAO International Plan of Action for The Management of Fishing Capacity, berupa pengurangan
kapasitas produksi dan kebijakan penyesuaian subsidi perikanan. Secara Nasional, Wilayah Perairan Teluk Lasongko termasuk dalam
Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Makassar dan Laut Flores WPP-04. Berdasarkan data yang ada pada Departemen Kelautan dan Perikanan Pusat Tahun
2002, Potensi lestari h
msy
WPP-04 adalah sebesar 929,72 metrik ton atau 14,5 dari h
msy
WPP Indonesia, dengan tingkat produksi h
actual
sebesar 655,45 metrik ton atau 70,5 dari h
msy
WPP-04. Hal ini sesuai dengan ketentuan Produksi Aktual sebesar 80 dari Produksi Lestari. Untuk beberapa kelompok sumberdaya
perikanan, tingkat produksi yang dihasilkan justru melampaui ketentuan
5
dimaksud, seperti kelompok ikan demersal dipanen sebesar 192 , kelompok udang panaeid sebesar 769 dan kelompok cumi-cumi sebesar 204,9 dari
masing – masing potensi lestarinya. Secara visuil keadaan tersebut digambarkan pada Gambar 2.
0,00 100,00
200,00 300,00
400,00 500,00
600,00 700,00
Pelagis Besar Pelagis Kecil
Demersal Karang Konsumsi
Udang Panaeid Lobster
Cumi-Cumi
Produksi 85,10
333,35 167,38
24,11 36,91
0,65 7,95
Potensi 193,60
605,44 87,20
34,10 4,80
0,70 3,88
Pelagis Besar
Pelagis Kecil
Demersal Karang
Konsumsi Udang
Panaeid Lobster Cumi-Cumi
Gambar 2. Potensi Lestari dan Produksi SDI pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 04 : Selat Makassar dan Laut Flores Dahuri R 2002
diolah. Secara Lokal, Wilayah Perairan Teluk Lasongko merupakan salah satu
situs perairan penting yang dimiliki Kabupaten Buton karena beberapa sebab, yaitu : pertama, ekosistem pesisir dan biota laut yang didukungnya telah
mengalami degradasi yang diakibatkan oleh kegiatan produksi maupun non produksi oleh nelayan di sekitar situs perairan ini. Kegiatan produksi meliputi
metode pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan cara-cara praktis dan illegal seperti penggunaan bahan peledak, bahan beracun dan jaring non selektif,
sedangkan kegiatan non produksi berupa pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga dan limbah alat transportasi laut dari dan ke daerah-daerah
di sekitar wilayah perairan ini; kedua, munculnya mis management yang menyebabkan terjadinya konflik penggunaan ruang, baik antar nelayan maupun
antar sektor pembangunan akibat sifat pengelolaan sumberdaya perairan yang
6
terbuka, ketidak paduan secara sektoral dan tidak berbasis masyarakat; ketiga, kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah perairan
yang sebagian besar masih berada pada tahap pra sejahtera dan sejahtera tahap I; keempat, tidak adanya regulasi yang menyeluruh dan terpadu.
Salah satu lingkungan strategis baru dalam pengelolaan pembangunan perikanan di Indonesia adalah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 jo. UU No. 32 2004 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Disebutkan dalam pasal 10, daerah provinsi berwenang mengelola
wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara kabupaten dan kota berwenang mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah
provinsi atau sejauh 4 mil laut. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan
laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang dan penegakan hukum. Keadaan ini
membawa sejumlah implikasi terhadap aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu : pertama, sudah seharusnya daerah memiliki data base tentang
potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya; kedua, daerah dituntut
bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan didaerahnya; ketiga, terbukanya peluang yang besar bagi masyarakat lokal untuk
terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya. Saat ini, kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Buton, sedang
melakukan reformulasi kembali kebijakan sektoral dalam kerangka desentralisasi,termasuk pada sektor kelautan dan perikanan. Melalui National
Program Assisstance yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Peisir Kabupaten Buton. Salah satu implementasinya adalah
Rencana Pemintakan Kawasan Marine and Coastal Management Area MCMA yang didalamnya termasuk Wilayah Perairan Teluk Lasongko. Hasil yang
diperoleh baru pada tahap penataan bio-ecoregion, sementara itu diperlukan pendekatan bio-economic assessment untuk menentukan model pengelolaan yang
sesungguhnya yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
7
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara
berkelanjutan di sekitar Wilayah Perairan Teluk Lasongko adalah : 1. Belum diketahuinya tingkat pengelolaan sumberdaya ekonomi ikan lencam
yang optimal berdasarkan upaya yang tercurah dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko,
2. Belum diketahui berapa alokasi input yang mendatangkan efisiensi dari kapasitas penangkapan di sekitar Teluk Lasongko dengan tetap
mempertimbangkan kaidah kelestarian sumberdaya dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan.
1.3. Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :
H : terjadi overfishing
H
1
: tidak terjadi overfishing 1.4. Kerangka Pemecahan Masalah
Signal yang menunjukkan terjadinya gejala overfishing dan overcapacity tidak terdeteksi, tanpa melalui riset, yang salah satunya dengan metode
assessment, untuk mengetahui tingkat yield yang optimal secara biologi dan ekonomi serta efisiensi produksi melalui Bioeconomic Analysis dan Data
Envelope Analysis. Penelitian yang dilakukan oleh Merta et al 2003 diacu dalam Wiadnya
et al 2004, terhadap status perikanan tangkap di Indonesia melalui pendugaan stok tuna pada WPP-09 Samudera Hindia menunjukkan indikasi penurunan,
dimana hook rate dari 2,2 ikan per 100 mata pancing pada tahun 1997 menurun menjadi 0,60 ikan per 100 mata pancing pada tahun 2000, berat individu ikan
hasil tangkapan menurun dari 37 kg pada tahun 1973 menjadi 23 kg pada tahun 2002, jumlah kapasitas penangkapan meningkat dari 207 unit longliner pada
tahun 1971 menjadi 619 unit pada tahun 2002 dan nelayan mulai melakukan
8
eksploitasi di luar wilayah perairan ZEE. Penelitian ini merekomendasikan dihentikannya pemberian izin baru oleh DKP sampai ada kejelasan status
perikanan tangkap pada WPP tersebut. Rekomendasi lebih tegas dikemukakan oleh Badruddin dan Blabber 2003 diacu dalam Wiadnya et al 2004 mendasari
hasil penelitian mereka terhadap pendugaan stok perikanan kakap merah pada WPP-08 Laut Arafura dimana hasil tangkapan tahunan pada perairan ini cukup
tinggi yaitu antara 2.000 hingga 4.000 ton dibandingkan estimasi biomass pada tahun 1990 sebesar 6.000 ton. Kedua peneliti tersebut menyarankan untuk
menutup kegiatan perikanan sampai paling tidak 10 tahun mendatang. Hal ini menunjukkan terjadinya excessive effort yang mengindikasikan terjadinya
penurunan secara biologis sebagai bukti ilmiah terjadinya biological overfishing stok ikan tuna dan ikan kakap merah pada perairan Samudera Hindia dan Laut
Arafura dengan menggunakan penduga MSY. Pada bagian lain, Hasil penelitian Fetriani H 2001 terhadap pengusahaan ikan layang di Perairan Utara Jawa
menyimpulkan terjadinya biological overfishing dan economical overfishing dengan menduga MSY dan MESY melalui pendekatan Gordon-Schaefer.
Rekomendasi yang dihasilkan adalah perlu dilakukan pengurangan input produksi jumlah kapal, penataan kembali wilayah penangkapan serta pengusahaan ikan
layang dilakukan pada kondisi MESY. Salah satu penyebab terjadinya excessive effort adalah overcapacity pada
struktur input. Rekomendasi kebijakan. sebagian besar mengacu pada pengurangan alat tangkap untuk upaya recovery. Oleh karena itu berapa besar alat
tangkap yang mendatangkan efisiensi secara ekonomi merupakan pertanyaan penting yang sering luput dari pengamatan para pengambil kebijakan.
Fauzi A dan S Anna 2002 dalam studi yang dilakukan terhadap Kapasitas Perikanan Sumberdaya Pesisir DKI Jakarta dengan melakukan
pendugaan terhadap delapan Decision Making Unit DMU berupa alat tangkap bubu, fishnet, gillnet, muroami, pancing, payang, purse seine dan sero dengan
menggunakan teknik Data Envelope AnalysisDEA antar metode. Hasil scoring antar metode BCC dan CCR menunjukkan bahwa alat tangkap gillnet dan sero
adalah paling efisien, sedangkan eficiency frontier dari DEA Type I dan Type II
9
menunjukkan adanya kelebihan kapasitas perikanan tangkap yang diindikasikan oleh nilai potential improvement untuk nilai input yang negatif bubu, muroami,
pancing, payang dan purse seine, sehingga rekomendasi kebijakan yang dihasilkan berupa user fee dan law enforcement bagi illegal fishing.
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Assessment Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Ikan Lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko
Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini belum pernah ada kegiatan sejenis assessment tingkat produksi optimal dan efisiensi kapasitas produksi di
Kabupaten Buton umumnya dan Wilayah Pesisir Teluk Lasongko khususnya, maka pada kesempatan penelitian ini, penulis mencoba melakukan penilaian
untuk mengetahui hubungan fungsi CPUE dan effort, tingkat MSY dan MESY
10
dalam bentuk assesstment tingkat pengelolaan yang optimal dan efisien dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko.
Adapun alur kerangka pemikiran secara skematik disajikan pada Gambar 3. 1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis dan memahami lebih jauh kondisi Wilayah Perairan Teluk Lasongko melalui penilaian assessment
sumberdaya perikanan yang optimal dan efisien. Secara spesifik tujuan utama dilakukan dengan jalan :
1 Menentukan kondisi Bio-economic upaya pemanfaatan sumberdaya ikan lencam pada Wilayah Perairan Teluk Lasongko melalui perhitungan MSY dan
MESY. 2 Menentukan tingkat efisiensi relatif dari komposit inputoutput kapasitas
penangkapan ikan lencam pada Wilayah Perairan Perairan Teluk Lasongko. 3 Merumuskan opsi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan lencam
berkelanjutan sebagai implementasi kebijakan dari hasil penelitian. 1.6. Manfaat Penelitian
1 Sebagai bahan evaluasi bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan
2 Sebagai bahan dan informasi bagi pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan program-program pembangunan perikanan yang berkelanjutan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fishery System Model Charles Sebuah Opsi Pembangunan