Kepemimpinan Kepala Desa Perempuan Ditinjau dari Teori Peran

Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Berdasarkan hasil penelitian, kesetaraan gender yang ada di Desa Kebumen dan Sukorejo sudah terjalin dengan baik, karena sebagian besar informan perempuan juga mempunyai hak untuk menjadi seorang pemimpin. Hal ini menyiratkan bahwa perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk tampil sebagai seorang pemimpin.

2. Kepemimpinan Kepala Desa Perempuan Ditinjau dari Teori Peran

Mengikuti alur uraian yang telah dikemukakan dalam hasil penelitian di atas, terpilihnya kepala desa perempuan di Desa Sukorejo dan Desa Kebumen tidak akan lepas dari peran masing-masing pihak baik perempuan maupun laki-laki. Dalam hal ini peran merupakan sebuah perangkat tingkah laku yang diharapkan dan dipentaskan oleh individu selaku aktor atau suatu lembaga yang berkedudukan di dalam masyarakat. Seperti halnya Goffman menyatakan peran sebagai sesuatu yang dipentaskan atau dipertunjukkan individu ketika menempati kedudukan yang berbeda dalam masyarakat. Di dalam membahas pertunjukkan, Goffman menyaksikan bahwa individu dapat menyajikan suatu pertunjukkan show bagi orang lain, tetapi kesan impression si pelaku terhadap pertunjukan yang ditampilkan bisa berbeda-beda. Seseorang bisa merasa sangat yakin akan tindakan yang diperlihatkannya, atau bisa pula bersikap sinis terhadap pertunjukan itu. Sebagai contoh terkait dengan pernyataan Goffman di atas, kepala desa Sukorejo dan Kebumen suatu saat bisa saja meragukan kemampuan leadership-nya di dalam memimpin karena latar belakang pendidikannya yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan. Akan tetapi, hal tersebut akan bisa teratasi apabila masyarakat mendukung kepemimpinannya, misalnya saja dengan cara memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun. Menurut Goffman, ada dua bidang penampilan yang perlu dibedakan, yaitu panggung depan front region dan panggung belakang back stage. Panggung depan front region adalah “bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang umum dan tetap untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu”. Dalam hal ini dapat digambarkan, rutinitas sehari-hari yang dilakukan kepala desa ketika berada di kantor balai desa dengan perlengkapan sepatutnya. Sebagai contoh untuk memperjelas hal tersebut, ketika Ibu Kepala Desa sedang berada di ruang kerjanya, ada salah seorang teman akrabnya yang ingin bertemu, maka ia harus menggunakan prosedur yang benar, karena ketika berada di kantor peran beliau adalah sebagai kepala desa sehingga harus mengerti situasi dan kondisi. Di sini dia berperan penting dalam kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya sehingga harus bisa mengayomi masyarakat dan bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, ia harus bisa memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan harapan masyarakat seperti sikap percaya diri, tidak emosional dan tenang dalam menghadapi segala persoalan, serta menjaga iklim hubungan baik antara pemimpin, perangkat, dan masyarakat agar tercipta situasi yang kondusif sehingga sebagai kepala desa, Ibu Anik dan Ibu Dewi harus bisa bersikap professional. Hal ini sebagai cerminan dari falsafah Jawa “manjing ajur ajer”, yang artinya sebagai kepala desa, mereka berdua harus bisa mengayomi masyarakat dari berbagai kalangan tanpa membeda-bedakan kelas sosial tertentu. Kedudukan sosial itulah yang membedakan ia dengan perangkat desa yang lain. Di samping “panggung depan”, yang merupakan tempat melakukan pertunjukkan itu, terdapat juga daerah belakang layar yang disebut “panggung belakang back stage”. Identifikasi panggung belakang ini tergantung pada penilaian penonton yang bersangkutan. Penonton yang dimaksud di sini adalah masyarakat Sukorejo dan Kebumen. Ketika berada di rumah, ia harus bisa melepas “baju jabatan” yang melekat pada dirinya, sehingga dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ia tidak bisa lepas dari segala kebiasaan folkways di dalam kehidupan masyarakatnya, misalnya saja ada orang yang meninggal ia harus bertakziah, ada warga yang mempunyai hajat ia harus datang, dan lain-lain. Kalau ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, jelas akan mempengaruhi penampilan performance di “panggung depan”-nya. Di samping itu, seperti yang kita ketahui bahwa kaum perempuan mempunyai double burden beban ganda. Oleh karena itu, dalam hal ini meskipun perempuan berperan sebagai kepala desa di “panggung depan”- nya namun mereka masih saja disibukkan dengan kegiatan-kegiatan di sektor domestik misalnya saja seperti pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, melayani suami, dan sebagainya yang ada di “panggung belakang”- nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun menjabat sebagai kepala desa tetapi ketika sudah berada di luar jam dinas, mereka tetap berperan sebagai ibu rumah tangga. Itulah “peran gender” yang selama ini melekat pada diri kaum perempuan.

3. Kepemimpinan Kepala Perempuan Ditinjau dari Pemimpin dalam