Politisasi media televisi di Indonesia: studi pemberitaan tvOne terhadap Pilpres 2014)

POLITISASI MEDIA TELEVISI DI INDONESIA
(Studi Pemberitaan tvOne terhadap Pilpres 2014)
Skripsi
Disusun untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Aisyah
1110112000074

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

ABSTRAK
Aisyah
Politisasi Media Televisi Indonesia: Studi Pemberitaan tvOne terhadap
PILPRES 2014
Praktik konglomerasi media yang berubah menjadi ajang politisasi tampak

sangat kental dalam Pemilu 2014. Namun hal tersebut menjadi sangat menarik
ketika memasuki masa PILPRES 2014 di bulan Juni dan Juli, karena televisi
swasta di Indonesia nampak jelas terbagi ke dalam dua golongan, sesuai dengan
jumlah kandidat capres-cawapres. Pers tentu bisa saja memiliki dukungan politik
tertentu, namun dukungan tersebut haruslah independen, sesuai dengan kode etik
jurnalistik dan bertanggung jawab kepada berbagai pihak khususnya masyarakat.
Hal yang demikian sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik dan cita-cita negara
yang dibalut pancasila sebagai ideologi pers.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai pengaruh
politik terhadap media televisi khususnya stasiun tvOne dalam Pemilihan Presiden
2014. Pertama, menggunakan metode kualitatif dengan teori analisis wacana kritis
model van Dijk untuk membaca karakteristik berita dan menganalisis teks serta
konteks berita; dan kedua, menggunakan teori Hirarki Pengaruh demi
membuktikan realitas media televisi tvOne.
Hasil penelitian ini mengetahui bahwa telah terjadi politisasi dalam tubuh
tvOne yang dilakukan oleh pemilik media. Hal tersebut terjadi karena pergeseran
makna profesionalisme dan prinsip yang dimiliki oleh jurnalis, tercemarnya
lembaga independen pengawas pers akibat besarnya konspirasi kepentingan
politik dan industri, serta minimnya kontrol dari masyarakat.


v

KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Alhamdulillah puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT
karena atas berkah, rahmat dan pertolongannya skripsi ini dapat terselesaikan. Tak
lupa shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat
dan para pengikutnya dari awal dan akhir zaman.
Penelitian skripsi berjudul Politisasi Media Televisi di Indonesia: Studi
Pemberitaan tvOne terhadap PILPRES 2014 ini didasari atas keingintahuan
peneliti dalam memahami sosial dan politik, sekaligus memenuhi kepedulian
peneliti untuk mencoba menghasilkan suatu karya tulis yang komprehensif dan
baik. Meski demikian, peneliti menemukan keadaan yang cukup sulit untuk
merampungkannya yang sebagian besar didapat dari diri peneliti sendiri seperti
rasa malas, ceroboh dan sebagainya datang silih berganti. Pada akhirnya kesemua
hal tersebut dapat teratasi dengan bantuan dari seluruh pihak yang dengan murah
hati menjadi penyemangat peneliti.
Oleh sebab itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan kesempatan peneliti belajar di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan segala kebijaksanaanya.
2. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Ali Munhanif, Ph.D. Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Peneliti selalu memiliki pengajar favorit di tiap
jenjang pendidikan, dan terima kasih kepada Bapak atas ilmu dan
semangat yang telah diberikan.

vi

4. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si sebagai Seketaris Program Studi Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala masukan dan
kemudahannya.
5. Bapak Dr. Iding R. Hasan sebagai Dosen Pembimbing Peneliti yang selalu
hadir memberikan bimbingan dan semangat serta kemudahan dalam
penelitian ini.
6. Bapak Ahmad Bakir Ihsan, MA dan Ibu Dra. Haniah Hanafie M.Si sebagai
dosen penguji skripsi yang telah menguji peneliti dengan baik dan
bermurah hati memberikan masukan dan saran demi kebaikan penelitian
ini.

7. Seluruh jajaran dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang pernah
menjadi pengajar peneliti.
8. Kedua orang tua, Ummi Erni Herawati dan Abi Abdul Karim. Yang tanpa
belas kasih dan doa keduanya peneliti tidak akan dapat mengatasi segala
keras dan getirnya permasalahan hidup.
9. Adik-adik, Romadhon Arribath, I’dad al-Ghiffari, Jihad, Sarah Azzahra,
Bilqis Zhafira, Zaccharia Muzakki, (almh.) Nisrina Izzati Sophia, kalian
adalah motivasi dan refleksi peneliti.
10. Segala pihak yang telah berkontribusi terhadap penelitian ini dan bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran: Ka Andi Anggana (Adit); Kakakkakak jurnalis tvOne Mas Wisnu Sya’ban, Kak Mina Apratima Nour, Mas
Taufik Angkasa; Mas Roy Thaniago dari Remotivi; Centre for Innovation
Policy and Governance (CIPG).
11. Tiga Roda Bajaj: Laila Afifah dan Luluk Hidayah, sahabat penulis dalam
suka dan duka, dalam marah dan tawa, dalam kekurangan dan kelebihan,
dan segala hal yang saking besarnya tak dapat terlukiskan oleh sekedar
kata-kata. Semoga persahabatan ini berlangsung selamanya. Tidak lupa

vii

untuk serep roda bajaj, Afrilia Mayasari yang meski selalu di-bully

peneliti, tetapi tetap memiliki hati yang bersih.
12. Padepokan Ular Kelilit: gank politisi dadakan peneliti sejak terjun dalam
perpolitikan kampus bersama Adis Puji Astuti, Fathi Andini, Muhammad
Indragiri dan Erwin Saputra Muhammad, beserta Miftachul Choir alAyyubi yang telah banyak membantu peneliti dalam berbagai hal dalam
penelitian ini.
13. Teman-teman Ilmu Politik 2010 FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya Kelas B yang telah banyak mendewasakan peneliti selama
proses menuntut ilmu.
14. Sahabat, partner terkasih dan kebahagiaan peneliti, Khairul Imam Ghozali
yang tanpanya kehidupan akan terasa membosankan.
15. Kemudian, segala pihak dalam hidup peneliti yang meskipun tidak dapat
disebutkan satu per satu, tetapi tidak mengurangi value dalam pelajarannya
kepada hidup.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan
peneliti memohon maaf atas segala kekurangan dan kecerobohan peneliti dalam
proses dan hasil skripsi ini.
Ciputat, 16 Desember 2014

Aisyah


viii

DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..................................

i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. ivi
ABSTRAK .........................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ivi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
BAB I

PENDAHULUAN …………………………………………… ........


1

A. Latar Belakang Penelitian............................................................

1

B. Pertanyaan Penelitian ..................................................................

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................

8

D. Tinjauan Pustaka .........................................................................

9

E. Metode Penelitian ........................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 14

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN KONSEPTUAL .............................. 16
A. Analisis Wacana Kritis ............................................................... 16
1.

Paradigma Analisis Wacana ................................................ 16

2.

Karakteristik Analisis Wacana Kritis .................................. 19

3.

Analisis Wacana Teun van Dijk .......................................... 20

4.

Kerangka Teun van Dijk ..................................................... 23


B. Hirarki Pengaruh (Theories of Influences of Media Content) ..... 24
1.

Level Pengaruh Individu Pekerja Media ............................. 26

2.

Level Rutinitas Media ......................................................... 27

ix

3.

Level Pengaruh Organisasi .................................................. 30

4.

Level Pengaruh Luar Organisasi Media .............................. 31

5.


Level Pengaruh Ideologi ..................................................... 34

C. Televisi ....................................................................................... 35
D. Pers dan Media Massa ................................................................ 39
BAB III GAMBARAN UMUM TVONE ...................................................... 43
A. tvOne .......................................................................................... 43
B. Visi dan Misi .............................................................................. 45
C. Kebijakan Mutu .......................................................................... 45
D. Dewan Direksi ............................................................................. 46
E. Logo tvOne ................................................................................. 47
F. Program-program tvOne ............................................................. 47
G. Corporate Social Responsibility ................................................. 49
H. Biro tvOne .................................................................................. 50
BAB IV POLITISASI PEMBERITAAN STASIUN TELEVISI TVONE

51

A. Pemilihan Presiden Indonesia 2014 (Pilpres) ............................. 52
1.


Kronologi.............................................................................. 52

2.

Kandidat ............................................................................... 53

3.

Tahapan Pilpres 2014 ........................................................... 56

B. Pemberitaan Pilpres di tvOne ..................................................... 57
1.

Daftar Sampel Berita ............................................................ 58

2.

Karakteristik Berita .............................................................. 62

3.

Analisis Wacana Pemberitaan Pilpres 2014 van Dijk .......... 64

C. Hirarki Pengaruh Media ............................................................. 72
D. Pengaruh Politik terhadap tvOne dalam Pilpres 2014 ................ 87

x

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 97
A. Kesimpulan ................................................................................. 97
B. Saran ........................................................................................... 100

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... xiii
LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

TABEL II.I

Skema
Penelitian
dan
Metode
van
Dijk
……………………………………………………...…… 23

TABEL III.I

Program Acara tvOne …………………….…………….. 48

TABEL IV.I

Daftar Tokoh yang Secara Resmi Menyatakan
Kesediaannya
sebagai
Calon
Wakil
Presiden
………………………………….……………………...…54

TABEL IV.II

Daftar Tokoh Daftar Tokoh yang Meskipun Tidak Pernah
Secara Resmi Menyatakan Kesediannya Maju dalam
Pencapresan, namun Diusung Media sebagai Calon
Potensial ……………………………………...………… 55

TABEL IV.III

Sampel Judul Berita selama PILPRES 2014 di tvOne …..57

TABEL IV.IV

Elemen Wacana van Dijk ………………………………..64

xii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Ada empat pilar yang menjadi dasar sekaligus pembentuk suatu bentuk negara
demokrasi yang ideal, yakni selain tiga komponen trias politika (legislatif, eksekutif
dan yudikatif), juga meliputi pers atau media massa. Dalam negara demokrasi yang
libertarian seperti di Inggris dan Amerika Serikat, pers bebas dari pengaruh
pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaaan keempat) setelah
lembaga trias politika.1 Pers merupakan kontrol, sebagai check and balances terhadap
ketiga pilar sebelumnya dan menjadi alat komunikasi antara pemerintah dengan
rakyat, pula sebaliknya. Dalam negara yang demokratis, komunikasi dua arah,
transparansi dan argumentasi merupakan elemen mutlak agar tercipta penyebaran
informasi yang merata (meski dalam pelaksanaannya masih belum maksimal
disebabkan keterbatasan), maka pers disetujui sebagai suatu instrumen yang krusial,
karena pada proses komunikasi politik yang akomodatif dan transparan tersebut
menjadikan suatu negara berjiwa demokratis dan pada efeknya lah opini masyarakat
dapat terbentuk.

1

Prof. Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: PT. Citra Aditya
Bakti, 2003), h. 89

1

Pers berasal dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Inggris disebut press. Secara
harfiah berarti cetak, sedangkan secara maknanya adalah penyiaran secara tercetak.
Ada dua pengertian terhadap pers, yang pertama secara luas, pers adalah segala
penerbitan (berbagai jenis), termasuk media massa elektronik. Secara sempit hanya
terbatas pada media cetak. Pers Indonesia sendiri menganut sistem khas Indonesia,
yaitu pers Pancasila yang oleh dalam sidang ke-25 Dewan Pers didefinisikan sebagai
pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945.2 Landasan konstitusional pers dinyatakan dalam Undang-Undang No. 21
Tahun 1982, berbunyi ―…Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang
bersifat konstruktif…‖. Dalam statuta Dewan Pers Indonesia disebutkan bahwa
kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
demokrasi, keadilan, supremasi hukum dan unsur yang sangat penting untuk
menciptakan kehidupan yang demokratis, hal ini dijamin dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 28.
Pers menjadi penting karena posisinya yang berinteraksi dengan negara,
masyarakat dan pasar. Serta menimbang kenyataan bahwa pers memiliki fungsi
sebagai media pendidikan dan informan kepada masyarakat dalam bentuk berita.
Alexis de Tocqueville (seorang intelektual dan sejarawan Perancis) juga menyebut
bahwa informasi adalah udara bagi demokrasi dan dalam posisinya sebagai kekuatan
politik, Ibnu Hamad dalam Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah

2

Uchjana, Ilmu, Teori, h. 89-90.

2

Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik menyebutkan bahwa
pers terlibat langsung dengan peristiwa politik lalu membentuk opini publik di mana
media (atau pekerja media) melakukan penggunaan simbol-simbol politik (bahasa
politik), strategi pengemasan pesan (framing strategies) dan melakukan fungsi
agenda media (media setting).
Apa yang terjadi pada media massa di Indonesia akhir-akhir ini sangat
mencemaskan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Remotivi (Lembaga indie
wartawan dalm bidang pemantauan televisi) menyebutkan bahwa, kerja kampanye
media yang intensif berpengaruh pada perolehan suara pemilu, sejalan dengan
Lipmann yang berteori bahwa pers adalah pembentuk gambaran realitas yang sangat
berpengaruh pada khalayak karena berfungsi sebagai pembentuk makna. Interpretasi
media bisa mengubah interpretasi seseorang akan realitas dan pola tindakan mereka. 3
Dan fakta ini merupakan hasil nyata akibat praktik media yang tidak berimbang, bias
kepentingan politik pemilih dan hal ini tentu mencederai demokrasi. 4 Salah faktor
yang menyebabkan hal ini terjadi adalah sepak terjang para pengusaha media massa
yang mulai ikut dalam dunia perpolitikan dan menggunakan asas manfaat dalam
propertinya.

3

Walter Lippman, Opini Umum. Penerjemah S. Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1998).

―(Siaran Pers) KPI: VALUASI Izin Frekuensi RCTI, tvOne, dan Metro TV,‖ diakses dari
http://remotivi.or.id/meja-redaksi/siaran-pers-kpi-evaluasi-izin-frekuensi-rcti-tv-one-dan-metro-tv pada
tanggal 4 Juni 2014 pukul 18.41 WIB.
4

3

Televisi merupakan bentuk media massa paling besar dikarenakan jangkauan
luasnya kepada publik dan berperan penting dalam mengenalkan figur maupun partai
politik kepada masyarakat. Sifatnya inilah yang membuatnya menjadi media krusial
yang sedang berada dalam arus tegang. Bahkan, beberapa penelitian menyebutkan
bahwa terjadi hubungan tegak lurus antara masifnya kampanye politik di media
terhadap keputusan politik warga negara pada Pemilu.5 Dalam laporan penelitian
Remotivi ini dikutipkan:
―Riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), TIFA, dan Media
Development Loan Fund pada Pemilu 2004 menunjukkan bahwa frekuensi
kemunculan seorang politikus di media berbanding lurus dengan jumlah perolehan
suara rakyat. Begitu pula riset ISAI dan TIFA lima tahun kemudian, yakni pada
Pemilu 2009. Kemenangan pasangan SBY-JK pada 2004 dan SBY-Boediono pada
2009 dilatari oleh aktivitas tampil di media dengan jumlah terbanyak. Maka bisa jadi:
kemenangan politik bermula dari kemenangan menguasai media.‖6

Tidak ada yang salah dengan televisi yang sesukanya merilis berita, mengingat
kebebasan adalah konsekuensi dari ide demokrasi. Graham Murdoch menyebutkan
bahwa televisi yang dioperasikan oleh lembaga swasta sebenarnya menggunakan
penonton sebagai komoditas untuk dijual kepada pemasar.7 Namun dalam negara
demokratis pun berlaku norma, hukum dan etika, apalagi di Indonesia yang
menjadikan pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan pers. Dalam hasil penelitian
Remotivi juga disebutkan bahwa masing-masing stasiun televisi memiliki tendensi
kepentingan politik yang dapat dilihat dari siaran yang dilakukan mengarah pada
5

Muhammad Heychael dan Holy Rafika Dhona, Independensi Televisi Menjelang PEMILU
2014 (Jakarta: Remotivi, 2014), h.5.
6
Roy Thaniago, ―Mewaspadai Televisi di Tahun Politik,‖ Koran Tempo 26 Juni 2013.
7
Graham Murdock, The Battle for Television (Crisis Point) (Basingstoke: Palgrave Macmillan,
1994), h. 156-157.

4

partai politik tertentu yang memiliki afiliasi terkait. Louis Althusser berkonsep bahwa
komunikasi politik adalah perangkat komunikasi untuk menjamin legitimasi
kekuasaan,8 sayangnya hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa frekuensi yang
mereka pakai merupakan milik publik, dan karenanya televisi tidak berhak
melakukan keputusan sepihak, menjalankan agenda pribadi dan mengabaikan hak
publik untuk mendapat informasi yang berimbang dan netral, khususnya di masa
Pemilu seperti ini. Terjadi keterputusan hubungan antara citra dan realitas demokrasi
yang diistilahkan sebagai simulacrum democracy yakni, kondisi seolah-olah
demokrasi,padahal pada citranya ia telah mengalami deviasi, distorsi dan terputus
dari realitas yang sesungguhnya. Distorsi ini terjadi melalui citraan-citraan sistematis
media massa yang telah disebutkan di atas.9
Lebih lanjut, Noam Chomsky menyatakan bahwa, ―…In countries where the
levers of power are in the hands of a state bureaucracy, the monopolistic control over
the media, often supplemented by official censorship, makes it clear that the media
serve the ends of a dominant elite…‖.10 Singkatnya, ia setuju bahwa saat kebebasan
pers dikooptasi (atau dimonopoli), maka berakhirlah esensi negara demokrasi.
Pemanfaatan pers seperti ini tentu akan menggerogoti ruh reformasi bangsa
Indonesia, dan menjauhkan citra negara demokrasi pada realitasnya. Dan penekanan
8

Louis Althusser, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik oleh Hermin Indah Wahyuni, 2000.
―Peranan
Pers
dalam
Masyarakat
Demokrasi,‖
diakses
dari
http://rosyiedrai.wordpress.com/makalah/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi/ pada tanggal 5
Juni 2014 pukul 11:20 WIB.
10
E.S. Herman and Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the
Mass Media (London: Vintage, 1994), h. 1-2.
9

5

bagi kebebasan berekspresi akan membuat peran pers tidak lagi sejalan pada
fungsinya dan meniscayakan kegagalan cita-cita negara demokratis yang jujur, adil
dan setara. Keterbatasan proses politik dalam melakukan penyesuaian dalam
masyarakat seperti ini menurut David Easton (1953) pada akhirnya berujung pada
aksi monopoli dan sistem politik yang macet. Hal ini tercermin dari sejarah bangsa
ketika media massa elektronik satu-satunya yang ada di Indonesia, yakni TVRI,
hanya menjadi alat komunikasi satu arah dari pemerintah ke rakyat pada rezim orde
baru.
Dalam kasus pertelevisian di Indonesia, muncul tren baru yang belum pernah
terjadi sebelumnya dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, yakni kemunculan aktoraktor politik dari kalangan pengusaha media massa. Dimulai dari Aburizal Bakrie
yang memiliki stasiun tvOne, ANTV, dan vivanews.com; kemudian Chairul Tanjung
dengan Trans TV, Trans 7, dan detik.com, Harry Tanoesoedibjo dengan RCTI,
Global TV, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio, dan lainnya;
Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia, serta banyak lagi.
Dari sekian banyaknya pengusaha merangkap politisi ini, peneliti tertarik
mengupas tvOne sebagai satu sampel eskalasi media massa. Aburizal Bakrie yang
menjadi ketua umum Partai Golkar karena campur tangannya yang begitu kental
dalam stasiun televisi kepemilikannya yakni TV one, dibuktikan dari beberapa
peristiwa yang terjadi. Diawali dari kuantitas jumlah iklan kampanye yang begitu
besar bahkan sejak tahun 2013,
6

―Bakrie adalah tokoh politik dengan nada berita positif tertinggi di tvOne. Hal yang
sama terjadi pada partai Golkar yang diketuai oleh Bakrie. Partai itu mendapat porsi
pemberitaan positif tertinggi di tvOne, 60% dari total seluruh berita positif… Fakta
lain adalah, meski tidak massive diberitakan, frekuensi dan durasi iklan politik
Aburizal di TV One merupakan yang tertinggi yaitu: 152 kali dengan durasi 6060
detik. Jumlah ini merupakan frekuensi dan durasi iklan tokoh politik tertinggi
sepanjang awal November di semua stasiun televisi.‖ 11

peristiwa internal harian online vivanews.com mengenai pemasangan iklan
Jokowi (yang pada saat itu sama-sama yang menyebabkan mundurnya beberapa
pimpinan vivanews.com), pemberitaan stasiun TV One yang tidak berimbang
mengenai pemilik partai dan partai yang dipimpinnyabahkan terkesan sangat
propagandis,
―Sebaliknya, pada partai lain yang merupakan lawan politik pemilik, tvOne
Cenderung memberitakannya secara negatif. Hal ini ditandai dengan fakta bahwa
Partai Demokrat mendapat pemberitaan negatif tertinggi di tvOne (50% dari seluruh
berita negatif di tvOne)."12

Selanjutnya video yang tidak sengaja tersiar dalam headline new tvOne yang
melibatkan Frasiska Lusuba mengenai jelasnya setiran pemilik yang merupakan ketua
umum Golkar tersebut dalam penyiaran berita.13 Hal ini menjadi menarik menarik
karena publik mengetahuinya namun tidak ada yang langkah nyata yang dilakukan
lembaga pers untuk mengaturnya.

11

Muhamad Heychael dan Holy Rafika Dhona, INDEPENDENSI TELEVISI MENJELANG
PEMILU 2014:
Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilih, diakses di
www.remotivi.or.id h. 26-27.
12
Dapat diakses dalam berbagai hasil penelitian oleh lembaga remotivi bekerja sama dengan
dewan pers di www.remotivi.or.id/mejaredaksi
13
―KPK tangkap tangan Pejabat Tinggi Negara di Widya Chandra,‖ video diakses dari
https://www.youtube.com/watch?v=k7YGNQmLaXY

7

Tren yang telah disebutkan sebelumnya, kemudian menimbulkan ketertarikan
peneliti mengenai bagaimana televisi secara pragmatis mengalami pergeseran
ideologi dan fungsi menjadi instrumen politik yang dimiliki elit, mengingat bahwa
individu televisi yakni jurnalis merupakan orang-orang yang memiliki kesadaran
politik yang baik dan seharusnya memiliki prinsip dalam menyikapi tiap persoalan
politik kemudian menyampaikannya ke publik. Semua rasionalitas tersebut membuat
peneliti tertarik menganalisanya dalam skripsi yang berjudul Politisasi Media
Televisi Indonesia (Studi Pemberitaan tvOne terhadap Pilpres 2014).
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana politisasi media televisi di tvOne dalam Pemilihan Presiden
2014?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tvOne melakukan pemberitaan
tidak berimbang selama PILPRES 2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang bagaimana
politisasi terhadap media televisi khususnya stasiun tvOne dalam Pemilihan Presiden
2014.

8

Manfaat Penelitian
Akademis
1. Menambah literatur tentang studi ilmu politik mengenai masalah
demokrasi dan kebijakan khususnya dalam hak bermedia.
2. Dapat menjadi rujukan dan bahan kajian penelitian untuk menganalisa
penyebab terjadinya politisasi media, sehingga dapat menjadi acuan
masyarakat bersikap dan melakukan output terhadap kebijakan pemerintah
mengenai standar media.
Praktis
Sebagai karya ilmiah yang dapat menjadi gambaran tentang bagaimana
politisasi meda televisi khususnya stasiun tvOne dalam Pemilihan Presiden 2014.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini memakai dua hasil penelitian dan satu skripsi sebagai tinjauan
pustaka. Yang pertama adalah laporan penelitian Remotivi (Muhamad Heychael dan
Holy Rafika Dhona) atas dukungan Dewan Pers, Independensi Televisi Menjelang
Pemilu 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilih. Penelitian
yang dirilis pada tahun 2014 ini mengambil sampel 6 stasiun televisi berdasarkan
klasifikasi grup usaha/kepemilikannya, yakni TVRI, RCTI, Metro TV, tvOne, SCTV
dan Trans TV dengan periode sampel data pada 1-7 November 2013 dan

9

menghasilkan kesimpulan bahwa dalam siaran informasi RCTI, Metro TV dan tvOne
ada indikasi tercemar oleh kepentingan politik pemilik, di mana frekuensi
kemunculan, penonjolan, serta nada pemberitaan tokoh maupun partai politik
memiliki hubungan yang erat dengan afiliasi pemilik stasiun televisi dengan partai
politik. Penelitian ini hanya mengukur independensinya semata berdasarkan hasil
survey sampel tayangan berbentuk produk, berita, iklan dan produk non-berita,
sedangkan pada skripsi ini saya hanya menjadikan hal tersebut gambaran ukuran
dasar penelitian dan lebih fokus pada alasan mengapa politisasi terhadap media massa
(televisi) tersebut terjadi.
Kedua, adalah hasil penelitian oleh CIPG, Hivos, Manchester Business School
(MBS) berjudul Mapping Media Policy in Indonesia (2012) yang bertujuan
menyoroti lintasan kebijakan media di Indonesia dan menilai dampaknya terhadap
berbagai bentuk media itu sendiri dan pada warga dan pada hak-hak media mereka
yaitu hak untuk mengakses infrastruktur media, hak mengakses informasi yang dapat
dipercaya dan konten media yang berkualitas serta hak untuk berpartisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan media. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan
kualitatif interpretivist dari Denzin dan Lincoln (1994) dan menghasilkan kesimpulan
bahwa telah terjadi kegagalan kebijakan media untuk mengatur media sendiri sebagai
suatu industri, sehingga terjadi batasan yang kabur antara monopoli dan oligopoli.
Penelitian ini berfokus pada kebijakan dan menggambarkan sebesar apa daya
pengaruh media dalam konsentrasi yang lebih luas, tidak hanya televisi, sedangkan

10

skripsi ini lebih membahas pada penyebab politisasi media, sedangkan kebijakan
hanya menjadi acuan penelitian.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Nurhasanah berjudul Kebijakan Redaksional
Surat Kabar Media Indonesia dalam Penulisan Editorial (2011).14Ia menyatakan
bahwa kebijakan redaksi termasuk visi misi dan ideologi merupakan dasar
pertimbangan yang menjadi acuan sikap media terhadap suatu perisiwa yang tertuang
dalam bentuk editorial atau tajuk rencana, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang
bagaimanakah kebijakan yang ada dalam Surat Kabar Media Indonesia. Skripsi ini
sama-sama menggunakan teori hirarki pengaruh atau Theories of Influences on Media
Content seperti penelitian ini sehingga dapat dijadikan landasan peneliti, namun
skripsi Nurhasanah ini lebih mengupas sisi ilmu komunikasinya dan menjadikan
Media Indonesia sebagai objek Penelitian, sedangkan penelitian ini lebih mengangkat
isu politik yang terjadi, dengan media televisi sebagai objeknya.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yakni teknik
pengumpulan data didapat dari pengumpulan sumber-sumber data yang telah
ada sebelumnya maupun yang baru didapat oleh peneliti langsung dari

14

Nurhasanah, Kebijakan Redaksional Surat Kabar Media Indonesia dalam Penulisan
Editorial (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

11

lapangan. Dan untuk menjelaskan pertanyaan penelitian, dilakukan metode
deskriptif eksplanatif, di mana sejumlah variable permasalahan penelitian akan
dijabarkan dan kemudian dikaitkan dengan teori-teori Ilmu Politik.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi
pustaka (library research). Sedangkan sumber data yang digunakan ada
dua, yaitu data primer sebagai data utama dalam penelitian ini, dan data
sekunder

digunakan

sebagai

pendukung

dan

penguat

untuk

mempertajam analisis data primer.
Dalam penelitian ini, data primer (primary source) yang
digunakan diperoleh dari dokumen milik tvOne maupun para jurnalis
yang bekerja di dalamnya. Sedangkan data sekunder (secondary source)
didapat dari pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kapasitas mengenai
penelitian ini seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
dan lembaga penelitian independen media televisi yang memiliki
kesamaan konsentrasi meneliti permasalahan politik dan media.
Kemudian, berbagai jenis laporan penelitian (skripsi, tesis, buku dan
jurnal), maupun penulusuran internet yang relevan, untuk selanjutnya
dianalisa sehingga dapat disaring menjadi suatu kesimpulan.

12

b. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan antara periset dan responden,
di mana jawaban responden akan menjadi data mentah. Wawancara
adalah alat yang baik untuk menhidupkan topik riset dan metode yang
bagus untuk pengumpulan data tentang subjek kontemporer yang belum
dikaji secara ekstensif dan tidak banyak literatur yang membahasnya. 15
Peneliti melakukan wawancara dengan empat orang informan
dalam penelitian ini yang terdiri dari tiga orang jurnalis aktif tvOne: 1).
Wisnu Sya‘ban 2). Mina Apratima Nour 3). Taufik Angkasa dan
seorang direktur Remotivi sebagai lembaga indie wartawan 4). Roy
Thaniago.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini tidak hanya dilakukan di stasiun tvOne, namun juga di
seluruh tempat di mana terdapat sumber data primer maupun sekunder.
Sedangkan fokus waktu penelitiannya adalah tahun 2014 khususnya pada masa
PILPRES (Juni-Juli 2014).

G. Stedward, ―On the Record: An Introduction to Interviewing,‖ dalam p. Burnham (ed.),
Surviving the Research Process in Politics, London: Pinter. 1997.
15

13

F. Sistematika Penelitian
Penelitian ini terbagi dalam 5 Bab dan beberapa sub-bab yang terdiri dari:
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisi pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan
sistematika penelitian.

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN KONSEPTUAL
Bab ini menjelaskan teori dan konsep-konsep yang digunakan peneliti
dalam skripsi, yakni teori analisis wacana kritis, teori hirarki pengaruh
dan konsep televisi, pers dan media massa.

BAB III

GAMBARAN UMUM TVONE
Bab ini mendeskripsikan gambaran umum Company Profile tvOne
dengan sejarah berdirinya, visi misi, dewan direksi, logo, programprogram, CSR dan biro tvOne.

BAB IV

PENGARUH POLITIK TERHADAP PEMBERITAAN STASIUN
TELEVISI TVONE TERHADAP PILPRES 2014
Bab ini menjelaskan tentang gambaran lengkap kronologi dan
fenomena PILPRES 2014; analisis pemberitaan PILPRES 2014 di
14

tvOne melalui karakteristik berita dan analisis teks beserta konteks;
Hirarki Pengaruh di tvOne; dan terakhir analisis pengaruh politik
tvOne terhadap PILPRES 2014.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari
seluruh hasil penelitian yang juga menjawab pertanyaan penelitian
secara singkat, dan saran atas hasil penelitian sesuai tujuan yang
diharapkan.

15

BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN KONSEPTUAL
Dalam suatu proses penelitian, teori merupakan instrumen yang membantu
peneliti melakukan analisis masalah.16 Penelitian ini menggunakan pendekatan
analisis wacana kritis untuk mengetahui karakteristik berita, teori hirarki pengaruh
dan konsep kepentingan politik dalam melihat fenomena politisasi media televisi
selama Pilpres 2014 yang terjadi di stasiun televisi tvOne. Adapun teori komunikasi
Analisis Wacana Kritis dipergunakan penulis sebagai pisau analisa menafsirkan
karakter pemberitaan selama Pilpres sebagai indikator artikulasi kepentingan politik
pada siaran berita televisi nasional. Berikut pengkajian teori dan konsep-konsepnya:
A. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis)
1. Paradigma Analisis Wacana
Wacana merupakan suatu istilah yang dipakai oleh banyak kalangan yang
diikuti dari beragam istilah dan definisi. Hal ini terjadi karena perbedaan lingkup dan
disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut. Dalam pengertian sosiologi,
wacana dimaksudkan untuk menunjuk terutama pada hubungan antara konteks sosial
dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang
lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam psikologi sosial diartikan sebagai

16

Eko Indrayadi, Dampak Implementasi Kebijakan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
terhadap Faktor yang Mempengaruhi Konflik Agraria di Indonesia (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2013), h. 22.

16

pembicaraan, yaitu di mana wacana mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan
praktik dari pemakaiannya. Sedangkan dalam displin politik, analisis wacana
merupakan praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah
aspek sentral dari penggambaran suatu objek dan lewat bahasa ideologi terserap di
dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.17
Mohammad A.S. Hikam dalam Yudi Latif yang dikutip oleh Eriyanto,
membagi tiga bahasan mengenai perbedaan paradigma analisis wacana:18
1. Positivisme empiris, di mana bahasa dilihat sebagai jembatan antar manusia
dengan objek di luar dirinya. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah
pemisahan antara pemikiran dan realitas. Konsekuensi logis dari pemahaman
ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai
yang mendasari pernyataan, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu
benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.
2. Konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan empirisme atau positivisme
yang memisahkan subjek dan objek belaka dan yang dipisahkan dari subjek
sebagai penyampai pernyataan. Subjek merupakan faktor sentral dalam
kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya dan mampu melakukan
kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Analisis

17

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Cet. 7 (Yogyakarta: LKiS,
2009), h. 1 dan 3.
18
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 4-7.

17

wacana ditujukan untuk mengungkap maksud tersembunyi dari subjek yang
melakukan pernyataan.dengan menempatkan diri pada posisi pembicara
dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.
3. Kritis. Merupakan pandangan korektif terhadap pandangan konstuktivisme
yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi
secara historis maupun institusional. Pandangan ini bukan terfokus pada
kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran
seperti pada analisis konstruktivisme, melainkan menekankan pada konstelasi
kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu
tidak dianggap sebagai subjek netral karena sangat berhubungan dan
dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada pada masyarakat, bahasa juga
bukan menjadi medium netral di luar individu. Karenanya, wacana meyakini
bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam
pembentukan subjek dan berbagai tindakan representatif yang ada dalam
masyarakat.19 Karena memakai paradigma kritis, maka analisis ini juga
disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA).

Mohammad A. S. Hikam, ―Bahasa dan Politik: Penghampiran Discursive Practice‖, dalam
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde
Baru (Bandung: Mizan, 1996), terutama h. 85.
19

18

Teun van Dijk mendefinisikan analisis wacana kritis sebagai:
―Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research
that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are
enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context.
With such dissident research, critical discourse analysts take explicit position, and
thus want to understand, expose, and ultimately resist social inequality.‖20

2. Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Fairclough Dan Wodak dalam Eriyanto menyatakan bahwa analisis wacana
kritis melihat wacana—pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan—sebagai bentuk
dari praktik sosial dengan mendeskripsikan wacana sebagai hubungan dialektis di
antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang
membentuknya. Praktiknya dapat menampilkan efek ideologi, seperti memproduksi
dan mereproduksi hubungan kekkuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, lakilaki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan tersebut
dipresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Dalam wacana, keadaan yang
rasis, seksis atau ketimpangan dalam kehidupan sosial dipandang sebagai common
sense, kewajaran alamiah dan memang demikian realitanya.21 Fairclough dan Wodak
juga memaparkan bahwa analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui
bahasa, kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masingmasing.

20

Teun A. van Dijk (ed.), Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A
Multidisciplinary Introduction, Vol. 2 (London: Sage Publication, 1997), h. 437.
21
Norman Fairclough dan Ruth Wodak, ―Critical Discourse Analysis:, dalam Teun A. van Dijk
(ed.), Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary Introduction, Vol. 2
(London: Sage Publication, 1997), h. 258 dalam Eriyanto, Analis Wacana.

19

Berikut tulisan Fairclough dan Wodak22 yang mengidentifikasi karakteristik
analisis wacana kritis sebagai berikut:
1. Memberi perhatian pada masalah-masalah sosial
2. Percaya bahwa relasi kekuasaan bersifat diskursif, atau mengada dalam

wacana
3. Percaya bahwa wacana berperan dalam pembentukan masyarakat dan budaya
4. Percaya bahwa wacana berperan dalam membangun ideologi
5. Percaya bahwa wacana bersifat historis
6. Memediasikan hubungan antara teks dan masyarakat siosial
7. Bersifat interpretatif dan eksplanatif
8. Percaya bahwa wacana merupakan suatu bentuk aksi sosial.

3. Analisis Wacana Teun van Dijk
Ada beberapa tokoh terkenal yang mengembangkan pendekatan analisis wacana.
Eriyanto dalam Pengantar Analisis Wacan menyebutkan di antaranya Robert Fowler
dkk (1979), Norman Fairclough (1998), Sara Mills (1992), Theo van Leeuwen (1986)
dan Teun van Dijk (1998). Skripsi ini memakai analisis wacana model van Dijk yang
mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga pengaplikasiannya menjadi praktis.

Norman Fairclough dan Ruth Wodak, ―Critical Discourse Analysis,‖ h.270 dalam kesimpulan
yang dibuat oleh Widyastuti Purbani, Analisis Wacana Kritis dan Analisis Wacana Feminis, pada
Seminar Metode Penelitian Berbasis Gender di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 30 Mei 2009.
22

20

Van Dijk mendefinisikan terminologi analisis wacana sebagai,
Critical Discourse Analysis (CDA) has become the general label for a study of text and
talk, emerging from critical linguistics, critical semiotics and in general frm sociopolitically conscious and oppositional way of investigating language, discourse and
communication. As is the case many fields, approaches, and subdiscipline in language
and discourse studies, however, it is not easy precisely delimit the special principles,
practices, aims, theories or methods of CDA.23

Fokus kajian van Dijk adalah pada peranan strategis wacana dalam proses
distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu. Salah satu
elemen penting dalam proses analisa terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dengan
wacana adaah pola-pola akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompokkelompok masyarakat.24 Analisis wacana digambarkan van Dijk memiliki tiga
dimensi, yakni teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti dari analisis van Dijk
adalah dengan menggabungkan ketiganya dalam satu analisis. Dimensi teks meneliti
bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu
tema tertentu; dimensi kognisi sosial mempelajari proses produksi teks berita yang
melibatkan kognisi individu penulis; dan dimensi konteks sosial mempelajari
bagunan wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai suatu masalah.25

23

Teun van Dijk, Aims of Critical Discourse Analysis, Vol. 1 (Japan Discourse, 1995) h. 17
dalam Tia Agnes Astuti, Analisis Wacana van Dijk terhadap Berita ―Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft‖ di Majalah Pantau (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 21.
24
Teun van Dijk, Discourse and Society: Vol 4 (2) (London: Newbury Park), h. 249.
25
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 224.

21

Van Dijk melihat bahwa suatu wacana terdiri dari berbagai struktur atau
tingkatan yang saling mendukung satu sama lain. Ada tiga tingkatan tersebut:26
1. Struktur Makro. Merupakan makna global atau umum dari suatu teks
yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema
wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu
peristiwa.
2. Superstruktur. Merupakan kerangka suatu teks; bagaimana struktur
dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.
3. Struktur Mikro. Makna wacana yang dapat diamati dengan
menganalisis kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, parafrase yang
dipakai, dan sebagainya.
Van Dijk menilai bahwa segala teks dapat dianalisis dengan menggunakan
elemen-elemen tersebut di atas, karena meski terdiri atas berbagai elemen, namun
kesemuanya adalah satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama
lain.

26

Alex Sobur, Analisis Teks Media, Cet. 2 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 73-74.

22

a. Kerangka Teun van Dijk
Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan dalam
meneliti teks berita. Skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam
kerangka van Dijk disarikan sebagai berikut:
Tabel II.I
Skema Penelitian dan Metode van Dijk
STRUKTUR

METODE

Teks

Critical Linguistik

Menganalisis bagaimana strategi
wacana yang digunakan untuk
menggambarkan
Wawancara Mendalam

Kognisi Sosial
Menganalisis bagaimana kognisi
penulis dalam memahami seseorang
atau peristiwa tertentu yang akan
ditullis

Studi Pustaka, Penelusuran
Sejarah dan Wawancara

Konteks Sosial
Menganalisis bagaimana wacana
yang berkembang dalam masyarakat,
proses produksi dan reproduksi
seseorang atau peristiwa digambarkan

Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224

23

B. Hirarki Pengaruh (Theories of Influences of Media Content)
Teori berikut ini diperkenalkan pertama kali oleh Pamela J. Shomaker dan
Stephen D. Reese dalam buku mereka, Mediating the Message (1996). Mereka
menjadikan isi media sebagai fokus penelitian dengan mempertanyakan tentang apa
saja faktor-faktor inside dan outside dari organisasi media yang mempengaruhi isi
media. melalui pertanyaan tersebut jelas mereka sepakat dengan asumsi bahwa isi
media bukan merupakan refleksi sebuah realitas obyektif, dan ada beberapa faktor
yang menghasilkan beragam versi mengenai realitas.27 Peneliti menggunakan teori ini
karena perspektif yang digunakan Shoemaker dan Reese dalam menganalisa media
dinilai objektif, akomodatif dan tepat dalam menganalisa masalah ini.
Reese (1991) mengemukakan bahwa isi pesan media atau agenda media

merupakan hasil tekanan yang berasal dari dalam dan luar organisasi media. Dengan
kata lain, isi atau konten media merupakan kombinasi dari program internal,
keputusan manajerial dan editorial, serta pengaruh eksternal yang berasal dari
sumber-sumber nonmedia, seperti individu-individu berpengaruh secara sosial,
pejabat pemerintah, pemasang iklan dan sebagainya.28
Dari teori ini akan terlihat seberapa kuat pengaruh yang terjadi pada tiap-tiap
level. Walaupun level organisasi media atau faktor kepemilikan sebuah media, tapi
27

Disimpulkan dari makalah Kajian Media oleh Gun Gun Heryanto, dkk. Program Doktor
UNPAD tahun 2009.
28
Mulyadi Saputra, Teori Hirarki Pengaruh Isi Media dari Pandangan Islam, diakses dari
https://docs.google.com/file/d/0ByardlPPmLiGSkxsSWVBVkQ1dFE/edit pada 22 Agustus 2014
pukul 13:43 WIB.

24

tak akan bisa mengesampingkan faktor yang lainnya karena saling terkait satu dengan
yang lainnya. Contohnya pengaruh level ideologi yang terjadi pada sebuah isi sebuah
media, walaupun dianggap abstrak tapi sangat mempengaruhi sebuah media karena
brsifat tidak memaksa dan bergerak di luar kesadaran keseluruhan organisasi media
itu sendiri.29
Ada lima faktor yang diusung oleh Reese dan Shoemaker, yakni pengaruh dari
individu pekerja media (individual level), pengaruh rutinitas media (media routines
level), pengaruh dari organisasi media (organizational level), pengaruh dari luar
media (outside media level), dan yang kelima adalah pengaruh ideologi (ideology
level).30 Jadi, dalam teori ini diasumsikan bahwa isi yang ditampilkan media kepada
masyarakat (penonton) adalah suatu hasil yang dipengaruhi oleh kebijakan internal
organisasi media dan eksternal media. Faktor pengaruh internal pada konten media
meliputi kepentingan dari pemilik media, individu wartawan sebagai pencari berita
dan rutinitas organisasi media. Di sisi luar, yakni faktor eksternal mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan pengiklan, pemerintah, masyarakat dan faktor eksternal
lainnya. Stephen D. Reese menyatakan bahwa isi pesan media atau agenda media
merupakan hasil tekanan yang berasal dari dalam dan luar organisasi media.31

29

Ibid.,
Pamela J. Shoemaker and Stephen D. Reese, Mediating the Message (New York: Longman
Publisher, 1996), h. 60.
31
Stephen D. Reese, Setting the Media‘s Agenda: A Power Balance perspective (Beverly Hills:
Sage, 1991), h.324.
30

25

Berikut pemaparan definisi setiap level dalam teori ini:
1. Level Pengaruh Individu Pekerja Media (Influences on Content from
Individual Media Workers)
Dalam level ini, Shoemaker dan Reese menyatakan bahwa seorang
jurnalis memiliki orientasi nilai tertentu dalam berhadapan dengan realitas yang
sedang terjadi (memiliki pengaruh dalam menciptakan konstruksi sosial).
Orientasi ini tidak hanya dibentuk dari sikap, nilai dan kepercayaan pribadi
individu namun juga mengenai latar belakang dan pengalaman profesionalnya.
Kesemua hal tersebut memiliki efek terhadap konten media, secara langsung
maupun tidak langsung. faktor-faktor tersebut yakni seperti faktor latar
belakang dan karakteristik seorang pekerja media atau jurnalis, faktor nilai dan
kepercayaan seorang jurnalis dan faktor orientasi seorang jurnalis.

26

a. Faktor Latar Belakang dan Karakteristik
Faktor ini meliputi gender dan jenis kelamin, etnis, orientasi seksual,
dan latar belakang pendidikan jurnalis, serta dari golongan elit atau
bukankah ia berasal.32
b. Faktor Nilai dan Kepercayaan
Pengalaman dan nilai-nilai yang didapatkan oleh pribadi jurnalis
secara tidak langsung sedikit banyak akan berefek pada pemberitaan
yang dibangun olehnya. Meski demikian faktor ini tidak terlalu
berdampak terlalu besar kepada suatu pemberitaan karena intervensi
yang lebih besar ada pada level organisasi media dan rutinitas media.
2. Level Rutinitas Media (Influence of Media Routines)
Rutinitas media adalah kebiasaan suatu media dalam pengemasan berita,
sesuatu yang sudah terpola dalam media tersebut, dipraktekkan oleh pekerja
media dan terjadi secara berulang-ulang, dengan prosedur yang pasti dan tetap.
Rutinitas media berpengaruh penting pada produksi isi simbolik, mereka
membentuk lingkungan di mana pekerja media melaksakan pekerjaannya,33 dan
berpengaruh secara alami kepada pekerja media karena sifatnya sehari-hari
(rutin).
32
33

Shoemaker and Reese, Mediating The Messages, h. 64.
Shoemaker dan Reese, Mediating the Messages, h. 137.

27

Apa yang diterima media massa ini dipengaruhi oleh komunikasi seharihari, termasuk deadline atau batas waktu dan kendala waktu lainnya, kebutuhan
ruang dalam penerbitan, nilai berita, standar objektifitas, dan kepercayaan
reporter pada sumber-sumber berita.34 Jurnalis melakukan penyesuaian diri
dengan aturan dan norma yang berlaku di media terkait dalam melakukan
kegiatan pemberitaan, hingga kemudian editor atau produser akan menyeleksi
berita yang akan ditayangkan atau dimuat sesuai standar ketentuan perusahaan.
Hal tersebut merupakan rutinitas media, dan penjelasan level ini mempengaruhi
konten media.
Rutinitas media terbentuk oleh tiga unsur yang saling berkaitan yakni
sumber berita (suppliers) yaitu berita yang didapat media untuk pemberitaan,
organisasi media (processor) yakni redaksi media yang membungkus berita
untuk audiens, dan audiens (consumers), yakni konsumen berita suatu media.
Ketiga unsur ini kemudian membentuk ‗rutinitas media‘ yang membuat
pemberitaan pada suatu media.35
Dalam unsur sumber berita (suppliers), dampak dari sumber berita tidak
terlalu signifikan pada konten media, namun

sedikit

banyak

tetap

mempengaruhinya. Biasanya terjadi simbiosis mutualisme antara media dan

34
35

Shoemaker dan Reese, Mediating the Messages, h. 105.
Shoemaker dan Reese, Mediating the Messages, h. 109.

28

sumber berita, yakni ketika sumber berita mendapatkan pencitraan yang baik,
maka media bisa memperoleh berita dengan mudah.
Kemudian dalam unsur organisasi media atau pengolah pemberitaan
(processing), terdapat editor atau disebut gatekeeper36 sebagai bagian yang
paling berpengaruh dalam unsur ini. Hasil berita oleh wartawan diputuskan
kelayakannya oleh editor di meja redaksi, sehingg