Konstruksi realitas di media massa ( analisis framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika )

(1)

KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA

(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL

MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN

REPUBLIKA)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.)

Oleh

Donie Kadewandana

NIM. 104051001897

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M


(2)

KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA

(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL

MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN

REPUBLIKA)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.)

Oleh

Donie Kadewandana

NIM. 104051001897

Di Bawah Bimbingan

Dra. Armawati Arbi, M. Si

NIP. 150246288

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M


(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 10 Desember 2008

Panitia Sidang Munaqasyah,

Ketua Sekretaris

Drs. Study Rizal LK, MA Umi Musyarofah, MA NIP. 150 262 876 NIP. 150 281 980

Penguji I Penguji II

Dr. Murodi, MA Drs. Jumroni, M.Si NIP. 150 254 102 NIP. 150 254 959

Pembimbing,

Dra. Armawati Arbi, M.Si NIP. 150 246 288


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 17 November 2008


(5)

ABSTRAK Donie Kadewandana

NIM. 104051001897

102+vii hal, 7 Tabel, 9 Gambar/Bagan; 2008

KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P

DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA)

Pembentukan organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia di dalam tubuh PDI-P, banyak mendapat respon dari berbagai kalangan. Ada yang berpendapat bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan langkah progresif karena dapat menghapus dikotomi Islam dan nasionalis. Ada juga yang menganggap bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan strategi PDI-P untuk memperbaiki citra dan mendongkrak suara dalam pemilihan umum (Pemilu) 2009. Opini mengenai pembentukan dan citra Baitul Muslimin Indonesia sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari media massa. Media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik pada suatu peristiwa.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui bagaimana Harian

Kompas dan Republika mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P; (2) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing

(sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-Pdi Harian Kompas dan Republika.

Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konstruksi realitas sosial yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, serta teori konstruksi sosial media massa Burhan Bungin. Kemudian dikaitkan dengan teori framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Metodologi penelitian dalam skripsi ini antara lain menggunakan: paradigma konstruksionis, pendekatan kualitatif, sifat penelitian eksplanatif, dan analisis data menggunakan framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Hasil penelitian menunjukan, (1) ada dua isu besar yang diangkat media dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia. Pertama, isu dikotomi Islam dan nasionalis. Frame Kompas terhadap isu ini yaitu Baitul Muslimin Indonesia merupakan bagian dari gerakan Islam progresif, karena dapat melahirkan titik temu antara Islam dan nasionalis. Frame Republika adalah dikotomi Islam dan nasionalis harus dihapuskan, karena selain terdapat titik temu, Islam dan nasionalis juga dapat saling mendukung. Kedua, isu dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P. Frame Kompas adalah pragmatisme politik. Frame Republika pun juga sama, pragmatisme politik. (2) Dari segi struktur wacana

framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) terdapat perbedaan antara yang ditampilkan Kompas dan Republika. Perbedaan tersebut terutama terlihat dari struktur tematik dan retoris. Kompas lebih menonjolkan sisi pluralisme dan halus


(6)

dalam menampilkan wacana Islam. Sedangkan Republika, terlihat lebih menonjolkan sisi keIslaman.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamiiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, sosok teladan sepanjang zaman, beserta para sahabat dan pengikutnya, yang telah mengantar umat manusia keluar dari masa kegelapan kepada zaman yang dihiasi dengan ilmu seperti saat ini.

Adapun tugas akhir yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terselesaikannya tugas akhir ini karena tak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Murodi, MA., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr. Arief Subhan, M.A., selaku Pudek I, Drs. H. Mahmud Djalal, MA., selaku Pudek II dan Drs. Study Rizal L.K. MA., selaku Pudek III.


(8)

2. Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi.

3. Dra. Armawati Arbi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, baik dari segi keilmuan maupun tulisan. Semoga Ibu selalu diberikan limpahan karunia dan nikmat serta senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT.

4. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah memberikan bantuan keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan, limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada mereka.

5. Orang tuaku terkasih, Ibunda Mariam Muslihatun, yang telah memberikan dukungan moril, materil serta doa dan keridhoannya yang tak terhitung besarnya. Kepada kakakku tersayang Lindawati beserta sang suami Bang Buyung, dan adikku Adrian yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT mengampuni segala kesalahannya, memberikan kesehatan, umur yang bermanfaat, serta senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT.

6. Meisya Dwi Putri, yang telah mendukung dan membantu penulis dalam mencari data. Terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan. Akhirnya kita bisa wisuda ke-74 di Auditorium Utama UIN Jakarta pada Januari 2009.


(9)

7. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., dan Istri, Ibu Ipah Fariah, yang telah menyewakan tempat kos (Wisma Sakina) yang nyaman.

8. Rubrik Deteksi Harian Indopos, Pusat Penelitian Kompas, Womens International Club (WIC), Orbit The Habibie Center, yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk berkarya. 9. Harian Kompas dan Republika, tempat penulis melakukan penelitian

untuk skripsi ini.

10.Seluruh mahasiswa KPI angkatan 2004, terutama kelas KPI E. Untuk Maheso, Odih, Hasan, Irfanuddin, Sholeha, Husnul, Ranita (Akhirnya kita bisa wisuda ke-74 bersama-sama). Serta teman-temanku Hanif, Sita, Renal, Afif, Daraz, dan nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Ini baru langkah awal dari perjalanan kita, teruslah berjuang untuk kehidupan dan kemanusiaan. Besarkanlah diri kita, keluarga kita, dan bangsa kita!

Akhirnya teriring salam dan doa, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amien.

Jakarta, 17 November 2008


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR/ BAGAN... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Kajian Pustaka... 15

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Fungsi Media Massa ... 18

B. Konstruksi Realitas Sosial ... 24

C. Ideologi Media ... 32

D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki) ... 36

E. Kerangka Pemikiran... 49

BAB III PROFIL MEDIA CETAK A. Harian Kompas... 50

1. Sejarah Perusahaan... 50

2. Visi, Misi dan Nilai-Nilai Dasar Kompas... 61

3. Profil Pembaca ... 64

B. Harian Republika... 65

1. Sejarah Perusahaan... 65

2. Visi dan Misi Republika... 67

3. Profil Pembaca ... 69

BAB IV ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA A. Isu/Peristiwa1: Dikotomi Islam dan Nasionalis... 72


(11)

1...F rame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan

Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan)... 73 2...F

rameRepublika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus

Dihapuskan... 78 3...P

erbandingan Frame... 82 B. Isu/Peristiwa2: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap

PDI-P... 85 1...F

rameKompas:Baitul Muslimin Indonesia Mendukung

Kemenangan PDI-P dalam pemilu... 86 2...F

rameRepublika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia... 89 3...P

erbandingan Frame... 93 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran-saran... 97 DAFTAR PUSTAKA... 99 LAMPIRAN


(12)

HALAMAN DAFTAR TABEL

TABEL

Tabel 1: Struktur Wacana dan Perangkat Framing... 39 Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis

(Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan). ... 78 Tabel 3: Frame Republika: Dikotomi Islam & Nasionalis Harus Dihapuskan . 82 Tabel 4: Dikotomi Islam dan Nasionalis: Perbandingan Frame Kompas dan

Republika... 84 Tabel 5: Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung

Kemenangan PDI dalam Pemilu... 89 Tabel 6: Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra

Lewat Baitul Muslimin Indonesia ... 93 Tabel 7: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P:


(13)

HALAMAN DAFTAR GAMBAR/ BAGAN

GAMBAR/ BAGAN

Gambar/ Bagan 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya ... 29

Gambar/ Bagan 2: Proses Konstruksi Sosial Media Massa ... 30

Gambar/ Bagan 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese ... 35

Gambar/ Bagan 4: Profil Pembaca Kompas... 64

Gambar/ Bagan 5: Jenis Kelamin Pembaca Republika... 69

Gambar/ Bagan 6: Mayoritas Pembaca Republika... 69

Gambar/ Bagan 7: Profesi Pembaca Republika... 70

Gambar/ Bagan 8: Sebaran Pembaca Republika... 70


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2009, beragam organisasi sayap partai mulai banyak didirikan oleh partai politik. Pendirian organisasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh partai politik lama, partai politik baru pun banyak yang ikut mendirikan. Bentuk organisasi sayap partai yang bermunculan cukup beragam, antara lain ada yang bercorak keagamaan, kepemudaan, perempuan, profesi, dan lain sebagainya.

Maraknya pembentukan organisasi sayap partai rupanya sejalan dengan adanya peningkatan jumlah partai politik peserta Pemilu 2009. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat1, partai politik yang telah terdaftar dan terverifikasi hingga akhir batas waktu berjumlah 34 partai. Serta ditambah 6 partai lokal Aceh dan 4 partai lama yang gugatannya dikabulkan oleh MA dan PTUN terkait masalah electoral threshold dalam Pemilu 2004. Dengan demikian total partai politik peserta Pemilu 2009 berjumlah 44 partai, dengan rincian 38 partai nasional dan 6 partai lokal.

Pendirian organisasi sayap partai terakhir belakangan ini sedang menjadi

trend di kancah perpolitikan nasional. Hal ini dimungkinkan karena eksistensi organisasi sayap partai politik di Indonesia secara legal telah diakui dan dijamin

1

Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik 2009, data diakses pada 9 Juli 2008 dari http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=category&sectionid=5&id=24&Itemi d=83


(15)

negara melalui UU Partai Politik No. 2 tahun 2008 tentang partai politik.2 Di dalam pasal 12 huruf (j) UU tersebut dinyatakan, bahwa salah satu hak partai politik adalah “membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik”.3 Pengakuan dan jaminan yuridis ini merupakan dasar sekaligus peluang bagi pengembangan struktur partai untuk menjangkau seluruh segmen masyarakat.

Menurut Abdul Khaliq Ahmad, organisasi sayap partai memiliki fungsi dan peran yang penting bagi partai politik dalam upaya sosialisasi dan diseminasi program kebijakan partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan memiliki organisasi sayap yang beragam, partai politik akan diuntungkan karena bisa menjadikannya sebagai instrumen pendukung untuk menarik simpati dan dukungan yang sebesar-besarnya dari segenap lapisan masyarakat.4

Salah satu partai politik yang giat membentuk organisasi sayap menjelang Pemilu 2009 adalah Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P). PDI-P yang merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia, hingga tahun 2008 ini telah mendirikan beragam organisasi sayap partai. Sejauh ini tercatat ada lima organisasi sayap yang dimiliki oleh PDI-P, antara lain Banteng Muda Indonesia (BMI), Baitul Muslimin Indonesia, Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI), Taruna Merah Putih (TMP) dan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem).

Dari beragam organisasi sayap yang dimiliki PDI-P tersebut, yang menurut penulis menarik untuk dicermati dan diteliti adalah Baitul Muslimin Indonesia. Bila melihat AD/ART PDI-P, disebutkan bahwa PDI-P merupakan

2

Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 (Jakarta: Asa Mandiri, 2008), h.1.

3

Ibid, h. 8. 4

Abdul Khaliq Ahmad,Urgensi Organisasi Sayap Partai, artikel diakses pada 1 Juli 2008 dari http://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=1721


(16)

partai yang berideologi nasionalis, yakni partai yang terbuka untuk semua golongan dan tidak disebutkan bercorak keagamaan. Namun tanpa diduga pada tahun 2007, PDI-P mendirikan organisasi sayap partai yang bercorak keagamaan, yaitu Baitul Muslimin Indonesia.

Ide awal pembentukan Baitul Muslimin Indonesia diprakarsai oleh Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P, Taufik Kiemas. Kemudian gagasan ini baru secara formal diumumkan pada saat acara buka puasa bersama di kediaman Megawati Soekarno Putri pada hari kedua ramadhan 1427 H. Dalam acara tersebut hadir Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin, yang tampil memberikan tausiyah. Kemudian hadir pula Sekjen PDI-P Pramono Anung, Hamka Haq, Adang Ruchiyatna, Daryatmo dan tokoh PDI-P lainnya.5

Setelah gagasan digulirkan, lalu PDI-P membentuk tim formatur yang bertugas untuk menuntaskan berdirinya Baitul Muslimin Indonesia. Tim formatur terdiri atas tujuh orang, diketuai oleh Hamka Haq. Sementara para anggotanya adalah Arif Budimanta Sebayang, Irmadi Lubis, Said Abdullah, Zainun Ahmadi, Ahmad Baskara dan Nova Andika.

Selanjutnya tim formatur dipandu oleh Taufik Kiemas serta seorang tokoh non-Islam, Sabam Sirait melakukan konsultasi dan pendekatan kepada berbagai organisasi dan tokoh Islam dalam rangka mematangkan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia. Konsultasi dilakukan oleh tim formatur dengan menghadap langsung para ketua umum organisasi Islam, di antaranya KH. Hasyim Muzadi

5

Lihat Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan: Edisi Buletin Jumat Baitul Muslimin (Jakarta: Baitul Muslimin Press, 2008), h. 1.


(17)

(PBNU), Asri Harahap (KAHMI), KH. Said Agil Siradj, Syafi’i Maarif dan Akbar Tanjung.6

Kemudian organisasi ini dideklarasikan pada 29 Maret 2007, dengan nama Baitul Muslimin Indonesia. Nama “Baitul Muslimin”, yang berarti rumah bagi kaum muslim, awalnya diusulkan oleh Taufik Kiemas setelah didiskusikan oleh H. Cholid Ghozali dengan H. Erwin Moeslimin Singajuru melalui konsultasi kepada Din Syamsudin. Lambang organisasi ini menggambarkan siluet dan dua kubah masjid di mana Bung Karno menjadi arsiteknya pada 1938 di Bengkulu. Lambang ini mengabadikan “rasa cinta Bung Karno terhadap Islam”, sekaligus mencerminkan nuansa Islam pada organisasi ini.

Setelah terbentuk, akhirnya pengurus Baitul Muslimin Indonesia dilantik oleh ketua umum PDI-P Megawati Soekarno Putri pada 5 Agustus 2007 di kantor pusat DPP PDI-P Lenteng Agung. Yang menjabat sebagai ketua Baitul Muslimin adalah Hamka Haq, yang juga Ketua Bidang kerohanian DPP PDI-P sekaligus Guru Besar UIN Alauddin Makassar. Hadir dalam acara tersebut Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, dan Ketua PBNU, Said Agil Siradj.7

Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin, Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia dibentuk atas dua tujuan strategis, internal dan eksternal. Secara internal, karena Baitul Muslimin Indonesia adalah sayap PDI-P maka tujuan organisasi ini harus melekat secara inheren sekaligus sejalan dengan tujuan PDI-P. Sebagai konsekuensi logisnya, ciri utama organisasi ini harus mampu bertumpu kepada penghayatan terhadap wawasan kebangsaan, sense of nationalism yang tinggi, berasas Pancasila, penghayatan terhadap pluralisme

6 Ibid 7

Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin, artikel diakses pada 5 Juli 2008 dari http://www.kompas.com/ver1/nasional/0708/05/145221.htm


(18)

dan cinta kepada tanah air, yang ujungnya bermuara kepada utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.8

Dalam konteks ini, menjadi kewajiban Baitul Muslimin Indonesia untuk dapat memaknai asas-asas yang di atas sesuai dengan cara pandang yang religius dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul Muslimin Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh PDI-P, sehingga pada gilirannya partai ini harus dapat dicitrakan sebagai partai kebangsaan yang religius.

Sedangkan tujuan eksternalnya, Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan dengan tujuan PDI-P. Semua tujuan utama Baitul Muslimin Indonesia sebagai sayap Islam PDI-P harus tercermin pada pelaksanaan tugas, kewajiban, gerakan-gerakan dan kiat-kiat yang semuanya bernuansa Islami seiring dengan asas perjuangan PDI-P.

Sebagai contoh, manakala PDI-P memandang bahwa memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka Baitul Muslimin Indonesia harus “all out” dalam mendukung kemenangan PDI-P itu. Dalam tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul Muslimin Indonesia harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di luar PDI-P untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI-P.9

Dari tujuan eksternal tersebut di atas rupanya agak sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan Megawati Soekarno Putri dalam sambutannya pada acara pelantikan Baitul Muslimin Indonesia. Megawati Soekarno Putri menyatakan bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia tidak ada kaitannya dengan persiapan

8

Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalam Helmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan, h. 2.

9 Ibid


(19)

pemilihan Presiden 2009. Pendirian itu bertujuan untuk menampung semangat Islam yang ada di kalangan nasionalis.10

Isu panas dikotomi Islam dan nasionalis selalu mewarnai perjalanan PDI-P. Dengan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, sepertinya PDI-P ingin melepaskan diri dari belenggu dikotomi itu. Sehingga wajar bila di dalam pidato sambutan deklarasi pendirian Baitul Muslimin Indonesia, Megawati Soekarno Putri menolak dikotomi Islam dan nasionalis, dengan berkata:

“Bagi PDI Perjuangan, dideklarasikannya sayap partai Baitul Muslimin Indonesia ini, sekaligus juga ingin menunjukkan bahwa pada bangsa ini sebenarnya pengkategorisasian Santri, Abangan, Priyayi seperti yang diperkenalkan oleh almarhum Clifford Geerzt kepada kita semua sebenarnya sudah tidak relevan lagi, karena dalam oganisasi ini yang kita lihat adalah semangat kebangsaan yang dilandasi oleh cita-cita luhur untuk membangun Indonesia kita secara bersama-sama. Dalam organisasi ini, kita dapat melihat bahwa klaim mengenai seseorang lebih santri dari yang lain, ataupun lebih nasionalis daripada yang lain tidak akan ditemukan dan saya berharap tidak akan pernah dapat ditemukan. Yang kita lihat adalah semangat kebangsaan, semangat kekitaan untuk terus mendorong Indonesia menjadi yang lebih baik, sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita PDI Perjuangan selama ini.”11

Opini mengenai pembentukan dan eksistensi Baitul Muslimin Indonesia sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran pers atau media massa. Media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik pada suatu peristiwa tertentu bahkan terkadang membuat audiensnya tidak sadar akan persitiwa yang sesungguhnya terjadi.

Menurut Reese dan Shoemaker, setiap berita yang disajikan oleh media tentunya telah didesain sesuai dengan “kepentingan” media baik secara internal maupun eksternal. Dengan demikian, maka teks media sangat dipengaruhi oleh

10

Muhammad Jafar Anwar, Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, di akses pada 5 Juli 2008 dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=36611

11

Megawati Soekarno Putri, Pidato Ketua Umum PDI-P pada Deklarasi Baitul Muslimin Indonesia, di Akses pada 29 Maret 2008 dari http://www.PDI-Perjuangan-denpasar.org/index.php/Deklarasi-Baitul-Muslimin-Indonesia.html


(20)

pekerja media secara individu, rutinitas media, organisasi media itu sendiri, institusi diluar media, dan oleh ideologi.12

Berita atau pesan yang ditampilkan oleh media seringkali dimaknai apa adanya oleh masyarakat. Artinya, masyarakat lebih terpengaruh pada judul berita yang dimunculkan dan kesan yang disimpulkan oleh media massa daripada menganalisis secara mendalami teks berita tersebut. Padahal dalam kenyataannya sering terjadi misinformasi dan misinterpretasi antara apa yang seharusnya disampaikan dan kenyataan yang diterima oleh pembaca.13

Menurut Robert N. Entman dalam Eriyanto, media melakukan framing

dalam dua dimensi besar, yaitu proses seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Sehingga realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.14

Dengan demikian, media massa atau pers bukanlah sesuatu yang objektif. Pers bukan alat potret mekanik yang mampu menampilkan dan menggambarkan suatu peristiwa serta even kehidupan secara apa adanya. Keterbatasan teknis jurnalistik dan berbagai kepentingan manusia yang ada di balik media massa menyebabkan penggambaran dan pemotretan yang dilakukan oleh pers mengalami reduksi, simplifikasi, dan interpretasi. Sejalan dengan itu, McLuhan menyatakan, pers merupakan alat untuk memotret suatu peristiwa tertentu dan

12

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of Influence on Mass Media Content (New York: Longman Publishing Group, 1996), h. 223.

13

Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 5-6.

14

Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 186.


(21)

bertindak sebagai translator yang memformulasi, merancang, dan memformat

statement of event yang ingin dicitrakan oleh pers itu sendiri.15

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka penulis memberi suatu batasan. Ruang lingkup dibatasi hanya pada pesan tekstual (message) pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian

Kompas dan Republika pada bulan Maret 2007 – Agustus 2008. Penulis mengambil empat berita yang berkaitan dengan isu/peristiwa yang akan penulis angkat. Antara lain berita pada Harian Kompas tanggal 30 Maret 2007 dan 25 Agustus 2008, serta berita pada Harian Republika tanggal 5 November 2007 dan 8 Mei 2008.

2. Perumusan Masalah

Mengacu pada pembatasan masalah di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Harian Kompas dan Republika mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P?

b. Apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika?

15

Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (Cambridge: The MIT Press), h. 56


(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian analisis teks media dengan menggunakan perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian Kompas dan Republika adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana Harian Kompas dan Republika

mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.

b. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-Pdi Harian Kompas dan Republika.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian menggunakan perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian Kompas dan Republika ini antara lain:

a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada kajian teks media (framing), mengenai pengkonstruksian realitas sosial oleh media massa.

b. Manfaat Praktis. Penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi profesional media tentang bagaimana mengkonstruksi sebuah pesan dengan idealisme tertentu, sehingga dapat menghasilkan dampak yang diinginkan dari khalayak. Serta memberikan pengetahuan kepada khalayak media tentang proses


(23)

D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Menurut pemikiran Guba dan Lincoln sebagaimana dikutip Dedy Nur Hidayat, paradigma ilmu pengetahuan (komunikasi) terbagi menjadi tiga, (1) paradigma klasik (classical paradigm) yang terdiri dari positivist

dan postpositivist, (2) paradigma kritis (critical paradigm) dan (3) paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm).16

Karena penelitian ini menggunakan analisis framing, yaitu analisis yang melihat wacana sebagai hasil dari konstruksi realitas sosial, maka penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma konstruksionis.

Paradigma ini, menurut Eriyanto17, mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.

Paradigma konstruktivis memandang bahwa untuk mengetahui “dunia arti” (world of meaning) mereka harus menginterpretasikannya. Mereka juga harus menyelidiki proses pembentukan arti yang muncul dalam bahasa atau aksi-aksi sosial para aktor.18 Pendekatan interpretasi

16

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.237

17

Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 13 18

Thomas A. Scwandt, Constructivist, Interpretivist Approach to Human Inquiry, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London: Sage Publication, 1994), h. 118.


(24)

(interpretive) mencakup teori-teori yang mencoba untuk menemukan arti dalam teks dan aksi, dari gulungan surat-surat atau teks-teks kuno sampai pada perilaku. Sejumlah teori komunikasi yang masuk dalam wilayah interpretatif adalah teori-teori interpretasi kultural, budaya organisasi, dan interpretasi tekstual.19

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.20

Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.21

Menurut Crasswell, beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu pertama, peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil.

Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan

19

Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 15.

20

Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 302. 21

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Penerjemah Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4.


(25)

observasi partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian, interpretasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.22 3. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bersifat eksplanatif. Sifat eksplanatif ini bertujuan untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang telah memiliki gambaran yang jelas dan bermaksud menggali secara lebih jauh lagi (why). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mencari sebab dan alasan (reasoning) mengapa sesuatu dapat terjadi, diantaranya menjelaskan secara akurat mengenai satu bahasan topik, menghubungkan topik-topik yang berbeda namun memiliki kesamaan, dan membangun atau memodifikasi sebuah teori dalam topik baru atau menghasilkan bukti untuk mendukung sebuah penjelasan/teori.23

Eksplanatif tidak hanya sekadar memberikan gambaran (deskriptif) dari sebuah permasalahan yang diteliti saja, melainkan juga berusaha menjelaskan pembahasan yang tengah diteliti secara lebih mendalam lagi. 4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pendukung ataupun pembanding.

22

Ibid., h. 303. 23

Ipah Farihah, Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2006), h. 35-36.


(26)

a. Data primer (Primary-Sources), yaitu data tekstual yang diperoleh dari pemberitaan di Harian Kompas dan Republika. Penulis memilih berita yang hanya menyangkut Baitul Muslimin Indonesia.

b. Data sekunder (Secondary-Sources), yaitu dengan mencari referensi berupa buku-buku dan tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek yang akan diteliti ialah Harian Umum Kompas dan

Republika, sedangkan objek penelitiannya ialah pesan tekstual dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia.

6. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan framing. Framing

adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal.24

Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari bidang psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu, atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan dengan teori mengenai aspek kognitif: bagaimana seseorang memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu.

24


(27)

Misalnya teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah informasi yang ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab-akibat.25

Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklasifikasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas perilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.26

Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis framing ini menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki. Model analisis ini dibagi ke dalam empat struktur besar, yakni meliputi struktur

sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Lebih lanjut lagi akan dijelaskan pada Bab II.

25

Ibid, h. 71. 26


(28)

E. Kajian Pustaka

Penelitian skripsi yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika)” ini terinspirasi dari kondisi pemberitaan media massa cetak yang cenderung menonjolkan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Selain itu, kajian framing terhadap organisasi yang bercorak keagamaan seperti Baitul Muslimin Indonesia PDI-P belum pernah diteliti di fakultas ini. Sehingga penulis merasa tertarik untuk lebih dalam meneliti kajian ini. Adapaun literatur/ kepustakaan yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini antara lain:

1. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Buku ini ditulis oleh Eriyanto dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2002. Buku ini merupakan buku teks berbahasa Indonesia pertama yang membahas secara lengkap tentang: konsep dasar dan teori analisis framing, pandangan kaum konstruksionis dalam melihat teks berita, hubungan antara ideologi media dengan framing, serta membahas juga model-model

framing dari para pakar, seperti model framing Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. 2. NU Politik: Analisis Wacana Media. Buku ini ditulis oleh Fathurin Zen

dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2004. Buku ini merupakan pengembangan dari hasil karya ilmiah (tesis S2) penulis tentang NU dalam media massa. Isi buku ini antara lain membahas: profil NU, konstruksi realitas sosial, komunikasi politik melalui media, analisis framing beserta model yang digunakan, yakni Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki,


(29)

peranan media cetak dalam komunikasi politik dan analisis berita NU dalam media massa.

3. Politik Media Mengemas Berita. Buku ini ditulis oleh Bimo Nugroho, Eriyanto dan Franz Sudiarsis. Diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta pada tahun 1999. Buku ini membahas tentang konsep dasar analisis framing beserta dengan model-modelnya, serta menampilkan hasil penelitian terhadap isi media cetak dalam persitiwa-perstiwa sosial politik.

4. Kabar-kabar Kekerasan dari Bali. Buku ini ditulis oleh Arifatul Choiri Fauzy dan diterbitkan LKIS Yogyakarta tahun 2007. Buku ini merupakan hasil adaptasi dari tesis master penulis. Di dalamnya, penulis menganalisis pemberitaan mengenai wacana teroris dalam media massa. Penulis mengambil studi kasus peristiwa bom Bali. Analisis yang digunakan adalah framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

5. Analisis Framing Film Berbagi Suami Karya Nia Dinata. Skripsi ini ditulis oleh Junaidi Mahasiswa Jurusan KPI, pada tahun 2007. Skripsi ini membahas: skenario film, kajian framing, konstruksi sosial media massa, dan analisis framing terhadap Film Berbagi Suami. Perangkat framing

yang digunakan adalah model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Yang dianalisis dalam skrispsi ini adalah pesan tekstual, yaitu skenario filmnya.


(30)

F. Sistematika Penulisan

Penelitian yang akan dibahas terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab, yakni:

BAB I PENDAHULUAN membahas Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Kajian Pustaka dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS membahas Fungsi Media Massa, Konstruksi Realitas Sosial, Ideologi Media, Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki), dan Kerangka Pemikiran.

BAB III PROFIL MEDIA CETAK membahas Sejarah Perusahaan, Visi dan Misi serta Profil pembaca Harian Kompas dan Republika.

BAB IV ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA membahas Frame Harian Kompas dan Republika

terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P. BAB V PENUTUP membahas Kesimpulan dan Saran.


(31)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Fungsi Media Massa

Sebelum penulis membahas fungsi media massa, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai komunikasi massa. Ini perlu dilakukan karena antara media massa dengan komunikasi massa mempunyai hubungan yang saling terkait.

Menurut pandangan dari para ahli komunikasi, komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang disampaikan melalui media massa. Media massa meliputi surat kabar dan majalah yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Dengan demikian surat kabar seperti Harian Kompas dan Republika termasuk dalam ruang lingkup media massa, karena mempunyai sirkulasi yang luas dan ditujukan kepada masyarakat umum.

Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media.27 Media massa sendiri merupakan sebuah institusi atau lembaga yang memiliki serangkain kegiatan produksi budaya dan informasi yang dilaksanakan oleh berbagai tipe komunikasi massa untuk disalurkan kepada khalayak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku.28

27

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.79.

28

Vincent Moscow, The Political Economy of Communication (London: Sage Publications, 1996) h. 150.


(32)

Seseorang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakeristik komunikasi massa. Karakteristik atau ciri-ciri komunikasi massa antara lain sebagai berikut:29

1. Komunikasi massa bersifat umum.

Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau kepada sekelompok orang tertentu. Hal itulah yang membedakan media massa dengan media nirmassa. Surat, telepon, telegram, handphone misalnya, adalah media nirmassa, bukan media massa, karena ditujukan kepada orang tertentu.

2. Komunikator pada komunikasi massa bersifat melembaga.

Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Artinya di dalam media tersebut terdapat sekumpulan orang yang melakukan kegiatan seperti pengumpulan, pengelolaan, sampai penyajian informasi.

3. Komunikasi massa berlangsung satu arah.

Komunikasi yang terjadi berlangsung satu arah (one way communication). Ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikan. Dengan kata lain, wartawan sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan dari pembacanya terhadap pesan atau berita yang disampaikannya. Namun kalaupun terjadi umpan balik atau reaksi biasanya memerlukan waktu yang tertunda atau disebut juga arus balik

29

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 22-25.


(33)

tertunda (delayed feedback), contohnya dalam surat kabar umpan balik berlangsung melalui surat pembaca.

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan

Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan pada khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. Acara yang ditayangkan televisi, akan ditonton oleh berjuta-juta pemirsa secara bersamaan merupakan salah satu contohnya. 5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen.

Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, di mana satu sama lainnya tidak saling mengenal

(anonim) dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya.

Menurut Joseph R. Domminick dalam Onong Uchjana Effendy30, ada dua tahap untuk memperoleh kejelasan mengenai fungsi komunikasi massa atau media massa. Pertama, kita dapat menggunakan perspektif seorang sosiolog dan meneropongnya melalui lensa lebar seraya mempertimbangkan fungsi-fungsi yang ditunjukan oleh media massa bagi keseluruhan masyarakat (pendekatan ini kadang-kadang disebut makroanalisis). Titik pandang ini terfokus kepada tujuan yang jelas dari komunikator dan menekankan tujuan yang tampak itu melekat pada isi media.

30


(34)

Kedua, sebaliknya kita dapat melihatnya melalui lensa close-up kepada khalayak secara perseorangan, dan meminta kepadanya agar memberikan laporan mengenai bagaimana mereka menggunakan media massa (pendekatan ini dinamakan mikroanalisis).

Kadang-kadang hasilnya menunjukkan hal yang sama dalam arti bahwa khalayak menggunakan isi media massa yang sejalan dengan yang dituju oleh komunikator. Adakalanya tidak sama, khalayak menggunakan media dengan cara yang tidak diduga oleh komunikator.

Berikut merupakan fungsi media massa atau komunikasi massa menurut Joseph R. Dominick:31

a. Pengawasan (Surveillance)

Media massa menyampaikan pesan-pesannya, baik dalam bentuk informasi maupun berita secara terus menerus untuk membuat masyarakat menyadari perkembangan di dalam lingkungannya. Fungsi pengawasan ini terbagi menjadi dua.

Pertama, Pengawasan Peringatan (warning or beware surveillance), pengawasan ini terjadi jika media menyampaikan informasi kepada kita mengenai ancaman angin topan, letusan gunung merapi, kondisi ekonomi yang mengalami depresi, meningkatnya inflasi atau bahaya serangan militer.

Kedua, Pengawasan Instrumental (instrumental surveillance), yaitu berkaitan dengan penyebaran informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Berita tentang harga barang kebutuhan pokok di pasar, film

31


(35)

yang dipertunjukan di bioskop, produk-produk terbaru adalah contoh pengawasan instrumental.

b. Interpretasi (interpretation)

Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi/tafsiran mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh dari fungsi ini adalah tajuk rencana/editorial surat kabar.

c. Hubungan (linkage)

Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Contohnya hubungan para elit partai politik dengan pengikut-pengikutnya ketika membaca berita surat kabar mengenai partainya yang dikagumi oleh para pengikutnya itu.

d. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values)

yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok.

e. Hiburan (entertainment)

Media massa menghadirkan tayangan-tayangan yang bersifat menghibur bagi pembacanya, yang berguna untuk melepaskan penat dari aktifitas keseharian maupun setelah melihat berita-berita berat.

Dari uraian di atas, fungsi-fungsi komunikasi massa atau media massa yang begitu beragam dapat disederhanakan menjadi empat fungsi saja, yakni:


(36)

menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertaint), mempengaruhi (to influence).32

Media massa yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini adalah surat kabar. Kurniawan Junaedhi menjabarkan:

Surat kabar mempunyai arti koran. Berupa harian atau mingguan yang tidak mempunyai gambar kulit (cover) yang terbuat dari jenis kertas lain. Terdiri dari beberapa halaman yang memiliki antara 7 sampai 9 kolom. Isinya mengenai informasi sehari-hari. Tergolong sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi sebagai penyebar berita baru. Koran menyebabkan terjadinya pendekatan antara masyarakat dengan nilai-nilai baru.33

Dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian ialah Surat Kabar Harian Kompas dan Republika. Kompas dan Republika terbit setiap hari dengan jenis kertas gambar kulit dan jenis kertas isinya sama. Di samping itu, Kompas

dan Republika menggunakan format 7 kolom, dan menampilkan informasi sehari-hari. Dengan demikian, Kompas dan Republika dapat digolongkan sebagai surat kabar harian.

Penelitian ini berupaya melihat bagaimana konstruksi yang dilakukan oleh Harian Kompas dan Republika di dalam pemberitaannya. Menurut Charnley dan James M. Neal dalam AS. Haris Sumadirian, menjelaskan bahwa berita adalah laporan tentang situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru, yang penting disampaikan kepada khalayak.34

Pakar lain seperti Dean M. Lyle Spencer, Willard C. Bleyer, William S. Maulsby, dan Eric C. Hepwood, sebagaimana dikutip Djafar H. Assegaff, sama-sama menekankan unsur “menarik perhatian” dari definisi berita yang mereka

32

Ibid, hal. 31. 33

Kuniawan Junaedhi, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1985), h. 13.

34

AS. Haris Sumadirian, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan Praktis Jurnalistik Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 64.


(37)

buat, “Berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dapat menarik perhatian khalayak pembaca,”35

B. Konstruksi Realitas Sosial

Gagasan teori konstruksi realitas sosial pertama kali diperkenalkan oleh Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality36, atau bila diterjemahkan sebagai “pembentukan realitas secara sosial”. Berger dan Luckmann menyatakan bahwa pengertian dan pemahaman kita terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.37

Artinya, dalam konteks kajian skripsi ini, realitas yang sesungguhnya mengenai mengenai Baitul Muslimin Indonesia tidak secara linear sesuai dengan realitas simbolik yang terdapat dalam isi pemberitaan media, yang meliput peristiwa tersebut dari hari ke hari. Hal ini karena sebagai “golongan sosial” tertentu media juga memiliki kepentingan tersendiri.

Menurut Robyn Penman, pendekatan Konstruksionime Sosial memiliki asumsi-asumsi seperti: (1) tindakan komunikatif yang bersifat sukarela; (2) pengetahuan adalah sebuah produk sosial; (3) pengetahuan bersifat kontekstual; (4) teori-teori menciptakan dunia; (5) pengetahuan sarat dengan nilai.38

35

DJafar Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 5.

36

Lihat Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.

37

Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 175-176.

38

Lihat Robin Pennman, Good Theory and Good Practice: An Argument in Progress, dalam Theory Communication Theory 2 (1992), h. 234-250.


(38)

Selanjutnya Penman menguraikan empat kualitas komunikasi jika dilihat dari perpektif konstruksionis. Pertama, komunikasi itu bersifat konstitutif, artinya, komunikasi itu sendiri yang menciptakan dunia kita. Kedua, komunikasi itu bersifat kontekstual, artinya, komunikasi hanya dapat dipahami dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ketiga, komunikasi itu bersifat beragam, artinya, komunikasi itu terjadi dalam bentuk yang berbeda. Keempat, komunikasi itu bersifat tidak lengkap, artinya, komunikasi itu ada dalam proses, dan oleh karenanya, selalu berjalan dan berubah.39

Pemikiran dasar Konstruksionisme Sosial oleh Berger dilukiskan dengan latihan para siswa di kelas. Setiap siswa diperintahkan membuat satu objek benda tertentu yang berasal dari kayu, logam plastik, kain, dan bahan lainnya. Setiap objek diletakan di atas meja. Seorang siswa mungkin mengelompokkan benda-benda yang terbuat dari kayu dalam satu kelompok, benda-benda-benda-benda plastik dalam kelompok lain, begitu juga benda-benda logam, benda-benda kain, dan seterusnya dalam kelompok yang berbeda.40

Siswa lain yang juga diminta untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan benda-benda berdasarkan bentuknya, benda-benda yang berbentuk lingkaran dalam satu kelompok, benda-benda yang berbentuk segitiga dalam kelompok lain, begitu seterusnya. Selanjutnya, siswa yang diminta untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan berdasarkan kegunaannya, orang lain menyortir atas dasar warna, dan seterusnya. Dengan demikian, akan terdapat tak terhingga banyaknya cara seseorang dalam memahami setiap objek.

39

Ibid. 40


(39)

Kita dapat melihat “bahasa” memberi sebutan-sebutan yang dipakai untuk membedakan objek-objek. Bagaimana benda-benda dikelompokkan bergantung pada penggunaan realitas sosial tertentu. Begitu juga bagaimana kita memahami objek-objek dan bagaimana kita berperilaku terhadapnya sangat bergantung pada realitas sosial yang memegang peranan.41

Pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses ini terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan

simbolis atau intersubjektif.42

Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.43

Eksternalisasi (penyesuaian diri), sebagaimana yang dikatakan Berger dan Luckmann44 merupakan produk-produk sosial dari eksternalisasi manusia yang mempunyai suatu sifat yang sui generic dibandingkan dengan konteks organismus

dan konteks lingkungannya, maka penting ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan

41 Ibid. 42

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.202.

43

Ibid, h. 192. 44


(40)

interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas.

Objektivasi. Tahap obyektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia

intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckmann, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.45

Internalisasi, dalam arti umum internalisasi merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.46

Individu oleh Berger dan Luckmann dikatakan, mengalami dua proses sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu, ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru di dalam dunia objektif masyarakatnya.47

Dari uraian di atas kemudian timbul pertanyaan: bagaimana media massa mengkonstruksikan realitas? Seperti diketahui, hasil kerja media massa diwujudkan dalam bentuk teks. Atau bisa dikatakan dengan tekslah media massa

45

Lihat Bungin, Sosiologi Komunikasi, h.194. 46

Ibid, 197-198. 47


(41)

mengkonstruksi realitas. Sedangkan bahasa merupakan elemen pembentuk teks tersebut.

Menurut M. Wonohitho, “bagi pers, bahasa merupakan sine quanon: tanpa bahasa, pers tidak mungkin dapat bekerja. Sebuah bahasalah yang kita suruh melukiskan pada halaman surat kabar segala informasi, bimbingan serta hiburan yang kita sampaikan kepada khalayak ramai”.48

Melalui pernyataan ini, dengan jelas terlihat pentingnya bahasa bagi kalangan pers. Bahasa menjadi elemen utama dalam membuat suatu produk jurnalistik. Karena dengan bahasa segala realitas yang hendak disampaikan pers, dapat dikomunikasikan.

Bahkan Wonohito memberikan peringatan bagi kalangan pers. Katanya, “apabila wartawan tidak tepat menggunakan bahasa, apakah dapat diharapkan, muatan surat kabar yang dibaca orang banyak benar-benar berisi pesan yang hendak disampaikan?”49

Mengenai pentingnya bahasa dalam berkomunikasi, Ibnu Hamad pun menyadarinya. Menurutnya, dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualitas dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa.50

Menurut Ibnu Hamad, bahasa terdiri dari: “Bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (bukan kata-kata dalam bentuk gambar, photo, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel)”. Keberadaan bahasa sebagai

48

Almanak Pers Antara 1976 (Jakarta: Penerbit LKBN Antara, 1976), h. 45. 49

Ibid. 50

Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Mohamad Qodari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa (Jakarta: ISAI, 2001), h.69.


(42)

Gambar 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya

elemen utama berkomunikasi, diungkapkan Ibnu Hamad tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan dimunculkan di benak khalayak, terutama dalam media massa.

Jadi, dapat dikatakan bahasa yang digunakan media massa memiliki kekuatan untuk membentuk pikiran khalayak. Bahasa dengan unsur utama kata, memiliki kekuatan yang besar dalam berinteraksi antar komunkitas sosial. Bahasa adalah cermin budaya masyarakat pemakainya. Hubungan antara realitas, bahasa dan budaya oleh Christian dan Christian digambarkan sebagai berikut:

(Christian and Christian, 1996)51

Di dalam tulisannya tentang konstruksi sosial media massa, Burhan Bungin telah merevisi (mengoreksi kelemahan) teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger, dengan melihat variabel atau fenomena media massa yang substansif dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi. Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu.52 Berikut proses konstruksi sosial media media massa menurut Burhan Bungin.53

51

Ibid, 71. 52

Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 203 53

Ibid, h. 204

Language

Reality Creates Creates Creates Reality Culture


(43)

Menurut Burhan Bungin, proses kelahiran konstruksi sosial media massa berlangsung dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut54:

1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi

Isu-isu penting yang setiap hari menjadi fokus media massa, berhubungan dengan tiga hal, yaitu kedudukan (tahta), harta, dan perempuan. Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi yang sifatnya menyentuh perasaan banyak orang, yaitu persoalan-persoalan sensitivitas, sensualitas, maupun ketakutan/kengerian.

Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial55, yaitu: (1) Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Artinya, media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk dijadikan sebagai

54

Ibid, h. 204 55

Ibid, h. 205-206.

P r o s e s S o s i a l S i m u l t a n

Eksternalisasi

Objektivasi

Internalisasi

Source Message Channel Receiver Effects

M E D I A M A S S A Realitas Terkonstruksi: - Lebih Cepat

- Lebih Luas

- Sebaran Merata

- Membentuk Opini Massa

- Massa Cenderung Terkonstruksi

- Opini Massa Cenderung Apriori

- Opini Massa Cenderung Sinis

- Objektif - Subjektif - Intersubjektif


(44)

mesin penciptaan uang/pelipatgandaan modal. (2) Keberpihakan semu kepada masyarakat. Artinya, bersikap seolah-olah simpati, empati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat. (3) Keberpihakan kepada kepentingan umum. Artinya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.

2. Tahap Sebaran Konstruksi

Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pemirsa atau pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.56

3. Pembentukan Konstruksi Realitas

a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas

Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, di mana pemberitaan (penceritaan) telah sampai pada pembaca dan pemirsanya (penonton), yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga,

sebagai pilihan konsumtif.57 b. Pembentukan Konstruksi Citra

Pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra

56

Ibid, h. 208. 57


(45)

yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model; (1) model good news (story) dan (2) model bad news (story).58

4. Tahap Konfirmasi

Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa (penonton) memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasan konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan pembaca (penonton), tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.59

C. Ideologi Media

Kata ideologi banyak dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda, dan tidak ada keseragaman mengenai pengertian ideologi. Kita tidak bisa berbicara tentang ideologi tanpa menjabarkan dulu apa yang kita maksud. Bila kita ingin merespon pendapat orang lain mengenai ideologi, maka kita harus paham terlebih dulu dalam arti apa ideologi dipakai olehnya. Ini dilakukan supaya terjadi saling kesepahaman.

Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi ke dalam tiga arti.60

Pertama, ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini banyak digunakan oleh kalangan psikologi yang

58

Ibid, h. 209. 59

Ibid, h. 212. 60

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 87-92.


(46)

melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren/saling berhubungan.

Kedua, ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol dengan ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, maka akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu tampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen, mulai dari pendidikan, politik sampai media massa.

Ketiga, Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.

Franz Magnis Suseno mengartikan ideologi: (1) ideologi sebagai kesadaran palsu, ideologi dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai konotasi yang negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan berpihak kepada yang mempropagandakannya (penguasa). (2) Ideologi dalam arti netral, diartikan sebagai sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. (3) Ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam filsafat sosial yang berhaluan positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau empiris, atau dengan kata lain tidak rasional, dapat disebut ideologis. 61

61


(47)

Untuk mengetahui bagaimana cara atau penyebaran ideologi itu dilakukan, teori Gramsci tentang hegemoni layak menjadi acuan.

Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok meninggikan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Ini bukan berarti media sebagai kekuatan jahat yang secara sengaja merendahkan masyarakat bawah.62

Artinya, hegemoni dipandang sebagai cara kelompok dominan untuk menguasai media massa dalam memperkuat posisinya terhadap kelompok lainnya (yang didominasi). Kelompok dominan (pemilik kekuasaan) dapat mempergunakan media massa untuk merendahkan kelompok yang lemah.

Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan memenuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan dominasi oleh kelas penguasa lewat kegunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga itu berlangsung mempengaruhi dan membentuk alam pikir mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Seperti yang dikatakan Raymond William, hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui makna nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi dan indoktrinasi, hegemoni justru melihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemoni itu menyatu dan tersebar dalam praktek, kehidupan, persepsi, dan pandangan dunia sebagai suatu yang dilakukan dan dihayati secara sukarela.63

Peneliti berkesimpulan, bahwa hegemoni merupakan cara yang digunakan untuk memaksa ideologi kelas penguasa (kelompok yang dominan) kepada kelompok yang tidak dominan. Hegemoni melakukan penyebarannya melalui dua saluran, yakni ideologi dan budaya.

62

Eriyanto, Analisis Wacana, h. 103. 63


(48)

Gambar 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese

Karl Marx menyatakan ideologi sebagai “kesadaran palsu”. Van Dijk menjelaskan “kesadaran palsu” tersebut, “ Bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi..., melalui kontrol media dan sebagainya”.64

Dalam hubungannya dengan media massa, kecenderungan atau perbedaan setiap media massa dalam memproduksi informasi kepada khalayak, dapat diungkap dengan pelapisan-pelapisan yang meliputi insitusi-institusi media massa. Dengan kata lain, pelapisan-pelapisan inilah yang mempengaruhi isi media. Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese membentuknya dalam model “Hierarchy of Influence”, sebagai berikut:65

Tingkat Ideologis (5)

Tingkat Ekstramedia (4) Tingkat Organisasi (3)

Isi Media

Tingkat Rutinitas Media (2) Tingkat Individual (1)

1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah karakteristik pekerja komunikasi (wartawan), latar belakang personal dan profesional.

2. Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan seleksi-seleksi yang dihasilkan oleh komunikator.

64

Ibid, h. 13. 65

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 138.


(49)

3. Pengaruh Organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media adalah mencari keuntungan materil. Tujuan-tujuan dari media akan berpengauh pada isi yang dihasilkan.

4. Pengaruh dari luar organisasi. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media, pseudoevent dari praktisi public relations dan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan dibidang pers.

5. Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi di sini diartikan sebagai mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan di dalam masyarakat.66

Bila dikaitkan dengan masalah penelitian di dalam skripsi ini, maka Harian

Kompas dan Republika memiliki hegemoni dan ideologi di dalam medianya serta mempengaruhinya dalam mengkonstruksi realitas.

D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki)

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Awalnya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas.67 Dalam perkembangan terakhir, konsep ini digunakan untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media.

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring

66

Ibid, h. 138-139. 67


(50)

interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.68

Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut.69 Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.70

Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin, adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.

Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan dan presentasi dari realitas.71

Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki mendefinisikan framing sebagai strategi komunikasi dalam memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dihubungkan dengan rutinitas konvensi pembentukan berita.

Sementara menurut George Junus Aditjondrodalam Arifatul Choiri Fauzi, mengartikan framing sebagai sebuah penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tetapi dibelokkan secara halus, memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, menggunakan

68

Ibid, h. 162. 69

Bimo Nugorho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), h. 21.

70

Teguh Imawan, Media Surabaya Mengaburkan Makna (Jakarta: Pantau Edisi 09/Tahun 2000), h. 65-73.

71


(51)

istilah yang punya konotasi tertentu, bantuan foto, karikatur, dan menggunakan alat ilustrasi lainnya.72

Menurut Aditjondro, proses framing tidak hanya melibatkan pekerja pers, tetapi pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu dan masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkan dengan menyembunyikan sis-sisi lain serta mengaksentuasikan pada kesahihan pandangannya dengan mengacu pada pengetahuan, ketidaktahuan, dan perasaan pembaca. Proses framing media massa sebagai arena di mana informasi masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung oleh pembaca.73

Dengan demikian, framing merupakan seleksi dan penekanan aspek-aspek realitas melalui beberapa cara, seperti penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi simbol-simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dll. Tujuannya adalah untuk membuat aspek-aspek dari realitas yang diwacanakan menjadi lebih noticeable, meaningful, dan memorable untuk khalayak.

Dalam skripsi ini, framing yang digunakan adalah model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki, wacana media merupakan proses kesadaran sosial yang melibatkan tiga pemain, yaitu sumber, jurnalis, dan audience dalam memahami budaya dan menyangkut dasar-dasar kehidupan sosial yang telah diatur, sedangkan framing yang digunakan oleh kaum konstruktivis dalam menguji wacana media difokuskan pada konseptualiasasi teks media ke dalam dimensi yang bersifat empiris dan operasional berupa struktur sintaksis

72

Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 28.

73


(52)

Tabel 1: Struktur Wacana dan Perangkat Framing (Diadopsi dari Nugroho, dkk, 1999)

(syntatical structures), struktur naskah (script structures). Struktur tematik

(thematic structures), dan struktur retoris (rethorik structures).74

Dalam framing model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki, unit pengamatan terhadap teks nya lebih komprehensif dan memadai, karena selain meliputi seluruh aspek yang terdapat dalam teks (kata, kalimat, parafrase, label, ungkapan), perangkat tersebut juga mempertimbangkan struktur teks dan hubungan antar kalimat atau paragraf secara keseluruhan. Model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki yang dimaksud adalah :

74

Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki, Framing Analysis: An Approach to News Discourse, (Politicial Communication. Vol.10 No.1), h.55.

Struktur Perangkat Framing

Unit Yang Diamati

SINTAKSIS

(Cara wartawan menyusun fakta)

1. Skema Berita Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup.

SKRIP

(Cara wartawan mengisahkan fakta)

2. Kelengkapan berita

5W+1H (Who, What, When, Where, Why + How)

TEMATIK

(Cara wartawan menulis fakta)

3. Detail 4. Maksud 5. Nominalisasi 6. Koherensi 7. Bentuk kalimat 8. Kata ganti

Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar-kalimat

RETORIS

(Cara wartawan menekankan fakta)

9. Leksikon 10. Grafis 11. Metafor 12. Pengandaian

Kata, idiom, gambar, foto, grafik


(53)

1. Struktur Sintaksis

Sintaksis dalam pengertian umum adalah susunan kata atau frase dalam kalimat.75 Sedangkan dalam tataran wacana, struktur sintaksis terdiri atas susunan atau kerangka dari sebuah penyusunan artikel atau wacana berita. Struktur sintaksis biasanya ditandai oleh “struktur piramida terbalik” dan oleh aturan-aturan atributif (penandaan) sumber. Piramida terbalik ini mengacu pada pengorganisasian bagian-bagian struktur yang runtut, seperti headline (judul utama), lead (kepala berita atau pendahuluan), episode (runtutan cerita), background (latar belakang), dan

ending atau conclusion (penutup atau kesimpulan).

Kadang kala struktur penulisan itu terdiri dari atas bagian yang umum saja seperti lead, perangkat tubuh, dan penutup. Struktur sintaksis dapat memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana wartawan memaknai peristiwa dan hendak ke mana berita tersebut akan dibawa.76 Dengan bentuk struktur sintaksis tertentu, wartawan bisa menekankan suatu isu, baik dengan meletakannya pada headline atau lead, pada kesimpulan, atau pada kronologi peristiwa yang terdapat pada latar informasi.

Sebuah headline dari berita tertentu pada surat kabar merupakan tanda yang mencolok antara struktur semantik dalam wacana dengan konsep atau gagasan yang ada di dalam pikiran pembaca. Dalam banyak hal, struktur sintaksis yang sering digunakan untuk menggiring opini khalayak ke arah tertentu dan yang bersifat menarik adalah headline.

75

Hasan Alwi dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 36.

76


(54)

Dengan kata lain, headline ini merupakan framing device yang paling penting.

Alat (device) selanjutnya adalah lead yang ada dalam sebuah cerita atau tulisan surat kabar. Di lead inilah biasanya dapat diketahui angle

mana yang lebih ditekankan oleh reporter atau wartawan. Pada bagian tengah (episodes) dan latar (background) para wartawan biasanya memaparkan fakta secara kronologis. Di bagian inilah kita akan memperoleh kesan dari isi surat kabar tersebut apakah cukup objektif, berimbang, atau berpihak.

Di bagian ini pula bisa dikaji lebih jauh tentang framing device

melalui tiga cara, yaitu (1) pengakuan validitas empiris atau pengutipan sumber atau perolehan data, (2) menghubungkan pandangan-pandangan sumber berita yang dianggap pokok, dan (3) memisahkan pandangan-pandangan sumber lain yang kurang popular.77

Dari struktur sintaksis, kita juga dapat menganalisis objektivitas dan netralitas suatu pemberitaan media. Objektivitas pemberitaan memiliki tiga unsur pokok. Pertama, unsur keseimbangan (balancing, yang meliputi keseimbangan dalam jumlah kalimat atau kata yang digunakan oleh wartawan dalam memaparkan fakta. Sebuah fakta peristiwa yang sama akan diuraikan oleh dua orang wartawan secara berbeda dalam jumlah kalimatnya. Keseimbangan juga mencakup narasumber atau sumber yang dikutip. Dalam pemberitaannya, seorang wartawan bisa saja hanya

77


(55)

mengutip sumber-sumber tertentu yang mereka pilih sendiri, tanpa melihat komposisi keberpihakan sumber secara proporsional.

Kedua, unsur kebenaran berita, yang terdiri atas empat hal pokok, yaitu adanya fakta atau perisiwa yang diberitakan, jelas sumbernya, di mana tempat terjadinya, dan kapan waktunya. Ketiga, relevansi antara judul berita dengan isinya serta kesesuaian antara narasumber yang dipilih dengan tema atau fakta yang diangkat.

Suatu berita dianggap objektif apabila berita tersebut memenuhi semua kelengkapan objektivitas di atas. Sebaliknya, suatu berita bisa dikategorikan “kurang objektif” apabila salah satu kelengkapan objektivitas tidak terpenuhi. Bahkan sangat mungkin suatu berita dapat disebut “tidak objektif” sama sekali apabila lebih dari dua bagian syarat di atas tidak terpenuhi.

Hal lain yang dapat dilihat dari struktur sintakasis ini adalah netralitas pemberitaan. Netralitas ini meliputi komposisi narasumber yang terdiri dari tiga kelompok, yakni (1) yang pro (setuju) dengan ide, fakta, atau tema yang diangkat, (2) yang kontra (tidak setuju) dengan tema berita yang hendak disampaikan, dan (3) yang netral (tidak berpihak).

Begitu juga netralitas dari isi berita itu sendiri, apakah isi berita tersebut memihak, menentang atau netral. Netralitas ini dapat dilihat secara langsung dari penggunaan kalimat pada headline atau lead. Judul berita yang diambil dari pendapat narasumber yang kontroversial, misalnya, seringkali menghakimi pihak tertentu secara berlebihan. Dalam


(1)

Sumber lain

Alwi, Hasan dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

2000.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Ed. Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Farihah, Ipah. Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2006.

FA. Santoso, dkk. Media Kit Kompas 2007. Jakarta: Kompas, 2007

Gunadi, YS. (Peny.). Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 1998.

Junaedhi, Kuniawan. Ensiklopedia Pers Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1985.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Republik Indonesia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang

Disempurnakan. Yogyakarta: Indonesiatera, 2007.

Tim penyusun, 35 Tahun Kompas. Jakarta: Brosur Kompas, 2000.

Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 (Jakarta:

Asa Mandiri, 2008), h.1.

Surat Kabar

Kompas : Edisi 30 Maret 2007 dan 25 Agustus 2008.

Republika: Edisi 5 November 2007 dan 8 Mei 2008.

Media Online

Abdul Khaliq Ahmad. Urgensi Organisasi Sayap Partai, diakses pada 1 Juli 2008

darihttp://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id

=1721

Anwar, Muhammad Jafar Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, data di akses

pada 5 Juli 2008 dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=36611

Komisi Pemilihan Umum. Partai Politik 2009, data diakses pada 9 Juli 2008 dari

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=category&sec

tionid=5&id=24&Itemid=83

Megawati Lantik Pengurus Baitul Muslimin, artikel diakses pada 5 Juli 2008 dari

http://www.kompas.com/ver1/nasional/0708/05/145221.htm


(2)

Putri, Megawati Soekarno. Pidato Ketua Umum PDI-P pada Deklarasi Baitul

Muslimin Indonesia, data diakses pada 29 Maret 2008 dari

http://www.pdiperjuangan-denpasar.org/index.php/Deklarasi-Baitul-Muslimin-Indonesia.html

http://www.republika.co.id

http://www.kompas.com


(3)

CU RRICU LU M VITAE ( CV)

D a t a Pr iba di

Nam a Lengkap : Donie Kadew andana Nam a Pena : Donie K. Malik Tem pat dan Tgl lahir : Jakart a, 23 Agust us 1984 Jenis Kelam in : Laki- laki

St at us : Belum Menikah

Kebangsaaan : I ndonesia

Alam at : Kom plek Arinda Per m ai I I Blok E5 No. 7 Pondok Aren, Bint aro, Tangerang ( 15224)

Nom or Telepon : ( 021) 9877.8622 / 0856.95712855 Em ail : donie_kadew a@yahoo.com

La t a r Be la k a n g Pe n didik a n

Ta h u n Pe n didik a n For m a l 2004- 2008 S1 Jurusan Kom unikasi dan Penyiaran I slam ,

Fakult as Dakw ah dan Kom unikasi, Universit as I slam Negeri ( UI N) Syarif Hidayat ullah Jakart a. Lulus Desem ber 2008 dengan pr edikat cum laude, dengan I PK 3,62. 2002- 2008 S1 Jurusan Sist em I nform asi, Fakult as

Teknologi I nform asi, Universit as Budi Luhur, Jakart a. Lulus Februari 2008 dengan predikat am at baik, I PK 3,24.

1999- 2002 SMU Budi Luhur, Tangerang, berij azah. 1996- 1999 SMP Budi Mulia, Tangerang, berij azah.

1990- 1996 SDN 18 Johar Baru, Jakart a Pusat , berij azah.


(4)

• I nt erview er freelance, Pusat Penelit ian KOMPAS, Lit bang Harian KOMPAS, Jakart a, 2007- 2009.

• Jurnalis ( Penulis) , Rubrik DETEKSI Harian I NDOPOS, Jakart a, 2005- 2006.

• Surveyor, Rubrik DETEKSI Harian I NDOPOS, Jakart a, 2005. Pe la t ih a n da n Ku r su s

• Pelat ihan Penulisan Kreat if, Yayasan Param adina, Jakart a, 2008. • Pelat ihan Jurnalist ik, Wom ens I nt ernat ional Club ( WI C) , Jakart a,

2007.

• English Course, Wom ens I nt ernat ional Club ( WI C) , Jakart a, 2007.

• Pelat ihan Penelit ian Kom unikasi, Pusat Pengkaj ian Kom unikasi dan Media ( P2KM) , FDK UI N Jakart a, 2006.

• Pelat ihan Jurnalit ik Televisi, KOMKA, UI N Jakar t a, 2004.

• Lat ihan Kader ( LK) Him punan Mahasisw a I slam ( HMI ) Cabang Ciput at , Kom isariat Fakult as Dakw ah dan Kom unikasi, Bogor, 2004.

• Lat ihan Kepem im pinan Dasar BEM Univ. Budi Luhur, Serpong, 2002.

Pe n ga la m a n Or ga n isa si

• Redakt ur Pelaksana dan Report er Lem baga Pers Mahasisw a ( LPM) I NSTI TUT, UI N Jakart a, 2004- 2006.

• Pem im pin Redaksi Maj alah SWAKA, Jurusan Kom unikasi dan Penyiaran I slam , UI N Jakart a, 2005- 2006.

• Sekret aris Depart em en Hum as dan I nform asi, Badan Eksekut if Mahasisw a Jurusan ( BEM- J) Kom unikasi dan Penyiaran I slam , UI N Jakart a, 2005- 2006.

• Anggot a Him punan Mahasisw a I slam ( HMI ) Cabang Ciput at , Kom isariat Fakult as Dakw ah dan Kom unikasi, UI N Jakart a, 2004.

• Koordinat or Kom unit as Mahasisw a Kom unikasi ( KOMKA) , UI N Jakar t a, 2004- 2005.

• Ket ua Panit ia Pelat ihan Jurnalist ik Televisi, KOMKA UI N Jakart a, 2004.

• Ket ua Divisi Lit bang Zet a Dat a Cent er, Pusat Pengem bangan Sains dan Teknologi ( PUSBANGSI TEK) , UI N Jakart a, 2006.


(5)

• Teat er Universit as Budi Luhur, 2002. Pe n ga la m a n Pe n e lit ia n

• Penelit i lapangan Ekspedisi Ciliw ung, Lit bang Harian KOMPAS, 2009.

• Penelit i lapangan Pilkada Jaw a barat , Lit bang Harian KOMPAS, 2007.

• I nt erview er, Pusat Pengkaj ian I slam dan Masyarakat ( PPI M) UI N Jakar t a, 2007.

• Surveyor Zet a Dat a Cent er, Pusbangsit ek UI N Jakar t a, 2006. Ka r y a Tu lis

Meneropong KPK Jilid I I, dim uat Harian Um um Sinar Harapan, 2007.

Mem pert anyakan I nt egrit as Anggot a KPU, dim uat Harian Seput ar I ndonesia ( SI NDO) , 2007.

Refleksi Hari Ant inarkoba, dim uat Harian Seput ar I ndonesia ( SI NDO) , 2007.

Konst ruksi Realit as di Media Massa ( Analisis Fram ing Terhadap Pem berit aan Bait ul Muslim in I ndonesia PDI - P di Harian Kom pas dan Republika), Skripsi S1, UI N Jakar t a, 2008.

Rancangan Sist em I nform asi Penerim aan Siswa Bar u Pada TK. Tunas Mandiri Dengan Met odologi Berorient asi Obyek, Skr ipsi S1, Universit as Budi Luhur, 2008.

H obi da n M in a t

• Mem baca, Menulis, dan Olah raga.


(6)