Analisis Putusan-Putusan Mahakmah Agung Tentang Permasalahan Yang "Bertentangan" Dengan Nash Tinjauan Fiqh Indonesia
ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG
PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
RAHMAT YUDISTIAWAN
NIM : 1110044100007
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG
PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Rahmat Yudistiawan
NIM. 1110044100007
Di Bawah Bimbingan:
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
TENTANG
PERMASALAHAN
YANG
“BERTENTANGAN”
DENGAN
NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Januari 2015. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 5 Januari 2015
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1 Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2 Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3 Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 5 Januari 2015
iv
ABSTRAK
RAHMAT YUDISTIAWAN, NIM: 1110044100007, ANALISIS
PUTUSAN-PUTUSAN
MAHKAMAH
AGUNG
TENTANG
PERMASALAHAN
YANG
“BERTENTANGAN”
DENGAN
NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. v+103
Keberadaan Mahkamah Agung sangat berperan dalam menyelesaikan
problematika sosial kekinian yang terus berkembang. Sebab ia merupakan instansi
atau lembaga tertinggi pemerintah di bidang yudikatif yang bertugas dalam
menerima, mengadili dan memutuskan perkara di tingkat kasasi. Oleh karenanya,
bidang perdata agama merupakan konstruksi yang saat ini terus berubah-ubah
kemaslahatannya. Seperti kasus waris non-muslim, akta nikah sebagai penentu
sahnya pernikahan dan alasan-alasan perceraian tentunya pernah dihadapi oleh
para hakim di Mahkamah Agung. Kasus-kasus tersebut merupakan hal baru dalam
hukum Islam yang belum terkonsep secara tekstual dalam Nash maupun yang
tertuang dalam kitab-kitab Fiqh Klasik. Tujuan penelitian ini diperuntukkan
menjawab kegamangan problematika kekinian umat Islam sekaligus menganalisis
produk hukum Mahkamah Agung yang tertuang dalam putusan-putusan tentang
kasus-kasus yang telah disebutkan sebelumnya yang menurut hukum Islam
“bertentangan” dengan Nash.
Penelitian ini menggunakan teori Fiqh Indonesia sebagai pisau analisa
dalam meninjau putusan-putusan tentang permasalahan yang “bertentangan” pada
Nash Al-Quran dan Hadits dengan jenis penelitian kualitatif yang menekankan
kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif analatis. Metode yang digunakan
berdasarkan pada metode ijtihad Fiqh Indonesia yang terbagi menjadi dua
konstruk berpikir yang berbeda, yaitu Urf atau Tradisi Islam Indonesia sebagai
Grand Thoerynya dan Fiqh Mazhab Negara atau Hukum Terapan sebagai
Aplicative Theorynya. Teknik pengumpulan data yang digunakan, untuk data
primer diperoleh dari putusan-putusan Mahkamah Agung, buku teori Fiqh
Indonesia dan peraturan perundang-undangan, sedangkan data sekundernya
diperoleh dari jurnal, artikel, makalah dan kitab-kitab lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan (1) bahwa ketiga putusan
tersebut telah sesuai dengan konstruk berpikir Fiqh Indonesia, (2) hal tersebut
terjawab sudah ketika hasil yang didapat menunjukkan bahwa pendekatan yang
dianut oleh para hakim dalam memecahkan masalah menuju kepada pemahaman
Fiqh Indonesia (3) kasus ahli waris non muslim tidak terlepas kepada isu HAM
dan prinsip pluralitas kehidupan bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika,
pencatatan pernikahan merupakan bukti autentik yang telah membudaya sebagai
tertib administratif bangsa Indonesia, dan kasus alasan putusnya perkawinan yang
ditentukan sesuai dengan kemaslahatan umum masyarakat Indonesia.
Kata kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Fiqh Indonesia, Waris Non-Muslim, Pencatatan Pernikahan,
Perceraian
: Hj. Rosdiana, MA
: Tahun 1966-2014
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Suhanahu wa ta’ala yang
telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat
pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada keluargaku tercinta ayahanda Ir.
Sugirno, M.Si dan ibunda Dra. Siti Djumalia beserta adik-adik penulis Naili
Ihdayati dan M. Dzakwan Firdaus dan terkhusus kepada pamanku Dr. Ahmad
Rajafi, M.Hi. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka.
Skripsi ini ditulis merupakan bagian dan persyaratan untuk menyelesaikan
studi (pendidikan) program stratasatu (S1) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Konsentrasi Peradilan Agama. Atas bantuan semua pihak dalam proses
penyelesaian skripsi ini sesuai dengan rencana tak lupa dihaturkan terima kasih
sedalam-dalamnya. Secara rinci ungkapan terima kasih itu disampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Phil. JM Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH., Ketua Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
vi
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Hj. Rosdiana, MA., selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan
waktu
dalam
membimbing,
mengarahkan,
dan
memotivasi hingga skripsi ini selesai.
5. Ibu Maskufa., MA., sebagai dosen Pembimbing Akademik yang
mengarahkan penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini dan staf-staf karyawan yang membantu
proses administrasi penulis.
7. Seluruh pegawai dan staf Mahkamah Agung RI terkhusus Hakim
Agung Mahkamah Agung Dr. Habiburrahman, MA., yang telah ikut
membimbing dan banyak memberikan bantuan dan data lapangan
demi selesainya sekripsi ini.
8. Pegawai Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum serta Perpustakaan Nasional RI yang telah memberikan
informasi, data, referensi, dan lain-lain.
9. Kakek Drs. H. Ah. Sahran Baharup dan Nenek Hj. Siti Raudlah
tercinta beserta Cicik Baiti, Bakcek Welmi, Mamak Tutin, Ibung Eni,
Cicik Eeng, Om Eko dan Ibung Resi yang senantiasa membantu,
mendoakan, serta memberikan dukungan penuh dalam upaya
penyelesaian tulisan ini.
vii
10. Temen-temen kosku Bagus Septian, Mahendra, Wildan al-Farabi dan
Imam Furqani yang senantiasa menemani penulis.
11. Rekan-rekan
Mahasiswa
yang
telah
ikut
membantu
proses
penyelesaian skripsi ini, Teman-teman kelasku, Nurdin, Anas
Maulana, Ahmadi, M. Irfan Rizkiani, Adib, Husnul, Baim, Muhdi,
Adam, Syauqi, Neneng, Lubis, Sena dan lain-lain yang tidak bisa
disebutkan semua, serta teman-teman angkatan 2010 khususnya Prodi
Ahwal Al-Syakhsiyyah yang ku banggakan. Kenangan indah yang
tidak akan terlupakan bersama kalian semuanya.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukunganya,
hanya doa semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya, diharapkan betapapun kecilnya karya tulis (hasil penelitian) ini dapat
menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman di abad modern ini.
Ciputat, 5 Januari 2014.
Penulis,
RAHMAT YUDISTIAWAN
NIM. 1110044100007
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................... 8
D. Review Studi Terdahulu .................................................... 9
E. Kerangka Teori .................................................................. 12
F. Metode Penelitian .............................................................. 14
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 17
BAB II
FIQH INDONESIA ............................................................... 19
A. Definisi Operasional Fiqh Indonesia ................................. 19
B. Penggagas Konsep Fiqh Indonesia .................................... 26
C. Metode dan Model Berpikir Fiqh Indonesia ..................... 32
BAB III
PENGAMBILAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG .... 44
A. Sekilas Profil Mahkamah Agung Indonesia ...................... 44
1. Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung ....................... 44
ix
2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Agung......................... 49
B. Dasar Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung............... 53
1. Putusan Nomor 51 K/AG/1999 Tentang
Ahli Waris Non-Muslim............................................. 53
2. Putusan Nomor 120 K/AG/2005 Tentang
Hak Waris dari Pernikahan yang Tidak
Dicatatkan dan Tidak Ada Izin Poligami ................... 55
3. Putusan Nomor 577 K/AG/2009 Tentang
Cerai Gugat dan Hadhanah (Hak Asuh Anak) .......... 56
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG ............... 58
A. Putusan Nomor 51 K/AG/1999 Tentang
Ahli Waris Non-Muslim .................................................... 58
B. Putusan Nomor 120 K/AG/2005 Tentang Hak Waris
dari Pernikahan yang Tidak Dicatatkan dan Tidak
Ada Izin Poligami .............................................................. 70
C. Putusan Nomor 577 K/AG/2009 Tentang
Cerai Gugat dan Hadhanah (Hak Asuh Anak) ................. 78
BAB V
PENUTUP .............................................................................. 99
A. Kesimpulan ........................................................................ 99
B. Saran-saran ........................................................................ 101
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 102
LAMPIRAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan sosial merupakan salah satu faktor munculnya konflik sosial
yang terdiri dari masalah-masalah baru. Hal ini sesuai dengan apa yang
dinyatakan Ian Robertson seorang sosiolog dari University of California Los
Angeles “Social Change is The alteration of patterns of culture, Social structure
and Social behaviours overtimes” perubahan sosial ialah perubahan pola budaya
dalam masyarakat, struktur sosial dan perilaku masyarakat yang terjadi setiap
waktu. Adapun yang mempengaruhi perubahan sosial itu terjadi disebabkan
karena adanya faktor persinggungan budaya antara wilayah baik secara nasional
maupun internasional, perkembangan teknologi, ide-ide baru (ideologi) dan hal
lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan baru tersebut pada akhirnya harus
dicarikan dan ditemukan solusi atau pemecahannya demi sebuah kemaslahatan.
Islam sebagai agama yang memiliki pengikut terbesar pun pada akhirnya
akan mendapati dan menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut, akan tetapi
sejak jauh-jauh hari Allah SWT telah menjelaskan di dalam al-Qur‟an agar kita
dapat mengembalikan semua permasalahan yang ada kepada Allah, Rasul-Nya
dan Ulil Amri (Pemimpin), sebagaimana firman-Nya:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
1
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. AnNisa‟ : 59)1
Kadang kala dari permasalahan baru yang terjadi di lingkungan kita, tidak
dapat disesuaikan dengan landasan aturan yang ada. Maka dapat dikatakan hal
tersebut dianggap bertentangan oleh sebagian kalangan sehingga dengan mudah
men-judge akan hal baru tersebut dengan hukum yang salah. Oleh karenanya,
haruslah ada di sekitar kita orang-orang yang mampu akan memahami
permasalahan di sekitar kita dengan menghadapinya secara bijak dan adil serta
mampu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak khususnya umat
Islam. Di sinilah peran penting ulama dan umaro (pemerintah) dalam menghadapi
permasalahan perubahan sosial dan perkembangan zaman di setiap lini kehidupan
masyarakat. Karena sebagaimana Imam Ghazali mengatakan “Agama jika di
topang dengan kekuasaan akan kuat dan kekuasaan jika ditopang oleh agama
akan kekal.”
Sedikit kita flash back tentang sejarah perkembangan hukum dalam
pemerintahan Islam ketika menghadapi permasalahan dan perubahan zaman,
Khulafa‟ al-Rasyidin adalah penafsir hukum pertama, semua ijtihad di bawah
payung nilai dan norma al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman dan
pertimbangan yang kontekstual. Semasa mereka banyak kontribusi besar dalam
evolusi pemikiran hukum Islam yang dapat dipetakan dalam tiga hal, yaitu: (1)
meneruskan pemerintahan Rasulullah saw dalam bidang politik dan luar negeri;
(2) berhasil mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan (dakwah bil fi’li dan
dakwah bil qauli); (3) berhasil menciptakan konsep pola pemikiran hukum dan
1
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, PT.Karya Toha Putra, Semarang,
1998, hlm. 162.
2
panduan memahami ajaran Islam ketika berhadapan dengan tantangan dan
perubahan zaman.
Hukum Islam atau fiqh pada masa ini muncul dengan satu corak sendiri
dalam dunia hukum yang pernah dikenal manusia, karena tidak hanya sekedar isi
dari al-Quran dan Sunnah, tetapi meluas kepada aturan dan pemikiran umat Islam
yang setia dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah. Hukum Islam tidak hanya yang
ditentukan dalam catatan sejarah, tetapi juga mungkin untuk berkembang selama
umat Islam masih ada. Segala persoalan sosial yang berkaitan dengan masyarakat
muslim dan diberikan aturannya dengan nilai-nilai keislaman, maka aturan
tersebut adalah hukum Islam, sehingga hukum ini tidak lagi sebagai identitas
agama saja, tetapi juga identitas manusia.2
Akhirnya dalam sejarah perkembangan fiqh selanjutnya, dikenallah istilah
baru yaitu fiqh Irak, fiqh Madinah, fiqh Syam dan fiqh Maghrib. Ada pula fiqh ahl
ra‟yi dan fiqh ahli hadits. Dan yang lebih menggaung dan terkenal di telinga
masyarakat kita saat ini yaitu adanya fiqh Hanafi (w. 150H), fiqh Maliki (w.
179H), fiqh Syafi‟i (w. 204H) dan fiqh Hanbali (241H). Di Indonesia pun, sejak
pertama Islam masuk telah dikenalkan berbagai aliran pemikiran fiqh yang lahir
dan berkembang di Indonesia. Ada pemikiran Syekh Abdurrauf Singkel (16431693M), Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh
Nawawi Banten (1230H/1813M-1314H/1897M), KH. Hasyim Asy‟ari (18711947M), KH. Ahmad Dahlan dan banyak lagi yang lain. Di antara pemikir hukum
kontemporer yang tercatat memberi andil besar pada perkembangan aturan hukum
2
Abdul Karim Munthe, Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat, diakses pada tanggal
29 Januari 2014 dari http://abdulkarim munthe.blogspot.com/2013/02/hukum islam dan perubahan
masyarakat
3
di Indonesia dikenal dengan fiqh Indonesianya, adalah TM. Hasbi ash-Shiddieqi
(1905-1975) yang selanjutnya akan menjadi salah satu tolak ukur dalam penelitian
ini melihat filosofi dan sejarah aturan hukum Islam yang telah dikodifikasi dan
dilegitimasi tidak terlepas dari teori fiqh Indonesia Hasbi.3
Perkembangan dan perubahan sosial adalah faktor penting lahirnya ijtihad,
sebab pada saat terjadi permasalahan atau kasus baru yang berbeda tentunya akan
memerlukan aturan. Lalu aturan yang seperti apa yang pantas dan sesuai bila
permasalahan tersebut merupakan hal baru dalam Islam bahkan terkesan
“bertentangan” dengan Nash al-Quran dan Hadis? Dan bagaimanakah cara
menghadapinya? Hal ini membuat penulis teringat dengan sebuah permasalahan
hukum yang pernah terjadi di Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 1999
tentang kewarisan Islam. Terdapat perkembangan pemahaman Islam yang
diputuskan oleh pemerintah kita yang memegang tampuk tertinggi peradilan
bahwa seorang ahli waris non muslim bisa mendapatkan haknya melalui jalur
wasiat wajibah. Padahal, aturan hukum Islam dengan jelas menyebutkan yang
menjadi penghalang seseorang mendapatkan bagian warisan salah satunya adalah
berlainan agama. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Orang Islam tidak dapat
mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang
Islam. (HR. Muttafaq Alaih).” Kejadian ini akhirnya menjadi polemik yang
kontroversial di kalangan umat Islam melihat hal tersebut menjadi dasar
permulaan perkembangan pemahaman hakim dalam memutuskan perkara
kewarisan Islam.
3
Husein Muhammad, dkk., Dawrah Fiqh Concering Women-Modul Kursus Islam dan
Gender, (Cirebon: Fahmina Institute, 2007) h. 257
4
Tentunya bukan hal itu saja yang menjadi polemik dalam peradilan di
Indonesia, pastinya akan menemukan temuan dan pemahaman baru seiring
dengan tempat dan berjalannya waktu. Pelbagai masalah terkait persoalan sipil
sering kali terdengar di Indonesia, dan hal ini menunjukkan bahwa terdapat
permasalahan yang krusial di bidang tersebut. Khususnya persoalan perdata yang
ditemukan penulis tentang waris dan perceraian di tingkat kasasi. Dari penelitian
sementara, terdapat putusan Mahkamah Agung yang masih mengganjal terutama
soal harmonisasi dan sinkronisasi hukum serta rasa keadilan hakim ketika
memutuskan. Soal waris misalnya, penulis menemukan putusan MA tentang
polemik penetapan ahli waris dari pernikahan yang tidak dicatatkan, sehingga
anak dari hasil pernikahan (yang tidak tercatatkan secara administratif) tersebut
diputuskan bahwa ia tidak mendapatkan hak warisnya. Padahal, dalam hukum
Islam hanya 3 macam penghalang mewarisi, yaitu: Perbudakan, pembunuhan dan
berlainan agama. Sedangkan dalam KHI pasal 173 seorang terhalang menjadi ahli
waris, apabila ia: a) membunuh dan menganiaya berat para pewaris, dan b)
memfitnah pewaris melakukan kejahatan. Tidak ada satu pun aturan baik dalam
hukum Islam maupun positif yang menyatakan secara eksplisit bahwa gugurnya
hak seseorang memusakai disebabkan karena perkawinannya tidak dicatatkan.
Adapun
mengenai
persoalan
perceraian,
penulis
menemukan
ketidakharmonisan hukum hakim agung ketika mengadili perkara cerai karena
suami tidak mampu dan istri berpindah agama. Dalam salah satu putusannya
dikatakan menjatuhkan talak satu bain shughra kepada kedua belah pihak. Ketika
memahami kedua fakta hukum yang berbeda tersebut dari perkara cerai gugat
5
seharusnya diputuskan dengan fasakh. Karena dalam hukum Islam salah satu
penyebab jatuhnya fasakh adalah kedua belah pihak telah berpindah agama.
Persoalan ini menjadi gamang ketika putusan MA ini terlihat berbeda pendapat
dengan hakim tingkat pertama dan banding yang memutuskan fasakh bagi
mereka. Sedangkan antara fasakh dan talak merupakan kedua hal yang berbeda.
Jika benar bahwa pilihan tindakan hakim adalah atas hasil pemaknaanpemaknaan yang dipersitegangkan antara nilai, norma, dan berbagai ide abstrak
dengan situasi dan kondisi dalam rangka mencapai tujuan, maka yang sangat
penting dipahami adalah apa pemaknaan-pemaknaan hakim terhadap putusan
yang dibuatnya? Tujuan-tujuan apakah yang ingin dicapai oleh hakim
menjatuhkan putusan seperti yang digambarkan di atas? Bagaimana hakim
memaknai waris non muslim, fasakh dan penghalang waris dari pernikahan yang
tidak dicatatkan?
Jadi yang harus kita pahami adalah bukan pada salah atau benarnya hakim
menjatuhkan putusan, tetapi lebih kepada pertanyaan untuk mencari penjelasan
mengapa hakim sampai menjatuhkan putusan seperti itu. Untuk menemukan hal
tersebut, penulis pada akhirnya tertarik untuk mengkaji dan menyajikannya dalam
sebuah skripsi dengan judul “Analisis Putusan-Putusan Mahkamah Agung
Tentang Permasalahan Yang “Bertentangan” Dengan Nash Tinjauan Fiqh
Indonesia”.
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah.
1. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas, maka batasan masalah dalam
penelitian ini adalah 3 sampel putusan hakim MA yang memutuskan perkara
perdata Islam, yaitu:
a) Putusan Mahkamah Agung No. 577 K/AG/2009 tentang cerai gugat
dan hadhanah karena suami tidak mampu dan istri berpindah agama,
b) Putusan Mahkamah Agung No. 120 K/AG/2005 tentang hak waris
anak dari perkawinan yang tidak tercatat dan tidak ada izin poligami,
c) Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/1999 tentang waris bagi non
muslim.
Adapun yang dimaksud dengan Fiqh Indonesia dalam penelitian ini adalah
kenyataan budaya yang sudah terpatri dalam praktik masyarakat Indonesia yang
didasarkan pada pengembangan beberapa teori dari aliran-aliran yang berkembang
dalam diskursus wacana Ushul al-Fiqh. Maksudnya, fiqh yang berkepribadian
Indonesia melalui pengertian bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk
umat Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan
mereka, yaitu hukum adat/tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia,
yang telah di qanunisasi (di kodifikasi) dalam aturan-aturan hukum yang
ditetapkan oleh pemerintah (Ahl al-Hall wa al-‘Aqd). Dalam penelitian ini
tentunya aturan yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam.
7
2. Rumusan Masalah
Penelitian ini, dilihat dari gambaran latar belakangnya menegaskan bahwa
terdapat sebuah problem hukum yang mengungkap bahwa hakim mengadili dan
memutuskan sebuah permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash mampu
dicerna dan dipahaminya secara kontekstual dari landasan hukum Islam yang ada.
Hal inilah yang membuat penulis tergugah untuk mengangkat permasalahan ini
untuk diteliti dan dianalisa melalui kacamata pemikiran Fiqh Indonesia, dengan
alasan menumbuhkan sikap kearifan lokal dan sosial dalam melihat dan
menanggapi sebuah permasalahan hukum Islam secara lebih teliti dan bijaksana,
serta wawasan dan wacana pemikiran kita pun tentang Islam yang rahmatan lil
‘alamin dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman.
Berdasarkan hal tersebut dan dari uraian-uraian di atas maka dapat
dibentuk suatu rumusan masalah:
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51 K/AG/1999?
2. Bagaimanakah putusan-putusan MA tersebut jika ditelaah melalui
konstruksi berpikir Fiqh Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan
a. Secara umum penelitian ini mengungkap data yang akurat tentang
dasar pertimbangan putusan hakim di Mahkamah Agung dalam
8
memutuskan perkara Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51
K/AG/1999.
b. Secara khusus penelitian ini menganalisa 3 putusan hakim MA yang
“bertentangan” dengan Nash jika ditelaah melalui konstruksi berpikir
fiqh Indonesia. Dengan mengkaji hal itu, maka telah mewakili
tergalinya dan terungkapnya nilai-nilai, gagasan, keyakinan, pola
perilaku hakim dalam mengkonstruksi putusan di bidang Hukum
Keluarga Islam.
2. Manfaat
a. Secara teoritik menjadikan hasil penelitian ini sebagai bagian dari
kumpulan khazanah keilmuan Islam plus referensi lanjutan dalam
penelitian-penelitian analasis putusan pengadilan.
b. Secara praktis penelitian ini menelaah budaya hukum hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara keperdataan Islam secara adil dan
berkesesuaian dengan landasan syariat Islam dan aturan hukum di
Indonesia.
D. Review Studi Terdahulu
Sejauh penelusuran penulis lakukan belum ada secara khusus skripsi yang
meneliti tentang konsep fiqh Indonesia. Namun, terdapat beberapa studi yang
berkaitan dengan pembahasan analisa putusan di salah satu lembaga peradilan
dalam bidang hukum perdata Islam, yaitu:
9
1. Skripsi oleh Istiarini Cahyaningsih, Tahun 2010; Yang berjudul “Ahli
Waris Beda Agama Dan Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita
(Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)”.
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang sejauh mana pola pikir hakim
khususnya di Pengadilan Agama Depok tentang metode atau cara
mengadili dan memutuskan perkara waris bagi non muslim. Dari hasil
penelitiannya ternyata ditemukan bahwa hakim mengabulkan gugatan
bahwa penggugat yang beragama non muslim adalah ahli waris pewaris
yang beragama Islam dengan alasan adanya kesepakatan ahli waris. Hal
inilah yang membuat hakim bertindak secara ultra petita atau memutuskan
perkara melebihi wewenang yang dipinta atau dituntut oleh pihak
penggugat dalam petitum dan positanya.
Skripsi tersebut terdapat kesamaan kasus dengan salah satu kajian hukum
yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu waris bagi non muslim. Yang
menjadi perbedaannya adalah sejauh mana putusan dari kasus tersebut
ditinjau dengan konsep berpikir fiqh Indonesia ditambah yang menjadi
objek kajiannya adalah putusan MA yang mana kedudukannya tidak bisa
dilakukan upaya hukum biasa kecuali dengan Peninjauan Kembali (PK).
2. Skripsi oleh Ria Amaliyah, Tahun 2009; Yang berjudul “Dampak
Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Perempuan”.
Dalam penjelasannya skripsi ini mengungkap tentang perlunya pencatatan
nikah dan khususnya itsbat nikah bagi yang belum dicatatkan dan
didaftarkan pernikahannya di kantor urusan Agama (KUA). Karena dari
10
penjelasan yang dipaparkan terdapat konsekuensi hukum bagi pasangan
khususnya pihak perempuan atau istri dan anak dari hasil pernikahannya,
yaitu hilangnya hak waris-mewarisi, putusnya perwalian bagi anak dari
hasil pernikahan dan lain sebagainya.
Maka dari itu fokus dari penulisan skripsi tersebut untuk mendeskripsikan
(walau kelemahan penulisan ini belum ditopang oleh penelitian resmi)
dampak dari kebalikan kasus, yaitu sebab dari tidak dicatatkan pernikahan
sebelumnya terhadap implikasi penolakan itsbat nikah di pengadilan
agama. Penelitian ini terfokus kepada dampak hukum bagi pihak istri,
namun tidak pada anak. Maka dari itu bila dikaitkan dengan penelitian ini
terdapat kesamaan dalam dampak hukum yang dikenakan yaitu tentang
kewarisan. Namun, yang menjadi perbedaan dengan penelitian ini selain
dari objek kajiannya adalah bilamana dampak hukumnya jika dikenakan
pada anak soal pembagian waris tersebut. Hal inilah yang menjadi salah
satu subjek kajian pembahasan tentang anak dari ayah biologisnya
terhalang mewarisi sebagaimana yang ditemukan penulis dalam putusan
MA.
3. Skripsi oleh Arif Fatwah, Tahun 2007; Yang berjudul “Fasakh Karena
Suami Tidak Mampu Menurut Fuqaha Dan Hukum Di Indonesia”.
Skripsi tersebut memaparkan tentang salah satu alasan putusnya
perkawinan dengan fasakh disebabkan karena suami tidak mampu
memberi nafkah lahir, terutama ketentuan hukumnya. Penulis mengungkap
apakah fasakh merupakan salah satu kategori yang pas dan sesuai dengan
11
salah satu sebab suami tidak mampu memberi nafkah. Hal itulah yang
menjadi
inti
pembahasan
dengan
disertai
aturan
hukum
yang
melandasinya.
Yang menjadi kesamaan dengan penelitian ini adalah salah satu kajian
hukum yang akan dibahas yaitu tentang cerai karena suami tidak mampu,
namun tidak pada kasus yang akan dianalisa pada penelitian ini. Dalam
penelitian ini akan diungkap salah satu kajian hukum tentang sebuah
kejadian tentang dua fakta hukum yang berbeda dan bertentangan di
lapangan tentang hal cerai dan hadhanah yang diputus oleh salah satu
instansi peradilan tertinggi di Indonesia.
Dari pelbagai penjelasan tersebut, akhirnya dapat ditemukan yang menjadi
fokus kajian penelitian ini adalah analisa putusan MA terkait dengan
permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash melalui tinjauan konsep fiqh
Indonesia.
E. Kerangka Teori.
Putusan Mahkamah Agung adalah putusan Majelis Hakim Agung di
Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi
kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam
lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga.
Putusan tersebut nantinya akan dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim
untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang
12
memiliki kekuatan mengikat secara relatif.4 Yang dalam prosesnya kelak setelah
dilakukan kualifikasi oleh tim khusus dan apabila dianggap layak maka akan
dipublikasikan yang kemudian dinamakan dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, hakim memiliki tugas mengadili
persoalan masyarakat dengan menerapkan peraturan yang tertulis dalam undangundang. Akan tetapi, dalam realitasnya fenomena sosial bersifat dinamis dan
selalu berubah. Undang-undang tidak akan lagi mampu menyelesaikan semua
kasus yang dihadapinya. Dalam posisi yang terpojokkan seperti itu, hakim
diharuskan menemukan solusi atas permasalahan hukum yang dihadapinya (Pasal
16 ayat 1 UUPKK 4/2004) dengan menggali makna yang ada dalam teks undangundang dan menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding).5
Penemuan
hukum
lazimnya
diartikan
sebagai
proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit.
Maka, untuk mengungkap makna hukum dari subjek (hakim) yang
membuat putusan tersebut, hermeneutika hukum merupakan peranti teoritis yang
paling tepat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap bentuk dan produk perilaku
antar manusia itu (termasuk produk hukum berupa putusan hakim) akan selalu
ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati oleh para aktor yang
4
t.p., Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia, artikel diakses pada tanggal 23 Januari
2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Indonesia
5
Muh. Nashirudin, Interpretasi Hukum (Menuju Penafsiran Hukum yang Berkeadilan),
artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2014 dari http://sofianasma.wordpress.com/ 2010/ 12/ 16/
interpretasi hukum menuju penafsiran hukum yang berkeadilan/
13
tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja akan memberikan keragaman
maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai objek. Kajian hermeneutika
membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tak hanya berkutat
menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal melulu. Kajian ini
dengan strategi metodologinya to Learn from The people mengajak menggali dan
meneliti makna-makna hukum dari perspektif penegak hukum yang terlibat dan
pengguna dan atau pencari keadilan.6
Untuk menggali dan mengungkap makna-makna yang tersembunyi di
balik putusan hakim dalam menyelesaikan perkara di bidang perdata Islam,
penulis menempatkan pisau analisanya dalam domain Fiqh Indonesia sebagai
upaya menyelaraskan antara dimensi hukum Islam dengan budaya dan sistem
hukum di Indonesia (yang tentunya berbeda) dalam menemukan jawaban hukum
yang progresif dan berkeindonesiaan.7
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Data
Pada dasarnya jenis data yang digali dalam penelitian ini ada dua macam:
6
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 8
7
Penulis meminjam istilah yang digunakan M. Syamsudin dalam penelitian yang
bertujuan menemukan makna di balik tindakan hakim dalam membuat putusan dengan fokus studi
“budaya hukum hakim”. Baca M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis
Hukum Progresif (Jakarta: Kencana, 2012), h. 6
14
a. Data primer adalah data-data yang didapatkan langsung dari lapangan.8
Yakni bisa didapatkan melalui transkrip atau salinan putusan yang
membahas tentang permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash
yaitu putusan MA Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51
K/AG/1999.
b. Data skunder adalah data-data pendukung yang didapatkan dari
perpustakaan, brosur dan sebagainya.9 Yakni penjelasan-pejelasan
tentang perihal konstruksi berpikir Fiqh Indonesia berupa metodemetodenya dan penjelasan dari putusan kasasi yang berkaitan langsung
dengan perkara yang dianggap bertentangan dengan Nash melalui
wawancara langsung hakim yang berkompeten dibidangnya yaitu
hakim agung kamar perdata agama.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi tujuan maka penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif, yaitu untuk mengevaluasi sejauh mana pola pikir para hakim
dalam menganalisa dan memutuskan perkara yang dianggap bertentangan
dengan Nash Sharih. Dan dilihat dari sumbernya penelitian ini termasuk
penelitian kepustakaan. Penelitian Kepustakaan atau Library Research
merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan
informasi dengan bantuan berbagai buku.10 Yakni buku-buku Agama
8
Nasution, Metode Research, (Jakarta:Bumi Aksara, Cetakan I, 1995), h. 143.
9
Nasution, Metode Research, (Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan I, 1995), h. 143.
10
Kartini Kartono, Metodologi Research Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33.
15
khususnya tentang Fiqh Indonesia, Undang-undang, yurisprudensi MA
dan buku rujukan lainnya.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data secara mendalam, penulis menggunakan data:
a. Dokumentasi
Yang dimaksud dengan dokumentasi adalah mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa transkrip, catatan, buku dan
sebagainya.11
b. Wawancara
Yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab
atau narasumber.12 Dan mengenai hal ini, yang menjadi pokok bahasan
wawancara adalah putusan MA tersebut, dan sebagai narasumber
adalah salah satu hakim agung kamar perdata agama di Mahkamah
Agung RI.
Setelah penulis menelaah data, maka penulis menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Digunakannya metode tersebut agar data yang
diperoleh tidak diukur dengan angka atau huruf.
4. Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data yang diperoleh, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
11
Suharsimi Arikunto, Metodologi Risearch, (Yogyakarta: UGM, 1986), h. 136.
12
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, cetakan III, 1988), h. 234.
16
a. Komparatif, yakni membandingkan dan menyesuaikan antara teori dan
praktek, yang menjadi objek perbandingan adalah antara putusan MA
dengan Teori Fiqh Indonesia.
b. Interpretatif, yakni memberikan penafsiran terhadap istilah-istilah
hukum yang digunakan oleh lembaga peradilan dan istilah-istilah lain
dalam konsep Fiqh Indonesia.
c. Evaluatif,
yakni
mengevaluasi
putusan-putusan
MA
dalam
permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “petunjuk penulisan skripsi, tesis dan
disertasi” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari Lima Bab, antara lain sebagai
berikut:
Bab pertama mengenai pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar
belakang masalah yang akan dibahas, batasan dan rumusan masalah yang akan
dikaji, tujuan dan manfaat dari penelitian, metode penelitian yang digunakan,
tinjauan studi terdahulu, kerangka teori sebagai gambaran tentang teori yang
digunakan dalam penelitian dan yang terakhir tentang sistematika penulisan atau
isi dari ringkasan bab dalam penulisan skripsi ini.
Bab kedua memaparkan tentang teori fiqh Indonesia sebagai alat uji
putusan-putusan MA, meliputi penjelasan tentang definisi operasional fiqh
17
Indonesia, penggagas konsep fiqh Indonesia dan yang terakhir tentang metode dan
model berpikir fiqh Indonesia.
Bab ketiga mendeskripsi tentang Mahkamah Agung sebagai salah satu
instansi peradilan di Indonesia. Membahas sekilas tentang keadaan umum sejarah
Mahakamah Agung, tugas dan fungsi Mahkamah Agung serta kewenangan yang
dimilikinya. Dalam bab ini pula akan memaparkan dasar pertimbangan dari 3
putusan MA yang “bertentangan” dengan landasan hukum Islam.
Bab
keempat
menjelaskan
tentang
analisa
putusan
MA
yang
“bertentangan” dengan Nash melalui tinjauan konsep berpikir Fiqh Indonesia.
Yaitu berisi tentang hasil analisa penulis yang dipaparkan satu persatu dari ketiga
putusan tersebut.
Bab kelima penutup, yang membahas dua hal yaitu tentang kesimpulan
dari hasil penelitian dan saran-saran.
18
BAB II
FIQH INDONESIA
A. Definisi Operasional Fiqh Indonesia
Kata “fiqh” berasal dari bahasa Arab, faqiha – yafqahu – fiqhan, yang
berarti al-fahmu (paham), yakni al-fahmu ash-shahih (pemahaman yang benar).
Tentu saja pemahaman ini adalah pemahaman orang, yang pada umumnya „alim,
baik secara individual maupun kolektif, terhadap sumber ajaran Islam (Al-Quran
dan Hadis) untuk memperoleh ketentuan hukum yang dibutuhkan umat Islam
dalam kehidupan yang dihadapinya pada ruang dan waktu tertentu.13
Sebagai pemahaman atas teks Al-Quran dan Hadis, tentu saja posisi fiqh
berbeda dengan posisi Al-Quran dan Hadis itu sendiri. Jika Al-Quran itu qadim
(azali), maka fiqh itu hadis (temporal). Jika Al-Quran bersifat universal dan
mutlak benar (qath’i ats-tsubut), maka fiqh bersifat partikular, fleksibel, dan
kebenarannya relatif (zhanni ats-tsubut). Mengapa begitu? Karena fiqh lahir dari
akal yang bersifat subyektif, sementara Al-Quran adalah bersifat otoritatif berasal
dari wahyu Allah yang melintasi ruang dan waktu dan tidak ada intervensi akal
sama sekali.14
Oleh karena itu, fiqh adalah produk anak zaman. Ia lahir, tumbuh, dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya pada kerangka ruang dan
13
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Cirebon: ISIF, 2014), h. x
14
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. x
19
waktu yang mewadahinya. Fiqh berubah sesuai dengan perubahan sosial. Fiqh
juga berbeda sesuai dengan perbedaan para pemikirnya, pembentuknya, dan
pengembangannya dari satu waktu ke waktu lain, atau dari suatu tempat ke tempat
lain. Tidak heran bila kemudian lahir sejumlah mazhab fiqh yang berbeda satu
sama lain meskipun bersumber pada Al-Quran dan Hadis yang sama dan belajar
dari guru yang sama, atau bahkan berbeda dengan gurunya sendiri.15
Dari kenyataan ini, menurut KH Said Aqil Siradj Islam sebetulnya
menganut pluralisme hukum (ta’addud al-fiqh). Asumsi ini menurutnya diperkuat
dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al-ijtihadu la yunqadhu bi mitslihi (alijtihad) (hasil satu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain).
Artinya, Islam sesungguhnya mengakui otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar
akademik, termasuk juga kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir. Di
dalam fiqh tidak berlaku asas hukum positif yang berbunyi lex posteriori derogat
legi priori (hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama), dan lex
superior derogat legi inferiori (hukum yang urutan atau tingkatannya lebih tinggi
mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah).16
Atas dasar ini, fiqh tidak saja berbeda karena perbedaan imamnya dan
metode perumusan hukumnya, tetapi juga bisa berbeda karena perbedaan
geografis (lokus hukum). Meskipun sama-sama Syafi‟iyyah, tetapi Syafi‟iyyah di
Yaman atau Suriah berbeda dengan Syafi‟iyyah di Indonesia. Apalagi sejarah
pernah mencatat ketika Imam Syafi‟i sendiri pernah memutuskan dan menerapkan
15
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. x-xi
16
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xi
20
hukum yang berbeda ketika beliau berada didua tempat yang berbeda pula, yaitu
Baghdad dan Mesir. Sehingga menjadi suatu hal yang tidak dapat dipungkiri
karena tidak lain fiqh pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi, keadaan,
adat, dan budaya di mana fiqh itu dipraktikan. Fiqh selalu berinteraksi secara
dinamis dengan problematika sosial yang beragam. Fiqh di suatu tempat adalah
bagian dari bangunan kebudayaan tempat tersebut. Demikian juga fiqh pada suatu
masa adalah bagian dari kebudayaan pada masa itu. Dengan demikian, fiqh adalah
produk dari dan memproduksi kebudayaan di mana fiqh diterapkan.17
Meski begitu, fiqh selalu memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
ruang dan waktu. Fiqh selalu shalihun li kuli zamanin wa makanin (sesuai bagi
segala ruang dan waktu), bukan karena universalitasnya, tetapi karena fiqh bisa
berubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Kaidah
fiqhiyyah yang populer menyatakan bahwa la yunkaru taghayyuru al-ahkami bi
taghayyuri al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal (tidak dapat dipungkiri bahwa
perubahan hukum tergantung pada perubahan waktu, tempat, dan keadaan). 18 Kita
mengetahui dengan pasti bahwa masalah-masalah al-ahwal asy-syakhsiyyah
(hukum keluarga) merupakan bagian dari masalah-masalah yang bisa berubahubah kemaslahatannya. Langkah-langkah perubahan tersebut justru di dalam
rangka menegakkan prinsip-prinsip Syari‟ah (Maqashidus Syariah) dalam situasisituasi yang berubah.19
17
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h.xii
18
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xi-xii
21
Di lain sisi, pada awal abad XX ide pemikiran tentang konsepsi dan
formulasi pembentukan hukum Islam (fiqh) telah dimulai, beberapa cara dan
upaya untuk menginkorporasikan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur
kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hukum Islam ternyata telah dilakukan oleh
banyak kalangan. Para pemikir hukum Islam di Indonesia fase awal telah
mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam
ijtihad hukum yang mereka lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul
seorang mujtahid mutsaqil, tentunya dengan independensi metode penemuan
hukum sendiri, kita dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisis
penemuan hukum yang kreatif, cerdas, dan inovatif.20
Kurang empirisnya wacana yang dikembangkan dalam pemikiran
keislaman, mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan
sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Kungkungan pola pikir para ulama yang
fahm al-’ilm li al-inqiyad ketika memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di
dalam khazanah literatur klasik (tsarwah fiqhiyyah), membuat eksistensi hukum
Islam tampak resisten, tidak mampu mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia
hadir bagai barang asing bagi persoalan sosial politik. Para ulama telah melupakan
sejarah dan menganggap bahwa mempelajari sejarah tidaklah penting, sehingga
kritik terhadap dimensi ini nyaris tidak ada. Paradigma sejarah akan mengubah
tata cara memahami fiqh sebagai produk pemikiran yang bersifat nisbi (qabil li
an-niqasy), bukan sebagai kebenaran ortodoksi-mutlak, yang absolutitas nalarnya
19
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xxxiii
20
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 62
22
mendeportasi tradisi, kritik dan pengembangan. Hilangnya kesadaran sejarah
(sense of history) inilah, dalam amatan Soekarno, yang telah menyebabkan
pembaruan pemikiran Islam yang telah dilakukan tidak menunjukkan kontitum
yang jelas. Diperlukan pergeseran paradigma (shift of paradigm) dari pola fahm
al-‘ilm li al-inqiyad ke pola fahm al-’ilmi li al-intiqad, dalam upaya memahami
segala bentuk warisan dan produk pemikiran masa lalu.21
Pengkultusan (taqdis) atas pemikiran hukum Islam yang telah terjadi dan
yang hingga sekarang masih berlangsung, harus ditinjau ulang dalam kerangka
dasar meletakkan pemahaman baru yang mampu menegakkan prinsip-prinsip
Syari‟ah (Maqashidus Syariah) dalam situasi-situasi yang berubah. Konsep dan
pemikiran hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing harus segera dicarikan
alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikkan di Indonesia.
Eksistensi hukum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi
yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan juga tidak berdaya
guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi
mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman. Hukum Islam harus mampu
menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang bidang
muamalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Hukum Islam harus mampu
hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan
masyarakat.22
21
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, h. 63-64
22
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, h. 64-65
23
Berdasarkan hal di atas dan melihat kenyataan bahwa praktik hukum Islam
masyarakat Indonesia juga begitu beragam (plural) sesuai dengan karakter,
ideologi dan mazhab masing-masing individu dan kelompok, baik yang
terorganisir ataupun tidak, baik yang sesuai dengan aturan hukum negara ataupun
tidak. Maka sebagai sebuah keragaman yang mengepal menjadi tradisi keislaman
dan tertampung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah menurut
pandangan fiqh, segala praktik keislaman tersebut dalam negara Indonesia dapat
dipandang sebagai sebuah Fiqh Indonesia.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual, saatnya kita berani untuk
menyatakan bahwa keberagaman yang kita rasakan merupakan sebuah
keniscayaan tradisi keislaman bangsa Indonesia sejak dahulu Islam mulai
menyebar hingga menjadi agama mayoritas di negara ini. Islam sudah
mengajarkan pluralisme jauh sebelum pemikiran post-modernisme merebak di
abad ke-20. Perbedaan merupakan hukum alam.23 Keberagaman itu mulai kita
rasakan tidak hanya dimulai dari penciptaan Adam dan Hawa, suku, bangsa
maupun agama, melainkan pula prinsip dan ideologi yang dipegang oleh setiap
individu dan kelompok yang dapat mereka pertanggungjawabkan masingmasing.24 Apalagi ketika melihat watak dasar fiqh (yang tidak boleh digantikan
oleh sejarah) adalah adanya ketersediaan pilihan-pilihan hukum lebih dari satu
(dzu wujuhin) dalam satu masalah sosial keagamaan.25
23
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan
Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), h. 66
Ada sebuah pepatah Arab mengatakan “Li Kulli Ra’sin Ra’yun”, artinya di setiap
kepala manusia memiliki pemahaman masing-masing yang berbeda.
24
24
Penyebutan “Fiqh Indonesia” mungkin terkesan hiperbolik (melihat
beragamnya pemahaman tentang hukum Islam) atau bahkan simplistis. Namun
“hukum Islam di Indonesia” tentu tidak hanya milik kelompok tertentu saja,
melainkan jauh lebih kaya dan tersebar ke berbagai jantung kehidupan
masyarakat, misalnya bahtsul masa’il, majelis tarjih, majelis fatwa, dewan hisbah
dalam ormas-ormas keislaman, perguruan tinggi Islam, majelis ta‟lim dan pondok
pesantren yang jumlahnya ribuan. Ini semua adalah kekayaan pemahaman hukum
Islam, terlebih lagi bila dikaitkan dengan praktik hukum Islam yang menyatu
dengan denyut kebudayaan Indonesia.26
Adanya penisbatan pada corak fiqh yang dihasilkan pun sebagai sebuah
kekayaan produk pemikiran hukum Islam oleh para ulama dan intelektual Islam
Indonesia, seperti penyebutan Fiqh Mazhab Nasional (Hazairin, 1950-an),
Reaktualisasi Ajaran Islam (Munawir dkk, 1988), Agama Keadilan (Masdar F.
Mas‟udi,-), Pribumisasi Islam (Abdurrahman Wahid, 1988), Fiqh Sosial (M.A.
Sahal Mahfudh dan Ali Yafie,-), dan seterusnya, merupakan nomenklaturnomenklatur atau tema-tema pemikiran hukum Islam (themes of Islamic Law)
yang ajarannya memiliki tujuan yang sama, responsi terhadap modernisasipembangunan demi terciptanya kemaslahatan berbasis keadilan berdasarkan
maqashidus syariah dan keindonesiaan (adat dan budaya Indonesia beserta
konstitusinya). Semua keragaman pemahaman dan praktik hukum Islam di
Indonesia di atas sebanding dengan banyaknya ragam kebudayaan itu sendiri di
25
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. 194
26
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xxxviii
25
setiap pojok Indonesia, dan ke segala hal tersebut merupakan hasil representasi
PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
RAHMAT YUDISTIAWAN
NIM : 1110044100007
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG
PERMASALAHAN YANG “BERTENTANGAN” DENGAN NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Rahmat Yudistiawan
NIM. 1110044100007
Di Bawah Bimbingan:
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ANALISIS PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
TENTANG
PERMASALAHAN
YANG
“BERTENTANGAN”
DENGAN
NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Januari 2015. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 5 Januari 2015
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1 Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2 Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3 Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 5 Januari 2015
iv
ABSTRAK
RAHMAT YUDISTIAWAN, NIM: 1110044100007, ANALISIS
PUTUSAN-PUTUSAN
MAHKAMAH
AGUNG
TENTANG
PERMASALAHAN
YANG
“BERTENTANGAN”
DENGAN
NASH
TINJAUAN FIQH INDONESIA. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. v+103
Keberadaan Mahkamah Agung sangat berperan dalam menyelesaikan
problematika sosial kekinian yang terus berkembang. Sebab ia merupakan instansi
atau lembaga tertinggi pemerintah di bidang yudikatif yang bertugas dalam
menerima, mengadili dan memutuskan perkara di tingkat kasasi. Oleh karenanya,
bidang perdata agama merupakan konstruksi yang saat ini terus berubah-ubah
kemaslahatannya. Seperti kasus waris non-muslim, akta nikah sebagai penentu
sahnya pernikahan dan alasan-alasan perceraian tentunya pernah dihadapi oleh
para hakim di Mahkamah Agung. Kasus-kasus tersebut merupakan hal baru dalam
hukum Islam yang belum terkonsep secara tekstual dalam Nash maupun yang
tertuang dalam kitab-kitab Fiqh Klasik. Tujuan penelitian ini diperuntukkan
menjawab kegamangan problematika kekinian umat Islam sekaligus menganalisis
produk hukum Mahkamah Agung yang tertuang dalam putusan-putusan tentang
kasus-kasus yang telah disebutkan sebelumnya yang menurut hukum Islam
“bertentangan” dengan Nash.
Penelitian ini menggunakan teori Fiqh Indonesia sebagai pisau analisa
dalam meninjau putusan-putusan tentang permasalahan yang “bertentangan” pada
Nash Al-Quran dan Hadits dengan jenis penelitian kualitatif yang menekankan
kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif analatis. Metode yang digunakan
berdasarkan pada metode ijtihad Fiqh Indonesia yang terbagi menjadi dua
konstruk berpikir yang berbeda, yaitu Urf atau Tradisi Islam Indonesia sebagai
Grand Thoerynya dan Fiqh Mazhab Negara atau Hukum Terapan sebagai
Aplicative Theorynya. Teknik pengumpulan data yang digunakan, untuk data
primer diperoleh dari putusan-putusan Mahkamah Agung, buku teori Fiqh
Indonesia dan peraturan perundang-undangan, sedangkan data sekundernya
diperoleh dari jurnal, artikel, makalah dan kitab-kitab lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan (1) bahwa ketiga putusan
tersebut telah sesuai dengan konstruk berpikir Fiqh Indonesia, (2) hal tersebut
terjawab sudah ketika hasil yang didapat menunjukkan bahwa pendekatan yang
dianut oleh para hakim dalam memecahkan masalah menuju kepada pemahaman
Fiqh Indonesia (3) kasus ahli waris non muslim tidak terlepas kepada isu HAM
dan prinsip pluralitas kehidupan bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika,
pencatatan pernikahan merupakan bukti autentik yang telah membudaya sebagai
tertib administratif bangsa Indonesia, dan kasus alasan putusnya perkawinan yang
ditentukan sesuai dengan kemaslahatan umum masyarakat Indonesia.
Kata kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Fiqh Indonesia, Waris Non-Muslim, Pencatatan Pernikahan,
Perceraian
: Hj. Rosdiana, MA
: Tahun 1966-2014
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Suhanahu wa ta’ala yang
telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat
pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada keluargaku tercinta ayahanda Ir.
Sugirno, M.Si dan ibunda Dra. Siti Djumalia beserta adik-adik penulis Naili
Ihdayati dan M. Dzakwan Firdaus dan terkhusus kepada pamanku Dr. Ahmad
Rajafi, M.Hi. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka.
Skripsi ini ditulis merupakan bagian dan persyaratan untuk menyelesaikan
studi (pendidikan) program stratasatu (S1) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Konsentrasi Peradilan Agama. Atas bantuan semua pihak dalam proses
penyelesaian skripsi ini sesuai dengan rencana tak lupa dihaturkan terima kasih
sedalam-dalamnya. Secara rinci ungkapan terima kasih itu disampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Phil. JM Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH., Ketua Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
vi
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Hj. Rosdiana, MA., selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan
waktu
dalam
membimbing,
mengarahkan,
dan
memotivasi hingga skripsi ini selesai.
5. Ibu Maskufa., MA., sebagai dosen Pembimbing Akademik yang
mengarahkan penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini dan staf-staf karyawan yang membantu
proses administrasi penulis.
7. Seluruh pegawai dan staf Mahkamah Agung RI terkhusus Hakim
Agung Mahkamah Agung Dr. Habiburrahman, MA., yang telah ikut
membimbing dan banyak memberikan bantuan dan data lapangan
demi selesainya sekripsi ini.
8. Pegawai Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum serta Perpustakaan Nasional RI yang telah memberikan
informasi, data, referensi, dan lain-lain.
9. Kakek Drs. H. Ah. Sahran Baharup dan Nenek Hj. Siti Raudlah
tercinta beserta Cicik Baiti, Bakcek Welmi, Mamak Tutin, Ibung Eni,
Cicik Eeng, Om Eko dan Ibung Resi yang senantiasa membantu,
mendoakan, serta memberikan dukungan penuh dalam upaya
penyelesaian tulisan ini.
vii
10. Temen-temen kosku Bagus Septian, Mahendra, Wildan al-Farabi dan
Imam Furqani yang senantiasa menemani penulis.
11. Rekan-rekan
Mahasiswa
yang
telah
ikut
membantu
proses
penyelesaian skripsi ini, Teman-teman kelasku, Nurdin, Anas
Maulana, Ahmadi, M. Irfan Rizkiani, Adib, Husnul, Baim, Muhdi,
Adam, Syauqi, Neneng, Lubis, Sena dan lain-lain yang tidak bisa
disebutkan semua, serta teman-teman angkatan 2010 khususnya Prodi
Ahwal Al-Syakhsiyyah yang ku banggakan. Kenangan indah yang
tidak akan terlupakan bersama kalian semuanya.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukunganya,
hanya doa semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada
semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya, diharapkan betapapun kecilnya karya tulis (hasil penelitian) ini dapat
menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman di abad modern ini.
Ciputat, 5 Januari 2014.
Penulis,
RAHMAT YUDISTIAWAN
NIM. 1110044100007
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................... 8
D. Review Studi Terdahulu .................................................... 9
E. Kerangka Teori .................................................................. 12
F. Metode Penelitian .............................................................. 14
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 17
BAB II
FIQH INDONESIA ............................................................... 19
A. Definisi Operasional Fiqh Indonesia ................................. 19
B. Penggagas Konsep Fiqh Indonesia .................................... 26
C. Metode dan Model Berpikir Fiqh Indonesia ..................... 32
BAB III
PENGAMBILAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG .... 44
A. Sekilas Profil Mahkamah Agung Indonesia ...................... 44
1. Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung ....................... 44
ix
2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Agung......................... 49
B. Dasar Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung............... 53
1. Putusan Nomor 51 K/AG/1999 Tentang
Ahli Waris Non-Muslim............................................. 53
2. Putusan Nomor 120 K/AG/2005 Tentang
Hak Waris dari Pernikahan yang Tidak
Dicatatkan dan Tidak Ada Izin Poligami ................... 55
3. Putusan Nomor 577 K/AG/2009 Tentang
Cerai Gugat dan Hadhanah (Hak Asuh Anak) .......... 56
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG ............... 58
A. Putusan Nomor 51 K/AG/1999 Tentang
Ahli Waris Non-Muslim .................................................... 58
B. Putusan Nomor 120 K/AG/2005 Tentang Hak Waris
dari Pernikahan yang Tidak Dicatatkan dan Tidak
Ada Izin Poligami .............................................................. 70
C. Putusan Nomor 577 K/AG/2009 Tentang
Cerai Gugat dan Hadhanah (Hak Asuh Anak) ................. 78
BAB V
PENUTUP .............................................................................. 99
A. Kesimpulan ........................................................................ 99
B. Saran-saran ........................................................................ 101
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 102
LAMPIRAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan sosial merupakan salah satu faktor munculnya konflik sosial
yang terdiri dari masalah-masalah baru. Hal ini sesuai dengan apa yang
dinyatakan Ian Robertson seorang sosiolog dari University of California Los
Angeles “Social Change is The alteration of patterns of culture, Social structure
and Social behaviours overtimes” perubahan sosial ialah perubahan pola budaya
dalam masyarakat, struktur sosial dan perilaku masyarakat yang terjadi setiap
waktu. Adapun yang mempengaruhi perubahan sosial itu terjadi disebabkan
karena adanya faktor persinggungan budaya antara wilayah baik secara nasional
maupun internasional, perkembangan teknologi, ide-ide baru (ideologi) dan hal
lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan baru tersebut pada akhirnya harus
dicarikan dan ditemukan solusi atau pemecahannya demi sebuah kemaslahatan.
Islam sebagai agama yang memiliki pengikut terbesar pun pada akhirnya
akan mendapati dan menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut, akan tetapi
sejak jauh-jauh hari Allah SWT telah menjelaskan di dalam al-Qur‟an agar kita
dapat mengembalikan semua permasalahan yang ada kepada Allah, Rasul-Nya
dan Ulil Amri (Pemimpin), sebagaimana firman-Nya:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
1
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. AnNisa‟ : 59)1
Kadang kala dari permasalahan baru yang terjadi di lingkungan kita, tidak
dapat disesuaikan dengan landasan aturan yang ada. Maka dapat dikatakan hal
tersebut dianggap bertentangan oleh sebagian kalangan sehingga dengan mudah
men-judge akan hal baru tersebut dengan hukum yang salah. Oleh karenanya,
haruslah ada di sekitar kita orang-orang yang mampu akan memahami
permasalahan di sekitar kita dengan menghadapinya secara bijak dan adil serta
mampu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak khususnya umat
Islam. Di sinilah peran penting ulama dan umaro (pemerintah) dalam menghadapi
permasalahan perubahan sosial dan perkembangan zaman di setiap lini kehidupan
masyarakat. Karena sebagaimana Imam Ghazali mengatakan “Agama jika di
topang dengan kekuasaan akan kuat dan kekuasaan jika ditopang oleh agama
akan kekal.”
Sedikit kita flash back tentang sejarah perkembangan hukum dalam
pemerintahan Islam ketika menghadapi permasalahan dan perubahan zaman,
Khulafa‟ al-Rasyidin adalah penafsir hukum pertama, semua ijtihad di bawah
payung nilai dan norma al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman dan
pertimbangan yang kontekstual. Semasa mereka banyak kontribusi besar dalam
evolusi pemikiran hukum Islam yang dapat dipetakan dalam tiga hal, yaitu: (1)
meneruskan pemerintahan Rasulullah saw dalam bidang politik dan luar negeri;
(2) berhasil mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan (dakwah bil fi’li dan
dakwah bil qauli); (3) berhasil menciptakan konsep pola pemikiran hukum dan
1
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, PT.Karya Toha Putra, Semarang,
1998, hlm. 162.
2
panduan memahami ajaran Islam ketika berhadapan dengan tantangan dan
perubahan zaman.
Hukum Islam atau fiqh pada masa ini muncul dengan satu corak sendiri
dalam dunia hukum yang pernah dikenal manusia, karena tidak hanya sekedar isi
dari al-Quran dan Sunnah, tetapi meluas kepada aturan dan pemikiran umat Islam
yang setia dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah. Hukum Islam tidak hanya yang
ditentukan dalam catatan sejarah, tetapi juga mungkin untuk berkembang selama
umat Islam masih ada. Segala persoalan sosial yang berkaitan dengan masyarakat
muslim dan diberikan aturannya dengan nilai-nilai keislaman, maka aturan
tersebut adalah hukum Islam, sehingga hukum ini tidak lagi sebagai identitas
agama saja, tetapi juga identitas manusia.2
Akhirnya dalam sejarah perkembangan fiqh selanjutnya, dikenallah istilah
baru yaitu fiqh Irak, fiqh Madinah, fiqh Syam dan fiqh Maghrib. Ada pula fiqh ahl
ra‟yi dan fiqh ahli hadits. Dan yang lebih menggaung dan terkenal di telinga
masyarakat kita saat ini yaitu adanya fiqh Hanafi (w. 150H), fiqh Maliki (w.
179H), fiqh Syafi‟i (w. 204H) dan fiqh Hanbali (241H). Di Indonesia pun, sejak
pertama Islam masuk telah dikenalkan berbagai aliran pemikiran fiqh yang lahir
dan berkembang di Indonesia. Ada pemikiran Syekh Abdurrauf Singkel (16431693M), Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh
Nawawi Banten (1230H/1813M-1314H/1897M), KH. Hasyim Asy‟ari (18711947M), KH. Ahmad Dahlan dan banyak lagi yang lain. Di antara pemikir hukum
kontemporer yang tercatat memberi andil besar pada perkembangan aturan hukum
2
Abdul Karim Munthe, Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat, diakses pada tanggal
29 Januari 2014 dari http://abdulkarim munthe.blogspot.com/2013/02/hukum islam dan perubahan
masyarakat
3
di Indonesia dikenal dengan fiqh Indonesianya, adalah TM. Hasbi ash-Shiddieqi
(1905-1975) yang selanjutnya akan menjadi salah satu tolak ukur dalam penelitian
ini melihat filosofi dan sejarah aturan hukum Islam yang telah dikodifikasi dan
dilegitimasi tidak terlepas dari teori fiqh Indonesia Hasbi.3
Perkembangan dan perubahan sosial adalah faktor penting lahirnya ijtihad,
sebab pada saat terjadi permasalahan atau kasus baru yang berbeda tentunya akan
memerlukan aturan. Lalu aturan yang seperti apa yang pantas dan sesuai bila
permasalahan tersebut merupakan hal baru dalam Islam bahkan terkesan
“bertentangan” dengan Nash al-Quran dan Hadis? Dan bagaimanakah cara
menghadapinya? Hal ini membuat penulis teringat dengan sebuah permasalahan
hukum yang pernah terjadi di Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 1999
tentang kewarisan Islam. Terdapat perkembangan pemahaman Islam yang
diputuskan oleh pemerintah kita yang memegang tampuk tertinggi peradilan
bahwa seorang ahli waris non muslim bisa mendapatkan haknya melalui jalur
wasiat wajibah. Padahal, aturan hukum Islam dengan jelas menyebutkan yang
menjadi penghalang seseorang mendapatkan bagian warisan salah satunya adalah
berlainan agama. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Orang Islam tidak dapat
mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang
Islam. (HR. Muttafaq Alaih).” Kejadian ini akhirnya menjadi polemik yang
kontroversial di kalangan umat Islam melihat hal tersebut menjadi dasar
permulaan perkembangan pemahaman hakim dalam memutuskan perkara
kewarisan Islam.
3
Husein Muhammad, dkk., Dawrah Fiqh Concering Women-Modul Kursus Islam dan
Gender, (Cirebon: Fahmina Institute, 2007) h. 257
4
Tentunya bukan hal itu saja yang menjadi polemik dalam peradilan di
Indonesia, pastinya akan menemukan temuan dan pemahaman baru seiring
dengan tempat dan berjalannya waktu. Pelbagai masalah terkait persoalan sipil
sering kali terdengar di Indonesia, dan hal ini menunjukkan bahwa terdapat
permasalahan yang krusial di bidang tersebut. Khususnya persoalan perdata yang
ditemukan penulis tentang waris dan perceraian di tingkat kasasi. Dari penelitian
sementara, terdapat putusan Mahkamah Agung yang masih mengganjal terutama
soal harmonisasi dan sinkronisasi hukum serta rasa keadilan hakim ketika
memutuskan. Soal waris misalnya, penulis menemukan putusan MA tentang
polemik penetapan ahli waris dari pernikahan yang tidak dicatatkan, sehingga
anak dari hasil pernikahan (yang tidak tercatatkan secara administratif) tersebut
diputuskan bahwa ia tidak mendapatkan hak warisnya. Padahal, dalam hukum
Islam hanya 3 macam penghalang mewarisi, yaitu: Perbudakan, pembunuhan dan
berlainan agama. Sedangkan dalam KHI pasal 173 seorang terhalang menjadi ahli
waris, apabila ia: a) membunuh dan menganiaya berat para pewaris, dan b)
memfitnah pewaris melakukan kejahatan. Tidak ada satu pun aturan baik dalam
hukum Islam maupun positif yang menyatakan secara eksplisit bahwa gugurnya
hak seseorang memusakai disebabkan karena perkawinannya tidak dicatatkan.
Adapun
mengenai
persoalan
perceraian,
penulis
menemukan
ketidakharmonisan hukum hakim agung ketika mengadili perkara cerai karena
suami tidak mampu dan istri berpindah agama. Dalam salah satu putusannya
dikatakan menjatuhkan talak satu bain shughra kepada kedua belah pihak. Ketika
memahami kedua fakta hukum yang berbeda tersebut dari perkara cerai gugat
5
seharusnya diputuskan dengan fasakh. Karena dalam hukum Islam salah satu
penyebab jatuhnya fasakh adalah kedua belah pihak telah berpindah agama.
Persoalan ini menjadi gamang ketika putusan MA ini terlihat berbeda pendapat
dengan hakim tingkat pertama dan banding yang memutuskan fasakh bagi
mereka. Sedangkan antara fasakh dan talak merupakan kedua hal yang berbeda.
Jika benar bahwa pilihan tindakan hakim adalah atas hasil pemaknaanpemaknaan yang dipersitegangkan antara nilai, norma, dan berbagai ide abstrak
dengan situasi dan kondisi dalam rangka mencapai tujuan, maka yang sangat
penting dipahami adalah apa pemaknaan-pemaknaan hakim terhadap putusan
yang dibuatnya? Tujuan-tujuan apakah yang ingin dicapai oleh hakim
menjatuhkan putusan seperti yang digambarkan di atas? Bagaimana hakim
memaknai waris non muslim, fasakh dan penghalang waris dari pernikahan yang
tidak dicatatkan?
Jadi yang harus kita pahami adalah bukan pada salah atau benarnya hakim
menjatuhkan putusan, tetapi lebih kepada pertanyaan untuk mencari penjelasan
mengapa hakim sampai menjatuhkan putusan seperti itu. Untuk menemukan hal
tersebut, penulis pada akhirnya tertarik untuk mengkaji dan menyajikannya dalam
sebuah skripsi dengan judul “Analisis Putusan-Putusan Mahkamah Agung
Tentang Permasalahan Yang “Bertentangan” Dengan Nash Tinjauan Fiqh
Indonesia”.
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah.
1. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas, maka batasan masalah dalam
penelitian ini adalah 3 sampel putusan hakim MA yang memutuskan perkara
perdata Islam, yaitu:
a) Putusan Mahkamah Agung No. 577 K/AG/2009 tentang cerai gugat
dan hadhanah karena suami tidak mampu dan istri berpindah agama,
b) Putusan Mahkamah Agung No. 120 K/AG/2005 tentang hak waris
anak dari perkawinan yang tidak tercatat dan tidak ada izin poligami,
c) Putusan Mahkamah Agung No. 51 K/AG/1999 tentang waris bagi non
muslim.
Adapun yang dimaksud dengan Fiqh Indonesia dalam penelitian ini adalah
kenyataan budaya yang sudah terpatri dalam praktik masyarakat Indonesia yang
didasarkan pada pengembangan beberapa teori dari aliran-aliran yang berkembang
dalam diskursus wacana Ushul al-Fiqh. Maksudnya, fiqh yang berkepribadian
Indonesia melalui pengertian bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk
umat Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan
mereka, yaitu hukum adat/tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia,
yang telah di qanunisasi (di kodifikasi) dalam aturan-aturan hukum yang
ditetapkan oleh pemerintah (Ahl al-Hall wa al-‘Aqd). Dalam penelitian ini
tentunya aturan yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam.
7
2. Rumusan Masalah
Penelitian ini, dilihat dari gambaran latar belakangnya menegaskan bahwa
terdapat sebuah problem hukum yang mengungkap bahwa hakim mengadili dan
memutuskan sebuah permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash mampu
dicerna dan dipahaminya secara kontekstual dari landasan hukum Islam yang ada.
Hal inilah yang membuat penulis tergugah untuk mengangkat permasalahan ini
untuk diteliti dan dianalisa melalui kacamata pemikiran Fiqh Indonesia, dengan
alasan menumbuhkan sikap kearifan lokal dan sosial dalam melihat dan
menanggapi sebuah permasalahan hukum Islam secara lebih teliti dan bijaksana,
serta wawasan dan wacana pemikiran kita pun tentang Islam yang rahmatan lil
‘alamin dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman.
Berdasarkan hal tersebut dan dari uraian-uraian di atas maka dapat
dibentuk suatu rumusan masalah:
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51 K/AG/1999?
2. Bagaimanakah putusan-putusan MA tersebut jika ditelaah melalui
konstruksi berpikir Fiqh Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan
a. Secara umum penelitian ini mengungkap data yang akurat tentang
dasar pertimbangan putusan hakim di Mahkamah Agung dalam
8
memutuskan perkara Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51
K/AG/1999.
b. Secara khusus penelitian ini menganalisa 3 putusan hakim MA yang
“bertentangan” dengan Nash jika ditelaah melalui konstruksi berpikir
fiqh Indonesia. Dengan mengkaji hal itu, maka telah mewakili
tergalinya dan terungkapnya nilai-nilai, gagasan, keyakinan, pola
perilaku hakim dalam mengkonstruksi putusan di bidang Hukum
Keluarga Islam.
2. Manfaat
a. Secara teoritik menjadikan hasil penelitian ini sebagai bagian dari
kumpulan khazanah keilmuan Islam plus referensi lanjutan dalam
penelitian-penelitian analasis putusan pengadilan.
b. Secara praktis penelitian ini menelaah budaya hukum hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara keperdataan Islam secara adil dan
berkesesuaian dengan landasan syariat Islam dan aturan hukum di
Indonesia.
D. Review Studi Terdahulu
Sejauh penelusuran penulis lakukan belum ada secara khusus skripsi yang
meneliti tentang konsep fiqh Indonesia. Namun, terdapat beberapa studi yang
berkaitan dengan pembahasan analisa putusan di salah satu lembaga peradilan
dalam bidang hukum perdata Islam, yaitu:
9
1. Skripsi oleh Istiarini Cahyaningsih, Tahun 2010; Yang berjudul “Ahli
Waris Beda Agama Dan Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita
(Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)”.
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang sejauh mana pola pikir hakim
khususnya di Pengadilan Agama Depok tentang metode atau cara
mengadili dan memutuskan perkara waris bagi non muslim. Dari hasil
penelitiannya ternyata ditemukan bahwa hakim mengabulkan gugatan
bahwa penggugat yang beragama non muslim adalah ahli waris pewaris
yang beragama Islam dengan alasan adanya kesepakatan ahli waris. Hal
inilah yang membuat hakim bertindak secara ultra petita atau memutuskan
perkara melebihi wewenang yang dipinta atau dituntut oleh pihak
penggugat dalam petitum dan positanya.
Skripsi tersebut terdapat kesamaan kasus dengan salah satu kajian hukum
yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu waris bagi non muslim. Yang
menjadi perbedaannya adalah sejauh mana putusan dari kasus tersebut
ditinjau dengan konsep berpikir fiqh Indonesia ditambah yang menjadi
objek kajiannya adalah putusan MA yang mana kedudukannya tidak bisa
dilakukan upaya hukum biasa kecuali dengan Peninjauan Kembali (PK).
2. Skripsi oleh Ria Amaliyah, Tahun 2009; Yang berjudul “Dampak
Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Perempuan”.
Dalam penjelasannya skripsi ini mengungkap tentang perlunya pencatatan
nikah dan khususnya itsbat nikah bagi yang belum dicatatkan dan
didaftarkan pernikahannya di kantor urusan Agama (KUA). Karena dari
10
penjelasan yang dipaparkan terdapat konsekuensi hukum bagi pasangan
khususnya pihak perempuan atau istri dan anak dari hasil pernikahannya,
yaitu hilangnya hak waris-mewarisi, putusnya perwalian bagi anak dari
hasil pernikahan dan lain sebagainya.
Maka dari itu fokus dari penulisan skripsi tersebut untuk mendeskripsikan
(walau kelemahan penulisan ini belum ditopang oleh penelitian resmi)
dampak dari kebalikan kasus, yaitu sebab dari tidak dicatatkan pernikahan
sebelumnya terhadap implikasi penolakan itsbat nikah di pengadilan
agama. Penelitian ini terfokus kepada dampak hukum bagi pihak istri,
namun tidak pada anak. Maka dari itu bila dikaitkan dengan penelitian ini
terdapat kesamaan dalam dampak hukum yang dikenakan yaitu tentang
kewarisan. Namun, yang menjadi perbedaan dengan penelitian ini selain
dari objek kajiannya adalah bilamana dampak hukumnya jika dikenakan
pada anak soal pembagian waris tersebut. Hal inilah yang menjadi salah
satu subjek kajian pembahasan tentang anak dari ayah biologisnya
terhalang mewarisi sebagaimana yang ditemukan penulis dalam putusan
MA.
3. Skripsi oleh Arif Fatwah, Tahun 2007; Yang berjudul “Fasakh Karena
Suami Tidak Mampu Menurut Fuqaha Dan Hukum Di Indonesia”.
Skripsi tersebut memaparkan tentang salah satu alasan putusnya
perkawinan dengan fasakh disebabkan karena suami tidak mampu
memberi nafkah lahir, terutama ketentuan hukumnya. Penulis mengungkap
apakah fasakh merupakan salah satu kategori yang pas dan sesuai dengan
11
salah satu sebab suami tidak mampu memberi nafkah. Hal itulah yang
menjadi
inti
pembahasan
dengan
disertai
aturan
hukum
yang
melandasinya.
Yang menjadi kesamaan dengan penelitian ini adalah salah satu kajian
hukum yang akan dibahas yaitu tentang cerai karena suami tidak mampu,
namun tidak pada kasus yang akan dianalisa pada penelitian ini. Dalam
penelitian ini akan diungkap salah satu kajian hukum tentang sebuah
kejadian tentang dua fakta hukum yang berbeda dan bertentangan di
lapangan tentang hal cerai dan hadhanah yang diputus oleh salah satu
instansi peradilan tertinggi di Indonesia.
Dari pelbagai penjelasan tersebut, akhirnya dapat ditemukan yang menjadi
fokus kajian penelitian ini adalah analisa putusan MA terkait dengan
permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash melalui tinjauan konsep fiqh
Indonesia.
E. Kerangka Teori.
Putusan Mahkamah Agung adalah putusan Majelis Hakim Agung di
Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi
kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam
lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga.
Putusan tersebut nantinya akan dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim
untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang
12
memiliki kekuatan mengikat secara relatif.4 Yang dalam prosesnya kelak setelah
dilakukan kualifikasi oleh tim khusus dan apabila dianggap layak maka akan
dipublikasikan yang kemudian dinamakan dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, hakim memiliki tugas mengadili
persoalan masyarakat dengan menerapkan peraturan yang tertulis dalam undangundang. Akan tetapi, dalam realitasnya fenomena sosial bersifat dinamis dan
selalu berubah. Undang-undang tidak akan lagi mampu menyelesaikan semua
kasus yang dihadapinya. Dalam posisi yang terpojokkan seperti itu, hakim
diharuskan menemukan solusi atas permasalahan hukum yang dihadapinya (Pasal
16 ayat 1 UUPKK 4/2004) dengan menggali makna yang ada dalam teks undangundang dan menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding).5
Penemuan
hukum
lazimnya
diartikan
sebagai
proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit.
Maka, untuk mengungkap makna hukum dari subjek (hakim) yang
membuat putusan tersebut, hermeneutika hukum merupakan peranti teoritis yang
paling tepat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap bentuk dan produk perilaku
antar manusia itu (termasuk produk hukum berupa putusan hakim) akan selalu
ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati oleh para aktor yang
4
t.p., Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia, artikel diakses pada tanggal 23 Januari
2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Indonesia
5
Muh. Nashirudin, Interpretasi Hukum (Menuju Penafsiran Hukum yang Berkeadilan),
artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2014 dari http://sofianasma.wordpress.com/ 2010/ 12/ 16/
interpretasi hukum menuju penafsiran hukum yang berkeadilan/
13
tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja akan memberikan keragaman
maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai objek. Kajian hermeneutika
membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tak hanya berkutat
menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal melulu. Kajian ini
dengan strategi metodologinya to Learn from The people mengajak menggali dan
meneliti makna-makna hukum dari perspektif penegak hukum yang terlibat dan
pengguna dan atau pencari keadilan.6
Untuk menggali dan mengungkap makna-makna yang tersembunyi di
balik putusan hakim dalam menyelesaikan perkara di bidang perdata Islam,
penulis menempatkan pisau analisanya dalam domain Fiqh Indonesia sebagai
upaya menyelaraskan antara dimensi hukum Islam dengan budaya dan sistem
hukum di Indonesia (yang tentunya berbeda) dalam menemukan jawaban hukum
yang progresif dan berkeindonesiaan.7
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Data
Pada dasarnya jenis data yang digali dalam penelitian ini ada dua macam:
6
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 8
7
Penulis meminjam istilah yang digunakan M. Syamsudin dalam penelitian yang
bertujuan menemukan makna di balik tindakan hakim dalam membuat putusan dengan fokus studi
“budaya hukum hakim”. Baca M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis
Hukum Progresif (Jakarta: Kencana, 2012), h. 6
14
a. Data primer adalah data-data yang didapatkan langsung dari lapangan.8
Yakni bisa didapatkan melalui transkrip atau salinan putusan yang
membahas tentang permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash
yaitu putusan MA Nomor 577 K/AG/2009, 120 K/AG/2005 dan 51
K/AG/1999.
b. Data skunder adalah data-data pendukung yang didapatkan dari
perpustakaan, brosur dan sebagainya.9 Yakni penjelasan-pejelasan
tentang perihal konstruksi berpikir Fiqh Indonesia berupa metodemetodenya dan penjelasan dari putusan kasasi yang berkaitan langsung
dengan perkara yang dianggap bertentangan dengan Nash melalui
wawancara langsung hakim yang berkompeten dibidangnya yaitu
hakim agung kamar perdata agama.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi tujuan maka penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif, yaitu untuk mengevaluasi sejauh mana pola pikir para hakim
dalam menganalisa dan memutuskan perkara yang dianggap bertentangan
dengan Nash Sharih. Dan dilihat dari sumbernya penelitian ini termasuk
penelitian kepustakaan. Penelitian Kepustakaan atau Library Research
merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan
informasi dengan bantuan berbagai buku.10 Yakni buku-buku Agama
8
Nasution, Metode Research, (Jakarta:Bumi Aksara, Cetakan I, 1995), h. 143.
9
Nasution, Metode Research, (Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan I, 1995), h. 143.
10
Kartini Kartono, Metodologi Research Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33.
15
khususnya tentang Fiqh Indonesia, Undang-undang, yurisprudensi MA
dan buku rujukan lainnya.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data secara mendalam, penulis menggunakan data:
a. Dokumentasi
Yang dimaksud dengan dokumentasi adalah mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa transkrip, catatan, buku dan
sebagainya.11
b. Wawancara
Yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab
atau narasumber.12 Dan mengenai hal ini, yang menjadi pokok bahasan
wawancara adalah putusan MA tersebut, dan sebagai narasumber
adalah salah satu hakim agung kamar perdata agama di Mahkamah
Agung RI.
Setelah penulis menelaah data, maka penulis menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Digunakannya metode tersebut agar data yang
diperoleh tidak diukur dengan angka atau huruf.
4. Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data yang diperoleh, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
11
Suharsimi Arikunto, Metodologi Risearch, (Yogyakarta: UGM, 1986), h. 136.
12
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, cetakan III, 1988), h. 234.
16
a. Komparatif, yakni membandingkan dan menyesuaikan antara teori dan
praktek, yang menjadi objek perbandingan adalah antara putusan MA
dengan Teori Fiqh Indonesia.
b. Interpretatif, yakni memberikan penafsiran terhadap istilah-istilah
hukum yang digunakan oleh lembaga peradilan dan istilah-istilah lain
dalam konsep Fiqh Indonesia.
c. Evaluatif,
yakni
mengevaluasi
putusan-putusan
MA
dalam
permasalahan yang “bertentangan” dengan Nash.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “petunjuk penulisan skripsi, tesis dan
disertasi” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari Lima Bab, antara lain sebagai
berikut:
Bab pertama mengenai pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar
belakang masalah yang akan dibahas, batasan dan rumusan masalah yang akan
dikaji, tujuan dan manfaat dari penelitian, metode penelitian yang digunakan,
tinjauan studi terdahulu, kerangka teori sebagai gambaran tentang teori yang
digunakan dalam penelitian dan yang terakhir tentang sistematika penulisan atau
isi dari ringkasan bab dalam penulisan skripsi ini.
Bab kedua memaparkan tentang teori fiqh Indonesia sebagai alat uji
putusan-putusan MA, meliputi penjelasan tentang definisi operasional fiqh
17
Indonesia, penggagas konsep fiqh Indonesia dan yang terakhir tentang metode dan
model berpikir fiqh Indonesia.
Bab ketiga mendeskripsi tentang Mahkamah Agung sebagai salah satu
instansi peradilan di Indonesia. Membahas sekilas tentang keadaan umum sejarah
Mahakamah Agung, tugas dan fungsi Mahkamah Agung serta kewenangan yang
dimilikinya. Dalam bab ini pula akan memaparkan dasar pertimbangan dari 3
putusan MA yang “bertentangan” dengan landasan hukum Islam.
Bab
keempat
menjelaskan
tentang
analisa
putusan
MA
yang
“bertentangan” dengan Nash melalui tinjauan konsep berpikir Fiqh Indonesia.
Yaitu berisi tentang hasil analisa penulis yang dipaparkan satu persatu dari ketiga
putusan tersebut.
Bab kelima penutup, yang membahas dua hal yaitu tentang kesimpulan
dari hasil penelitian dan saran-saran.
18
BAB II
FIQH INDONESIA
A. Definisi Operasional Fiqh Indonesia
Kata “fiqh” berasal dari bahasa Arab, faqiha – yafqahu – fiqhan, yang
berarti al-fahmu (paham), yakni al-fahmu ash-shahih (pemahaman yang benar).
Tentu saja pemahaman ini adalah pemahaman orang, yang pada umumnya „alim,
baik secara individual maupun kolektif, terhadap sumber ajaran Islam (Al-Quran
dan Hadis) untuk memperoleh ketentuan hukum yang dibutuhkan umat Islam
dalam kehidupan yang dihadapinya pada ruang dan waktu tertentu.13
Sebagai pemahaman atas teks Al-Quran dan Hadis, tentu saja posisi fiqh
berbeda dengan posisi Al-Quran dan Hadis itu sendiri. Jika Al-Quran itu qadim
(azali), maka fiqh itu hadis (temporal). Jika Al-Quran bersifat universal dan
mutlak benar (qath’i ats-tsubut), maka fiqh bersifat partikular, fleksibel, dan
kebenarannya relatif (zhanni ats-tsubut). Mengapa begitu? Karena fiqh lahir dari
akal yang bersifat subyektif, sementara Al-Quran adalah bersifat otoritatif berasal
dari wahyu Allah yang melintasi ruang dan waktu dan tidak ada intervensi akal
sama sekali.14
Oleh karena itu, fiqh adalah produk anak zaman. Ia lahir, tumbuh, dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya pada kerangka ruang dan
13
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Cirebon: ISIF, 2014), h. x
14
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. x
19
waktu yang mewadahinya. Fiqh berubah sesuai dengan perubahan sosial. Fiqh
juga berbeda sesuai dengan perbedaan para pemikirnya, pembentuknya, dan
pengembangannya dari satu waktu ke waktu lain, atau dari suatu tempat ke tempat
lain. Tidak heran bila kemudian lahir sejumlah mazhab fiqh yang berbeda satu
sama lain meskipun bersumber pada Al-Quran dan Hadis yang sama dan belajar
dari guru yang sama, atau bahkan berbeda dengan gurunya sendiri.15
Dari kenyataan ini, menurut KH Said Aqil Siradj Islam sebetulnya
menganut pluralisme hukum (ta’addud al-fiqh). Asumsi ini menurutnya diperkuat
dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al-ijtihadu la yunqadhu bi mitslihi (alijtihad) (hasil satu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain).
Artinya, Islam sesungguhnya mengakui otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar
akademik, termasuk juga kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir. Di
dalam fiqh tidak berlaku asas hukum positif yang berbunyi lex posteriori derogat
legi priori (hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama), dan lex
superior derogat legi inferiori (hukum yang urutan atau tingkatannya lebih tinggi
mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah).16
Atas dasar ini, fiqh tidak saja berbeda karena perbedaan imamnya dan
metode perumusan hukumnya, tetapi juga bisa berbeda karena perbedaan
geografis (lokus hukum). Meskipun sama-sama Syafi‟iyyah, tetapi Syafi‟iyyah di
Yaman atau Suriah berbeda dengan Syafi‟iyyah di Indonesia. Apalagi sejarah
pernah mencatat ketika Imam Syafi‟i sendiri pernah memutuskan dan menerapkan
15
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. x-xi
16
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xi
20
hukum yang berbeda ketika beliau berada didua tempat yang berbeda pula, yaitu
Baghdad dan Mesir. Sehingga menjadi suatu hal yang tidak dapat dipungkiri
karena tidak lain fiqh pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi, keadaan,
adat, dan budaya di mana fiqh itu dipraktikan. Fiqh selalu berinteraksi secara
dinamis dengan problematika sosial yang beragam. Fiqh di suatu tempat adalah
bagian dari bangunan kebudayaan tempat tersebut. Demikian juga fiqh pada suatu
masa adalah bagian dari kebudayaan pada masa itu. Dengan demikian, fiqh adalah
produk dari dan memproduksi kebudayaan di mana fiqh diterapkan.17
Meski begitu, fiqh selalu memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
ruang dan waktu. Fiqh selalu shalihun li kuli zamanin wa makanin (sesuai bagi
segala ruang dan waktu), bukan karena universalitasnya, tetapi karena fiqh bisa
berubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, keadaan, dan tradisi. Kaidah
fiqhiyyah yang populer menyatakan bahwa la yunkaru taghayyuru al-ahkami bi
taghayyuri al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal (tidak dapat dipungkiri bahwa
perubahan hukum tergantung pada perubahan waktu, tempat, dan keadaan). 18 Kita
mengetahui dengan pasti bahwa masalah-masalah al-ahwal asy-syakhsiyyah
(hukum keluarga) merupakan bagian dari masalah-masalah yang bisa berubahubah kemaslahatannya. Langkah-langkah perubahan tersebut justru di dalam
rangka menegakkan prinsip-prinsip Syari‟ah (Maqashidus Syariah) dalam situasisituasi yang berubah.19
17
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h.xii
18
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xi-xii
21
Di lain sisi, pada awal abad XX ide pemikiran tentang konsepsi dan
formulasi pembentukan hukum Islam (fiqh) telah dimulai, beberapa cara dan
upaya untuk menginkorporasikan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur
kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hukum Islam ternyata telah dilakukan oleh
banyak kalangan. Para pemikir hukum Islam di Indonesia fase awal telah
mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam
ijtihad hukum yang mereka lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul
seorang mujtahid mutsaqil, tentunya dengan independensi metode penemuan
hukum sendiri, kita dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisis
penemuan hukum yang kreatif, cerdas, dan inovatif.20
Kurang empirisnya wacana yang dikembangkan dalam pemikiran
keislaman, mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan
sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Kungkungan pola pikir para ulama yang
fahm al-’ilm li al-inqiyad ketika memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di
dalam khazanah literatur klasik (tsarwah fiqhiyyah), membuat eksistensi hukum
Islam tampak resisten, tidak mampu mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia
hadir bagai barang asing bagi persoalan sosial politik. Para ulama telah melupakan
sejarah dan menganggap bahwa mempelajari sejarah tidaklah penting, sehingga
kritik terhadap dimensi ini nyaris tidak ada. Paradigma sejarah akan mengubah
tata cara memahami fiqh sebagai produk pemikiran yang bersifat nisbi (qabil li
an-niqasy), bukan sebagai kebenaran ortodoksi-mutlak, yang absolutitas nalarnya
19
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xxxiii
20
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 62
22
mendeportasi tradisi, kritik dan pengembangan. Hilangnya kesadaran sejarah
(sense of history) inilah, dalam amatan Soekarno, yang telah menyebabkan
pembaruan pemikiran Islam yang telah dilakukan tidak menunjukkan kontitum
yang jelas. Diperlukan pergeseran paradigma (shift of paradigm) dari pola fahm
al-‘ilm li al-inqiyad ke pola fahm al-’ilmi li al-intiqad, dalam upaya memahami
segala bentuk warisan dan produk pemikiran masa lalu.21
Pengkultusan (taqdis) atas pemikiran hukum Islam yang telah terjadi dan
yang hingga sekarang masih berlangsung, harus ditinjau ulang dalam kerangka
dasar meletakkan pemahaman baru yang mampu menegakkan prinsip-prinsip
Syari‟ah (Maqashidus Syariah) dalam situasi-situasi yang berubah. Konsep dan
pemikiran hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing harus segera dicarikan
alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikkan di Indonesia.
Eksistensi hukum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi
yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan juga tidak berdaya
guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi
mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman. Hukum Islam harus mampu
menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang bidang
muamalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Hukum Islam harus mampu
hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan
masyarakat.22
21
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, h. 63-64
22
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, h. 64-65
23
Berdasarkan hal di atas dan melihat kenyataan bahwa praktik hukum Islam
masyarakat Indonesia juga begitu beragam (plural) sesuai dengan karakter,
ideologi dan mazhab masing-masing individu dan kelompok, baik yang
terorganisir ataupun tidak, baik yang sesuai dengan aturan hukum negara ataupun
tidak. Maka sebagai sebuah keragaman yang mengepal menjadi tradisi keislaman
dan tertampung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah menurut
pandangan fiqh, segala praktik keislaman tersebut dalam negara Indonesia dapat
dipandang sebagai sebuah Fiqh Indonesia.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual, saatnya kita berani untuk
menyatakan bahwa keberagaman yang kita rasakan merupakan sebuah
keniscayaan tradisi keislaman bangsa Indonesia sejak dahulu Islam mulai
menyebar hingga menjadi agama mayoritas di negara ini. Islam sudah
mengajarkan pluralisme jauh sebelum pemikiran post-modernisme merebak di
abad ke-20. Perbedaan merupakan hukum alam.23 Keberagaman itu mulai kita
rasakan tidak hanya dimulai dari penciptaan Adam dan Hawa, suku, bangsa
maupun agama, melainkan pula prinsip dan ideologi yang dipegang oleh setiap
individu dan kelompok yang dapat mereka pertanggungjawabkan masingmasing.24 Apalagi ketika melihat watak dasar fiqh (yang tidak boleh digantikan
oleh sejarah) adalah adanya ketersediaan pilihan-pilihan hukum lebih dari satu
(dzu wujuhin) dalam satu masalah sosial keagamaan.25
23
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan
Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), h. 66
Ada sebuah pepatah Arab mengatakan “Li Kulli Ra’sin Ra’yun”, artinya di setiap
kepala manusia memiliki pemahaman masing-masing yang berbeda.
24
24
Penyebutan “Fiqh Indonesia” mungkin terkesan hiperbolik (melihat
beragamnya pemahaman tentang hukum Islam) atau bahkan simplistis. Namun
“hukum Islam di Indonesia” tentu tidak hanya milik kelompok tertentu saja,
melainkan jauh lebih kaya dan tersebar ke berbagai jantung kehidupan
masyarakat, misalnya bahtsul masa’il, majelis tarjih, majelis fatwa, dewan hisbah
dalam ormas-ormas keislaman, perguruan tinggi Islam, majelis ta‟lim dan pondok
pesantren yang jumlahnya ribuan. Ini semua adalah kekayaan pemahaman hukum
Islam, terlebih lagi bila dikaitkan dengan praktik hukum Islam yang menyatu
dengan denyut kebudayaan Indonesia.26
Adanya penisbatan pada corak fiqh yang dihasilkan pun sebagai sebuah
kekayaan produk pemikiran hukum Islam oleh para ulama dan intelektual Islam
Indonesia, seperti penyebutan Fiqh Mazhab Nasional (Hazairin, 1950-an),
Reaktualisasi Ajaran Islam (Munawir dkk, 1988), Agama Keadilan (Masdar F.
Mas‟udi,-), Pribumisasi Islam (Abdurrahman Wahid, 1988), Fiqh Sosial (M.A.
Sahal Mahfudh dan Ali Yafie,-), dan seterusnya, merupakan nomenklaturnomenklatur atau tema-tema pemikiran hukum Islam (themes of Islamic Law)
yang ajarannya memiliki tujuan yang sama, responsi terhadap modernisasipembangunan demi terciptanya kemaslahatan berbasis keadilan berdasarkan
maqashidus syariah dan keindonesiaan (adat dan budaya Indonesia beserta
konstitusinya). Semua keragaman pemahaman dan praktik hukum Islam di
Indonesia di atas sebanding dengan banyaknya ragam kebudayaan itu sendiri di
25
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. 194
26
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Conter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. xxxviii
25
setiap pojok Indonesia, dan ke segala hal tersebut merupakan hasil representasi