Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

(1)

1

EKSISTENSI

PRESIDENTIAL THRESHOLD

PASKA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

14/PUU-XI/2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

RAHMAD RAMADHAN NIM : 100200367

DEPARTEMEN TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

2

EKSISTENSI

PRESIDENTIAL THRESHOLD

PASKA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

14/PUU-XI/2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Rahmad Ramadhan NIM : 100200367

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN TATA NEGARA

Dr. Faisal Akbar, SH, MH NIP. 195909211987031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Armansyah, SH, MH Drs. Nazaruddin, SH, MA

NIP. 195810071986011002 NIP. 19550611980031004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

3 ABSTRAKSI

Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu prosedur demokrasi tersebut adalah adanya mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU) untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan Legislatif dan Eksekutif. Namun, didalam perjalanannya adanya Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) mengakibatkan perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dengan suara terbanyak”. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuan Konstitusi tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Hal ini jugalah yang membawa perubahan ketentuan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia.

Dalam menyusun Skripsi ini digunakan metode Penelitian Yuridis Normatif dengan melakukan suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan mengenai permasalahan eksistensi Presidential Threshold (PT) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013.

Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945 mengenal ketentuan Ambang Batas calon Presiden dan Wakil Presiden atau yang biasa di istilahkan Presidential Threshold (PT). PT ini digunakan sebagai prasyarat dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pengaturannya pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai pengganti Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan, yakni memperoleh kursi minimal 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan Persentase ambang batas pada UU No. 42 Tahun 2008 merupakan salah satu bentuk kebijakan hukum (Legal Policy) yang dibuat pemerintah yang tujuannya untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja secara efektif di Indonesia. Namun, Ketentuan PT tersebut telah menimbulkan permohonan pengujian (Judicial Review) terhadap pasal tersebut dengan Pasal 6 A ayat (2) UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusipun mengeluarkan putusan-putusannya beberapa kali hingga terakhir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan Pemilu Serentak di Indonesia pada tahun 2019.

Kata kunci: Pemilu Presiden, Presidential Threshold (PT),


(4)

4 KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah karena berkat, kasih, dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Presidential Threshold Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013”.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orangtua dan kakak , penulis yakin skripsi ini menjadi sesuatu yang dinantikan . Ini juga menjadi kesempatan penulis untuk berterima kasih kepada mereka berdua, atas dorongan finansial dan moral penulis dapat menimba ilmu dan menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan,S.H.,M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara.

6. Bapak Armansyah, SH,MH., selaku Dosen Pembimbing I penulis.

7. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., M.A., selaku Dosen Pembimbing II penulis. 8. Bapak Boy Laksamana, SH, MH., selaku Dosen Pembimbing Akademik

selama menimba ilmu di Fakultas Hukum USU.

9. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H.M.A, Bu Rafiqoh S.H.,M.Hum dalam Penyelenggaraan Program Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum USU


(5)

5 10. Teristimewa untuk orangtua terkasih Mamaku Rosmina Harahap atas kasih sayang serta didikan yang diberikan. Kakak Darma Afni Hasibuan atas semangat dan dukungan yang tanpa habis-habisnya.

11.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 Reza, M.Ikhsan, Arija, Dyna, Rahmad hidayat, Priawan, Dwi, Henny, Marta atas dukungan dan kebersamaan selama perkuliahan.

12. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Beasiswa Bidikmisi ( GAMADIKSI) USU, atas rasa saling tolong-menolong layaknya keluarga selama ini. 13. Teman-teman BTM Aladdinsyah, S.H dari beragam stambuk, yang telah

memberikan semangat dan dukungannya.

14. Teman-teman Buletin Lintas Almamater, atas pengalaman berharga di bidang jurnalistik di Fakultas hukum.

15. Teman-teman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) , atas pengalaman melakukan pengabdian masyarakat di beberapa sekolah.

16. Teman-teman USU Studen Market ( Stumart) dan Klub Progresif, semoga semakin banyak orang yang merasakan pengalaman Enterpreneurship dan Berinovasi dalam bentuk tulisan dan menjadi solusi sederhana masalah di Indonesia.

17. Teman-teman Se-Indonesia, atas informasi, persahabatan dan semangat untuk menjadi lebih baik untuk masa depan diri dan Negara yang sangat dicintai.

18. Seluruh Keluarga Lembaga Yayasan Pusaka Indonesia, telah memberikan ilmu praktik hukum dan peduli masalah hukum yang nyata disekitar kita 19. Teman-teman satu rumah selama menempuh perkuliahan, Bang Riki,

Bang Bustami, Coky, Agung,Beni dll

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan

saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2015


(6)

6 DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan D. Keaslian Penulisan

E. Tinjauan Kepustakan F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II DEMOKRASI DAN SISTEM PEMERINTAHAN A. Konsepsi Demokrasi Konstitusional

B. Sistem Pemerintahan

1. Sistem Parlementer

2. Sistem Presidensial

3. Sistem Campuran

C. Sistem Pemilihan Umum

D. Partai Politik Dan Sistem Kepartaian 1. Partai Politik

2. Sistem Kepartaian

a. Sistem Partai Tunggal b. Sistem Dwi Partai c. Sistem Multi Partai 3. Sistem Kepartaian Indonesia


(7)

7 BAB III SISTEM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL

PRESIDEN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NRI 1945

A. Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum Perubahan UUD NRI 1945

B. Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia menurut UUD 1945 Sesudah Perubahan UUD NRI 1945

C. Konsep Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial di Indonesia

BAB IV EKSISTENSI PRESIDENTIAL THRESHOLD PASKA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/ PUU-XI/2013

A. Putusan- Putusan Mahkamah Konstitusi serta Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan B. Saran


(8)

3 ABSTRAKSI

Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu prosedur demokrasi tersebut adalah adanya mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU) untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan Legislatif dan Eksekutif. Namun, didalam perjalanannya adanya Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) mengakibatkan perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dengan suara terbanyak”. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuan Konstitusi tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Hal ini jugalah yang membawa perubahan ketentuan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia.

Dalam menyusun Skripsi ini digunakan metode Penelitian Yuridis Normatif dengan melakukan suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan mengenai permasalahan eksistensi Presidential Threshold (PT) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013.

Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945 mengenal ketentuan Ambang Batas calon Presiden dan Wakil Presiden atau yang biasa di istilahkan Presidential Threshold (PT). PT ini digunakan sebagai prasyarat dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pengaturannya pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai pengganti Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan, yakni memperoleh kursi minimal 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan Persentase ambang batas pada UU No. 42 Tahun 2008 merupakan salah satu bentuk kebijakan hukum (Legal Policy) yang dibuat pemerintah yang tujuannya untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja secara efektif di Indonesia. Namun, Ketentuan PT tersebut telah menimbulkan permohonan pengujian (Judicial Review) terhadap pasal tersebut dengan Pasal 6 A ayat (2) UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusipun mengeluarkan putusan-putusannya beberapa kali hingga terakhir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan Pemilu Serentak di Indonesia pada tahun 2019.

Kata kunci: Pemilu Presiden, Presidential Threshold (PT),


(9)

8 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi merupakan hukum tertinggi di suatu negara. Konstitusi berfungsi sebagai pegangan atau pedoman untuk menjalankan tata pemerintahan di suatu bangsa. Adapun bentuk konstitusi ada yang tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis di Indonesia disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Sedangkan konstitusi tidak tertulis seperti konvensi kenegaraan. Indonesia dalam perkembangan konstitusinya sudah terjadi perubahan selama 4 (empat) periode, yakni semenjak digunakannya Undang - Undang Dasar tahun 1945 (UUD NRI 1945), lalu Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dan berlaku kembalinya UUD NRI 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.1

Sistem pemerintahan merupakan salah satu hal yang diatur dalam Konstitusi. Usep Ranawijaya mendefinisikan sistem pemerintahan merupakan sistem antara hubungan eksekutif dan legislatif.2 Pendapat serupa juga dikemukakan Jimly Asshiddiqie, sistem pemerintahan terkait dengan pengertian regeringsdaad. yaitu penyelenggaraan pemerintahahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan legislatif. Adapun bentuk sistem pemerintahan dikemukakan Sri Soemantri dengan tiga bentuk varian sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan Parlementer, sistem pemerintahan Presidensial, dan sistem pemerintahan Campuran.3 Sistem pemerintahan parlementer didasarkan landasan parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi. sistem pemerintahan Presidensial artinya Presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi juga kepala Negara serta memiliki kekuasaan dibidang legislatif dan yudikatif serta sistem

1

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 98.

2

Usep Ranawijaya dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 24.

3


(10)

9 campuran yang berarti sistem yang berusaha mencari titik temu antara sistem pemerintahan Presidensial dan sistem pemerintahan Parlementer.

Sejarah ketatanegaraan Indoenesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 kemerdekaan, Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sampai dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem pemerintahan. Indonesia terus mencari suatu bentuk yang ideal. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945 menganut

sistim pemerintahan “quasi Presidensial”. Alasannya karena dilihat dari sudut

pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, sebagiman dikatakan lebih lanjut:4

Jadi berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahannya adalah Presidensil, karena Presiden adalah eksekutif, sedangkan menteri-menteri adalah pembantu Presiden. Dilihat dari sudut pertanggungan jawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain – kepada siapa Presiden bertanggung jawab – maka sistem pemerintahan di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut “quasi Presidensil”

Kekuasaan Presiden di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan

yang dikatakan menganut sistim pemerintahan “quasi Presidensial” memiliki tiga

kekuasaan sebagai yakni, sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan dan sebagai mendataris MPR.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merubah sistem pemerintahan Indonesia. Dengan perubahan ini Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil. Jika pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memiliki kelemahan yakni cenderung

sangat „executive hevy‟ maka setelah perubahan hal ini tidak terwujud lagi, perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 telah menganut sistem pemeritahan Presidensil yang dapat menjamin stabilitas pemerintah.5

Dalam sistem pemerintahan Presidensil yang diadosi oleh Undang-Undang Dasar 1945 menurut Jimly Asshiddiqie memiliki lima perinsip penting, yaitu:(1) Presiden dan

4 Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Pusat Studi HTN U, 1983), hlm. 180; sebagaimana dikutip pula dalam A. Hamid S Attamimi, Op. Cit., hlm. 125-126;


(11)

10 Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan esekutif negara yang tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para menteri adalah pembantu Presiden. (5) Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem Presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintah, ditentukan pula masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Kelima ciri tersebut merupakan ciri sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan.

Indonesia dalam sejarah konstitusinya pernah menganut sistem pemerintahan berupa sistem parlementer, sistem Presidensial dan sistem campuran. Namun setelah perubahan UUD NRI 1945 Indonesia melakukan purifikasi sistem pemerintahan Presidensial. Adapun bentuknya : (1) mengubah proses pemilihan Presiden/ Wakil Presiden dari pemilihan dengan sistem perwakilan (mekanisme pemilihan di MPR) menjadi pemilihan secara langsung ; (2) membatasi periodisasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden; (3) memperjelas mekanisme pemakzulan (impeachment) Presiden/ Wakil Presiden; (4) larangan bagi Presiden untuk membubarkan DPR; (5) memperbarui atau menata ulang eksistensi MPR; dan (6) melembagakan mekanisme pengujian undang-undang (Judicial Review).6

Salah satu hal yang menarik tentang purifikasi sistem Presidensial di Indonesia diatas yaitu pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung. Adapun hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan. “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak “ menjadi Pasal 6 A UUD NRI 1945 yang menyatakan :

6


(12)

11 (1). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung

oleh rakyat.

(2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu (3). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara

lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden

(4). Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(5). Tata cara pelaksanaan Pilpres lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Bila dicermati pengaturan Pilpres di atas semakin menguatkan pilihan Indonesia ke dalam sistem politik Demokrasi dalam Sila Ke-4 Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dikuatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar”. Hal ini semakin menguatkan konsep demokrasi yakni “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Adapun perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam Negara Demokrasi dilaksanakan dengan adanya Pemiihan Umum (Pemilu). Pemilu ini menjadi wadah kedaulatan rakyat untuk berpartisipasi memilih dan memberikan haknya kepada orang lain untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan Negara. Di Indonesia, salah satu perubahan yang signifikan sebagai akibat perubahan UUD NRI 1945 adalah bahwa cara pengisian jabatan dan lembaga Legislatif dan Eksekutif baik di tataran nasional, maupun lokal, harus dilakukan dengan cara pemilihan. tidak boleh dengan penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan, tentunya dengan asumsi akan lebih demokratis sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Selain itu pemilu merupakan pranata terpenting dalam pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan berbentuk republik, yaitu


(13)

12 kedaulatan rakyat. keabsahan pemerintah, dan pergantian pemerintahan secara teratur. 7

Indonesia adalah negara hukum dengan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, karena itulah rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Dimana Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan peran konstitusional kepada partai politik sebagai peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan, serta Pasal 6A ayat (2) menyatakan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu langsung dilaksanakan pertama kali pada tahun 2004 kemudian tahun 2009 dan 2014 sesuai dengan amanat Pasal 22E UUD NRI 1945 untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan DPRD secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

Adapun UUD NRI 1945 telah meletakkan dasar mengenai pemerintahan demokratis dengan mengamanatkan Pemilu berkala. Hal ini diatur dalam UUD NRI 1945 BAB VIIB Pasal 22 E dengan judul “PEMILU”. Adapun bunyi Pasal 22 E, yaitu ;

(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah adalah partai politik.

(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

(5) Pemilihan umumdiselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

7

A. Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2006, hlm.89.


(14)

13 (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang-undang.

Didalam pelaksanaannya, ketentuan Pemilu di UUD NRI 1945 didelegasikan lebih lanjut didalam Undang-Undang. Contohnya, persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia diatur dalam Pasal 6 UUD NRI 1945 diatur lebih lanjut dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). UU No. 42 Tahun 2008 ini jugalah yang menjadi aturan yang lebih khusus mengatur Pilpres tahun 2009 dan 2014 yang baru dilaksanakan.

UU No. 42 Tahun 2008 yang menjadi ketentuan Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia, hingga kini masih memiliki permasalahan sehingga dibutuhkan Revisi UU Pilpres antara DPR, Akademisi, maupun Masyarakat. Adapun diantaranya mengenai ketentuan yang mengatur tentang syarat Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 mengenai ketentuan ambang batas calon Presiden atau diistilahkan Presidental Threshold (PT).

Adapun pengertian PT adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik. 8

PT merupakan ketentuan tambahan mengenai Pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa :

”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.”

Secara tekstual, Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan Presiden dan Wakil

8

Sigit Pamungkas, Perihal PemiluYogyakarta, , Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009,hlm 19.


(15)

14 Presiden. Namun, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta pemilu. Hal ini dikarenakan Partai politik sebagai pilar demokrasi dan penghubung antara pemerintahan Negara (The state) dengan Warga Negaranya (The citizens).

Bila dikaji lebih dalam sebenarnya kebijakan PT terkait dengan kebijakan ambang batas parlemen atau Parlementary Threshold yang menggantikan Electoral Threshold.9 PT ini menjadi salah satu cara Penguatan sistem Presidensial melalui penyederhanaan partai politik.10 Tujuannya menciptakan pemerintahan yang stabil dan tidak menyebabkan pemerintahan yang berjalan mengalami kesulitan didalam mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif.

Namun, didalam perjalanannya Pasal 9 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang menjadi payung hukum ketentuan PT yang berbunyi :

“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”11

menjadi sebuah permasalahan, hal ini ditanggapi diantara pakar hukum di Indonesia. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof. Dr. Saldi Isra berpendapat bahwa aturan PT sebesar 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah Pemilu sebagai syarat bagi partai politik untuk mengajukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden (Pilpres) adalah Inkonstitusional.12 Pendapat lain juga dikemukakan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra”

9

Janedri M. Ghaffar, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Pres, 2012 hlm.33

10

Nazaruddin, Kebijakan Multipartai Sederhana Dalam Undang-Undang Pemilu, Jakarta, 2009, Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1, juni 2009

11

Pasal 9 Undang- Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres.

12

Setkab MPR, Prof Saldi Isra : Presidential Thresold

Inskonstitusional http://www.mpr.go.id/berita/read/2013/05/07/11985/prof-saldi-isra-Presidential-threshold-inkonstitusional diakses tanggal 3 Januari 2014 Pukul 18.00 WIB


(16)

15 “Presidential Threshold yang terdapat dalam Pasal 9 UU Pilpres Keliru dan bertentangan dengan Pasal 6 A Undang-Undang Dasar 1945. PT sebesar 20 persen dalam UU Pilpres hanya akan membatasi hak politik warga negara untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan mempersempit ruang bagi rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas serta bertentangan dengan sistem Presidensial dan cenderung bersifat sistem parlementer.”13

Namun didalam perjalanannya Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008 yang menjadi dasar aturan PT tersebut terus dilakukan permohonan pengujian (Judicial Review) dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) merupakan salah satu lembaga yang dapat mencapai dan mewujudkan keadilan subtantif seperti yang diharapkan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di suatu negara hukum. Melalui Putusannya, salah satunya, Mahkamah Konstitusi mewujudkan tujuan hukum yang diharapkan masyarakat seperti keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final, dalam artian tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan juga putusan tersebut berlaku mengikat dan memiliki kekuatan hukum tetap setelah dibacakannya putusannya tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi, khusunya dalam perkara pengujian undang-undang, berlaku secara umum dan mengikat semua pihak baik itu perorangan dan/atau lembaga negara. Hal ini dikarenakan Putusan MK sesungguhnya lebih mewakili kepentingan umum dari pada kepentingan individual, walaupun untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang disyaratkan adanya kerugian konstitusional yang diderita14

13

Koran Jakarta, Yusril Gugat UU Pilpre,s

http://www.koran-jakarta.com/news/read/491349/yusrin-gugat-UUpilpres, diakses tanggal 20 Februari 2014 14

Pusat Kajian Konstitusi FH-Universitas Brawijaya, sub judul “Implikasi Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Studi di Kabupaten Malang dan Kota Pasuruhan”, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 1, Februari 2011, hlm. 148


(17)

16 MK sebagai kekuasaan kehakiman yang melakukan penafsiran konstitusi di Indonesia sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 mempunyai 4 (empat) kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2). Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (3). Memutus pembubaran partai politik (4). Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan kewenangannya pada Pasal 24 C ayat (2) inilah yang menjadi kewenangan MK untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Adapun hingga kini Mahkamah Konstitusi telah mengadakan sebanyak 3 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian terhadap Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945) diantaranya Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 dan Putusan MK Nomor 108/PUU-IX/2013.

Didalam putusan-putusan tersebut MK tidak mengabulkan permohonan pemohon berdasarkan dalil bahwa ketentuan Pasal 9 UU Pilpres merupakan Kebijakan Hukum (Legal Policy) pembuat undang-undang dan Konstitusional. Namun setelah Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemilu serentak antara pemilu legislatif dan eksekutif di tahun 2019 membawa aneka penafsiran terhadap eksistensi ketentuan PT pasca putusan tersebut. Terakhir, Yusril Ihza Mahendra melakukan pengajuan uji materi penghapusan ketentuan PT dan berpendapat dengan dikabulkannya Pemilu Serentak oleh MK pada Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 maka PT juga otomatis tak bisa lagi dijadikan dasar untuk Pilpres dan inkonstitusional.15

15 http://koran-jakarta.com/?pg=instagram_detail&berita_id=4390, diakses pada tanggal 23 maret 2014, Pukul 18.00 WIB.


(18)

17 Permasalahan perbedaan pandangan serta Putusan - putusan MK mengenai Ambang Batas Presiden (PT) dikaitkan dengan dikabulkannya permohonan Pemilu Serentak diataslah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk mengkaji hal ini lebih dalam. Adapun judul yang dipilih yaitu

EKSISTENSI PRESIDENTIAL THRESHOLD PASKA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013”

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah

1. Bagaimana pengaturan Presidential Threshold (PT) menurut UUD NRI 1945 dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ?

2. Bagaimana Eksistensi Presidential Threshold (PT) paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut

a. Mengetahui pengaturan Presidential Threshold (PT) menurut UUD dan UU No.42 Tahun 2008 tentang Pilpres

b. Menjelaskan Eksistensi Presidential Threshold (PT) paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai PT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. b. Secara Praktis

Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbangan pemikiran ilmiah hukum Indonesia. Penulisan ini juga diharapkan mampu mengggambarkan eksistensi PT berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.


(19)

18

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan dari informasi yang diperoleh dari perpustakaan. judul ini belum pernah ditulis sebagai Skripsi. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan keberadaan PT sebagai syarat calon Presiden dan Wakil Presiden Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sistem Pemerintahan

Dalam Ilmu Negara umum (algemeine staatlehre) yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan. baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.16 Sedangkan menurut Mahfud, sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antarlembaga-lembaga Negara.17 Sejalan dengan pandangan diatas Jimly Asshiddiqie mengemukakan. sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif18

Pemerintahan berasal dari kata perintah.19 dimana kata perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung, yang kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.

16

Harun Alrasyid, Kajian Sistem Pemerintahan Dan Ruang Lingkupnya, Majalah Mahasiswa Universitas Pasunda, Bandung, 2002 ,Vol.3, No. III, hlm.1

17

Moh. Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UIIPress, Yogyakarta, 1993, hlm.83

18

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Popular, 2007, hlm 100

19


(20)

19 Apabila dalam suatu negara kekuasaan pemerintahan, dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurusi pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif). Sedangkan, pemerintahan dalam arti yang luas selain eksekutif, termasuk lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan (disebut legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif)20

Menurut C.F. Strong sebagaimana dalam Inu Kencana Syafiie dalam buku Pengantar Ilmu Pemerintahan mengatakan:21

Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making law, thirdly financial power of the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf.

Maksudnya pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan Negara, ke dalam dan keluar. Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang. yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang. yang ketiga, harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai biaya keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan. hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.

Adapun pemerintahan dalam arti luas menurut Carl J. Frederich adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negaranya sendiri. Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa pemerintahan semata-mata tidak hanya sekedar menjalankan tugas

20

Inu Kencana Syafiie Pengantar Ilmu Pemerintahan, Cetakan Ketiga, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 21-22.

21


(21)

20 eksekutif saja, melainkan juga tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif22

Berdasarkan uraian diatas dapatlah dirumuskan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional). Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahn negara23

Didalam buku Saldi Isra terdapat perbedaan varian sistem pemerintahan. misalnya C.F Strong dalam buku “Modern Political Constitution” membagi sistem pemerintahan kedalam kategori : Parlementary Executive dan Non Parliamentary Executive atau The Fixed Executive. Lebih bervariasi dibanding Strong. Giovani Sartori membagi sistem pemerintahan menjadi tiga kategori : Presidentialism, Parliamentary System, dan Semi Presidensialism. Sejalan dengan ahli luar negeri tersebut. para ahli didalam negeri juga sependapat misalnya, Sri Soemantri mengemukakan tiga variasi sistem pemerintahan. yaitu sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan Presidensial, dan sistem pemerintahan campuran.24

a. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer dari semua varian sistem pemerintahan yang ada. merupakan sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan di seluruh dunia. Adapun Negara kelahirannya sistem pemerintahan parlementer ini yaitu Inggris. Menurut Djokosoetono, sistem parlementer merupakan sistem yang ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggungjawab kepada parlemen) ditambah dengan overwich (kekuasaan lebih) kepada parlemen. selain itu sistem parlementer didasarkan landasan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi (parlement is sovereign). Adapun karakter sistem pemerintahan

22

Titik Triwulan Tutik Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, , 2005, hlm. 97.

23

S. Pamuji, , Op.Cit,hlm. 6.

24

Sri Soemantri dalam Saldi Isra Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi parlementer dalam sistem Presidensial Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.25


(22)

21 parlementer secara lengkap dijelaskan Verney dalam 11 karakter sistem pemerintahan parlementer. yaitu :25

1. The assembly becomes a parliament 2. The executive is devided into two parts

3. The head of state appoints the head of government 4. The head of government appoints the ministry 5. The ministry is a collective body

6. Ministers are usually member of parliament

7. The government is politically responsible to the assembly

8. The head of government may advise the head of state to dissolve parliament

9. Parliament as a whole is supreme over its constituent parts. government and assembly. neither or which may dominate other.

10.The government as a whole is only indiriectly responsible to the electorate.

11.Parliament is the focus of power in the political system

Dari pendapat ahli diatas, jelaslah karakter sistem parlemen yaitu pemisahan antara jabatan kepala Negara dan pemerintahan. sistem pemerintahan parlementer tingginya ketergantungan eksekutif kepada dukungan parlemen, serta eksekutif tidak dipilih oleh pemilih sebagaimana pemilihan anggota legislatif. Oleh karena itulah parlemen menjadi pusat kekuasaan dalam pemerintahan parlementer

b. Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam literature, Amerika Serikat merupakan tanah kelahiran dan contoh ideal sistem pemerintahan Presidensial. Berbeda dengan sistem Parlementer, sistem Presidensial tidak dibangun melalui proses evolusi yang lambat dan panjang. Kelahiran sistem pemerintahan Presidensial tidak dapat dilepaskan dari Perjuangan Amerika Serikat menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris serta sejarah pembentukan konstitusi Amerika Serikat. Sistem ini juga menjadi penolakan terhadap Inggris, dimana Amerika melalui pembentuk konstitusinya membentuk sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dipraktikkan di Inggris.

Menurut Strong, the conception of independence of the executive from legislative merupakan salah satu konsep yang disepakati para pendiri Negara Amerika Serikat. Pemisahan itu diatur dalam Article I dan Article II Konstitusi

25


(23)

22 Amerika Serikat. Tidak hanya pemisahan antara legislatif dan eksekutif, jabatan Presiden sebagai kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Menurut Harun Alrasyid, jabatan Presiden dalam Negara berbentuk Republik merupakan hasil Konvensi Federal 1787 : “ the executive power shall be vested in a President of the united states of America…”.

Dalam sistem ini melakukan pemilihan Presiden oleh rakyat dan menolak Raja. Untuk diputuskan Presiden harus memiliki kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa. Oleh karena itu dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden namun tetap menutup hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran. Jimly Asshiddiqie menyebutkan didalam sistem pemerintahan Presidensil ada 9 karakternya, yaitu 26

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

2. Presiden merupakan eksekutif tunggal.

3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan

4. Presiden mengangkat menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya

5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya

6. Presiden tidak adapat membubarkan atau memaksa parlemen

7. Jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip supremasi parlemen. maka dalam sistem Presidensial berlaku supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi

8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat 9. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer

yang terpusat pada parlemen.

c. Sistem Pemerintahan Campuran

Sistem pemerintahan campuran tidak lepas dari perkembangan ketatanegaraan Prancis. Adapun karakter umum sistem pemerintahan campuran dikemukakan Sartori yaitu27

26

Saldi Isra, Op, cit, hlm.39

27


(24)

23 1. The head of state is elected by popular vote-either directly or indirectly-

for a fixed of office

2. The head of state shares the executive power with a prime minister.,thus entering a dual authorit structure whose three defining criteria are: 3. The Presiden is independent from parliament, but is not entitled to govern

alone or directly and thefore his will must be conveyed and processed via his government

4. Conversely, the prime minister and his cabinet are President-indipendent in that they are parliament- dependent : they are subject to either parliamentary confidence or no confidence. and either case need the support of parliamentary majority

5. The dual authority structure of semi Presidentialism allows for different balances and also for shifting prevalances of power within the executive, under the strict condition that the “autonomy potential” of each component unit of the executive does subsist.

Dari karakter diatas, sistem pemerintahan campuran adalah sistem pemerintahan yang berupaya untuk mencarikan titik-temu (meeting point) antara sistem pemerintahan presidensial adan sistem pemerintahan Parlementer. Karakter kuncinya yaitu terletak pada fungsi ganda Presiden yang dalam fungsi eksekutif Presiden berbagi kekuasaan dengan perdana menteri yang juga memegang kekuasaan eksekutif.

2. Pengertian Demokrasi

Istilah demokrasi menurut asal kata berarti “ rakyat berkuasa” atau government or rule by the people”. Dimana dalam kata yunani demos berarti rakyat, kratos / kratein berarti kekuasaan.28

Menurut R. J. Gettel, suatu bentuk pemerintahan disebut demokrasi apabila memenuhi syarat-syarat demokrasi, antara lain:29

a. Harus didukung oleh persetujuan umum (general consten);

b. Hukum yang berlaku dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui referendum yang luas atau melalui pemilu;

28

Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.2007, hlm. 50

29

Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 141


(25)

24 c. Kepala Negara dipilih langsung atau tidak langsung melalui pemilu. dan

bertanggungjawab kepada dewan legislatif;

d. Hak pilih aktif diberikan kepada sejumlah besar rakyat atas dasar kesederajatan;

e. Jabatan-jabatan pemerintah harus dapat dipangku oleh segenap lapisan rakyat.

Macam-macam bentuk pemerintahan demokrasi meliputi: Pertama. demokrasi langsung, yaitu negara demokrasi dimana semua warga negara secara langsung memilih serta ikut memikirkan jalannya pemerintahan. bahkan semua orang ikut memerintah. Contoh Negara Yunani Kuno, New England, dan negara-negara bagian Swiss (appenzell, gelarus, uri, dan unterwalden). Kedua, demokrasi perwakilan, yaitu suatu negara dimana tidak semua warga negara ikut serta secara langsung dalam pemerintahan, tetapi mereka itu memilih wakil-wakil diantara mereka yang duduk dalam badan perwakilan (parlemen). Contoh negara demokrasi perwakilan dengan parlemen, Indonesia dengan DPR.

Suatu Negara memilih sistem pemerintahan atau sistem politik demokrasi didasarkan atas pertimbangan :30

a. Demokrasi mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrasi yang kejam dan licik:

b. Demokrasi menjamin sejumlah hak asasi bagi warga Negara yang tidak diberikan oleh sistem – sistem yang tidak demokratis;

c. Demokrasi lebih menjamin kebebasan pribadi lebih luas:

d. Demokrasi membantu orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka;

e. Demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi warga Negara untuk menentukan nasibnya sendiri hidup dibawah hukum pilihannya: f. Demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan

tanggung jawab moral, termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat; g. Demokrasi membantu perkembangan manusia secara lebih total;

h. Demokrasi membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relative tinggi:

i. Demokrasi modern tidak membawa peperangan Negara penganutnya; dan j. Demokrasi cenderung lebih membawa kemakmuran bagi Negara

penganutnya daripada pemerintahan yang tidak menganut demokrasi.

30


(26)

25 Salah satu pendekatan untuk memahami demokrasi dan relevansinya dengan Pemilu adalah melihat demokrasi dari segi lingkup dan intensitas partisipasi warga Negara dalam pembuatan dan pelaksanaan putusan-putusan politik, sehingga membedakan demokrasi dalam empat tingkatan31. yaitu :

a. Demokrasi Prosedural (Joseph Schumpeter dan Huntington), yang mengandalkan persaingan yang adil dan partisipasi Warga Negara untuk menentukan wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan melalui Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan akuntabel. Demokrasi jenis ini juga disebut demokrasi minimalis.

b. Demokrasi Agregatif (Robert Dahl), demokrasi tidak hanya berupa keikutsertaan dalam Pemilu yang Luber, Jurdil, dan akuntabel. Namun terutama cita-cita, pendapat, prefensi, dan penilaian Warga Negara yang menentukan isi undang-undang, kebijakan, dan tindakan publik lainnya, karena menyakini prinsip self-government yang mendasari pengambilan keputusan mengenai undang-undang dan kebijakan publik oleh sebagian besar Warga Negara.

c. Demokrasi Deliberatif (Dennis Thompson, Amy Gutmann), berpandangan bahwa undang-undang dan kebijakan publik haruslah dirumuskan berdasarkan alasan dan pertimbangan yang dapat diterima oleh semua warga Negara secara rasional, karena menekankan pentingnya otonomi, persamaan, dan kesetaraan individu. Sehingga disebut juga reasoned rule.

d. Demokrasi Partisipatoris (Benyamin Barber), menyetujui penting nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan/kesetaraan politik, dan reasoned rule, namun juga menekankan pada partisipasi seluruh warga Negara yang berhak memilih terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.

3. Pemilu Umum

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu media perwujudan demokrasi yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, melaksanakan kedaulatan rakyat, serta dalam rangka melaksanakan Hak-hak Asasi Warga Negara32 Adapun yang menjadi asas-asas umum pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2012 adalah sebagai berikut :

31

A. Mukti Fajar, Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu Dan Demokrasi, 2013, Setara Press, Malang, hlm. 26-27

32

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hlm. 57.


(27)

26 1. Langsung; adalah rakyat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

2. Umum; mengandung makna adanya jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

3. Bebas; setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh Negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. 4. Rahasia; dalam memberikan suaranya, Pemilih dijamin bahwa pilihannya

tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain.

5. Adil; peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, Pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap Pemilih dan Peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilu. Namun Pemilu merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di Negara-negara yang menamakan diri sebagai negaa demokrasi mentradisikan Pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik dibidang Legilatif dan Eksekutif baik dipusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis saling terkait merupakan “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others.

Demokrasi dan proses demokratisasi secara kualitatif substansial tidak hanya cukup dengan dipenuhinya atribut-atribut formal demokrasi, seperti adanya lembaga perwakilan, adanya lebih dari satu partai politik yang bersaing dalam pemilu, dan adanya pemilu yang periodik.33 Demokrasi dan proses demoratisasi harus didasarkan pada standar-standar hak asasi manusia (HAM) agar lebih bermakna partisipatoris dan emansipatoris, sebab kalau tidak demokrasi akan mudah dikooptasi dan diselewengkan.34

33

A. Mukthie Fadjar,Hukum dan Penataan Kehidupan Politik di IndonesiaPenerbit Universitas Muhammadiyah, , Malang, 1997, hlm.73


(28)

27 Di Indonesia. salah satu perubahan yang signifikan sebagai akibat Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) adalah bahwa cara pengisisan jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik di tataran nasional, maupun lokal harus dilakukan dengan cara pemilihan, tidak boleh dengan cara penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan, tentunya dengan asumsi akan lebih demokratis. sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yaitu bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu, Indonesia telah menganut bentuk pemerintahan republik sesuai Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pemilu (Pemilu) yang merupakan pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk Republik, yaitu kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur.35

Semua demokrasi modern melaksanakan pemilihan, tetapi tidak semua pemilihan adalah demokratis, karena pemilihan yang demokratis bukan sekedar lambang, tetapi pemilihan yang demokratis harus kompetitif, berkala, inklusif (luas) dan definitif yakni menentukan kepemimpinan pemerintahan.36

Ukuran bahwa suatu Pemilu demokratis atau tidak harus memenuhi tiga syarat 37 yaitu a) ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM; b) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimasi, dan c) terdapat persaingan yang adil dari para peserta Pemilu.

Melalui Perubahan UUD NRI 1945, Indonesia sebenarnya telah meletakkan dasar - dasar pemerintahan yang demokratis lewat Konstitusi yang mengamanatkan Pemilu berkala yang demokratis pula, yakni menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil [Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945] dan diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945]. Pemilu yang sebelumnya hanya

35

A. Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konpres, Jakarta, 2006, hlm.89


(29)

28 dikenal sebagai instrumen untuk memilih sebagian anggota DPR dan DPRD (karena yang sebagian lagi diangkat, misalnya Pemilu pada era Orde Baru dan Pemilu 1999), melalui pengkaidahan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 menjadi instrumen untuk memilih seluruh anggota DPR, DPD dan DPRD, dan bahkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam UUD NRI 1945 sebagai berikut:

a. Pasal 6A ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”;

b. Pasal 18 ayat (3) : Pemerintahan daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui Pemilu”;

c. Pasal 19 ayat (1) :”Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilu”;

d. Pasal 22C ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu”;

e. Pasal 22E ayat (2): “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

4. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Dalam suatu Negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensial, pimpinan Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) lazimnya dipilih oleh “the electorate” yang perwujudannya ada tiga kemungkinan. yaitu a) dipilih oleh rakyat atau warga negara yang memenuhi persyaratan tertentu secara langsung; b) dipilih oleh “Electoral college (Dewan Pemilih)”; atau c) dipilih oleh suatu badan /lembaga perwakilan rakyat.38 Perkembangan Konstitusi Indonesia menunjukkan adanya perbedaan dalam Prosedural demokrasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Perubahan UUD NRI 1945 (1999-2002) salah satunya menyangkut perubahan mengenai mekanisme Pilpres dalam sistem Presidensial yang kita anut, dari yang semula dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih secara langsung. Pilpres secara langsung untuk pertama kali diadakan pada tanggal 6 juli 2004 sesudah selesainya pemilu anggota DPR,DPD, DPRD (Pemilu

38

Sri Soemantri Dan Bintan Saragih, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,1993 , hlm.42


(30)

29 Legislatif) Tahun 2004, untuk kedua kalinya dilaksanakan pada tanggal 8 juli 2009 dan Ketiga kalinya dilaksanakan pada tanggal 8 juli 2014.

Adapun Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional melalui pemilihan secara langsung tercantum dalam Pasal 6 UUD NRI 1945 :

(1). Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (2). Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih

lanjut dengan undang-undang.

Undang - undang organik yang mengatur persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah UU No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu Presiden Langsung Tahun 2004 dan UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden langsung tahun 2009 dan 2014.

Pasal 5 UU No. 42 tahun 2008 menentukan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:

a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;

c. Tidak pernah mengkhianati negara. serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat Lainnya;

d. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden;

e. Bertempat tinggal di wilayah negara kesatuan republik Indonesia;

f. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;

g. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

h. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; i. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

j. Terdaftar sebagai pemilih;

k. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi;


(31)

30 l. Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2

(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;

m. Setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara, undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945, dan cita-cita proklamasi 17 agustus 1945; n. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

o. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;

p. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

q. Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis Indonesia. termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan

r. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara republik Indonesia.

Adapun mekanisme Pencalonan dan Pilpres diatur dalam Pasal 6A UUD NRI 1945. yaitu :

1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. 3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara

lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pasangan yang memperoleh, suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

5) Tata cara pelaksanaan Pilpres lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Penjabaran lebih lanjut mengenai mekanisme pencalonan dan Pilpres yang tercantum dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 tersebut dituangkan dalam UU 23/2003 untuk Pemilu Presiden tahun 2004 dan dalam UU 42/2008 untuk Pemilu Presiden tahun 2009, sbb;

a. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan oleh KPU [Pasal 9 ayat (1) UU 23/2003; Pasal 4 ayat (1) UU 42/2008];

b. Yang berhak mengajukan Pasangan Calon adalah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD


(32)

31 dengan ketentuan memenuhi ketentuan “Presidential Thresold” tertentu. yaitu 15% kursi DPR atau 20% perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR [Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003] untuk pemilu Presiden 2004. sedangkan Pemilu Presiden 2009 “PT” adalah 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR (Pasal 9 UU 42/2008);

5. Partai Politik

Carl J. Friedrich mendefinisikan partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.39 Adapun fungsi partai politik yaitu partai sebagai sarana komunikasi politik, partai sebagai sarana sosialisasi politik, partai politik sebagai sarana rekruitment politik, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Partai politik pertama-tama lahir di Indonesia pada zaman Kolonial. Partai politik merupakan manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Diantara partai - partai tersebut memiliki tujuan seperti tujuan sosial (Budi Utomo dan Muhammadiyah) asas politik/ agama ( Sarikat Islam dan Partai Katolik) atau asas sekuler (PNI dan PKI). Setelah reformasi jumlah partai di Indonesia menjadi 48 partai dan saat ini ada 11 partai diIndonesia yang mengikuti pemilu Presiden dan legislatif 2014. F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian Normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).40

39

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm.161

40

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 118


(33)

32 Data yang disajikan dalam skripsi ini diambil dari data sekunder, antara lain :

a) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres, Peraturan perundang-undangan lain, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

b) Bahan hukum sekunder, dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan sistem pemerintahan Negara dan konsep Ambang Batas Calon Presiden dan Wakil Presiden, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c) Bahan hukum tersier, dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan

yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan Bab Pendahuluan. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas mengenai Demokrasi dan Sistem Pemerintahan yang terdiri dari Demokrasi Konstitusional, Sistem Pemerintahan, Sistem Pemilu, Partai Politik dan Sistem Kepartaian BAB III: Bab ini akan membahas mengenai Sistem Pemilu Presiden dan

Wakil Presiden sebelum dan sesudah Perubahan UUD NRI 1945 yang terdiri dari Sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum Perubahan UUD NRI 1945, Sistem Pemilu Presiden dan


(34)

33 Wakil Presiden sesudah Perubahan UUD NRI 1945, dan Konsep Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial di Indonesia. BAB IV: Bab ini akan membahas mengenai Eksistensi Presidential Threshold

Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Bab V : Bab ini merupakan Bab penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran

mengenai pembahasan yang telah dikemukakan.

BAB II


(35)

34

A. Konsepsi Demokrasi

Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote, one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip prinsip umum yangmencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak seluruh warga negaranya41

Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional (constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society)42.

Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi konstitusional sebagai berikut:

1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga Negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis

2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah

3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana dan menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah

4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan berkumpul43

Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalah―an institutionalized system of effective,

41

Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD NRI 1945), Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 184-185.

42

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,hlm. 58.

43

I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, Dan Kajian Kenegaraan), Setara Press, Malang, 2012, hlm. 92-93.


(36)

35 regularized restraints upon governmental action. Persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam hal ini melalui konstitusi44 Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power) dan adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.45 Perihal cara yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan. dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias Politica), yaitu:

a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang); b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);

c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang)

Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat. bahwa terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme. yaitu :

1. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara; 2. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan

pemerintahan;

3. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan tersebut46

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam

44

Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm.93 45

I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD NRI 1945), Setara Press, Malang, 2012, hlm. 18-19.

46


(37)

36 penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional. yaitu :

1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum serta perihal pembatasan kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances).

2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat. serta perwujudan dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi. 3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi

dan nomokrasi guna menegakkan supremasi konstitusi melalui pengujian konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan47

Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap hakhaknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang-undang dasar merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang demokratis.

B.Sistem Pemerintahan

1. Sistem Parlementer

Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.48

47

Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, hlm. 13-14.

48


(38)

37 Bertolak dari sejarah ketatanegaraan. sistem parlemen ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Karena dalam sistem parlementer, Presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah kabinet yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggung jawab sendiri atau bersama-sama kepada parlemen. Karena itu Inggris mengenal istilah “The King can do no wrong”. Pertanggungjawaban menteri kepada parlemen tersebut dapat berakibat kabinet meletakkan jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala Negara, manakala parlemen tidak lagi mempercayai kabinet49

1). Sistem Parlementer dengan Dua Partai

Sistem Parlementer dua partai, ketua partai politik yang memenangkan pemilu sekaligus ditunjuk sebagai formatur kabinet dan langsung sebagai perdana menteri. Seluruh menteri dalam kabinet adalah mereka yang terpilih sebagai anggota parlemen, dengan konsekuensi setelah diangkat menjadi menteri harus non aktif dalam perlemen (kabinet parlementer). Karena partai politik yang menguasai kabinet adalah sama dengan partai politik yang memegang mayoritas di House of Commons maka kedudukan kabinet sangat kuat, sehingga jarang dijatuhkan oleh parlemen sebelum dilaksanakan pemilu berikutnya. Misalnya, sistem parlementer diInggris.50

2). Sistem Parlementer dengan Multi Partai

Sistem Parlementer multi partai, parlemen tidaksatupun dari partai politik yang mampu menguasai kursi secara mayoritas, maka pembentukan kabinet disini sering tidak lancar. Kepala negara akan menunjuk tokoh politik tertentu untuk bertindak sebagai pembentuk kabinet/formatur. Dalam hal ini formatur harus mengingat perimbangan kekuatan di parlemen, sehingga setiap kabinet dibentuk merupakan bentuk kabinet koalisi (gabungan dari beberapa partai politik). Karena koalisi didasarkan pada kompromi, kadang - kadang terjadi setelah kabinet berjalan, dukungan yang diberikan oleh salah satu partai politik ditarik kembali

49

Ibid., hlm. 99.

50


(1)

88 dilakukan terutama yang berhubungan dengan PT. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 pemilu yang dilakukan secara serentak namun ambang batas syarat mencalonkan Presiden atau Presidentialthreshold adalah legal policy pemerintah dan dinyatakan konstitusional maka seharusnyatidak diperlukan lagi karena pemilu DPR, DPRD, DPD telah dilakukan secara bersama dengan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun, Pengaturan Hal ini tetap merupakan kewenangan terbuka pembentuk Undang-Undang kelanjutannya

D. Saran

Dari analisis sebagaimana diuraikan di atas. masukan dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Berdasarkan putusan diatas, maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pileg secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilu haruslah diatur degan undang-undang.

2. Selanjutnya penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan harus mendasarkan pada putusan Mahkamah a quo dan tidak dapat lagi diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara terpisah. Selain itu, persiapan persiapan teknis pelaksanaan pemilu harus dipersiapkan dengan matang jauh hari sebelum pelaksanaan Pemilu 2019. Persiapan lain di luar mekanisme pelaksanaan pemilu yang menjadi faktor penentu keberhasilan pemilu juga perlu dipersiapkan. Misalnya, kesiapan lembaga KPU, kesiapan masyarakat terhadap sistem pemilu yang baru, dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa timbul dalam pelaksanaan Pemilu.


(2)

89 DAFTAR PUSTAKA

i. BUKU

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2008.Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. RajaGrafindo Persada/ Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana Ilmu Popular.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Budiarjo, Miriam. 2007. Dasar- Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Buyung, Adnan Nasution. 2007. Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional. Kompas. Jakarta.

Campbell, Henry Black. 1968 Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence. Ancient and Modern (Revised Fourth Edition). West Publishing Co. St. Paul Minn.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2011. Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.1999Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa (Edisi Keempat). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


(3)

90 Dewa, I Gede Atmadja. 2012. Ilmu Negara (Sejarah. Konsep Negara. Dan Kajian

Kenegaraan). Setara Press. Malang.

Dewa, I Gede Atmadja. 2012. Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD NRI 1945). Setara Press. Malang.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1995 Kamus Inggris Indonesia (An English – Indonesia Dictionary). PT. Gramedia. Jakarta.

Kencana, Inu Syafiie. 2005.Pengantar Ilmu Pemerintahan. Cetakan Ketiga. Refika Aditama. Bandung.

Gaffar, Janedjri M. 2012. Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD NRI 1945). Konstitusi Press. Jakarta. 2012. Janedri M. Ghaffar. Politik Hukum Pemilu. Jakarta. Konstitusi Pres.

Erfandi. 2014. Parliamentary Threshould dan HAM dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Setara Press.

F, C. Strong. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern : Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Diterjemahkan Dari Modern Political Constitution : An Introduce To The Comparative Study Of Their History And Existing Form. Nuansa Dengan Nusamedia. Bandung.

Isra, Saldi. 2008 Pergeseran fungsi legislasi : Menguatnya model legislasi parlementer dalam sistem Presidensial Indonesia. Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada. 2010

Kelsen, Hans. 2011. Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and Moral Philosophy” terjemahan B Arief Sidharta). PT. Alumni. Bandung.

Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Sinar Bakti. Jakarta.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna – Historisitas. Rasionalitas. dan Aktualitas Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


(4)

91 Maman, Ade Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Rajawali

Press. Jakarta.

Mahfud, Moh. MD. 1993. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. UIIPress. Yogyakarta.

Marijan, Kacung.2010. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Kencana. Jakarta.

Mukti, A. Fadjar. 2006. Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi. Konpress. Jakarta.

Mukti, A. Fajar. 2013. Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu Dan Demokrasi Setara Press. Malang.

Mukti, A. Fajar. 1997. Hukum dan Penataan Kehidupan Politik di Indonesia. Malang. Penerbit Universitas Muhammadiyah.

Mukti, A. Fajar. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Konpres.

Mainwaring, Scott. 2003. “Presidentialism. Multipartism. and Democracy: The Difficult Combination“. dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl. Ian Shapiro. and Jose´ Antonio Cheibub. The MIT Press. London.

Pamuji, S. 1988. Perbandingan Pemerintahan. Bina Aksara.. Jakarta

Soemantri, Sri. 2010. Perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen UUD NRI 1945. dalam Saldi Isra Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi parlementer dalam sistem Presidensial Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soemantri, Sri Dan Bintan Saragih 1993. Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.


(5)

92 Supriyanto, Didik dan August Mellaz. 2011. Ambang Batas Perwakilan Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu. Perludem. Jakarta.

Surbakti, Ramlan dkk. Perekayasas Sistem Pemilu. Jakarta. Kemitraan.

Thaib, Dahlan et.al. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Rajawali Pers. Jakarta.

Tricahyo, Ibnu. 2009. Reformasi Pemilu – Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. In-TRANS Publishing. Malang.

Triwulan, Titik Tutik. 2005. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Prestasi Pustaka. Jakarta.

Triwulan, Titik Tutik. 2011.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD NRI 1945. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Triwahyuningsih. 2001. Pemilihan Presiden Langsung Dalam Kerangka Negara Demokrasi Indonesia. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.

ii. SKRIPSI/TESIS/MAKALAH/JURNAL:

Alrasyid, Harun. 2002Kajian Sistem Pemerintahan Dan Ruang Lingkupnya. Majalah Mahasiswa Universitas Pasunda. Bandung. .Vol.3. No. III

Dwi, Shanti kartika. PT Dalam Revisi UU Pilpres. Info singkat DPR Vol. V. No. 14/II/P3DI/Juli/2013

Gusti, I Ngurah Agung Sagoya Raditya. 2013. Rethinking Ketentuan Persentase Sebagai Syarat Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Di Indonesia.Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Naskah Akademik RUU Partai Politik Versi Cetro.

Nazaruddin. 2009. Kebijakan Multipartai sederhana dalam undang-undang pemilu. Jakarta.. Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1. juni 2009


(6)

93 iii. PERATURAN PERUNDANG- UNDANG:

Undang- Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres.

Undang- Undang No. No. 12 Tahun 2003 Tentang Pilpres.

Undang- Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah. dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang- Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 51-52-59/PUU-VI/2008 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUUXI/ 2013 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 51-52-59/PUU-VI/2008

iv. WEBSITE

BBC Indonesia.Mahkamah Konstitusi tolak gugatan Yusril Ihza Mahendra. http://www.bbc.co.uk/Indonesia/berita_Indonesia/2014/03/140320_mk_tol ak diakses tanggal 15 januari 2015 Pukul 10.00 WIB

Koran Jakarta. Yusrin Gugat UU Pilpres http://www.koran-jakarta.com/news/read/491349/yusrin-gugat-UUpilpres. diakses tanggal

20 Februari 2014

Setkab MPR. Prof Saldi Isra : Presidential Thresold Inskonstitusional http://www.MPR.go.id/berita/read/2013/05/07/11985/prof-saldi-isra Presidential-threshold-inkonstitusional diakses tanggal 3 januari 2014