Latar Belakang Sosial Ekonomi Masyarakat Karo

2. Daerah ketinggian 200 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut seluas 11.373 Ha 5.35 3. Daerah ketinggian 500 sampai dengan 1000 meter di atas pemukaan laut seluas 79.215 Ha 37,24 4. Daerah ketinggian 1000 sampai dengan 1400 meter dari permukaan laut seluar 112.587 Ha 52,92

2.2 Latar Belakang Sosial Ekonomi Masyarakat Karo

Sebelum pemerintah Kolonial Belanda tiba di dataran tinggi Karo, situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sifatnya sangat tertutup. Walaupun demikian bukan berarti tertutup seluruhnya, karena ada hubungan perdagangan dengan dunia luar walaupun terbatas. Sejumlah orang Karo pergi merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan, terutama dataran rendah Deli dan Langkat untuk menanam lada. Ekonomi Karo ketika ini banyak mengalami persamaan dengan etnis tetangganya seperti Simalungun, Toba, Pakpak dan Alas. Sikap mereka terhadap aktivitas ekonomi statis dan kaku dan seolah-olah tidak memiliki suatu harapan ekonomi akan mengalami perubahan dan perkembangan. Tanah yang dipergunakan masyarakat Karo untuk bertani, memelihara ternak dan berburu tidak seluruhnya subur dan kondisinya berbukit-bukit. Produksi padi ladang yang ditanam di lahan kering kira-kira memproduksi 1500 kgha. Ada beberapa buah sungai dengan lembah-lembah yang dialirinya, namun agak sempit dan dalam, sehingga sukar untuk membangun irigasi. Sarana jalan raya tidak ada sama sekali, termasuk sarana transportasi sungai yang sangat sulit dilalui. Alternatif Universitas Sumatera Utara transportasi satu-satunya adalah menembus hutan belantara dengan cara berjalan kaki, dan terkadang hewan kuda yang dibebani dengan sejumlah barang juga dimanfaatkan untuk menelusuri dan mendaki hutan belantara tersebut. Hasil utama tanaman masyarakat adalah padi, produksi tanaman ini tidak untuk diperdagangkan karena hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa produksi padi sangat rendah karena penguasaan teknik dan cara bercocok tanam sangat rendah dan sedikit. Hasil produksi panen juga berubah-ubah dari tahun ke tahun, salah satu faktor yang mengakibatkan demikian adalah karena masyarakat Karo tidak memiliki penanggalan yang baik, dan tanaman padi tidak selalu diadakan pada waktu yang tepat. Untuk melindungi diri terhadap kekurangan bahan pokok makanan dan ancaman kemarau, para petani menanam jagung dan menyimpan padi dalam lumbung sebanyak mungkin, kadang- kadang untuk tiga tahun atau lebih. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo memakan nasi dan gulai yang sangat sederhana, daging dan ikan asin adalah komoditi makanan yang sangat mewah, sedangkan beberapa jenis tikus umumnya tikus ladang, kodok dan serangga juga dimakan oleh masyarakat Karo. Ditinjau dari sudut keragaman dan kelezatan makanan mereka hampir sama dengan etnis tetangga-tetangganya dan jauh sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan makanan orang Melayu, Minang, Jawa dan Sunda. Selain konsumsi makanan yang sederhana, pakaian mereka juga sangat sederhana dan murah, demikian juga rumah mereka. Di antara orang kaya dan miskin tidak besar bedanya bahan makanan yang dimakan, demikian juga pakaian yang Universitas Sumatera Utara dikenakan sehari-hari maupun rumah tempat tinggal yang didiami. Saat-saat dimana pola makanan mereka mengalami perubahan adalah ketika menjamu tamu atau saat- saat mengadakan upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan lain-lain. Perdagangan dengan daerah lain walaupun jumlahnya sangat sedikit tapi berperan bagi ekonomi Karo. Garam dan ikan asin, candu dan besi semuanya diimport. Demikian juga barang pecah belah, kain dan senjata. Sebaliknya ekspor yang dilakukan adalah ternak dan sedikit lada, terkecuali oleh orang-orang Karo yang telah bermukim di sekitar kawasan dataran rendah yang dekat ke pantai jumlahnya besar. Salah satu faktor kenapa ekspor mereka sangat rendah adalah karena sarana jalan tikus tidak terawat baik, juga adalah karena kurangnya perlindungan. Organisasi ekonomi atau kesatuan ekonomi, yang utama tiap-tiap keluarga diharapkan memenuhi kebutuhan subsisten masing-masing. Hampir tidak ada pembahagian kerja dan spesialisasi ekonomi, terkecuali seperti yang didapatkan pada masyarakat pada umumnya. Ada juga beberapa orang yang memiliki pekerjaan sambilan sebagai tukang besi, dukun dan pemain musik. Di samping itu ada juga budak semua bukan orang Karo dalam jumlah kecil. Walaupun mereka budak, status mereka diperlakukan cukup tinggi dengan tugas membantu rumah tangga dan pekerjaan di ladang. Sedangkan tenaga upah tidak ada sama sekali, pekerjaan dilaksanakan di atas dasar tolong-menolong sesama keluarga dan tetangga, juga diatur atas dasar pertukaran kerja. Lembaga ini di Karo disebut aron, kebanyakan kelompok kerja dibentuk atas dasar sukarela dan hanya bekerja di bidang pertanian. Pola pekerjaan yang dipergunakan sama dengan yang terdapat pada ekonomi Universitas Sumatera Utara subsisten yang berpendapatan rendah lainnya, dimana tidak terdapat hirarki pada struktur politik dan struktur sosialnya. Kecuali tenaga kerja dan keterampilan yang mereka miliki tanah adalah satu- satunya sumber ekonomi mereka. Masyarakat desa sebagai kesatuan hanya memiliki hak pakai atas tanah yang dipergunakan untuk perladangan berpindah-pindah, tetapi memberi hak semi permanen untuk tegalan dan tanah yang dipersawahi. Tanaman menjadi hak bagi orang yang menanamnya. Apabila seseorang meninggal dunia dan dia memiliki hak pakai, katakanlah atas sebidang tanah yang telah digarap, maka hak pakainya diwarisi oleh putra-putranya dengan hak yang sama. Dalam hal yang khusus masyarakat desa dapat membatalkan hak atas tanah yang telah diberikan sedangkan orang luar tidak diizinkan untuk memperoleh tanah, tetap memindahkan hak-hak atas tanah kepada orang Karo lainnya diperbolehkan.

2.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo