Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

(1)

GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : WIFKY NORISTA E. KARO-KARO NIM : 090706010

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

Nama : Wifky Norista E. Karo-karo NIM : 090706010

Diketahui oleh: Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum NIP 195707161985031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO

Yang diajukan oleh :

Nama : Wifky Norista E. Karo-Karo NIM : 090706010

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing,

Tanggal 27 Juli 2013

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum NIP 195707161985031003

Ketua Departemen Sejarah,

Tanggal 27 Juli 2013

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP. 19640922198903001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 19640922198903001


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN:

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal : 27 Juli 2013 Hari : Sabtu

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum (---) 2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (---) 3. Drs.Wara Sinuhaji, M.Hum (---) 4. Drs. Samsul Tarigan (---) 5. Dra. S.P. Dewi Murni, M.A. (---)


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

UCAPAN TERIMA KASIH ABSTRAK

DAFTAR ISTILAH BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4Tinjauan Pustaka ... 6

1.5Metode Penelitian ... 9

BAB II SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO 2.1Domisili Orang Karo ... 12

2.2Sistem Kekerabatan Orang Karo ... 16

2.3 Sistem Kepercayaan ... 20


(7)

BAB III GERAKAN NATIVISME GARAMATA

3.1Garamata ... 26

3.2 Masuknya Belanda Ke Dataran Tinggi Karo ... 33

3.3Nativisme ... 36

3.4 Latar Belakang Lahirnya Gerakan Nativisme Garamata ... 39

3.5Perlawanan Nativisme Garamata ... 43

BAB IV DATARAN TINGGI PASCA PERJUANGAN GARAMATA 4.1 Akhir Perjuangan Garamata ... 57

4.2 Eksistensi Pemena ... 63

4.3 Struktur Pemerintahan ... 66

4.4 Pendidikan dan Ekonomi ... 70

4.5 Kepemilikan Tanah ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan berkatnya kepada kita, terutama kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk penyelesaian studi sarjana pada Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO. Penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis masih mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2013

Penulis

WIFKY N.E. KARO-KARO NIM : 090706010


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimaksih kepada orang-orang yang telah memberi bantuan berupa tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih penulis ucapkan kepada yang penulis hormati dan penulis kasihi :

1. Kepada nenek bayang yang paling penulis cintai Prudentia Sebayang yang selalu ada memberi semangat dan telah membesarkan penulis. Kedua orang tua yang sangat penulis kasihi bapak Logan Karo-Karo dan ibunda terkasih ibu Roslina Munthe, AM.keb. yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh cinta, terima kasih atas segalanya. Kepada adik-adik tersayang Harry Swandi Karo-Karo dan Ongky Alexander Karo-Karo, kepada sepupu tersayang Lidya Tarigan, Amd. yang juga selalu menyemangati dan memberi saran serta mama,mami,pak tua,bik tua yang telah mau bekerjasama membantu penulis dalam menyelesaikan studi.

2. Kepada bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A., Pembantu Dekan II Drs Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. atas fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara Medan sampai penulis menyelesaikan studi.


(10)

3. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah memberi nasehat dan saran, juga kepada ibu Dra. Nurhabsyah, M.si. sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Kepada ibu Dra. Nurhamida, M.A sebagai dosen Penasehat Akademik penulis yang selalu memberi nasehat dan saran-saran kepada penulis.

5. Terimakasih banyak juga penulis haturkan kepada bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum. selaku pembimbing skripsi saya atas segala arahan, bantuan, nasehatnya pada penulis dalam penulisan skripsi ini. Bapak adalah guru sekaligus ayah yang berperan membentuk mental yang kuat pada penulis.

6. Terimaksih juga pada semua Bapak dan Ibu Dosen Departemen Sejarah khususnya yang telah membagi ilmunya pada penulis selama mengikuti studi di kampus tercinta USU, semoga ilmu yang diberikan pada penulis dapat penulis manfaatkan dengan baik. Terimakasih juga buat Bang Ampera selaku Tata Usaha Departemen Sejarah FIB atas bantuannya dalam urusan di kampus.

7. Terimakasih juga penulis sampaikan pada seluruh informan yang membantu penulis dalam penelitian ini, Ir. Perdana Ginting, Ir. Brontak Bangun, Ny. Payung Bangun, Saksi Bangun, Banta Sembiring, Tandingen Gurusinga dan seluruh pegawai Yayasan Garamata yang telah bersedia membantu dan dengan tangan terbuka menerima penulis dalam berdiskusi serta membagi pengalaman kepada penulis tentang penelitian penulis.

8. Kepada keluarga besar KMK Fakultas Ilmu Budaya atas doa dan dukungannya kepada penulis.

9. Kepada seluruh teman-teman Mahasiswa Sejarah USU, terkhusus stambuk 2009 : Roni Keling, Mustika, Elisa, Hendra, Alpa,( love you all my soulmate) Ratna, Nia, Lisa keter,


(11)

Dara mama, Toti, Sinta, Mifany, Roventina, Rona, Ita, Humala, Gian, Sigmer, Duo Saddam, Muklis, Andri, Philip, Saut, Swandi, Andi, Adinova, Rijal, dan Poli. Terimakasih untuk semua kebahagiaan dan kekonyolan yang kita lakukan semasa kuliah, tidak akan pernah penulis lupa akan semuanya.

10.Terimakasih yang terkhusus saya ucapkan kepada pria yang sangat saya cintai dan kasihi Roni Franata Tarigan untuk segala cinta yang menjadi motivasi, semangat, bantuan, yang tak henti-hentinya kamu berikan selama ini. Terimakasih juga kepada bengkila terkasih bapak Tavip Tarigan untuk nasihat dan bantuan mobil “alpard” merah yang disediakan untuk membantu penelitian ini serta kepada bibi tercinta Herawati Bangun dan Sri Ulina Bangun untuk segala nasihat dan sarannya.

Dengan rasa bahagia yang sangat mendalam penulis mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini tidak luput dari kekurangan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2013


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang gerakan nativistik yang dilakukan oleh Garamata di Dataran Tinggi Karo terhadap kedatangan kolonial Belanda. Perlawanan muncul sebagai akibat dari penolakan terhadap pengaruh baru yang mengkhawatirkan tergesernya dan memudarnya nilai-nilai sosial, budaya, tatanan kehidupan lama yang telah kondusif. Terutama religi pemena yang saling berkaitan satu sama lain dengan adat-istiadat dan sistem kekerabatan, pemena merupakan kepercayaan leluhur masyarakat Karo, dikhawatirkan akan tergeser dengan datangnya pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh kolonial Belanda. Demikian juga halnya dengan sistem kepemilikan tanah, tanah merupakan lahan bertani yang menopang perekonomian masyarakat Karo Dataran Tinggi dikhawatirkan akan berubah serta pemanfaatannya akan dialihkan menjadi lahan perkebunan. Pendidikan dengan nilai barat dikhawatirkan pula akan mengikis minat akan pengetahuan aksara Karo. Seluruh kekhawatiran ini akhirnya mendorong Garamata melakukan perlawanan yang disebut dengan perlawanan nativistik.

Nativistik adalah perlawanan yang sifatnya menentang kebudayaan baru yang datang yang tujuannya mengadakan pembaharuan terhadap budaya lama. Perlawanan umumnya terjadi karena kelompok masyarakat merasa bahwa kebudayaan lama merupakan pedoman hidup yang sudah secara turun temurun diterima dan sudah mendarah daging dalam kehidupan. Perlawanan semacam inilah yang terjadi di Dataran Tinggi Karo yang menjadi objek kajian penelitian ini. Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan metode sejarah sebagai panduan menyusun dan menuliskan hasil penelitian.


(13)

DAFTAR ISTILAH

Anak Beru : Penerima Dara

Aras : Bagian dangkal sungai

Begu Kuta : Roh dari seseorang yang sudah meninggal dalam suatu desa Begu Jabu : Roh dari seseorang yang sudah meninggal dalam suatu keluarga Buat- buaten : Sedang diusahai

Daliken si telu : Tiga kekerabatan Dibata Ni Idah : Tuhan yang terlihat Devide Et Impera : Politik adu domba Ercibal : Meletakkan sesajian

Gancih Abu : Pernikahan menggantikan saudara yang meninggal Guru Si baso : Dukun

Kalimbubu : Pemberi Dara

Kesain : bagian dari desa

Kuta : Desa

Landshcap : Daerah taklukan

Mama : Paman

Mate Sada Wari : Meninggal tiba-tiba

Merga : Marga yang diperoleh dari ayah

Merga Silima : Marga orang Karo yang terdiri dari lima

Namo : Bagian dalam sungai

Nativisme : paham yang menjunjung tinggi nilai yang sudah ada terdahulu Niktik Wari : Melihat hari baik berdasarkan penanggalan Karo

Opporttuitteits beginsel : Pengampunan secara umum bagi pemberontak Belanda


(14)

Pajuh-pajuhen : Tempat meletakkan sesaji Pemena : Kepercayaan tradisional Karo

Penghulu : Pemimpin daerah

Perumah Begu : Upacara memanggil arwah orang meninggal Pur-pur Sage : Upacara perdamaian

Senina : Satu marga ataupun sub-marga Si Manteki Kuta : Pendiri sebuah desa

Singuda : Bungsu

Sintua : Sulung

Tuah Kalimbubu : Berkah dari pemberi dara Tutur Si Waluh : Kekerabatan dalam delapan hal.


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang gerakan nativistik yang dilakukan oleh Garamata di Dataran Tinggi Karo terhadap kedatangan kolonial Belanda. Perlawanan muncul sebagai akibat dari penolakan terhadap pengaruh baru yang mengkhawatirkan tergesernya dan memudarnya nilai-nilai sosial, budaya, tatanan kehidupan lama yang telah kondusif. Terutama religi pemena yang saling berkaitan satu sama lain dengan adat-istiadat dan sistem kekerabatan, pemena merupakan kepercayaan leluhur masyarakat Karo, dikhawatirkan akan tergeser dengan datangnya pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh kolonial Belanda. Demikian juga halnya dengan sistem kepemilikan tanah, tanah merupakan lahan bertani yang menopang perekonomian masyarakat Karo Dataran Tinggi dikhawatirkan akan berubah serta pemanfaatannya akan dialihkan menjadi lahan perkebunan. Pendidikan dengan nilai barat dikhawatirkan pula akan mengikis minat akan pengetahuan aksara Karo. Seluruh kekhawatiran ini akhirnya mendorong Garamata melakukan perlawanan yang disebut dengan perlawanan nativistik.

Nativistik adalah perlawanan yang sifatnya menentang kebudayaan baru yang datang yang tujuannya mengadakan pembaharuan terhadap budaya lama. Perlawanan umumnya terjadi karena kelompok masyarakat merasa bahwa kebudayaan lama merupakan pedoman hidup yang sudah secara turun temurun diterima dan sudah mendarah daging dalam kehidupan. Perlawanan semacam inilah yang terjadi di Dataran Tinggi Karo yang menjadi objek kajian penelitian ini. Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan metode sejarah sebagai panduan menyusun dan menuliskan hasil penelitian.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada abad ke-19 Belanda sudah menguasai Sumatera Timur dan telah menjadikan wilayah ini menjadi lahan perkebunan. Daerah Deli dan Langkat telah dijadikan dan dimanfaatkan menjadi lahan perkebunan. Pada saat Belanda telah menguasai Langkat dan Deli, bangsal-bangsal perkebunan tembakau milik Belanda banyak yang dibakar oleh orang-orang Karo terkait dengan Perang Sunggal. Perbuatan ini membuat orang-orang Karo dianggap tidak beradab oleh Belanda, dan memunculkan niat mereka mengubah sikap tidak beradab ini dengan melaksanakan misi kristenisasi, sekaligus pasifikasi wilayah kekuasaan Belanda ke Dataran Tinggi Karo menjelang awal abad ke 2O.

Pasifikasi wilayah Kolonial dan intervensi ini terjadi berketepatan saat terjadinya konflik bersaudara antara Pa Mbelgah Purba dari desa Rumah Kabanjahe dengan Pa Pelita Purba dari desa Lau Cih (Katepul) sedang berlangsung. Pada saat konflik terjadi Pa Pelita meminta bantuan pada Belanda. Dengan dalih ingin membantu mendamaikan, maka Belanda ikut campur dalam persoalan ini.

Masih terkait dengan konflik antara Pa Mbelgah dengan Pa Pelita, Garamata pun ikut terseret dalam arus orbit konflik dengan Belanda. Sistem kekerabatan yang telah terjalin sebagai hubungan anak beru dengan kalimbubu, membuat posisi Garamata sebagai kalimbubu merasa berkewajiban terlibat dalam masalah yang sedang dialami anak berunya sesuai aturan dalam sistem kekerabatan orang-orang Karo.

Selain dari konflik yang terjadi antara dua bersaudara marga Purba ini, Garamata juga sangat terusik dengan perlakuan Belanda terhadap saudara-saudaranya orang-orang Karo yang


(17)

berada di Langkat dan Deli. Di wilayah tersebut, tanah yang selama ini telah dimanfaatkan sebagai lahan bertani untuk mencari nafkah telah diambil alih dan dijadikan oleh Belanda menjadi lahan perkebunan, sehingga mereka kehilangan tanah sebagai tempat bertani.

Garamata khawatir hal yang sama dengan di Langkat dan Deli akan terjadi di Dataran Tinggi Karo. Namun, selain kekhawatiran tersebut Garamata juga khawatir dan mulai terusik dengan masuknya Kristenisasi melalui kedatangan seorang Pendeta yang bernama Guillaume. Agama Kristen dianggap oleh beliau akan mampu merusak tatanan sistem kepercayaan tradisional orang Karo yang telah membudaya,yaitu religi pemena. Demikian pula halnya dengan pendidikan, pendidikan dengan nilai-nilai Barat yang mulai diperkenalkan ke tengah masyarakat Karo dianggap dapat merusak nilai-nilai dan sistem pendidikan lama.

Terusik dan khawatir bahwa nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Karo di Dataran Tinggi akan berubah akibat pengaruh yang dibawa oleh Kolonial Belanda, Garamata kemudian melakukan gerakan sosial nativistik dengan menantang kedatangan Belanda.

Garamata melihat niat pasifikasi wilayah kolonial serta misi kristenisasi ini tentu akan mengusik kenyamanan aliran Pemena dan sistem kekerabatan yang sudah berurat dan berakar sesuai adat istiadat karo. Hal inilah motivasi lain menyebabkan kenapa Garamata melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Garamata adalah sosok yang kuat, berwibawa dan kharismatik, namun dari sosoknya yang kuat, berwibawa dan kharismatik tersebut, ada perjuangan penting yang tidak boleh terlupakan, yakni tentang perjuangannya mempertahankan kepercayaan dan religi pemena, sistem kekerabatan dan adat istiadat. Perjuangan dalam mempertahankan pemena tersebut merupakan salah satu latar belakang sebuah gerakan Nativistik dalam perlawanannya terhadap Belanda,


(18)

terutama religi pemena, untuk mempertahankan tradisi dan kultur masyarakat Karo di Dataran Tinggi.

Pemena dahulu juga sempat dinamai dengan perbegu, namun setelah Belanda masuk ke Dataran tinggi Karo dengan misi keagamaan di samping misi pasifikasi wilayah Kolonial, maka ada stigma negatif yang dilekatkan oleh Belanda pada perbegu. Penganutnya disebut sebagai orang yang memelihara setan, ”begu ganjang” dan lain-lain yang berkonotasi negatif. Hal ini dilakukan agar pemeluk pemena mau meninggalkan kepercayaannya dan memeluk agama kristen. Saat stigma negative terhadap perbegu mulai dilekatkan, terlalu banyak tekanan yang didapat oleh orang-orang Karo sehingga akhirnya diganti kembali namanya menjadi pemena.

Garamata adalah salah satu penganut pemena dan sangat mempertahankan aliran kepercayaannya. Saat Belanda masuk ke Dataran Tinggi Karo dengan misi kristenisasi, maka Garamata merasa kepercayaan dan adat istiadat serta kekerabatan mereka mulai terusik dan terancam disintegrasi. Perjuangan mempertahankan pemena, merupakan bagian penting dalam perjuangannya sebagai sebuah gerakan nativistik, yang tidak boleh dilupakan. Bagaimana Garamata dalam mempertahankan eksistensi kepercayaan dan sistem sosial serta kekerabatannya akan penulis jadikan sebagai objek dalam penulisan skripsi ini dengan judul GARAMATA : Sebuah Gerakan Nativistik di Dataran Tinggi Karo.

Atas dasar inilah tentunya akan dikaji lebih mendalam serta lebih terperinci lagi tentang apa saja bentuk-bentuk nativistik yang dilakukan oleh Garamata terhadap pemerintah kolonial Belanda, sehingga kita dapat melihat proses perubahan sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Dataran Tinggi Karo.


(19)

1.2 Rumusan Masalah

Sebelum membuat sebuah tulisan ada baiknya dibuat batasan atau rumusan masalah yang hendak kita teliti. Hal ini dimaksudkan sebagai landasan utama agar dapat lebih mudah untuk mencari data-data yang dibutuhkan dalam penyelesaian tulisan ini. Dengan adanya rumusan masalah yang tersusun baik, maka penulisan sebuah karya tulis akan lebih terarah dan tersusun secara sistematis. Sebaliknya rumusan tersebut akan mempermudah penelitian dalam upaya menghasilkan penulisan yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan dalam masalah-masalah sebagai berikut :

1. Apa latar belakang Garamata mempertahankan pemena ?

2. Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Garamata?

3. Bagaimana akhir eksistensi pemena itu sendiri dalam diri Garamata dan masyarakat Karo?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini, maka selanjutnya kita akan dapat memahami mengenai hal yang menjadi tujuan penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penelitian ini. Untuk itu adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui latar belakang Garamata mempertahankan religi pemena. 2. Mengetahui bentuk-bentuk perlawanan Garamata.

3. Mengetahui eksistensi pemena dalam diri Garamata sampai akhir hayatnya. Sedangkan adapun manfaat dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :


(20)

1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi literatur yang bermanfaat bagi dunia pendidikan terutama dalam bidang ilmu sejarah.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya, terutama bahan untuk mengakumulasi tentang objek tersebut terutama tentang Garamata

3. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami gerakan Nativistik di dataran Tinggi Karo.

1.4Tinjauan Pustaka

Dalam setiap penulisan karya ilmiah sangat diperlukan keakuratan data, sehingga menonjolkan sisi objektifitas data. Untuk itu, penting bagi penulis menggunakan beberapa referensi ataupun literatur yang mendukung keberadaan sebuah fakta yang dapat dijadikan pedoman penulisan tentunya. Untuk memperoleh hasil yang objektif seperti yang diharapkan, maka selayaknya pula penulis menggunakan sumber yang berkaitan dengan objek. Dalam hal ini penulis menggunakan beberapa buku panduan dasar yang menimbulkan gagasan, konsep, teori dan mengarah pada pembentukan hipotesa serta sumber informasi atau pendukung tulisan yang akan dibuat.

Brahma Putro, dalam Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman (1995) mengatakan bahwa pemena dahulu sempat disebut perbegu. Dalam buku tersebut juga dituliskan tentang sejarah penyebutan perbegu dari segi sejarah menurut pandangannya. Dari sisi sejarah yang diungkapkan oleh beliau adalah logis bila ada kemungkinan pemena punya keterkaitan yang sangat dekat dengan Hindu. Dalam agama Hindu ada dikenal sebuah sekte yang disebut sekte Ciwa. Sekte Ciwa mempunyai dasar ajaran yakni kitab Weda Smtri yang ditulis oleh Maharesi Brgu. Karo adalah salah satu daerah yang sebelum datang pengaruh agama modern sekarang


(21)

sudah dipengaruhi oleh sekte Ciwa, popularitas Maharesi Brgu menonjol dan diyakini sepenuhnya di daerah Karo sehingga nama Brgu dikeramatkan menjadi nama perbegu/sipelebegu.1

Ir. Brontak Bangun dan Ir. Perdana Ginting dalam bukunya yang berjudul Kiras Bangun (Garamata)Pahlawan Nasional Dari Tanah Karo. Dalam buku tersebut dituliskan bagaimana tentang kehidupan Garamata, tetapi masa kecilnya tidak banyak dibahas dalam buku ini, selain itu dari buku ini juga dapat diketahui bagaimana Garamata mendapat pendidikan bahasa Melayu, namun beliau lebih banyak diajari oleh ayahnya tentang adat istiadat orang-orang Karo.2

Ir. Perdana Ginting dalam bukunya yang berjudul Kiras Bangun (Garamata) Melawan Penjajahan Belanda di Tanah Karo dan Aceh menuliskan tentang bagaimana proses perjuangan Garamata dalam melawan penjajahan Belanda dengan melintasi provinsi dan agama sampai ke Aceh. Buku ini dengan jelas menguraikan perjuangan Garamata dalam menolak kedatangan Belanda, serta bagaimana Garamata mampu menggalang kekuatan lintas provinsi.3

Ir. Perdana Ginting dalam tulisannya yang berjudul Hasil Seminar Nasional Perjuangan Kiras Bangun (Garamata) Melawan Penjajah Di Tanah Karo juga menuliskan tentang bagaimana perjuangan Garamata di Dataran Tinggi Karo, namun berbeda dengan buku yang ditulis beliau terdahulu, buku ini sebenarnya merupakan kumpulan hasil makalah seminar tentang Garamata. Pada seminar tersebut diundang pula sejarawan- sejarawan dari berbagai lembaga dan universitas, seperti Taufik Abdullah, T. Ibrahim Alfian, Payung Bangun, T.

1 Brahma Putro, Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman Jilid I, Medan : Ulih Saber, 1998, hal. 35.

2

Brontak Bangun dan Perdana Ginting, Kiras Bangung (Garamata) Pahlawan Nasional dari Tanah Karo, Bekasi : Kesaint Blanck, 2008, hal. 16.

3

Perdana Ginting, Kiras Bangun (Garamata) Melawan Penjajah Belanda di Tanah Karo dan Aceh: Medan, Yayasan Garamata, 2005, hal. 18.


(22)

Luckman Sinar, Jadiaman Perangin-angin, dan Thalib Akhbar. Dalam seminar ini terungkap pula bagaimana pandangan tokoh agama tentang sosok Garamata. Buku ini sangat membantu penulis dalam penyelesaian tulisan ini karena memberi banyak informasi tentang Garamata.

Drs. Tridah Bangun dalam bukunya yang berjudul Adat Istiadat Karo menyebutkan bahwa orang Karo mempunyai kepercayaan leluhur yang mempunyai fokus kepercayaan terhadap tendi. Orang Karo disebutkan mengenal tendi sebagai sesuatu yang mampu melindungi manusia yang masih hidup. Tendi orang yang sudah meninggal disebut begu.4

4

Tridah Bangun, Adat Istiadat Karo : Jakarta, Yayasan Merga Silima, 1990,hal. 24

Persoalan tentang dibata ni idah adalah persolan yang terkait dengan adat istiadat, yakni tentang sistem kekerabatan rakut si telu. Dalam sistem kekerabatan ini, posisi kalimbubu merupakan posisi yang paling dihormati sebagai dibata ni idah.

Michael Adas dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Buku ini berisi tentang kisah perjuangan melawan kolonialisme Eropa yang ingin mengubah keadaan yang sudah tertata baik pada suatu Negara dan memasukkan budaya baru. Buku ini membantu saya dalam memahami apa yang sebenarnya membuat gerakan nativisme melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai baru yang dianggap dapat merusak nilai-nilai dan tatanan lama yang telah kondusif sebagai sebuah peradaban masyarakat tertentu.


(23)

1.5Metode Penelitian

Metode penelitian adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan sebagai suatu patron teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah dimana suatu proses berupa aturan-aturan yang dikonsep untuk membantu secara efektif untuk mendapatkan kebenaran sejarah.5

5

Louis Gooschalk, Mengerti Sejarah( terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta : UI PRESS, 1986, hal. 143

Penulisan sejarah deskriptif-analitis harus melalui tahapan demi tahapan. Dalam metode sejarah ada empat tahapan yang harus dilakukan : pertama heuristik (pengumpulan sumber); kedua verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sejarah); ketiga interpretasi (analisis, sintesis) keempat adalah historiogafi (penulisan).

Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, pengumpulan sumber-sumber yang terkait dengan objek penelitian dari berbagai sumber penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Sumber tersebut merupakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dapat dibagi dua, yang pertama berupa dokumentasi dan arsip-arsip dan yang kedua adalah sumber lisan berupa wawancara yang langsung terhadap orang yang paham terhadap objek tulisan.

Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi). Setelah semua yang dibutuhkan terkumpul, dilanjutkan dengan kritik sumber. Artinya keabsahan sumber dipertanyakan melalui pendekatan intern dan ekstern. Dalam pendekatan intern yang harus dilakukan adalah menelaah dan memverifikasi kebenaran dari “dalam”, yaitu isi dari sumber atau fakta sumber, baik yang bersifat tulisan (buku,artikel,laporan dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara dan kesaksian).


(24)

Kritik ekstern dilakukan dengan cara memverifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang menjurus ke arah objektif yang berasal dari data-data yang terjaga keaslian dan keobjektifannya, tanpa ada subjektifitas dalam hasil penulisan.

Langkah ketiga yang dilakukan adalah interpretasi, setelah data dikritik maka penulis melakukan penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil dan kritik sumber. Proses interpretasi bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber, walaupun kita ketahui tidak akan dapat dihilangkan sepenuhnya, interpretasi ini dapat dikatakan sementara sebelum penulis membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Tahap yang terakhir adalah historiografi, tahapan ini berisi tentang penulisan, pemaparan atau pelaporan dari hasil rekonstruksi data-data terhadap penelitian sejarah yang telah dilakukan. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Historiografi juga merupakan klimaks dari sebuah metode sejarah.6

Ketika menganalisis berbagai peristiwa dan fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan objek kajian. Hal ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Empat tahapan di atas akan saling berkaitan antara satu dengan yang Layaknya penelitian ilmiah, hasil penulisan penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (heuristik) sampai pada tahapan akhir yaitu penarikan kesimpulan, sehingga dapat dikatakan penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis.

6


(25)

lain.7 Berdasarkan penelitian sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitian yang berlangsung sesuai dengan mekanisme yang dipergunakannya atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki keabsahan yang memadai atau tidak, jadi dengan penelitian sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri.8

7

Kuntowijiyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Bentang Budaya, 1995,hal. 95


(26)

BAB II

STRUKTUR SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT KARO

2.1 Domisili Orang Karo

Jauh sebelum kedatangan Belanda, orang-orang Karo sudah bermukim dan mendiami sebagian besar daerah Sumatra Timur, wilayah ini belakangan kita kenal telah berubah menjadi Provinsi Sumatra Utara. Pada awalnya orang-orang Karo mendiami wilayah pegunungan yang kita kenal sebagai Dataran Tinggi Karo.

Bentuk Dataran Tinggi Karo mirip sebuah kuali yang sangat besar, wilayahnya dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 sampai 1400 m di atas permukaan laut, terhampar disepanjang pegunungan Bukit Barisan serta terletak di antara koordinat 20050’ L.U, 3019’ L.S, 97055’-98038’B.T. Di antara gunung-gunungnya yang terkenal adalah : di sebelah Utara adalah Gunung Barus, Pinto, Sibayak, Simole dan Sinabung ; di sebelah Selatan ada Gunung Sibuaten dan dari semuanya tersebut terdapat dua gunung berapi yaitu Gunung Sibayak dan Sinabung.9

9

Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi dan Enterpreneurship Masyarakata Karo Pasca Revolusi, Medan : USU Press, 2004,hal. 29

Kondisi Geografis yang dikelilingi oleh pegunungan dan dua Gunung Berapi, menjadikan wilayah ini subur oleh zat-zat yang berasal dari Gunung tersebut. Kondisi tanah yang subur memungkinkan masyarakat Karo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai petani dengan bercocok tanam. Hasil dari pengolahan pertanian dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.


(27)

Kendati pada awalnya mendiami pegunungan yang memiliki kesuburan tanah yang memungkinkan menanam berbagai tanaman untuk kebutuhan hidup, namun ternyata hasil dari alam pegunungan itu saja tidak mampu memenuhi segala kebutuhan hidup masyarakat Karo di Dataran Tinggi. Terdesak oleh kebutuhan yang tidak mampu dipenuhi dengan mengandalkan hasil yang mampu diproduksi oleh wilayah tempat tinggalnya menyebabkan orang-orang Karo dari Dataran Tinggi turun ke daerah pantai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada awalnya interaksi yang dilakukan oleh orang-orang Karo dari gunung semata untuk melakukan barter terhadap kebutuhan yang tidak mampu dihasilkan, terutama garam. Lambat laun akhirnya interaksi ini membuat munculnya pemukiman baru sepanjang jalur pegunungan ke daerah pantai seiring perkembangan dan pertumbuhan jumlah penduduk, sehingga secara evolutif mereka mulai menetap di sepanjang jalur pantai Barat kemudian ke Timur.

Melalui proses yang panjang akhirnya orang-orang Karo gunung tersebar kebeberapa wilayah. Adapun akhirnya wilayah yang didiami oleh orang-orang Karo dimulai dari Sipispis sekitar Tebing Tinggi sebelah Utara menyusuri pantai sampai ke Langkat, kemudian ke Selatan daerah Kabupaten Karo sekarang, dan Tiga Lingga (Kabupaten Dairi sekarang) terus ke Simalungun Atas lalu menyambung kembali ke Sipispis.10

10

Tridah Bangun dan Hendri Chairuddin, Kilap Sumagan: Sebuah Biografi Slamat Ginting , Jakarta: Haji Mas Agung, 1994, hal. 8

Termasuk di sepanjang Kali Alas dan Karo Baluren, jalan niaga ke pantai Barat sebelum jalur niaga ke pantai Timur ramai pada pertengahan abad ke 18.

Gambaran tentang domisili orang Karo yang menyebar juga digambarkan oleh J.H Neuman dalam sebuah bukunya. Dikatakan oleh J.H Neuman adapun wilayah pemukiman mereka adalah sebagai berikut :


(28)

“wilayah yang didiami oleh suku-suku Karo dibatasi sebelah Timur oleh pinggiran jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu bila memasuki wilayah Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh Gunung Sinabung dan di sebelah Utara wilayah meluas sampai ke dataran rendah Deli dan Serdang.”11

a.Kabupaten Karo

Jadi masyarakat Karo, sebelum kedatangan Belanda sudah tersebar luas ke beberapa wilayah. Bukan hanya di Dataran Tinggi Karo yang kita kenal dengan Kabupaten Karo sekarang ini, namun menyebar luas ke wilayah lain yang disebut masyarakat Karo dengan Taneh Karo. Taneh Karo bagi orang Karo mempunyai makna sebagai tanah yang didiami oleh orang-orang Karo.

Belakangan setelah merdeka dan dengan telah terstrukturnya wilayah dengan baik, maka domisili orang Karo sekarang ini berada pada beberapa wilayah pemerintahan sebagai berikut :

b. Kabupaten Dairi, yakni : Kecamatan Tanah Pinem dan Kecamatan Tiga Lingga

c.Kabupaten Deli Serdang, yakni : Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Namo Rambe, Kecamatan Sunggal, Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa dan Kecamatan Sibiru-biru.

11


(29)

d. Kabupaten Langkat, yakni : Kecamatan Batang Serangan, Kecamatan Bahorok, Kecamatan Selapin, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, Kecamatan Sungai Bingai, dan Kecamatan Stabat.

e.Sebagian kecil Kabupaten Aceh Tenggara, yakni Kecamatan Lau Sigala-gala dan Kecamatan Simpang Simadan.

f.Sebagian daerah Kotamadya Medan

2.2 Sistem Kekerabatan Suku Karo

Indonesia yang terhampar luas dari Sabang hingga ke Merauke memiliki etnis dan budaya yang heterogen Setiap suku di Indonesia sudah tentu mempunyai kebudayaan masing-masing. Banyak para ahli yang telah mendefenisikan pengertian tentang kebudayaan. Seorang ahli kebudayaan yang bernama Van Peursen menyebutkan, “kebudayaan meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti misalnya : Agama, Filsafat, Ilmu Pengetahuan, Tata Negara dan lain sebagainya”.12

Ahli lain yang bernama CH. Usman juga menyebutkan pendapatnya tentang kebudayaan. Ia menyebutkan bahwa kebudayaan adalah segala hasil pemikiran dan usaha manusia yang dapat dikenali paling sedikit mempunyai tiga wujud, yakni : kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia, kemudian kompleks aktivitas yang dapat diamati sebagai interaksi manusia dalam masyarakat yang kemudian disebut sebagai sistem sosial serta wujud sebagai benda yang dapat diraba, seperti misalnya bangunan dan peralatan.13

12

Tridah Bangun, Op.Cit.hal. 1

13


(30)

Terlepas dari banyaknya pendapat ahli yang memberikan pengertian dan pandangan dari kebudayaan, namun pada dasarnya bahwa kebudayaan itu merupakan hasil karya manusia yang sudah bisa diterima secara umum oleh masyarakat dan dipakai sebagai sebuah acuan. Budaya suatu kelompok masyarakat menunjukkan bagaimana tata cara dan tingkah laku mereka untuk mematuhi norma maupun kaidah-kaidah serta aturan-aturan konvensional yang telah berproses.14 Atau telah menjadi tradisi dalam kurun waktu yang lama dan diwariskan secara turun temurun, demikian juga tentang tinggi rendahnya budaya masyarakat, tercermin dalam materi-materi budaya mereka yang ada.15

Selain merga silima seperti yang sudah disebutkan di atas, masyarakat Karo juga saling terikat satu sama lain dalam sebuah sistem yang dikenal dengan kekerabatan

Dari pemikiran-pemikiran ini dapat pula kita pahami bahwa masyarakat Karo juga memiliki kebudayaan yang diterima oleh masyarakatnya untuk dipakai sebagai acuan hidup. Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut berupa sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini muncul erat kaitannya dengan keberadaan lima marga di masyarakat Karo. Adapun kelima marga tersebut adalah : Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Perangin-angin. Kelima marga ini masih memiliki masing-masing sub-marga tersendiri

Walaupun suku Karo memencar secara meluas diberbagai wilayah dan tempat yang berbeda namun secara esensi budaya mereka sama. Salah satunya adalah sistem kekerabatan yang mengikat dan mempertautkan satu sama lain. Sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo dikenal dengan nama merga silima, Rakut Sitelu dan tutur si waluh . Segala aspek dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Karo berkaitan dengan Marga.

14

Wara Sinuhaji, Op.Cit. hal. 31

15


(31)

Rakut Sitelu terdiri dari Senina, Anak Beru dan Kalimbubu.

1. Senina

Senina secara singkat dapat diartikan memiliki posisi yang sama (sekundulen). Namun senina secara lebih luas lagi sebenarnya merupakan orang-orang yang mempunyai hubungan marga ataupun sub marga yang sama, yang mempunyai hubungan marga atau sub marga ibu juga sama yang disebut senina sepemeren, serta yang mempunyai marga ataupun sub marga istri yang sama yang disebut senina separibanen.

2. Anak Beru

Anak Beru pengertiannya dalam masyarakat Karo boleh diartikan sebagai pengambil dara atau anak perempuan. Namun anak beru secara lebih luas

sebenarnya merupakan keluarga yang anak laki-lakinya sudah menikahi anak perempuan keluarga tertentu.

Anak Beru terbagi ke dalam beberapa kelompok seperti:

a. Anak Beru Ampu : yaitu pria yang menikahi anak perempuan dari satu keluarga.

b. .Anak Beru Ipupus : yaitu anak dari saudara perempuan ayah kita ataupun anak dari turang (saudara perempuan)

c. Anak Beru Cekoh Baka : yaitu anak dari anak beru ipupus yang menikahi anak pamannya.

d. Anak Beru Cekoh Baka Tutup : yaitu anak dari Anak Beru Cekoh Baka yang menikahi anak pamannya.


(32)

3.Kalimbubu

Kalimbubu adalah posisi yang paling dihormati dalam sistem kekerabatan orang Karo, bahkan kalimbubu itu disebutkan juga sebagai Dibata ni Idah ( Tuhan Yang Terlihat). Kalimbubu inilah yang juga terkait dengan apa yang ada dalam kepercayaan suku Karo yang kita kenal dengan sebagai pemena. Kalimbubu mempunyai pengertian yang sangat luas dan terbagi atas beberapa kelompok namun secara umum boleh kita artikan sebagai keluarga yang anak perempuannya akan diambil anak beru menjadi menantu dirumahnya. Adapun beberapa kelompok kalimbubu adalah sebagai berikut : kalimbubu simada dareh, kalimbubu iperdemui, kalimbubu bapa, kalimbubu nini, kalimbubu tua, dan puang kalimbubu.

Kemudian tutur si waluh. Tutur si waluh sendiri masih sangat berkaitan dengan adanya lima marga tersebut. tutur si waluh terdiri dari sembuyak, senina, separibanen, sipemeren, anak beru, anak beru menteri, kalimbubu dan puang kalimbubu.

2.3 Sistem Kepercayaan

Jauh sebelum kedatangan agama-agama modern saat ini, masyarakat Karo telah memiliki religi sebagai sebuah kepercayaan. Adapun sistem kepercayaan tersebut dikenal dengan nama pemena atau perbegu.

Pemena adalah budaya dalam bentuk kepercayaan sebaliknya kepercayaan adalah yang segala aspeknya terdiri dari budaya. Secara etimologis pemena berarti yang pertama. Sesuai dengan namanya pemena itu sendiri adalah sebuah kepercayaan yang pertama sekali ada dan dikenal oleh orang-orang Karo.


(33)

Berkaitan dengan pemena, bahwa religi ini sering dikaitan dengan agama Hindu, namun terlepas dari itu semua, pada kehidupan masyarakat Karo pemena diterima dan diyakini penuh sebagai sebuah kepercayaan pada masyarakat Karo. Tidak pernah jelas kapan tepatnya aliran kepercayaan pemena masuk ke tengah-tengah kehidupan suku Karo serta belum pernah ditemukan bukti yang akurat menyebutkan bahwa aliran kepercayaan pemena ini dibawa oleh siapa, namun yang jelas bahwa pemena pernah menjadi kepercayaan suku Karo sebelum agama samawi atau Islam dan Nasrani berpengaruh dan merubah total kepercayaan mereka.

Kepercayaan pemena merupakan kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan diluar kekuatan manusia, walau tidak terlihat namun bisa dirasakan. Kekuatan tersebut berasal dari begu kuta dan begu jabu, bukan kepada Tuhan.Begu Kuta adalah roh-roh dari orang yang sudah meninggal di kampung yang ditempati masyarakat tersebut. Sedangkan Begu Jabu adalah roh-roh dari keluarga kita yang sudah meninggal dunia. Roh dari orang yang sudah meninggal tersebut dipercayai akan menjaga manusia yang masih hidup dalam melakoni perjalanan kehidupannya. Kekuatan terbesar diyakini berasal dari roh manusia yang meninggal karena suatu kejadian, tanpa melalui proses sakit terlebih dahulu. Dalam bahasa Karo roh ini disebut dengan begu mate sada wari.

Manusia yang masih hidup, apabila ingin berhubungan dengan kekuatan roh-roh tersebut haruslah melalui seorang dukun, yang dikenal dengan sebutan Guru Sibaso. Melalui Guru Sibaso dilakukan ritual perumah begu (memanggil roh orang yang sudah meninggal). Perumah begu biasa dilakukan saat sehari setelah seseorang meninggal dunia atau bisa juga dilakukan pada saat-saat tertentu kalau memang dibutuhkan.


(34)

Roh dari orang yang meninggal dipercaya masih hidup, dekat dengan manusia yang hidup, walaupun di alam yang sudah berbeda. Berawal dari kepercayaan ini, maka pada setiap perkampungan orang Karo, ada dibuat semacam tempat untuk meletakkan sesaji sebagai persembahan. Tradisi ini dalam masyarakat Karo dikenal dengan nama ercibal. Tempat untuk memberi sesaji yang dibuat pada setiap perkampungan itu dinamai pajuh-pajuhen. Pajuh-pajuhen biasanya dilakukan di bawah pohon beringin, dan dalam masyarakat Karo dikenal dengan nama batang jabi-jabi. Alasan mengapa pohon beringin dijadikan sebagai tempat pajuh-pajuhen, karena pohon beringin disimbolkan sebagai kehidupan bahagia setelah kematian yang belakangan dikenal penganutnya sebagai surga. Akarnya sebagai tempat duduk menyandar (kundul-kundul), daunnya sebagai tempat jolah-jolah (ayunan). Simbol lain yang memakai tumbuhan adalah penyimbolan tentang kehidupan yang sangat menyiksa setelah kematian yang belakangan dikenal dengan sebutan neraka. Penyimbolan neraka dalam konteks kepercayaan ini memakai simbol pohon jeruk purut (rimo mukur).

Dan bentuk lain dari adanya kepercayan orang-orang Karo akan kehidupan roh yang sudah meninggal adalah dengan membawakan makanan ke kuburan orang yang sudah meninggal, terutama pada hari keempat setelah seseorang meninggal dunia.

Sementara kaitan pemena dengan sistem kekerabatan dalam suku Karo tersebut bisa terlihat dalam penempatan kalimbubu sebagai Tuhan yang dapat dilihat. Perlakuan istimewa tersebut dapat kita lihat saat seorang bayi lahir, maka harus dilakukan proses potong rambut yang dilakukan oleh kalimbubu dalam hal ini adalah mama (paman). Tradisi potong rambut oleh pamannya dimaksudkan agar si bayi tersebut dapat berkat dari pamannya, bukan dari Tuhan seperti yang diyakini agama modern saat ini. Terlihat jelas bahwa dalam pemena siapa yang diposisikan seperti Tuhan.


(35)

Tradisi lain terlihat adalah saat musim panen tiba. Sebagai contoh, bila ada sebuah keluarga mempunyai tanaman padi, maka saat padi tersebut sudah dipanen, maka padi yang telah menjadi beras harus terlebih dahulu dibawa kerumah kalimbubu beserta lauknya yang biasanya adalah ayam. Tradisi ini juga dimaksudkan agar pada saat menanam padi berikutnya padi akan berbuah banyak karena diberkati oleh kalimbubu atau dalam bahasa karo dikenal dengan sebutan tuah kalimbubu.

2.4 Sistem Pemerintahan dan Sistem Kepemilikan Tanah Pra-Kolonial

Sebelum Belanda masuk ke Dataran Tinggi Karo, masyarakat Karo sudah mampu menjalankan kehidupan dengan aturan pemerintahan yang didasarkan atas aturan adat-istiadat. Sebuah desa biasa didirikan oleh satu marga tertentu. Marga yang mendirikan desa dikenal sebagai si manteki kuta. Pada saat marga tertentu membuka desa baru, biasanya turut serta membawa anak beru dan kalimbubu. Anak berunya tersebut dikenal dengan nama anak beru kuta.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, maka di sebuah desa pada masyarakat Karo akan dipimpin oleh yang pertama mendirikannya atau simanteki kuta. Pemimpin sebuah desa disebut juga dengan pengulu kuta. Pengulu kuta kemudian dibantu oleh anak beru kuta dan kalimbubunya dalam melangsungkan jalannya roda pemerintahan sebuah desa.

Apabila si pengulu kuta telah tutup usia, maka digantikan oleh putranya. Namun uniknya dalam masyarakat karo, ada sebuah aturan yang disebut dengan sintua-singuda (sulung-bungsu). Konsep sintua-singuda ini maksudnya adalah apabila ayah mereka yang merupakan pengulu kuta telah tutup usia, maka tampuk pemerintahan akan diteruskan oleh putra yang paling tua dari


(36)

pengulu kuta tersebut, namun apabila anak tertua tersebut ada halangan yang menjadikan dia tidak dapat mengambil alih tampuk pemerintahan, maka yang menggantikannya bukan anak yang diurutan tengah. Yang menggantikan posisi yang seharusnya diduduk i oleh anak yang paling besar atau sulung adalah anak yang bungsu.

Di posisi lain ada pula masyarakat yang tidak masuk ke dalam kategori keluarga simanteki kuta. Mereka ini adalah orang-orang yang datang setelah desa dibuka. Kelompok ini terbagi atas dua, yakni ginemgem dan rayap derip. Kedua kelompok ini adalah rakyat biasa yang merupakan pendatang. Ginemgem adalah pendatang yang punya hubungan dengan kelompok simanteki kuta melalui proses perkawinan, sedangkan rayap derip merupakan pendatang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan kelompok simanteki kuta.

Pemerintahan diatur secara hirarki, mulai dari pemimpin dari simanteki kuta sampai rakyat biasa yakni kelompok ginemgem dan rayap derip. Sama halnya dengan masa sekarang, hukum dalam masyarakat Karo juga ada, namun tetap berdasar pada adat-istiadat. Pada tiap-tiap desa dibuat semacam balai yang dipakai untuk tempat bermusyawarah mengambil sebuah keputusan atau untuk membicarakan hukuman apa yang akan diberikan pada seorang penduduk desa yang melakukan kesalahan. Untuk memenuhi setiap kebutuhan bersama, misalnya pembuatan balai, maka anggarannya berasal dari hasil “patungan” seluruh penduduk. “patungan” biasa diambil dari hasil panen penduduk.

Persoalan seputar kepemilikan tanah juga diatur berdasarkan adat-istiadat. Tanah dalam masyarakat Karo identik dengan marga artinya tanah dimiliki oleh marga-marga yang mendirikan masing-masing desa atau dalam skala lebih kecil yang mendirikan kesain. Kesain


(37)

merupakan penyebutan bagi hunian yang lebih kecil dari desa. Desa adalah merupakan bentuk hunian dari kesain yang semakin berkembang.

Tanah dimanfaatkan sebagai lahan untuk memproduksi segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk marga pendatang biasa diberi lahan oleh simanteki kuta dengan luas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pula. Tanah yang diberikan oleh simanteki kuta pada masyarakat pendatang di luar kelompoknya dikenakan semacam sewa tanah dan tidak di ijinkan untuk dibeli, tanah hanya untuk disewakan.


(38)

BAB III

GERAKAN NATIVISME GARAMATA

3.1 GARAMATA

Kiras Bangun adalah putera dari Tanda Bangun dan dilahirkan oleh ibu berberu Ginting. Kiras Bangun akrab dengan nama panggilan sehari-hari Pa Ngapit Bangun alias Pa Garamata, lahir pada 1852, di Batu Karang, sebuah desa yang sekarang termasuk Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara, beliau bersaudara 6 orang. Garamata memiliki 14 orang anak yang dilahirkan oleh enam orang istri yang terdiri dari tujuh orang anak laki-laki dan tujuh orang anak perempuan.

Dalam sistem kekerabatan dan adat-istiadat Karo dalam tradisi pemena, sistem perkawinan poligami bukanlah merupakan hal yang tabu. Setiap pria Karo, jarang kita temukan beristri satu orang. Salah satu tujuan pernikahan poligami adalah untuk memperluas hubungan kekerabatan. Demikian juga halnya dengan Garamata, beliau memiliki lebih dari satu istri, yakni enam orang. Adapun keenam istri dan anak dari Garamata adalah sebagai berikut :

a.Br. Ginting yang berasal dari desa Berastepu

b.Simpar br. Sebayang yang berasal dari desa Gunung. Simper br. Sebayang mempunyai tiga orang anak yakni: Terupung br. Bangun, Rancap Bangun, dan Koda Bangun

c.Br. Ginting yang berasal dari desa Juhar, dan mempunyai tiga orang anak, yaitu: Batang Bangun, Kapalen br. Bangun, dan Langsat Bangun


(39)

d.Kerja br. Ginting yang berasal dari desa Guru Benua. Kerja br. Ginting mempunyai empat orang anak, yaitu: Releng br. Bangun, Sunggelit br. Bangun, Perentahen br. Bangun, dan Payung Bangun

e.Sepit br. Sinulingga yang berasal dari desa Bintang Meriah. Sepit br. Sinulingga mempunyai tiga orang anak, yaitu : Solong br. Bangun, Joman br. Bangun, dan Nembah Bangun.

f.Selat br. Ginting yang berasal dari desa Juhar. Selat br. Ginting hanya mempunyai satu orang anak yang bernama Langgar Bangun.

Kiras Bangun dengan nama populer Garamata, adalah warga Karo bermarga Bangun, marga Bangun adalah pendiri desa Batukarang, dalam suku Karo disebut juga sebagai merga si manteki kuta atau disebut sebagai pengulu di kampung. Pada masa mudanya, Garamata dikenal sebagai seorang anak muda yang energetik, suka bertualang dan berkelana. Di luar dan di tanah kelahirannya, Garamata dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang arif dan bijaksana, ia sering terlibat dalam runggun (musyawarah dalam pengambilan keputusan) serta sering dipanggil untuk terlibat sebagai juru damai bila ada orang-orang yang terlibat konflik di desanya Batukarang maupun di desa-desa lain yang ada di Dataran Tinggi Karo bahkan lebih luas daripada itu, Garamata juga sering menjadi juru damai dalam beberapa perselisihan yang terjadi di Lembah Alas dan Karo Baluren, demikian juga ke Tanah Langkat dan Deli.

Garamata pernah menyelesaikan beberapa perselisihan seperti: antara Merga Kembaren dengan Penghulu Buluh Duri di Kutabangun, antara Penghulu Mardinding, Pa Najam Sembiring dengan Panglima Hasan dari Aceh, demikian juga pertikaian masyarakat desa Gunung dengan masyarakat desa Pergendangen, beliau juga pernah mencegah serangan Panglima Layang Perbesi terhadap masyarakat desa Perbaji, pernah pula mendamaikan perseteruan antara keluarga di desa


(40)

Kutabuluh, serta mendamaikan perselisihan antara Penghulu Buluh Naman dengan Urung Suka.16

Semasa hidupnya Garamata berjuang melawan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Garamata menolak kedatangn Belanda karena pada saat ia melakukan perjalanan ke daerah Sumatera Timur seperti Deli dan Langkat,beliau menyaksikan bagaimana Belanda menguasai daerah tersebut. Ia melihat sendiri bagaimana rasa tidak enaknya dijajah dan dikuasi bangsa lain di wilayah kita sendiri. Garamata juga pernah menyaksikan perang Sunggal yang terkait dengan Bila dilihat dari kearifannya dalam menyelesaikan setiap konflik-konflik yang terjadi pada orang-orang disekitarnya, maka bisa diterima akal sehat bila dikatakan pada masa itu Garamata adalah seorang tokoh yang kharismatik yang disegani semua orang, sehingga banyak orang menginginkan beliau menjadi menantunya, walupun beliau telah memiliki istri. Hal ini terlihat dari riwayat pernikahan Garamata yang mempunyai istri sebanyak enam orang, keenam istrinya tersebut berasal dari desa-desa yang berbeda pula.

Dari hasil pernikahan yang dilakukan Garamata sebanyak enam kali posisinya secara tidak langsung menjadikannya lebih kuat dalam meningkatkan hubungan kekerabatan dengan lebih banyak keluarga. Enam istri dalam masyarakat Karo berarti Garamata menjadi anak beru dalam enam keluarga inti, dalam pengertian memiliki hubungan kekerabatan yang sangat luas menurut adat-istiadat Karo.

Selain jalinan kekeluargaan yang luas, Garamata juga dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, ketika masih muda Garamata pernah mengecap pendidikan dengan belajar bahasa Melayu di Binjai, demikian juga dengan fasih sekali beliau menguasai aksara dan tulisan Karo.

16


(41)

penguasaan tanah. Pada saat perang Sunggal terjadi, orang-orang Karo yang datang dari Dataran Tinggi Karo juga terlibat. Keterlibatan orang-orang dari Dataran Tinggi Karo inilah nantinya yang menjadi salah satu latar belakang kedatangn Belanda yang mendapat perlawanan dari Garamata. Sosok Garamata akhirnya dikenal lebih luas setelah perjuangannya melawan Belanda.

Pada abad ke 19, saat Belanda sudah menguasai beberapa daerah di Sumatera Timur seperti Deli dan Langkat serta memanfaatkan daerah tersebut menjadi lahan perkebunan. Tanah pada saat itu diserahkan secara mudah oleh residen Riau yang saat itu membawahi Sumatera Timur. Sultan Deli saat itu menyerahkn daerah Mabar sampai ke hulu Delitua. Pembukaan perkebunan ini terbilang sukses sehingga diupayakan intensifikasi yang tentunya membutuhkan modal yang besar yang termasuk di dalamnya wilayah yang lebih luas pula. Terkait dengan inilah pada saat itu Sultan Deli kembali memberi konsesi tanah kepada pihak perkebunan Belanda, konsesi tanah ini meliputi wilayah Sunggal. Tindakan pemberian konsesi tanah oleh Sultan Deli ini membuat suasana menjadi panas. Rakyat marah terhadap tindakan tersebut sehingga melakukan perlawanan yang dikenal dengan Perang Sunggal yang meletus pada tanggal 15 Mei 1872 dan berkelanjutan selama lebih kurang dua puluh tiga tahun, atau dikenal juga dengan batak war atau perang selimin.

Perang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman dengan melibatkan seorang panglima perangnya yang bernama pengulu Djumaraja Surbakti yang berasal dari Dataran Tinggi Karo, perang dilakukan dengan membakari bangsal-bangsal milik Belanda serta rumah-rumah para administratur dan asisten Belanda, sehingga menyebabkan orang-orang Belanda harus mengungsi, tetapi pada tanggal 20 Januari 1895 Datuk Badiuzzaman dan adiknya ditangkap dan dibuang ke Cianjur setelah sebelumnya dipenjarakan di Bengkalis Riau.17

17


(42)

Rasa primordial dan hubungan kekerabatan yang masih kuat adalah alasan menyebabkan orang-orang Karo dari Dataran Tinggi Karo merasa perlu membantu saudaranya yang berada di Sunggal, maka perlawanan saat itu dilanjutkan dengan cara bergerilya. Kelanjutan perlawanan ini yang menyebabkan Belanda berpikir bagaimana cara menaklukkan dan untuk mengubah sikap orang di Dataran Tinggi Karo tersebut yakni dengan cara memasukkan misi kristenisasi disamping misi pasifikasi wilayah.

Misi kristenisasi serta pasifikasi wilayah Kolonial ini terjadi berketepatan ketika konflik bersaudara antara Pa Mbelgah Purba dari desa Rumah Kabanjahe dengan Pa Pelita Purba dari desa Lau Cih (Katepul) sedang berlangsung. Pada saat konflik terjadi Pa Pelita meminta bantuan pada Belanda, karena merasa terdesak dan tidak mampu melawan Pa Pelita yang sudah membawa Belanda, maka Pa Mbelgah meminta bantuan kepada kalimbubunya Garamata dari desa Batu Karang . Dalam adat istiadat karo posisi kalimbubu itu adalah posisi Dibata ni idah (Tuhan yang terlihat), bila pihak kalimbubu mendapat masalah, maka anak beru punya kewajiban membantu kalimbubu demikian juga sebaliknya. Dalam hal ini, Garamata sebagai kalimbubu merga Purba wajib membantu Pa Mbelgah Purba. Sistem kekerabatan inilah yang melibatkan Garamata terlibat di dalam konflik dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Selain daripada kewajiban secara adat istiadat dalam hubungan kekerabatan, Garamata antusias memberi bantuan pada Pa Mbelgah Purba karena Garamata melihat ada niat tersembunyi dari bantuan yang Belanda berikan terhadap Pa Pelita Purba. Garamata melihat niat pasifikasi wilayah Belanda serta misi kristenisasi di balik bantuan tersebut. Kedatangan Belanda dengan misi kristenisasi dianggap oleh Garamata akan mengusik kenyamanan aliran pemena dan sistem kekerabatan yang sudah ada dan berakar sesuai adat istiadat Karo, hal inilah yang menyebabkan Garamata melakukan perlawanan.


(43)

Sebenarnya jauh sebelum peristiwa Perang Sunggal dan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo yang dibawa oleh Pa Pelita, pada tahun 1873 Belanda sudah mulai melihat dan melirik daerah tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan pengiriman tiga pendeta Belanda yaitu Heine, Johansen dan Mohri.18

3.2Masuknya Belanda ke Dataran Tinggi Karo

Keinginan sampai ke Dataran Tinggi Karo akhirnya lebih intens pada saat setelah terjadi perang Sunggal yang melibatkan orang-orang Karo gugung dan mendapat jalan setelah adanya konflik bersaudara antar Pa Pelita dengan Pa Mbelgah yang sama-sama bermarga Purba.

Selama menolak kedatangan Belanda, Garamata menghimpun kekuatan dari daerah-daerah lain diluar Batukarang seperti dari daerah Urung Lima Senina yang meliputi desa Batu Karang, Jandi Meriah, Nari Gunung, Penampen dan Selandi.

Sebelum Belanda datang dan menduduk i wilayah Sumatra Timur, daerah ini telah lebih awal dikenal sebagai sebuah tempat yang subur. Masyarakat di Sumatra Timur, terutama orang-orang Karo dan Simalungun telah menjadikan pertanian sebagai tonggak perekonomiannya dengan menanami tanaman palawija, padi, lada dan tembakau.19

18

Brontak Bangun dan Perdana Ginting. Op.Cit. hal. 26

19

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman jilid I,Medan, Ulih Saber, 1979, hal. 81

Dalam rangka penetration pasifiquenya di wilayah Nusantara, Belanda sudah lama terlebih dahulu menduduki Batavia sebelum datang ke Sumatra Timur. Politik penetration pasifiquenya dilakukan dalam sebuah misi untuk mengisi kekosongan kas dan membangun negaranya yang pada saat itu sedang terpuruk, Belanda terpaksa melakukan intensifikasi perdagangaan dan eksploitasi hasil bumi di wilayah Hindia-Belanda, tidak terkecuali akhirnya juga sampai ke wilayah Sumatra Timur.


(44)

Pada pertengahan abad ke 19 Belanda telah berhasil membuat Sultan Deli yang pada saat itu Mahmud Perkasa Alam menandatangani pernyataan tanda takluk kepada Belanda. Kekuasaan Belanda di Sumatra Timur semakin bertambah kuat setelah penandatanganan perjanjian takluk juga diikuti oleh Sultan Serdang Basyaruddin. Penandatanagan ini secara otomatis juga menjadikan wilayah taklukan Serdang menjadi kekuasaan Belanda. Setelah penguasaan itu menyusul pula ditaklukkannya beberapa wilayah lain seperti : Asahan pada tanggal 2 Maret 1886, Langkat pada tanggal 21 Oktober 1885, Bilah pada tanggal 11 Agustus 1862, Kota Pinang pada tanggal 2 Oktober 1864. Pada tanggal 15Mei 1873, Tamiang, Langkat, Deli Serdang, Batubara, Asahan, Panai dan Bilah, Digabungkan menjadi satu wilayah Residen Sumatra Timur yang berkedudukan di Bengkalis.20

Di daerah Deli, terdapat empat wilayah kekuasaan yang dikuasai dan mengikuti hukum orang Karo yang dikenal dengan sebutan Urung, adapun pemerintahan keempat Urung tersebut adalah Sunggal, Sinembah, Sukapiring dan Hamparan Perak.

Wilayah yang sudah ditaklukkan kemudian sebagian dimanfaatkan menjadi lahan perkebunan tembakau oleh Nienheuys. Hasil dari penanaman tembakau ternyata sangat memuaskan. Mutu tembakau Deli mempunyai kualitas luar biasa dan sangat menguntungkan karena sangat laku di pasar Eropa. Keberhasilan ini mendorong Nienheuys untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan tembakau tersebut.

21

20

Brontak Bangun dan Perdana Ginting. Op.Cit. hal 21

21

Ibid. hal. 23

Seperti yang kita ketahui, pendiri desa dalam masyarakat Karo, dikenal dengan nama si manteki kuta yang artinya orang pertama membuka kampung. Si manteki kuta berhak sebagai marga pemilik tanah, sehingga tanah juga


(45)

dianggap sebagai identitas diri, pengaturan masalah kepemilikan tanah bukanlah pemerintah yang berwenang, namun pembuka kampung tadi.

Terkait dengan intensifikasi dan ekstensifikasi yang dilakukan Belanda terhadap perkebunannya, maka Sultan Deli melakukan perjanjian dengan Belanda dan menyerahkan wilayah yang berada pada koridor penguasaan adat-istiadat Karo tersebut. Hal tersebut tentu saja berlawanan dengan aturan kepemilikan tanah yang diatur oleh orang Karo.

Tindakan pemberian tanah oleh Sultan Deli inilah yang menjadi latar belakang terjadinya perlawan yang dilakukan oleh orang-orang Karo. Perlawanan ini dikenal sebagai perang Sunggal yang terjadi pada tahun 1872. Pada saat perang Sunggal terjadi, atas nama solidaritas orang-orang Karo turun dari Dataran Tinggi Karo untuk terlibat dalam peperangan melawan Belanda. Perlawanan dilakukan dengan membakari bangsal-bangsal Belanda. Peperangan secara terbuka akhirnya berakhir juga setelah pimpinan perangnya, yakni Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulung Barat dijebak dan akhirnya berhasil ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Jawa. Kendati pemimpinnya sudah diasingkan, namun perlawanan masih dilakukan oleh orang-orang Karo dengan cara bergerilya.

Perlawanan secara bergerilya tetap dilakukan oleh orang-orang Karo untuk mengganggu aktivitas yang dilakukan Belanda dalam perkebunannya. Untuk menghentikan perlawanan ini Belanda berusaha menaklukkan orang-orang Karo dengan melakukan misi kristenisasi. Dengan menyebarkan agama harapan mereka secara otomatis diajari moral dan ajaran agama yang tidak membenarkan kekerasaan ataupun peperangan. Cara tersebut juga dianggap Belanda punya potensi untuk menghentikan serangan secara bergerilya yang dilakukan oleh orang Karo yang turun dari gunung.


(46)

Tujuan melakukan kristenisasi serta dan sekaligus pasifikasi wilayah menuju di Dataran Tinggi Karo yang direncanakan oleh Belanda akhirnya terbuka dan menemukan titik terang. Pada tahun1897 terjadi sebuah pertikaian Pa Pelita Purba dengan saudaranya. Pertikaian inilah menjadi suatu kesempatan baik bagi penetration pasifique Belanda.

3.3 Nativisme

Dalam ruang lingkup tatanan kehidupan masyarakat luas maupun kecil sudah pasti akan terdapat kebiasaan, adat-istiadat dan norma-norma yang dipedomani sebagai aturan kehidupan bersama. Aturan-aturan ini dipedomani sebagai warisan sosial budaya yang mengikat sebagai konvensi di tengah-tengah masyarakat, karena memang sudah tumbuh kondusif dalam waktu relatif lama dan mendarah daging sehingga sangat sulit lepas dari orang-orang yang telah memahaminya dan menganutnya. Pembaharuan terhadap nilai lama apalagi nilai yang datang dari luar pasti akan menimbulkan konflik dan mendapat perlawanan dari pihak yang khawatir akan terjadi perubahan tersebut. Gerakan Nativistik semacam inilah yang dilakukan oleh Garamata di Dataran Tinggi Karo ketika Belanda memperluas kekuasaannya di Sumatera Timur. Beliau sungguh khawatir akan terjadi perubahan sosial masyarakatnya jika kolonial Belanda dibiarkan masuk menggantikan tatanan sosial kehidupan yang lama.

Pemberontakan terhadap kekuasaan, atau perlawanan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap kelompok yang melakukan penetrasi sosial budaya terjadi karena khawatir nilai-nilai lama akan disintegrasi. Tokoh-tokoh nativisme semacam Garamata tentunya tidak diam, beliau memobilisasi rakyatnya untuk melakukan perlawanan sekaligus menentang nilai-nilai baru yang akan menggantikan nilai-nilai-nilai-nilai lama tersebut. Pemberontakan dan perlawanan


(47)

Garamata, tentunya terjadi karena Belanda memasukkan pengaruhnya, terutama nilai kristiani yang merusak religi pemena dan kekhawatiran disintegrasi sosial budaya lain seperti pendidikan dan adat-istiadat, demikian pula bergesernya kepemilikan tanah di Dataran Tinggi Karo.

Datangnya pengaruh asing memang sering mendapat perlawanan karena akan merusak tatanan yang sudah mapan di tengah kehidupan sebuah masyarakat. Ada beberapa kasus pemberontakan seperti yang dilakukan Garamata di Indonesia juga terjadi di negara-negara belahan dunia lain seperti misalnya yang terjadi di Selandia Baru, di India Tengah dan Timur, di Afrika dan ditempat lainnya. Pemberontakan-pemberontakan seperti ini terjadi pada umunya dilatar belakangi oleh hal yang relatif sama, yakni penolakan pengaruh yang mampu merubah sistem sosial budaya yang sudah menjadi tradisi dan hidup di tengah masyarakat secara turun temurun dan sudah mapan. Masyarakat berontak dan melakukan perlawanan karena menganggap hal baru tersebut tidak sesuai dan selaras dengan yang sudah ada sebelumnya.

Ada beberapa macam gerakan tipikal ini terjadi, dalam beberapa kasus pemberontakan ada seorang pemimpin yang secara terorganisir menghimpun kekuatan rakyat melawan dengan memberi motivasi kenabian, pemberontakan tipikal ini menjanjikan bahwa ada suatu kebahagiaan yang akan diperoleh melalui datangnya seorang Nabi, yang akan menyelamatkan dan membebaskan mereka dari tekanan-tekanan pihak asing dan musuh. Gerakan yang bersifat kenabian seperti ini dikenal dengan nama gerakan Millenarian

Dalam bentuk tipikal lain, pemberontakan terjadi karena penolakan akan pengaruh asing yang merusak tatanan kehidupan lama disebut dengan gerakan nativistik. Gerakan ini muncul saat sekelompok orang merasa mendapat gangguan dan tekanan dari pihak asing yang membawa perubahan dan dianggap tidak sesuai dengan sistem nilai yang sudah ada sebelumnya. Ketakutan


(48)

akan kehilangan sistem nilai yang sudah dianut dan akan bergesernya sistem sosial lama menimbulkan konflik dan perlawanan yang menjurus ke arah pemberontakan.

Nativisme tidaklah menempatkan seorang tokoh menjadi seorang nabi ataupun mempercayai bahwa akan tiba saatnya seorang figur penyelamat untuk menyelamatkan serta mengubah nasib manusia yang mendapat tekanan dari pihak asing. Gerakan Nativisme di Karo adalah perlawanan murni tanpa ada atribut kenabian, dilakukan oleh seorang tokoh pejuang bernama Garamata. Beliau menolak datangnya Belanda ke Dataran Tinggi Karo karena khawatir akan bergesernya nilai sosial dan budaya asli orang Karo akibat pengaruh masuknya Belanda.

Religi pemena yang mengandung makna amat dalam kaitannya kepada roh leluhur, sistem kekerabatan, dan simbol-simbol mistis merupakan sasaran perubahan yang dikhawatirkan Garamata. Perubahan hukum adat, termasuk didalamnya sistem kepemilikan tanah adalah ketakutan yang mendorong Garamata memobilisasi rakyat dan kerabatnya melakukan perlawanan dan penolakan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Berbeda dengan pelawanan Ratu Adil yang terjadi di beberapa wilayah. Konsep perlawanan Ratu Adil juga menentang pada sebuah penetrasi, namun Ratu Adil menjanjikan sosok yang akan datang sebagai penyelamat, sperti kasus Perang Diponegoro. Hal inilah yang membedakan suatu gerakan nativistik dengan gerakan millenarian.

3.4 Latar Belakang Lahirnya Gerakan Nativisme Garamata

Sebelum Belanda melancarkan penetration pasifiquenya ke Dataran Tinggi Karo, di sebuah desa, yakni Batukarang, terkenal seorang tokoh masyarakat bernama Kiras Bangun atau lebih


(49)

dikenal dengan nama popular Garamata. Beliau disebut Garamata menurut keterangan dari sanak saudaranya apabila Garamata sedang marah, maka matanya selalu akan berubah menjadi merah.

Sebagai tokoh adat sekaligus merupakan marga pendiri dan turunan pengulu Batukarang, semasa mudanya beliau sudah sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah lain baik yang dihuni oleh orang-orang yang bersuku Karo maupun yang diluar suku Karo, terutama Tanah Alas, Pakpak dan Gayo. Perjalanan Garamata sampai juga ke beberapa wilayah di Sumatra Timur yang belakangan dijadikan perkebunan oleh Belanda. Pada saat beliau mempelajari bahasa Melayu di Binjai, dia sudah menyaksikan bagaimana orang-orang Karo sudah kehilangan tanah yang telah dijadikan perkebunan. Demikian juga tentang perlakuan mereka terhadap kuli kontrak yang tenaganya dieksploitasi untuk kepentingan perusahaan perkebunan.

Kegemarannya dalam melakukan perjalanan ke beberapa wilayah menjadikan Garamata sarat dengan pengalaman dan memahami apa yang telah terjadi di wilayah ini ketika Belanda sudah mendudukinya. Garamata juga melihat bagaimana tidak enaknya menjadi budak di tanah sendiri serta diatur oleh bangsa lain yang merupakan pendatang sekaligus penajajah.

Oleh karena itu ketika Belanda datang ke Dataran Tinggi Karo dibawa oleh Pa Pelita Purba, beliau sebagai kalimbubu Pa Mbelgah keberatan akan campur tangan Belanda tersebut, karena dinilai memanfaatkan situasi pertikaian. Antusias Garamata melakukan perlawanan sebenarnya bukan murni karena sistem kekerabatan, namun lebih dari itu sebenarnya penolakan atas kedatangan Belanda. Garamata mulai membaca strategi yang dipakai oleh Belanda ketika mengutus pendeta yang bernama Guillaume datang ke Kabanjahe dengan misi mengkristenkan orang Karo agar dapat ”dijinakkan” dan ditaklukkan.

Garamata adalah seorang tokoh masyarakat, sebagai tokoh adat beliau mengetahui persis tentang adat dan kebudayaan orang Karo. Dia juga seorang penganut teguh religi pemena.


(50)

Kedatangan Belanda dan kemudian seorang pendeta jelas menunjukkan ada upaya memasukkan agama Kristen, menaklukkan orang Karo serta sekaligus menjadi alat untuk merubah pandangan orang Karo terhadap Belanda yang kemudian akan berbuah penjajahan Belanda ke Dataran Tinggi Karo.

Jauh sebelum kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo, orang-orang karo sudah menganut aliran kepercayaan dari leluhurnya, yakni aliran kepercayaan pemena. Pemena merupakan aliran kepercayaan yang mempercayai roh-roh leluhur ataupun roh keluarga yang sudah meninggal dunia, dalam pemena dikenal sebutan begu jabu sebagai sebuah roh yang menjadi pusat kepercayaan pemena itu sendiri. Beberapa dari ajaran pemena itu sendiri berakar dari adat istiadat orang Karo, seperti aturan kekerabatan daliken si telu yang menempatkan kalimbubu sebagai posisi yang sangat dihormati bahkan diposisikan seperti Tuhan yang kelihatan (Dibata ni idah).

Masuknya agama Kristen ke Dataran Tinggi Karo, dikhawatirkan akan menggeser aliran kepercayaan pemena. Apabila aliran kepercayaan ini bergeser, dampaknya akan berakibat terhadap beberapa hal, seperti :

a. Begu jabu yang pada awalnya dianggap sebagai sesuatu yang menjaga, memberkati dan memberikan pasu-pasu (keberkahan) akan hilang karena dalam agama Kristen bersekutu dengan setan dianggap dosa serta merupakan sikap mendua terhadap Tuhan.

b. Aturan dalam sistem kekerabatan daliken si telu juga akan pudar, karena dalam agama Kristen tidak ada manusia di bumi ini yang boleh disamakan dengan Tuhan, sementara dalam daliken si telu, posisi dari kalimbubu itu merupakan posisi sebagai Tuhan yang terlihat. c. Jimat-jimat yang sifatnya mistis berupa doa-doa akan menghilang karena jimat juga dianggap


(51)

Selain dari kepercayaan, yang menjadi kekhawatiran Garamata lainnya adalah terkait dengan permasalahan tanah. Dalam tradisi orang Karo, kepemilikan tanah dimiliki oleh marga. Artinya tanah pada suatu kampung tertentu dimiliki oleh marga tertentu yang mendirikan kampung tersebut. Terhadap marga pendatang, tanah diberikan untuk lahan pertanian. Ketakutan Garamata pemilikan tanah dengan sistem ini akan mengalami perubahan dengan kedatangan Belanda dan masyarakat akan kehilangan tanah sebagai tempat pencaharian karena diambil alih sebagaimana disaksikan oleh Garamata di tempat lain di Sumatra Timur, tanah semua telah dimanfaatkan Belanda menjadi lahan perkebunan tembakau.

Menurut pandangan Garamata strukutur pemerintahan yang pada awalnya diatur oleh simanteki kuta sebagai pengulu juga akan mengalami perubahan sesuai dengan keinginan Belanda. Pada proses selanjutnya pendidikan juga akan mengalami hal yang sama, Garamata memang suka menuntut ilmu namun merasa resah dan khawatir ketika Belanda datang memperkenalkan pendidikan modern, maka pengetahuan dan minat orang Karo terhadap tulisan dan aksara Karo,akan memudar. Dan disisi lain, ada ketakutan pengembangan pendidikan modern akan dimanfaatkan oleh Belanda untuk memindahkan orang-orang Karo dari tanah leluhurnya ke tempat yang jauh.

Selain dari itu dia juga takut tatanan hidup yang sudah lama dijalankan di tengah masyarakat Karo akan berubah, menyebabkan Garamata sangat tidak mengingini kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Inilah semua yang menjadi motivasi beliau melakukan perlawanan nativisme terhadap kolonial Belanda.


(52)

3.5Perlawanan Nativisme Garamata

Kedatangan Belanda pada awal abad ke 20 ke Dataran Tingi Karo melalui konflik bersaudara antara sesama marga Purba menjadi jalan awal dan seterusnya bagi Belanda menduduki Dataran Tinggi Karo sebaliknya menjadi awal perjuangan masyarakat Karo dan Garamata dalam menentang kedatangan pemerintah kolonial Belanda.

Sebelum Belanda dibawa oleh Pa Pelita Purba, sebenarnya pemerintah kolonial Belanda pernah juga mengirimkan seorang utusan untuk bertemu dengan Garamata, yaitu Nimbang Bangun. Utusan ini masih mempunyai hubungan persaudaraan dengan Garamata, berasal dari desa Narigunung. Kedatangan Nimbang Bangun dimaksudkan untuk menyampaikan pesan Belanda yang ingin menjalin persahabatan dengan Rakyat Karo. Persahabatan yang dimaksudkan Belanda adalah agar orang-orang Karo bersedia menyerahkan daerahnya untuk dijadikan menjadi lahan perkebunan dengan imbalan senjata, uang, kedudukan dan lainnya.

Melalui keputusan musyawarah yang dilakukan tokoh-tokoh adat, maka kedatangan Nimbang Bangun ini diberi jawaban bahwa orang Karo menerima persahabatan dengan Belanda dalam bentuk perdagangan yang saling menghargai dan menghormati, namun menolak kedatangan Belanda untuk menjadikan Dataran Tinggi Karo menjadi perkebunan. Kesepakatan juga berisi tentang penolakan akan campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam bentuk apapun terhadap semua urusan orang-orang Karo. Penolakan utusan Belanda ini terjadi sebanyak tiga kali.

Berikutnya, setelah kedatangan Nimbang Bangun tetap saja ditolak, maka Belanda kembali mengirimkan utusan seorang pendeta yang bernama Guillaume ke Kabanjahe. Hal ini merupakan salah satu strategi yang ditempuh Belanda untuk mengubah pandangan orang Karo, dengan sebuah misi bahwa mereka ingin melakukan sesuatu yang baik, yakni mengabarkan injil dan


(53)

bukan untuk melakukan penjajahan ataupun menguasai Dataran Tinggi Karo seperti yang selalu dicurigai oleh orang Karo. Namun kedatangan pendeta Guillaume ditolak dan diusir dari Dataran Tinggi Karo.

Setelah beberapa kali mendapat penolakan dari orang-orang Karo, maka Belanda kembali menemukan jalan memasuki Dataran Tinggi Karo setelah terjadi konflik bersaudara antara marga Purba. Konflik ini sebenarnya bermula dari sebuah kejadian dari perlakuan seorang raja yang berkedudukan di Serdang Hulu

Kejadian bermula di satu desa daerah Serdang Hulu, desa Batuktak yang dipimpin oleh seorang raja bernama Tuhan Kinalang Purba. Raja ini memiliki banyak istri dan salah satu diantaranya adalah saudari dari Pa Mbelgah Purba, istrinya ini diketahui sering dipaksa menjadi pelacur dan melayani nafsu birahi raja-raja lainnya. Perbuatan Raja Kinalang ini dianggap menjadi sebuah penghinaan terhadap keluarga Pa Mbelgah. Raja ini kemudian dibunuh oleh orang yang tidak dikenal dan peristiwa ini dicurigai dilakukan oleh Pa Mbelgah dan kelompoknya, sedangkan Pa Pelita yang sudah menganggap Raja Kinalang sebagai saudara kandungnya merasa sangat terkejut dan marah atas kejadian tersebut.22

Pada saat kejadian ini terjadi, Belanda datang kembali ke Tanah Karo bersama Pendeta Guillaume, namun kali ini kedatangannya lengkap dengan membawa pasukan Belanda bersenjata. Situasi ini dilihat oleh Garamata, bahwa kedatangan pemerintah kolonial Belanda membawa pasukan bersenjata lengkap berarti benar-benar berniat datang untuk mengusai dan Dengan alasan ingin mendamaikan perseteruan ini, maka Belanda mulai ikut campur tangan dalam masalah ini, namun sebenarnya momen ini merupakan kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Dataran tinggi Karo dengan menerapkan strategi devide at impera.

22


(54)

menjajah seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap saudara mereka orang-orang Karo di Deli dan Langkat.

Melihat Belanda sudah mulai datang ke Dataran Tinggi Karo, maka Garamata memutuskan untuk melakukan musyawarah dengan tokoh-tokoh adat masyarakat Karo lainnya. Garamata mengumpulkan beberapa tokoh dari desa-desa lain di Dataran Tinggi Karo. Pertemuan yang pertama sekali dilakukan oleh Garamata adalah pertemuan di Nagor, yaitu tempat yang dijadikan oleh masyarakat Bintang Meriah sebagai tempat perladangan (barung-barung).

Setelah pertemuan pertama dilangsungkan, tidak lama kemudian dilakukan pula pertemuan kedua di Simpang Guru Kinayan, pertemuan ini dilakukan dengan melihat hari dan bulan baik terlebih dahulu menurut kalender Karo, sebelum diputuskan waktu yang tepat untuk melakukan perlawanan.

Setelah melihat penanggalan kalender Karo kurang baik, maka dilanjutkan pertemuan di Guru Kinayan yang dilaksanakan pada hari Nggara Sepuluh.23 Hari ini dianggap membawa keberuntungan setelah terlebih dahulu ditanyakan pada salah seorang guru sibaso.24

Dalam situasi yang mulai panas, disalah satu desa di Karo, yakni Seberaya, terjadi kontak senjata antara orang-orang Karo dengan orang Belanda. Latar belakang peristiwa ini disebabkan oleh adanya perang bersaudara antara penduduk kampung. Keterlibatan Belanda dalam peristiwa ini semakin menguatkan pandangan Garamata bahwa Belanda sudah mulai mencampuri urusan orang-orang Karo. Merasa Belanda sudah mulai menancapkan kedudukannya di Dataran Tinggi Sesudah dua kali melakukan pertemuan akhirnya disepakati bahwa apapun resiko yang dihadapi, kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo harus ditolak.

23

Lihat kalender Karo dalam daftar lampiran

24


(55)

Karo, kembali Garamata mengundang tokoh-tokoh Karo untuk bermusyawarah menyusun strategi melawan Belanda.

Musyawarah ini merupakan pertemuan ketiga yang dilangsungkan di Tiga Jeraya, sebuah perkampungan yang terletak antara Batu Karang dengan Kabanjahe. Pada pertemuan ini semua tokoh-tokoh yang hadir bertekad dan bersumpah untuk melawan Belanda. Dalam musyawarah ini, dikorbankan beberapa ekor kerbau untuk disembelih dan dijadikan lauk saat mengucap sumpah. Kerbau disembelih dengan cara ditusuk pada ketiak kirinya agar mengenai jantung dan segera mati, sesuai dengan kepercayaan pemena pada orang Karo. Juga apapun yang hendak dilakukan pada umumnya meminta guru sibaso terlebih dahulu untuk membaca tanda-tanda baik ataupun tanda-tanda buruk. Setelah kerbau mati, kepalanya semua mengarah ke arah matahari terbenam, keadaan kerbau ini dibaca oleh guru sibaso sebagai tanda kurang beruntung dan tidak baik.25

Tangar ko o nakan si ni pan kami enda

Hal ini merupakan salah satu keunikan dan kekhasan dari gaya perjuangan pasukan pimpinan Garamata dalam berperang, yakni dengan dibekali doa-doa oleh guru sibaso.

Pendapat lain dari seorang Guru sibaso mengatakan bahwa ada tanda sesuatu yang tidak baik, namun demikian tidak membuat tekad memulai pengaturan strategi melawan Belanda surut, tekad semakin membara dan mereka bertekad bahwa mati berjuang itu jauh lebih baik dari pada hidup dijajah oleh orang-orang asing.

Sebelum acara makan dilangsungkan , maka semua yang hadir dalam pertemuan ini terlebih dahulu angkat sumpah. Adapun isi sumpah yang dilakukakn oleh Garamata dan tokoh-tokoh adat Karo lainnya adalah sebagai berikut :

25


(56)

Tangar ko o bengkau si ni pan kami enda

Tangar ko o lau si inem kami enda

Kami ersumpah bekas arih-arih kami ersada ngelawan Belanda

Adi ia reh kutanah karo njajajh kami.

Ras ipelawes sienggo ringan I kabanjahe sibagi mata-mata Belanda

Ndigan pagi kami engkar ibas perlawanen kami enda

Mate kai ibunuh nakan, ibunuh engkau, ibunuh lau si ni pan janah si ni inem kami enda

Janah keturunen kami la banci selamat merjak Taneh Karo enda..

Saksikanlah o nasi yang kami makan

Saksikanlah o lauk yang kami makan

Saksikanlah o air yang kami minum untuk

Kami bersumpah atas mufakat bersama melawan Belanda

Jika mereka datang ke Tanah Karo untuk menjajah kami

Dan mengusir yang sudah berada di Kabanjahe sebagai mata-mata Belanda

Jika kami ingkar atas sumpah kami ini


(57)

Dan keturunan kami tidak akan selamat menginjakkan kaki di Tanah Karo ini.26

Akibat tidak mendapat respon dari Belanda, Pasukan Urung Linggajulu, yakni pasukan yang juga pernah berperan melawan Sibayak Kabanjahe dalam pertempuran di Lingga bersama Pa Titip dan Pa Lebe mengatur strategi menyerang langsung menuju kediaman pasukan Belanda dan pendeta Guillaume di Kabanjahe, sedangkan pasukan tempur Beganding maju ke kampung Nangbelawan demikian juga pasukan tempur Kandibata maju ke arah Kacaribu Situasi ini tentu mengganggu rencana Belanda, sehingga pemerintah Belanda kemudian mengirimkan tiga utusannya yaitu Si Pasir Kira, Pa Lantap dari Surbakti dan Pa Ngameh yang sebenarnya sudah bersekutu dengan Garamata.

Setelah melakukan sumpah setia ini, Garamata dan pasukan Karo lainnya masih memberikan peringatan dan kesempatan menyuruh pasukan Belanda dan pendetanya yang berada di Kabanjahe bersama sibayak Kabanjahe dalam lima belas hari harus pergi meninggalkan Kabanjahe, namun peringatan ini tidak mendapat respon yang baik dari pihak Belanda.

27

Belanda kecewa karena peringatannya tidak digubris, sebaliknya begitu juga dengan ultimatum Garamata tidak dihiraukan sehingga Belanda memerintahkan pasukannya berangkat dari Bandar Baru menuju Dataran Tinggi Karo dengan sasaran pertama desa Lingga. Garamata dalam menghadapi strategi Belanda ini langsung mengatur strategi tandingan dengan menempatkan pasukannya sepanjang desa Raya dan Keling. Namun hal ini berhasil diketahui Belanda, sehingga Belanda memutar pasukannya melalui Peceran.

Ketiga utusan Belanda ini tidak kembali karena telah bersekutu dengan Garamata untuk melawan Belanda.

26

Ibid.

27


(58)

Sebelum pasukan Belanda tiba di Lingga ternyata di sini sudah terjadi pertempuran antara Sibayak Kabanjahe yang berpihak kepada Belanda, dengan Urung Linggajulu. Sibayak Kabanjahe berhasil dipukul mundur oleh Pasukan Urung Lingga dan melarikan diri ke Kabanjahe.

Pasukan Urung Linggajulu berencana meneruskan perjalanan menuju Kabanjahe namun di tengah jalan bertemu dengan pasukan Belanda di dekat desa Lingga, sehingga terjadi pertempuran di antara kedua belah pihak yang tidak dapat dihindarkan. Pertempuran yang tidak terduga dan tidak seimbang dalam persenjataan dan jumlah personalia mengkibatkan pasukan Urung Linggajulu kalah dan memakan korban sebanyak 10 orang. Pertahanan di Lingga pun akhirnya berhasil diduduki dan dikuasai oleh Belanda.

Pasukan Urung Linggajulu lari dan mundur menuju desa Linggajulu karena menganggap desa ini sudah diatur strategi dan benteng-benteng pertahanan yang kuat. Setibanya di desa ini Pasukan Urung Linggajulu kembali diserang oleh Belanda yang sudah menduduki Lingga. Pertempuran di desa Linggajulu kembali terjadi, benteng-benteng pertahanan yang sudah disusun berhasil dilumpuhkan Belanda karena mereka memiliki persenjataan yang kuat dan modern. Akhirnya Pasukan Urung Lingga kembali berhasil dipukul mundur oleh Belanda dari Linggajulu. Linggajulu kembali sudah dikuasai oleh Belanda. Melihat dua pertahanan sudah berhasil dipatahkan dan dikuasai oleh Belanda, maka seluruh pasukan diperintahkan oleh Garamata agar mundur ke desa Batukarang. Di sinilah pertahanan yang disiapkan paling kuat dan dianggap berpotensi melumpuhkan tentara Belanda, dan akhirnya pasukan mundur ke Batukarang.

Belanda sudah menguasai Lingga dan Linggajulu, dan mendapat informasi bahwa seluruh pasukan Garamat sudah berada di desa Batukarang. Belanda kemudian mengirimkan utusannya


(1)

Luntang-lantung tidak tahu arah

Disitulah maka tanah Jahe-jahe adalah perkumpulan orang yang patah hatinya Itulah makanya kutelusuri hutan yang luas

Tubuhku belum dewasa o, nande Biringku Lalu luaslah tanah yang kujelajahi

Panjanglah jalan yang kujalani Tumbuh diperjalananku badanku ini Disitulah kutemui segala kesengsaraan

Kalau bertemu dengan ibu menurut kekerabatan

Maka harus pandailah aku menrka pekerjaan yang mendesak Disitulah kupikirkan pikiran-pikiran

Yang tidak kunjung selesai Terus-menerus kulihat O semua ibu nenekku

Disana sekali seperti lemakk mengahadapi wajan panas Bila aku berada di pangkuan ibuku

Tentu tidak akan banyak penderitaan yang kupikirkan Jika tak pintar menerka perekjaan yang mendesak Maka begitulah kataku sekali lagi

Manusia yang seperti apapun ada di bumi ini Perihal kisah hidup kita

Dahulu kita berjanji

Mulanya kita dibentuk jadi manusia Kalau sudah tersebut


(2)

Semua bibimu, katamu

Sebelum badan letih, mata mengantuk, katamu Maka ini kuceritakan semua kesusahan hatiku

Kalau sekarang ini buka hanya kita yang sudah karena pikiran Mengapa demikian kataku

Sukuplah kiranya tidak ada lagi garam ditaruh kepada sayur Beras ditaruh keperiuk pagi dan sore tidaklah cukup

Dan ada lagi aturan yang tidak bisa dibatah Di situ semua penderitaan sudah aku rasakan O, ibu dan bibiku

Kalau dahulu bapak kita yang merajai orang gunung ini Dia membantu kompeni hanya pintar

Pikiran yang lain tidak ada

Mengapa tidak demikian kukatakan

Tadinya dibuatnya menerima tidak berpiutang Sekarang membayar walaupun tidak berhutang Pikirannya yang lain tidak ada

Dibantah dia tidak bisa lagi

Dia sudah seperti parasit kalau sekarang ini Kalau sekarang ini

Sudah menyesal bapak kita

Yang di dengar suaranya tidak bisa kembali lagi Suaranya yang baik dahulu

Tidak ada lagi yang mengatakan kita jujur Adalah dulu satu lagi yang melawan


(3)

Anak perangin-angin merganya dari tanah Batukarang Disana diperangi serdadu tanah Batukarang

Tiada lagi bisa ditahankan

Karena sudah berpadu taktik yang licik

Karena sudah kena hadiah yang menawan hati Semua dibawa Sibayak Kabanjahe dahulu Tiga ratus serdadu memerangi Batukarang Maka kalahlah Batukarang

Dari situlah tidak ada lagi yang melawan di tanah gugung ini Yang dilingkari oleh gunung yang hitam ini

Dari situlah kita menerima aturan yang tidak bisa dibantah lagi Karena tidak ada lagi yang mengucapkan kara jujur

Entah ini menghancurkan negeri


(4)

Nama Bulan Dalam Kalender Karo.

No. Umur Bulan Nama Hari

1 Satu malam Aditya

2 Dua malam Suma

3 Tiga malam Enggara

4 Empat malam Budaha

5 Lima malam Beras Pati

6 Enam malam Cukera

7 Tujuh malam Belah Naik

8 Delapan malam Aditya Naik

9 Sembilan malam Suma Siwah

10 Sepuluh malam Enggara Sepuluh

11 Sebelas malam Budaha ngadep

12 Dua belas malam Beras Pati cangkep

13 Tiga belas malam Cukera Dudu

14 Empat belas malam Belah Purnama raya

15 Lima belas malam Tula

16 Enam belas malam Suma Cepik

17 Tujuh belas malam Enggara Nggo

18 Delapan belas malam Budhana Gok

19 Sembilan belas malam Beras Pati Sepuluh Siwah


(5)

21 Dua puluh satu malam Belah Turun

22 Dua puluh dua malam Aditya Turun

23 Dua puluh tiga malam Suma mate

24 Dua puluh empat malam Nggara Simbelin

25 Dua puluh lima malam Budhana Medem

26 Dua puluh enam malam Beras Pati Medem 27 Dua puluh tujuh malam Cukera Mate 28 Dua puluh delapan malam Mate Bulan 29 Dua puluh sembilan malam Dalan Bulan


(6)

DAFTAR INFORMAN Nama : Ir. Perdana Ginting

Usia : 60

Pekerjaan : Dosen

Alamat : Jl. Sembada no 19, Medan.

Nama : Saksi Bangun Usia : 58

Pekerjaan : PNS Alamat : Batukarang

Nama : Ny. Payung Bangun (Karo Jenda Ukur br. Karo) Usia : 75 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Pasar Baru no. 32, Medan

Nama : Banta Sembiring Usia : 62 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Lama, Pancur Batu

Nama : Tandingen Guru Singa Usia : 67 Tahun

Pekerjaan : Pertua GBKP