BAB II KAJIAN TEORI
A. PERAN 1.
Pengertian Peran Peran dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti seperangkat tingkat
yang diharapkan dimiliki orang yang berkedudukan di masyarakat.
15
Sebagaimana definisi dikemukakan Rolph Linton mengenai peran yaitu “the dynamic aspect of
a status“. Menurut Linton seseorang menjalankan peran sesuai dengan hak dan
kewajiban yang merupakan status. Status atau kedudukan biasanya didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi
suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Setiap manusia yang menjadi suatu masyarakat, senantiasa mempunyai
status atau kedudukan kadang–kadang dinamakan juga peran dan peranan. Jika, suatu status merupakan posisi di dalam suatu sistem sosial, sedangkan peranan
adalah pola perilaku yang terkait pada status tersebut.
16
Statuskedudukan biasanya didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu
kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai
suatu status. Setiap orang mungkin mempunyai sejumlah status dan diharapkan mengisi peran yang sesuai dengan status tersebut. Dalam arti tertentu, status dan
peran adalah dua aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan
15
Anton M. Moeliono et. al, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta:Balai Pustaka, 1990, h. 667.
16
Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi Jakarta:CV. Rajawali, 1982, h. 29.
kewajiban: peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak–hak tersebut.
17
Peran atau role merupakan seperangkat harapan yang dikenakan individu yang mempunyai kedudukan sosial tertentu.
18
Peran yang dijalankan oleh seseorang, merupakan tanggungjawab yang dipercayakan padanya. Yang harus
diemban dan dijalankan sesuai dengan amanah dan tanggungjawab. Teori peran role theory adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai
teori, orientasi maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi. Dalam ke tiga
bidang ilmu tersebut, istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya
sebagai tokoh itu diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teater sandiwara itu kemudian dianalogikan dengan
posisi seseorang dalam masyarakat, sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan
selalu berada dalam kaitannya dengan adanya orang–orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari sudut pandangan inilah disusun teori–teori
peran. Dalam teori Biddle dan Thomas membagi peristilahan dalam teori peran dalam 4 golongan, yaitu istilah–istilah yang menyangkut
19
: a. Orang–orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial
17
Paul B.Haton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, jilid I, edisi ke 6 Jakarta:PT Erlangga, 1999, h. 118.
18
N. Gross, W.S. Mason, and A.W. McEachern, “Exploration in Role Analsis,” in David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi Jakarta:CV. Rajawali, 1983, h. 99.
19
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 214-215.
b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut c. Kedudukkan orang–orang dalam perilaku
d. Kaitan antara orang dan perilaku Goerge Herbert Mead mengemukakan, bahwa konsep diri dan pikiran
yang dikembangkan oleh para ahli sosiologi, digunakan mead untuk mengembangkan teorinya. Mead secara rinci membahas hubungan antara pikiran
seseorang dirinya dan masyarakat. Sebagaimana telah kita lihat dalam pembahasan mengenai proses sosialisasi, maka sumbangan pikiran penting mead
antara lain terletak pada pandangannya bahwa diri self seseorang berkembang melalui tahap play, the game, dan generalizad other, dan bahwa dalam proses
perkembangan diri ini, seseorang belajar mengambil peran orang lain taking the role of the other
.
20
Herbert Blumer, salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai interaksionalisme simbolik. Menurut
Blumer pokok pikiran interaksionalisme simbolik ada tiga; yang pertama ialah
bahwa manusia bertindak act terhadap sesuatu thing atas dasar makna meaning yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Dengan demikian tindakan
seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi akan berbeda dengan tindakan seorang penganut agama Islam di Pakistan, karena bagi masing–masing
orang tersebut, sapi tersebut mempunyai makna meaning berbeda.
21
Bila individu–individu menempati kedudukan–kedudukan tertentu, maka mereka merasa bahwa setiap kedudukan yang mereka tempati itu menimbulkan
20
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Jakarta:LP FEUI, 2004, h. 234.
21
Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 38.
harapan–harapan expectations tertentu dari orang–orang disekitarnya. Dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang diharapkan
menjalankan kewajiban–kewajibannya yang berhubungan dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, Gross, Mason dan McEachern mendefinisikan peranan sebagai
seperangkat harapan–harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan–harapan tersebut merupakan imbangan dari
norma–norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan–peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, maksudnya: kita
diwajibkan untuk melakukan hal–hal yang diharapkan oleh “masyarakat“ di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan–peranan lainnya.
22
Seseorang yang memainkan perannya dalam suatu kelompok masyarakat, senantiasa akan mendapatkan tanggungjawab serta fungsi sebagaimana peran
yang didapatkannya tersebut. Bila seseorang yang menjalankan peran itu bertindak tidak sesuai atau keluar dari norma-norma yang terdapat di masyarakat,
maka orang tersebut akan mendapatkan penilaian buruk. Apa yang dapat saya tarik dari arti “peranan” adalah merupakan suatu
konsep tentang “hak” seseorang terhadap masyarakat dengan konsep “kewajiban” yang merupakan harapan masyarakat terhadap individu sehubungan dengan status
yang dipegangnya di dalam masyarakat. Dan bagaimana masyarakat menjalankan hak dan kewajiban terhadap seseorang sehingga harus sejalan dengan peranan
tersebut.
22
Berry, Pokok Pokok Pikiran dalam Sosiologi, h. 99.
2. Peran dalam Perspektif Sosiologi
Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan status. Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya,
maka dia menjalankan suatu peran. Gambaran peran merupakan suatu gambaran tentang perilaku yang secara aktual ditampilkan seorang dalam membawakan
perannya. Konsep peran menurut Stogdill adalah perkiraan tentang perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam posisi tertentu, yang lebih dikaitkan dengan
sifat–sifat pribadi individu itu daripada posisinya. Untuk dapat membedakan peran dari posisi memang sulit. Akan tetapi Stogdill mengemukakan bahwa ada 2
hal yang jelas termasuk dalam peran dan bukannya posisi, yaitu: Tanggung jawab responsibility adalah serangkaian hasil perbuatan yang diharapkan dari individu
dalam batas–batas posisinya, dan Otoritas
adalah tingkat kebebasan yang
diharapkan untuk dipraktekkan dalam posisinya. Hubungan antara status dan fungsi disatu pihak dengan tanggungjawab dan otoritas dilain pihak, menciptakan:
Makin tinggi status seseorang, makin besar otoritasnya, dan terlepas dari posisinya, tanggungjawab individu diharapkan agar berkaitan dengan fungsi dari
posisi yang diduduki individu tersebut.
23
Menurut Hendropuspito, apabila pada pengertian peran sosial itu hendak ditekankan unsur kewajiban dan tanggungjawab, peran sosial itu disebut dengan
istilah lain, yakni jabatan atau tugas. Jadi jabatan atau tugas sosial itu ialah suatu
23
Sarwono, Teori – teori Psikologi Sosial, h. 203.
peranan sosial yang diserahkan kepada seseorang atau institusi sosial oleh instansi yang berwenang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
24
Dalam teori struktural fungsionalisme Parson menyebutkan intergrasi pola-pola nilai dan disposisi dengan “dinamika fundamental teorema sosiologi”.
Karena perhatian utamanya pada sistem sosial, yang terpenting dalam intergrasi ini adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Jadi, Parson tertarik pada cara
norma dan nilai suatu sistem di transfer kepada aktor dalam sistem tersebut. Dalam sosialisasi yang berjalan sukses, norma dan nilai tersebut terinternalisasi;
yaitu, mereka menjadi bagian dari “nurani” aktor. Akibatnya, dalam mengejar kepentingan mereka, para aktor tengah menjalankan kepentingan sistem secara
keseluruhan. Seperti yang dikatakan parson, kombinasi pola-orientasi yang diperoleh oleh aktor dalam sosialisasi pada derajat yang sangat penting harus
menjadi fungsi sturktur peran fundamental dan nilai-nilai dominan sistem sosial. Apabila pada pengertian peran sosial itu hendak ditekankan unsur
kewajiban dan tanggung jawab, peran sosial itu disebut dengan istilah lain, yakni jabatan atau tugas. Jadi jabatan atau tugas sosial ialah suatu peranan sosial yang
diserahkan kepada seseorang atau institusi sosial oleh instansi yang berwenang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dalam menjalankan perannya, seseorang dapat berlaku ganda. Misal; seorang guru dari murid–muridnya, dimana salah satu dari muridnya ada anak dari
seorang guru tersebut. Maka guru dalam memainkan perannya, dapat sebagai guru atau sebagai orang tua dari anaknya tersebut.
24
D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematika Yogyakarta:Kanisisus, 1989, h. 179.
Bila seseorang yang memainkan peran tidak dapat memfungsikan dirinya sebagaimana mestinya dengan baik. Maka orang akan dapat membunuh peran
tersebut bagi dirinya sendiri. Dan itu akan menyebabkan tidak akan berfungsi dan hilangnya peran tersebut dimasyarakat.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT MISKIN DI PERKOTAAN Kesejahteraan yang adil dan makmur adalah cita–cita semua bangsa,
Namun masih sedikit yang mampu mewujudkannya. Oleh karena itu pemberantasan kemiskinan masih merupakan salah satu agenda yang perlu segera
dituntaskan. Kesempatan kerja dengan tingkat penghasilan yang layak masih jauh di bawah jumlah angkatan kerja yang membutuhkannya, sehingga kelompok
pengangguran dan setengah pengangguran makin meningkat diperkotaan. Kondisi seperti ini pada gilirannya juga akan meningkatkan angka kemiskinan.
Ukuran kemiskinan dalam setiap daerah bisa berbeda-beda. Ada yang melihat bahwa masyarakat atau orang miskin itu dilihat dari rendahnya
pendapatan perbulan dibawah upah minimum regular yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi, ukuran tersebut, belum bisa dikatakan tepat untuk
menilai suatu ukuran kemiskinan. Biasa saja dalam satu daerah ukuran orang miskin itu dilihat dari tidak sanggupnya dia memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari, baik untuk dirinya, maupun untuk keluarga. Ini disebabkan banyaknya tanggungan dan beban hidup yang diberatkan kepada seseorang.
Begitu juga dengan masyarakat miskin di perkotaan, khususnya di kota Bogor pada dasarnya merupakan masyarakat urban. Mereka yang datang
berbondong–bondong dari kampung halamannya, untuk dapat bertahan hidup mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Selain kota, yang
dibanjiri oleh para penduduk urban, terdapat juga penduduk asli kota tersebut. Begitu halnya dengan kehidupan masyarakat kota Bogor. Sebagaimana
kota-kota lainnya, kota Bogor merupakan salah satu dari empat kota penunjang Ibukota. Dimana, masyarakat yang tidak mendapatkan tempat tinggal di Ibukota
atas mahalnya biaya tempat tinggal, menjadikan kota-kota penunjang merupakan alternatif pilihan bagi masyarakat yang bekerja di Jakarta. Kota Bogor, sama
halnya dengan Jakarta. Dimana masyarakat yang tinggal sangatlah homogen. Banyak pendatang dari luar Bogor yang mengadukan nasibnya di kota tersebut.
Kehidupan masyarakat kota Bogor sama dengan kota lainnya, umumnya memiliki mobilitas yang tinggi. Tingginya tingkat pembangunan, juga merupakan
daya tarik tersendiri bagi orang–orang yang membutuhkan pekerjaan. Dimana persaingan sangatlah terlihat jelas. Orang yang datang kekota tetapi tidak
memiliki kemampuan yang cukup dan pintar, maka akan dapat tersingkirkan dari persaingan tersebut.
Kemiskinan dan orang miskin sudah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Oleh karena itu sangatlah logis bila kebudayaan manusia dalam kurun
waktunya tidak pernah sepi dari orang-orang yang berusaha membawa kebudayaan itu memperhatikan nilai manusiawi dasar, yaitu merasa tersentuh bila
melihat penderitaan orang lain dan berusaha melepaskan mereka dari kemiskinan, atau paling tidak meringankan nasib yang mereka derita itu.
Kemiskinan yang telah berjalan dalam rentang ruang dan waktu yang panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai
realitas ekonomi. Artinya, ia tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Ia sudah menjadi
realitas sistemstruktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan. Tata nilai dan
sistemstruktur sosial ekonomi serta perilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan saja menyebabkan mereka yang miskin
untuk tetap miskin. Keadaan ini membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan itu sendiri.
25
Lebih dari setengah abad para ekonom berupaya keras memunculkan berbagai teori untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan pembangunan
ataupun mengatasi masalah pengangguran.
26
Kemiskinan dan pengangguran bukan hanya masalah yang dihadapi pada kota–kota di Indonesia, tetapi juga
masalah dunia. Hampir disetiap negara terdapat penduduk miskin, baik dalam pengertian kemiskinan absolut maupun relatif.
Seperti halnya dengan masyarakat kota Bogor. Rata-rata setiap daerah melihat ukuran kemiskinan seseorang atau masyarakat yang dianggap miskin itu
dengan memperbandingkan penghasilan perbulan dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Apabila hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka
dianggapnya sebagai orang miskin. Bisa juga melihatnya dari keadaan tempat
25
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, cet. ke IV.Bandung:Mizan, 1994, h. 38.
26
Muhammad Soekarni dan Jusmaliani, “Kemiskinan dan Pengangguran Solusi Islami,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan XIII 1 2005, h. 135.
tinggalnya yang notabene, meskipun tinggal ditengah-tengah kota tetapi masih ada saja rumah yang bertembokan bilik, beralas tanah, dan atapnya belum
menggunakan genteng. Ini dikarenakan masyarakat yang berada pada angka kemiskinan, merupakan masyarakat yang tidak mampu bersaing dalam
pembangunan. Maka, terciptalah kantong-kantong kemiskinan disetiap daerah dan sudut kota.
Pembangunan secara tidak terduga memisahkan masyarakat menjadi dua kelompok yang berbeda tajam satu dari yang lain. Ada satu kelompok yang stabil,
kuat ekonominya, terjamin masa depannya. Ada satu kelompok lain yang tidak stabil, mudah bergeser dari satu sektor lain, cepat berpindah pekerjaan. Kelompok
inilah yang disebut massa apung.
27
Mereka adalah kelompok yang paling besar. Kehidupan ekonominya hanya berlangsung dari tangan ke mulut, semuanya habis
untuk makan dan tidak terlibat dalam ekonomi pasar. Daerah perkotaan sudah lama dipandang sebagai pusat kemajuan dan
pembangunan, bertentangan dengan daerah pedesaan yang dianggap terbelakang dan belum maju. Orang kota “modern” dan kaum tani “tradisional”, yang buta
berita dan melek berita, karena pemilikan media sumberdaya insani dan sumberdaya benda, teknologi rendah versus teknologi tinggi, ekonomi subsistensi
yang tidak produktif versus produksi padat modal untuk pasar, adalah serangkaian perbedaan yang diakui ada antara dearah perkotaan dan daerah pedesaan.
28
Pesatnya pertumbuhan kota umumnya disebabkan oleh migrasi, dan hal ini
27
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995, h. 75.
28
Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, h. 76.
melahirkan suatu masyarakat kota yang sangat kompleks menurut ukuran kesukuan, pekerjaan serta kelompok–kelompok sosial.
C. KEMISKINAN DALAM PANDANGAN ISLAM 1.
Pengertian Miskin Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk problema yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara–negara yang sedang berkembang. Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak
dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi.
Bila dilihat dari kehidupan modern pada saat ini, kemiskinan bisa di lihat dari kurangnya dapat menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan
kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
29
Masalah kemiskinan ini menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya
pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya untuk mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan. Istilah kemiskinan
sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang asing dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksud disini adalah kemiskianan ditinjau dari segi material
ekonomi. Kemiskinan dapat digolongkan dalam tiga bagian; kemiskinan struktural,
kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Kemiskinan struktural disebabkan
29
Ragnar Nurkse, “Pembangunan daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,” artikel diakses tanggal 19 Desember 2008, dari http:www.google.com
oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir
orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Yang pada intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia.
Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat itu sendiri, yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja,
rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang
disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya sumber daya alam dan bencana alam.
Kemiskinan struktural, yang merupakan faktor penyebab timbulnya kemiskinan yang bertolak dari keadaan struktural sosial yang eksploratif dalam
pola hubungan atau interaksi pada institusi-institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya, dan sebagainya.
30
Maka kemiskinan yang timbul dalam suatu masyarakat bukan semata-mata akibat dari faktor-faktor yang ada pada dirinya
sendiri, misalnya kurang pendidikan dan kurangnya kalori, melainkan sebagai akibat dari eksploitasi.
Magnis Suseno mengatakan tentang kemiskinan struktural sebagai berikut: “Masalah kemiskinan bukanlah akibat kehendak jelek orang miskin sendiri
misalnya: ia malas, suka main judi atau orang kaya misalnya: ia pribadi rakus, melainkan akibat struktur proses-proses ekonomi, politik bahwa hanya
kelompok-kelompok kecil menguasai sarana-sarana produksi dan pengambilan
30
A. Suryawasita, SJ., Analisa Sosial, dalam J.B. Bonawiratman, SJ., cd, Kemiskinan dan pembebasan, h. 12-13.
keputusan mengenai kehidupan masyarakat, sosial misalnya hak-hak tradisional golongan atas, budaya misalnya: perbedaan akses terhadap pendidikan dan
ideologis. Bahwa masyarakat di belenggu faham-faham yang menutup-nutupi ketidakadilan, kemiskinan, dan memperlihatkan sebagai akibat faktor-faktor
objektif jelek.”
31
Kemiskinan struktural adalah sebuah kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau bukan karena nasab.
Kemiskinan jenis ini, menurut beberapa pakar adalah kemiskinan yang muncul dari suatu usaha pemiskinan. Pemiskinan, suatu usaha untuk menciptakan jurang
semakin lebar saja antara yang kaya dengan yang miskin, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Lebih jauh kemiskinan struktural, adalah
kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang, yang timbul dari tiadanya suatu hubungan yang simetris dan sebangun yang menempatkan
manusia sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang
berkuasa, sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai
tidak berharta benda, serba kekurangan berpenghasilan rendah. Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan atau sangat miskin. Ada yang
sebagian berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedangkan miskin adalah yang berpenghasilan di
atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Dan ada juga
31
F. Magnes Suseno, SJ., Keadilan dan Analisa Sosial : Segi-segi Etis dalam J.B. Bonawiratman, SJ., Kemiskinan dan Pembebasan, h. 38, Ahmad Sanusi, Agama ditengah
kemiskinan , h. 28.
yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.
32
Menurut Soejono Soekanto, kemiskinan diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
33
Menurut Prof. Dr. Emil Salim yang dimaksud dengan kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dengan istilah lain kemiskinan itu merupakan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga
mengalami keresahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya.
34
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan, a. Pendidikan yang terlampau rendah
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan
dalam kehidupannya. b. Malas Bekerja
Sikap malas
merupakan suatu
masalah yang
cukup memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentalitas dan
kepribadian seseorang.
32
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-qur’an, Tafsir Mauhdu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,” artikel diakses tanggal 20 Desember 2008, dari http:www.google.com
33
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2006, h. 320.
34
Hartomo dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar Jakarta:Bumi Aksara, 2004 , h. 329.
c. Keterbatasan sumber alam Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber
alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. d. Terbatasnya lapangan pekerjaan
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat.
e. Keterbatasan modal Keterbatasan modal adalah kenyataan yang ada di negara yang
sedang berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di negara tersebut.
f. Beban keluarga Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak pula
tuntutan beban hidup yang harus dipenuhi.
35
Bagi negara–negara berkembang khususnya yang memiliki kepadatan penduduk yang relatif tinggi dengan tingkat pendapatan perkapita rendah, maka
kemiskinan bukanlah merupakan fenomena baru. Fenomena inilah yang lebih mempertegas garis stratifikasi dalam masyarakat. Adanya kemiskinan yang
mengalami perjalanan panjang sehingga cenderung menjadi “kemiskinan absolut” mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami permasalahan bahkan
cenderung apatis terhadap permasalahan yang dihadapi. Melihat kemiskinan sebagai permasalahan dasar yang menyebabkan
ketidakmampuan masyarakat untuk merubah nasibnya dalam arti meningkatkan
35
Hartomo dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar , h. 329-331.
kesejahteraan hidupnya, maka pembangunan di bidang perekonomian merupakan salah satu alternatif jawaban yang perlu dipertimbangkan dalam skala prioritas
utama. Dalam hal ini pembangunan ekonomi dimaksudkan sebagai kegiatan perekonomian yang secara langsung berhadapan dengan kemiskinan, baik secara
individual maupun kemiskinan masyarakat secara umum. Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam memperoleh
atau penggunaan sumber daya alam yang diistilahkan dari gambaran mengenai pengertian dan ruang lingkup permasalahan kemiskinan seperti yang diuraikan
secara sepintas diatas, tampak bahwa permasalahan kemiskinan sangat kompleks, karena “dalam kenyataannya kemiskinan merupakan perwujudan dari hasil
interaksi yang melibatkan kemampuan semua aspek yang dipunyai manusia dalam kehidupannya”.
36
Bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang dialami oleh seseorang atau sebagian penduduk yang hidup dalam keadaan serba kekurangan
dalam memenuhi kebutuhan hidup yang pokok disebabkan kurangnya kemampuan secara ekonomi. Oleh karena itu bukan hal mudah untuk
merumuskan dalam suatu definisi dan struktur untuk menetapkan batasannya. 2.
Kemiskinan dalam Islam Sejak awal sejarahnya, pergaulan hidup dalam masyarakat manusia telah
mengenal adanya si Kaya dan si Miskin. Kedua macam golongan ini merupakan unsur pokok dari setiap lingkungan masyarakat, sumber kehidupan duniawi
berputar terus antara dua kutubnya, yakni kutub kekayaan dan kutub kemiskinan. Dan itulah kenyataan hidup di sepanjang sejarah dunia kita ini. Ajaran Islam tidak
36
Suparlan, Kemiskinan diPerkotaan, h. 13.
dapat berbuat lain kecuali menghadapi kenyataan yang sudah membudaya sebelumnya. Pada jaman dulu, si Kaya tidak saja memiliki harta benda yang
banyak tetapi juga memiliki budak rampasan atau budak belia yang banyak serta istri–istri yang tanpa batas.
Suatu ukuran yang pasti untuk menentukan batas kemiskinan memang tidak mudah karena pada tiap lingkungan tertentu dan pada tiap kurun waktu
tertentu kepentingan dan kebutuhan manusia dan masyarakat berbeda. Seseorang didalam lingkungan masyarakatnya sudah digolongkan kaya, namun dilingkungan
lain ia masih digolongkan miskin. Demikian pula suatu masyarakat yang dianggap kaya dibandingkan masyarakat lain ia masih dianggap miskin. Sekalipun
demikian, dilingkungan tiap masyarakat kedua unsur pokoknya, si Miskin dan si Kaya, tetap saja ada. Maka berdasarkan gambaran diatas, kaya dan miskin itu
relatif adanya. Ajaran Islam yang dijabarkan dalam fiqih melihat tiga faktor yang terkaitan dengan masalah kemiskinan seseorang: pertama, harta benda yang
dimiliki secara sah berada ditempat mal mamluk hadhir, kedua, mata pencaharian pekerjaan tetap, yang dibenarkan oleh hukum al-kasb al-halal,
ketiga, kecukupan al-kifayah atau kebutuhan hidup yang pokok.
37
Selanjutnya, dalam literature hukum Islam, istilah kemiskinan atau “miskin” dibedakan dengan “fakir” mengenai perbedaan kedua istilah tersebut,
dari hasil telaah kitab fiqih, Ali Yafie membuat rumusan definisi miskin adalah mereka yang memiliki harta bendapencaharian atau kedua–duanya hanya
menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokok. Sedangkan yang disebut fakir
37
Ali Yusuf, Menggagas fiqih sosial : dari soal lingkungan hidup, asuransi hingga ukhuwah
, cet. ke III. Bandung:Mizan, 1995, h. 165.
ialah mereka yang tidak memiliki sesuatu harta benda atau tidak mempunyai mata pencaharian tetap atau mempunyai harta benda tetapi hanya menutupi kurang
seperdua kebutuhan pokoknya.
38
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata “miskin” terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedangkan faqir dari kata faqr yang pada mulanya
berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga
“mematahkan” tulang punggungnya. Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-qur’an untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam
berbeda pendapat dalam menetapkan tolak ukur kemiskinan dan kefakiran. Al- qur’an dan hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi sebagai ukuran
kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah.
39
Seperti diungkapkan dalam Al-qur’an surat Al Dzurriyat ayat 19 :
Artinya : “Dan pada harta–harta mereka ada hak untuk orang fakir–miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian maksudnya : orang
miskin yang tidak meminta”.QS. Al-Dzurriyat: 19
Selain itu Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer, berpendapat : “Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup
di tengah masyarakat Islam, sekalipun Ahl Al-dzimmah warga negara non-
38
Ali Yafie, Islam dan Problematika Kemiskinan Pesantren Jakarta:P3LM, 1986, h. 6.
39
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-qur’an, Tafsir Mauhdu’I atas Pelbagai Persoalan Umat.”
muslim, menderita lapar, tidak berpakaian, menggelendang tidak bertempat tinggal dan membujang.”
40
Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 menyatakan pula, bahwa :
Artinya : …Kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat – malaikat, kitab-kitab, nabi - nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang – orang miskin, musafir yang memperlukan pertolongan dan orang – orang yang meminta – minta, dan memerdekakan
hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat…QS. Al-Baqarah: 177
Disebutkan juga dalam Al-qur’an surat Hud ayat 6, Allah s.w.t bersabda : “Tidak suatu binatang pun di bumi ini, melainkan atas Allah sajalah rezekinya”.
Allah telah menyediakan rezeki untuk makhluk, untuk manusia. Manusia bekerja untuk mendapatkan itu. Manusia tidak boleh berpangku tangan. Sudah nasib saya
tidak mendapat rezeki, sudah nasib saya menjadi orang miskin. Maka, Allah berfirman lagi dalam hal ini. “Allah itulah yang membuat bumi untukmu guna
ditundukkan. Maka berjalanlah kamu ke segenap penjuru bumi itu dan makanlah dari rezeki Allah.”
41
Surat ini menjelaskan, bahwa setiap manusia diberikan rezeki
40
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.”
41
Ibrahim Lubis, Agama Islam Suatu Pengantar Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984, h. 577.
pada jalannya sendiri. Dan itu tergantung bagaimana manusia bisa mencari jalan untuk mendapatkan rezeki tersebut.
Lain pendapat para ulama Imam Mazhab yaitu Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa orang miskin dalam Islam adalah orang-orang yang
keadaannya ekonominya lebih buruk dari orang fakir. Sedangkan Hambali dan Syafi’i orang fakir adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang
miskin, karena yang dinamakan fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai sesuatu, atau orang yang tidak mempunyai separuh dari kebutuhannya.
42
Dan para ulama Mazhab juga berpendapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu
sebanyak delapan. Semuanya itu sudah disebutkan dalam surat Al-Taubah ayat 60, seperti berikut:
Artinya : Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang yang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang kuat hatinya, orang yang
memerdekakan hamba, orang-orang yang mempunyai hutang, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, dan orang-orang yang sedang berada dalam
perjalanan.QS.Al-Taubah:60
Lain halnya yang dijelaskan oleh Bradly R. Schiller bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang – barang dan pelayanan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan sosial yang terbatas.
43
42
Muhammad Jalad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Jakarta:Basrie Press, 1991, h. 239.
43
Djamaluddin Ahmad al-Bury, Problematika Harta dan Zakat Jakarta:PT Bina Ilmu, 1975, h. 177.
Budayawan Mangunwijaya menyatakan bahwa kemiskinan timbul karena struktur. “Mereka itu sebenarnya bukan orang miskin, tetapi dibuat miskin oleh
suatu struktur”. Kemiskinan boleh jadi sudah disepakati sebagai masalah sosial, tetapi apa yang menyebabkannya dan bagaimana mengatasinya tergantung pada
ideologi yang dipergunakannya. Orang menjadi miskin, karena ia tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta,
fatalitas, tidak ada hasrat berprestasi dan sebagainya. Orang–orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya tersendiri–culture of poverty.
44
Definisi tentang kemiskinan menurut Nabil Subhi Ath–Thawil adalah tiadanya
kemampuan untuk
memperoleh kebutuhan–kebutuhan
pokok. Kebutuhan–kebutuhan itu dianggap pokok karena ia menyediakan batas
kecukupan minimum untuk hidup manusia yang layak dengan tingkatan kemuliaan yang dilimpahkan Allah atas dirinya.
45
Dr. Muhammad Abdul Qodir Abu Faris memberikan pengertian bahwa miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan dan penghasilan hanya bisa
menutupi setengah lebih sedikit dari kebutuhan.
46
Kemiskinan dan keterbelakangan yang telah berjalan dalam rentang waktu yang panjang, memastikan bahwa gejala–gejala yang ada tidak cukup diterangkan
sebagai realitas keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Ini sudah menjadi realitas sistemstruktur dan tata nilai
44
Sri-Edi Swasono, Sekitar Kemiskinan dan Keadilan : Dari Cendikiawan kita tentang Islam
Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia, 1988, h. 23-24.
45
Nabi Subhi Ath-Thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-negara Muslim, cet I. Terjemahan Muhammad Bagir Bandung:Mizan, 1985, h. 36.
46
Muhammad Abdul Qodir abu Faris, Kajian Pemberdayaan Zakat Semarang:Penerbit Dina Utama, 1983, h. 1.
masyarakat, suatu realitas budaya. Tata nilai dan sistemstruktur sosial ekonomi serta perilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan
ini, bukan saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadaan ini membuat keluarga masyarakat tersebut miskin terhadap kemiskinan itu sendiri.
47
Dapat disimpulkan, Al-qur’an telah mewajibkan kita untuk memberi harta kepada fakir miskin guna memenuhi kebutuhan hidup, memberi makan, serta
berbuat baik terhadap mereka. Sebagaimana Al-qur’an telah mewajibkan kepada fakir miskin untuk tetap komitmen dan sabar dengan petunjuk Allah, tetap
berusaha untuk mencari rizky dan berusaha untuk bersedekah sesuai kemampuannya, serta tidak membunuh anak–anak mereka karena kepikiran atau
takut akan kemiskinan.
47
Adi Sasono, “Islam di Indonesia”, dalam M. Amien Rais, ed., Suatu Ikhtiar Mengaca Diri
, cet ke-4. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1994, h. 99-100.
BAB III PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN P2KP