Rukun Pernikahan PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERNIKAHAN

itu ia dianjurkan sebaiknya untuk tidak melangsungkan perkawinan. Berdasarkan firman Allah : “Hendaklah menahan diri dari orang-orang yang tidak memperoleh alat- alat untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karuniaNya QS. An-Nur 24:23 4. Haram Orang yang diharamkan untuk kawin ialah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin, tetapi kalau ia kawin dapat menimbulkan kemudlaratan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya.

B. Rukun Pernikahan

Sebuah pernikahan dapat dikatakan sah bila telah memenuhi rukun yang telah ditentukan, adapun yang menjadi rukun nikah adalah : 1. Calon suami dan calon istri; 2. Wali; 3. Dua orang saksi; 4. Ijab dan qobul. 15 15 Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Depag RI, 2001 h.18 Para ulama sepakat bahwa aqad nikah itu baru terjadi setelah terpenuhinya rukun-rukun dengan dilengkapi syarat nikahnya, yaitu : 1. Adanya calon pengantin laki-laki disyaratkan bahwa ia tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah, atas kemauannya sendiri. begitu pula bagi calon pengantin perempuan, tidak sedang menunaikan ihram, tidak bersuami dan tidak beridah. 16 2. Ditinjau dari segi kemasyarakatan, wali merupakan pelindung dari keluarga yang melepaskan anak gadis mereka untuk dimiliki seorang laki-laki sebagai suaminya. 17 3. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa saksi asdalah syarat rukun perkawinan. Aqad nikah yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi, tidak sah. 18 dan dua orang saksi itu adsalah yang adil, dan laki-laki, Islam, merdeka, sehat akalnya dan baligh. 19 4. Harus ada upacara ijab qobul, ijab adalah penyerahan dari pihak istri atau wakilnya dan qobul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar maskawin yang diberikan; setelah proses ijab dan qobul itu resmilah terjadinya perkawinan aqad nikah antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah tangga keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian sebagai tanda telah resmi 16 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988, cet. Ke-1, h.74 17 Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, 1983, cet. Ke-2, h.54 18 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, h.18 19 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988, cet. Ke-1, h.74 terjadinya akan nikah perkawinan maka seyogyanya diadakan walimah pesta perkawinan walaupun sekedar minum teh manis atau dengan sepotong kaki kambing untuk bahan sup. Dan sebagai bukti otentik terjadiny perkawinan, harus diadkan I’lanun nikah pendaftaran nikah kepada pejabat nikah. 20 Kutipan di atas memberikan suatu pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan syarat dan rukun nikah. Apa yang telah dikutip itu merupakan suatu yang sudah berjalan dimasyarakat padsa umumnya. Ditinjau dari segi undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 bahwa perkawinan baru dikatakan ada bila dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita. Tentu juga tidak dinamakan perkawinan bila sekiranya iaktan lahir batin itu tidak bahagia, atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. dan tetap berprinsip bahwa pernikahan atau perkawinan itu dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 21 Jadi, di negara kita disamping berlaku syarat dan rukun yang ditentukan oleh syariat Islam juga berlaku undang-undang yang bersifat nasional. akan tetapi masalah syarat dan rukun pernikahan telah disebutkan dalam undang-undang tersebut pernikahan itu dinyatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu. sebagai umat Islam, dalam 20 M.Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind Hllco, 1990, h.47-48 21 M.Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind Hllco, 1990, h.48 pelaksanaan pernikahan, harus tetap berprinsip pada syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama.

C. Larangan Pernikahan