BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan perjanjian yang suci dan kuat untuk hidup bersama secara sah antara seseorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam
membentuk keluarga yang kekal, di samping itu juga santun menyantuni, kasih mengasihi supaya tentram dan bahagia atau sakinah, mawaddah. Karena itu
pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun- rukunnya.
Sebagai salah satu syarat sahnya nikah adalah adanya seorang wali, sebab itu wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan. Seperti
diketahui dalam prakteknya, yang mengucapkan “Ijab” adalah pihak perempuan dan yang mengucapkan ikrar “qobul” adalah pihak laki-laki, disinilah peranan
wali sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon pengantin perempuan. Kedudukan wali nikah dalam hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun
nikah, oleh karena itu imam Syafi’i berpendapat bahwa nikah dianggap tidak sah atau batal, apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. hal itu
berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa ali nikah
1
tidak merupakan salah satu rukun nikah. Karena itu, nikah dipandang sah sekalipun tanpa wali.
Perkawinan merupakan kebutuhan biologis dan psikologis manusia sejak zaman dahulu. Pernikahan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi
kehidupan manusia, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Karena itu, perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
pernikahan dinyatakan sah bila terpenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Diketahui bahwa masalah perwalian dalam pernikahan masih banyak
dipermasalahkan. Di satu pihak ada yang berpendapat bahwa salah satu rukun yang menentukan keabsahan nikah adsalah wali. Dipihak lain ada pula yang
berpendapat tanpa adanya wali, pernikahan tetap sah, bila calon pengantin telah mencapai usia dewasa. Adapun batas usia dewasa dalam undang-undang nomor 1
tahun 1974 dan BW Burgelijk Wetboek disebutkan bahwa batas usia dewasa adalah 21 tahun.
Masalah perwalian dalam pernikahan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 pada bagian penjelasan dinyatakan cukup jelas. Padahal
sesungguhnya hal tersebut belum begitu jelas. Masalahnya adalah siapakah yang sebenarnya berhak menjadi wali nikah?. Menurut penulis bahwa yang dimaksud
wali dalam undang-undang tersebut adalah izin dari orang tua. Dalam prakteknya terdapat permasalahan apakah izin dari orang tua tersebut harus secara tertulis
atau tidak.
Dewasa ini perwalian beda agama banyak terjadi, khususnya dikecamatan pasanggrahan, sehingga tidak jarang hal ini membuat sulit kedua pasangan untuk
melaksanakan pernikahan. Belum lagi jika seorang non-muslimah masuk ke dalam agama Islam, sehingga saat pernikahan terjadi kesulitan khususnya tentang
kedudukan wali tersebut. Sebaliknya ketika seorang bapak non muslim masuk ke dalam agama Islam sementara putrinya tetap pada agamanya. Maka, hal itu pun
menjadi masalah dalam perkawinan adalah batasan masalah yang penulis tuangkan dalam skripsi ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah