Macam-Macam Wali PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERWALIAN

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali haruslah orang yang berakal sehat. Jika misalnya suatu saat wali yang berakal sehat itu ternyata sudah tidak waras lagi gila, maka status kewaliannya tersebut telah hilang dan dengan sendirinya menjadi batal dalam perwalian. 18 Orang yang kurang sehat akalnya, atau gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidk memenuhi syarat untuk menjadi wali. Jadi, salah satu syarat menjadi wali adalah “berakal orang gila tidak sah menjadi wali.” 19 Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa syarat utama yang harus ada pada wali adalah Islam, dewasa, dan laki-laki. Tentang persyaratan lain seperti berakal dan adil dapat diambil pengertian baligh menunjukkan bahwa orang itu berakal, dan muslim atau beragama Islam menunjukkan bahwa orang tersebut pasti dapat berbuat adil. Dengan demikian tiga persyaratan tersebut pada dasarnya juga mencakup lima persyaratan yang banyak dibahas dalam berbagai buku fiqh atau hukum Islam.

C. Macam-Macam Wali

Orang-orang Indonesia yang menganut agama Islam terdapat suatu ketentuan, yaitu orang-orang perempuan dan laki-laki yang belum dewasa harus 18 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan : CV. Zahri Trading: 1975, Cet. Ke-1, h.255 19 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum perkawinan Menurut Islam, Undang- undang Perkawinan, dan Hukum Perdata, Jakarta : Hidakarya Agung, 1981, h.28 ada yang mengawinkan mereka. maka orang inilah yang disebut dengan wali bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan. 20 Secara garis besar menurut syari’at wali dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. 21 Ketiga macam wali tersebut akan dibahas secara rinci berikut keterangan-keterangan yang diperlukan pada pembahasan berikut ini. 1. Wali Nasab Yang dimaksud wali nasab adalah orang laki-laki yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan anak perempuan yang akan dikawinkan. 22 Adapun urutan wali nasab, ditetapkan dalam komposisi hukum Islam KHI pada pasal 21 ayat 1 yang membagi dalam empat kelompok, yaitu sebagai berikut : a. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni, ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya; b. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka; c. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka; 20 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987, Cet. Ke-1, h.57 21 Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Depag RI, 2001 h.21 22 Abdullah Siddiq, Harian Perkawinan Islam, Jakarta : PT. Tintamas, 1983, Cet. Ke-2, h.59 d. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. 23 Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali itu secara berurutan terbagi sebagai berikut : 1 Bapak, kakek bapak dari bapak dan seterusnya sampai ke atas; 2 Saudara laki-laki kandung seibu sebapak; 3 Saudara laki-laki sebapak; 4 Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung; 5 Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak dan seterusnya sampai ke bawah; 6 Paman saudara dari bapak kandung; 7 Paman saudara dari bapak sebapak; 8 Anak laki-laki paman kandung; 9 Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya sampai ke bawah. 24 Urutan tersebut harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak. Apabila yang diutamakan menjadi wali ialah bapak dan bapak tidak ada kakek menjadi wali, juga apabila kakek tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara laki-laki sebapak. Begitulah 23 Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Depag RI, 2001 h.21 24 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, h.55 seterusnya sampai ke bawah. 25 Kalau wali yang dekat enggan mengawinkan perempuan kepada jodohnya, maka yang menjadi wali ialah sultan atau hakim. 26 Selanjutnya wali nasab juga dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu wali mujbir dan wali tidak mujbir. Mahmud Yunus memberikan pengertian wali mujbir “wali” yang boleh melaksanakan perkawinan kepada anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak perempuan dengan tidak meminta izin lebih dahulu kepada anaknya itu. 27 Lebih tegas lagi Mawardi mengemukakan bahwa “BapakKakek yang dinamai mujbir, boleh mengawinkan anak perempuannya yang baligh berakal dan perawan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya itu. 28 Wali mujbir atau wali yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya dengan tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuan tersebuit harus memenuhi beberapa persyaratan. Beberapa persyaratan yang dimaksud adalah : a. Tidak ada permasalahan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut; b. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya; c. Calon suami itu mampu membayar maskawin; 25 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulan Bintang, 1974, cet. Ke-1, h.97 26 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, h.62 27 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, h.64 28 Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Yogyakarta : BPFE, 1984, h.15 d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang buta. 29 e. Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi, bila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, misalnya terjadi permusuhan antara anak perempuan itu dengan wali mujbir, calon laki- laki tidak sekutu, atau calon laki-laki itu terlalu tua, maka perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan. Mengenai siapakah sebenarnya wali mujbir itu, para imam mazhab ada sedikit perbedaan pendapat. Menurut mazhab Syafi’i wali mujbir adalah bapak kandung, kakek ayah dari bapak kandung dan seterusnya sampai ke atas. Menurut mazhab hambali wali mujbir adalah bapak, bukan kakek, washi yang menerima wasiat dari bapak dan hakim. Menurut mazhab Maliki wali mujbir adalah bapak bukan kakek dan washi bapak setelah meninggal dunia, dan menurut mazhab Hanafi semua wali mujbir, seperti dijelaskan bahwa “arti wali adalah orang yang berkuasa terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya untuk melaksanakan tugasnya, baik suka orang yang berada di bawah perwaliannya itu atua tidak, sebab itu tidak ada wali yang tidak mujbir. 30 29 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum perkawinan Menurut Islam, Undang- undang Perkawinan, dan Hukum Perdata, Jakarta : Hidakarya Agung, 1981, h.29 30 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, h.65-66 Selanjutnya dikatakan bahwa menurut keempat mazhab tersebut bahwa bapak atau wali mujbir boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil yang belum baligh tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadanya. 31 Dengan demikian, bapak atau wal mujbir boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dengan ketentuan harus memperhatikan beberapa persyaratan seperti yang telah diuraikan. Wali-wali nikah lainnya seperti saudara laki-laki kandung, saudara laki- laki sebapak, dan seterusnya sesuai dengan ketentuan menjadi wali, itu disebut wali yang tidak mujbir. Wali yang tidak mujbir ini boleh menjadi wali nikah dengan ketentuan harus terlebih dahulu meminta izin terhadap orang yang ada di bawah perwaliannya. 32 2. Wali Hakim Wali hakim adalah orang yang ditunjuk dengan kedua belah pihak yang memiliki pengetahuan yang sama dengan qadhi. 33 Apabila dalam urutan ada wali tidak ada yang menggantikan, maka hakimlah yang akan jadi wali perempuan tersebut, yaitu dimana perempuan itu berada dalam wilayahnya ketika perkawinan itu berlangsung. 34 Begitulah pula dalam KHI pada pasal 23, ayat 1 menyatakan bahwa : “Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin 31 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, h.68 32 Abdullah Siddiq, Harian Perkawinan Islam, Jakarta : PT. Tintamas, 1983, Cet. Ke-2, h.60 33 Abdullah Siddiq, loc.cit, 34 Aminullah J, Hubungan dan Hak Suami-Istri dalam Islam, Jakarta: Pelajar Bandung, 1972, Cet. Ke-8, h.31 menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. 35 35 Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, op.cit, h.22

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERWALIAN BEDA AGAMA