Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Yang Mengalami Relaps di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan.

(1)

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum

Obat Pasien Skizofrenia yang Mengalami Relaps di Poliklinik

Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan

Corry Patricia Siahaan

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan penyertaan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “ Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat Pasien

Skizofrenia Yang Mengalami Relaps di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah

memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses penyelesaian

skripsi ini, sebagai berikut :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp., MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

3. Terima kasih kepada pihak Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan yang telah

memberikan izin dan membantu dalam proses pengambilan data pada saat

penelitian.

4. Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns., M.Kep selaku Dosen Pembimbing yang

senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan,

ilmu dan saran yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns, MNS selaku Dosen Penguji I dan

Ibu Mahnum Lailan Nasution, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Dosen Penguji II


(4)

6. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen yag telah

memvalidasi dan memberi saran pada kuesioner penelitian saya.

7. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan dan staf

non-akademik yang membantu memfasilitasi secara administratif.

8. Teristimewa kepada Ayahanda Drs. M. Siahaan, M.M dan Ibunda Dra.

R.Saragih tercinta yang selalu mendoakan, menyayangiku, dan memberikan

dukungan baik moril maupun materil, serta senantiasa memberikan yang

terbaik untukku. Terimakasih juga kuucapkan untuk abang-abangku Fandi

Dunand Siahaan dan Willy Siahaan dan kakakku Elisabeth Siahaan yang

telah memotivasiku dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih buat teman KTB ku (Kelompok Tumbuh Bersama) yang saya

sayangi (Kak Berliana, Kak Susi, Kak Tynike, Kak Afni, Kak Marthalena,

Kak Yunita, Meylona Zendrato dan Tri Murti Siahaan). Dan juga kepada

KK Chaj (Mega, Lia, Tiara, Sora, dan Niatin) serta Kelompok Kecilku

(Arliston, Yerico, Sahat dan Santi) yang memberikan semangat, doa, serta

kebersamaan dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman Fakultas Keperawatan stambuk 2007 (Marna, Boston, Siska,

Nia dan Hanna) yang telah memberikan dukungan dan doa.

11. Terimakasih buat sahabat-sahabatku Sapril, Dewi, Jessyca, dan Marsella

yang memberikan dukungan, doa, dan bantuan dalam mengerjakan skripsi


(5)

12. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu

yang telah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan selalu mencurahkan berkat dan kasih karunia-Nya kepada

semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis. Penulis menerima

saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 04 Februari 2012


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Perstujuan ... ii

Prakata ... iii

Daftar isi ... vi

DaftarTabel ... viii

Daftar Skema ... ix

Abstrak ... x

Bab 1 PENDAHULUAN ... 1

1. Latar belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 4

3. Tujuan Penelitian ... 4

4. Manfaat Penelitian ... 5

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

1. Konsep Skizofrenia ... 7

1.1.Definisi Skizofrenia ... 7

1.2.Epidemiologi ... 7

1.3.Etiologi ... 9

1.4.Perjalanan Penyakit ... 11

1.5.Tipe-Tipe Skizofrenia ... 12

1.6.Penatalaksanaan ... 14

2. Kekambuhan Kembali (Relaps) ... 17

3. Faktor-faktor Ketidakpatuhan Minum Obat ... 18

3.1. Faktor Penyakit ... 19

3.2. Faktor Regimen Terapi ... 21

3.3. Faktor Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien ... 24

Bab 3 KERANGKA PENELITIAN ... 29

1. Kerangka Penelitian ... 29

2. Definisi Operasional ... 30

Bab 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 32

1. Desain Penelitian ... 32

2. Populasi dan Sampel ... 32

2.1.Populasi ... 32

2.2.Tehnik Sampling ... 32

2.3.Jumlah Sampel ... 33

3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

4. Pertimbangan Etik ... 35

5. Instrumen Penelitian ... 36

6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 38

7. Pengumpulan Data ... 40


(7)

Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

1. Hasil Penelitian ... 42

1.1.Data Demografi ... 42

1.2.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum obat ... 44

2. Pembahasan ... 46

Bab 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

1. Kesimpulan ... 54

2. Saran ... 54

2.1. Bagi Penelitian Keperawatan ... 54

2.2. Bagi Pendidikan Keperawatan ... 55

2.3. Bagi Pelayanan Kesehatan ... 55

2.4. Bagi Keluarga ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 59

1. Lembar Persetujuan Responden ... 59

2. Jadwal Penelitian ... 60

3. Taksasi Dana ... 61

4. Instrumen Penelitian ... 62

5. Surat Izin Penelitian ... 65

6. Hasil Penelitian ... 70


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 30 Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik

Demografi Responden ... 43 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor-faktor

Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat... 44 Tabel 4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Penyakit... 45 Tabel 5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan FaktorRegimen Terapi 45 Tabel 6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Interaksi


(9)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Penelitian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


(10)

Judul : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Yang Mengalami Relaps

di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan Nama Mahasiswa : Corry Patricia Siahaan

Nim : 101121068

Fakultas : Keperawatan USU

Tahun : 2012

Abstrak

Skizofrenia merupakan istiah untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Pengobatan Skizofrenia yang lama dan efek samping obat yang sering timbul, menjadi alasan klien untuk tidak mengikuti program pengobatan sehingga berdampak timbulnya kekambuhan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor apa saja yang memberi pengaruh bermakna terhadap ketidakpatuhan minum obat pada klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif eksploratif. Populasi adalah keluarga inti pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat jalan berjumlah 12.021 orang. Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling sebanyak 99 orang. Data dianalisis secara univariat dan menggunakan tehnik komputerisasi dengan uji statistik deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps yang mencakup: faktor penyakit yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat sebanyak 81 orang (81,2%) tidak patuh, faktor regimen terapi yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat sebanyak 73 orang (73,7%) tidak patuh, dan faktor interaksi pasien dengan profesional kesehatan yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat sebanyak 58 orang (58,6%) tidak patuh. Dapat disimpulkan bahwa tingginya angka ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia akan menyebabkan kekambuhan (relaps) dan perawatan kembali pada pasien. Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan untuk meningkatkan edukasi tentang pentingnya minum obat dan membuat sarana informasi dalam bentuk media cetak.


(11)

Judul : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Yang Mengalami Relaps

di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan Nama Mahasiswa : Corry Patricia Siahaan

Nim : 101121068

Fakultas : Keperawatan USU

Tahun : 2012

Abstrak

Skizofrenia merupakan istiah untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Pengobatan Skizofrenia yang lama dan efek samping obat yang sering timbul, menjadi alasan klien untuk tidak mengikuti program pengobatan sehingga berdampak timbulnya kekambuhan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor apa saja yang memberi pengaruh bermakna terhadap ketidakpatuhan minum obat pada klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif eksploratif. Populasi adalah keluarga inti pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat jalan berjumlah 12.021 orang. Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling sebanyak 99 orang. Data dianalisis secara univariat dan menggunakan tehnik komputerisasi dengan uji statistik deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps yang mencakup: faktor penyakit yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat sebanyak 81 orang (81,2%) tidak patuh, faktor regimen terapi yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat sebanyak 73 orang (73,7%) tidak patuh, dan faktor interaksi pasien dengan profesional kesehatan yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat sebanyak 58 orang (58,6%) tidak patuh. Dapat disimpulkan bahwa tingginya angka ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia akan menyebabkan kekambuhan (relaps) dan perawatan kembali pada pasien. Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan untuk meningkatkan edukasi tentang pentingnya minum obat dan membuat sarana informasi dalam bentuk media cetak.


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang

mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah

(Stuart, 2006). Pasien skizofrenia seringkali memerlukan rawat inap di rumah

sakit dengan berbagai alasan. Perawatan kembali pasien dengan skizofrenia lebih

tinggi bila dibandingkan dengan pasien gangguan mental berat lainnya. Medikasi

dapat mengurangi gejala 70% sampai 85% pada seseorang yang pertama kali

didiagnosis sebagai skizofrenia namun 60% pasien akan mengalami perawatan

ulang (Linden, 2005).

Kasus skizofrenia jumlahnya tidak mempunyai angka-angka yang pasti.

Angka prevalensi di dunia menunjukkan 1% dari seluruh penduduk dunia,

perbandingan yang sama antara penderita laki – laki dan wanita, pada laki-laki

mulai umur 18-25 tahun sedang wanita biasanya mulai umur 26-45 tahun, dan

jarang muncul pada masa anak-anak, bila muncul pada masa anak-anak biasanya

mengenai 4-10 anak diantara 10.000 anak. Mengacu pada data WHO, prevalensi

penderita skizofrenia sekitar 0,2% hingga 2%. Sedangkan insidensi atau kasus

baru yang muncul tiap tahun sekitar 0,01%. Kondisi yang ada lebih dari 80%

penderita skizofrenia di Indonesia tidak diobati dan tidak tertangani dengan


(13)

menderita skizofrenia dibiarkan berada di jalan – jalan, bahkan ada pula yang

dipasung oleh keluarga. Dengan kondisi seperti ini memungkinkan terjadi

peningkatan jumlah penderita skizofrenia dari waktu ke waktu (Sasanto, 2009) .

Kronisitas gangguan skizofrenia merupakan salah satu faktor yang

dipertimbangkan dalam penatalaksanaan, meskipun pengobatan farmakologik

merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan. Hampir semua pasien

skizofrenia kronis mengalami kekambuhan berulang kali sehingga mengakibatkan

defisit ketrampilan personal dan vokasional. Kekambuhan dapat disebabkan oleh

ketidakpatuhan minum obat, gejala yang umum terhadap pengobatan peristiwa

kehidupan yang menimbulkan stres, kerentanan individu terhadap stres, ekspresi

emosi keluarga yang tinggi, dan dukungan keluarga (Fleischacker, 2003).

Interaksi di dalam keluarga sangat mempengaruhi tingkat kekambuhan pada

pasien skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophrenogenic mother digunakan

untuk mendeskripsikan tentang sifat ibu yang dingin, menolak, dan sikap dominan

yang dapat menyebabkan skizofrenia pada anaknya. Di samping itu, istilah double

bind communication digunakan untuk menggambarkan gaya komunikasi yang

menghasilkan pesan-pesan saling bertentangan yang pada akhirnya

mengakibatkan perkembangan skizofrenia. Dukungan keluarga sangatlah penting

dalam hal memberikan kontribusi bukan pada onset skizofrenia tetapi pada

kekambuhan yang terjadi setelah gejala-gejala awalnya terobservasi. Adanya

expressed emotion dari keluarga seperti sikap bermusuhan, kritik, dan keterlibatan


(14)

gangguan psikologis sering kali dapat menunjukkan kontribusi terhadap

kekambuhan yang terjadi pada orang tersebut (Durand, 2007).

Prevalensi skizofrenia yang menjalani pengobatan dibutuhkan penanganan

yang biasanya melibatkan terapi obat-obatan antipsikotik yang biasanya

diadministrasikan bersama penanganan psikososial dengan tujuan mengurangi

frekuensi kekambuhan dan memperbaiki defisit keterampilan dan kepatuhan

terhadap aturan pemakaian obat. Ketidakpatuhan minum obat menunjukkan

bahwa sebagian besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke

waktu. Sejumlah faktor tampaknya berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien

dalam pengobatan, termasuk hubungan dokter atau tim medis lainnya dengan

pasien yang negatif, ongkos pengobatan, efek samping obat yang dirasakan oleh

pasien, lamanya pengobatan, dan dukungan sosial yang buruk dari keluarga

terdekat pasien skizofrenia. Menurut Umbricht dan Kane (1996) tidak

mengejutkan bila efek-efek samping negatif obat juga merupakan faktor penting

bagi penolakan pasien. Antipsikotik dapat menghasilkan sejumlah gejala fisik

yang tidak dikehendaki, seperti grogginess (pusing), pandangan kabur, dan mulut

kering (Durand, 2007).

Pada survey awal yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provsu Medan pada tanggal 14 Maret – 16 Maret 2011 data yang diperoleh dari

Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2010,

terdapat pasien gangguan jiwa yang di rawat inap berjumlah 1.949 orang, dari

jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.758 orang (90,20%). Pada tahun


(15)

dari jumlah tersebut penderita skizofrenia adalah sebanyak 12.021 orang (76,46%)

yang mayoritasnya adalah pasien yang mengalami kekambuhan (relapse). Data di

atas menunjukkan tingginya angka penderita pasien skizofrenia (Medical Record

RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2010).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik melakukan

penelitian tentang “Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum

obat pada pasien skizofrenia yang mengalami relaps di Rumah Sakit Jiwa Provsu

Medan”.

2. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka

pertanyaan yang timbul adalah : Faktor – faktor apakah yang dapat mempengaruhi

ketidakpatuhan minum obat pada pasien skizofrenia yang mengalami relaps di

Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan ?

3. TUJUAN PENELITIAN

3.1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

ketidakpatuhan minum obat pada pasien skizofrenia yang mengalami relaps di


(16)

3.2. Tujuan khusus

3.2.1. Untuk mengetahui gambaran faktor penyakit yang mempengaruhi

ketidakpatuhan minum obat pada pasien skizofrenia yang mengalami

relaps.

3.2.2. Untuk mengetahui gambaran faktor regimen terapi yang mempengaruhi

ketidakpatuhan minum obat pada pasien skizofrenia yang mengalami

relaps.

3.2.3. Untuk mengetahui gambaran faktor interaksi pasien dengan profesional

kesehatan yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pada pasien

skizofrenia yang mengalami relaps.

4. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan

praktek keperawatan, pendidikan keperawatan, dan bagi penelitian keperawatan

4.1.Bagi praktek keperawatan

Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan kontribusi bagi

peningkatan praktek keperawatan khususnya pengembangan ilmu

keperawatan jiwa terhadap penatalaksanaan pasien skizofrenia dan

mengidentifikasi tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi


(17)

4.2.Manfaat bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi mahasiswa

keperawatan sehingga dapat menjadi perawat yang mampu berkomunikasi

dan mengedukasi pasien agar patuh dalam minum obat dan melibatkan

keluarga untuk intervensi dalam kepatuhan minum obat.

4.3.Manfaat bagi penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sebagai data tambahan bagi

penelitian selanjutnya yang terkait dengan faktor – faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pada pasien gangguan jiwa


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP SKIZOFRENIA 1.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,

yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,

kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala

negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau

isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak

bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan

dorongan kehendak atau inisiatif

1.2. Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di

berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar

hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi


(19)

Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25

tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden

skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di

daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat,

terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan

nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku

menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang

terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri

(Kazadi, 2008).

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia

prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan

perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa

ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,

perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas.

Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur

36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih

banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila


(20)

1.3. Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab

skizofrenia, antara lain :

1.3.1. Faktor Genetik

Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya

skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga

penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi

saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan

salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua

menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi

kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut

quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin

disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di

seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat

keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai

berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan

semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand

& Barlow, 2007).

1.3.2. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang

disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron


(21)

berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di

bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap

dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang

berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain

seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan

(Durand, 2007).

1.3.3. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama

semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang

tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga

mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic

mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab

skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).

Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga

pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan

kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak

memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak

terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan


(22)

1.4. Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.

Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi

beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan

keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,

walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala

skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa

akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa

hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa

cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif

terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita

mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot,

kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara

klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian

pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk

sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala

klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu

nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku


(23)

1.5. Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,

1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan

DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe

skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang

dominan yaitu (Davison, 2006) :

1.5.1. Tipe Paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi

auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih

terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau

keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,

keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi

ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

1.5.2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah

laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat

disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.

Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada

berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

1.5.3. Tipe Katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat


(24)

berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan

berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang

ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain

(echopraxia).

1.5.4. Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan

perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator

skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion),

emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi

yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme

seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan

ketakutan.

1.5.5. Tipe Residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia

tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti

keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak

sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri


(25)

1.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan

terapi psikososial.

1.6.1. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi

dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan

bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan

gejala-gejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan

fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat

phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut

obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,

tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat

tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi

penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak

relevan (Durand, 2007).

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada

penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy

(ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah

menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.

ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa,

termasuk skizofrenia.

Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin


(26)

sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih

dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi

dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.

Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan

mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan

pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot

yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).

Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935,

dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses

operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan

batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut

Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,

khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun

1950-an cara ini ditinggalk1950-an karena menyebabk1950-an penderita kehil1950-ang1950-an kemampu1950-an

kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

1.6.2. Terapi Psikososial

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi

pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton

dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah

diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa

gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai

pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian


(27)

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi

ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan

sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi

saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta

diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,

sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan

berkomunikasi.

Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.

Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan

tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari

ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.

Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk

mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif

secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara

bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan

cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh

Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan

keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya

mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi


(28)

2. KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS)

Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif

merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan

atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu

antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan

jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006).

Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien

skizofrenia adalah hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien

karena adanya kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri

atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat

terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi

kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu

rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik

dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007).

Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun

bentuk subtipe penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien

skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan,

permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan.

Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal

yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang


(29)

Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan

kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan

keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit,

kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.

Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai

kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup

signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan

bahaya bagi pasien dan keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan

kembali/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN MINUM OBAT

Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada

skizofrenia adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien

skizofrenia adalah pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai

dengan benar tetapi banyak dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat

mereka secara rutin. Kira-kira 7% orang-orang yang diberi resep obat-obat

antipsikotik menolak memakainya (Hoge, 1990).

Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian

besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah

studi follow-up sebagai contoh menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun,

tiga diantara empat pasien yang diteliti menolak memakai obat antipsikotiknya


(30)

Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan

adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya

pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan

sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit,

mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang

mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien.

Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui

seluk beluk pengobatan serta kegunaannya.

Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan

mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien

akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan

mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun

berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain :

3.1. Penyakit

Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada

ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk

bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh

adanya kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada

pasien lain. Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia

telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung

menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan


(31)

Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi

dihentikan sebelum waktunya, ia akan lebih memperhatikan menggunakan

obatnya dengan benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara

keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini

akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat

ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik,

serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi

kepatuhan pada kebanyakan pasien.

Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang

kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan

keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah

penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit

penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka

mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi

maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh.

Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal

tentang penyakitnya termasuk pengobatan. Sikap pasien terhadap pengobatan juga

perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap

pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika

memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada

pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik


(32)

3.2. Regimen Terapi 3.2.1. Terapi Multi Obat

Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan

pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis

tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan

penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat

berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.

3.2.2. Frekuensi Pemberian

Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan

lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan

terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan

lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian.

Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu

diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar

mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu

regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan.

3.2.3. Durasi dan Terapi

Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih

besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko

yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang

mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak

berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan.


(33)

intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi

instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk

bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok.

3.2.4. Efek Merugikan

Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan

menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini

tidak merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi

adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk

meminimalkan efek merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat

ditiadakan dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan

terhadap risiko.

Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah

yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak

patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan

disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan

oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu

peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa

individu yang tidak patuh dengan instruksi.

3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda

Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien

tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana

manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu


(34)

setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama

menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien

tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi

antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini

meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi

nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.

3.2.6. Harga Obat

Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang

relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi

instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh

beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang

dalam kasus lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau

penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.

3.2.7. Pemberian/Konsumsi Obat

Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada

instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah

disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang

tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL

sampai 9mL. Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat

cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur

dengan sendok teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum

diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi


(35)

cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan

apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi

serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah

obat yang dimaksudkan.

3.2.8. Rasa Obat

Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan

cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar

rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi

untuk daya tarik serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah

pemberian obat kepada pasien.

3.3.Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker,

serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan

pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap

kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah

dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati

bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang

merka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi

dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka.

Berbagai faktor berikut adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi

kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada


(36)

3.3.1. Menunggu Dokter atau Apoteker

Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan

untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya,

kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap

instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari

pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan

dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit,

67% dari pasien tersebut benar-benar patuh.

3.3.2. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan

Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku

pelayan kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah

sakit mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter.

Walaupun uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang

mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup

terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan.

Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga

pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan

tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang

terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan.

Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter

penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau

sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat


(37)

dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan; instruksi yang perlu

penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi

diberikan, semakin besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus

jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian

rupa sehingga memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi

secara sempurna.

3.3.3. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi

Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan

akibat yang mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak

mengesankan pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan

mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat.

Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan

kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak

memenuhi pengharapan, mereka lebih cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian

yang lebih besar diperlukan untuk memberi edukasi pada pasien tentang

kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari terapi obat, akan berkontribusi

pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya

menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan.

3.3.4. Pengertian yang Buruk Pada Instruksi

Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari jenis ini. Dari suatu

studi pada sekitar 6000 resep, 4% dari resep itu terdapat instruksi pasien ditulis

“Sesuai Petunjuk”. Akibat yang mungkin dari salah pengertian dapat serius.


(38)

sehari, daripada seharusnya tiga kali satu kapsul sehari seperti instruksi dokter.

Pada pasien skizofrenia yang menggunakan obat antipsikotik haloperidol 2,5

mg/hari dan fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari.

Alasan untuk penggunaan instruksi oleh beberapa dokter “Gunakan sesuai

petunjuk” telah diteliti. Walaupun penggunaan penandaan ini diadakan dalam

situasi yang terseleksi dipertahankan, kemungkinan untuk membingungkan dan

mengakibatkan kesulitan, dibuktikan dalam penelitian serta menyimpulkan bahwa

perlu membuat instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin. Bahkan, apabila

petunjuk kepada pasien sudah lebih spesifik dari “ sesuai petunjuk” kebingungan

masih dapat terjadi.

3.3.5. Pasien takut bertanya

Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk

menjelaskan kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan.

Keragu-raguan ini dapat dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status

sosial, dan bahasa atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut.

Interaksi pasien dengan pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat

didorong dengan meningkatkan kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan.

3.3.6. Ketidakcukupan waktu konsultasi

Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi

dengan pasien karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit,

waktu atau praktik sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi

sautu masalah. Jika seorang pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu


(39)

tinggi, berkenaan dengan waktu, transport dan pengeluaran untuk obat. Hal ini

dapat meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap instruksi karena mereka

merasa bahwa profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian pada

penyembuhan penyakit mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar

mempertimbangkan untuk memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien.

Profesional pelayan kesehatan harus didorong untuk mengerti bahwa komunikasi

yang efektif dengan pasien bukanlah suatu ideal yang tidak realistik, tetapi

merupakan suatu aspek inti dari keberhasilan praktik klinik.

3.3.7. Kesediaan Informasi Tercetak

Ketaatan pada pengobatan mungkin meningkat, dengan tersedianya

informasi tercetak dalam bahasa yang sederhana. Di beberapa negara maju, semua

IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi

untuk pasien, tersedia untuk setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang

paling banyak digunakan dan obat yang paling banyak disalahgunakan dapat


(40)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. KERANGKA PENELITIAN

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat yang meliputi faktor ketidakpatuhan

sehubungan dengan penyakit, regimen terapi, dan interaksi pasien skizofrenia

dengan profesional kesehatan terhadap pasien skizofrenia yang mengalami relaps

di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka konsep penelitian dapat

dilihat pada skema di bawah ini :

Pasien Relaps

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat 1. Faktor Penyakit

2. Faktor Regimen Terapi

3. Faktor Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Berhubungan

Skema 1. Kerangka penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps.


(41)

2. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 1. Definisi Operasional variabel Penelitian

Variabel Sub Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala

Faktor-faktor ketidak Patuhan minum obat Faktor Penyakit

Pasien skizofrenia yang

mengalami kekambuhan akibat

tidak patuh minum obat karena

penyakit yang dideritanya

Kuesioner dengan 5 pertanyaan tertutup 13-20= Tidak Patuh 5-12= Patuh Ordinal Faktor Regimen Terapi

Pasien skizofrenia yang tidak

patuh diakibatkan regimen

terapi karena terapi multi obat,

frekuensi pemberian obat,

durasi dan terapi yang lama,

efek merugikan dari obat,

gejala yang sudah tampak reda,

harga obat, pemberian atau

konsumsi obat, dan rasa obat

yang dikonsumsi pasien

Kuesioner dengan 8 pertanyaan tertutup 21-32= Tidak Patuh 8-20= Patuh Faktor Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Pasien skizofrenia yang tidak

patuh minum obat karena mutu

interaksi yang tidak memadai

karena menunggu dokter,

adanya sikap dan keterampilan

komunikasi profesional Kuesioner

dengan 7

pertanyaan

tertutup

18-28= Tidak

Patuh


(42)

kesehatan, gagal mengerti

pentingnya terapi, pengertian

yang buruk pada insruksi,

ketakutan pasien untuk

bertanya, keterbatasan waktu

konsultasi, dan ketersediaan


(43)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu

Medan.

2. POPULASI DAN SAMPEL 2.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah keluarga inti pada pasien penderita

skizofrenia yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provsu Medan. Dari data yang diperoleh dari rekam medik Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provsu Medan pada tahun 2010 jumlah pasien skizofrenia yang

mengalami relaps dalam enam bulan yaitu 6.011 orang.

2.2. Teknik Sampling

Teknik sampling diambil oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

purposive sampling. Pengambilan secara purposive didasarkan pada suatu

pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasakan sifat atau ciri


(44)

Adapun kriteria sampel pada penelitian ini, antara lain:

a. Anggota keluarga yang merawat pasien skizofrenia yang mengalami

kekambuhan selama setahun terakhir.

b. Anggota keluarga tinggal serumah dengan pasien

c. Anggota keluarga komunikatif dan koperatif

d. Anggota keluarga bersedia menjadi responden

2.3. Jumlah Sampel

Menurut Isaac dan Michael (dalam Sarwono, 2006) salah satu cara untuk

menentukan jumlah sampel dengan menggunakan pendekatan statistik yang

tingkat kesalahannya 1%, 5%, 10%, dimana semakin besar tingkat kesalahan yang

ditoleransi maka semakin kecil jumlah sampel yang diambil. Sebaliknya semakin

kecil tingkat kesalahan yang ditoleransi, maka semakin besar mendekati populasi

sampel yang harus diambil.

Penentuan jumlah sampel sangat tergantung kepada biaya yang tersedia,

tenaga yang akan melaksanakan dan presesi yaitu ketepatan yang dikehendaki

dimana semakin besar sampel kemungkinan akan lebih tepat menggambarkan

populasinya tetapi ini juga sampai batas tertentu karena makin besar sampel

kemungkinan membuat kesalahan pada saat pengukuran juga akan menjadi besar.

Rumus yang digunakan untuk mencari besar sampel adalah:

n = N


(45)

Dimana: n = jumlah sampel

N= jumlah populasi

d = tingkat kesalahan yang dipilih (10% = 0,1)

n= N

N (d)2 + 1

n = 6.011

6.011 (0,1)2 + 1

n = 6.011

61,11

n = 99 orang

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 99 orang.

3. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Tempat penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provsu Medan dengan pertimbangan belum pernah dilakukan penelitian tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia

di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Selain itu, di rumah sakit

ini banyak pasien yang mengalami kekambuhan sebagai sampel yang memadai

untuk dilakukan penelitian dan lokasinya mudah dijangkau oleh peneliti.

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu dari tanggal 27 Juni sampai 17


(46)

4. PERTIMBANGAN ETIK

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan kepada

Dekan Fakultas Keperawatan untuk mendapatkan izin persetujuan penelitian.

Selain itu peneliti mengajukan surat permohonan tersebut ke Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provsu Medan untuk pengambilan data awal dan pengambilan data selama

proses penelitian.

Penelitian ini memiliki beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan

etik, yaitu memberikan penjelasan kepada calon responden peneliti tentang tujuan

penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon responden bersedia,

maka responden dipersilahkan untuk menandatangani informed consent. Tetapi

jika calon responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk menolak

dan mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung. Penelitian

ini tidak menimbulkan resiko bagi individu yang menjadi responden, baik resiko

fisik maupun psikologis. Kerahasiaan catatan mengenai data responden

(confidentially), dijaga dengan cara menuliskan inisial pada instrumen dan hanya

menuliskan nomor kode yang digunakan untuk menjaga kerahasiaan semua

informasi yang diberikan. Data-data yang diperoleh dari responden juga hanya


(47)

5. INSTRUMEN PENELITIAN

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan

instrumen penelitian berupa kuesioner yang dibuat peneliti dengan berpedoman

kepada tinjauan pustaka dari konsep Siregar (2006) dan kerangka konsep.

Kuesioner penelitian ini terdiri dari dua yaitu bagian pertama yang

mengeksplorasi tentang data demografi dan bagian kedua yang mengeksplorasi

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien

skizofrenia yang mengalami relaps yang terdiri dari faktor penyakit, faktor

regimen terapi dan faktor interaksi pasien dan profesional kesehatan.

5.1. Data Demografi

Pada bagian ini meliputi nomor responden, nama responden, umur

responden, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, status anggota keluarga

yang sakit, dan pengeluaran dana untuk pasien setiap bulannya.

5.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat Pasien

Skizofrenia

Kuesioner terdiri dari 20 pernyataan yang akan mewakili untuk setiap faktor

yaitu faktor penyakit, faktor regimen terapi, dan faktor interaksi pasien dengan

profesional kesehatan. Pernyataan nomor 1, 2, 3, 4, 5 merupakan pernyataan

untuk faktor penyakit, pernyataan nomor 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 merupakan

pernyataan untuk faktor regimen terapi dan pernyataan nomor 14, 15, 16, 17, 18,

19, 20 merupakan pernyataan untuk faktor interaksi pasien dengan profesional


(48)

Penilaian menggunakan skala Likert dengan pilihan Sangat Setuju (SS),

Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) (Hidayat, 2009).

Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pernyataan negatif dari 1 sampai 4,

dimana jawaban Sangat Setuju (SS) bernilai 4, Setuju (S) bernilai 3, Tidak Setuju

(TS) bernilai 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 1. Berdasarkan rumus

statistika menutut Hidayat (2009) dengan menghitung jumlah total skor adalah

i = Rentang Banyak kelas

Dimana i merupakan panjang kelas dengan rentang (nilai tertinggi dikurang

dengan nilai terendah). Untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia maka nilai tertinggi

yang diperoleh adalah 80 dan nilai terendah adalah 20, maka rentang kelas adalah

60 dengan 2 kategori banyak kelas, sehingga diperoleh panjang kelas sebesar 30.

Data untuk faktor-faktor ketidakpatuhan minum obat dikategorikan sebagai

berikut : 51-80 adalah kategori tidak patuh dan 21-50 adalah kategori patuh.

Instrumen penelitian tentang faktor penyakit, terdiri dari 5 pertanyaan yang

akan mengkaji ketidakpatuhan minum obat akibat faktor penyakit maka diperoleh

nilai tertinggi adalah 20 dan nilai terendah adalah 5, maka rentang kelas adalah 15

dengan 2 kategori banyak kelas, sehingga diperoleh panjang kelas sebesar 7. Data

untuk faktor penyakit yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat

dikategorikan sebagai berikut : 13-20 adalah kategori tidak patuh dan 5-12 adalah


(49)

Instrumen penelitian tentang faktor regimen terapi, terdiri dari 8 pertanyaan

yang akan mengkaji ketidakpatuhan minum obat akibat faktor regimen terapi

maka diperoleh nilai tertinggi adalah 32 dan nilai terendah adalah 8, maka rentang

kelas adalah 24 dengan 2 kategori banyak kelas, sehingga diperoleh panjang kelas

sebesar 12. Data untuk faktor penyakit yang mempengaruhi ketidakpatuhan

minum obat dikategorikan sebagai berikut : 21-32 adalah kategori tidak patuh dan

8-20 adalah kategori patuh.

Instrumen penelitian tentang faktor interaksi pasien dengan profesional

kesehatan, terdiri dari 7 pertanyaan yang akan mengkaji ketidakpatuhan minum

obat akibat faktor interaksi pasien dengan profesional kesehatan, maka diperoleh

nilai tertinggi adalah 28 dan nilai terendah adalah 7, maka rentang kelas adalah 21

dengan 2 kategori banyak kelas, sehingga diperoleh panjang kelas sebesar 10.

Data untuk faktor interaksi pasien dengan profesional kesehatan yang

mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat dikategorikan sebagai berikut : 18-28

adalah kategori tidak patuh dan 7-17 adalah kategori patuh.

6. UJI VALIDITAS DAN UJI RELIABILITAS

Instrumen penelitian dibuat oleh peneliti sehingga perlu dilakukan uji

validitas dan reliabilitas untuk mengetahui seberapa besar derajat kemampuan alat

ukur dalam mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Uji validitas

kuesioner penelitian ini dilakukan dengan validitas isi. Validitas isi sebuah


(50)

tersebut memuat rumusan-rumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut

tujuan tertentu (Setiadi, 2007)

Validitas isi instrumen penelitian ini dilakukan hanya atas dasar

pertimbangan peneliti dalam makna juga mengandung unsur subjektif tetapi

mengacu pada isi yang dikendaki. Uji validitas pada penelitian ini dilakukan oleh

dosen yang berkompeten dari Departemen Keperawatan Jiwa dan Keperawatan

Komunitas Fakultas Keperawatan USU. Berdasarkan uji validitas tersebut,

kalimat pernyataan dalam kuesioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih

efektif dan dengan item-item pertanyaan yang akan mengukur sasaran yang ingin

diukur sesuai dengan tinjauan pustaka dan kerangka konsep.

Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen maka dilakukan uji

reliabilitas. Uji reliabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran

dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda ataupun

waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas instrumen ini bertujuan untuk

mengetahui seberapa besar kemampuan alat ukur. Alat ukur yang baik adalah alat

ukur yang memberikan hasil yang relatif sama bila digunakan beberapa kali pada

kelompok subjek yang sama (Azwar, 2003). Uji reliabilitas penelitian ini

dilakukan terhadap responden yang memenuhi kriteria sampel penelitian.

Kemudian jawaban dari responden diolah dengan bantuan komputer. Pada

penelitian ini dilakukan uji reliabilitas pada 20 responden dan diperoleh

reliabilitas dengan nilai cronbach’s alpha 0,782. Bila dilakukan uji reliabilitas

diperoleh nilai cronbach’s alpha 0,70 maka instrumen dinyatakan reliabel (Polit


(51)

7. PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin

pelaksanaan penelitian dari institusi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara. Setelah itu, peneliti mengajukan surat permohonan tersebut ke Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan untuk pengambilan data selama proses

penelitian. Setelah mendapat persetujuan dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu

Medan, peneliti kemudian mulai menyebarkan kuesioner kepada responden.

Setelah menemukan responden, peneliti memberi penjelasan kepada calon

responden tentang tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan penelitian, dan cara

pengisian kuesioner. Peneliti meminta kesediaan calon responden untuk

berpartisipasi, responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan

menjadi responden. Jika calon responden menolak, maka peneliti tidak akan

memaksa dan menghormati hak responden tersebut. Setelah kuesioner diisi,

kuesioner tersebut dikumpulkan kembali dan diperiksa kelengkapannya. Apabila

ada yang belum lengkap maka kuesioner tersebut dilengkapi pada saat itu juga.

8. ANALISA DATA

Analisa data dilakukan melalui beberapa tahap yang terdiri dari editing

untuk memeriksa kelengkapan dan data responden serta memastikan bahwa semua

pertanyaan telah diisi. Selanjutnya diberi kode pada kuesioner untuk memudahkan

peneliti dalam melakukan tabulasi data. Kemudian dilakukan pengolahan data

dengan menggunakan tehnik komputerisasi yaitu dengan menggunakan entri data


(52)

Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik

univariat atau statistik deskriptif yaitu metode yang digunakan untuk

menggambarkan dan memaparkan suatu variabel yaitu faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia. Selanjutnya dari

pengolahan data statistik deskriptif, data disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi dan persentase untuk mendeskripsikan data demografi dan faktor-faktor

yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia yang


(53)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. HASIL PENELITIAN

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian dari pengumpulan data yang

dilakukan pada tanggal 27 Juni sampai 17 September 2011 di Poliklinik Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Penyajian hasil analisa data dalam penelitian ini

meliputi data demografi dan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

minum obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps, yaitu faktor penyakit,

faktor regimen terapi, dan faktor interaksi pasien dengan professional kesehatan.

1.1. Data Demografi

Dari tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebanyak 41 orang (41,4%) berada pada

kelompok dewasa madya umur 41-54 tahun. Responden dengan jenis kelamin

perempuan sebanyak 60 orang (60,6%). Pekerjaan mayoritas keluarga adalah ibu

rumah tangga sebanyak 43 orang (43,4%), tingkat pendidikan yang tertinggi

adalah SLTA sebanyak 28 orang (28,3%). Pengeluaran keluarga terhadap biaya

pengobatan pasien skizofrenia setiap bulannya berada pada interval Rp.50.000-

Rp.100.000 adalah sebanyak 53 orang (53,5%). Lamanya sakit pasien skizofrenia

mayoritas berada pada rentang 1 sampai 5 tahun adalah sebanyak 82 orang


(54)

Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan data demografi di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, pada tanggal 27 Juni sampai 17 September 2011 (n= 99 orang)

Data Demografi Frekuensi Persentase

Umur

18-40 tahun (dewasa awal) 41-54 tahun (dewasa madya) 55-77 tahun (dewasa lanjut) Rata-rata = 48 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Keluarga PNS ABRI Wiraswasta Petani Karyawan swasta Ibu Rumah Tangga

Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Akademi S1 Lain-lain Pengeluaran >500.000 250.000-500.000 100.000-250.000 50.000-100.000 Lamanya sakit 1-5 tahun > 5 tahun

23 41 35 39 60 7 3 18 16 12 43 5 18 22 28 15 11 0 11 12 23 53 82 17 23.2 41.4 35.4 39.4 60.6 7.1 3.0 18.2 16.2 12.1 43.4 5.1 18.2 22.2 28.3 15.2 11.1 0 11.1 12.1 23.2 53.5 82.8 17.2


(55)

1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat 1.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat

Gambaran hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa berdasarkan

faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat sebanyak 75 orang

yang tidak patuh (75,8%) dan sebanyak 24 orang yang patuh (24,2%)

Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat di Poliklinik Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, pada tanggal 27 Juni sampai 17

September 2011 (n= 99 orang).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat

Frekuensi Persentase

Tidak Patuh Patuh

75 24

75.8 24.2

Jumlah 99 100

1.2.2. Faktor Penyakit

Gambaran hasil penelitian pada tabel 4 menunjukkan bahwa berdasarkan

faktor penyakit yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat ada sebanyak 81


(56)

Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor penyakit di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, pada tanggal 27 Juni sampai

17 September 2011 (n= 99 orang).

Faktor Penyakit Frekuensi Persentase

Tidak Patuh Patuh

81 18

81.8 18.2

Jumlah 99 100

1.2.3. Faktor Regimen Terapi

Gambaran hasil penelitian pada tabel 5 menunjukkan bahwa berdasarkan

faktor regimen terapi yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat ada

sebanyak 73 orang yang tidak patuh (73,7%) dan sebanyak 26 orang yang patuh

(26,3%)

Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor regimen terapi di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, pada tanggal 27 Juni

sampai 17 September 2011 (n= 99 orang)

Faktor Regimen Terapi Frekuensi Persentase

Tidak Patuh Patuh

73 26

73.7 26.3


(57)

1.2.4. Faktor Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Gambaran hasil penelitian pada tabel 6 menunjukkan bahwa berdasarkan

faktor interaksi pasien dengan professional kesehatan yang mempengaruhi

ketidakpatuhan minum obat ada sebanyak 58 orang yang tidak patuh (58,6%) dan

sebanyak 41 orang yang patuh (41,4%)

Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor interaksi pasien dengan professional kesehatan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provsu Medan, pada tanggal 27 Juni sampai 17 September 2011 (n= 99

orang).

Faktor Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Frekuensi Persentase

Tidak Patuh Patuh

58 41

58.6 41.4

Jumlah 99 100

2. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh maka peneliti mencoba

menguraikan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum

obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps di Rumah Sakit Jiwa Provsu

Medan.

2.1. Data Demografi Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah usia

dewasa madya (41,4%) dan keluarga yang mendampingi pasien berobat lebih


(58)

kembang usia madya terdapat tahap penyesuaian perubahan pola keluarga yang

biasanya lebih sulit pada wanita daripada laki-laki karena kehidupan wanita lebih

berpusat pada rumah dan anggota keluarga. Penyesuaian ini sering dipersulit

sejumlah faktor yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung

dengan kehidupan keluarga. Contohnya, karena wanita sudah terbiasa

memusatkan keinginan khusus pada masalah rumah tangga, perilakunya yang

berorientasi pada keluarga jauh lebih matang daripada suaminya (Hurlock, 1999).

Hasil penelitian expressed emotion dari Brown (1959 dalam Durand, 2007)

mengatakan bahwa sampel pasien yang dipulangkan dari rumah sakit jiwa yang

memiliki kontak terbatas dengan keluarganya menunjukkan perkembangan yang

lebih baik dibanding mereka yang menghabiskan waktu lebih lama bersama

keluarganya karena tingginya sifat critism, bermusuhan, dan intrusive yang

diekspresikan sehingga pasien cenderung kambuh kembali. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki

pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (43,4%) yang lebih banyak memiliki waktu

untuk berkomunikasi dan bertemu di rumah dengan pasien.

Data penelitian menunjukkan sebanyak 28 orang (28,3%) dengan tingkat

pendidikan SLTA, sebanyak 22 orang (22,2%) dengan tingkat pendidikan SLTP,

sebanyak 18 orang (18,2%) dengan tingkat pendidikan SD, sebanyak 15 orang

(15,2%) dengan tingkat pendidikan D3, sebanyak 11 orang (11,1%) dengan

tingkat pendidikan S1, dan sebanyak 5 orang (5,1%) dengan status tidak

bersekolah. Hasil penelitian ini didukung oleh Erawatyningsih, dkk (2009), yang


(59)

ketidakpatuhan minum obat pasien skizofrenia dalam membawa pasien

mengontrol kesehatannya. Pengetahuan keluarga akan penyakit skizofrenia yang

diderita oleh pasien dan kepercayaan tentang kemanjuran pengobatan akan

mempengaruhi kemauan untuk memilih atau tidak memilih dalam menyelesaikan

pengobatan.

Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan berkaitan dengan tingkat

pendapatan karena yang sering menjadi masalah umum adalah biaya menebus

obat atau tidak menghendaki untuk mengambilnya karena harga obat yang relatif

mahal dan biaya transportasi untuk menjangkau jauhnya jarak rumah sakit dengan

rumah penderita. Kesulitan mendapatkan biaya untuk mengambil obat ke lokasi

pelayanan kesehatan yang ada karena jarak yang jauh. Dari data yang diperoleh

bahwa Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan melayani pasien di seluruh wilayah

provinsi Sumatera Utara sehingga tidak sedikit pasien di luar kota Medan yang

mengambil obatnya ke rumah sakit ini. Berdasarkan data pengeluaran biaya setiap

bulannya untuk pengobatan pasien mayoritas memiliki pengeluaran sebanyak Rp.

50.000 – Rp. 100.000 yaitu sebanyak 53 orang (53,5%). Hasil penelitian ini tidak

sesuai dengan pendapat Siregar (2006) dikarenakan pada saat penelitian lebih

banyak responden menyatakan bahwa keluarga tidak kesulitan dalam hal biaya

untuk pengeluaran biaya pengobatan pasien setiap bulannya. Pasien yang

menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan banyak yang mendapat

bantuan dari pemerintah berupa jaminan kesehatan seperti Jamkesmas, ASKES,

dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) yang memenuhi kriteria penelitian


(60)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang memiliki lama sakit 1-5

tahun sebanyak 82 orang (82,8%) dan yang mempunyai lama sakit lebih dari 5

tahun sebanyak 17 orang (17,2%). Hasil ini sesuai dengan Durand (2007) bahwa

prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian besar penderita

skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Menemukan bahwa

selama kurun waktu 2 tahun, tiga di antara empat pasien yang diteliti menolak

memakai obat antipsikotiknya selama paling tidak 1 minggu. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam pengobatan pasien skizofrenia membutuhkan waktu

penyembuhan yang lama dan tingginya kekambuhan dalam kurun waktu lama

sakit dibawah 5 tahun.

2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat

Menurut Durand (2007) terlepas dari optimisme yang ditimbulkan oleh

efektivitas antipsikotik, obat-obat tersebut hanya bekerja apabila dipakai dengan

benar, dan banyak penderita skizofrenia yang tidak menggunakan obatnya secara

rutin. Sejumlah faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien terhadap

aturan pengobatan, termasuk hubungan professional kesehatan dengan pasien

yang negatif, ongkos pengobatan, dan dukungan sosial yang buruk.

Dari keseluruhan ketiga faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

minum obat pasien skizofrenia yang mengalami relaps didapati sebanyak 75 orang

yang tidak patuh (75,8%) dan hanya sebanyak 24 orang yang patuh (24,2%). Hasil

ini sesuai dengan pendapat Siregar (2006) bahwa pasien tidak taat pada

pengobatan merupakan suatu masalah global. Beberapa studi menunjukkan bahwa


(61)

kehidupan. Penyebabnya berupa sikap yang tidak sesuai dan keterampilan

komunikasi yang buruk dari pelaku kesehatan, ketakutan pasien untuk bertanya,

waktu konsultasi yang terbatas, kurang akses informasi tercetak, minimnya

penghasilan, dan kerumitan dan durasi pengobatan terutama untuk kasus penyakit

yang kronis.

Masalah dalam pengobatan skizofrenia adalah kebanyakan obat-obat

antipsikotik kerja obatnya lambat, sehingga pasien tidak merasakan dengan segera

efek positif antipsikotik. Malahan kadang-kadang pasien lebih dahulu merasakan

efek samping sebelum efek obat terhadap penyakitnya sehingga pasien

menghentikan pengobatan. Kekambuhan yang terjadi akan berpengaruh terhadap

buruknya kondisi pasien. Beragamnya obat yang diresepkan juga memiliki peran

penting dalam kepatuhan.

Penanganan psikososial terhadap ketidakpatuhan pasien skizofrenia yaitu

bagaimana nilai budaya keluarga terhadap tindakan pengobatan. Dewasa ini hanya

sedikit yang percaya bahwa faktor-faktor psikologis semata dapat menyebabkan

orang-orang mengalami skizofrenia atau bahwa pendekatan psikoteraupetik

tradisional yang dapat menyembuhkan mereka. Kepercayaan tentang kemanjuran

pengobatan akan mempengaruhi penderita mau atau tidak memilih untuk

menyelesaikan pengobatannya. Selain itu kepercayaan kultural biasanya


(62)

2.2.1 Faktor Penyakit

Penelitian ini memperoleh gambaran dari faktor penyakit menunjukkan

sebanyak 81 responden tidak patuh (81,2 %) dan sebanyak 18 orang yang patuh

(18,2%). Dukungan emosional keluarga pada pasien skizofrenia berupa persepsi

dalam melakukan perawatan di rumah, memberi kasih sayang, dan kenyamanan

akan menurunkan tingkat stress dan depresi dalam hal faktor penyakit. Karena

selama stress berlangsung pasien merasa sedih, cemas, dan tidak lagi termotivasi

untuk menjalani pengobatannya. Dukungan emosional memberikan individu

perasaan nyaman, merasa dicintai, bantuan dalam bentuk semangat, dan empati

sehingga individu merasa dirinya merasa berharga. Pada saat keluarga memberi

dukungan emosional keluarga mampu menilai perasaan pasien dari keyakinannya

untuk sembuh, termotivasi untuk minum obat, dan berfikiran positif pada

pengobatan yang dijalani untuk kesembuhan penyakitnya.

Menurut Siregar (2006) sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan,

dapat berkontribusi pada ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik,

kemampuan untuk bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan

mungkin dirusak oleh adanya kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin

tidak patuh daripada pasien lain. Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti

pasien skizofrenia telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi.

Pasien cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak

menghasilkan kesembuhan kondisi.

Hasil penelitian Erawatyningsih, dkk (2009) menyatakan ada pengaruh yang


(1)

C.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat

Statistics

Persentase ketidakpatuhan Minum Obat

N Valid 99

Missing 0

Persentase ketidakpatuhan Minum Obat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid TIDAK PATUH 75 75.8 75.8 75.8

PATUH 24 24.2 24.2 100.0

Total 99 100.0 100.0

1.

Faktor Penyakit

Statistics

Persentase Faktor Penyakit

N Valid 99

Missing 0

Persentase Faktor Penyakit

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid TIDAK PATUH 81 81.8 81.8 81.8

PATUH 18 18.2 18.2 100.0


(2)

2.

Faktor Regimen Terapi

Statistics

Persentase Faktor Regimen Terapi

N Valid 99

Missing 0

Persentase Faktor Regimen Terapi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid TIDAK PATUH 73 73.7 73.7 73.7

PATUH 26 26.3 26.3 100.0

Total 99 100.0 100.0

3.

Faktor Interaksi Pasien Dengan Profesional Kesehatan

Statistics

Persentase Faktor Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

N Valid 99

Missing 0

Persentase Faktor Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid TIDAK PATUH 58 58.6 58.6 58.6

PATUH 41 41.4 41.4 100.0


(3)

D.

Persentase Responden dalam Penilaian Kuesioner

Pernyataan 1

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

TS = Tidak Setuju 37 37.4 37.4 39.4

S = Setuju 22 22.2 22.2 61.6

SS = Sangat Setuju 38 38.4 38.4 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

TS = Tidak Setuju 33 33.3 33.3 35.4

S = Setuju 17 17.2 17.2 52.5

SS = Sangat Setuju 47 47.5 47.5 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 3

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 1 1.0 1.0 1.0

TS = Tidak Setuju 28 28.3 28.3 29.3

S = Setuju 11 11.1 11.1 40.4

SS = Sangat Setuju 59 59.6 59.6 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 4

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 9 9.1 9.1 9.1

TS = Tidak Setuju 41 41.4 41.4 50.5

S = Setuju 15 15.2 15.2 65.7

SS = Sangat Setuju 34 34.3 34.3 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 5

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

TS = Tidak Setuju 32 32.3 32.3 34.3

S = Setuju 16 16.2 16.2 50.5

SS = Sangat Setuju 49 49.5 49.5 100.0


(4)

Pernyataan 6

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 4 4.0 4.0 4.0

TS = Tidak Setuju 36 36.4 36.4 40.4

S = Setuju 21 21.2 21.2 61.6

SS = Sangat Setuju 38 38.4 38.4 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 7

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 1 1.0 1.0 1.0

TS = Tidak Setuju 28 28.3 28.3 29.3

S = Setuju 22 22.2 22.2 51.5

SS = Sangat Setuju 48 48.5 48.5 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 8

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid TS = Tidak Setuju 33 33.3 33.3 33.3

S = Setuju 15 15.2 15.2 48.5

SS = Sangat Setuju 51 51.5 51.5 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 9

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

TS = Tidak Setuju 48 48.5 48.5 50.5

S = Setuju 18 18.2 18.2 68.7

SS = Sangat Setuju 31 31.3 31.3 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 10

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

TS = Tidak Setuju 46 46.5 46.5 48.5

S = Setuju 25 25.3 25.3 73.7

SS = Sangat Setuju 26 26.3 26.3 100.0


(5)

Pernyataan 11

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 26 26.3 26.3 26.3

TS = Tidak Setuju 35 35.4 35.4 61.6

S = Setuju 12 12.1 12.1 73.7

SS = Sangat Setuju 26 26.3 26.3 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 12

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 1 1.0 1.0 1.0

TS = Tidak Setuju 34 34.3 34.3 35.4

S = Setuju 8 8.1 8.1 43.4

SS = Sangat Setuju 56 56.6 56.6 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 13

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 5 5.1 5.1 5.1

TS = Tidak Setuju 52 52.5 52.5 57.6

S = Setuju 11 11.1 11.1 68.7

SS = Sangat Setuju 31 31.3 31.3 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 14

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 7 7.1 7.1 7.1

TS = Tidak Setuju 55 55.6 55.6 62.6

S = Setuju 6 6.1 6.1 68.7

SS = Sangat Setuju 31 31.3 31.3 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 15

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

TS = Tidak Setuju 60 60.6 60.6 62.6

S = Setuju 10 10.1 10.1 72.7

SS = Sangat Setuju 27 27.3 27.3 100.0


(6)

Pernyataan 16

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 3 3.0 3.0 3.0

TS = Tidak Setuju 65 65.7 65.7 68.7

S = Setuju 13 13.1 13.1 81.8

SS = Sangat Setuju 18 18.2 18.2 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 17

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 5 5.1 5.1 5.1

TS = Tidak Setuju 73 73.7 73.7 78.8

S = Setuju 7 7.1 7.1 85.9

SS = Sangat Setuju 14 14.1 14.1 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 18

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 4 4.0 4.0 4.0

TS = Tidak Setuju 58 58.6 58.6 62.6

S = Setuju 9 9.1 9.1 71.7

SS = Sangat Setuju 28 28.3 28.3 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 19

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 5 5.1 5.1 5.1

TS = Tidak Setuju 70 70.7 70.7 75.8

S = Setuju 7 7.1 7.1 82.8

SS = Sangat Setuju 17 17.2 17.2 100.0

Total 99 100.0 100.0

Pernyataan 20

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid STS = Sangat Tidak Setuju 1 1.0 1.0 1.0

TS = Tidak Setuju 21 21.2 21.2 22.2

S = Setuju 19 19.2 19.2 41.4

SS = Sangat Setuju 58 58.6 58.6 100.0