Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan

(1)

Lampiran-1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Saya yang bertandatangan Anggita Fahrina Nasution dengan NIM. 091101024 adalah mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di RSJ Provsu Medan“. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Saya mohon kesediaan Saudara untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya saya mohon kesediaan Saudara mengisi kuesioner dengan jujur dan apa adanya. Jika bersedia, silahkan menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan Saudara.

Partisipasi Saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga Saudara bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa ada saksi apapun. Identitas pribadi Saudara dan semua informasi yang Saudara berikan akan dirahasiakan dan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian ini.

Terimakasih atas partisipasi Saudara dalam penelitian ini.

Medan, 1 Juni 2013 Peneliti Responden


(2)

Lampiran-2

INSTRUMEN PENELITIAN

Instrument dalam penelitian ini adalah kuesioner data demografi dan faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial. Ada dua bagian yang termasuk di dalam kuesioner ini yaitu :

Bagian 1. Kuesioner Data Demografi

Bagian 2. Kuesioner Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial


(3)

Bagian 1. Kuesioner Data Demografi

INSTRUMEN PENELITIAN

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan

Kode responden :

Petunjuk pengisian :

Berilah tanda check list (√) pada salah satu tanda kurung sesuai dengan jawaban Anda.

I. Data Demografi Responden

1. Usia : ... Tahun

2. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan

3. Hubungan dengan klien : Suami Istri Orangtua

Saudara Cucu Keponakan

4. Pendidikan : Tidak tamat SD Tamat SD

Tamat SMP Tamat SMA

Perguruan Tinggi

5. Lama perawatan : ... tahun 6. Penghasilan : .../bulan


(4)

Bagian II. Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial Petunjuk pengisian :

Pilihlah pernyataan di bawah ini dengan memberi tanda check list (√ ) pada salah satu pilihan yang tersedia menurut Saudara yang paling benar sesuai dengan kenyataan yang Saudara hadapi. Mohon kerja-samanya dalam pengisian kuesioner di bawah ini, terima kasih.

No. Pernyataan Jawaban

A.Komunikasi Ya Tidak

1. Keluarga selalu siap mendengarkan setiap masalah yang diceritakan klien.

2. Keluarga selalu berdiskusi terhadap masalah yang dimiliki klien.

3. Keluarga sering berbeda pendapat dalam mengambil keputusan untuk merawat klien. 4. Keluarga jarang meluangkan waktu untuk

berbagi dan bercerita bersama klien.

5. Keluarga berusaha mengajak klien agar dapat menyampaikan perasaan yang dirasakan klien.

B.Koping keluarga Ya Tidak

1. Keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dimiliki klien.

2. Keluarga memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi penyelesaian masalah secara


(5)

bersama-sama.

3. Keluarga mendorong dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai.

4. Keluarga menyalahkan terhadap permasalahan yang dimiliki oleh klien.

5. Keluarga pernah menggunakan kekerasan sehingga klien makin tertekan.

A. Faktor pengetahuan keluarga Ya Tidak

1. Keluarga memiliki pengetahuan untuk mempertahankan kesehatan mental klien. 2. Keluarga tidak berusaha mendapat informasi

tentang cara menangani perilaku klien saat ini. 3. Keluarga berusaha tahu tentang obat yang

diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.

4. Keluarga membantu meningkatkan kemampuan berhubungan pada klien setelah proses pemulihan dilakukan.

5. Keluarga tidak mengerti dalam menangani masalah kesehatan mental klien.

B. Faktor biaya pengobatan dan perawatan Ya Tidak


(6)

meminimkan biaya pengobatan yang terlalu tinggi.

2. Keluarga kehilangan hari produktif untuk mencari nafkah karena harus merawat klien dalam pemulihan kesehatannya.

3. Keluarga tidak merasa terbebani dengan biaya pengobatan dan perawatan klien yang terlalu tinggi.

4. Keluarga lebih mementingkan kebutuhan pokok dibandingkan kebutuhan biaya perawatan klien. 5. Keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam


(7)

LAMPIRAN 3

Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor komunikasi keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga selalu siap mendengarkan setiap masalah yang diceritakan klien.

2. Keluarga selalu berdiskusi terhadap masalah yang dimiliki klien.

3. Keluarga sering berbeda pendapat dalam mengambil keputusan untuk merawat klien.

4. Keluarga jarang meluangkan waktu untuk berbagi dan bercerita bersama klien.

5. Keluarga berusaha mengajak klien agar dapat menyampaikan perasaan yang dirasakan klien.

40 29 24 36 34 71,4 51,7 42,8 64,2 60,7 16 27 32 20 22 28,5 48,2 57,1 35,7 39,2


(8)

Tabel 3.Distribusi frekuensi dan persentase faktor koping keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dimiliki klien.

2. Keluarga memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama.

3. Keluarga mendorong dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai

4. Keluarga menyalahkan permasalahan yang dimiliki oleh klien.

5. Keluarga pernah menggunakan kekerasan sehingga klien makin tertekan. 43 39 52 18 21 76,7 69,6 92,8 32,2 37,5 13 17 4 38 35 23,2 30,4 7,2 67,9 62,5


(9)

Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase faktor pengetahuan keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga memiliki pengetahuan

untuk mempertahankan kesehatan mental klien.

2. Keluarga tidak berusaha mendapat informasi tentang cara menangani perilaku klien saat ini.

3. Keluarga berusaha tahu tentang obat yang diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.

4. Keluarga membantu

meningkatkan kemampuan berhubungan pada klien setelah proses pemulihan dilakukan. 5. Keluarga tidak mengerti dalam

menangani masalah kesehatan mental klien. 34 15 36 37 20 60,7 26,7 64,3 66,1 35,7 22 41 20 19 36 39,2 73,2 32,1 33,9 64,3


(10)

Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase faktor biaya pengobatan dan perawatan keluarga

Pernyataan Ya Tidak

N % N %

1. Keluarga merawat klien di rumah untuk meminimkan biaya pengobatan yang terlalu tinggi. 2. Keluarga kehilangan hari

produktif untuk mencari nafkah karena harus merawat klien dalam pemulihan kesehatannya. 3. Keluarga tidak merasa terbebani

dengan biaya pengobatan dan perawatan klien yang terlalu tinggi.

4. Keluarga lebih mementingkan kebutuhan pokok dibandingkan kebutuhan biaya perawatan klien.

5. Keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan perawatan klien.

34 27 18 36 26 60,7 48,2 32,1 64,2 46,4 22 39 38 20 30 39,2 51,7 67,8 35,7 53,5


(11)

Lampiran 4

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama lengkap : Anggita Fahrina Nasution 2. NIM : 091101024

3. Jenis kelamin : Perempuan

4. Tempat/tgl. Lahir : Medan, 2 Mei 1991

5. Alamat lengkap : Jl. Baru no. 17, Medan Tembung Telp/Fax : -

Hp. : 08566370520

E-mail : [email protected]

URL/ : facebook Anggita Fahrina Nasution 6. Status pendidikan :

Semester : 7

Program Studi : S1 Keperawatan Jurusan : Ilmu Keperawatan Fakultas : Keperawatan

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara 7. Riwayat pendidikan :

a. SD (sederajat) : SD Harapan 2 , lulus tahun 2003 b. SMP (Sederajat) : SMP N 16 Medan , lulus tahun 2006 c. SMA (sederajat) : SMA N 1 Medan , lulus tahun 2009


(12)

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Ahyar., 2010. Konsep Diri dan Mekanisme Koping dalam Aplikasi Proses

Keperawatan. diakses 19 April 2010;

http://ahyarwahyudi.wordpress.com/2010/02/11/konsep-diri-dan-mekanisme- koping-dalam-proses-keperawatan/.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta

Badrujaman, A. (2008) . Sosiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : Trans Info Media

Butar Butar, D.O., (2012). Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Diakses 16 Juli 2013.

Chandra, L.S. (2004). Schizophrenia Anonymous, A Better Future. Dapat dibuka pada http://www.kompas.com pada tanggal 22 Mei 2013.

Christensen & Kenney. (2009). Proses Keperawatan Aplikasi Model Konseptual. Jakarta : EGC

Dalami, E., Suliswati, Rochimah, Suryati, K.R., Lestari, W. (2009). Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media

Dempsey, P.A., & Dempsey, A.D. (2002). Riset Keperawatan : Buku Ajar & Latihan, Edisi 4 . Jakarta : EGC

Efendi, F & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Friedman, M. M., Bowden, V. R., Jones, E. G., (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori, & Praktik. Jakarta : EGC


(14)

Islamie, N.N. (2011). Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara: Program studi S2 ilmu kesehatan masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Sumatera Utara

Keliat, B. A. & Akemat. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC

Mubarak, I.M. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas : Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika.

Notoadmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, edisi revisi. Jakarta : Rineka Cipta

Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Notosoedirdjo, M., & Latipun 2005. Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Press

Nursalam. (2009) . Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Purba, J.M., Wahyuni, S.E., Daulay, W., Nasution, M.L. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press

Rasmun. (2004) . Stress, Koping, dan Adaptasi. Jakarta. Sagung Seto

Rusmiati, I.T., Nugroho A., Hartoyo M. (2010). Hubungan pola komunikasi dengan frekuensi kekambuhan perilaku kekerasan di RSJD. Amino Gondohutomo Semarang


(15)

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan.Yogyakarta : Graha Ilmu.

Simanjuntak, I.T.M., Daulay W. (2006). Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera

Utara.

Supartini, Y. (2004) . Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC Suprajitno. (2004) . Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dalam Praktik.

Jakarta : EGC

Syafrudin & Meriam. (2010) . Sosial Budaya Dasar untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta : Trans Info Media

Wong, L.D. (2008) . Buku Ajar Pediatrik volume satu edisi 6 . Jakarta : EGC Wiramihardja. (2004). Pengantar Psikologis Klinis. Bandung: PT Refika

Aditama.

Vijay, Chandra, 2005, Cara pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa. http://BaliPost.co.id

Vijay. (2005). Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan Jiwa. Dapat dibuka pada http://www.balipost.id/ pada tanggal 21 Mei 2013.


(16)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

1.Kerangka Penelitian

Kerangka dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan.

Skema 3.1 Kerangka penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ pemprovsu Medan

Keterangan :

: variabel yang diteliti Faktor-faktor yang

mempengaruhi klien isolasi sosial :

- Komunikasi keluarga - Koping keluarga - Pengetahuan keluarga - Biaya pengobatan dan

perawatan

Klien isolasi sosial.


(17)

2. Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala 1. Faktor-faktor

yang mempengaruhi klien isolasi sosial : -Komunikasi keluarga

Penyampaian pesan yang dilakukan keluarga dalam mengambil keputusan agar klien isolasi sosial mau berinteraksi dengan orang lain dan berperilaku normal di RSJ Pemprovsu Medan.

Kuesioner. Kurang

baik : 0 – 2

Baik : 3 – 5

Nominal

- Koping keluarga

Cara penyelesaian masalah yang dilakukan keluarga agar klien dapat bersosialisasi kembali di RSJ Pemprovsu Medan

Kuesioner. Kurang

baik : 0 – 2

Baik : 3 – 5

Nominal

- Pengetahuan keluarga

Pemikiran yang dimiliki keluarga untuk mengatasi masalah yang dirasakan klien dengan perilaku isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan.

Kuesioner Kurang

baik : 0 – 2

Baik : 3 – 5

Nominal

- Biaya pengobatan dan

perawatan

Biaya yang ditanggung

keluarga dalam memenuhi kebutuhan perawatan klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan.

Kuesioner. Kurang baik : 0 – 2

Baik : 3 – 5


(18)

BAB IV

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial.

2. Populasi dan Sampel Penelitian 2.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga/wali yang memiliki anggota keluarga dengan klien isolasi sosial yang terdaftar dan melakukan rawat jalan di RSJ Provsu Medan. Jumlah populasi dengan isolasi sosial yang melakukan rawat jalan berjumlah 377klien.

2.2 Sampel Penelitian

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi. Penentuan besar sampel menurut Arikunto (2006) apabila subjek kurang dari 100 maka populasi dapat menjadi sampel. Jika populasi besar maka dapat diambil 10-15% atau 20-25% sampel atau lebih, tergantung kemampuan peneliti. Sehingga peneliti menggunakan penentuan besar sampel dengan 15% dari 377 klien dengan isolasi sosial yang sedang dirawat jalan yaitu berjumlah 56 orang keluarga/wali


(19)

yang memiliki anggota keluarga isolasi sosial yang sedang dirawat jalan di RSJ Pemprovsu Medan.

Teknik yang digunakan untuk menentukan sampel adalah teknik purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki oleh peneliti sehingga sampel tersebut mewakili karakteristik populasi (Nursalam,2008). Sampel diperoleh dengan menentukan kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang digunakan yaitu :

a) Keluarga inti yang merawat anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.

b) Panca indera berfungsi dengan baik. c) Bisa membaca dan menulis.

d) Bersedia menjadi partisipan sampai penelitian selesai.

3. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2013 di RSJ Pemprovsu Medan. Alasan pemilihan lokasi ini karena merupakan salah satu RSJ milik pemerintah. RSJ ini memiliki banyak populasi gangguan jiwa sehingga memudahkan peneliti untuk mendapatkan data yang memenuhi kriteria sampel yang peneliti inginkan, lokasi dapat dijangkau oleh peneliti.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari Fakultas Keperawatan USU. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu


(20)

mengurus prosedur penelitian mulai dari izin dari pihak RSJ Provsu Medan. Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka hakekatnya sebagai manusia harus dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam pertimbangan etik yaitu responden mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia bersedia menjadi subjek atau tanpa ada sanksi apapun dan responden tidak mengalami kerugian, peneliti harus memberikan penjelasan dan informasi secara lengkap dan rinci serta bertanggung jawab jika sesuatu yang terjadi kepada responden.

Responden tidak boleh didiskriminasi jika menolak untuk melanjutkan menjadi subjek penelitian. Kerahasiaan data responden dijaga, untuk itu perlu adanya informed concent (meminta kesediaan responden untuk menjadi responden), anonymity (tanpa nama), dan confidentiality (rahasia), lembar tersebut hanya diberi nomor dan kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti dan data-data yang diperoleh dari responden mutlak digunakan untuk keperluan penelitian tidak untuk keperluan yang lain.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka. Instrumen penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu: data demografi, kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial. Lembar persetujuan berisi tentang kesediaan untuk menjadi responden yang meliputi: tanda tangan dan tanggal.


(21)

5.1 Kuesioner Data Demografi

Kuesioner data demografi meliputi : kode responden, usia, jenis kelamin, hubungan dengan klien, pendidikan, pekerjaan, lama perawatan dan penghasilan.

5.2 Kuesioner Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial

Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial yaitu dichotomy closed ended dengan skala Guttman. Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial ini menggunakan skala nominal. Pada pertanyaan positif jawaban ya diberi nilai 1 sedangkan jawaban tidak diberi nilai 0. Sebaliknya pada pertanyaan negatif jawaban ya diberi nilai 0 sedangkan jawaban tidak diberi nilai 1. Kuisioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial terdiri dari faktor komunikasi, koping keluarga, pengetahuan keluarga, biaya perawatan dan pengobatan dengan 20 pernyataan.

Kuesioner faktor komunikasi keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan 3 pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1, 2, 3) dan pernyaataan negatif (no. 4 dan 5). Total skor terendah faktor komunikasi keluarga adalah 0 dan total skor tertinggi faktor komunikasi adalah 5.

Kuesioner faktor koping keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan dengan 3 pernyataan positif dan 2pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1, 3, 4) dan pernyataan negatif (no. 2 dan 5). Total skor terendah faktor koping keluarga adalah 0 dan total skor tertinggi faktor koping keluarga adalah 5.

Kuesioner faktor pengetahuan keluarga terdiri dari 5 pernyataan dengan 3 pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1, 3, 5) dan


(22)

pernyaataan negatif (no. 2 dan 4). Total skor terendah faktor pengetahuan keluarga adalah 0 dan total skor tertinggi faktor komunikasi adalah 5.

Kuesioner faktor biaya pengobatan dan perawatan terdiri dari 5 pernyataan dengan dengan 2 pernyataan positif dan 3 pernyataan negatif. Pernyataan positif (no. 1 dan 5) dan pernyaataan negatif (no. 2, 3, 4). Total skor terendah faktor biaya pengobatan dan perawatan adalah 0 dan total skor tertinggi biaya pengobatan dan perawatan adalah 5.

6. Validitas dan Reliabilitas

Validitas pengukuran merupakan prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (Nursalam, 2008). Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah validitas isi, yakni sejauh mana instrumen tersebut dapat mewakili faktor yang diteliti (Dempsey dan Dempsey, 2002). Instrumen pada penelitian ini sudah dilakukan uji validitas. Uji validitas berupa validitas isi pada tanggal 28 Maret 2013 sampai 29 Maret 2013 oleh salah seorang staf pengajar yang ahli dalam bidang Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU.

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji reliabilitas dilakukan pada 10 orang di RSJ Pemprovsu Medan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebagai subjek studi, lalu diuji dengan menggunakan rumus KR-21. Hasil uji reliabilitas terhadap kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi klien


(23)

isolasi sosial adalah 0,80 sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

7. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti menerima surat izin pengambilan data dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU pada tanggal 6 Maret 2013. Kemudian memberikan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dengan memberikan surat izin kepada bagian pengkajian di RSJ Daerah Pemprovsu Medan. Setelah mendapat persetujuan dari pihak RSJ pemprovsu Medan, selanjutnya peneliti izin kepada kepala ruangan poli kesehatan jiwa untuk memperkenalkan diri untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dilakukan kepada kepala ruangan poli kesehatan jiwa RSJ daerah pemprovsu medan untuk melakukan penelitian sampai penelitian selesai.

Selanjutnya peneliti mendata klien isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ Pemprovsu Medan. Setelah mengetahui data klien yang mengalami isolasi sosial, peneliti mendatangi keluarga yang sedang menemani anggota keluarganya dalam mengikuti regimen terapeutik. Sebelum peneliti memperkenalkan diri, peneliti mengajukan pertanyaan kepada keluarga apakah keluarga yang melakukan perawatan pada klien mengalami isolasi sosial setelah itu peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dilakukannya penelitian selama ± 5 menit. Kemudian peneliti meminta kesediaan responden untuk menjadi responden penelitian dengan memberikan informed concent dan meminta responden untuk mentandatangani lembar persetujuan responden, sampai penelitian selesai. Selanjutnya peneliti


(24)

membagikan kuesioner kepada responden dan menjelaskan cara pengisian kuisioner kepada responden. Setiap resonden diberikan waktu ± 10 menit untuk menjawab semua pernyataan pada kuesioner.

Setelah responden selesai menjawab semua pernyataan, peneliti memeriksa kembali kelengkapan jawaban responden dan menyesuaikannya dengan jumlah kuesioner yang terkumpul. Setelah kuesioner terkumpul, peneliti memberikan kode nomor kuesioner setiap responden dan mulai menganalisa data yang diperoleh sama penelitian dalam jangka waktu ± 1 bulan.

8. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap yakni editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan data bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Analisa yaitu menganalisa data yang telah terkumpul dengan menentukan persentase jawaban dari setiap responden. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik komputerisasi.

Pengolahan data yang sudah diolah disajikan dengan statistik deskriptif yang terdiri dari frekuensi dan persentase untuk melihat gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan.


(25)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial pada anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 1 Juni 2013. Penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data dan menggunakan kuesioner terhadap 56 responden yaitu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial yang dirawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan. Penyajian data meliputi karakteristik responden, faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan.

1.1 Data Demografi

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ pemprovsu Medan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 56 orang keluarga yang mewakili.

Berdasarkan data demografi berjumlah 56 orang terdapat mayoritas responden berjenis kelamin perempuan berjumlah 40 orang (71,4%), berusia 44-54 tahun berjumlah 19 orang (33,9%), hubungan dengan klien yaitu orangtua klien berjumlah 29 orang (58%), pendidikan tamat SMA berjumlah 20 orang (35,7%), pekerjaan dari responden yaitu sebagai ibu rumah tangga berjumlah 23 orang (41%), lama perawatan 1-2 tahun berjumlah 19 orang (33,9%), selanjutnya penghasilan responden yang berjumlah Rp500.0000-1.000.000 berjumlah 34 orang (60,7%).


(26)

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden yang mengalami isolasi sosial (n=56)

Karakteristik F %

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 22-32tahun 33-43tahun 44-54tahun 55-65tahun 66-76tahun

Hubungan dengan Klien

Suami Istri Orang tua Saudara Cucu Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Pekerjaan Wiraswasta Petani

Ibu Rumah tangga PNS PRT Lama Perawatan 0-1tahun 1-2tahun 2-3tahun 3-4tahun 4-5tahun 5-6tahun Penghasilan

< Rp 500.000 500000-1000000 1000000-1500000 1500000-2000000 3500000-4000000 16 40 8 12 19 15 2 2 1 29 15 9 15 11 20 10 11 13 23 7 2 11 19 9 8 7 2 6 34 3 8 5 28,5 71,4 14,2 21,4 33,9 26,8 3,6 3,5 1,7 51,7 26,7 16 26,7 19,6 35,7 17,8 19,6 23,2 41 12,5 3,5 19,6 33,9 16 14,2 12,5 3,5 10,7 60,7 5,3 14,2 8,9


(27)

1.2Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial

Faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial yaitu : faktor komunikasi keluarga, koping keluarga, pengetahuan keluarga, biaya pengobatan dan perawatan yang dirawat jalan di RSJ Pemprovsu Medan.

Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial.

Variabel Frekuensi Persentase (%)

Faktor Komunikasi

Kurang baik Baik

Faktor koping keluarga

Kurang baik Baik

Faktor pengetahuan keluarga

Kurang baik Baik

Faktor biaya pengobatan dan perawatan Kurang baik Baik 27 29 15 41 19 37 32 24 48,3 51,7 26,8 73,2 34 66 57,1 48,3

Hasil penelitian yang dilihat dari tabel 5 diatas menunjukkan bahwa mayoritas keluarga memiliki faktor komunikasi baik sebanyak 51,7%. Berikutnya faktor koping keluarga baik 73,2%, faktor pengetahuan keluarga yang baik 66%, faktor biaya pengobatan dan perawatan kurang baik 32 orang 57,1%.


(28)

2. Pembahasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial 2.1 Komunikasi Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial

Komunikasi keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor komunikasinya baik sebanyak 29 orang (51,7%) sedangkan yang kurang baik sebanyak 27 orang (48,2%).

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh mayoritas (51,7%) responden memiliki komunikasi yang baik kepada klien isolasi sosial artinya pesan yang dikirim jelas tersampaikan kepada klien isolasi sosial. Ketika anggota keluarga berkomunikasi selaras dengan konsistensi isi pesan dan intruksi pesan yang disampaikan kepada klien isolasi sosial. Kata yang diucapkan, perasaan yang diekspresikan, dan perilaku terhadap klien memungkinkan anggota keluarga untuk mengenal kebutuhan emosi klien isolasi sosial. Dengan penerapan pola komunikasi fungsional dalam keluarga dapat menerima perbedaan, menghargai keterbukaan, saling menghormati perasaan, pikiran, peduli terhadap masalah yang dihadapi klien isolasi sosial, namun pada keluarga yang paling sehat pun sering kali masih mengalami permasalahan dalam komunikasi (Friedman dkk, 2010).

Namun, dari hasil penelitian ini dengan hasil (64,2%) keluarga jarang meluangkan waktu untuk berbagi dan bercerita bersama klien isolasi sosial. Hal ini sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh Dalami (2009) bahwa faktor komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan berhubungan dengan orang lain, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang negatif akan mendorong klien isolasi sosial mengembangkan harga diri


(29)

rendah, komunikasi kurang terbuka terutama dalam pemecahan masalah klien isolasi sosial yang tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah, dan adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan pada saat yang bersamaan, mengakibatkan klien enggan berkomunikasi dengan orang lain sehingga klien mengalami isolasi sosial.

Hal ini didukung juga oleh penelitian Rusmiati dkk (2010) tentang Hubungan Pola Komunikasi dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Perilaku Kekerasan mengatakan pada masa perawatan klien di rumah komunikasi antara anggota keluarga dengan klien tidak terjalin dengan baik karena keluarga membiarkan klien untuk diam tanpa diketahui penyebab klien diam. Keluarga diharapkan menerapkan komunikasi yang fungsional dapat meningkatkan komunikasi yang efektif sehingga isi pesan dapat dimengerti oleh klien isolasi sosial sedangkan keluarga dengan komunikasi yang disfungsional diharapkan mampu mengajak klien berkomunikasi secara terbuka dan jelas sehingga meminimalkan kekambuhan.

Didukung juga oleh penelitian Chandra (2004) tentang Schizophrenia Anonymous, A Better Future bahwa keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan klien isolasi sosial. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan menarik diri. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik.


(30)

2.2 Koping Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial

Koping keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor koping keluarga baik sebanyak 41 orang (73,2%), yang kurang baik 15 orang yaitu (26,7%).

Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah memiliki koping keluarga yang baik. Hal ini terlihat hasil penelitian dari sebanyak responden (76,7%) keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dimiliki klien, (69,6%) keluarga memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama.

. Hal ini juga didukung oleh teori Rasmun (2004), dengan menggunakan koping yang efektif keluarga dapat beradaptasi terhadap perubahan yang dialami oleh klien isolasi sosial dan bisa memperbaikan situasi yang lama dan beradaptasi terhadap perubahan yang baru.Terlihat dari hasil penelitian mayoritas responden berusia 44-54 tahun (33,9%). Responden termasuk kedalam golongan dewasa madya yang cukup matang dalam pemberian perawatan dirumah dan dapat beradaptasi terhadap perubahan masalah yang dialami klien (Potter, 2005)

Hasil penelitian ini juga menunjukkan (92,8%) keluarga mendorong dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai. Menurut Chesler dan Barbarin (1987) dalam Friedman (2010), meskipun banyak orang yang memikirkan upaya mencari dan mengandalkan dukungan spiritual sebagai suatu respon koping individual, beberapa studi mengatakan bahwa


(31)

anggota keluarga menemukan dukungan spiritual ini sebagai suatu cara mengatasi masalah di dalam keluarga terutama dalam masalah yang dihadapi klien isolasi sosial. Sesungguhnya kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasi oleh anggota keluarga sebagai cara keluarga untuk mengatasi masalah klien isolasi sosial. Dukungan spiritual membantu keluarga mentoleransi ketegangan-ketegangan kronis dan lama serta membantu keutuhan keluarga.

Menurut teori yang dinyatakan Ahyar (2010), ada beberapa faktor yang memengaruhi strategi koping, diantaranya adalah dukungan sosial. Dukungan sosial meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada klien isolasi sosial yang diberikan oleh anggota keluarga lain ataupun masyarakat di sekitarnya. Data tersebut didukung juga dengan hasil penelitian ini dengan mayoritas hubungan responden dengan klien adalah orangtua (51,7%). Peran sebagai orang tua yaitu bertanggung jawab membesarkan klien, mengendalikan konflik klien isolasi sosial dalam masyarakat dan memberikan perawatan yang berkelanjutan pada klien isolasi sosial sehingga ketika klien mengalami isolasi sosial maka banyak peran yang dilakukan oleh orang tua dalam perawatan klien (Wong,2008).

Menurut penelitian Chandra (2006) tentang Cara Pencegahan dan Pengobatan Gangguan Jiwa menegaskan bahwa lingkungan sekitar terutama dalam keluarga itu sendiri mempunyai reaksi tertentu terhadap klien isolasi sosial yang sudah pasti berdampak terhadap klien isolasi sosial. Beberapa reaksi dari lingkungan keluarga yang paling sering ditemukan adalah mengasingkan, mengucilkan, menjauhkan, dan tidak memberi peluang kesempatan untuk bekerja, tidak


(32)

mengakui sebagai anggota keluarganya, dan tidak komunikatif terhadap klien isolasi sosial. Dampak dari sikap/perlakuan keluarga terhadap klien isolasi sosial tersebut menyebabkan klien isolasi sosial sering mengalami kekambuhan dan menjadi sulit untuk sembuh.

2.3 Pengetahuan Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial

Pengetahuan keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor pengetahuan keluarga yang baik sebanyak 37 orang (66%), yang kurang baik 19 orang (33,9%).

Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah memiliki pengetahuan yang baik. Hasil penelitian sebanyak (60,7%) responden mengatakan bahwa keluarga memiliki pengetahuan untuk mempertahankan kesehatan mental klien terlihat dari (64,3%) keluarga berusaha tahu tentang obat yang diberikan kepada klien isolasi sosial. Data ini didukung oleh penelitian Destiny (2012) tentang Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia dengan hasil penelitian pengetahuan keluarga tentang pengobatan pasien dikatakan baik. Pengetahuan berikatan erat dengan pendidikan seseorang. Pendidikan memberikan kemampuan kepada seseorang untuk berpikir rasional dalam menghadapi masalah hidup dan akan berdampak timbulnya suatu proses pengembangan atau pematangan pandangan hidup pribadi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tingginya


(33)

tingkat pengetahuan seseorang (Notoadmodjo 2003). Terlihat dari hasil penelitian mayoritas responden (35,7%) berpendidikan tamat SMA dimana pengetahuan dan pemahaman responden tentang pengobatan klien isolasi sosial kemungkinan lebih baik dibandingkan yang berpendidikan rendah.

Berdasarkan penelitian dari badan National Mental Health Association/ NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya (Foster, 2001).

Data didukung dengan penelitian Simanjuntak dan Daulay (2006) tentang Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa dengan hasil penelitian (59,4%) pengetahuan yang baik. Setelah dibandingkan antara kondisi anggota keluarga yang berpengetahuan baik dan yang kurang memiliki pengetahuan baik/tidak peduli diketahui bagaimana perawatan terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, di mana kondisi keluarga yang berpengetahuan baik lebih terjaga dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki pengetahuan yang baik. Sehingga sangat diperlukan bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan yang baik dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

Didukung juga dalam penelitian Islamie (2011) tentang Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima


(34)

Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang bahwa keluarga berperan dalam mencegah kekambuhan klien isolasi sosial. Jika keluarga mengetahui tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya maka akan mempengaruhi proses penerimaan untuk melakukan perawatan kepada klien. Tingkat pengetahuan juga dipengaruhi motivasi, rasa optimis keluarga untuk mencari pengobatan yang terbaik bagi klien isolasi sosial. Keluarga juga mendengar anjuran dan saran dokter untuk melakukan pengobatan terhadap keluarga yang menderita isolasi sosial tersebut. Hal ini terlihat 64,3% keluarga berusaha tahu tentang obat yang diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.

2.4 Faktor Biaya Pengobatan dan Perawatan Terhadap Klien Isolasi Sosial

Biaya pengobatan dan perawatan terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor biaya pengobatan dan perawatan kurang baik 32 orang (57,1%), yang baik sebanyak 24 orang (42,8)%.

Hal ini terlihat dari hasil penelitian diperoleh sebanyak (67,8%) keluarga merasa terbebani dengan biaya pengobatan dan perawatan klien di rumah sakit yang terlalu tinggi sehingga keluarga merawat klien di rumah untuk meminimkan biaya pengobatan yang terlalu tinggi (60,7%). Terlihat dari penghasilan keluarga yang rendah per bulannya Rp. 500.000-Rp. 1.000.000 dan mayoritas pekerjaan respnden adalah ibu rumah tangga, namun rata-rata responden memperoleh bantuan dari pemerintah yang disebut dengan JAMKESMAS, sehingga biaya pengobatan dan perawatan klien sedikit terbantu. Terlihat dari hasil penelitian


(35)

(53,5%) keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan perawatan klien.

Tingkat ekonomi yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh kebutuhan yang lebih misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, pengembangan karir dan sebagainya. Demikian juga sebaliknya jika ekonomi lemah maka menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Keadaan sosial ekonomi (kemiskinan, orang tua yang bekerja atau penghasilan rendah) yang memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Jenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan lingkungan kerja, dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan penghasilan rendah akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam hal pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi dalam mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Hal ini didukung oleh penelitian Chandra (2004) tentang skizophrenia Anonymous, A Better Future, faktor ini juga adalah faktor yang paling penting dikaji keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga klien isolasi sosial tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan klien isolasi sosial.

Vijay (2005) meneliti tentang Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan Jiwa juga mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita isolasi sosial menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang


(36)

ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang ditanggung keluarga. Keluarga merasa bahwa biaya perawatan di rumah lebih murah dibandingkan jika penderita harus dirawat di rumah sakit, sebab tingginya biaya pengobatan selama di rumah sakit dapat menjadi beban bagi keluarga sehingga hal ini dapat menyulitkan bagi keluarga.

3. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini yaitu adanya kemungkinan data dari hasil penelitian ini tidak menggambarkan jawaban yang sebenarnya dari pendapat responden, karena bisa terdapat kemungkinan tidak semua responden menjawab jujur sesuai apa yang dirasakan dengan pernyataan-pernyataan yang ada pada kuesioner. Keterbatasan lainnya yaitu, penelitian ini tidak dapat melakukan wawancara secara lebih mendalam terhadap responden, karena penelitian ini menggunakan kuesioner tertutup yang pilihan jawabannya sudah ditentukan.


(37)

BAB 6 PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk melihat adanya gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Pemprovsu Medan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Faktor komunikasi keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan baik dengan hasil penelitian 51,7%.

b. Faktor koping keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan baik dengan hasil penelitian 73,2%.

c. Faktor pengetahuan keluarga terhadap klien isolasi sosial dikategorikan baik dengan hasil penelitian 66%.

d. Faktor biaya pengobatan dan perawatan terhadap klien isolasi sosial dikategorikan kurang baik dengan hasil penelitian 57,1%.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial baik faktor komunikasi keluarga, faktor koping keluarga, faktor pengetahuan keluarga, faktor biaya pengobatan dan perawatan sangat mempengaruhi proses penyembuhan pada klien isolasi sosial. Apabila keluarga mendukung dan memotivasi klien dalam perawatan klien maka semakin cepat pula proses penyembuhan klien.


(38)

2. Rekomendasi

2.1Rekomendasi bagi Poli Jiwa Pemprovsu Medan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan untuk pihak rumah sakit agar lebih memperhatikan pelayanan kesehatan, terutama dalam upaya peningkatan intervensi untuk dapat meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan dan memotivasi klien isolasi sosial dalam proses penyembuhan.

2.2 Rekomendasi bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dalam faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial sehingga mempercepat proses penyembuhan pada klien.

2.3 Rekomendasi bagi Penelitian Keperawatan

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial.


(39)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Isolasi Sosial 1.1 Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah keadaan dimana ketika seseorang mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Jenny dkk, 2012).

Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan, keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak membuat kontak. Isolasi sosial merupakan proses pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri secara fsik dan psikis (Dalami dkk, 2009).

Isolasi sosial adalah penurunan interaksi atau ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya (Keliat dkk, 2011)

1.2 Proses Terjadinya Isolasi Sosial

Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya isolasi sosial yang disebabkan perasaan tidak berharga yang bisa dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan. Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit mengembangkan


(40)

berhubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalinan dan tingkah masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut dengan halusinasi (Dalami dkk, 2009).

1.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Isolasi Sosial 1.3.1 Faktor Predisposisi

Menurut purba dkk, 2008 terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

a. Faktor Perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.


(41)

Tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan terdiri dari: a. Masa Bayi

Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.

b. Masa Kanak-Kanak

Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.

c. Masa praremaja dan remaja

Pada masa praremaja dan remaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi


(42)

individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi hubungan dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja

d. Masa dewasa muda

Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).

e. Masa Dewasa Tengah

Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua dengan anak. Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya


(43)

kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan

f. Masa dewasa akhir

Pada masa ini individu akan mengalami kehilangan, baik kehilangan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atupun peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun kemandirian yang dimiliki harus dapat dipertahankan.

b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.

- Sikap bermusuhan/hostilitas

- Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak

- Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.

- Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.

- Ekspresi emosi yang tinggi

- Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)


(44)

c. Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

d. Faktor Biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

1.2.2 Faktor Presipitasi

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:

a. Stresor Sosial Budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.


(45)

b. Stresor Biokimia

- Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

- Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

- Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.

- Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel- sel otak.

c. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

d. Stresor Psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk


(46)

mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

.

1.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala isolasi sosial dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

a. Tanda dan Gejala Subjektif.

Gejala yang ditemukan dengan wawancara memperoleh hasil data subjektif meliputi klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain, klien merasa tidak aman berada dengan orang lain, klien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain, klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu, klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, klien merasa tidak berguna, klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup (Keliat,2010).

b. Tanda dan Gejala Objektif.

Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial akan ditemukan data objektif meliputi tidak memiliki teman dekat, menarik diri, tidak komunikatif, tindakan berulang dan tidak bermakna, asyik dengan pikirannya sendiri, tidak ada kontak mata, tampak sedih dan afek tumpul (Keliat,2010)

Selain itu terdapat beberapa tanda dan gejala objektif dari isolasi sosial menurut (Dalami dkk, 2008) yaitu apatis, ekspresi wajah sedih, afek tumpul, menghindar dari orang lain, klien tampak memisahkan diri dari orang lain, komunikasi kurang, klien tampak bercakap-cakap sendiri, tidak ada kontak


(47)

mata atau kontak mata kurang, klien lebih sering menunduk, berdiam diri di kamar. Menolak berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, meniru posisi janin pada saat lahir, retensi urine dan feses, masukan makanan dan minuman terganggu, tidak atau kurang sadar tehadap lingkungan sekitarnya.

1.5 Penatalaksanaan Medis Pada Isolasi Sosial

Penatalaksanaan klien skizofrenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu:

a. Psikofarmakologis

Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala isolasi sosial yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat-obatan anti-psikosis. Adapun kelompok umum yang digunakan adalah :

Tabel 2.2 Jenis obat yang umum digunakan pada pasien isolasi sosial Kelas kimia Nama generik(dagang) Dosis harian

Fenotiazin Asetofenazin (Tidal) Klopromazin (Thorazin) Flufenazin (Prolixine,permiti) Mesoridazin (serentil) Perfenazin (Trilafon) Proklorperazin (compazin) Promazin (sparine) Tiodazin (mellaril) Trifluopertazin (stelazine) Trifluopromazine (vesprin) 60-120 mg 30-800 mg 1-40 mg 30-400 mg 12-64 mg 15-150 mg 40-1200 mg 150-800 mg 2-40 mg 60-150 mg Tiokssanten Kloprotiksen (tarctan) Tiotiksen(navane) 75-600 mg 8-30 mg Butirofenon Haloperidol (haldol) 1-100 mg Dibenzodiazepin Klozapin (clorazil) 300-900 mg Dibenzokasazepin Loksapin (loxitane) 20-150 mg


(48)

b. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT) c. Terapi aktivitas kelompok (TAK)

1.6 Penatalaksanaan Keperawatan Kepada Keluarga Penatalaksanaan keperawatan kepada keluarga yaitu :

1. Tujuan keperawatan

Setelah tindakan keperawatan, keluarga dapat merawat klien isolasi sosial. 2. Penatalaksanaan keperawatan

Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien untuk dapat membantu pasien mengatasi masalah isolasi sosial ini karena keluargalah yang selalu bersama-sama dengan klien. Tindakan keperawatan agar keluarga dapat merawat klien dengan isolasi sosial di rumah meliputi hal-hal berikut :

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial.

b. Menjelaskan tentang masalah isolasi sosial, dampaknya pada klien, penyebab, cara-cara merawat klien isolasi sosial.

c. Memperagakan cara merawat klien dengan isolasi sosial.

d. Membantu keluarga mempraktikkan cara merawat yang telah dipelajari. e. Menyusun perencanaan pulang bersama keluarga (Keliat, 2010)


(49)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial 2.1 Komunikasi Keluarga.

2.1.1 Definisi Komunikasi Keluarga

Komunikasi keluarga sebagai suatu simbolik, proses transaksional menciptakan dan membagi arti dalam keluarga (Friedman,2010).

2.1.2 Jenis Komunikasi

Jenis komunikasi yang terjadi di dalam keluarga yaitu :

a. Komunikasi Fungsional.

Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci bagi sebuah keluarga yang berhasil dan sehat. Transmisi langsung dan penyambutan terhadap pesan, baik tingkat instruksi maupun isi dan juga kesesuaian antara tingkat perintah/instruksi dan isi. Dengan kata lain komunikasi fungsional dalam keluarga menuntut bahwa maksud dan arti dari pengirim yang dikirim lewat saluran-saluran yang relatif jelas dan bahwa penerima pesan mempunyai suatu pemahaman terhadap arti dari pesan itu mirip dengan pengirim.

Komunikasi dalam keluarga yang fungsional mampu berkomunikasi dengan jelas, saling mendengarkan, dapat menumbuhkan dan mempertahankan hubungan saling mencintai. Pola komunikasi dalam keluarga fungsional menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan, sikap menghakimi yang minimum, menghargai keterbukaan, saling menghormati perasaan dan pikiran. Dengan komunikasi fungsional, anggota keluarga mampu mengakui kebutuhan dan mengekspresikan emosi satu sama lain. Anggota keluarga perlu memiliki kemampuan mengkomunikasikan rasa


(50)

kegembiraan atas kebersamaan mereka. Apabila respons mereka terhadap satu sama lain ceria dan spontan tentunya akan lebih menyenangkan.

b. Komunikasi Disfungsional.

Berbeda dengan komunikasi fungsional, komunikasi disfungsional didefinisikan sebagai pengirim (transmisi) dan penerima isi dan perintah pesan yang tidak jelas/tidak langsung atau ketidaksepadanan antara tingkat isi dan perintah dari pesan. Aspek tidak langsung dari komunikasi disfungsional menunjukkan kepada pesan-pesan menuju sasaran yang tepat (langsung) atau dibelokkan dan menuju orang lain dalam keluarga (tidak langsung). Jika penerimanya disfungsional, maka akan terjadi kegagalan komunikasi karena pesan tidak diterima sebagaimana diharapkan, mengingat kegagalan penerima pendengar, memberikan respons yang tidak sesuai, gagal menggali pesan pengirim, gagal memvalidasi pesan.

Salah satu faktor utama yang menimbulkan pola komunikasi disfungsional adalah terdapatnya rasa harga diri rendah pada keluarga dan anggota keluarga banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi kebutuhan pada diri sendiri, tidak dapat toleransi terhadap perbedaan, tidak dapat memahami pikiran, perasaan, dan perilaku dari anggota keluarga yang lain. Anggota keluarga hanya memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk empatis. Jika individu harus memberi, mereka akan melakukannya dengan enggan dan dengan cara bermusuhan, defensif, dan mengorbankan diri. Dengan demikian tawar-menawar atau negosiasi secara efektif merupakan hal yang sulit, karena


(51)

orang-orang yang memusatkan pada diri sendiri percaya bahwa mereka tidak bisa kehilangan sekecil apa pun yang mereka berikan. Anggota keluarga yang berpusat pada diri sendiri dan tidak dapat mengenal toleransi perbedaan juga tidak dapat mengenal efek dari pikiran, perasaan dan perilaku mereka sendiri terhadap anggota keluarga yang lain. Mereka juga tidak memahami pikiran, perasaan dan perilaku keluarga lain.

2.2 Koping Keluarga

2.2.1 Definisi Koping Keluarga

Koping keluarga adalah sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup penuh stres. Respons atau perilaku koping keluarga adalah tindakan atau kognisi khusus yang dilakukan keluarga saat beradaptasi terhadap stress. Strategi keluarga dapat menunjukkan fungsional maupun disfungsional (Friedman dkk, 2010).

2.2.2 Strategi Koping Keluarga

Strategi koping keluarga terbagi atas dua yaitu strategi koping keluarga fungsional dan strategi koping keluarga disfungsional.

2.2.2.1Strategi Koping Keluarga Fungsional

Strategi koping keluarga fungsional terdiri dari 2 yaitu strategi koping internal atau intrafamilial (dalam keluarga) dan strategi koping eksternal atau ekstrafamilial (diluar keluarga).


(52)

1. Strategi Koping Internal atau Intrafamilial (dalam keluarga).

Strategi koping internal terdiri dari : a. Strategi hubungan.

Cara keluarga mengandalkan kelompok melakukan penjadwalan waktu dan rutinitas yang terprogram dengan orang-orang disekitarnya sehingga memiliki kebersamaan untuk berbagi perasaan dan pikiran untuk dapat mengelola dan mampu beradaptasi terhadap perubahan perkembangan dan lingkungan.

b. Strategi kognitif.

Keluarga mampu menormalkan situasi dari masalah yang dihadapi, mengendalikan makna masalah dengan pembingkaian ulang dan penilaian positif, memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama, mendapatkan informasi dan pengetahuan berkenaan dengan stressor yang ada.

c. Strategi komunikasi.

Anggota keluarga menunjukkan sikap keterbukaan dalam berbagi ide dengan perasaan, kejujuran, pesan yang jelas dan menggunakan humor dan tawa karena dengan humor dan tawa dapat membantu memperbaiki sikap keluarga terhadap masalahnya dan perawatan kesehatan serta mengurangi kecemasan dan ketegangan anggota keluarga.


(53)

2. Strategi Koping Eksternal atau Ekstrafamilial.

a. Strategi komunitas.

Keluarga berperan aktif sebagai anggota atau posisi pimpinan dalam klub, organisasi dan kelompok komunitas dan memelihara jaringan aktif dengan komunitas.

b. Strategi dukungan sosial.

Keluarga penting berhubungan dengan dunia sosial khususnya bagi keluarga yang memiliki masalah kesehatan. Dengan berhubungan dengan keluarga besar, teman, tetangga, kelompok dapat menjadi tempat berbagi minat, tujuan, gaya hidup, keterlibatan rekreasional atau identitas sosial. c. Strategi spiritual.

Kesejahteraan spiritual dapat meningkatkan kemampuan individu atau keluarga yang mengalami stres seperti pencarian nasehat dari rohaniwan, lebih terlibat dalam aktivitas keagamaan, memiliki keyakinan terhadap tuhan dengan berdoa agar penyelesaian masalah teratasi.

2.2.2.2Strategi Koping Keluarga Disfungsional.

Strategi koping keluarga disfungsional terdiri dari : a. Penyangkalan masalah keluarga.

Keluarga menurunkan ketegangan dengan pengungkapan emosional dengan cara mengkambinghitamkan, menggunakan ancaman.

b. Pecah dan ketergantungan keluarga.

Untuk mengurangi ketegangan atau stres dalam keluarga, anggota keluarga boleh jadi secara fisik dan psikososial saling berpisah. Perpisahan ini mencakup


(54)

kehilangan anggota keluarga karena pengabaian, perpisahan, atau perceraian, dan gangguan psikososial anggota keluarga lewat keterlibatan anggota dalam kecanduan (misalnya alkohol, obat-obatan, berjudi).

c. Kekerasan dalam keluarga

Dengan menggunakan ancaman, mengambinghitamkan dan otoriterianisme yang ekstrem dapat menyebabkan kekerasan dalam keluarga. Kekerasan dalam keluarga dapat mengakibatkan cedera berat bagi anggota keluarga yang lain. Kekerasan dalam rumah tangga sering terkait dengan tekanan sosial dalam keluarga. Keluarga yang mengalami kekerasan sering kali adalah keluarga yang terisolasi secara sosial.

2.3 Pengetahuan Keluarga

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).

Pengetahuan keluarga dapat mencakup seperti keluarga mengenal masalah isolasi sosial yang dialami oleh klien, keluarga dapat memutuskan tindakan terhadap masalah yang berhubungan dengan isolasi sosial yang diderita klien, keluarga dapat merawat klien isolasi sosial di rumah, keluarga mengetahui cara memutuskan isolasi sosial, keluarga mampu menciptakan lingkungan yang mendukung tidak munculnya isolasi sosial, keluarga mengetahui pentingnya


(55)

melakukan kontrol (berobat) ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan sakitnya (Rasmun, 2001).

Menurut Vijay dalam Henny (2008) mengatakan bahwa sebuah keluarga dengan penderita isolasi sosial perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menentukan bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat (berobat) apabila gejala-gejala sudah menghilang/berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Padahal menurut pengobatan medis, penderita isolasi sosial mesti diobati secara bertahap dan berkelanjutan. Artinya, dosis pemberian obat bagi penderita isolasi sosial dilakukan secara bertahap dengan dosis yang semakin lama semakin menurun. Kalau pemberian obat terputus di tengah jalan, mau tidak mau pemberian obat harus dilakukan lagi dari awal. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan.

Disamping itu, keluarga juga penting sekali mengetahui cara-cara mengatasi isolasi sosial jika klien melatih pasien berinteraksi dengan orang lain seperti jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain, berikan contoh cara berbicara dengan orang lain, beri kesempatan kepada klien mempraktekkan cara berinteraksi dengan orang lain yang dialkukan secara berhadapan dengan orang lain, bantu klien berinteraksi dengan satu orang teman atau anggota keluarga lalu


(56)

bila sudah menunjukkan kemajuan tingkatkan jumlah interaksi dengan dua orang atau lebih, dan beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi dan siap mendengarkan ekspresi perasaan setelah berinteraksi dengan orang lain, memberikan aktivitas kepada klien yaitu keluarga membuat jadwal kegiatan rutin di rumah, seperti memasak, membersihkan rumah dan sebagainya memberi kesempatan kepada klien untuk tidak berdiam diri saja. Maka dengan jadwal tersebut akan membantu memutuskan isolasi sosial pada klien, pemberian obat secara rutin kepada klien yaitu penggunaan obat-obatan untuk klien isolasi sosial, sehingga perlu diketahui keluarga cara tepat pemberian obat seperi klien yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, cara pemberian yang benar, dan waktu yang benar (Purba dkk, 2008)

2.4 Biaya Pengobatan dan Perawatan.

Biaya pengobatan dan perawatan adalah biaya yang memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan keluarga khususnya dalam pemenuhan kesehatan. Biaya pengobatan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan meliputi biaya pemeriksaan, pembelian obat dan pemeriksaan laboratorium. Dari sisi penyelenggaraan pelayanan kesehatan, biaya pelayanan kesehatan mempunyai pengertian sejumlah dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, sedangkan dari sisi pengguna jasa, biaya pelayanan kesehatan mempunyai arti sejumlah dana yang perlu disediakan oleh pengguna jasa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Sihombing, 2008).

Biaya perawatan di rumah umumnya lebih hemat daripada biaya perawatan di rumah sakit untuk klien yang bergantung pada teknologi medis dan yang


(57)

memerlukan perawatan substansial dan kompleks. Namun, keluarga dapat menyerap banyak biaya perawatan di rumah, meliputi medikasi, transportasi, tempat bernaung, penyedia peralatan, makanan, pakaian, dan pemelihara rumah. Keluarga umumnya juga memberi sedikitnya beberapa bagian asuhan keperawatan, beberapa anggota keluarga dapat menjadi pengangguran atau hanya bekerja paruh waktu untuk tinggal di rumah dalam merawat anggota keluarga yang sakit. Pengeluaran belanja dan hilangnya penghasilan dapat menjadi beban keuangan bagi keluarga, dan mereka dapat membutuhkan bantuan dalam mengevaluasi pilihan dan memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami isolasi sosisal (Wong, 2008).

Vijay (2005) mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita isolasi sosial menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang ditanggung keluarga. Keluarga merasa bahwa biaya perawatan di rumah lebih murah dibandingkan jika penderita harus dirawat di rumah sakit, sebab tingginya biaya pengobatan selama di rumah sakit dapat menjadi beban bagi keluarga sehingga hal ini dapat menyulitkan bagi keluarga.


(58)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Keluarga

Berkaitan dengan fungsi keluarga sebagai perawatan kesehatan, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan keluarga yaitu :

a. Faktor Fisik.

Faktor fisik berkaitan dengan perubahan pola makan, pola istirahat, maupun pola olahraga yang berubah seiring berjalannya pernikahan antara dua orang.

b. Faktor Psikis.

Faktor psikis yang mendasari hubungan antar anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga. Perasaan nyaman, tentram, dan saling mendukung akan membawa dampak positif bagi kesehatan anggota keluarga.

c. Faktor Sosial Ekonomi.

Hubungan faktor sosial dengan tingkat kesehatan keluarga akan sangat tampak pada tingkat sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah kemungkinan tidak akan memprioritaskan masalah kesehatan. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa skizofrenia pada seseorang biasanya berkembang dalam keluarga yang status sosial ekonominya rendah.

d. Faktor Budaya.

Faktor budaya baik dari segi keyakinan suatu keluarga terhadap fungsi kesehatan nilai dan keyakinan yang dimiliki keluarga terhadap kesehatan


(59)

sebelumnya, peran dan pola komunikasi keluarga, dan koping keluarga juga akan sangat dipengaruhi oleh budaya (Setiawati & Dermawan, 2008).


(60)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pada masa globalisasi saat ini dengan kehidupan modern yang semakin kompleks, manusia cenderung akan mengalami stress apabila ia tidak mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang dimiliki. Gaya hidup dan persaingan hidup menjadi semakin tinggi yang disebabkan oleh tuntutan akan kebutuhan hidup yang semakin meningkat seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi dalam sandang, pangan, papan, pemenuhan kasih sayang, rasa sayang dan aktualisasi diri. Hal ini dapat mengakibatkan tingginya stress di kalangan masyarakat. Jika individu kurang atau tidak mampu dalam menggunakan koping dan gagal dalam beradaptasi maka akan dapat mengalami penyakit baik fisik maupun gangguan mental (Rasmun,2004).

Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2001 mengatakan satu dari empat orang di dunia terkena gangguan jiwa dalam setiap tahap kehidupannya. Sekitar 450 juta orang kini telah mengalami gangguan jiwa, sehingga menempatkan penyakit jiwa sebagai penyakit tertinggi di dunia.

Berdasarkan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 di Indonesia bahwa prevalensi gangguan jiwa berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Angka gangguan jiwa di Indonesia telah mencapai 10% dari populasi penduduknya.


(61)

Hasil Penelitian Hatfield (1998) menunjukkan bahwa sekitar 72% pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu memelihara diri sendiri (makan, mandi dan berpakaian). Dapat disimulkan bahwa 72% klien mengalami masalah isolasi sosial sebagai akibat dari kerusakan kognitif dan afektif.

Stressor yang sering dijumpai saat ini berasal dari lingkungan sosial. Hampir setiap masalah yang dialami individu timbul saat berhubungan dengan konteks sosial, baik dalam pergaulan, pekerjaan maupun di dalam keluarga. Hal ini dapat dipahami karena manusia adalah makhluk sosial, yang bisa berkembang hanya dalam lingkungan sosial, tetapi dalam lingkungan sosial itu juga seseorang akan menghadapi masalah, salah pengertian, tersinggung perasaan secara sengaja ataupun tidak sengaja, bentrokan kebutuhan dalam kehidupan kelompok dan lainnya (Wiramihardja, 2004).

Jika stressor terjadi secara terus menerus atau berkepanjangan dan disertai koping yang tidak efektif dapat menimbulkan resiko gejala gangguan jiwa salah satunya isolasi sosial. Isolasi sosial merupakan keadaan ketika individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Klien akan merasa ditolak, tidak diterima, merasa kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat dkk, 2010).

Kondisi isolasi sosial dapat disebabkan oleh berbagai stressor yang bisa berasal dari individu, bisa juga berasal dari keluarga. Masalah-masalah yang terjadi sering dihubungkan dengan kurang baiknya interaksi di antara anggota


(62)

keluarga. Perubahan-perubahan pola pengasuhan menyebabkan berkurangnya interaksi orang tua dan klien isolasi sosial. Persoalan-persoalan yang dihadapi para anggota keluarga dalam hubungan satu sama lain, misalnya soal pembagian kerja di keluarga, komunikasi di antara anggota keluarga, persoalan ekonomi dan pendidikan. Keadaan lain yang menimbulkan klien menjadi isolasi sosial akibat dari pengaruh lingkungan yang tidak sehat bagi perkembangan mental atau asuhan yang salah kepada klien isolasi sosial (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005).

Ketidaktahuan keluarga karena kurangnya pengetahuan, pemahaman terhadap masalah kesehatan pada klien isolasi sosial, dan kesalahan persepsi dalam berkomunikasi antar anggota keluarga, ketidakmauan keluarga dalam menghadapi situasi yang terjadi, ketidakmampuan atau kurangnya keterampilan keluarga terhadap prosedur atau tindakan terhadap masalah klien isolasi sosial, kurangnya sumber daya keluarga terhadap klien isolasi sosial, baik dari segi finansial, fasilitas kesehatan yang tersedia, sistem pendukung, lingkungan fisik, dan psikologis. Masalah dari sumber-sumber masyarakat seperti dalam bentuk fasilitas kesehatan, organisasi masyarakat, dan dukungan sosial masyarakat. Hal di atas dapat memicu ketidaksembuhan pada klien isolasi sosial dan menjadi beban pada keluarga klien isolasi sosial (Mubarak dkk,2009).

Keluarga merupakan faktor sangat penting dalam proses kesembuhan klien isolasi sosial. Keluarga yang bersikap terapeutik dan mendukung klien, masa kesembuhan klien isolasi sosial dapat dipertahankan selama mungkin. Sebaliknya, jika keluarga tidak mendukung, angka kekambuhan menjadi lebih cepat. Keluarga diharapkan sebagai sarana pemberdayaan baik ketika klien isolasi sosial masih


(63)

dirawat di rumah sakit maupun setelah pulang ke rumah. Perhatian keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat di rumah sakit jiwa selama ini sangat kurang. Kondisi ini sangat jauh dari ideal untuk mengharapkan peran keluarga yang optimal dalam pelayanan keperawatan yang profesional terhadap klien isolasi sosial (Keliat dkk, 2010).

Menurut penelitian Komarudin dkk (2009) ketika salah satu anggota mengalami masalah kesehatan maka akan menjadi beban bagi keluarga. Seringkali keluarga lambat dalam menangani perawatan dalam pencegahan dan penyembuhan klien akibat ketidaktahuan keluarga tentang cara merawat pasien isolasi sosial. Menurut penelitian Wiyati dkk (2010) dampak sosial pada gangguan jiwa yang berupa penolakan, pengucilan, dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung oleh keluarga menjadi beban keluarga dalam proses penyembuhan klien isolasi sosial.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa daerah Propinsi Sumatera Utara pada bulan Juni 2013, didapat data bahwa banyaknya kasus klien dengan isolasi sosial dikarenakan banyaknya masalah di dalam keluarga seperti adanya perasaan kehilangan orang yang disayangi, perceraian, kurangnya perhatian orang tua, dan kehilangan pekerjaan sehingga klien menjadi stress hingga cenderung menarik diri atau isolasi sosial.

Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di RSJ Provsu Medan”.


(64)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang peneliti paparkan dapat dirumuskan permasalahan penelitian tentang bagaimanakah gambaran klien isolasi sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial?

3. Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.

3.2 Tujuan Khusus

3.2.1 Untuk mengetahui faktor komunikasi keluarga yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.

3.2.2 Untuk mengetahui faktor koping keluarga yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.

3.2.3 Untuk mengetahui faktor pengetahuan keluarga yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.

3.2.4 Untuk mengetahui faktor biaya perawatan dan pengobatan yang mempengaruhi klien isolasi sosial di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.


(65)

4. Manfaat Penelitian 4.1. Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang profesional kepada pasien isolasi sosial dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga.

4.2. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan pengetahuan bagi perawat mengenai adanya faktor-faktor yang terdapat pada anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial di RSJ Daerah Pemprovsu Medan.

4.3. Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal tentang penelitian adanya faktor-faktor yang terdapat pada anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial di RSJ Daerah Pemprovsu Medan, sehingga penellitian yang dilakukan selanjutnya dapat menigkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada keluarga dan klien.

4.4. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial, sehingga meningkatkan motivasi pada keluarga untuk meningkatkan dukungan keluarga pada anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial.


(66)

Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan

Nama : Anggita Fahrina Nasution Nim : 091101024

Program : S1 Keperawatan

ABSTRAK

Isolasi sosial merupakan salah satu gangguan jiwa dengan angka kejadian cukup tinggi di Indonesia. Isolasi sosial merupakan keadaan ketika individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Masalah-masalah yang terjadi sering dihubungkan dengan kurang baiknya komunikasi di antara anggota keluarga, kurangnya pengetahuan dalam perawatan, dan persoalan biaya dalam perawatan klien isolasi sosial. Faktor-faktor seperti komunikasi keluarga, koping keluarga, pengetahuan keluarga, biaya pengobatan dan perawatan akan mempengaruhi klien isolasi sosial. Semakin baik faktor-faktor tersebut maka semakin cepat tingkat kesembuhan klien. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan dengan jumlah sampel sebanyak 56 orang. Cara penarikan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive sampling dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. Hasil analisa data diinterpretasikan dengan distribusi frekuensi dan persentase menunjukkan faktor komunikasi keluarga mayoritas baik dengan frekuensi (51,7%), koping keluarga baik dengan frekuensi (73,2%), pengetahuan keluarga baik dengan frekuensi (66%), akan tetapi biaya pengobatan dan perawatan kurang baik dengan frekuensi (57,1%). Hasil penelitian ini diharapkan untuk pihak rumah sakit agar lebih memperhatikan pelayanan kesehatan, terutama dalam upaya peningkatan intervensi dalam meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan dan memotivasi klien isolasi sosial dalam proses penyembuhan.


(67)

Title : Factors Influencing Client Social Isolation in Mental Hospital Medan Pemprovsu

Name : Anggita Fahrina Nasution Nim : 091101024

Faculty : Nursing Year : 2013

Abstract

Social isolation is one of the psychiatric disorders with high incidence in Indonesia. Social isolation is a state when an individual has decreased or even not at all able to interact with others around them. The problems that occur are often associated with a lack of good communication among family members, lack of knowledge in the care, maintenance and cost issues in the client's social isolation. Factors such as family communication, family coping, family knowledge, treatment and care costs will affect the client's social isolation. The better these factors, the faster the cure rate of the client. This study uses a descriptive design that aims to identify the factors that influence social isolation clients at the Mental Hospital Pemprovsu field with a total sample of 56 people. Way of sampling in this study was the purposive sampling criteria identified by researchers. Results of data analysis are interpreted with frequency distributions and percentages indicate the majority of good family communication factor with frequency (51.7%), family coping well with the frequency (73.2%), good knowledge of families with frequency (66%), but the cost of treatment and unfavorable treatment by the frequency (57.1%). The result is expected for the hospital to pay more attention to health care, especially in improving interventions in improving nursing care services and social isolation motivates the client in the healing process. Keywords: Factors, Social Isolation


(68)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KLIEN

ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT

JIWA PEMPROVSU MEDAN

SKRIPSI

OLEH

ANGGITA FAHRINA NASUTION

091101024

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(69)

Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan

Nama : Anggita Fahrina Nasution

Nim : 091101024

Tanggal Lulus : 22 Juli 2013

Pembimbing Penguji

... ... Penguji I (Mahnum Lailan Nst, S.Kep, Ns, M.Kep) (Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep) NIP : 197501132002122001 NIP : 197902052005022002

... Penguji II (Diah Arruum S.kep, M.kep) NIP : 197711242003122002

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah menyetujui skripsi ini sebagai dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan.

Medan, 20 Agustus 2013

(Erniyati, S.Kp., MNS.) NIP : 19760812 1999 032001 Pembantu Dekan I F.Kep USU


(1)

friends. Teman-teman Fakultas Keperawatan 09 yang turut membantu dalam proses perkuliahan dan skripsi ku.

12. Kepada seluruh klien di Ruang Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan yang telah bersedia menjadi responden.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan dan penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, 23 Juli 2013


(2)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan masalah ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Isolasi Sosial ... 8

1.1Definisi Isolasi Sosial ... 8

1.2Proses Terjadinya Isolasi Sosial ... 8

1.3Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Isolasi Sosial ... 9

1.4Tanda dan Gejala ... 15

1.5Penatalaksanaan Medis pada Isolasi Sosial ... 16


(3)

2.2.1 Definisi Koping Keluarga...20

2.2.2 Strategi Koping Keluarga...20

2.2.2.1 Strategi Koping Keluarga Fungsional...20

2.2.2.2 Strategi Koping Keluarga Disfungsional...22

2.3 Faktor Pengetahuan Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial...23

2.4 Faktor Biaya Pengobatan dan Perawatan...25

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Keluarga...27

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian ... 29

2. Definisi Operasional... 30

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 31

2. Populasi dan Sampel ... 31

1. 1 Populasi ... 31

1. 2 Sampel ... 31

3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4. Pertimbangan Etik Penelitian ... 32

5. Instrument Penelitian ... 33

1. 1 Kuesioner Data Demografi ... 34

1. 2 Kuesioner Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial... ... 34

6. Validitas dan Reliabilitas ... 35

7. Pengumpulan Data ... 36


(4)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian ... 38

1.1Data Demografi Responden ... 38

1.2Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial...40

2. Pembahasan 1. 1 Karakteristik Responden ... 41

1. 2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial ... 43

1. 3 Faktor Komunikasi Terhadap Klien Isolasi Sosial ... 43

1. 4 Faktor Koping Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial ... 45

1. 5 Faktor Pengetahuan Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial...47

1. 6 Faktor Biaya Pengobatan dan Perawatan Terhadap Klien Isolasi Sosial...49

BAB 6 PENUTUP 1. Kesimpulan ... 50

2. Rekomendasi ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jenis Obat yang Umum Digunakan Pada Klien Isolasi Sosial. ... 15 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik Responden yang Mengalami Isolasi Sosial ... 38 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


(6)

DAFTAR SKEMA

Skema Halaman