Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Kepala Keluarga terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP KEPALA KELUARGA TERHADAP KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA DALAM
MENGHADAPI BANJIR DI GAMPONG MESJID TUHA KECAMATAN MEUREUDU KABUPATEN PIDIE JAYA
T E S I S
Oleh FAJRIANSYAH
097032058/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
THE INFLUENCE OF KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF FAMILIES ON THEIR PREPAREDNESS IN FACING FLOOD AT GAMPONG
MESJ ID TUHA MEUREUDU SUBDISTRICT PIDIE J AYA DISTRICT
THESIS
BY
FAJ RIANSYAH 097032058/IKM
MAGISTRATE OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP KEPALA KELUARGA TERHADAP KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA DALAM
MENGHADAPI BANJIR DI GAMPONG MESJID TUHA KECAMATAN MEUREUDU KABUPATEN PIDIE JAYA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FAJRIANSYAH 097032058/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP KEPALA KELUARGA TERHADAP
KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA DALAM MENGHADAPI BANJIR DI
GAMPONG MESJID TUHA KECAMATAN MEUREUDU KABUPATEN PIDIE JAYA Nama Mahasiswa : Fajriansyah
Nomor Induk Mahasiswa : 097032058
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) (Suherman, S.K.M, M.Si Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(5)
Telah diuji
Pada Tanggal : 18 Oktober 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si Anggota : 1. Suherman, S.K.M, M.Si
2. Dr. Muslich Lufti, M.B.A, I.D.S 3. Abdul Muthalib, S.H, M.A.P
(6)
PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP KEPALA KELUARGA TERHADAP KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA DALAM
MENGHADAPI BANJIR DI GAMPONG MESJID TUHA KECAMATAN MEUREUDU KABUPATEN PIDIE JAYA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2011
FAJRIANSYAH 097032058/IKM
(7)
ABSTRAK
Bencana banjir yang tiap tahun melanda Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya menyebabkan ribuan penduduk harus mengungsi. Salah satu desa yang terparah mengalami banjir yaitu Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya dengan 565 KK yang terdiri atas 3 dusun. Banjir mengakibatkan kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh faktor pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. Jenis penelitian survey explanatory. Populasi dalam penelitian seluruh kepala keluarga di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya sebanyak 565 KK. Sampel penelitian sebanyak 85 KK yang diambil dengan menggunakan teknik proportional sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan melakukan observasi tentang tempat tinggal responden, dianalisis dengan regresi logistik pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel pengetahuan dan sikap kepala keluarga berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir. Variabel sikap merupakan aspek paling dominan memengaruhi kesiapsiagaan rumah tangga.
Disarankan kepada Pemerintah Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya untuk: 1) memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi banjir berupa pelatihan dan simulasi penanganan bencana banjir, 2) meningkatkan pengetahuan dan sikap kepala keluarga mengingat Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya daerah rawan banjir agar dapat berperan aktif dalam simulasi bencana.
(8)
ABSTRACT
Flood which occurs every year in Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict, has caused thousands of people to evacuate. One of the villages which had been devastated by the flood is Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict village which consisted of three dusun (smaller than a village) with 565 families. Flood brings about damages in property, the death of many people, and the change of people’s way of life.
The aim of the research was to analyze the influences of knowledge and attitude of families on their preparedness in handling flood at Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrictrict, Pidie Jaya Ditrict. The type of the research was an explanatory survey. The population were 565 families at Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict; 85 of them were used as the samples which were obtained by using proportional sampling technique. The data were collected by using interviews with questionnaires and analyzed by using logistic regression test with the reliability level of 95%.
The results of the research showed that statistically the variables of knowledge and attitude of the families influenced their preparedness in handling the flood. The variable of attitude was the most dominant aspect which influenced the families’ preparedness.
It is recommended that the administration of Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict, should 1) facilitate the people to increase their preparedness in handling the flood by giving them training and simulation in handling the flood, 2) increase the families’ knowledge and attitude so that they can actively play their role in the disaster simulation, since Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict, is subject to flood.
(9)
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Kepala Keluarga terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya ".
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(10)
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
5. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Suherman, S.K.M, M.Si, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
6. Dr. Drs. Muslich Lufti, M.B.A, I.D.S, dan Abdul Muthalib, S.H, M.A.P, sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan kasus ini.
7. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.
8. Direktur Poltekkes Kementerian Kesehatan Banda Aceh yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. Kepala Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu beserta jajarannya yang telah membantu memberikan izin penelitian.
(11)
dukungan moril kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
11. Teristimewa buat istri tercinta Sastri dan Ibunda Kamariah, Ayahanda Syamsuddin yang senantiasa berdo’a sehingga memotivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
12. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan saran-saran dalam penyusunan tesis ini hingga selesai.
Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Oktober 2011 Penulis
Fajriansyah 097032058/IKM
(12)
RIWAYAT HIDUP
Fajriansyah, lahir pada tanggal 28 Juli 1982 di Aceh Besar Provinsi Aceh, anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda Syamsuddin dan Ibunda Kamariah.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di MIS Al-Istiqamah, selesai Tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di MTsN I Lhoknga, selesai Tahun 1997, Sekolah Menengah Atas di SMU I Lhoknga, selesai Tahun 2000, D-I Informatika, selesai tahun 2001, D-III Kesehatan Lingkungan di Jur. Kesling Poltekkes Banda Aceh, selesai tahun 2004, S-1 Kesehatan Masyarakat di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, selesai tahun 2007.
Mulai bekerja sebagai staf di Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Banda Aceh, tahun 2005 sampai sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Hipotesis ... 9
1.5 Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Pengertian Kesiapsiagaan ... 10
2.1.1 Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Banjir ... 11
2.1.2 Mitigasi dalam Menghadapi Banjir ... 14
2.1.3 Tindakan-Tindakan yang Dilakukan Pasca Banjir. ... 19
2.2 Bencana Banjir ... 23
2.2.1 Pengertian Banjir ... 23
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Banjir ... 25
2.2.3 Dampak Bencana Banjir ... 27
2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Rumah Tangga ... 28
2.3.1 Faktor Pengetahuan ... 28
2.3.2 Sikap ... 39
2.4 Landasan Teori ... 42
2.5 Kerangka Konsep Penelitian ... 44
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45
3.1 Jenis Penelitian ... 45
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 45
(14)
3.3 Populasi dan Sampel ... 45
3.3.1 Populasi ... 45
3.3.2 Sampel ... 45
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 47
3.4.1 Validitas dan Reliabilitas ... 48
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 50
3.6 Metode Pengukuran ... 50
3.7 Metode Analisis Data ... 51
BAB 4.HASIL PENELITIAN ... 53
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 53
4.2 Karakteristik Responden ... 54
4.3 Hasil Analisis Univariat ... 56
4.3.1 Pengetahuan Kepala Keluarga ... 56
4.3.2 Sikap Kepala Keluarga ... 58
4.3.3 Kesiapsiagaan Rumah Tangga ... 60
4.4 Analisis Bivariat ... 62
4.4.1 Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kesiapsiagaan ... 62
4.5 Analisis Multivariat ... 63
BAB 5. PEMBAHASAN ... 66
5.1 Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menghadapi Banjir ... 66
5.2 Pengaruh Pengetahuan terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menghadapi Banjir ... 67
5.3 Pengaruh Sikap terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menghadapi Banjir ... 70
5.4 Keterbatasan Penelitian... ... 72
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74
6.1 Kesimpulan ... 74
6.2 Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Jumlah Kepala Keluarga Sebagai Sampel Penelitian ... 47
3.2 Aspek Pengukuran Pengetahuan dan Sikap ... 51
3.3 Aspek Pengukuran Kesiapsiagaan ... 51
4.1 Karakteristik Responden ... 55
4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 56
4.3 Kategori Responden Berdasarkan Pengetahuan... 58
4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap ... 59
4.5 Kategori Responden Berdasarkan Sikap ... 60
4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan ... 60
4.7 Kategori Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan ... 61
4.8 Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kesiapsiagaan ... 62
4.9 Hasil Analisis Uji Multivariat ... 64
(16)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 80
2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 86
3 Uji Univariat dan Bivariat ... 93
4 Uji Multivariat ... 98
5 Peta Lokasi Penelitian ... 102
6 Surat Ijin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 103
(18)
ABSTRAK
Bencana banjir yang tiap tahun melanda Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya menyebabkan ribuan penduduk harus mengungsi. Salah satu desa yang terparah mengalami banjir yaitu Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya dengan 565 KK yang terdiri atas 3 dusun. Banjir mengakibatkan kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh faktor pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. Jenis penelitian survey explanatory. Populasi dalam penelitian seluruh kepala keluarga di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya sebanyak 565 KK. Sampel penelitian sebanyak 85 KK yang diambil dengan menggunakan teknik proportional sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan melakukan observasi tentang tempat tinggal responden, dianalisis dengan regresi logistik pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel pengetahuan dan sikap kepala keluarga berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir. Variabel sikap merupakan aspek paling dominan memengaruhi kesiapsiagaan rumah tangga.
Disarankan kepada Pemerintah Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya untuk: 1) memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi banjir berupa pelatihan dan simulasi penanganan bencana banjir, 2) meningkatkan pengetahuan dan sikap kepala keluarga mengingat Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya daerah rawan banjir agar dapat berperan aktif dalam simulasi bencana.
(19)
ABSTRACT
Flood which occurs every year in Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict, has caused thousands of people to evacuate. One of the villages which had been devastated by the flood is Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict village which consisted of three dusun (smaller than a village) with 565 families. Flood brings about damages in property, the death of many people, and the change of people’s way of life.
The aim of the research was to analyze the influences of knowledge and attitude of families on their preparedness in handling flood at Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrictrict, Pidie Jaya Ditrict. The type of the research was an explanatory survey. The population were 565 families at Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict; 85 of them were used as the samples which were obtained by using proportional sampling technique. The data were collected by using interviews with questionnaires and analyzed by using logistic regression test with the reliability level of 95%.
The results of the research showed that statistically the variables of knowledge and attitude of the families influenced their preparedness in handling the flood. The variable of attitude was the most dominant aspect which influenced the families’ preparedness.
It is recommended that the administration of Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict, should 1) facilitate the people to increase their preparedness in handling the flood by giving them training and simulation in handling the flood, 2) increase the families’ knowledge and attitude so that they can actively play their role in the disaster simulation, since Gampong Mesjid Tuha, Meureudu Subdistrict, Pidie Jaya Ditrict, is subject to flood.
(20)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU RI No.24 Tahun 2007). Sedangkan Kesiapsiagaan menurut Carter (1991) adalah tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharan dan pelatihan personil.
Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Bakornas PB, 2007).
Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek dengan tingkat kerusakan berat pada aspek-aspek berikut ini: 1) Aspek Penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah dan penduduk terisolasi. 2) Aspek Pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan, perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan. 3)
(21)
Aspek Ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian,tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat. 4) Aspek Sarana/Prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi. 5) Aspek Lingkungan, antara lain berupa kerusakan eko-sistem, obyek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi.
Aceh sebagai salah satu provinsi yang rawan banjir, pada bulan Januari 2007 banjir melanda Kabupaten/Kota: Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Pidie, Aceh Besar, Bireun, Aceh Selatan, Simeulu, Singkil, Aceh Tenggara, dengan korban yang meninggal dunia mencapai 81 jiwa dan korban yang mengungsi mencapai 208.475 jiwa (Satkorlak PB Provinsi Aceh, 2007).
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kabupaten Pidie Jaya tahun 2010, Kecamatan Meureudu adalah wilayah yang sering terjadi banjir dalam beberapa tahun ini. Pada tahun 2009 yang lalu kecamatan ini di landa banjir bandang. beberapa Desa dan Kelurahan tergenang air sampai 3 meter, ada belasan kepala keluarga yang anaknya menderita diare perlu dirawat, bahkan tidak sedikit warga masyarakat mengungsi.
Pada senin tanggal 25 April 2011 seperti berita yang dimuat pada surat kabar Harian Aceh bahwa: r ibuan warga di dua kecamatan Meurah Dua dan
(22)
Meureudu, Pidie Jaya panik setelah datangnya banjir yang merendam sebagai rumah warga akibat meluapnya sungai Meureudu, banyak penduduk terpaksa harus mengungsi.
Menurut Bakornas PB (2008), paling tidak ada interaksi empat faktor u tama yang dapat menimbulkan bencana-bencana tersebut menimbulkan banyak korban dan kerugian besar, yaitu: (a) kurangnya pemahaman terhadap k arakteristik bahaya (hazards), (b) sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan sumberdaya alam (vulnerability), (c) kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapan, dan (d) ketidakberdayaan /ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Bencana Banjir yang terjadi di Gampong Mesjid Tuha ini mengakibatkan banyak kerugian rumah tangga. Laporan hasil sementara yaitu: rusaknya perabot, alat-alat perkakas dapur, peralatan elektronik (televisi, listrik, kulkas, dispenser), dan selain itu pencemaran lingkungan rumah yang dapat menyebabkan penyakit menular pada keluarga.
Tanggung jawab untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana dapat berbentuk kesiapsiagaan (preparedness), yaitu: tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna (Carter, 1991).
Ada 7 (tujuh) stakeholders yang berkaitan erat dengan kesiapsiagaan masyarakat, yaitu: individu dan rumah tangga, instansi pemerintah yang
(23)
berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas sekolah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, tiga stakeholders, yaitu: rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah, disepakati sebagai stakeholders utama, dan empat stakeholders lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan bencana (LIPI, 2006).
Menurut wawancara dengan salah satu warga d e s a , b i l a hujan lebat beberapa hari maka air akan melimpah ke kawasan desa, pada tahun lalu akibat melimpah air sungai itu rumah saya digenangi air saat itu saya dan keluarga saya sangat panik dan tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa, Mahdi (47) warga Gampong Mesjid Tuha
Hal senada juga diungkapkan Salma (36), sungai itu kondisinya tersumbat tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh sepanjang sungai, dia juga menyatakan bahwa akibat air sungai yang melimpah ke pemukiman warga. Desa kami sudah beberapa kali banjir, p e r n a h rumah kami digenangi air saat tengah malam dan kami sangat panik sebut Salma.
Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya ketika banjir terjadi ditengah malam, secara mendadak, ketika seluruh keluarga masih tertidur pulas. Pada jam-jam seperti itu, peraturan dan perundangan tidak akan mampu segera bertindak cepat. Terlebih- lebih, petugas pemerintah juga sedang tidak berada di tempat kejadian barangkali sampai keesokan harinya masih belum juga datang. Siapa melakukan apa tidak jelas. Suara dan instruksi siapa yang harus
(24)
didengar, tidak jelas. Kemana keluarga hendak memohon bantuan cepat, tidak jelas. Kemana arah berlari dan tujuan evakuasi, tidak jelas. Jelas, yang terjadi adalah bencana dan malapetaka. Penting untuk diingat, saat- saat awal kepanikan dalam suatu kejadian bencana adalah saat-saat yang sangat menentukan tinggi rendahnya tingkat resiko yang terjadi. Menurut sejumlah catatan, banyak angka kematian dalam kejadian bencana justru terjadi pada saat-saat kepanikan meninggi dan tak terkendalikan yang seringkali terjadi justru “kekalapan”.
Banjir yang setiap tahunnya di di Gampong Mesjid Tuha terjadi sampai 3 kali dalam setahun selama ini berujung pada penderitaan dan kerugian yang ditafsirkan oleh masing - masing kepala keluarga lebih kurang Rp.2.000.000 - Rp.9.000.000, mengalami dampak ekonomi, sosial, masalah lingkungan, masalah kesehatan timbulnya penyakit menular.
Menurut Triutomo (2007), di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya.
Pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana
(25)
(Priyanto, 2006).
Riset yang dilakukan di New Zealand tahun 2006 memperlihatkan bahwa perasaan bisa mencegah bahaya gempa bumi dapat ditingkatkan dengan intervensi melalui pengisian kuesioner pengetahuan tentang gempa bumi yang di follow up dengan penjelasan-penjelasan yang ditujukan untuk menghilangkan gap atau miskonsepsi pengetahuan tentang gempa bumi. Hasil riset menunjukkan bahwa pengetahuan partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Dengan pengetahuan akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik dari gempa bumi atau bencana lain (Priyanto, 2006). Dan diharapkan hal yang demikian dapat pula diterapkan pada kejadian banjir pada masyarakat di indonesia.
Menurut Ma`mun (2007) pengetahuan lingkungan hidup perlu diberikan kepada anak-anak dan keluarga sehingga mereka belajar mencintai alam, contoh menanam pohon di sekitar rumah, tidak membuang sampah kesungai, tidak tinggal dibantaran sungai karena dapat menimbulkan permasalahan banjir dan lain-lain.
Menurut Dekens (2007) Pengetahuan tentang kearifan lokal yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berperan meningkatkan kapasitas mereka untuk mengurangi risiko bencana mencakup Pengetahuan sejarah dan lingkungan. Masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang sejarah dan sifat banjir di daerah mereka sendiri dengan mengamati dan mengalami sendiri peristiwa banjir, dengan dasar pengamatan sehari-hari atas lingkungan di sekitar mereka, adanya
(26)
ikatan erat dengan lingkungan hidup agar dapat bertahan hidup, dan akumulasi pemahaman tentang lingkungan hidup yang disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Ini penting karena pengalaman dan pemahaman masa lalu tentang banjir pasti akan mempengaruhi pengalaman dan pemahaman di masa kini
Keluarga diharapkan memiliki kemampuan untuk mengatasi banjir, karena peran keluarga dalam kesiapsiagaan sangat penting alasannya kepala keluarga berperan dalam menyampaikan informasi bagi keluargannya, mengambil keputusan yang cepat dapat mempengaruhi anggota keluarganya dan juga kepala keluarga sebagai sumber dukungan sosial bagi keluarganya. akibat pengaruhnya semua ucapan, tingkah laku dan tindakannya akan dijadikan panutan oleh keluarganya (Effendi, 2009).
Kemampuan yang harus dimiliki kepala keluarga sebagai wujud dari kesiapsiagaan adalah mempunyai pengetahuan dan sikap terhadap bencana seperti ketrampilan pertolongan pertama, menggerakkan anggota keluarga untuk mengikuti latihan dan keterampilan evakuasi, menyiapkan kebutuhan makanan yang dapat disimpan dan tahan lama, menyiapkan kotak P3K dirumah (LIPI, 2006).
Menurut LIPI (2006), tindakan kesiapsiagaan yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan di rumah tangga, adalah: (a) Memahami bahaya yang timbul oleh bencana; masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana perlu memahami bahaya yang mungkin dialami ketika bencana datang, kapan bencana tersebut datang di daerah tersebut, daerah mana saja yang aman untuk menghindari
(27)
bencana. (b) Menyiapkan peta daerah rawan bencana; peta daerah rawan bencana didasarkan pada berbagai penyebab dan risiko bencana (geologis dan klimatologis) sebagai salah pertimbangan perencanaan pembangunan dan penanggulangan untuk pencegahan bencana, di dalam peta perlu dilampirkan keterangan seperti: tingkat risiko, jumlah penduduk, jumlah lahan, ternak, dan sebagainya serta sangat penting mencantumkan tempat aman dan jalur aman yang dapat dilalui untuk evakuasi.
Sehubungan dengan latar belakang diatas sehingga dipandang penting dan penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: adakah pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya.
(28)
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Ilmu Pengetahuan
Secara teoritis, dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya tentang kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana banjir.
1.5.2 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan pemikiran yang didasari pada teori dan analisis terhadap kajian praktis dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir.
1.5.3 Pemerintah
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah terkait dalam menyusun program mitigasi bencana khususnya bidang yang mendasari pada pengendalian resiko bencana.
(29)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU RI No.24 Tahun 2007). Sedangkan Kesiapsiagaan menurut Carter (1991) adalah tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharan dan pelatihan personil.
Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Sebaiknya suatu kabupaten kota melakukan kesiapsiagaan.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi suatu masyarakat yang baik secara invidu maupun kelompok yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen bencana secara terpadu. Kesiapsiagaan adalah bentuk apabila suatu saat terjadi bencana dan apabila bencana masih lama akan terjadi, maka cara yang terbaik adalah menghindari resiko yang akan terjadi, tempat tinggal,
(30)
seperti jauh dari jangkauan banjir. Kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi.
Perubahan paradigma penanggulangan bencana yaitu tidak lagi memandang penanggulangan bencana merupakan aksi pada saat situasi tanggap darurat tetapi penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada fase prabencana yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana. Sehingga semua kegiatan yang berada dalam lingkup pra bencana lebih diutamakan.
Adapun kegiatan kesiapsiagaan secara umum adalah: (1) kemampuan menilai resiko; (2) perencanaan siaga; (3) mobilisasi sumberdaya; (4) pendidikan dan pelatihan; (5) koordinasi; (6) mekanisme respon; (7) manajemen informasi; (8) gladi/ simulasi.
2.1.1 Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Banjir
Menurut LIPI UNESCO/ISDR (2006) kesiapsiagaan individu dan rumah tangga untuk mengantisipasi bencana alam, khususnya banjir yaitu : (a) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana; (b) kebijakan dan panduan; (c) rencana untuk keadaan darurat bencana; (d) sistim peringatan bencana dan (e) kemampuan untuk memobilisasi sumber daya. Penjelasan di atas adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana
Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang harus dimiliki oleh individu dan rumah tangga tentang kejadian
(31)
alam dan bencana banjir (tipe, sumber, besaran, lokasi), kerentanan fisik bangunan (bentuk dan fondasi). Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah rawan bencana seperti banjir.
2. Kebijakan keluarga untuk kesiapsiagaan
Kebijakan kesiapsiagaan berupa kesepakatan keluarga mengenai tempat evakuasi dalam situasi darurat, kesepakatan keluarga untuk melakukan atau berpartisipasi dalam simulasi evaluasi.
3. Rencana Tanggap Darurat
Rencana tanggap darurat meliputi 7 (tujuh) komponen :
a. Rencana keluarga untuk merespon keadaan darurat: adanya rencana penyelamatan keluarga (siapa melakukan apa) bila terjadi kondisi darurat.
b. Rencana evakuasi meliputi tersedianya peta, tempat jalur evakuasi keluarga, tempat berkumpulkan keluarga saat bencana ; adanya kerabat/keluarga/teman yang menyediakan tempat pengungsian sementara dalam keadaan darurat. c. Pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan keamanan.
1) Tersedianya kotak P3K atau obat-obatan penting untuk pertolongan pertama keluarga.
2) Adanya rencana untuk penyelamatan dan keselamatan keluarga
3) Adanya anggota keluarga yang mengikuti pelatihan pertolongan pertama 4) Adanya anggota keluarga yang mengikuti latihan dan k eterampilan
(32)
evakuasi.
5) Adanya akses untuk merespon keadaan darurat d. Pemenuhan kebutuhan dasar
e. Peralatan dan perlengkapan
f. Fasilitas-fasilitas penting yang memiliki akses dengan bencana g. Latihan dan simulasi/gladi
4. Sistim Peringatan Bencana
Tersedianya sumber-sumber informasi untuk peringatan bencana baik dari sumber tradisional maupun lokal. Adanya akses untuk mendapatkan informasi peringatan bencana. Peringatan dini meliputi penyampaian informasi yang tepat waktu dan efektif melalui kelembagaan yang jelas sehingga memungkinkan setiap individu dan rumah tangga yang terancam bahaya dapat mengambil langkah untuk menghindari atau mengurangi resiko dan mempersiapkan diri untuk melakukan upaya tanggap darurat yang efektif.
Kepala keluarga dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan dengan peringatan bencana dini untuk itu diperlukan latihan/simulasi bencana yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimaan menyelamatkan diri pada waktu tertentu sesuai dengan lokasi dimana kepala keluarga sedang berada saat terjadinya peringatan.
(33)
5. Mobilisasi Sumber Daya
a. Adanya anggota keluarga yang terlibat dalam seminar/ pertemuan/ pelatihan kesiapsiagaan bencana
b. Adanya keterampilan anggota keluarga yang berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana
c. Adanya tabungan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana
d. Kesepakatan keluarga untuk melakukan latihan simulasi dan memantau tas siaga bencana secara reguler.
2.1.2 Mitigasi dalam Menghadapi Banjir
Mitigasi untuk menghadapi banjir secara terpadu untuk setiap warga perorangan sangat diperlukan. Jika terjadi banjir pada kategori sedang, tidak dilakukan evakuasi. Namun, jika ketinggian air telah mencapai 1,5 – 2 m maka perlu beberapa langkah untuk menghadapinya (Mistra, 2007).
1. Untuk rumah tidak bertingkat
Apabila lokasi rumah berada di wilayah yang sering langganan banjir maka perlu dilakukan beberapa persiapann untuk rumah satu lantai yaitu:
a. Merombak ruang rangka atap dan jadikan sebagai tempat tinggal darurat
b. Buat bukaan pada atap genteng yang dapat berfungsi sebagai jendela atau pintu keluar penyelamatan diri bila terlihat permukaan air terus meninggi
c. Buat lubang tangga darurat pada plafon di tempat tertentu untuk akses naik ke atas atap.
(34)
d. Buat alat pemantau ketinggian air (patok pengamat banjir). Patok ini ditempatkan dekat lubang tempat naik ke ruang bawah atap.
e. Buat instalasi listrik darurat, terpisah dari instalasi PLN di atas ruang atap yang dijadikan tempat tinggal.
f. Tempatkan generator secara khusus dan dibuatkan cerobong asap untuk pembuangan zat beracun (CO²) hasil pembakaran bahan bakar.
g. Buat rakit darurat lengkap dengan dayung dua buah. Rakit dibuat dari bahan lembaran Styrofoam yang disusun untuk mengevaluasi anggota keluarga jika ketinggian air terus meninggi. Rakit ini juga dapat digunakan untuk membawa barang-barang elektronik yang ringan.
h. Siapkan pelampung darurat untuk proses penyelamatan diri.
i. Malam ini dapat di gunakan lampu minyak goreng bekas (jelantah). Sebelum banjir, minyak bekas ini dikumpulkan dan disimpan dalam botol dan digunakan untuk kondisi darurat saja.
j. Buat sebuah tempat atau wadah yang kuat dan tidak mudah dimasuki air untuk menyimpan barang-barang berharga, seperti ijazah, surat tanah, dan lain-lain.
k. Siapkan kantong plastik besar untuk mengamankan pakaian atau barang lain yang tidak mungkin dibawa mengungsi dan terpaksa ditinggal di dalam rumah. Barang-barang ini pasti akan terendam dan selama terendam tetap aman tidak terkena air. Jika terendam pun tidak terlalu parah dan mudah
(35)
dibersihkan.
l. Buat alat penjernih atau penyaring air sederhana untuk mengambil air banjir, lalu disaring. Air ini dapat dipakai untuk mencuci dan mandi. Caranya, gunakan tawas dan kaporit untuk mempercepat pengendapan lumpur dan membunuh bakteri.1 sendok teh dan setengah sendok teh untuk 20 liter air. Masukkan tawas yang telah ditumbuk halus dan kaporit kemudian aduk sampai merata.
m. Jika sulit mendapatkan air bersih untuk minum, simpan air mineral kemasan dalam dus atau air mineral yang dikemas dalam sebuah galon.
n. Sediakan obat-obatan seperti obat gosok, obat sakit kepala, obat diare, obat masuk angin, obat batuk, obat flu, dan obat-obatan pribadi.
o. Siapkan bendera merah putih, bendera merah, dan tiang bendera dari bambu. Bendera merah-putih adalah symbol siaga satu dan rumah masih ada penghuninya. Jika ketinggian air semakin tinggi (dapat dilihat dari pemantauan patok pengamat banjir), naikkan bendera merah di bawah bendera merah-putih, artinya penguhi rumah dalam keadaan SOS (Save Our Soul). Dengan tanda ini diharapkan tim evakuasi, bendera harap dilepas. Para relawan yang membawa makanan dan minuman tidak perlu berteriak-teriak melalui pengeras suara, tetapi langsung mendatangi dan mendata jumlah keluarga lalu membagikan sembako. Itulah gunanya bendera sebagai tanda ada kehidupan di rumah yang terendam banjir.
(36)
p. Mencatat dan menyimpan nomor telepon posko banjir dan posko tim evakuasi yang terdekat di wilayah banjir.
2. Untuk rumah bertingkat
Persiapan yang dilakukan sama seperti pada rumah yang tidak bertingkat. Perombakan ruang di bawah atap tidak perlu dilakukan jika ketinggian air tidak menyentuh lantai dua. Masalah yang dihadapi biasanya terletak pada pengadaan air bersih untuk keperluan mencuci dan memasak.
Keluarga apabila akan tetap bertahan di dalam rumah, perlu diperhatikan kekuatan struktur rumah. Bangunan melawan tekanan derasnya air yang mengalir Jika strukturnya aman tidak masalah, tetapi jika konstruksinya mengkhawatirkan, dianjurkan untuk segera meninggalkanrumah.
Adapun menurut Bakornas (2006), tindakan kesiapsiagaan dirumah tangga adalah sebagai berikut :
a. Menyiapkan tas siaga berisi bebagai keperluan dan dokumen penting seperti ijazah, sertifikat tanah, BPKB, buku nikah, obat-obatan, dan senter. Tas siaga tersebut disimpan pada temapt yang mudah dijangkau, sehingga ketika bencana datang tiba-tiba dan harus meninggalkan rumah maka barang-barang tersebut dapat dibawa dengan mudah dan cepat.
b. Naikkan alat-alat listrik, barang berharga, buku dan barang yang mudah rusak bila terkena air ke tempat yang tinggi (melebihi ketinggian maksimum banjir) bagi penduduk yang tinggal di kawasan banjir.
(37)
c. Mempelajari peta daerah rawan dari bencana.
d. Mempelajari lokasi aman dan jalur aman untuk melakukan evakuasi jika terjadi bencana.
e. Mempelajari P3K untuk menolong diri sendiri atau korban seandainya ada cedera.
f. Menempatkan kunci rumah di tempat yang aman, mudah diambil dan diketahui (disepakati) oleh semua anggota keluarga.
g. Menulis nomor-nomor telepon penting seperti nomor polisi, PAM, PLN, PMI, LSM, Pemadam kebakaran dan menyimpannya kedalam memori handphone atau dalam catatan penting lainnya.
h. Menempatkan handphone dan alat tanda bahaya di tempat yang mudah dijangkau ketika menyelamatkan diri.
i. Pemasangan tanda bahaya, yakni jalur-jalur yang tidak dapat digunakan pada saat bencana.
Sedangkan persiapan menghadapi banjir dirumah tangga yang dapat dilakukan oleh kepala keluarga menurut Yulaelawati (2008), seperti di bawah ini: a. Pastikan memiliki persiapan pelampung yang cukup untuk anggota keluarga. b. Pastikan memiliki bekal makanan dan persiapan obat-obatan yang memadai. c. Miliki nomor konteks ketua RT/RW dan instansi penting lainnya
d. Simpanlah dokumen-dokumen dan surat-surat penting dalam plastik atau kotak tahan air
(38)
e. Titipkan photo copy dokumen-dokumen dan surat-surat tersebut di tempat kerabat atau orang terpecaya yang tinggal di daerah yang tidak terkena banjir. f. Segera naikkan alat-alat atau kabel-kabel listrik sebelum terkena banjir yang
lebih tinggi yang tidak terjangkau oleh air banjir.
g. Tutup kran saluran air utama yang mengalir ke dalam rumah h. Selalu mendengar informasi tentang perkembangan cuaca
i. Ikuti perintah evakuasi yang dikeluarkan oleh pemerintah atau petugas bencana yang ada.
2.1.3 Tindakan-Tindakan yang Dilakukan Pasca Banjir
Masyarakat direpotkan setelah banjir reda dengan kondisi rumah yang kotor, bau, dan berantakan. Membersihkan rumah pasca banjir menurut Mistra (2007) adalah :
1. Banjir sudah reda
Rumah dapat dibersihkan jika banjir sudah reda. Artinya, tidak ada banjir susulan lainnya. Informasi mengenai kemungkinan ada atau tidaknya banjir susulan dapat ditanyakan pada pihak-pihak terkait, seperti pemda dan istitusi terkait lainnya. Cara ini untuk mengantisipasi dan menghindari hal-hal yang tidak dinginkan. 2. Gunakan alat pengaman
Alat pengaman yang dimaksud adalah sepatu boot, sarung tangan, dan masker. Alat-alat ini untuk melindungi penyakit saat membersihkan rumah akibat banjir. 3. Padamkan listrik
(39)
Oleh karena dalam membersihkan rumah menggunakan air dalam jumlah banyak, sebaiknya benda-benda kelistrikan di dalam rumah dipadamkan. Jika perlu, sikring juga dimatikan. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa air dapat menghantarkan bahaya jika dinyalakan saat rumah dibersihkan menggunakan air. 4. Maksimalkan udara masuk
Agar udara keluar dari dalam rumah dan udara bersih masuk, sebaiknya buka semua ventilasi udara, mulai dari jendela, pintu, dan ventilasi lainnya. Aliran udara dan sinar matahari yang masuk akan mengurangi kadar kelembaban dalam rumah. Cara ini akan mencegah timbulnya jamur dan membuat udara lebih bersih. 5. Buang semua makanan yang terkena air banjir
Biasanya banjir membawa“oleh-oleh” berupa sampah yang berceceran. Bersihkan semua sampah tersebut dan makanan yang terkena air banjir karena dikhawatirkan terkontaminasi kuman-kuman penyakit.
6. Keluarkan semua perabotan rumah
Agar pembersihan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, sebaiknya barang- barang perabotan rumah dikeluarkan terlebih dahulu. Selain itu, perabotan yang basah dapat dijemur sehingga bisa kering seperti semula. Setelah barang dikeluarkan, bersihkan lantai dari lumpur dengan menggunakan serokan karet. 7. Cat dinding rumah
Banjir biasanya meninggalkan jejak di dining, terlebih lagi jika dinding berwarna putih. Jika kotoran yang menempel sedikit, dapat dibersihkan dengan lap basah.
(40)
Akan tetapi banyak, dinding dapat di cat ulang lagi. 8. Sterilkan dengan desinfektan
Walaupun seluruh ruangan sudah dibersihkan dari segala macam kotoran dan noda bukan berarti terbebas dari kuman dan bakteri. Oleh karena itu, lakukan penyemprotan dengan desinfektan. Desinfektan adalah zat pembunuh kuman dan bakteri yang banyak digunakan untuk mensterilkan suatu ruangan.
Menurut Depkes RI (2006), tindakan-tindakan pasca banjir yang dapat dilakukan keluarga adalah:
1. Bersihkan lingkungan tempat tinggal, kumpulkan dan buanglah sampah yang terbawa arus air ke dalam lubang dihalaman rumah/atau ketempat sampah. Bersihkan lantai & dinding didalam rumah bersihkan dengan cairan desinfektan. 2. Kuburlah lubang-lubang bekas air.
3. Air sumur atau air keran yang berpotensi terkontaminasi, sebaiknya tidak digunakan dulu, meskipun akan dimasak/ direbus dulu sebelum digunakan. Check dahulu air yang akan digunakan secara fisik (warna, rasa, bau dll), sampai dipastikan bahwa air tersebut layak untuk diminum.pake pelindung yang beralas keras (Sandal/sepatu) apabila berjalan dalam genangan air
4. Tingkatkan daya tahan tubuh, minumlah supplemen vitamin, konsumsilah makanan yang bergizi dan teratur, istirahatlah yang cukup.
(41)
6. Cucilah sayuran terlebih dahulu sebelum dimasak, hindari mengkonsumsi sayuran yang telah terkontaminasi. Tutuplah makanan yang akan disajikan.
7. Obati luka yang terbuka dengan plester tahan air
8. Cucilah tangan dengan sabun sebelum atau sesudah makan
9. Laranglah anak anak anda bermain didaerah banjir, bila melakukannya mandi dan cuci tangan yang bersih.
10. Hindari tempat persembunyian tikus, dengan menutup lobang tikus yang ada. Adapun menurut Yulaelawati (2008), tindakan-tindakan pada saat terjadinya banjir yang dapat dilakukan masyarakat/perorangan adalah:
1. Periksa apakah diri anda atau orang disekitar anda terluka, beri pertolongan pertama jika perlu.
2. Ingat untuk menolong orang yang memerlukan bantuan khusus, seperti bayi, lanjut usia dan orang cacat.
3. Tidak minum air kecuali setelah di masak, dan tidak menggunakan air yang tercemar untuk mencuci alat-alat dapur dan pakaian.
4. Tidak membiarkan anak-anak bermain di air banjir 5. Dengarkan informasi darurat
6. Ikuti rencana darurat di lingkungan bencana anda.
Menurut Efendi (2009), tindakan pada prabencana dalam menghadapi bencana meliputi hal-berikut:
(42)
2. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga lainnya.
3. Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa persediaan makanan dan penggunaan air yang aman.
4. Perlu mencatat beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulan.
5. Memberikan informasi tempat alternatif penampungan atau posko-posko bencana.
6. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa seperti pakaian seperlunya, radio portable, senter beserta baterai dan lain-lain
2.2 Bencana Banjir 2.2. 1. Pengertian Banjir
Bencana adalah sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007).
Banjir mengandung pengertian aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang
(43)
semakin meninggi, mengalir dan melimpasi muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air. Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Mistra, 2007)
Menurut Dibyosaputro (1998) Banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi di alam ini dimana air mengenang lahan- lahan rendah di sekitar sungai sebagai akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga meluap keluar alur melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya.
Menurut Bakornas PB (2007), berdasarkan sumber airnya, air yang berlebihan tersebut dapat dikategorikan dalam empat kategori:
1. Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase buatan manusia
2. Banjir yang disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai.
3. Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti bendungan, bendung, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir.
4. Banjir akibat kegagalan bendungan alam atau penyumbatan aliran sungai akibat runtuhnya/longsornya tebing sungai. Ketika sumbatan/bendungan tidak dapat menahan tekanan air maka bendungan akan hancur, air sungai yang
(44)
terbendung mengalir deras sebagai banjir bandang. 2.2.2. Faktor-faktor Penyebab Banjir
Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal, sehingga sistim pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut sehingga meluap. Kemampuan/daya tampung sistem pengaliran air dimaksud tidak selamanya sama, tetapi berubah akibat sedimentasi, penyempitan sungai akibat phenomena alam dan ulah manusia, tersumbat sampah serta hambatan lainnya.
Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) juga menyebabkan peningkatan debit banjir karena debit/ pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Disamping itu berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir.
Pada daerah permukiman yang padat bangunan sehingga menyebabkan tingkat resapan air kedalam tanah berkurang. Pada curah hujan yang tinggi sebagian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk kedalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir (Ma’mun, 2007).
(45)
Faktor penyebab banjir menurut Yulaelawati (2008), dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) faktor yaitu:
1. Pengaruh aktivitas manusia, seperti:
a. Pemanfaatan daratan banjir yang digunakan untuk pemungkiman dan industri. b. Pengundulan hutan dan yang kemudian mengurangi resapan pada tanah dan meningkatkan larian tanah permukaan. Erosi yang terjadi kemudian bisa menyebabkan sedimentasi di terusan-terusan sungai yang kemudian mengganggu jalannya air.
c. Permukiman di daratan banjir dan pembangunan di daerah daratan banjir dengan mengubah saluran-saluran air yang tidak direncanakan dengan baik. Bahkan tidak jarang alur sungai diurung untuk dijadikan permungkiman. Kondisi demikian banyak terjadi di perkotaan di Indonesia. Akibatnya adalah aliran sungai saat musim hujan menjadi tidak lancar dan menimbulkan banjir.
d. Membuang sampah sembarangan dapat menyumbat saluran-saluran air, terutama di perumahan-perumahan.
2. Kondisi alam yang bersifat tetap (statis) seperti:
a. Kondisi geografi yang berada pada daerah yang sering terkena badai atau siklon, misalnya beberapa kawasan di Bangladesh kondisi topografi yang cekung, yang merupakan daratan banjir, seperti Kota Bandung yang berkembang pada Cekungan Bandung.
(46)
b. Kondisi alur sungai, seperti kemiringan dasar sungai yang datar, berkelok- kelok, timbulnya sumbatan atau berbentuk seperti botol (bottle neck), dan adanya sedimentasi sungai membentuk sebuah pulau (ambal sungai)
3. Peristiwa alam yang bersifat dinamis, yaitu: a. Curah hujan yang tinggi
b. Terjadinya pembendungan atau arus balik yang sering terjadi di muara sungai atau pertemuan sungai besar.
c. Penurunan muka tanah atau amblesan, misal di sekitar di sekitar Pantai Utara Jakarta yang mengalami amblesan setiap tahun akibat pengambilan air tanah yang berlebihan sehingga menimbulkan muka tanah menjadi lebih rendah. pendangkalan dasar sungai karena sedimentasi yang cukup tinggi. Faktor pertama merupakan dampak langsung dari ulah tangan-tangan manusia yang mencari kenyamanan hidup dengan mengeksploritasi, membahayakan, dan merusak lingkungan baik di darat, laut dan di udara. Sementara faktor kedua dan ketiga; alam yang statis dan faktor peristiwa alam yang dinamis, merupakan tantangan bagi manusia untuk dapat berusaha mencari alternatif-alternatif yang dapat mengurangi terjadinya banjir dan dampaknya.
2.2.3. Dampak Bencana Banjir
Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek dengan tingkat kerusakan berat pada aspek-aspek berikut ini:
(47)
tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah dan penduduk terisolasi.
2. Aspek Pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan.
3. Aspek Ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat.
4. Aspek Sarana/Prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.
5. Aspek Lingkungan, antara lain berupa kerusakan eko-sistem, obyek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesiapsiagaan Rumah Tangga 2.3.1 Faktor Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan objek yang sangat penting untuk terbentuknya prilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Soenaryo, 2002)
(48)
terjadi setelah seorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif adalah :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pemgetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahanyang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek.
(49)
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam bentuk konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,tetapi masih dalam suatu stuktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan dan mengelompokkan.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
(50)
Menurut Nasution (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam masyarakat antara lain:
1. Sosial Ekonomi
Lingkungan Sosial akan mendukung tingginya pengetahuan sosial. Bila ekonomi baik, tingkat pendidikan tinggi maka pengetahuan akan tinggi juga. 2. Kultur (Budaya dan Agama)
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasi yang baru akan sering sesuai atau tidak dengan budaya yang ada atau agama yang dianut.
3. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal baru dan akan mudah menyesuaikan dengan hal baru tersebut.
4. Pengalaman
Pengalaman disinii berkaitan dengan umur dan pendidikan individu. Pendidikan yang tinggi maka pengalaman akan lebih luas. Sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.
Menurut Triutomo (2007), di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil
(51)
langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya.
Pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana (Priyanto, 2006).
Riset yang dilakukan di New Zealand memperlihatkan bahwa perasaan bisa mencegah bahaya gempa bumi dapat ditingkatkan dengan intervensi melalui pengisian kuesioner pengetahuan tentang gempa bumi yang di follow up dengan penjelasan-penjelasan yang ditujukan untuk menghilangkan gap atau miskonsepsi pengetahuan tentang gempa bumi. Hasil riset menunjukkan bahwa pengetahuan partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Dengan pengetahuan akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik dari gempa bumi atau bencana lain (Priyanto, 2006)
Menurut Ma`mun (2007) pengetahuan lingkungan hidup perlu diberikan kepada anak-anak dan keluarga sehingga mereka belajar mencintai alam, contoh menanam pohon dirumah, tidak membuang sampah kesungai, tidak tinggal dibantaran sungai karena dapat menimbulkan permasalahan banjir dan lain-lain. 2.3.1.1. Pengetahuan tentang Kearifan Lokal
Menurut Dekens (2007), Pengetahuan tentang kearifan lokal yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berperan meningkatkan kapasitas mereka untuk
(52)
mengurangi risiko bencana mencakup, sekurang-kurangnya, aspek-aspek berikut ini:
1. Pengetahuan sejarah dan lingkungan: Masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang sejarah dan sifat banjir di daerah mereka sendiri dengan mengamati dan mengalami sendiri peristiwa banjir, dengan dasar pengamatan sehari-hari atas lingkungan di sekitar mereka, adanya ikatan erat dengan lingkungan hidup agar dapat bertahan hidup, dan akumulasi pemahaman tentang lingkungan hidup yang disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Ini penting karena pengalaman dan pemahaman masa lalu tentang banjir pasti akan mempengaruhi pengalaman dan pemahaman di masa kini. Salah satu contoh berkaitan dengan kapasitas orang untuk mengamati lingkungan sekitarnya di Chitral Pakistan. Di sana, salah satu strategi beradaptasi dengan banjir bandang diperoleh dengan dasar pengetahuan lokal, yakni kemampuan untuk membaca lingkungan alam, dan karenanya membuat interpretasi tentang dimana tempat membangun, atau tidak membangun, rumah, kantor, dsb. Akibatnya, permukiman di Chitral didirikan di daerah yang relatif aman kendati risiko sangat tinggi akibat banjir bandang dan bencana alam lainnya di distrik itu.
2. Pengetahuan organisasional: Kemampuan merencanakan, mengawasi, dan menilai didasari oleh pelbagai transaksi, persepsi, kepercayaan, dan pengalaman masa lalu tentang banjir. Orang sering dapat mengantisipasi banjir dengan cara mengamati tanda-tanda peringatan alam (misalnya
(53)
perubahan warna air, perubahan awan).Mereka juga dapat mengidentifikasi tempat-tempat mana saja yang aman bagi manusia dan ternak peliharaan, serta pengaturan waktu (misalnya, jika tiba saatnya untuk memasukkan kayu bakar dan makanan lebih dulu, singkirkan harta milik yang berharga, lalu tinggalkan rumah).
3. Pengetahuan tentang proyek pembangunan: Kepercayaan orang tentang akan adanya pihak-pihak dari daerah, negara, atau internasional yang akan mengulurkan tangan ketika mereka mengalami bencana akan berpengaruh pada bagaimana orang akan menanggapi keterlibatan pihak-pihak itu.
4. Pengetahuan teknis: Contoh strategi teknis sebagai upaya beradaptasi dengan banjir antara lain langkah-langkah yang berkaitan dengan pembangunan rumah, langkah perlindungan dinding, gudang atas, air minum, dan transportasi, serta langkah-langkah yang diambil untuk mengalihkan aliran sungai. Sebagai contoh, di Terai Timur, Nepal, orang menerapkan berbagai strategi sederhana untuk mendirikan rumah (misalnya meninggikan undakan, memperkuat dan memperkokoh dinding dengan timbunan lumpur, pagar bambu, dsb.), membangun gudang penyimpanan makanan, atau membangun lantai untuk menghindarkan barang-barang kecil, makanan, ternak kecil, dan juga manusia dari air banjir.
5. Pengetahuan non-teknis: Contoh strategi adaptasi yang bersifat non teknis antara lain tindakan yang diambil berkaitan dengan mobilitas ruang dan sosial (misalnya, Kemampuan untuk mengandalkan dukungan sanak saudara dan
(54)
tetangga, strategi-strategi diversifikasi usaha), keamanan pangan, penyelenggaraan sistem keuangan mikro, pengelolaan sumber daya alam (misalnya, peraturan tentang menggembalakan ternak dan penebangan pohon, reorganisasi pola tanam dan pengolahan tanah, penerapan strategi baru bercocok tanam semisal menanam di sepanjang sungai, atau menanam sayuran di tepian sungai untuk mengurangi dampak banjir, kepercayaan dan sikap batin terhadap perubahan sehingga mampu belajar dari kesalahan masa lampau dan dari peristiwa bencana banjir, serta terbangunnya relasi-relasi institusional dengan pihak di luar lingkaran masyarakat setempat).
6. Strategi komunikasi: Ini mencakup komunikasi secara lisan maupun tertulis tentang peristiwa banjir di masa lampau maupun tentang yang akan datang, serta adanya sistem peringatan dini (misalnya, siulan, teriakan, lari menuruni bukit).
Semua orang mempunyai pengetahuannya sendiri, yang bersifat keseharian dan lokal, tentang lingkungan sekitar mereka. Tingkat pengetahuan lokal juga bergantung pada sifat suatu masyarakat (misalnya, masyarakat migran mempunyai pengetahuan lebih sedikit daripada masyarakat yang telah tinggal di suatu daerah secara turun-temurun. Namun, kelompok masyarakat nomad bisa jadi mempunyai pengetahuan lokal tentang lebih dari satu daerah saja).
Orang-orang yang dianggap ahli dalam kelompok masyarakat dan beberapa kelompok sosial tertentu juga memiliki pengetahuan spesialis lokal, yakni mereka memiliki keahlian penting tertentu yang tidak diketahui semua orang dan yang dapat
(55)
bermanfaat bagi kesiapsiagaan menghadapi bencana. Contohnya antara lain masyarakat nelayan yang setiap hari hidup berdekatan dengan air. Dengan demikian, tak aneh jika mereka mahir berenang dan peka terhadap perubahan air (ICIMOD, 2007)
Kelompok lainnya lagi mungkin memiliki pengetahuan tentang perkayuan dan anyaman bambu, keterampilan yang berguna dalam pengerjaan meninggikan lantai demi menghindari banjir seperti yang ditemukan di Terai, Nepal. Beberapa pemimpin adat disegani dan memiliki keterampilan berkomunikasi yang membuat mereka mampu berbicara di depan publik dan menyampaikan pesan peringatan (misalnya “harap Anda meninggalkan rumah sekarang juga!”) yang akan dipercayai dan diikuti semua penduduk (ICIMOD, 2007)
Masyarakat di Chitral juga telah menerapkan strategi-strategi untuk meningkatkan ketahanan mereka terhadap serangan banjir bandang. Sebagai contoh, penduduk setempat telah mampu mempelajari tanda-tanda awal akan terjadinya banjir bandang yang merusak. Tanda-tanda itu semisal warna, bau, dan ciri-ciri air sungai pegunungan, disamping juga kemampuan meramalkan berdasarkan konstelasi bintang. Pada tahun 2005, sebanyak 106 rumah di kampung Brep hancur karena Luapan Banjir Danau Es (Glacial Lake Outburst Flood). Kendati demikian, tidak ada korban jiwa satu pun karena penduduk berhasil menafsirkan perilaku aliran sungai sebagai pertanda awal, dan seisi kampung berhasil menyelamatkan diri tepat pada waktunya.
(56)
Pengetahuan tentang kesiapsiagaan menghadapi banjir diwariskan secara lisan dengan cara belajar sambil melakukan (learning by doing), setiap hari mengamati keadaan alam sekitar, menceritakan dongeng, dan internalisasi praktik-praktik tertentu secara turun-temurun. Penyebaran pengetahuan ini berlangsung pada dua tingkatan: di antara anggota masyarakat misalnya, peringatan dini tentang akan datangnya banjir, dan di antara generasi misalnya, menyampaikan pengetahuan dan pelajaran yang dipetik dari peristiwa banjir dimasa lalu (Dekens, 2007)
Pada masyarakat yang banyak mengandalkan tradisi lisan, peristiwa masa lampau, termasuk bencana banjir, ditanamkan ke dalam ingatan melalui cerita dongeng, lagu, syair, peribahasa, kegiatan dan upacara ibadat, ritual, dan sebagainya. Sebagai contoh, biasanya, lagu dan puisi merupakan bagian penting dalam kebudayaan Nepal dan Terai. Salah satu contohnya adalah peribahasa: “Ular dan sungai tidak pernah berjalan lurus”. Bentuk sungai di Terai Timur, Nepal, bisa dibandingkan dengan gerak ular, yang merujuk pada sifat sungai di daerah itu: saluran-saluran air sangat tidak stabil, setiap saat bisa berubah arah dan mengubah keadaan (ICIMOD, 2007).
Beberapa lagu yang dikumpulkan dalam studi kasus di Nepal seluruhnya bercerita tentang banjir, sementara lainnya menyebut soal banjir di samping masalah-masalah lain yang dihadapi penduduk. Pada beberapa kasus, lagu dan peribahasa menjadi gudang simpanan (atau bisa juga dilihat sebagai relay, penerus) atas peristiwa banjir di masa lampau dan dapat membantu merangsang pembelajaran, ingatan, dan kreativitas penduduk. Lagu dan peribahasa juga berperan dalam
(57)
penyampaian strategi penanganan bencana, membentuk pengetahuan bersama, dan membagikan pemahaman yang sama tentang perubahan sehubungan dengan peristiwa banjir yang kadang sering kadang jarang (ICIMOD, 2007)
Lagu dan peribahasa juga dapat membantu membangun kesadaran berkomunitas dan solidaritas di dalam kampung dan/atau dalam beberapa kelompok yang terkait. Para penyanyi dan pengarang lagu setempat adalah tokoh kunci pembawa pengetahuan dan agen perubahan yang memainkan peran vital dalam pembentukan kesadaran kelompok masyarakat. Ibadat, sesaji, dan upacara tertentu membantu mereka dalam memahami dan mengingat kejadian banjir di masa lampau serta meredakan kegelisahan akan bahaya bencana di masa mendatang. Sebagai contoh, masyarakat Kalash, salah satu etnik minoritas di Distrik Chitral, Pakistan, menyelenggarakan upacara bersama yang disebut lavak natek yang agaknya menstimulasikan unsur-unsur peristiwa banjir melalui gerak-gerik dan adegan simbolik (misalnya. berlari menuruni bukit sambil berteriak) sebagai peristiwa katarsis bagi seluruh kelompok masyarakat (Dekens, 2007)
Masyarakat Aceh memiliki sejumlah kearifan lokal dalam penanggulangan bencana. Diantaranya, masyarakat Aceh memiliki institusi adat yang bertangung jawab mengelola lingkungan dan memastikan tidak ada pengrusakan yang bisa menimbulkan bencana, seperti institusi adat: Ulee Seneuboek, Ketuha Uteun yang menjaga pengelolaan hutan dalam pemukiman mereka dan Panglima Laot yang bertanggung jawab dalam mengatur penggunaan sumberdaya laut dan menjaga kelestarian alam laut (CSO-NAD, 2007).
(58)
Beberapa orang yang dituakan di desa mampu memprediksi lebih akurat tentang waktu terjadinya banjir, sehingga musim cocok tanam disesuaikan untuk menghindari bersamaan dengan datangnya banjir. Pengetahuan ini belakangan semakin hilang di desa-desa, terutama pasca tsunami terjadi perubahan besar pada kondisi alam, sehingga ilmu tradisonal yang dimiliki oleh masyarakat di desa-desa di Aceh sudah sulit memperkirakan tanda-tanda alam (CSO-NAD, 2007).
2.3.2. Sikap
Menurut Notoadmodjo (2005), Sikap merupakan juga respons tertutup seseorang terhadap simulasi atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu (Sunaryo, 2004)
Menurut Notoadmodjo (2005), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok yaitu: Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek; Kehidupan emosional
(59)
atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh, dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Sedangkan komponen perilaku sikap adalah maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Dari atasan-atasan sikap menurut (Krech et al., 1982), (Cambell, 1950), Allpor, 1954), (Cardno, 1955) dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan presdiposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Menurut Notoatmodjo (2005) sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni: (1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek; (3) kecenderungan untuk bertindak (tred to behave). Ketiga komponen ini secara
(60)
bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap berita bencana yaitu terlihat dari kesediaan dan perhatiaannya terhadap berita di media serta seminar.
2. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan dalam berdiskusi mengenai suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang petugas yang mengajak petugas atau pihak lain untuk menilai resiko bencana yang ada didaerah masing-masing serta melakukan mitigasi terhadap resiko bencana tersebut.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek.
(61)
Sikap pada fase preparedness, berbentuk adanya perilaku yang berlebih pada masyarakat tersebut karena minimnya informasi mengenai cara mencegah dan memodifikasi bahaya akibat bencana jika terjadi. Berita yang berisi hebatnya akibat bencana tanpa materi pendidikan seringkali membuat masyarakat menjadi gelisah dan memunculkan tindakan yang tidak realistis terhadap suatu isu. Menumbuhkan sikap dan pengetahuan dalam menghadapi bencana ini semakin menjadi bagian penting khususnya di negara yang seringkali dilanda bencana seperti Indonesia (Priyanto, 2006).
Sikap yang baik untuk mencegah banjir yaitu: tidak membuang sampah/ limbah padat ke sungai, saluran dan sistem drainase, tidak membangun jembatan dan atau bangunan yang menghalangi atau mempersempit palung aliran sungai, tidak tinggal dalam bantaran sungai; tidak menggunakan dataran retensi banjir untuk permukiman atau untuk hal-hal lain diluar rencana peruntukkannya, menghentikan penggundulan hutan di daerah tangkapan air, menghentikan praktek pertanian dan penggunaan lahan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah konservasi air dan tanah (Bakornas PB, 2006).
Menurut Yusuf (2005), ada empat faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap; (1) faktor pengalaman khusus, (2) faktor komunikasi dengan orang lain, (3) faktor modal yaitu dengan melalui mengimitasi, (4) faktor lembaga sosial (Instutional) yaitu sumber yang mempengaruhi. Perubahan sikap dipengaruhi (1) pendekatan teori belajar, (2) pendekatan teori persepsi, (3) pendekatan teori konsistensi, (4) perdekatan teori fungsi.
(1)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Gampong Mesjid Tuha adalah wilayah yang sering terjadi banjir, karena berada di kawasan dataran rendah dan dialiri oleh sungai, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 565 KK yang tersebar di 3 dusun yaitu: Dusun Mesjid Tuha 385 KK, Dusun Lhoknga 96 KK, Dusun Dayah U Paneuk 84 KK.
Pengetahuan Kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha dikategorikan baik, dan kurang dimana sebagian besar pengetahuan berada pada kategori baik yaitu 46 orang (54,1%), pada kategori kurang 39 orang (45,9%). Berdasarkan uji statistik variabel pengetahuan berpengaruh terhadap kesiagsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana banjir dengan nilai p = 0,008.
Sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha dikategorikan positif dan negatif dimana sebagian besar sikap berada pada kategori positif yaitu 43 orang (50,6%), dan pada katagori negatif 42 orang (49,4%). Berdasarkan uji statistik variabel sikap berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah dalam menghadapi bencana banjir dengan nilai p = 0,007. Variabel sikap merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir berdasarkan uji regresi
(2)
Kesiapsiagaan rumah tangga di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga yang tidak siap menghadapi banjir yaitu sebesar 38 responden (44,7%), dan rumah tangga yang siap menghadapi banjir hanya 47 KK (55,3%) .
6.2. Sar an
Penulis mengharapkan kepada kepala keluarga dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi banjir di Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya hendaknya:
1. Kepala keluarga memiliki sikap positif (merespon, menghargai, dan bertanggung jawab) dalam kesiapsiagaan rumah tangga, sehingga dapat meminimalkan kerugian dan korban banjir.
2. Kepala keluarga supaya memiliki dan meningkatkan pengetahuan tentang bencana khususnya banjir melalui pelatihan-pelatihan dan simulasi bencana.
3. Pemerintah Gampong Mesjid Tuha supaya memfasilitasi masyarakatnya untuk meningkatkan kesiapsiagaan rumah tangga untuk menghadapi banjir berupa dukungan fasilitas dan dana dalam pelatihan dan simulasi bencana.
4. Pemerintah kabupaten Pidie Jaya supaya peduli dengan banjir yang terjadi di Gampong Mesjid Tuha yaitu dengan memberdayakan kepala keluarga melakukan upaya pencegahan (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (emergency), sampai dengan pemulihan pasca banjir
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Azwar. 2007. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Sinar. Bakornas PB. 2007. Pedoman Penanggulangan Banjir Tahun 2007-2008. Jakarta. Bappenas. 2007. Peluncuran Buku Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Resiko Bencana Tahun 2006-2009. Jakarta.
Carter, W. Nick. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. Manila: ADB
CSO – NAD. 2007. Laporan Kajian Strategis Program Civil Society Organization (CSO). Jakarta.
Depkes. 2006. Pedoman Penanggulangan Banjir. Jakarta.
Dekens, Julie. 2007. Pengetahuan Lokal tentang Kesiapsiagaan dalam menghadapi Banjir: Contoh-contoh dari Nepal dan Pakistan. Jakarta.
. 2007. Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan. depkes.org.
. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta.
Dibyosaputro. 1998. Penanggulangan Bencana Banjir, Jakarta.
Efendi, Ferry, Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas, Teori dan Praktik Dalam Keperawatan. Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Green, Lawrence, 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach. The John Hopkins Univercity, Mayfielt Publishing Co
Hastono, S.P. (2001) Analisis Data, Modul, Jakarta, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Hosmer. D.W,. Lemeshow, S. (1997) Applied Logistik Regression, Massachusetts, A Wiley Interscience Publication.
(4)
ICIMOD, 2007. The Snake and the River Don’t Run Straight. Local Knowledge on Disaster Preparedness in the Eastern Terai of Nepal and Herders of Chitral. Local knowledge on Disaster Preparedness in Chitral District, Pakistan. Khaira Nuswatul, 2010, Pengaruh Pengetahuan, Sikap Dan Pendidikan Kepala
Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Menghadapi Banjir Di Desa Pelita Sagoup Jaya Kecamatan Indra Makmu Kabupaten Aceh Timur, Medan
Kodoatie, Robert dan Roestam. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu: Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami. Yusuf Watampone Press. Jakarta
Kolopaking, Lala M. 2008. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Seminar Nasional Kesiapsiagan Penanggulangan Bencana di Indonesia. Pusat Studi Bencana IPB. Bogor
LIPI – UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
. 2006. Pengembangan Framework Untuk Mengukur Kesiapsiagaan Masyarakat. Jakarta.
Marpaung Ridwan. 2009. Sosial Ekonomi bencana Debris Sungai Jeneberang. Ma’mun. 2007. Mengurai Ancaman Banjir Jakarta. Pustaka Cerdasindo, Jakarta Misra. 2007. Antisipasi Rumah di Daerah Rawan Banjir. Griya Kreasi, Jakarta Mulia, Ricki M. 2005. Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu, Jakarta.
Mulyana, Didik S dan Fredy Chandra. 2007. Perencanaan Simulasi Untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan Komunitas Dalam Menghadapi Bencana, Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas ke V, Makassar, 5 – 8 Oktober 2009
Nasution. 1999. Psikologi Pendidikan. Jakarta.
Nasir, Haedar. 2008. Bencana Dalam Ragam Pandangan (II). Majalah Suara Muhammadiyah
(5)
Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Cetakan Pertama, PT Rineka Cipta, Jakarta
Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (BAKORNAS PB). 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta.
Priyanto. Agus. 2006. Promosi Kesehatan Pada Situasi Emergensi. Edisi 2, Jakarta. PSB UGM. 2008. Reorientasi Pendidikan Kebencanaan Dalam Rangka
Pengurangan Risiko Bencana. Digelar Seminar Nasional Reorientasi Pendidikan Kebencanaan, Yogyakarta.
Purnomo. H, Ronny. S. 2010. Manajemen Bencana Respons dan Tindakan Terhadap Bencana. PT Buku Kita, Jakarta
Rustamaji. 2007. Pedoman Nasional Manajemen Bencana di Indonesia. Gama Media, Yogyakarta
Sarwono. 2004. Prilaku Manusia. Jakarta.
Santoso.S. (2005) Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS Versi 11.5, Jakarta, PT Alex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Singarimbun, Effendi. 1996. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta. Sunaryo. 2002. Psikologi Untuk Keperawatan. Cetakan Pertama,EGC, Jakarta. Susanto. 2006. Disaster Manajemen di Negeri Rawan Bencana. Cetakan
Pertama, PT Aksara Grafika Pratama, Jakarta.
Syamsul, Ma’arif. 2007/2008. Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir. Jakarta. Tohari Adrin.2008. Bencana Alam di Indonersia.Tim Kajian Likuifaksi dan
Sumber Daya Air Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi LIPI, Jakarta.
Triutomo, Sugeng. 2007. Pengenalan Karakteristi Bencana dan Upaya Mitigasi di Indonesia. Edisi II, Bakornas PB, Jakarta
(6)
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Jakarta. UNDP-Indonesia. 2007. Kerangka Kerja Pengurangan Risiko Bencana, Rencana
Aksi Provinsi Nangroe Aceh Darusalam. Jakarta.
Yulaelawati, Ella.Usman Shihab. 2008. Mencerdasi Bencana. PT.Grasindo, Jakarta.