Tinjauan Hukum Tentang Pertimbangan Penuntut Umum Dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Beberapa Orang ( Surat Tuntutan NO.REG/ PER:PDM – 190 / EP.1/Medan/2007 )

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Yayasan Pengayoman, tt. Effendy, Marwan. Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Hamzah, A. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996. ---, dan Irdan Dahlan. Surat Dakwaan. Bandung : Alumni, 1987.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua). Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Husein, Harun M. Surat Dakwaan : Tekhnik Penyusunan, Fungsi dan

Permasalahannya. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana : Kumpulan Kuliah. Balai Lektur Mahasiswa. tt.

Loqman, Loebby. Hukum Acara Pidana Indonesia : Suatu Ikhtisar. Jakarta: Datacom, 1996.

Muchsin, Haji. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana : Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung: Alumni, 2007.

Ranoemihardja, R. Atang. Hukum Acara Pidana. Bandung: Tarsito, tt.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana : Untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung: Mandar Maju, 2003.

Surakhman, R.M, dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara : peranan dan kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.


(2)

Soetomo, A. Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen. Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Peraturan Perundang-undangan :

Soesilo. R, SH. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia, 1994.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Karya Anda, Surabaya, tt.

Internet :


(3)

BAB III

PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT

SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH

Di dalam hukum acara pidana secara garis besar tahapan-tahapan dalam hukum acara pidana dibagi dalam 5 (lima) tahapan, yaitu:

1. Tahap penyidikan (opsporing) dilaksanakan oleh penyidik;

2. Tahap penuntutan (vervolging) dilaksanakan oleh penuntut umum; 3. Tahap mengadili (rechtspraak) dilaksanakan oleh hakim:

4. Tahap melaksanakan putusan hakim (executie) dilaksanakan oleh jaksa; 5. Tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilaksanakan oleh

hakim pengadilan negeri.

Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang kait mengkait antara tahap yang satu dengan tahap selanjutnya yang dilaksanakan oleh subyek pelaksana hukum acara pidana, yang akhirnya bermuara pada tahap pemeriksaan terdakwa dalam persidangan pengadilan (tahap mengadili). Kemudian ketika terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan sebagai tahap mengawasi dan mengamati putusan pengadilan.

Permasalahan yang akan dibahas mengenai pertimbangan penuntut umum dalam membuat surat dakwaan secara terpisah terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang, terletak pada tahap penuntutan. Maka ada baiknya terlebih dahulu menjelaskan tahap penuntutan ini secara ringkas.


(4)

Dalam prakteknya proses penuntutan dibagi menjadi tahap pra-penuntutan dan tahap penuntutan. Akan tetapi hukum acara pidana indonesia yakni KUHAP sendiri memuat kedua tahap ini dalam satu bab saja, adapun bab itu adalah Bab Penuntutan (Bab XV).

a. Tahap pra-penuntutan.

Tahap pra-penuntutan dimulai saat penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik. Dalam waktu tujuh hari penuntut umum/jaksa harus menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap. "Lengkap" artinya bukti-buktinya cukup dan berkasnya disusun menurut KUHAP.29 Kalau penuntut umum berpendapat berkasnya belum lengkap maka penuntut harus mengembalikannya kepada penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Dalam waktu empat belas hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut umum. Sebaliknya, berkas perkara dianggap sudah lengkap dan penyidikan dianggap telah selesai apabila sejak penyerahan berkas tersebut penuntut umum tidak mengembalikannya kepada penyidik. Akan tetapi dalam tahap pra-penuntutan ini ternyata dapat menjadi permasalahan dalam praktik. Tidak ada suatu ketentuan dalam Undang-undang No.81 Tahun 1981 yang mengatur berapa kali berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dalam hal perkara tersebut menurut pandangan penuntut umum belum lengkap.30

29

R.M. Surakhman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara : peranan dan kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. hlm. 35.

30

Moerad B.M, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Bandung: Alumni, 2005. hlm. 195.


(5)

Sementara itu, dalam Pasal 30 (1) e dan penjelasannya Undang-undang tentang Kejaksaan RI (UU No. 16 Tahun 2004) memberi wewenang kepada kejaksaan melakukan penyidikan tambahan, tetapi penyidikan tersebut terbatas pada perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, atau dapat meresahkan masyarakat, dan atau dapat membahayakan keselamatan negara; di samping itu, penyidikan tambahan tersebut harus diselesaikan dalam waktu empat belas hari dan juga tidak dilakukan terhadap tersangka serta memegang prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

b. Tahap penuntutan.

Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa penuntutan dapat dilakukan, ia dalam waktu secepatnya akan membuat surat dakwaan. Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP penuntutan adalah "tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pcngadilan".

Disamping juga sebaliknya, apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan tidak dapat dilakukan penuntutan, karena tidak cukup alasan / bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum membuat surat ketetapan. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila tersangka ditahan wajib segera dibebaskan. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan


(6)

kepada : Tersangka, Keluarga Tersangka, Penasehat Hukum Tersangka, Pejabat Rutan, Penyidik dan Hakim.

Di samping itu Pasal 137 KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan tcrhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dengan melimpahkan perkaranya ke pengadilan. Wewenang eksklusif penuntutan ini sudah lama dijalankan sejak zaman penjajahan Belanda. Oleh karena itu, adalah tugas jaksa untuk memonitor langkah-langkah penyidikan.31

A. Surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan perkara pidana

Jadi wewenang menentukan apakah akan menuntut atau tidak menuntut bukan diberikan kepada polisi, melainkan kepada jaksa.

Rumusan surat dakwaan haruslah sejalan dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan merupakan surat dakwaan yang palsu dan tidak benar. Surat dakwaan yang demikian tidak dapat dipergunakan jaksa menuntut terdakwa. Misalnya, dari hasil dan kesimpulan pemeriksaan penyidikan jelas secara murni terdakwa diperiksa melakukan perbuatan "penipuan" berdasarkan Pasal 378 KUHP. Kemudian dari hasil pemeriksaan penyidikan tersebut penuntut umum merumuskan surat dakwaan "pencurian" berdasarkan Pasal 362 KUHP. Dalam contoh ini rumusan surat dakwaan sudah jauh menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan. Apabila penyimpangan yang seperti ini diperkenankan dalam pelaksanaan penegakan hukum, kita telah menghalalkan penuntut umum berbuat sesuka hati mendakwa seseorang atas sesuatu yang tidak pernah dilakukannya.

31


(7)

Keleluasaan yang demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, dan dapat dianggap merupakan penindasan kepada terdakwa. Jika seandainya terdakwa menjumpai perumusan surat dakwaan yang jauh menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan, terdakwa dapat mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan dimaksud. Demikian juga hakim, apabila menjumpai rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan, dapat menyatakan surat dakwaan "tidak dapat diterima" atas alasan isi rumusan surat dakwaan "kabur" atau obscuur libel, karena isi rumusan surat dakwaan tidak senyawa dan tidak menegaskan secara jelas fakta tindak pidana yang ditemukan dalam pemeriksaan penyidikan dengan apa yang diuraikan dalam surat dakwaan.

Apabila pengadilan menerima pelimpahan berkas perkara, seharusnya pihak pengadilan meneliti secara saksama apakah surat dakwaan yang diajukan tidak menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan. Dan tentang menyimpang atau tidaknya rumusan surat dakwaan dengan hasil pemeriksaan penyidikan dapat diketahui hakim dengan jalan menguji rumusan surat dakwaan dengan berita acara pemeriksaan penyidikan.32

Hal yang penting diperhatikan tentang fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan sidang pengadilan bahwa fungsi surat dakwaan dalam sidang pengadilan merupakan landasan dan titik tolak perneriksaan terdakwa. Berdasarkan rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa. Pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Jika surat dakwaan berisi tuduhan melakukan perampokan pada malam hari

32

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan , Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. hlm. 387.


(8)

dengan mempergunakan senjata yang didahului dengan pembongkaran dan penembakan, maka nantinya sepanjang ruang lingkup itulah sebagai batas-batas pemeriksaan dalam persidangan. Sudah seharusnya persidangan tidak boleh melakukan pemeriksaan terhadap kejahatan dan keadaan lain diluar apa yang didakwakan. Itulah sebabnya undang-undang mewajibkan penuntut umum menyusun rumusan surat dakwaan yang jelas, supaya mudah mengarahkan jalannya pemeriksaan sidang.

Cara dan arah pemeriksaan dalam persidangan harus melingkupi semua pihak, apakah hakim yang memimpin persidangan, penuntut umum yang bertindak sebagai penuntut, terdakwa maupun penasihat hukum yang berperan sebagai pendamping terdakwa, mesti terikat pada rumusan surat dakwaan. Menyimpang dari itu, dianggap sebagai kekeliruan dan perkosaan kepada usaha penegakan hukum serta mengakibatkan perkosaan kepada diri terdakwa karena kepadanya dilakukan pemeriksaan mengenai sesuatu yang tidak didakwakan kepadanya.

Tujuan dan guna surat dakwaan adalah sebagai dasar atau landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan. Hakim di dalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Dengan demikian seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau yang dinyatakan jaksa dalam surat dakwaan. Oleh karena itu, pendekatan perneriksan persidangan harus bertitik tolak dan diarahkan kepada usaha membuktikan tindak pidam yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Penegasan prinsip ini pun sejalan dengan putusan Mahkamah Agung


(9)

tanggal 16 Desember 1976 No. 68 K/KR/1973, yang menyatakat "Putusan pengadilan harus berdasarkan pada tuduhan, yang dalam hal ini berdasarkn Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP".33

1. Bagi Penuntut Umum.

Diharapkan pemeriksaan sidang tidak menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan, yang dapat mengakibatkan pemeriksaan dan pertimbangan putusan menyimpang dari apa yang dimaksudkan dalam surat dakwaan, maka untuk mencapai keadaan itu, sebenarnya diperlukan kesadaran hak dan kewajiban dari masing-masing penegak hukum.

Dengan demikian dapat daimabil kesimpulan bahwa arti pentingnya surat dakwaan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:

Surat dakwaan merupakan dasar penuntutan perkara ke pengadilan dan juga dasar untuk pembuktian dan pembahasan juridis dalam tuntutan pidana (requsitoir); dasar untuk rnelakukan upaya hukum.

2. Bagi Terdakwa/Penasihat Hukum

Surat dakwaan merupakan dasar untuk melakukan pembelaan dengan menyiapkan bukti-bukti kebalikan terhadap apa yang didakwakan oleh penuntut umum.

3. Bagi Hakim

Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan di persidangan dan pedoman untuk mengambil keputusan yang akan dijatuhkan.

33


(10)

B. Pertimbangan Penuntut Umum dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah

Surat dakwaan sangat penting dalam hukum acara pidana, karena menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan. Pada Pasal 141 KUHAP yang menyangkut bentuk surat dakwaan kumulasi, undang-undang dan praktek hukum memberi kemungkinan menggabungkan beberapa perkara atau beberapa orang dalam satu surat dakwaan. Dengan jalan penggabungan tindak pidana dan pelaku-pelaku tindak pidana dalam suatu surat dakwaan perkara atau pelaku-pelakunya dapat diperiksa dalam suatu persidangan pengadilan yang sama.

Berbeda halnya dengan apa yang diatur ketentuan Pasal 141 KUHAP, pertimbangan penuntut umum dalam membuat surat dakwaan terpisah berpedoman pada Pasal 142 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 KUHAP. Ketentuan ini boleh dikatakan merupakan kebalikan ketentuan Pasal 141, pada Pasal 142 KUHAP memberi wewenang kepada penuntut umum untuk melakukan "pemecahan berkas perkara" dari satu berkas menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan berkas perkara ini dulu disebut splitsing. Memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih atau a split trial.34

34

Ibid., hlm. 442.

Menurut M. Yahya Harahap, pakar hukum acara, pemisahan berkas perkara bukan tren yang muncul belakangan. Sejak zaman HIR, itu sudah lazim dipraktekkan di pengadilan. “Pada


(11)

masa lalu, tujuan memecah perkara itu terkait karena kurangnya saksi. Sehingga untuk mencukupi saksi sebagai alat bukti, berkas dipecah”. 35

a. Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara,

Pada dasarnya pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang. Pemecahan berkas perkara ini dapat terjadi pada beberapa perkara yang merupakan tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang, sedangkan saksinya tidak ada selain para pelaku tindak pidana, misalnya kasus pemerkosaan, ataupun korupsi. Untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari pertanggungjawaban hukum pidana, apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, dan dari hasil penyelidikan penuntut umum ragu untuk meneruskan perkara ke pengadilan karena kekurangan bukti dan saksi, maka penuntut umum dapat menempuh kebijaksanaan untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa.

Untuk mencegah terjadinya penerapan yang salah terhadap pemecahan berkas perkara ini maka pada pelaksanaannya ada beberapa ketentuan dalam pemecahan berkas perkara, yaitu :

b. Pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut, terdiri dari beberapa orang. Dengan pemecahan berkas dimaksud, masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain,

c. Pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, 35

website


(12)

tidak lagi dilakukan bersamaan dalam suatu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda.

d. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian. Biasanya “splitsing” dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga diperlukan pemeriksaan baru, baik tersangka maupun saksi.36

C. Pemeriksaan Penyidikan dalam Pemecahan Berkas

Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seseorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Kalau para terdakwa diadili secara terpisah maka diharapkan terdakwa dapat dihadapkan satu sama lainnya untuk menguatkan bukti dan keterangan saksi. Sedangkan apabila mereka digabung dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dijadikan saling menjadi saksi yang timbal balik.

Setelah penuntut umum menentukan berkas perkara harus dipecah maka timbul pertanyaan siapa yang melakukan pemeriksaan penyidikan dalam pemecahan berkas perkara. Seperti yang diterangkan, salah satu urgensi pemecahan berkas perkara menjadi beberapa berkas yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi saksi secara timbal balik di antara sesama mereka. Oleh karena itu jelas diperlukan kembali pemeriksaan

36

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Yayasan Pengayoman, tt. hlm. 90.


(13)

penyidikan. Dengan adanya pemecahan berkas perkara ini maka dengan sendirinya mementahkan kembali pemeriksaan kepada proses pemeriksaam penyidikan.

Kalau begitu, dengan adanya keharusan untuk kembali melakukan pemeriksaan penyidikan, maka pemeriksaan penyidikan yang diakibatkan pemecahan berkas tetap menjadi wewenang instansi penyidik walaupun pemecahan berkas dilakukan penuntut umum. Alasan utama dalam hal ini adalah pada hakikatnya pemecahan berkas perkara masih dalam tahap prapenuntutan. Dengan demikian pemeriksaan penyidikan belum selesai dan masih tetap menjadi wewenang instansi penyidik. Atas pertimbangan tersebut maka dalam pemecahan berkas perkara pemeriksaan penyidikan dilakukan oleh penyidik dengan jalan pihak penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dalam arti untuk melakukan "penyidikan tambahan", serta pemeriksaan penyidikan pemecahan berkas perkara dilakukan oleh penyidik berdasar petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum. 37

D. Manfaat Pembuatan Surat Dakwaan Secara Terpisah

Tata cara pengembalian berkas baik yang dilakukan oleh penuntut umum kepada pihak penyidik maupun oleh pihak penyidik kepada penuntut umum dalam rangka pemecahan berkas perkara, berpedoman kepada ketentuan tata cara dan batas-batas tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP.

Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu dalam tulisan ini bahwa penuntut umum dapat membuat surat dakwaan terpisah terhadap tindak pidana

37


(14)

yang dilakukan oleh beberapa orang. Pemisahan berkas perkara hanya dapat diperkenankan dengan ketentuan apabila terdakwa dalam perkara tersebut terdiri dari beberapa orang, dan pemecahan berkas perkara dilakukan apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian yang dapat memberatkan terdakwa. Adapun yang menjadi manfaat dalam pemisahan berkas perkara dalam proses persidangan pidana, khususnya bagi para penegak hukum adalah sebagai berikut :

a. Bagi Hakim :

Memudahkan Hakim dalam menjalankan proses pemeriksaan, dimana surat dakwaan terpisah pada waktu pemecahan berkas perkara telah disusun sedemikian rupa untuk menambah bukti dan keterangan saksi dari terdakwa lainnya yang telah dipisah surat dakwaannya sehingga akan mengungkap perbuatan pidana terdakwa.

b. Bagi Jaksa Penuntut Umum

Pemisahan berkas perkara ini bermanfaat bagi Jaksa Penuntut Umum sebagai alat agar jangan sampai terdakwa lepas dari segala tuntutan pidana atau melepaskan diri dari pertanggung-jawaban hukum atas tindak pidana yang dilakukan terdakwa.


(15)

BAB IV

KASUS DAN TANGGAPAN KASUS

A. Kasus

KEJAKSAAN NEGERI MEDAN “ UNTUK KEADILAN “

SURAT DAKWAAN

NO. REG.PER : PDM – 190/Ep.1/02/2007 a. Identitas Terdakwa

Nama Lengkap : HASAN

Tempat Lahir : Besitang

Umur /Tgl.lahir : 33 tahun / Tgl 03 April 1973 Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Jln. Palem I No. 14/08 Kec- Medan Helvetia

Agama : Islam

Pendidikan : D3

Pekerjaan : Karyawan PT. Securiccor Indonesia b. Penahanan

- Ditahan oleh Penyidik : Tgl. 16-12-2006 s/d 04-01-2007 - Diperpanjang PU : Tgl . 05-01-2007 s/d 13-02-2007 - Ditahan PU : Tgl. 05-02-2007 s/d 24-02-2007

c. Dakwaan :

Bahwa dia terdakwa Hasan, secara bersama-sama dengan temannya AMRI MEDIANSYAH YUSUF, dan TUMPAK SURYANTO MANIK, masing-masing berkas terpisah, pada hari, tanggal tidak ingat lagi tetapi pada bulan Nopember tahun 2006 s/d bulan Desember tahun 2006 sekira Jam 24.00 WIB,


(16)

atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Nopember tahun 2006 s/d bulan Desember tahun 2006, bertempat di Komplek Multatuli Indah No.3 Medan jalan Multatuli Medan, atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang masih termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Medan, telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sehingga demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, dengan sengaja dan melawan hukum, menggelapkan uang perusahaan PT. Securiccor Indonesia sejumlah Rp.4.000.000,- yang sebagian atau seluruhnya adalah milik PT. Securiccor Indonesia Medan, atau setidak- tidaknya bukan kepunyaan terdakwa sendiri, dan uang tersebut ada pada terdakwa disebabkan karena ada hubungan pekerjaannya atau pencariaannya atau disebabkan karena kejahatan, yang dilakukan terdakwa bersama teman- temannya dengan cara sebagai berikut:

Pada waktu dan ditempat seperti tersebut diatas, ketika terdakwa bersama saksi AMRI MEDIANSYAH YUSUF, dan TUMPAK SURYANTO MANIK berkas terpisah, bekerja sebagai kasir di PT. Securiccor Indonesia Medan, dan atas kepercayaan yang diberikan oleh Pimpinannya kepada terdakwa, terdakwa bersama dengan para saksi telah menggelapkan uang perusahaan dengan cara pada bulan Nopember tahun 2006 sekira jam 24.00 WIB terdakwa bekerja bersama para saksi dibagian kasir, oleh saksi Tumpak Suryanto Manik menghitung uang dimesin sorti, dan oleh saksi memberitahukan kepada terdakwa ada uang lebih sebesar Rp.50.000.- lalu saksi memberikan uang tersebut kepada terdakwa, yang oleh terdakwa katakan kepada saksi “kita ambil saja" lalu terdakwa kembalikan lagi uang tersebut kepada saksi, yang kemudian oleh saksi menggulung uang tersebut dan dihekter dikertas HVS, yang kemudian saksi


(17)

memberi kode kepada saksi Amri Mediansyah Yusuf untuk mengambil uang tersebut, lantas saksi Tumpak Suryanto Manik memberikan uang tersebut kepada saksi Amri Mediansyah Yusuf dan oleh saksi menyelipkan uang tersebut di berkas Administrasi agar jangan dapat dimonitor oleh kamera, dan kemudian setelah terdakwa bersama para saksi selesai bekerja lalu menggunakan uang tersebut untuk makan malam bersama, yang kemudian pada buian Nopember 2006 juga sekira jam 05.00 WIB terdakwa bekerja diruangan monitor dan melihat uang lalu terdakwa mengambilnya dan digulung serta dihekter dikertas HVS, kemudian terdakwa letakkan diatas meja kasir serta memberitahukan kepada saksi Amri Mediansyah Yusuf dan mengatakan kau ambil saja uang itu dan bawa keluar, oleh saksi Amri Mediansyah Yusuf menyelipkan diberkas Administrasi dan dibawanya, dan setelah terdakwa dan para saksi selesai bekerja kemudian keluar dan uang sebesar Rp.100.000,- lalu oleh terdakwa memberikan uang tersebut kepada lrawan, yang kemudian pada hari Jumat tanggal 08 Desember 2006 sekira jam 01.00 WIB terdakwa bekerja seperti biasa, yang oleh Kasir Jhonson melaporkan kepada terdakwa bahwa ada uang yang lebih seperti biasa dan diberikan kepada saksi Tumpak Suryanto Manik, oleh saksi melaporkannya kepada terdakwa ada uang lebih sebesar Rp 100.000, yang oleh terdakwa katakan kita ambil aja, lantas saksi menggulung uang tersebut dan dihekter dengan laporan, yang oleh saksi memberikan kode kepada saksi Amri Mediansyah Yusuf untuk mengambil uang tersebut, lalu saksi Tumpak Suryanto Manik menyerahkannya kepada saksi Amri Mediansyah Yusuf, dan oleh saksi menyelipkan diberkas Administrasi agar jangan termonitor kamera lalu keluar, dan setelah terdakwa bersama para saksi selesai bekerja oleh terdakwa


(18)

mengatakan kepada saksi agar diberikan kepada saksi Tumpak Suryanto Manik untuk disimpan, yang kemudian pada hari Jumat tangal 15 Desember 2006 sekiranya 07.00 WIB oleh pimpinan Perusahaan mengumpulkan terdakwa bersama para saksi serta ternan-temannya yang satu kerja di kantor Brimob Poldasu, kemudian pimpinan perusahaan memberitahukan kepada terdakwa beserta teman-ternannya bahwa banyak uang yang hilang ditempat ruang monitor Kasir, dan atas pemberitahuan tersebut maka terdakwa bersama-sama dengan temannya terus terang mengakui bahwa terdakwa beserta teman-temannya yang sering mengambil uang pada saat bekerja diruang monitor kasir dan oleh saksi Tumpak Suryanto Manik mengambilkan sisa uang yang telah diambilnya sebesar Rp.200.000.- kepada pimpinan perusahaan dan atas perbuatan terdakwa bersama dengan teman-temannya pimpinan Perusahaan PT. Securiccor Indonesia tidak merasa senang lalu menyerahkan terdakwa bersama dengan teman-temannya beserta barang bukti berupa uang sebesar Rp.200.000.- ke Poltabes M.S untuk diusut, akibat perbuatan terdakwa bersama dengan teman-temannya pihak PT. Securiccor Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp.4.000.000,- atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250.-(dua ratus lima puluh rupiah).

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dalam Pasal 374 jo. Pasal 64 (1) KUHP.

M e d a n , 0 7 F e b r u a r i 2 0 0 7 JAKSA PENUNTUT UMUM

P. SIBURIAN, SH. AJUN JAKSA NIP.230015760


(19)

B. Tanggapan Kasus

Dari kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemisahan berkas perkara yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan dinilai sangat tepat.

Hal ini dapat kita lihat dari perkara pidana tersebut. Dimana kasus ini merupakan perkara pidana yang dilakukan oleh beberapa orang. Di dalam KUHAP yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia, ada suatu ketentuan mengenai perkara pidana dilakukan oleh beberapa orang yang diatur dalam Pasal 141, yang berbunyi :

Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima berkas perkara dalam hal :

a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungan;

b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;

c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain akan tetapi satu dengan yang lainnya itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.” Kalau kita melihat apa yang termuat dalam Pasal 141 KUHAP, Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan atas kasus diatas. Dimana dari kasus diatas dapat kita lihat bahwa terdakwa Hasan, secara bersama-sama dengan temannya AMRI MEDIANSYAH YUSUF, dan TUMPAK SURYANTO MANIK, bertempat di


(20)

Komplek Multatuli Indah No.3 Medan jalan Multatuli Medan, telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sehingga demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, dengan sengaja dan melawan hukum, menggelapkan uang perusahaan PT. Securiccor Indonesia sejumlah Rp.4.000.000,- yang sebagian atau seluruhnya adalah milik PT. Securiccor Indonesia Medan, atau setidak- tidaknya bukan kepunyaan terdakwa sendiri, dan uang tersebut ada pada terdakwa disebabkan karena ada hubungan pekerjaannya atau pencahariannya atau disebabkan karena kejahatan, yang dilakukan terdakwa bersama teman-temannya, yaitu AMRI MEDIANSYAH YUSUF, dan TUMPAK SURYANTO MANIK yang juga dijadikan tersangka dalam kasus ini.

Akan tetapi penggunaan Pasal 141 KUHAP tidak akan efektif dalam kasus diatas. Menurut penulis kurangnya penggunaan penggabungan perkara atas kasus diatas dapat dipertimbangkan oleh beberapa hal :

1. Perkara pidananya bukan beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama;

2. Apabila dilakukan penggabungan perkara, maka alat bukti menjadi lemah karena tidak adanya saksi selain para tersangka itu sendiri. Dengan kurang efektifnya penggabungan perkara atas kasus diatas, maka pemisahan berkas perkara merupakan cara yang tepat untuk menuntut para terdakwa. Menurut Pasal 142, yang berbunyi :

Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.


(21)

Dari kasus diatas, dapat dilihat ada 3 orang tersangka yang melakukan perbuatan tindak pidana secara bersama-sama, termasuk terdakwa sendiri dalam kasus ini. Dimana terdakwa bekerja bersama para saksi (tersangka lainnya) dibagian kasir, oleh saksi Tumpak Suryanto Manik menghitung uang di mesin sorti, dan oleh saksi memberitahukan kepada terdakwa ada uang lebih sebesar Rp.50.000.- lalu saksi memberikan uang tersebut kepada terdakwa, yang oleh terdakwa katakan kepada saksi “kita ambil saja" lalu terdakwa kembalikan lagi uang tersebut kepada saksi, yang kemudian oleh saksi menggulung uang tersebut dan dihekter dikertas HVS, yang kemudian saksi memberi kode kepada saksi Amri Mediansyah Yusuf untuk mengambil uang tersebut, lantas saksi Tumpak Suryanto Manik memberikan uang tersebut kepada saksi Amri Mediansyah Yusuf dan oleh saksi menyelipkan uang tersebut di berkas Administrasi agar jangan dapat dimonitor oleh kamera, dan kemudian setelah terdakwa bersama para saksi selesai bekerja lalu menggunakan uang tersebut untuk makan malam bersama. Perbuatan tindak pidana ini terus berlanjut sampai pimpinan perusahaan ditempat terdakwa bekerja memberitahukan kepada terdakwa beserta teman-ternannya bahwa banyak uang yang hilang ditempat ruang monitor Kasir, dan atas pemberitahuan tersebut maka terdakwa bersama-sama dengan temannya terus terang mengakui bahwa terdakwa beserta teman-temannya yang sering mengambil uang pada saat bekerja diruang monitor kasir.

Dari kasus diatas, perkara pidana yang dilakukan oleh terdakwa dan teman-temannya itu memperlihatkan adanya kekurangan alat bukti dalam proses pembuktian. Dimana perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh beberapa orang dan tak ada yang bisa dijadikan saksi kecuali para pelaku dan korban. Untuk


(22)

mencegah agar terdakwa dan teman-temannya sebagai pelaku tidak lepas dari hukuman, maka penuntut umum melakukan penuntutan terhadap terdakwa dan teman-temannya secara terpisah dengan dakwaan melanggar Pasal 374 jo. Pasal 64 (1) KUHP, yang diharapkan dakwaan ini yang terbukti dalam proses pembuktian di pengadilan. Dengan berkas perkara terpisah, terdakwa dengan teman-temannya harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing sehingga keterangan saksi sebagai alat bukti menjadi kuat dan prinsip batas minimum pembuktian dapat dipenuhi penuntut umum.

Seandainya penuntut umum melakukan penggabungan berkas perkara dalam kasus diatas, maka kemungkinan besar terdakwa dan teman-temannya akan bebas dari hukuman karena melanggar prinsip batas minimum pembuktian.

Berdasarkan uraian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa pertimbangan penuntut umum dalam membuat surat dakwaan secara terpisah terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang adalah dalam kekurangan bukti dan tidak ada yang dapat dijadikan sebagai saksi kecuali para pelaku dan korban.

Dengan demikian Surat dakwaan NO. REG.PER : PDM – 190/Ep.1/02/2007 sudah memenuhi ketentuan dalam hukum acara pidana khususnya Pasal 142 KUHAP tentang penuntutan terdakwa dalam surat dakwaan terpisah. Sehingga terdakwa tidak dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana yang telah ia lakukan, dan juga penuntut umum tidak menunjukkan ketidaktepatan dalam menerapkan Pasal 142 KUHAP.


(23)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah diuraikan penulis di atas yaitu mengenai pertimbangan penuntut umum dalam membuat surat dakwaan secara terpisah terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang dan hal-hal yang berhubungan dengannya, maka di bawah ini penulis akan menuliskan kesimpulan- kesimpuian yang dapat ditarik dari uraian tersebut dengan harapan akan niempermudah atas segala sesuatu yang disajikan dalam skripsi ini yang di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa surat dakwaan merupakan landasan titik tolak pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Oleh karena itu, surat dakwaan mesti terang serta memenuhi syarat formal dan materiil yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Hakim sebagai aparatur penegak hukum yang memutuskan perkara hanya akan mempertimbangkan dan menilai apa yang tertera dalam surat dakwaan tersebut mengenai benar / tidaknya si terdakwa melakukan suatu tindak pidana di dalam hal akan menjatuhkan keputusan.

2. Jaksa Penuntut Umum sebagai salah satu aparat penegak hukum memiliki wewenang peradilan pidana. Hal ini tercantum dalam materi BAB III Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Diantaranya Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa :


(24)

“ Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan ;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat ;

d. melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang ;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang pelaksanannya dikoordinasikan dengan penyidik.”

3. Dalam menyusun surat dakwaan secara terpisah Jaksa Penuntut Umum harus terlebih dahulu meneliti secara cermat tindak pidana yang terjadi. Pemisahan berkas perkara atas tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang dapat dilakukan jika peristiwa tersebut

a. Terdakwa dalam perkara tersebut terdiri dari beberapa orang. b. Pemecahan berkas perkara dilakukan apabila dalam perkara

tersebut kurang bukti dan kesaksian yang memberatkan terdakwa.

4. Pertimbangan Jaksa membuat berkas perkara terpisah terhadap suatu peristiwa pidana yang terdiri dari beberapa orang, bukan berarti Jaksa cenderung bertindak sewenang – wenang dan berusaha memberatkan salah satu terdakwa namun hal ini terpulang pada kasus-kasus / peristiwa pidana


(25)

yang terjadi itu sendiri yang mengharuskan Jaksa memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas.

5. Pemecahan berkas perkara sangat bermanfaat bagi Jaksa Penuntut Umum dan Hakim.

B. Saran

Saran - saran yang dapat penulis pikirkan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Kejaksaan sebagai aparatur penegak hukum yang diberikan wewenang tunggal dalam bidang penuntutan seharusnya secara profesional dapat menyusun surat dakwaan secara teliti dan cermat tanpa ada kesalahan, dan kelalaian yang berarti. Mengingat seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau yang dinyatakan jaksa dalam surat dakwaan, sehingga hal - hal yang tidak diingini misalnya terdakwa terlepas dari semua dakwaan karena delik yang terdakwa lakukan tidak dimuat dalarn surat dakwaan dan kurangnya bukti serta saksi dapat dihindarkan.

2. Sebaiknya aparat Kejaksaan senantiasa mengadakan pembinaan serta mentalitas aparatnya, sehingga aparat kejaksaan dapat menjalankan hukum dengan baik, memadukan semangat kejaksaan dengan kemanusiaan dengan cara mencari kebenaran dan bukan mencari korban serta mengabdi kepada hukum bukan kepada kepentingan golongan. Diharapkan juga kejaksaan melakukan pendekatan yang rendah hati terhadap tugasnya di masyarakat.


(26)

3. Perlunya pimpinan Kejaksaan memberikan sanksi yang tegas kepada aparat Kejaksaan yang melakukan kesalahan, kelalaian, kekeliruan dalarn pembuatan surat dakwaan ataupun sengaja melakukan penerapan Pasal tertentu demi kepentingan orang tertentu. Sehingga aparat Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya dapat lebih berhati-hati dan lebih baik lagi.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM SURAT DAKWAAN

Sebelum membahas tentang surat dakwaan terlebih dahulu sedikit dibahas mengenai lembaga yang berhak sebagai penuntut umum didalam persidangan. Lembaga penuntut umum seperti yang kita kenal sekarang berasal dari Prancis, yang akhirnya oleh negara-negara lain diambil oper dalam perundang-undangannya, juga oleh negeri Belanda yang memasukkan dalam Wetbook van Strafvoerdering (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 1838) serta dalam Inlands Reglement tahun 1848, menerapkannya di Indonesia.2

2

Ansorie Sabuan, et. al. Hukum Acara Pidana. Cet. 10, Bandung: Angkasa, 1990, hlm. 119.

Sejak masa-masa sewaktu belum ada suatu kekuasaan sentral yang menentukan sebagai kewajibannya untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan, maka tidaklah banyak perbedaan antara pelaksanaan proses perdata dan proses pidana. Juga dalam hal-hal untuk memperoleh putusan hakim agar terhadap seseorang dijatuhi pidana (tuntutan pidana), inisiatifnya adalah pada perseorangan, yaitu pada pihak yang dirugikan.

Sistem ini lama kelamaan menunjukkan kekurangan-kekurangan yang menyolok. Penuntutan secara terbuka (accusatoir murni), dengan sendirinya telah menyebabkan penuntutan kesalahan seseorang menjadi lebih sulit, sebab yang bersangkutan segera akan mengetahui dalam keseluruhannya, semua hal yang memberatkan dirinya, sehingga dengan demikian ia akan memperoleh kesempatan untuk menghilangkan sebanyak mungkin bukti-bukti atas kesalahannya.


(28)

Sifat perdata dari penuntutan tersebut menyebabkan pula bahwa kerap kali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang yang dirugi-kan, karena ia takut terhadap pembalasan dendam atau ia tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari tuntutannya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian yang diperlukan. Dengan demikian banyaklah pembuat tindak pidana yang sebenarnya terang bersalah tidak dapat dijatuhi pidana.

Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas maka pemerintah yang ber-tanggung jawab terhadap pembinaan peradilan yang baik, telah mengambil oper inisiatif tuntutan pidana tersebut dari perseorangan, dan menyerahkannya kepada suatu badan negara yang khusus diadakan untuk itu ialah Openbaar Ministerie atau Openbaar Aanklager, yang kita kenal sebagai penuntut umum.

Sejak saat itu suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan ang-gota masyarakat, akhirnya dianggap sebagai suatu perbuatan yang me-langgar kepentingan pribadi seseorang saja.

Tuntutan pidana bukanlah soal pribadi lagi, tetapi adalah persoalan kepentingan umum dan oleh karena itu segala penuntutan pidana haruslah pemerintah yang melakukan atas nama masyarakat. Sejak itu penuntut umum atas nama pemerintah yang menuntut semua pelanggaran undang-undang di muka pengadilan, dan setelah hakim menjatuhkan putusan, ia pulalah yang menjalankan (eksekusi) putusan tersebut.

Di dalam Pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum ada-lah jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan me-laksanakan penetapan hakim. Selain itu dalam Pasal 1 Undang-Undang


(29)

Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961) menyatakan, Kejaksaan R.I. selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Menurut Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang:

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik;

b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyiclikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. melakukan penuntutan;

h. menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang;

j. melaksanakan penetapan hakim.

Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa, yang dimak-sud dengan "tindakan lain" ialah antara lain meneliti identitas tersangka,


(30)

barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum, dan pengadilan.

Setelah penuntut umum menerima, hasil penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada, penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).

Adapun yang dimaksud dengan "meneliti" di sini adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan (pra penuntutan) apakah orang dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai, telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka, pemberian petunjuk kepada penyidik.3

Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum secepatnya membuat surat dakwaan. Dan apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan penyidik tidak cukup bukti-buktinya, peristiwanya bukan merupakan tindak

Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia, segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.

3


(31)

pidana, dan perkaranya ditutup demi hukum4, maka penuntut umum berwenang untuk tidak menuntut.5

A. Pengertian Surat Dakwaan

Pada periode HIR surat dakwaan disebut surat tuduhan atau acte van beschuldiging. Sedangkan dalam Undang-undang Cq Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak terdapat definisi tentang apa yang disebut surat dakwaan, sehingga hanya mengikuti saja kebiasaan praktek dan jurisprudensi. Dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP, hanya disebutkan bahwa :

"terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan".

Dari kata-kata ini dapat diketahui bahwa 'terdakwa' adalah seorang yang sedang menjalani suatu proses pidana di sidang pengadilan yang didakwa melakukan suatu perbuatan pidana.

Selanjutnya, kata-kata 'surat dakwaan' ini dapat ditemukan dalam KUHAP yaitu Pasal 140 ayat 1 yang mengatakan bahwa :

"Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan ".

Ada lagi dikatakan yaitu Pasal 143 ayat 1 KUHAP bahwa :

"Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut di sertai surat

4

Lihat KUHAP, pada Pasal 140 (2). Ditutup demi hukum meliputi antara lain tersangkanya mati, kadaluwarsa, dan ne bis in idem.

5

R.M. Surakhman dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara : peranan dan kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. hlm. 37.


(32)

dakwaan".

Dengan demikian, surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan surat dakwaan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan.6

Surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh Penuntut Umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara. ke Pengadilan yang memuat narria dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di Sidang Pengadilan untuk dibuktikan Surat dakwaan harus sudah dibuat dan harus dilampirkan pada waktu pelimpahan perkara ke Pengadilan dan surat dakwaan inilah yang nanti akan menjad i dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan yang merupakan titik tolak arah pemeriksaan di sidang tersebut. Dengan perkataan lain, segala pembicaraan dan pertanyaan-pertanyaan harus mengenai hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan dakwaan yang dilancarkan terhadap terdakwa atau yang ada relevansinya dengan perbuatan pidana yang didakwakan itu. Jadi, tidak boleh menyimpang dari apa yang telah didakwakan tersebut dan Penuntut Umum tidak boleh menuntut pemidanaan selain berdasar pasal-pasal yang unsur-unsumya telah diuraikan dalam pasal yang didakwakan itu.

Berdasar hal-hal tersebut menurut Sutomo, kalau dirumuskan secara agak bebas, pengertian tentang surat dakwaan kurang lebih sebagai berikut :

6


(33)

apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.7

1) A. Karim Nasutionmenyatakan sebagai berikut:

Guna lebih memahami definisi surat dakwaan tersebut, dibawah ini dikemukakan beberapa defenisi menurut para sarjana. Defenisi-definis i tersebut adalah sebagai berikut :

" Tuduhan adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila temyata cakup terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman."

2) M. Yahya Harahap menyatakan bahwa:

“Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemcriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan."8

3) Harun M. Husein merumuskan surat dakwaan sebagai berikut :

“Surat Dakwaan ialah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umu, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam

7

A. Sutomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen. Jakarta : Pradnya Paramita, 1990. hlm.4.

8

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika, 2004. hlm. 387.


(34)

ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa. Surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan.” 9

a. Bahwa surat dakwaan merupakan suatu akta. Sebagai suatu akta tentunya surat dakwaan harus mencantumkan tanggal pembuatannya dan tanda tangan pembuatnya. Suatu akta yang t idak me nca nt u mka n t angga l dan t anda t anga n pembuatnya tidak memiliki kekuatan sebagai akte, meskipun mungkinsecara umum dapat dikatakan sebagai surat.

Berbagai definisi sebagaimana diuraikan di atas, kelihatannya berbeda satu sama lain, namun demikian bila diteliti dengan seksama maka dalam perbedaan itu terkandung pula p e r s a ma a n pada intinya. Inti persamaan tersebut berkisar pada hal-hal sebagai berikut:

b. Bahwa setiap definisi surat dakwaan tersebut selalu mengandung unsur yang sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana.

c. Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, haruslah dilakukansecara cermat, jelas dan lengkap, sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan.

d. Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.10

Tujuan utama pembuatan surat dakwaan ialah untuk menentukan batas-batas pemeriksaan di sidang pengadilan yang menjadi dasar dari penuntut umum

9

Harun M. Husein, Surat Dakwaan : Tekhnik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, Jakarta : Rineka Cipta, 1994. hlm. 44.

10


(35)

melakukan penuntutan terhadap terdakwa pelaku kejahatan.11

Kalau diikuti sejarah perkembangan pembuatan surat dakwaan, penuntut umum baru berdiri sendiri sejak berlaku Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kejaksaan, UU No. 15/1961. Pasal 12 undang-Lvidang tersebut menentukan, jaksa yang membuat surat dakwaan (menurut ketentuan itu diberi nama, "surat

Disamping itu juga surat dakwaan penting bagi terdakwa yang berguna baginya untuk melakukan pembelaan. Untuk itu terdakwa harus mengetahui sampai sekecil-kecilnya isi dari surat dakwaan tersebut.

B. Prinsip Dalam Surat Dakwaan

Membicarakan prinsip surat dakwaan harus disesuaikan dengan ketentuan KUHAP, sebab prinsip yang diatur dalam HIR dengan KUHAP terdapat beberapa perbedaan. Terutama yang menyangkut Pasal 83 HIR, yang menegaskan surat tolakan jaksa bukan merupakan surat tuduhan dalam arti kata yang sebenamya. Yang membuat surat tuduhan menurut HIR adalah Ketua Pengadilan Negeri, yang mempunyai wewenang untuk mengubah isi surat tolakan jaksa. Ketua Pengadilan Negeri tidak terikat pada isi surat tolakan jaksa. Itu sebabnya, sistem pembuatan surat dakwaan menurut HIR, jaksa sebagai penuntut umum belum sempuma berdiri sendiri, masih berada di bawah pengawasan Ketua Pengadilan Negeri. Barangkali disebabkan anggapan pada masa pembuatan HIR, sebagian besar penuntut umum belum begitu mahir menyusun perumusan yuridis, jika dibandingkan dengan para hakim/Ketua Pengadilan Negeri, yang pada umumnya terdiri dari sarjana hukum.

11


(36)

tuduhan") bukan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Ketentuan Pasal 12 UU No. 15/1961 tersebut dipertegas lagi dengan Surat Edaran Bersama Mahkamah Agung dan Jaksa Agung tanggal 20 Oktober 1962 No. 6 MA/ I 962/24/SE. Surat Edaran dimaksud antara lain menegaskan, pembuatan surat tuduhan (dakwaan) baik dalam perkara tolakan maupun dalam perkara sumir adalah jaksa. Dengan ketentuan Pasal 12 dan penegasan surat edaran dimaksud, sejak saat itulah penuntut umum ditempatkan dalam posisi yang sempurna berdiri sendiri.

Sedangkan menurut KUHAP, kedudukan jaksa sebagai penuntut umum dalam KUHAP semakin dipertegas dalam posisi sebagai instansi yang berwenang melakukan penuntutan (Pasal 1 butir 7 dan Pasal 137). Dalam posisi sebagai aparat penuntut umum, Pasal 140 ayat ( 1) menegaskan wewenang penuntut umum untuk membuat surat dakwaan tanpa campur tangan instansi lain. Penuntut umum "berdiri sendiri" dan sempurna (volwaardig) dalam pembuatan surat dakwaan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 butir 7 dan Pasal 137 serta Pasal 140 ayat (1), kedudukan penuntut umum dalam. pembuatan surat dakwaan dapat dijelaskan.

a.

Pembuatan Surat Dakwaan Dilakukan Secara Sempurna dan Berdiri Sendiri atas Wewenang yang Diberikan Undang-Undang Kepada Penuntut Umum

Baik pamong praja, maupun Ketua Pengadilan Negeri seperti yang dijumpai pada periode HIR, tidak boleh campur tangan dalam pembuatan surat dakwaan.


(37)

Tujuan dan guna surat dakwaan adalah sebagai dasar atau landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan. Hakim di dalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Kalau begitu, seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau yang dinyatakan jaksa dalam surat dakwaan. Oleh karena itu, pendekatan pemeriksaan persidangan, harus bertitik tolak dan diarahkan kepada usaha membuktikan tindak pidana yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Penegasan prinsip ini pun sejalan dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1976 No. 68 K/KR/1973, yang menyatakan "Putusan pengadilan harus berdasarkan pada tuduhan, yang dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP". Hal seperti inilah yang sering dilalaikan oleh sebagian hakim dalam pemeriksaan persidangan. Sering pemeriksaan sidang menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan yang mengakibatkan pemeriksaan dan pertimbangan putusan menyimpang dari apa yang dimaksudkan dalam surat dakwaan.

c. Hanya Jaksa Penuntut Umum yang Berhak dan Berwenang Menghadapkan dan Mendakwa Seseorang yang Dianggap Melakukan Tindak Pidana di Muka Sidang Pengadilan

Pada prinsipnya, instansi lain tidak dibenarkan menghadapkan dan mendakwa seseorang terdakwa kepada hakim di muka sidang


(38)

pengadilan. Akan tetapi tentu terhadap prinsip umum ini terdapat pengecualian, pada pemeriksaan tindak pidana acara ringan dan acara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 205 ayat (2) dan Pasal 212). Dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan seperti yang sudah pernah dijelaskan, penyidik atas kuasa penuntut umum menghadapkan dan mendakwa terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan (Pasal 205 ayat (2)). Demikian juga pada acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan, penyidik langsung menghadapkan terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan. Namun demikian kedua pengecualian di atas, tidak mengurangi arti prinsip bahwa hanya jaksa yang berhak menghadapkan dan mendakwa seseorang terdakwa yang melakukan tindak pidana kepada hakim di muka sidang pengadilan.12

1. Syarat Formal

C. Syarat-syarat dalam Pembuatan Surat Dakwaan

Di dala m paktek hukumnya syarat-syarat untuk surat dakwaan itu dibagi dalam 2 syarat yang harus dipenuhi yaitu :

2. Syarat Material A. Syarat Formal

Syarat formal adalah suatu syarat yang belum menyangkut materi perkara melainkan masih berkisar pada identitas terdakwa, yaitu meliputi : 1. nama lengkap;

2. tempat lahir;

12


(39)

3. umur atau tanggal lahir; 4. jenis kelamin;

5. kebangsaan; 6. tempat tinggal; 7. agama;

8. pekerjaan

Surat dakwaan mutlak harus berisi syarat-syarat formal ini, walaupun tidak diancam pembatalan jika tidak dibuat. Perlunya s yarat formal dibuat dala m surat dakwaan guna meneliti identitas apakah benar terdakwa yang dihadapkan ke muka sidang. Bisa saja tedadi karena mempunyai nama yang sama dengan terdakwa lainnya, sehingga orang lain yang dihadapkan ke muka sidang. Dengan meneliti secara cermat dan telit i ident it asnya diharapkan t idak terjadi kesalahan menghadapkan terdakwa ke muka sidang. Apalagi dengan kemajuan teknik-teknik kejahatan dan harga diri seseorang, jika namanya tidak ingin tercemar di kalangan masyarakat, sa nggup me mba yar o rang la in u nt uk me njad i t erdakwa dengan nama terdakwa yang sebenarnya sebagai terdakwa.

Di samping itu juga untuk menghindarkan jangan sampai orang lain yang berbuat kejahatan tetapi tidak dihadapkan ke muka pengadilan

(error in pesona).

Mengenai dakwaan harus diberitahukan kepada terdakwa, sangat penting karena dengan diberitahukannya isi surat dakwaan, terdakwa sudah harus bersiap-siap menyusun pembelaan dirinya di muka sidang.


(40)

terdakwa bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara, Bahkan menurut pasal 51 KUHAP terdakwa sudah harus diberitahukan sejak pemeriksaan dimulai sangkaan/dakwaan yang dikenakan kepadanya untuk memperoleh pernbelaan dirinya.

Seperti dalam isi Pasal 51 KUHAP berikut ini, “Untuk mempersiapkan pembelaan :

a. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas, dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai ;

b. Terdakwa berhak unt uk diber it ahukan dengan je las bahasa yang digunakan o lehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.”

Jelaslah bahwa hanya pemberitahuan isi surat dakwaan saja yang harus dipenuhi dalam syarat formal surat dakwaan.13

B. Syarat Material

Syarat material adalah suatu syarat yang menyangkut mengenai materi perkara yang didakwakan kepada terdakwa, yang mencakup :

"Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan".

Dalam KUHAP tidak dijelaskan apa yang di maksud dengan uraian secara cermat, jelas, dan lengkap. Tetapi A. Soetomo merumuskan masing – masing tentang pengertiannya yaitu :

13


(41)

a. Cermat

Perkataan ini mengingatkan kita kepada penggambaran dari suatu perbuatan yang penuh ketelitian dan ketidaksembarangan berbuat yang dilakukan dengan penuh hati-hati yang disertai suatu ketajaman dan keteguhan memperhatikan patokan yang telah dipolakan sesuai dengan kepentingan yang dituju.

Dalam menyusun surat dakwaan, kecermatan diperlukan dalam mengutarakan unsur-unsur perbuatan pidana yang ditentukan oleh undang-undang atau pasal-pasal yang bersangkutan dilanjutkan dengan mengemukakan fakta-fakta perbuatan yang didakwakan sesuai dengan unsur-unsur dari pasal yang dilanggar tersebut.

Ketidakhormatan dalam menyusun surat dakwaan ini yaitu tidak dicantumkannya salah satu unsur saja dari psal yang bersangkutan atau tidak diutarakannya fakta perbuatan yang cocok dengan unsur-unsur pasal yang bersangkutan akan berakibat fatal. Perbuatan demikian melambangkan

kesembronoan, ketidaktelitian atau ketidakcermatan yang dapat mengakibatkan batal demi hukum surat dakwaan tersebut.

b. Jelas

Je la s ber art i t idak me nimbu lka n keka bura n at au keragu-ragua n semuanya serba terang dan tidak ada sesuatu yang perlu ditanyakan atau ditafsirkan lagi, yang berarti siapa pun yang membacanya menjadi mengerti.

Surat dakwaan me ma ng harus je las, unt uk me mudahkan t erdakwa mengerti tentang perbuatan apa yang didakwakan kepadanya, dengan demikian memudahkan baginya untuk mengadakan pembelaan terhadap dakwaan tersebut atas


(42)

dirinya.

Agar surat dakwaan itu memenuhi syarat yaitu “jelas” maka istilah atau kata-kata yang dipergunakan adalah yang mudah dimengerti dan susunan kalimatnya dibuat tidak berbelit-belit. Dengan perkataan lain, baik dalam pemilihan kata-kata maupun penyusunan kalirnat dibuat sedemikian rupa supaya tidak membingungkan melainkan terang atau gamblang.

c. Lengkap

Lengkap berarti komplet atau cukup yang maksudnya tidak ada yang cicir atau

tercecer atau ketinggalan, semuanya ada. Ibarat menggambarkan organ tubuh manusia, begitu dikatakan lengkap berarti semua komplit, seandainya salah satu organ tidak ada misalnya kakinya buntung berarti ini tidak lengkap.

Demikian pula halnya di dalam menyusun surat dakwasn, dikatakan lengkap kalau uraian perbuatan yang didakwakan menjadi bulat, artinya hal-hal yang relevan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang bersangkutan tidak ada yang ketinggalan, tidak ada yang tercecer.

d. Waktu

Masalah penentuan dan penyebutan waktu kapan terjadinya perbuatan atau waktu perbuatan pidana dilakukan oleh terdakwa adalah penting dicantumkan dalam surat dakwaan. Hal ini menyangkut suatu kepastian tentang saat perbuatan pidana dilakukan terdakwa. Dengan demikian bertitik tolak dari masalah waktu, terdakwa akan dapat mengemukakan suatu alibi buat pembelaan dirinya bahwa pada waktu yang disebutkan dalam dakwaan tersebut sebenamya dia tidak berada di tempat kejadian perkara.

Namun di dalam kenyataan praktek, banyak kejadian atau perbuatan pidana yang sudah berlangsung dalam kurun waktu lama dan perkaranya baru terungkap atau pelakunya baru


(43)

tertangkap kemudian. Sehingga, para saksi dan bahkan terdakwa sendiri sudah 1upa secara pasti

kapan terjadi suatu perbuatan pidana atau kapan terdakwa metakukan perbuatan yang melanggar hukum itu, apalagi yang menyangkut jam, hari atau tanggal kejadian. Sedangkan yang lebih mudah diingat adalah bulan, itu pun kadang-kadang tidak pasti benar diingatnya, bahkan kadang-kadang mengenai tahun juga mungkin tidak secara pasti diingatnya.

Apabila terjadi keadaan demikian, untuk menghindari kesulitan mengenai penentuan waktu tersebut agar dapat dipertanggungjawabkan secara teknis sesuai dengan kelaziman pembuatan surat dakwaan tersebut biasanya dflengkapi dengan kata-kata “atau setidak-tidaknya” dan dirangkaikan dengan kalimat berikut yang menggambarkan “waktu” yang lebih umum, misalnya “jam” kejadian tidak diingat dilengkapi dengan "atau setidak-tidaimya pada hari………….bulan……….. tahun …………..”

Apabila hari juga 1upa, dilengkapi dengan "atau setidak-tidalmya pada bulan………tahun……….”. Demikian seterusnya; sedangkan kalau mengenai “tahunnya” tidak secara pasti ditentukan, kalimat yang perlu ditambahkan ialah "atau setidak-tidaknya dalam tahun antara 1980... dan 198………” dan seterusnya.

Dengan demikian pencantuman masalah 'waktu' sedemikian rupa dibuat sehingga dapat menjaring waktu perbuatan pidana dilakukan supaya tidak lolos dari penuntutan. Namun, belum lazim dalampembuatan surat dakwaan " atau setidak-tidaknya dalam abad XX". Pencantuman “waktu” secara demikian menggambarkan ketidakmampuan Penuntut Umum mengungkap kapan perbuatan sebenarnya dilakukan. Hal ini mungkin akan menjadikan perkara kadaluarsa sesuai dengan Pasal 78 KUHP yaitu :

Hak menuntut hukuman gugur karena lewat waktunya, antara lain :

1. Sesudah lawat satu tahun bagi segala pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukann dergan merpergunakan percetakan ;


(44)

2. Sesudah lewat enam tahun bagi kejahatan ymg diancam pidana denda kurungan atau penjara yang tidak lebih dari tiga tahun ;

3. Sesudah lewat dua belas tahun, bagi segala kejahatan yang ancaman pidana penjara sementara lebih dari tiga tahun ;

4. Sesudah lewat delapan belas tahun, bagi semua kejahatan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

e. Tempat

Di samping masalah “waktu” terjadinya perbuatan pidana tersebut di atas maka masalah tempat perbuatan pidana tersebut dilakukan termasuk unsur yang penting juga.

Hal ini tidak saja menyangkut masalah kompetenst relatif yaitu kewenangan mengadili suatu perkara oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 84 KUHAP), kewenangan penuntutan bagi Penuntut Umum sesuai dengan daerah hukumnya (Pasal 137 KUHAP), tetapi juga penting untuk kepastian:di tempat terdakwa didakwa melakukan suatu perbuatan pidana, hal ini penting pula untuk kepentingan pembelaan dirinya.

Seperti halnya masalah “waktu” terjadinya perbuatan pidana, masalah ‘tempat’ terjadinya perbuatan pidana kadang-kadang juga tidak bisa dipastikan benar, di samping tentu saja ada kamungkinan adanya perbuatan pidana yang dilakukan lebih dari satu kali dengan “tempat” yang berbeda-beda. Untuk menghindari penyebutan “tempat” di dalam surat dakwaan itu tidaktepat, lazimnya dilengkapi dengan kata-kata "atau setidak-tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri ……….”

Hal ini untuk menghindari kekeliruan yang menyangkut “tempat” terjadinya perbuatan pidana. Namun ada kalanya Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili suatu perkara bukanlah Pengadilan Negeri di tempat perbuatan pidana di lakukan melainkan Pengadilan Negeri yang daerah hukum


(45)

terdakwa bertempat tinggal atau berdiam terakhir atau di tempat terdakwa ditemukan atau ditahan tetapi dengan syarat tempat tinggal kebanyakan saksi-saksi lebih dekat ke Pengadilan Negeri tersebut (Pasal 84 ayat 2 KUHAP). Untuk itu di dalam surat dakwaan perlu dicantumkan mengenai kewenangan mengadili dari Pengadilan Negeri di tempat perkara tersebut disidangkan dengan menyebut alasan hukumnya.14

1. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis ke-lamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan ter-sangka.

Baik syarat formal maupun syarat material tersebut keduanya merupakan isi yang diutarakan di dalani Pasal143 ayat 2 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

“ Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”

Di dalam Pasal 143 ayat 3 KUHAP ditentukan bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b atau syarat materiil, maka surat dakwaan batal demi hukum. Seperti yang dijelaskan, syarat materiil surat dakwaan harus memuat dengan lengkap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Kalau unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak dijelaskan secara keseluruhan, terdapat kekaburan dalam

14


(46)

surat dakwaan.15 Bahkan pada hakikatnya surat dakwaan yang tidak memuat secara jelas dan lengkap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, dengan sendirinya mengakibatkan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana. Dan juga surat dakwaan yang tidak jelas dan tidak terang , merugikan kepentingan terdakwa mempersiapkan pembelaan. Oleh karena itu, setiap surat dakwaan yang merugikan kepentingan terdakwa untuk melakukan pembelaan dianggap batal demi hukum.16

Tetapi di dalam undang-undang tersebut tidak menyatakan mengenai batalnya surat dakwaan apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf a atau syarat formal tidak dipenuhi. Padahal apabila syarat yang tercantum pada ayat 2 huruf a tersebut tidak dipenuhi yang merupakan syarat formal, akan terjadi apa yang disebut error in persona

atau akan terjadi kekeliruan terhadap orang yang didakwa melakukan suatu perbuatan pidana, sehingga orang tersebut harus dibebaskan.17

Bahkan menurut M. Yahya Harahap, kesalahan syarat formal tidak prinsipil sama sekali.

18

Namun demikian, dalam praktek, sepanjang yang menyangkut syarat formal ini sudah disiapkan dalam bentuk formulir model PK-9 untuk

Misalnya kesalahan penyebutan umur tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan surat dakwaan. Kesalahan atau ketidaksempurnaan syarat formal dapat dibetulkan hakim dalam putusan, sebab pembetulan syarat formal surat dakwaan tidak menimbulkan sesuatu akibat hukum yang merugikan terdakwa.

15

M. Yahya Harahap, op. cit. hlm. 392.

16

Ibid.,

17

A. Soetomo, op. cit., hlm. 6.

18


(47)

perkara yang disidangkan dengan acara biasa dan dengan model formulir PK-9A untuk perkara yang disidangkan dengan acara singkat,

sehingga Jaksa Penuntut Umum tinggal mengisi secara benar formulir yang telah tersedia tersebut sesuai dengan identitas terdakwa seperti yang tercantum di dalam berkas perkara atau berita acara pemeriksaan terdakwa. Pengisian secara benar ini untuk menghindarkan apa yang tadi disebut sebagai error in persona atau kekeliruan mengenai orangnya.19

A. Dakwaan Tunggal

D. Bentuk-bentuk Penyusunan Surat Dakwaan

Dalam ketentuan undang-undang tidak dijumpai uraian atau aturan tentang macam bentuk penyusunan surat dakwaan. Adanya macam-macan bentuk penyusunan surat dakwaan ini dimaksudkan untuk menjaring agar dakwaan terhadap pelaku perbuatan pidana tidak gagal dari penuntutan atau pemidanaan.

Dilihat dari pada fakta perbuatan yang ada maka surat dakwaan disusun menurut susunan berikut ini :

Dalam penyusunan dakwaan secara tunggal ini hanya didakwakan satu perbuatan pidana dan hanya dicantumkan satu pasal yang dilanggar. Penyusunan dakwaan secara tunggal ini sangat mengandung risiko karena kalau dakwaan satu-satunya ini gagal dibuktikan dalam persidangan maka tidak ada altematif lain kecuali terdakwa dibebaskan.

Tetapi dalam praktek kadang-kadang ditemui suatu keadaan perkara

19


(48)

yang berdasarkan bukti-bukti yang ada sulit dicari alasan untuk mendakwakan perbuatan pidana yang lain, yang dengan demikian 'terpaksa' disusun dakwaan secara tunggal.

Sebagai contoh misalnya 'pencurian' yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, kadang-kadang dapat dicantumkan sebagai dakwaan subdider adala h penadahan atau pertolongan jahat (Pasal 480 KUHP) kadang-kadang juga dapat dialternatifkan dengan penggelapan (Pasal 372 KUHP). Tetapi, dapat saja terjadi menurut kondisi perkara dengan bukti-bukti yang ada tidak mungkin dan terlalu jauh untuk dibuat dakwaan lainnya sehingga terpaksa disusun dakwaan secara tunggal.

B. Dakwaan Kumulatif

Dalam hal ini ada beberapa atau lebih dari satu perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan masing-masing perbuatan yang didakwakan harus dibuktikan sendiri-sendiri.

Sebagai contoh, seorang pelaku perbuatan pidana di samping telah membunuh korban yang dalam hal ini didakwa melanggar Pasal 340 atau 338 KUHP masih didakwa juga dengan dakwaan menguasai senjata api tanpa izin, melanggar Pasal 1 ayat 1 UU No. 12/th. 1951, Undang-undang tentang senjata api, karena pelaku pembunuhan menggunakan sebagai alat adalah senjata api yang kebetulan juga tanpa izin yang berwenang.

C. Dakwaan Alternatif

Dalam penyusunan dakwaan secara alternatif ini diberikan suatu alternatif yang bergantung bagaimana perkembangan di persidangan mengenai dakwaan mana yang terbukti.


(49)

Umumnya dakwaan yang disusun secara alternatif ini unsur pasalnya saling menghapuskan satu sama lain dalam arti apabila unsur tertentu telah terbukti unsur yang lain pasti tidak terbukti, demikian juga sebaliknya.

Sebagai contoh, penyusunan dakwaan berdasar Pasal 378 KUHP, dengan alternatif Pasal 372 KUHP. Dalam hal ini unsur yang saling menghapuskan satu sania lain ialah mengenai “beradanya” barang pada penguasaan terdakwa. Kalau beradanya barang tersebut adanya di dalam penguasaan terdakwa adalah sebagai akibat dari bujuk rayu atau rangkaian kata-kata bohong yang dilakukan oleh terdakwa maka dalam hal ini telah terjadi delik penipuan yang melanggar Pasal 378 KUHP. Sedangkan apabila beradanya barang tersebut di dalam penguasaan terdakwa bukanlah akibat dari bujuk rayu atau rangkaian kata-kata bohong yang dilakukan terdakwa, melainkan dengan izin atau persetujuan pemilik, selanjutnya terdakwa menjual atau menggadaikan atau dengan cara apa pun terdakwa memperlakukan barangnya seperti seolah-olah miliknya sendiri tanpa izin pemilik, maka dalam hal ini telah terjadi delik penggelapan melanggar Pasal 372 KUHP.

Dengan demikian, apabila terbukti melanggar Pasal 378 KUHP berarti tidak mungkin juga melanggar Pasal 372 KUHP, demikian juga sebaliknya; jadi tidak mungkin terbukti untuk dua-duanya.

D. Dakwaan Primer Subsider / Subsidairitas (bersusun lapis)

Susunan dakwaan primer subsider ini umumnya dalam lingkup suatu perbuatan yang paralel atau satu jurusan yang dalam dakwaan disusun


(50)

berdasar pada urutan berat ringannya perbuatan yang tentu akan berbeda tentang berat ringan ancaman pidananya, dengan susunan : Primair, Subsidair, Lebih Subsidair, Lebih-lebih Subsidair, Lebih-lebih lagi Subsidair.

Konkretnya, dalam bentuk dakwaan subsidairitas ini hanya satu tindak pidana saja yang sebenarnya akan didakwakan kepada terdakwa. Dapat disebutkan lebih lanjut bahwa dakwaan subsidairitas disusun dengan maksud agar jangan sampai terdakwa lepas dari pemidanaan. Sedangkan konsekuensi pembuktiannya, yang diperiksa terlebih dahulu adalah dakwaan primair, dan apabila tidak terbukti baru beralih kepada dakwaan subsidair dandemikian seterusnya. Namun, sebaliknya apabila dakwaan primair telah terbukti. Dakwaan subsidair dan seterusnya tidak perlu untuk dibuktikan lagi.

Akan tetapi, ternyata dalam praktiknya antara dakwaan Subsidairitas dan dakwaan Alternatif sering dikacaukan penggunaannya.20

20

Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana : Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung: Alumni, 2007. hlm. 117.

Ada anggpan bahwasanya dakwaan dengan bentuk Subsidairitas yang berisikan “Primair Subsidair” itu adalah dakwaan “Alternatif”. Padahal asumsi yang demikian tidaklah dapat dibenarkan. Memang, pada hakikatnya dakwaan Subsidairitas hampir identik dengan jenis dakwaan alternatif, tetapi perbedaannya kalau dalam dakwaan alternatif, hakim dapat langsung memilih dakwaan yang sekiranya cocok dengan pembuktian di persidangan karena pada dakwaan alternatif ciri utama tindak pidananya adalah “sejenis” dan adanya kata hubung “atau”. Lain halnya dengan dakwaan Subsidairitas, pada dakwaan jenis ini hakim tidak dapat memilih karena tindak pidana yang didakwakan tidak sejenis, tidak adanya kata hubung “atau” serta disusun dengan berurutan dengan dimulai pada dakwaan dengan tindak


(51)

pidana terberat sampai teringan dan hakim harus mempertimbangkan dakwaan terlebih dahulu (misalnya, Primer), apabila dakwaan Primer tidak terbukti kemudian hakim mempertimbangkan dakwaan berikutnya (Subsidair) dan seterusnya, ataupun sebaliknya (Subsidair dan seterusnya) tidak perlu dibuktikan lagi.21

E. Dakwaan Campuran Atau Gabungan

Sebagai contoh, perbuatan berupa menghilangkan nyawa orang lain, dalam menyusun surat dakwaan, biasanya dicantumkan sebagai dakwaan primer pasal ancaman pidananya paling tinggi yaitu Pasal 340 KUHP yaitu "menghilangkan nyawa orang lain yang direncanakan lebih dulu", baru sebagai dakwaan subsidernya adalah Pasal 338 KUHP yaitu "menghilangkan nyawa orang lain" (pembunuhan biasa), dan sebagai dakwaan yang lebih subsider adalah Pasal 355 ayat 2 KUHP yaitu "penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu yang mengakibatkan kematian orangnya", sedangkan sebagai dakwaan lebih subsider lagi adalah Pasal 354 ayat 2 KUHP yaitu "sengaja melukai berat orang lain yang mengakibatkan kematian orangnya". Selanjutnya sebagai dakwaan terlebih subsider lagi adalah Pasal 351 ayat 3 yaitu "penganiayaan (biasa) yang mengakibatkan mati orangnya" dan selanjutnya.

Di samping bentuk susunan surat dakwaan komulatif, alternatif, dan primer subsider tersebut dapat pula disusun dakwaan campuran atau gabungan yaitu dengan dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan selanjutnya tersebut masih dapat dicantumkan dakwaan secara alternatif atau primer subsider.

21


(52)

Sedangkan pembuktian dakwaan campuran/ gabungan ini harus dilakukan terhadap setiap lapis dakwaan. Pembuktian masing-masing lapisan tersebut disesuaikan dengan bentuk lapisannya, yaitu apabila lapisannya bersifat subsidairitas, pembuktiannya harus dilakukan secara berurutan mulai lapisan teratas sampai lapisan yang dainggap terbukti. Akan tetapi, bila lapisannya terdiri dari sifat alternatif, pembuktiannya dapat langsung dilakukan terhadap dakwaan yang paling dianggap terbukti.

Sebagai contoh, perampokan yang disertai pembunuhan, pembakaran rumah dari yang dirampok yang maksudnya untuk menghilangkan jejak, lalu pembunuhan tersebut dilakukan dengan alat berupa senjata api yang tanpa memiliki izin dari yang berwenang.

Dalam hal ini susunan dakwaan disusun menjadi : Kesatu :

Primer, Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana). Subsider Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa).

Lebih subsider Pasal 355 ayat 2 KUHP (penganiayaan yang direncanakan dan mengakibatkan orangnya mati).

Lebih subsider lagi Pasal 354 ayat 2 KUHP (sengaja melukai berat orang lain yang mengakibatkan orangnya mati).

Lebih-lebih subsider lagi Pasal 351 ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan orangnya mati).

Kedua :

Primer Pasal 187 KUHP (sengaja membakar).


(53)

kebakaran). Ketiga :

Primer Pasal 365 KUHP (pencurian yang didahului atau disertai dengan kekerasan).

Subsider Pasal 363 KUHP (pencurian pada waktu malam atau yang dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih).

Keempat :

Primer Pasal 1 ayat 1 UU No. 12/Dst/ 1951 yo Pasal 55, 56 KUHP.

E. Hal-hal yang Diuraikan dalam Surat Dakwaan

Dalam KUHAP Pasal 143 hanya disebut hal yang harus dimuat dalam surat dakwaan ialah uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai delik yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat delik itu dilakukan.

Bagaimana cara menguraikan secara cermat dan jelas hal itu tidak ditentukan oleh KUHAP. Tentulah masalah ini masih tetap sama dengan kebiasaan yang berlaku sampai kini yang telah diterima oleh yurisprudensi dan doktrin.22

Dalam peraturan lama yaitu HIR pun demikian, cara penguraian diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin itu. Menurut J. E. Jonkers,sebagai dikutip oleh Andi Hamzah, yang harus dimuat ialah selain dari perbuatan

22

Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sapta Artha Jaya, 1996. Hlm. 172


(54)

yang sungguh dilakukan yang bertentangan dengan hukum pidana juga harus memuat unsur-unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan.23

Sesuai dengan itu, sebenarnya pada pemeriksaan pendahuluan itu telah dibuat suatu arah yang pasti menuju kepada pembuatan surat dakwaan. Di sinilah terbukti dengan jelas bahwa penyidikan dan penuntutan itu tidak dapat dipisahkan dengan tajam, hanya dapat dibedakan.

Ini berarti harus dibuat sedemikian rupa, sehingga perbuatan yang sungguh-sungguh dilakukan dan bagaimana dilakukan bertautan dengan perumusan delik dalam undang-undang pidana di mana tercantum larangan atas perbuatan itu. Pekerjaan ini tidaklah mudah, sehingga KUHAP telah memperingatkan supaya disusun dengan cermat dan jelas.

Perumusan dakwaan itu didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan di mana dapat diketemukan baik berupa keterangan terdakwa maupun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli misalnya visum et repertum. Di situlah dapat ditemukan perbuatan sungguh-sungguh dilakukan (perbuatan materiel) dan bagaimana dilakukannya.

24

Pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal undang-undang pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk mengikutinya. Penuntut umum dapat mengubah pasal undang-undang yang disebut oleh polisi itu untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta-fakta dan data dan menyusun dakwaan berdasarkan perumusan delik tersebut. Misalnya polisi mencantumkan Pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan) dengan fakta-fakta dan data hasil pemeriksaan yang dibuat polisi dan visum

23

Ibid., hlm. 173.

24


(55)

et repertum, penuntut umum dapat mengubahpasal yang dicantumkan oleh polisi itu menjadi Pasal 351 KUHP (penganiayaan biasa), dan menyusun dakwaan sesuai unsur-unsur Pasal 351 tersebut.

Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh yurisprudensi Mahkarnall Agung dalarn putusannya tanggal 28 Maret 1957, Reg No. 47/K Kr 1956, yang menyatakan:

"Yang menjadi dasar tuntutan Pengadilan ialah surat tuduhan (dakwaan), jadi bukan tuduhan (dakwaan) yang dibuat oleh polisi."

Sebagaimana disebutkan sebelumnya KUHAP menghendaki agar surat dakwaan itu disusun secara cermat, jelas dan sederhana, menurut bahasa yang mudah dimengerti oleh terdakwa, untuk memudahkan membela dirinya.

Walaupun seluruh unsur delik pada suatu perumusan harus dimuat dalam dakwaan masih dapat dilakukan penyederhanaan metode dakwaan itu. Keterangan singkat tentang perbuatan yang didakwakan bermanfaat secara praktis jika dilakukan penyederhanaan secara formil semua unsur delik yang disyaratkan dalam dakwaan.

Penunjukan kepada pasal-pasal undang-undang dapat member i keterangan terdakwa daripada penguraian perbuatan-perbuatan nyata. Suatu pembelaan yang baik bukan saja pent ing untuk mengetahui perbuatan yang mana yang didakwakan tetapi juga apa arti perbuatan itu menurut hukum pidana.

Yurisprudensi pun telah cenderung untuk memandang suatu soal yang kecil-kecil jangan sampai, dijadikan masalah sehingga tujuan acara


(1)

Metode Penulisan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM SURAT DAKWAAN

Pada bab ini penulis membahas mengenai Surat Dakwaan, dimana penulis akan menjelaskan mengenai pengertian Surat Dakwaan, prinsip-prinsip yang terdapat Surat Dakwaan, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat Surat Dakwaan , bentuk-bentuk Surat Dakwaan, apa saja yang diuraikan dalam Surat Dakwaan, dan kemungkinan terjadinya perubahan Surat Dakwaan.

BAB III : PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH

Pada bab ini akan dibahas mengenai surat dakwaan sebagai titik tolak pemeriksaan perkara pidana, bagaimana ketetentuan dalam KUHAP mengenai Surat Dakwaan Secara Terpisah, apa saja manfaat pembuatan surat dakwaan secara terpisah, dan apa yang menjadi pertimbangan penuntut umum dalam membuat surat dakwaan secara terpisah.

BAB IV : KASUS DAN TANGGAPAN KASUS

Dalam bab ini penulis membaginya dalam 2 (dua) sub bab, Kasus Tanggapan Kasus yang berkaitan dalam pertimbangan penuntut umum dalam membuat surat dakwaan secara terpisah.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang menutup seluruh pembahasan penulis dalam skripsi. Dalam bab ini penulis menarik kesimpulan yang menjawab permasalahan yang dimaksud dan beberapa saran sebagai konstribusi pemikiran dalam perkembangan hukum pidana.


(2)

ABTRAKSI

Dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. KUHAP mengatur bagaimana proses peradilan seseorang terdakwa yang melakukan perbuatan pidana yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada dan termuat dalam surat dakwaan, yang kemudian dibuktikan dalam sidang pengadilan.

Seperti diketahui surat dakwaan merupakan dasar hukum dalam proses persidangan pidana dan hanya jaksa selaku penuntut umum saja yang dapat membuat surat dakwaan. Sedangkan hakim hanya akan mempertimbangkan dan menilai apa yang termuat dalam surat dakwaan tersebut mengenai benar atau tidaknya terdakwa melakukan suatu tindak pidana.

Surat dakwaan harus sudah dibuat dan harus dilampirkan pada waktu pelimpahan perkara ke Pengadilan dan surat dakwaan inilah yang nant i akan menjadi dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan yang merupakan titik tolak arah pemeriksaan di sidang tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini digunakan metode penelitian adalah Library Research (Penelitian Kepustakaan), yaitu penelitian melalui sumber-sumber bacaan yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan masalah yang dihadapi guna memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini. Data ini diperoleh antara lain dari Undang-undang no. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pendapat-pendapat para sarjana yang ada hubungannya/kaitannya dengan pembahasan permasalahan. Biasanya data yang diperoleh dinamakan data sekunder, serta Field Research (Penelitian Lapangan), yaitu penelitian yang langsung dilakukan dilapangan. Dalam hal ini yang dilakukan adalah dengan melakukan studi tentang berkas surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan sebagai bahan perbandingan. Data yang diperoleh dalam hal ini dinamakan data primer.

Pada Pasal 141 KUHAP yang menyangkut bentuk surat dakwaan kumulasi atas dakwaan yang dilakukan pleh beberapa orang, undang-undang dan praktek hukum memberi kemungkinan menggabungkan beberapa perkara atau beberapa orang dalam satu surat dakwaan. Dengan jalan penggabungan tindak pidana dan pelaku-pelaku tindak pidana dalam suatu surat dakwaan perkara atau pelaku-pelakunya dapat diperiksa dalam suatu persidangan pengadilan yang sama.

Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seseorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik.


(3)

TINJAUAN HUKUM TENTANG PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH

TERHADAP TINDAK PIDANA

YANG DILAKUKAN OLEH BEBERAPA ORANG ( Surat Tuntutan NO.REG/ PER:PDM – 190 / EP.1/Medan/2007 )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

IDRIS KHALID HASIBUAN

NIM : 030200130

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………... ABTRAKSI ………... BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………... 1

B. Permasalahan………. 5

C. Tujuan Penulisan……… 5

D. Keaslian Penulisan………. 5

E. Tinjauan Kepustakaan……… 6

F. Manfaat Penulisan……….. 6

G. Sistematika Penulisan……… 7

BAB II : TINJAUAN UMUM SURAT DAKWAAN A. Pengertian Surat Dakwaan……… 13

B. Prinsip dalam Surat Dakwaan ……….. 17

C. Syarat-syarat Surat Dakwaan……… 20

D. Bentuk-bentuk Surat Dakwaan……….. 29

E. Hal-hal yang diuraikan dalam Surat Dakwaan………..……. 35

F. Perubahan Surat Dakwaan……….. 39

BAB III : PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH A. Surat Dakwaan Sebagai Dasar Pemeriksaan Perkara Pidana…... 45

B. Pertimbangan Penuntut Umum dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah……… 49

C. Pemeriksaan Penyidikan dalam Pemecahan Berkas Perkara …. 51 D. Manfaat pembuatan Surat Dakwaan Secara Terpisah………….. 52

BAB IV : KASUS DAN TANGGAPAN KASUS A. Kasus……….…… 54


(5)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan……… 62 B. Saran ………. 64


(6)

ABTRAKSI

Dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. KUHAP mengatur bagaimana proses peradilan seseorang terdakwa yang melakukan perbuatan pidana yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada dan termuat dalam surat dakwaan, yang kemudian dibuktikan dalam sidang pengadilan.

Seperti diketahui surat dakwaan merupakan dasar hukum dalam proses persidangan pidana dan hanya jaksa selaku penuntut umum saja yang dapat membuat surat dakwaan. Sedangkan hakim hanya akan mempertimbangkan dan menilai apa yang termuat dalam surat dakwaan tersebut mengenai benar atau tidaknya terdakwa melakukan suatu tindak pidana.

Surat dakwaan harus sudah dibuat dan harus dilampirkan pada waktu pelimpahan perkara ke Pengadilan dan surat dakwaan inilah yang nant i akan menjadi dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan yang merupakan titik tolak arah pemeriksaan di sidang tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini digunakan metode penelitian adalah Library Research (Penelitian Kepustakaan), yaitu penelitian melalui sumber-sumber bacaan yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan masalah yang dihadapi guna memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini. Data ini diperoleh antara lain dari Undang-undang no. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pendapat-pendapat para sarjana yang ada hubungannya/kaitannya dengan pembahasan permasalahan. Biasanya data yang diperoleh dinamakan data sekunder, serta Field Research (Penelitian Lapangan), yaitu penelitian yang langsung dilakukan dilapangan. Dalam hal ini yang dilakukan adalah dengan melakukan studi tentang berkas surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan sebagai bahan perbandingan. Data yang diperoleh dalam hal ini dinamakan data primer.

Pada Pasal 141 KUHAP yang menyangkut bentuk surat dakwaan kumulasi atas dakwaan yang dilakukan pleh beberapa orang, undang-undang dan praktek hukum memberi kemungkinan menggabungkan beberapa perkara atau beberapa orang dalam satu surat dakwaan. Dengan jalan penggabungan tindak pidana dan pelaku-pelaku tindak pidana dalam suatu surat dakwaan perkara atau pelaku-pelakunya dapat diperiksa dalam suatu persidangan pengadilan yang sama.

Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seseorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tentang Pertimbangan Penuntut Umum Dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Beberapa Orang ( Surat Tuntutan NO.REG/ PER:PDM – 190 / EP.1/Medan/2007 )

1 41 72

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

ANALISIS YURIDIS SURAT DAKWAAN PENUNTUT UMUM BATAL DEMI HUKUM

0 3 15

Analisis konstruksi hukum penuntut umum dalam menyusun dakwaan terhadap tindak pidana yang mengandung perbarengan dan implikasi yuridisnya

0 4 80

KETERKAITAN PENYIDIKAN DENGAN PEMBUATAN SURAT DAKWAAN OLEH PENUNTUT UMUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA (Studi di Wilayah Hukum Poltabes Padang).

0 0 12

ALASAN PENUNTUT UMUM MELAKUKAN PEMISAHAN SURAT DAKWAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Padang).

0 1 6

pengaruh ketidaktepatan penerapan undang-undang oleh jaksa penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dihubungkan dengan putusan hakim dan kepastian hukum.

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam Melakukan Tuntutan Pidana terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana

0 0 14

Contoh Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

0 0 13

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penetapan Pasal Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dalam Surat Dakwaan Oleh Jaksa Penuntut Umum - PENETAPAN PASAL DAN BENTUK DAKWAAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA -

0 0 36