ini pihak PLN berusaha memberikan pengertian terhadap masyarakat akan bahaya kerugian yang diderita dari pencurian tenaga listrik. Ternyata upaya ini efektif
untuk dilaksanakan dalam menekan jumlah pencurian tenaga listrik yang terjadi.
C. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pencuriaan Tenaga Listrik di Kota
Bandar Lampung
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi hukum pidana merupakan cara yang paling tua, serta peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat
inipun, hu kum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu
sarana politik kriminal. Hukum pidana hampi r selalu digunakan untuk “menakut-
nakuti atau mengamankan” bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang barda Nawawi Arief, 1998: 39.
Sanksi pidana dianggap efektif dalam upaya penanggulangan kejahatan, mengingat sifatnya yang menjerakan. Tetapi dalam pelaksanaannya, sanksi pidana
tidak selalu dapat diterapkan karena adanya berbagai alasan dan faktor penghambat sehingga penegakan hukum pidana belum dilaksanakan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini terjadi dalam kasus pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung.
Untuk kasus pencurian aliran listrik yang berhasil dilimpahkan dan berhasil disidangkan yaitu kasus pencurian untuk pertama kali dan baru yang pertama di
Bandar Lampung yang dilakukan oleh konsumen industri dengan golongan pelanggaran C yaitu pelanggaran yang mempengaruhi pengurangan energi dengan
cara merusak segel dan merubah pengawatan Kwh dan KVARN meter pada
Cubicle, menghilangkan segel asli pada pintu gardu dan Cubicle, merubah wiring hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya klem terminal dilepas.
Menanggapi tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik menurut Bapak Selamet selaku Kasubsi Pra Penuntutan menyatakan
bahwa untuk kasus pencurian aliran listrik yang dilakukan oleh kalangan rumah tangga belum pernah ada yang dilimpahkan ke kejaksaan, tetapi telah ada kasus
pencurian aliran listrik yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan yang dilakukan oleh kalangan industri yaitu oleh CV. Bumi Waras dengan tersangka Sujadi Pohan
alias Aseng yang dibantu oleh Karsono Baizigar alias Untung dan oknum dari PLN itu sendiri yaitu Slamet Riyadi alias Garen Sarju selaku Staf Gangguan PLN
Rayon Teluk Betung dan Iswan Hamdi selaku Staf Distribusi dan Lapangan PLN Cabang Tanjung Karang.
Pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik menurut Bapak Selamet selaku Kasubsi Pra Penuntutan tidak akan terlaksana apabila pihak
PLN selaku pihak yang dirugikan tidak berkoordinasi dengan pihak kepolisian selaku penyidik. Dalam hal ini diharapkan ada upaya proaktif dari pihak PLN,
berupa laporan tentang adanya suatu kasus pencurian aliran listrik kepada pihak kepolisian selaku pihak yang berwenang agar dapat dilakukan tindakan lebih
lanjut yang kemudian diteruskan ke Kejaksaan dan Pengadilan. Mengenai pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik
dalam kasus yang dilakukan oleh kalangan industri yaitu CV. Bumi Waras, terdakwa Sujadi Pohan dijatuhi hukuman hanya 6 bulan penjara dan terdakwa
Karsono Baizigar selama 5 bulan 15 hari, lalu oknum PLN sendiri dijatuhi
hukuman masing-masing Iswan Hamdi selama 6 bulan penjara dan Slamet Riyadi alias Garen Sarju selama 5 bulan 15 hari. Hal tersebut dipandang dari sudut
supremasi hukum maka pidananya harus diadili melalui jalur hukum dan hal tersebut diputus berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan hakim yang
memiliki pertimbangan lain. Kasus tersebut diputus pada tanggal 8 Juli 2003 dengan Nomor Perkara No.254PidB2003PNTK dan No.255PidB2003PNTK
setelah selama 8 kali diadakan persidangan. Berbicara tentang penegakan hukum pidana berarti akan melibatkan faktor
perundang-undangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum, yang terkait dengan masalah substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Dan dilihat
sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana melalui tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi.
Dari segi substansi, berdasarkan Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 dan Arrest Hoge Raad tanggal 3 Januari 1992 serta Pasal 19 UU No. 15 Tahun 1985
tentang ketenagalistrikan, dinyatakan bahwa pencurian tenaga listrik adalah tindak pidana pencurian dan memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP, yaitu adanya
pemakaian tenaga listrik secara tidak sah yang bukan miliknya sehingga dapat dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman denda
setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah. Hal ini didukung oleh pendapat responden Polisi, Jaksa, dan Hakim yang menyatakan bahwa pencurian tenaga
listrik merupakan suatu tindak pidana murni yang dapat diantisipasi dengan Pasal- pasal yang terdapat dalam KUHP.
Permasalahan yang ada di lapangan adalah tidak pernah dikenakan sanksi pidana dalam pasal 362 KUHP jo pasal 19 UU No. 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan terhadap kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi sehingga pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak terlaksanakan. Untuk mengetahui
penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum pidana tersebut, maka akan dilihat dari masing-masing institusi yang terkait, yaitu:
1. P.T. PLN Sektor Wilayah Lampung
PT. Perusahaan Listrik Negara merupakan penyelenggara kepentingan umum dibidang ketenagalistrikan, yang bertanggung jawab terhadap usaha
penyediaan dan penunjang tenaga listrik yang meliputi pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik serta pembangunan dan
pemasangan, pemeliharaan dan pengembangan peralatan ketenagalistrikan. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntunan kebutuhan
hidup masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan
kegiatan ekonomi. Pelaksanaan usaha penyediaan dan penunjang tenaga listrik tersebut tidak
berjalan sebagaimana mestinya karena PLN sering menemui adanya pelanggan maupun bukan pelanggan listrik PLN, melakukan cara-cara
menyimpang dari perilaku masyarakat atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yaitu adanya pemakaian listrik
secara tidak sah atau pencurian tenaga listrik.
Pencurian tenaga listrik ini menimbulkan susutnya jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik yang akan berakibat terjadinya penurunan tegangan
sehingga peralatan-peralatan yang menggunakan tenaga listrik menjadi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini akan merugikan semua masyarakat
pemakai tenaga listrik dan menjadi sumber kerugian yang cukup besar bagi Negara sehingga timbul upaya mengembalikan kerugian tersebut
dengan menerapkan sanksi administratif berupa penetapan tagihan susulan dengan mengesampingkan penerapan sanksi pidana.
Menurut responden petugas PLN Sektor Wilayah Lampung, alasan-alasan yang menyebabkan tidak dilaksananya penyelesaian kasus pencurian
tenaga listrik melalui proses hukum antara lain karena: 1.
Proses peradilan yang cukup lama sehingga menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Peradilan pidana tehadap suatu kasus tindak pidana
merupakan suatu proses yang bekerja dalam beberapa lembaga penegak hukum, meliputi kegiatan yang bertahap dimulai dari
penyelidikan Polisi, penuntutan oleh Jaksa, pemeriksaan di sidang pengadilan oleh Hakim dan pelaksana putusan hakim yang dilakukan
oleh lembaga Pemasyarakatan. Masing-masing
tahapan penyelenggaraan
peradilan pidana
membutuhkan proses dalam penyelesaian kewenangan dan tanggung jawabnya sehingga perlu waktu relative lama dengan biaya operasional
yang tidak sedikit. Sedangkan jumlah kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung mencapai 2.333 kasus pada
tahun 2003 dan 319 kasus pada tahun 2007, yang keseluruhan jumlah tersebut apabila diselesaikan melalui proses peradilan, tentu akan
memerlukan waktu sangat lama dengan biaya operasional yang cukup tinggi.
Faktor waktu dan biaya membuat pihak PLN berpendapat bahwa proses peradilan tidak efektif diterapkan dalam penyelesaian kasus
pencuriaan tenaga listrik yang terjadi, mengingat hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan dari pihak PLN yang berusaha mengupayakan
pengembalian kerugian-kerugian materi yang dideritanya. 2.
Kesulitan mendapatkan saksi Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui adanya suatu
pencurian tenaga listrik adalah melalui kegiatan OPAL atau P2TL yang dilaksanakan secara rutin terhadap instalasi listrik terhadap
pelanggan maupun bukan pelanggan, yang diduga melakukan pencurian tenaga listrik, berdasarkan hasil pemantauan pemakaian
listrik yang tidak wajar selam 3 bulan berturut-turut ataupun berdasarkan informasi dari masyarakat, petugas pencatat meter atau
pegawai PLN. Kegiatan OPAL atau P2TL tersebut dilakukan dengan maksud untuk
mencari bukti dan mengidentifikasi tentang adanya suatu pelanggaran, namun dalam pelaksanaannya, petugas PLN seringkali menemui
adanya pelanggan maupun bukan pelanggan yang instalasi listriknya sedang diperiksa, tidak mau memberikan keterangan tentang adanya
pelanggaran, dengan alasan tidak mengetahui tentang pelanggaran yang dimaksud atau bahkan mengaku bahwa yang bersangkutan
bukanlah pemilik sehingga tidak tepat untuk dimintai keterangan tentang adanya suatu pelanggaran yang terjadi. Hal ini menyulitkan
pihak PLN dalam melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyidikan atau penuntutan seperti dimaksud dalam Pasal 184
KUHAP sehingga penyelesaian melalui proses hukum sulit untuk dilaksanakan.
3. Kesulitan untuk menentukan waktu
Dalam kasus pencurian tenaga listrik sulit untuk mengetahui dan menentukan kapan perbuatan tersebut dilakukan dan oleh siapa
perbuatan dilakukan karena dalam pemeriksaan OPAL atau P2TL, pihak PLN hanya dapat mengidentifikasikan pelanggaran-pelanggaran
apa yang dilakukan dan besarnya kerugian tanpa dapat memperkirakan secara pasti waktu berlangsungnya pelanggaran dan pelaku
pelanggaran, yang biasa dilakukan oleh siapa saja, seperti pelanggan, bulan pelanggan, instalatir maupun oknum PLN sehingga dalam hal ini
timbul kesulitan dalam faktor membuktikan bahwa pihak yang diduga melanggar adalah merupakan pelaku seperti dimaksud dalam Pasal 362
KUHP. 4.
Sikap pelanggar yang lebih memilih penyelesaian secara administratif daripada penyelesaian melalui jalur hukum.
Para pelanggar baik pelanggan maupun bukan pelanggan, pada umumnya lebih memilih penyelesaian secara administratif berupa
pembayaran tagihan susulam daripada penyelesaian melalui jalur hukum. Dalam hal ini pembayaran tagihan susulan dirasakan lebih
baik karena prosesnya lebih mudah dan cepat sehingga terhindar dari pemutusan aliran listrik oleh PLN. Sedangkan proses hukum dirasakan
memberatkan karena masyarakat cendrung beranggapan bahwa proses hukum akan berlangsung lama dan mencemarkan nama baiknya
sebagai orang yang bersalah. 5.
Adanya ancama-ancaman kekerasan terhadap petugas OPAL atau P2TL.
Petugas PLN yang melaksanakan OPAL atau P2TL untuk mencari bukti-bukti adanya suatu pelanggaran, sering menemui kendala yang
berupa ancaman-ancama kekerasan dari masyarakat yang merasa terganggu dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan Tim
OPAL atau P2TL terhadap instalasi listrik dan semua peralatan listrik mereka sehingga ada kesulitan bagi pihak PLN untuk dapat
menemukan bukti-bukti yang mendukung dan dibutuhkan dalam proses persidangan.
6. Toleransi yang diberikan PLN terhadap pelanggan.
Pihak PLN selaku produsen yang menyediakan kebutuhan tenaga listrik menganggap para pelanggannya sebagai konsumen yang dapat
memberikan pemasukan dan keuntungan bagi PLN, sehingga apabila
terjadi pencurian tenaga listrik yang dilakukan oleh pelanggan hanya akan dianggap sebagai pelanggaran yang cukup diselesaikan secara
administrative. Hal ini dilakukan demi untuk menjaga hubungan baik antara pihak PLN selaku produsen dengan masyarakat pelanggan
selaku konsumennya. Apabila pencurian tenaga listrik dilakukan oleh bukan pelanggan,
maka idealnya akan diselesaikan secara hukum dan diajukan sebagai tindak pidana. Namun hal ini pun tidak pernah diterapkan karena
masyarakat bukan pelanggan dapat menjadi pelanggan dengan cara menyelesaikan sanksi administratif yang telah ditentukan dan
mengajukan permintaan sambungan baru menurut prosedur yang berlaku. Dengan demikian, jumlah pelanggan PLN akan semakin
bertambah, yang artinya akan menambah jumlah pemasukan dan keuntungan bagi PLN.
Alasan-alasan yang dikemukakan diatas menjadi dasar pemikiran bagi PLN untuk menerapkan alternatif penyelesaian lain yang masih dapat
dilaksanakan, diluar ketentuan pidana, yaitu dengan menerapkan sanksi administratif berupa pembayaran tagihan susulan.
Tagihan Susulan adalah tagihan kemudian sebagai akibat adanya penyesuaian dengan ketentuan atau sebagai akibat adanya pelanggaran,
yang dihitung berdasarkan golongan pelanggaran yang dilakukan Golongan A, B, C atau D dan perhitungan daya kedapatan, yaitu jumlah
daya dari semua motor listrik, lampu pijar dan pelepas gas serta alat listrik
lainnya baik yang terpasang maupun yang dilihat dari letak keadaannya dapat dianggap akansudah dipakai, yang kedapatan di tempat pelanggaran
pada waktu diadakan pemeriksaan dan kesemuanya dinyalakan hingga aliran listrik terputus.
Tujuan dari pembayaran listrik susulan adalah untuk mengembalikan kerugian materi yang di derita oleh PLN. Hal ini dalam hukum pidana
dikenal sebagai penyelesaian di luar perkara, dikatakan wanprestasi sebagai perbuatan yang melanggar hukum perdata, yaitu melanggar
perjanjian yang telah disepakati. Penetapan tagihan susulan merupakan penerapan diskresi oleh PLN dalam
penyelesaian pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung karena dalam hal ini PLN telah membuat keputusan atau
kebijakan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.
Pihak PLN menilai kebijakan mengenai tagihan susulan lebih efektif dan lebih menguntungkan untuk diterapkan daripada penyelesaian melalui
jalur hokum dengan menerapkan sanksi pidana karena penetapan tagihan susulan dapat mengupayakan pengembalian kerugian-kerugian materi
yang diderita dan secara tidak langsung dapat membuat masyarakat mematuhi peraturan. Dikatakan demikian karena dalam hal ini PLN
dengan sengaja menciptakan situasi tertentu, yaitu menetapkan tagihan susulan yang harus dibayar oleh pelanggar dan apabila tidak dipatuhi akan
berakibat diputusnya aliran listrik pelanggar, sehingga pelanggar tidak
memiliki pilihan lain kecuali mematuhinya, dengan mengingat bahwa PLN adalah satu-satunya penyedia dan penyalur tenaga listrik yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dan memang, dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu situasi dimana warga masyarakat
agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sehingga dapat menekan meningkatnya pencurian tenaga listrik.
Menanggapi kebijakan yang dilakukan oleh PLN, seharusnya penetapan tagihan susulan yang harus dibayar oleh pelanggar dan berakibat
diputusnya aliran listrik apabila tidak dipatuhi berarti PLN telah menerapkan system monopoli dan dalam hal ini PLN telah mengabaikan
hak-hak pelanggar untuk membela diri, seharusnya PLN menerapkan asas praduga tak bersalah, dimana seseorang wajib dianggap tidak bersalah
sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sehingga terhadapnya
belum dapat dikenakan sanksi dan harus diberikan kesempatan untuk mempergunakan hak-haknya melalui proses hukum.
2. Kepolisian Kota Bandar Lampung
Polisi sebagai aparatur penegak hukum menduduki urutan pertama dalam Sistem Peradilan Pidana karena menempati posisi sebagai penjaga, yaitu
melalui kekuasaan yang ada Police discretion, ia merupakan awal mula dari proses pidana. Polisi merupakan penyelenggara hukum yang langsung
berhadapan dengan masyarakat beserta segala jenis tingkah laku dan perbuatannya, baik berupa tindak pidana maupun bukan tindak pidana.
Dengan demikian dapat dikatakan pekerjaan Kepolisian adalah juga pekerjaan mengadili, karena Polisi memberikan penafsiran terhadap
hokum pidana pada saat berhadapan dengan orang-orang tertentu yang melakukan perlawanan terhadap hukum Sunarto, 1999:26-27.
Di dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana yang dilaksanakan oleh Polri selalu berhubungan dengan persoalan keamanan dan ketertiban
masyarakat Kamtibmas, hal ini sejalan dengan tugas pokok Polri selaku aparat penegak hukum dan inti Pembina Kamtibmas, sebagaimana
tercantum dalam UU No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia UU Kepolisian.
Polri selaku aparat penegak hukum yang menduduki urutan pertama dalam Sistem Peradilan Pidana bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti dinyatakan dalam Pasal 14
Huruf a UU No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana pencurian tenaga listrik yang terjadi, Polri juga bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, yaitu:
1. Selain pejabat penyidik hukum yang bertugas menyidik tindak pidana,
penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini serta peraturan pelaksanaannya dapat juga dilakukan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diangkat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berwenang
a. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan. b.
Melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang lain atau badan
sehubungan dengan
peristiwa tindak
pidana di
bidang ketenagalistrikan.
d. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
bahan bukti dan melakukan penyitaan terhadap bahan yang akan dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
ketenagalistrikan. e.
Melakukan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian penjelasan Pasal 24 ayat 1 UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa:
- Penyidikan atas perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang ini
memerlukan keahlian dalam bidang ketenagalistrikan, sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping penyidik
yang biasa bertugas menyidik tindak pidana. -
Petugas yang dimaksud adalah antara lain pegawai yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagalistrikan.
- Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ialah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta peraturan pelaksananya.
Jadi jelas dalam tindakan penyelidikan dan penyidik tersebut, bahwa polisi atau PPNS yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertugas di Departemen Pertambangan berwenang sebagai penyidik dalam kasus pencurian
tenaga listrik yang terjadi. Ketentuan yang telah ditur dalam perundang-undangan seharusnya dilaksanakan,
tetapi dalam kenyataan, tim OPAL atau P2TL yang bertugas melakukan penertiban pemakaian tenaga listrik dan mengidentifikasikan adanya pelangaran-
pelanggaran yang tidak selalu mengikutsertakan polisi atau PPNS yang bersangkutan dalam pelaksanaan operasinya. biasanya, Polisi atau PPNS tersebut
baru akan diikutsertakan pada saat pelaksanaan operasi khusus, yaitu operasi secara mendadak ke suatu daerah atau keadaan malam hari.
Dari hasil wawancara dengan anggota Tipiter poltabes Bandar lampung, Bapak Rizal, diketahui bahwa sejau ini pihak kepolisian bekerjasama dengan pihak PLN
dalam pelaksanaan hanya sebatas pada menjadi pendamping PLN dalam pelaksanaan operasinya, dengan tujuan untuk menjaga kemungkinan terjadinya
tindak kekerasan, seperti pemukulan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap tim OPAL atau P2TL, selain itu pihak kepolisian
diperlukan untuk membuat berita tentang adanya suatu kasus pencurian tenaga listrik, yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besar tagihan
susulan, sebagai upaya penyelesaian yang diberlakukan oleh PLN terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Jadi dapat diketahui bahwa, peran peran kepolisian sebagai penyidik tidak terlaksana karena PLN selaku pihak yang diugikan hanya menginginkan
penyelesaian secara administratif yang dinilai lebih menguntungkan dari pada penyelesaian melalui jalur hukum. Dengan demikian pihak kepolisian pun
bersikap pasif, tidak melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi. Selain itu, pihak kepolisian juga mengaku beratnya
beban pihak kepolisian dalam menyelesaikan tugas-tugas pokoknya dan dalam menangani tindak pidana lainnya, seperti pencurian dengan kekerasan, pencurian
dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, pembegalan, pembunuhan, pemerkosaan sehingga apabila ditambahkan dengan kasus pencurian tenaga listrik
akan menimbulkan kelampauan beban tugas, mengingat terbatasnya atau kemampuan daya kerja dari pihak kepolisian.
Keterbatasan-keterbatasan yang dialami pihak kepolisian, antara lain pada factor sarana dan prasarana atau fasilitas, yang mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil dibidang ketenagalistrikan, peralatan dan kendaraan serta keuangan, sehingga pihak kepolisisian pun berpendapat bahwa untuk kasus
pencurian tenaga listrik dapat diselesaikan secara administratif melalui penetapan tagihan susulan sepanjang cara tersebut lebih menguntungkan, lebih efektif dan
lebih memungkinkan untuk diterapkan karena pada dasarnya penegakan hukum bertujuan untuk mencapai keamanan dan ketertiban, dengan pembayaran tagihan
susulan apabila dapat menyelesaikan masalah maka dibenarkan.
3. Kejaksaan Negri Bandar lampung Jaksa sebagai aparatur penegak hukum yang mempunyai salah satu tugas dibidang
penuntutan merupakan
pelimpahan wewenang
dari pemerintah
guna melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kewenangan jaksa dalam
menuntut didasarkan pada asas legalitas, yaitu adanya peraturan perundang- undangan yang memberi kewenangan kepada jaksa sebagai satu-satunya lembaga
penuntut umum yang mewakili pemerintah dalam penegakan hukum pidana. Dengan demikian kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan Negara dibidang penuntutan seperti diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan republik Indonesia UU Kejaksaan.
Penuntut umum merupakan lembaga yang menerima perkara dari penyidik untuk kemudian melakuan penuntutan dimuka persidangan serta melaksanakan putusan
hakim. Tetapi dalam kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi, tidak pernah dilakukan penuntutan oleh jaksa karena pihak kepolisian selaku penyidik tidak
pernah melakukan penyidikan terhadap kasus tesebut dan melimpahkannya ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan.
Memanggapi tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik, Bapak Selamet, selaku Kasubsi Pra Penuntutan di Kejaksaan Negri
Bandar lampung menyatakan bahwa, hal tersebut tudak akan terlaksana selama PLN selaku pihak yang dirugikan tidak berkoordinasi dengan pihak Kepolisian
selaku penyidik. Dalam hal ini diharapkan adanya upaya yang proaktif dari pihak PLN, berupa laporan tentang adanya suatu kasus pencurian tenaga listrik kepada
pihak kepolisian selaku pihak yang berwenag agar dapat dilakukan tindakan lebih lanju, yang kemudian diteruskan ke kejaksaan dan pengadilan.
Terhadap adanya kebijakan yang dilakuakn oleh PLN di luar ketentuan pidana, yaitu penetapan tagihan susulan, Bapak Selamet berpendapat bahwa hal tersebut
tidak sesuai dengan asas legalitas, dimana PLN sebagai instusi pemerintah harus menindak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti
yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP dengan menerapkan pidana badan. Selama ini penerapan tagihan susulan yang diberlakukan oleh PLN dinilai tidak
mendidik masyarakat untuk menjadi jera sebaliknya akan menumbuh suburkan terjadinya pencurian tanaga listrik karena masyarakat akan beranggapan bahwa
sangsi terhadap pencurian tenaga listrik tidak menakutkan dan persoalan akan selesai dengan membayar sejumlah uang. Dengan demikian, PLN telah membuka
peluang untuk terjadinya pencurian tenaga listrik. Kemudian ditambahkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap
pencurian tenaga listrik juga dipengaruhi oleh faktor masyarakat, yang selama ini dinilai pasif dalam menanggapi kasus-kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi.
Dalam hal ini masyarakat hanya menyetujui dan menerima penyeleaian yang dibelakukan oleh PLN, berupa sangsi administratif tanpa berupaya untuk
menyelesaikan secara hukum. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan hokum masyarakat dan adanya anggapan negatif dalam masyarakat tentang aparat
penegak hukum sehingga menimbulkan rasa tidak percaya bahwa penyelesaian melalui proses hukum akan lebih baik dari pada penyelesaian secara administratif.
4. Pengadilan Negri Kelas 1 A Tanjung Karang Penyelengaraan pengadilan pidana dalam “pendekatan system” merupakan suatu
rangkaian jalinan kerja yang dilaksanakan oleh sub-sub sistem peradilan pidana, yaitu para apartur penegak hukum pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan termasuk penasehat hukum. Aparatur penegak hukum merupakan elemen yang melaksanakan pekerjaan sistem
peradilan pidana criminal justice system dengan berdasarkan pada nilai-nilai tertentu peraturan perundang-undangan mekanisme kerja manajemen, kesatuan
pandang persepsi dan penca paian tujuan Eddy Rifa’I, 1999 : 43.
Pengadilan yang merupakan bagian dari system peradilan pidana bertugas memeriksa perkara-perkara yang datang dari penuntut umum atau penyidik,
merupakan central prosessing unit CPU, karena menerima masukan dari penuntut umum atau penyidik, untuk kemudian diproses menjadi keluaran yang
berupa suatu putusan. Putusan itu, apabila berupa pembebasan, akan kembali kemasyarakat dan apabila berupa pemidanaan penjara atau kurungan akan
masuk ke lembaga pemasyarakatan Eddy Rifa’i,1999 : 43.
Mengenai pelaksanaan penegakan ukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik, Tani Ginting ,responden Hakim menyatakan bahwa pada dasarnya lembaga
Peradilan, dalam hal ini hanya bersifat pasif, artinya menunggu saja perkara penuntutan dari jaksa selaku penuntut umum, menggingat hakim adalah puncak
dari suatu proses sebelumnya penyidik dan penuntutan, dengan demikian proses tersebut harus dipenuhi secara mutlak. Dengan kata lain, tanpa suatu penyidikan
dan penuntutan maka tidak ada proses peradilan pidana di pengadilan.
Tentang penetapan tagihan susulan yang diberlakukan oleh PLN, hakim menyatakan bahwa hal itu adalah kebijakan yang diambil PLN diluar substansi
hokum pidana,yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif dalam pelaksanaannya. Dampak positifnya adalah dapat dikembalikannya kerugian-
kerugian materi yang diderita oleh PLN, sedangkan dampak negatifnya sangsi administratif
ini dinilai
tidak bersifat
menjerakan, sehingga
besar kemungkinannya bagi pelanggar untuk mengulangi perbuatanya. Oleh karena itu
tetap diperlukan penerapan sanksi pidana sesuai ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP untuk mengulangi pencurian tenaga listrik yang terjadi.
Dilihat dari pendapat-pendapat yang dikemukakan, maka dapat diketahui adanya perbedaan pandangan dari masing-masing pihak, yaitu PLN, Polisi, Jaksa, dan
Hakim, dalam menanggapi penyelesaian yang dilakukan oleh PLN terhadap pencurian tenaga listrik yang terjadi, yang berupa penetapan tagihan susulan, dan
dalam hukum pidana dikenal sebagai penyelesaian diluar perkara. Pendapat pertama, yang didukung oleh PLN dan polisi menyatakan bahwa
penetapan tagihan susulan boleh saja dilakukan sepanjang lebih efektif dan lebih menguntungkan untuk diterapkan karena penegakan hukum pidana bertujuan
untuk mencapai keamanan dan ketertiban sehingga apabila dengan pembayaran tagihan susulan dapat menyelesaikan masalah maka dapat dibenarkan.
Pendapat kedua, yang didukung oleh Jaksa dan Hakim menyatakan bahwa penetapan tagihan susulan tidak dapat diberlakukan karena tidak sesuai substansi
dengan hukum pidana yang didasarkan pada asas legalitas, dimana untuk kasus
pencurian seperti pencurian tenaga listrik berlaku ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 362 KUHP.
Apabila dianalisis lebih jauh, untuk pendapat yang pertama, diketahui adanya suatu pemikiran bahwa penegakan hukum pidana tidak hanya mencakup law
enforcement tetapi juga peace maintenance, dimana penegakan hukum pidana bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan atau pelaksanaan
putusan hakim tetapi penegakan hukum pidana adalah juga merupakan proses menuju keamanan dan ketertiban untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan
hidup yang pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyakut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum. Akan
tetapi mempunyai unsur penelitian pribadi. Penerapan diskresi dapat terjadi karena adanya hambatan-hambatan dan
keterbatasan-keterbatasan dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana yang secara langsung dialami oleh PLN dan pihak kepolisian, baik dari segi biaya, yang
secara langsung dialami oleh PLN dan pihak Kepolisian, baik dari segi biaya, sarana prasarana maupun operasionalnya di lapangan. Jadi dalam hal ini,
penegakan hukum pidana sebagai suatu proses harus dilihat secara realistik, sehingga penegakan hukum secara aktual actual enjorcement harus dilihat
sebagai bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena adanya keterbatasan- keterbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan memperikan umpan balik
yang positif. Penegakan hukum pidana dalam kerangka system peradilan pidana tidak dapat
diharapkan sebagai satu-satunya sarana penaggulangan kejahatan yang efektif
sehingga perlu dicari saran yang paling efektif dalam usaha penaggulangan tersebut, yang dalam kasus pencurian tenaga listrik, sarana tersebut dapat
dilakukan dengan memberlakukan sanksi administratif berupa pembayaran tagihan susulan yang dinilai dapat menekan meningkatnya pencurian tenaga listrik
yang dapat memenuhi rasa keadilan dari kedua belah pihak, yaitu tercapainya titik temu antara hak yang dilanggar, dalam hal ini PLN, dengan adanya pengembalian
kerugian materi yng dideritanya dan hak pelanggar, dengan dipenuhinya kebutuhan tenaga listrik.
Jadi, untuk pendapat yang pertama, yang diutamakan adalah asas kepentingan keadilan dari pada asas kepentingan kepastian hukum karena pada dasarnya
keadilan bersifat relatif, dapat diperoleh tanpa harus melalui proses peradilan tetapi dengan pemenuhan kepentingan masing-masing pihak sehingga tercipta
keseimbangan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan rasa keadilan yang dibutuhkan masing-masing pihak dalam mencapai tujuan tertentu.
Pendapat yang kedua, didasarkan pada peikiran asas legalitas yang menghendaki adanya ketetapan dan kepastian hukum, yaitu dengan menetukan bahwa setiap
tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang harus atau wajib dituntut, mengingat sifatnya yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian-kerugian, sehingga
perlu pemberian shock therapy dengan tujuan untuk menjerakan pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatanya dan agar orang lain tidak melakukan
perbuatan yang sama karena bentuk hukumanya yang berupa pemidanaan dan tidak mensejahterkan. Penerapan cara ini dinilai efektif untuk dilaksanakan dalam
menekan meningkatnya jumlah kejahatan.
Selain dipengaruhi oleh faktor instansi dan aparat pelaksana penegak hukum yang mengalami banyak hambatan dan keterbatasan dalam operasionalnya di
lapangan, penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik dipengaruhi juga oleh faktor kesadaran hukum masyarakat yang dinilai masih belum memiliki
kesadaran hukum yang baik sehingga timbul budaya hukum masyarakat dengan mentalitas yang masih rendah.
Pencerminan budaya hukum masyarakat dengan sikap mental yang masih rendah terlihat dari sikap mental masyarakat yang suka menerabas, dalam arti lebih
menyukai cara yang mudah dan cepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Seperti dalam kasus pencurian tenaga listrik, masyarakat lebih memilih
untuk membayar tagihan susulan, yang dinilai lebih mudah dan lebih cepat prosesnya dalam menyelesaikan masalah dari pada harus mengupayakan
penyelesaian melalui proses hukum yang dinilai lebih lama waktunya dan lebih banyak prosedurnya.
Selain memiliki mental suka menerabas, masyarakat juga cenderung mematuhi hukum apabila ada rangsangan dari luar, yaitu apabila ada petugas atau ditindak
oleh petugas. Seperti dalam kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi, dimana pengawasan pemakaian tenaga listrik oleh PLN dirasakan masih sangat kurang
sehingga kesempatan untuk melakukan pencurian tenaga listrik semakin besar. Jadi dapat disimpulkan bahwa, semakin lemah tindakan petugas maka akan
semakin lemah pula tingkat ketaatan hukum oleh masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa kultur masyarakat akan menjadi kultur hukum yang biasanya
tercemin pada aturan hukum yang ada, dimana hukum dapat berjalan efektif apabila ada keserasian antara aturan hukum dengan kultur masyarakat.
Dari hasil penelitian yang dikemukakan apabila dikaitkan dengan teori Lawrence M. Friedman tentang tiga komponen system hukum yang dapat mempengaruhi
penegakan hukum, yaitu substansi hukum, stuktur hukum, dan budaya hukum, maka diketahui bahwa permasalahan penegakan hukum pidana terhadap
pencurian tenaga listrik di kota Bandar lampung terletak pada faktor budaya hukum.
Pihak PLN membudayakan penyelesaian secara administrative berupa penetapan tagihan susulan sebagai suatu bentuk ancaman hukuman terhadap pencurian
tenaga listrik yang terjadi, dengan alasan lebih efektif dan lebih menguntungkan untuk diterapkan daripada penyelesaian secara hukum yang harus memenuhi
persyartan-peryaratan dalam
melakukan tahapan-tahapan
suatu proses
penyelenggaraan peradilan, yang ternyata sulit untuk dilaksanakan karena adanya hambatan-hambatan dalam operasionalisasinya di lapangan, yang selain
dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor kesadaran hukum masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat cenderung memilih penyelesaian secara administratif dari pada
secara hukum dari pada sehingga kerjasama secara hukum untuk memenuhi persyaratan dalam tahapan-tahapan suatu proses penyelenggaraan peradilan sulit
dilakukan. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh pihak Kepolisian yang secara
langsung mengalami hambatan-hambatan dan keterbatasan-keterbatasan dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum pidana, sehingga terhadap pencurian
tenaga listrik dapat saja diterapkan sanksi administratif selama hal itu memang lebih efektif, lebih mnguntungkan dan lebih menguntungkan dan lebih
memungkinkan untuk dilaksanakan. Sikap PLN, sikap masyarakat dan sikap Kepolisian yang mendukung penyelesaian
secara administratif tersebut saling berkaitan dan saling mempengauhi pelaksanaan penegakan hukum sehingga penerapan hukum pidana oleh aparat
penegak hukum terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar lampung tidak terlaksana.
Apabila di lihat dari segi substansi hukum dan struktur hukum tidak menjadi persoalan karena secara substansi, pencurian tenaga listrik termasuk ke dalam
tindak pidana pencurian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 362 KUHP dan secara struktur,sudah terdapat sub-sub sistem peradilan pidana, yaitu para penegak
hukum pidana yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan termasuk penasehat hukumyang bertugas melaksanakan system
peradilan pidana, termasuk didalamnya terhadap kasus pencurian tenaga listrik. Sebagai salah satu bagian dari keseluruhan kebijaksanan penanggulangan
kejahatan, memang penegakan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan
secara tuntas. Hal ini wajar karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan
hukum pidana karena adanya keterbatasan-keterbatasn. Sebagai salah satu masalah social kejahatan merupakan suatu fenomena
kemasyarakatan yang dinamis, yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena
dan stuktur kemasyarakatan lainya yang sangat kompleks. Namun demikian, keberhasilan penegakan hukum pidana sangat diharapkan karena pada bidang
penegakan hukum inilah, maka “Negara berdasarkan atas hukum” direlisasikan Muladi, 1995. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya-upaya yang harus
dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait dalam menegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik yang terjadi, yaitu:
1. PT. PLN Sektor Wilayah Lampung
PLN sebagai pihak yang bertanggung jawab dibidang ketenagalistrikan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tegaknya hukum pidana
dalam kasus-kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi sehingga PLN diharapkan dapat melakukan upaya-upaya penegakan hukum pidana, antara
lain: a.
Memenuhi kewajibanya untuk melaporkanya terjadinya pencurian tenaga listrik. Sebagai pihak yang mengerti dan bertanggung jawab dibidang
ketenagalistrikan, PLN akan lebih dahulu mengetahui tentang adanya suatu perbuatan pencurian tenaga listrik, sehingga PLN mempunyai
kewajiban untuk melaporkan perbuatan tersebut kepada pihak berwenang, dalam hal ini kepolisian selaku penyidik, agar terhadap perbuatan tersebut
dapat dilakukan tindakan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hokum yang berlaku.
b. Penyediaan infrastuktur tenaga penyidik
Untuk mengoptimalkan upaya penegakan hokum pidana diperlukan penyediaan tenaga penyidik di instansi PLN, yaitu penyidik Pegawai Negri
Sipil yang berwenang melakukan kegiatan penyidikan dibawah koordinasidan pengawas penyidik Polri.
c. Mengadakan operasi gabungan antara PLN dan Kepolisian
Hal ini bertujuan untuk menjalin kerjasama dan koordinasi antara PLN dan Kepolisian selaku pihak yang langsung terkait dengan masalah penegakan
hukum yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu Kepolisian sebagai penyidik dan PLN sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap
masalah ketenagalistrikan dapat terealisasi. 2.
Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung Dengan semangat kewenangan umum Kepolisian, anggota Polri harus mau
menindak atau minimal melakukan tindakan awal terhadap setiap pelanggaran masyarakat atau hukum yang dilihatnya, termasuk bila terjadi pelanggaran
pencurian tenaga listrik sehingga dalam rangka meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut, Polisi dapat berfungsi dan
berperan proaktif. Oleh karena itu, dalam system manajemen operasional kepolisian, perlu dilakukan suatu system keamanan masyarakat secara umum
yang efektif dan efesien sekaligus dapat meningkatkan mekanisme badan kepolisian, antara lain dengan upaya-upaya sebagi berikut:
a. Mengkonkretkan peranan Polri sebagai unsur penindak awal dalam rangka
penegakan hukum pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, anggota Polri diharapkan dapat memenuhi persyaratan kualitatif yang
mampu melakuakan deteksi dini terhadap segala permasalahan yang mungkin timbul.
b. Pemantapan pembagian tugas dan cara kerja agar sumberdaya yang dapat
digunakan dengan hemat, cepat, tepat. c.
Meningkatkan integrasi sektoral dan fungsional. Polri diharapkan mampu menciptakan kerjasama dan koordinasi antara satuan-satuan fungsi
kepolisian sehingga dapat dicapai persatuan dalam kelembagaan dan fungsinya.
d. Meningkatkan kepekaan terhadap gejala pembauran diberbagai segi
kehidupan yang dapat berkembang menjadi ancaman faktual. e.
Meningkatkan system kerja berdasarkan perkembangan budaya dan perilaku masyarakat secara seimbang dan bertanggung jawab.
Selain itu diperlukan juga upaya-upaya oleh aparat penegak hukum sebagai sub- sub sistemperadilan pidana, yaitu Polisi, Jaksa, dan Hakim dalam meningkatkan
Integrated Criminal Justice System, yang antara lain dapat dilakuakan melalui interaksi, interdepedensi dan interkoneksi antar sub system sehingga dapat terjalin
kerja sama dan koordinasi antara aparat penegak hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan dalam rangka menciptakan gagasan-gagasan pemikiran yang
konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain sehingga tercapai gerak sistematis dari masing-masing sub system yang secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan yang berusaha mentransformasikan masukan input menjadi keluaran output yang menjadi tujuan system peadilan pidana yang berupa resosialisasi
pelaku tindak pidana jangka pendek, pengendalian kejahatan jangka menengah dan kesejahteraan sosial jangka panjang
D. Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap