PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN KAYU

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN KAYU DI HUTAN
PENGGARON KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN
SEMARANG
(Kajian Dilihat Dari Prespektif Hukum Lingkungan)
Triyan Febriyanto

triyanfebriyanto@students.unnes.ac.id
Abstrak
Sumber daya alam suatu negara merupakan bukti bahwa negara
tersebut akan kekayaan alam yang melimpah dan dapat digunakan oleh suatu
negara untuk kepentingan bangsanya terutama negara di Indonesia. Ditambah
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman
hayati, kita bisa melihat dari luasnya hutan tropis di Indonesia yang memiliki
berbagai jenis pohon yang memiliki kualitas kayu terbaik seperti pohon jati.
Tapi dibalik itu semua masih banyak oknum yang tidak bertnggung jawab yang
tega merusak hutan di Indonesia dengan melakukan penebangan dan
pencurian kayu secara illegal bahakan banyak juga oknum dari instansi
pemerintah yang terlibat akan kegiatan illegal logging hanya untuk
kepentingan pribadi. Sedangkan Indonesia sendiri telah menerapkan berbagai
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan
hutan dan kayu seperti UU NO 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Jika dilihat

dari segi perkembangan ekonomi Indonesia hutan merupakan salah satu unsur
yang mempengaruhi ekonomi Indonesia ketika hutan di daerah Indonesia
semakin sedikit hal ini akan menyebabkan Indonesai melakukan impor kayu
dari negara lain yang harganya lebih mahal. Sedangkan satu pohon yang
ditanam membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menjadi pohon
dewasa. Dari banyaknya kasus pohon di Indonesia sering dicuri oleh beberapa
oknum yang mengambil kayu di kawsan hutan milik pemerintah Indonesia,
sanksi yang tegas haruslah diterapkan bagi pencuri kayu secara illegal karena
dapat menyebabkan habisnya pohon di Indonesia seperti denda dan penjara
agar oknum-oknum ini jera untuk melakukan tindakan pencurian kayu di
kawasan yang dilindungi oleh pemerintah.
Kata kunci : Hutan, Illegal Logging, Pencuri, dan Penebangan.
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penanggulangan dengan menggunakan jalur hukum (penal) dan
penanggulangan di luar jalur hukum (non penal). Dalam hal penanggulangan
dengan jalur hukum, maka telah adanya kebijakan-kebijakan hukum dalam hal
pemberian sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan tindak kekerasan
seksual. UUD 1945 mengamanatkan, pemerintah dan seluruh unsur

masyarakat wajib melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, agar lingkungan hidup
Indonesia tetap menjadi sumber daya dan penunjang hidup bagi rakyat
Indonesia serta makhluk hidup lain. Pasal 33 UUD 45 merupakan norma dasar
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH), perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
Selama ini pengelolaan lingkungan hidup cenderung hanya pada
pemanfaatan lingkungan hidup sebagai objek pembangunan. Pengelolaan
lingkungan hidup berarti manajemen terhadap lingkungan hidup atau
lingkungan dapat dikelola dengan melakukan pendekatan manajemen.
Pendekatan manajemen lingkungan mengutamakan kemampuan manusia
dalam mengelola lingkungan, sehingga pandangan yang lazim disebut dengan
“ramah lingkungan”.1 Sikap dan kelakuan pro lingkungan tidak boleh anti
pembangunan.2Penegakan hukum merupakan isu yang menarik untuk diteliti
karena berkaitan dengan implementasi peraturan perundang-undangan yang
berlaku, penegakan hukum lingkungan sangat berkaitan dengan semua aspek

kehidupan manusia karena lingkungan merupakan penyangga kehidupan
mahluk hidup di bumi ini.
Secara konstitisonal terdapat dalam Pasal 28 huruf h ayat (1) yang
berbunyi “setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh
pelayanan kesehatan” dan Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” pada pasal 28
dikatakan setiap warga negara berhak akan lingkungan yang baik dan sehat,
penegakan hukum lingkungan merupakan instrumen untuk menciptakan
lingkungan yang baik dan sehat.3 Dalam praktek penyelenggaraan negara
dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA, pada masa Orde Baru posisi rakyat
tidak sejajar dengan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
artinya, diciptakan relasi yang bersifat subordinasi antara rakyat dengan
pemerintah, dalam pengertian bahwa rakyat dalam posisi yang inferior dan
1 Supriadi,2008, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 32.
2 Otto Soemarwoto,2001, Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 92.
3 Suwari Akhmaddhian, 2013, “Peran Pemerintah Daerah dalam Mewujudkan Hutan Konservasi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Studi di Kabupaten
Kuningan)”, Jurnal Dinamika Hukum . Vol. 13 No.3 September 2013, FH Unsoed, Purwokerto,
hlm. 446-556.

pemerintah dalam kedudukan yang superior. Sehingga selama kekuasaan
pemerintah Orde Baru telah memainkan tiga peran pokok dalam penguasaan
dan pemanfaatan SDA di Indonesia, yaitu: (1) pemerintah sebagai penguasa
SDA; (2) pemerintah sebagai pengusaha SDA; dan (3) pemerintah sebagai
institusi yang memproteksi SDA.4
Paradigma penguasaan dan pemanfaatan SDA oleh pemerintah
cenderung berorentasi pada kapital dan ekonomi, sehingga tidak jarang
mengorbankan kepentingan perlindungan ekologi dan perlindungan nilai-nilai
sosial budaya masyarakat pengguna SDA.5 Hal senada dengan itu menurut Mas
Ahmad Sentosa, pengelolaan SDA yang dijalankan selama orde baru,
berlangsung lebih didasarkan kepada kepentingan kebutuhan investasi dalam
rangka pemulihan kondisi ekonomi. Sehingga SDA dipandang dan dipahami
dalam kontek economy sense, dan belum dipahami sebagai ecological dan
sustainable sense. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan, bahwa dengan adanya
pertumbuhan ekonomi yang cepat untuk mengejar proses pembangunan,
apabila tidak berhati-hati, bisa dipastikan percepatan pembangunan berarti

juga percepatan perusakan SDA. 6 Ditambah lagi dengan lemahnya visi
keberlanjutan dan kerentanan daya dukung SDA yang terlihat dari berbagai
produk hukum mengenai sumberdaya alam telah mengakibatkan tingkat
perusakan berlangsung lebih cepat.7 Kondisi ini diperlukan pemikiran,
bagaimana melakukan pembangunan dengan cara berkesinambungan atau
yang lebih dikenal dengan konsep”sustainable development”.8
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang awam akan arti pentingnya
lingkungan hidup, maka di dalam pandangannya lingkungan hanyalah objek
sederhana yang sekadar terkait dengan alam, tumbuhan, dan hewan. Padahal
sesungguhnya, ruang lingkup lingkungan jauh lebih luas daripada hal tersebut,
yaitu menyangkut entitas menyeluruh di mana semua makhluk hidup berada.
Dalam konteks pembangunan negara dan pemberdayaan masyarakat, segala
aktivitas dan kegiatannya tidak dapat mengenyampingkan eksistensi
lingkungan pada titik dan batas tertentu. Oleh karenanya, pembangunan dan
pemberdayaan yang tidak memberikan perhatian serius terhadap lingkungan
justru akan menghasilkan anti-pembangunan dan anti-pemberdayaan. Terlebih
lagi, perlindungan terhadap lingkungan juga terkait erat dengan pemenuhan
hak asasi manusia.9
Menurut Mattias Finger, krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti
sekarang ini setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya, yaitu:

kebijakan yang salah dan gagal; teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung
merusak; rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya
merugikan lingkungan; tindakan dan tingkah laku menyimpang dari aktor-aktor
negara;
merebaknya
pola
kebudayaan
seperti
konsumerisme
dan
4 I. Nyoman Nurjaya,2000, Proses Pemiskinan di sektor Hutan dan Sumber Daya Alam,
Perspektif Politik Hukum, dalam Agenda Penangulangan Kemiskinan Struktural; Focal Point
Masyarakat Hutan, KIKIS, KPSHK, AusAID, Jakarta, hlm. 22.
5 Taqwaddin,2011, Aspek Hukum Kehutanan & Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, Intan
Cendekia, Yogyakarta, hlm. 40.
6 Sutikno dan Maryunani,2006, Ekonomi Sumberdaya Alam, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 20.
7 Mas Ahmad Sentosa,1999, Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya alam, ICEL, Jakarta, hlm.
25.
8 Sutikno dan Maryunani, Loc.Cit.

9 Bridget Lewis, “Environmental Rights or a Right to the Environment? Exploring the Nexus
between Human Rights and Environmental Protection”, Macquarie Journal of International and
Comparative Environmental Law, Vol. 8 No. 1, 2012, hlm 36-47.

individualisme; serta individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik.
Beranjak dari hal tersebut, maka pada umumnya jalan yang ditempuh untuk
mengatasi permasalahan lingkungan akan dilakukan melalui pembuatan
kebijakan yang lebih baik; teknologi baru dan berbeda; penguatan komitmen
politik dan publik; menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro-lingkungan
(green thinking); penanganan terhadap aktor-aktor yang dianggap
menyimpang; dan mengubah pola kebudayaan, tingkah laku, serta kesadaran
tiap-tiap individu.10
Kronologi Kasus
Ungaran, Aparat Polsekta Ungaran berhasil menggagalkan aksi pencurian
kayu di hutan Penggaron, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang,
setelah mendapat laporan masyarakat, selasa 29 Agustus dini hari. Polisi
mengamankan tiga orang pelaku yakni ST (pembeli kayu), RS (sopir truk) dan
BT (kuli panggul). Selain mengamankan tiga orang pelaku asal Magelang, polisi
menyita truk bernomor polisi AA 1412 NK bermuatan kayu Sonokeling, tali
tambang dan gergaji mesin. Truk tersebut memuat 19 batang kayu Sonokeling

dengan volume 5.27 meter kubik senilai Rp 40 juta. “ Para pelaku melakuka
aksinya mulai senin 28 Agustus sore sampai 29 Agustus dini hari. Mereka
menebang pohon Snokeling di petak nomor 6 hutan penggaron milik Perhutani
yang berada di wilayah Susukan, Ungaran Timur, “Ungkap Kapolres Semarang
AKBP V Thirdy Hadmiarso di Polsekta Ungaran, Selasa 29 Agustus.
Menurut kapolres, dugaan pencurian kayu Perhutani tersebut terendus
warga yang curiga ada truk masuk Hutan Penggaron pada malam hari. Warga
kemudian melaporkan ke Polsekta Ungaran “Saat polisi mendatangi lokasi
sudah tidak mendapati ada truk, dan mendapat informasi truk sudah keluar
dari Hutan Penggaron. Para pelaku kita amankan dalam perjalanan ketika akan
membawa kayu ke Magelang. “jelasnya”. Kapolres mengatakan saat ini masih
mendalami keterangan pelaku. Hal ini untuk mengetahui adanya keterlibatan
pelaku lain termasuk keterliatan oknum di internal Perhutani. “Akan kita
telusuri apakah ada pihak tertenu yang terlibat. Kita masih mendalami
keterangan ketiga pelaku, “ujarnya”. Kapolres menambahkan, polisi juga masih
mendalami apakah kayu yang dicuri jumlahnya lebih lebih banyak dari yang
berhasil digagalkan. Adanya aksi pencurian tersebut kerugian yang dialami
Perhutani diperkirakan mencapai Rp 40 juta. “Para pelaku dikenakan pasal 78
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena diduga melakukan tindak
pidana pencurian hasil hutan. “katanya”(Koran Wawasan Rabu 30 Agustus

2017 Halaman 17).11
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditetukan rumusan masalah dari peristiwa ini
yaitu:
1. Bagaimana penegakan hukum lingkungan di Indonesia dalam kasus
pencurian kayu di Hutan Penggaron?
2. Bagaimana
pengaruh
penegakan
hukum
lingkungan
terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
10 Matthias Finger, 2006, “Which Governance for Sustainable Development? An Organizational
and Institutional Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, editor., The
Crisis of Global Environmental Governance: Towards a New Political Economy of Sustainability,
New York: Routledge Taylor & Francis Group, hlm. 125.
11 Wawasan, “Polisis Gagalkan Pencuri Kayu Hutan Penggaron”, Koran Wawasan, 30 Agustus
2017, hlm. 17.


3. Apa saja sanksi yang akan dikenakan bagi pelaku pencurian kayu di
Hutan Penggaron?
PEMBAHASAN
Subjudul 1
Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dari siklus
peraturan (regulatory chaim) perencanaan kebijakan lingkungan. Sebagai mata
rantai terakhir, banyak kalangan menganggap bahwa penegakan hukum
lingkungan (environmental law enforcement) hanyalah proses pengadilan.
Anggapan seperti ini mengisyaratkan bahwa penegakan hukum lingkungan
hanya bersifat represif, yaitu setelah terjadinya kasus pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan. Padahal penegakan hukum lingkungan sebenarnya tidak
hanya terbatas pada tindakan yustisial atau dengan istilah “meja hijaukan”
semata, melainkan bagaimana melaksanakan dan menegakan peraturan
perundang-undangan lingkungan. Kegiatan melakukan dan melaksanakan
peraturan tidak hanya menjadi tanggung jawab pengadilan, melainkan yang
paling utama menjadi tanggung jawab aparatur pemerintah di bidang
lingkungan hidup. Untuk itu tepatlah pandangan Keith Hawkins, bahwa
penegakan hukum lingkungan dapat dilihat daari dua sistem atau strategi yang
langkah pertama yang harus dilakukan untuk mencapai penataan peraturan.
Ada kelebihan penegakan hukum lingkungan administrasi dibandingkan
dengan penegakan hukum lainnya (perdata dan pidana), sebagaimana
dikemukakan oleh Mas Ahmad Santosa berikut ini:
1. Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup dapat
dioptimalkan sebagai perangkat pencegahan (preventif)
2. Penegakan hukum administrative (yang bersifat pencegahan) dapat lebih
efisien dari sudut pembiayaan dibandingkan dengan penegakan hukum
pidana dan perdata. Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi
meliputi biaya pengawasan lapangan yang dilakukan secara rutin dan
pengujian laboratorium, lebih murah daripada dengan upaya
pengumpulan bukti, investigasi lapangan, mempekerjakan saksi ahli
untuk membuktikan aspek kualitas (sebab akibat) dalam kasus pidana
dan perdata.
3. Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dilakukan mulai dari prose
perizinan, pemantauan penataan/pengawasan, dan partisipasi dalam
mengajukan keberatan dan meminta pejabat tata usaha negara untuk
memberlakukan sanksi administrasi.12
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,
dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor6. Pertama, faktor hukum atau peraturan
perundangundangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihakpihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang
berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni
lingkungan social di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam
perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.13
12 Muhammad Akib, 2014, “Hukum Lingkungan Prespektif Global dan Nasional”, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 203-204.
13 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, BPHN & Binacipta, Jakarta, hlm. 15

Subjudul 2
Menurut pandangan para ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo, Thomas
Robert Malthus dan John Stuart Mill), maupun para ekonom neoklasik (Robert
Sollow dan Trevor Swan), pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi yaitu24 :
a. Jumlah penduduk.
b. Jumlah stok barang modal.
c. Luas tanah dan kekayaan alam, dan
d. Tingkat teknologi yang digunakan.14
Dian Puji Simatupang, dalam keterangan tertulisnya mengatakan
sebanyak 89 persen investor menginginkan produk hukum yang lebih baik
untuk menjamin kelanjutan investasi di sini Beberapa kasus ketidakpastian
hukum yang dikemukanan oleh PMA antara lain mengenai dimenangkannya
gugatan Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd terhadap Merrill
Lynch International Bank Ltd. MA telah memutuskan Renaissance yang dimiliki
Prem Harjani berhak mendapat ganti sebesar Rp 251 miliar. Padahal
sebelumnya di Pengadilan Tinggi Singapura, telah memutuskan bahwa Prem
Harjani telah melakukan penipuan dan Renaissance telah mengakui hutangnya
kepada Merrill Lynch. Tak heran jika banyak kasus PMA yang lebih memilih
menghindari berperkara di pengadilan Indonesia. Seperti kasus yang dialami
Medley Opportunity Fund di tahun 2012. Ketika berperkara dengan pengusaha
lokal, perusahaan asal AS ini lebih memilih pengadilan di Inggris dan
Singapura. Begitupun dengan Churchill Mining, perusahaan asal Inggris, tahun
lalu juga memilih mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement
of Investment Disputes (ICSID) di Washington, AS, saat bersengketa dengan
pemerintah RI dalam kasus pencabutan ijin tambangnya. Dia menambahkan,
ada tiga hal yang menjadi perhatian utama PMA25. Pertama, produk hukum
yang menciptakan kebingungan karena multitafsir. Kedua, sistem hukum
peradilan di mana Indonesia menganut pada hukum Belanda. Namun, ketika
ada perkara, banyak menggunakan dasar hukum dan berubah-ubah.
Sedangkan yang ketiga yaitu Risiko Politik. Setiap pergantian pejabat maka
kebijakan yang dibuat juga mengalami perubahan sehingga membingungkan
investor. Sehingga jika kondisi ini terus berlangsung, PMA belum bisa
memastikan keberlangsungan investasinya di Indonesia. Menurut Adi
Sulistyono memberikan berpendapat mengenai konsep pembangunan
pembangunan hukum ekonomi berkelanjutan (sustainable economic law
development), selain melakukan pembangunan hukum harus memberdayakan
daya dukung aspek yang lainnya.15
Subjudul 3
Sebagai suatu kebijakan umum dalam penegakan hukum dibidang
hukum lingkungan, pada tahun 2001, Presiden Republik Indonesia melalui
instruksi Presiden (INPRES) Nomor 5 Tahun 2001 telah memerintahkan
beberapa instansi yang terkait untuk memberantas penebangan kayu illegal
(illegal logging) dan peredaran hasil hutan illegal. Dalam instruksi Presiden ini
secara tegas diperintahkan kepada Menteri Koordinator Politik dan Sosial
Keamanan, Menteri Kehutanan, Kepala Kepolisisan Negara, Jaksa Agung,
14 Mudrajad Kuncoro, 2004, “ Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang “, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 35.
15 Adi Sulistyono dan Muhammad Rastamji, 2009, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,
Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, hlm. 75.

Panglima Tentara Nasional Indonesia, Menteri Perindustrian dan Perdagangan,
Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi serta Menteri Kehakiman dan HAM
dari instansi masing-masing mengambil langkah-langkah tegas dan segera
menanggulangi kejahatan dan pelanggaran dibidang kehutanan khususnya
penebangan, pencurian dan peredaran kayu secara illegal.16
Sesuai dengan UU NO 41 Tahun 1999 pasal 50 ayat 3 E. menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dan F.menerima, membeli
atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki
hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang
diambil atau dipungut secara tidak sah.17Pasal 362 KUHP barang siapa
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang
lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian dengan pidana penjara 5 tahun dan denda 60 ribu rupiah. 18 UU NO
41 Tahun 1999 Pasal 14 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama
badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan
terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dikenakan
pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.19
KESIMPULAN
Pencurian kayu yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia terutama
pada kawasan Hutan Penggaraon Semarang merupakan salah satu kegiatan
yang melanggar UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dimana illegal
logging menjadi salah satu hal yang selalu terjadi setiap tahunya bahkan bisa
dikatakan sudah berapa banyak jumlah pohon di Indonesia yang habis karena
penebangan dan pencurian kayu secara liar. Telah banyak perturan undangundang yang dapat mencegah terjadinya kegiatan tersebut dari mulai UUD
1945, KUHP dan undang-undang lain akan tetapi masyarakat tidak takut akan
sanksi hukum di Indonesia dari mulai denda dan penjara, bukan hanya
masyarakat luar saja yang terlibat dalam penebangan liar ini tapi banyak
ditemui oknum-oknum pemerintahan yang ikut terlibat, alasan yang mendasar
dari tindakan yang dilakukan oknum pemerintah bukan lain adalah karena
hanya didasarkan pada kepentingan individu. Hukum yang diciptakan oleh
negara sendiri hanya dijadikan sebuah pajangan saja dimana masyarakat tidak
memikirkan dampak apa yang akan terjadi ketika melanggar peraturan yang
telah dibuat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
16 Yudistira Rusydi, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pencurian Kayu Hutan di Kabupaten
Musi Banyu Asin Propinsi Sumatera Selatan”, Jurnal Ilmu Hukum Pandecta, vol. 6, No. 1, Juni
2011, FH UNNES, Semarang, hlm. 144.
17 Republik Indonesia, UUD No. 41 Tahun 1999, Bab 5, Pasal 1.
18 Republik Indonesia, KUHP, Bab 22, Pasal 362.
19 Republik Indonesia, Op.Cit, Bab 24, Pasal 14.

























Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Sinar Grafika.
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurjaya, I. Nyoman. 2000. Proses Pemiskinan di sektor Hutan dan Sumber
Daya Alam, Perspektif Politik Hukum, dalam Agenda Penangulangan
Kemiskinan Struktural. Jakarta :Focal Point Masyarakat Hutan, KIKIS, KPSHK,
AusAID.
Taqwaddin. 2011. Aspek Hukum Kehutanan & Masyarakat Hukum Adat di
Indonesia. Yogyakarta: Intan Cendekia.
Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam. Malang: Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Sentosa, Mas Ahmad Sentosa. 1999. Demokratisasi Pengelolaan Sumber
Daya alam, Jakarta: ICEL.
Finger, Matthias. 2006. Which Governance for Sustainable Development? An
Organizational and Institutional Perspective. dalam Jacob Park, Ken Conca,
dan Matthias Finger, editor., The Crisis of Global Environmental Governance:
Towards a New Political Economy of Sustainability, New York: Routledge
Taylor & Francis Group.
Akib, Muhammad Akib. 2014. Hukum Lingkungan Prespektif Global dan
Nasional. Jakarta: Rajawali Pers.
Soekanto, Soerjono. 1983. Penegakan Hukum. Jakarta: BPHN & Binacipta.
Kuncoro, Mudrajad Kuncoro. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah:
Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sulistyono, Adi dan Muhammad Rastamji. 2009. Hukum Ekonomi Sebagai
Panglima. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
Lewis, Bridget. Environmental Rights or a Right to the Environment?
Exploring the Nexus between Human Rights and Environmental Protection.
Macquarie Journal of International and Comparative Environmental Law, Vol.
8 No. 1, 2012.
Akhmaddian, Suwari. 2013. Peran Pemerintah Daerah dalam Mewujudkan
Hutan Konservasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan (Studi di Kabupaten Kuningan). Jurnal Dinamika Hukum.
Purwokert: FH Unsoed Vol. 13 No.3 September 2013.
Rusydi, Yudistira. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pencurian Kayu Hutan
di Kabupaten Musi Banyu Asin Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu Hukum
Pandecta, vol. 6, No. 1, Juni 2011, Semarang: FH UNNES.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Lembaran Negara RI Tahun 1999. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 1999. UUD No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Lembaran Negara RI Tahun 1999. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lembaran
Negara RI Tahun 2014. Sekretariat Negara. Jakarta.
Wawasan. 2017. Polisi Gagalkan Pencurian Kayu Hutan Penggaron.
Semarang: Pencurian Kayu, (30 Agustus 2017).

Lampiran