Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Pendekatan ECM)

(1)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

(PENDEKATAN ECM )

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Fadli Hamonangan

060501087

Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi

Medan


(2)

ii

ABSTRACT

The aim of this research is to analyze the factors which influences the economic growth in Indonesia. The variables employed in this research are export, Government expenditure, and inflation. Data used for this research is time series data from 1970 to 2007. The data is processed with program e-views 5.1 by using econometric model that is Error Correction Model (ECM).

The estimation showed R-square is 92%, it means that the independent variables are able to explain the dependent variable as much as 92%, while the rest 8% are explained by variables are not included in estimation model. Export and Government expenditure have positively influence on economic growth. inflation has negatively influence on economic growth. All the independent variables are significant in statistic estimation and according to hypothesis.

Keywords : Economic growth, export, government expenditure, inflation, Error Correction Model (ECM).


(3)

iii

ABSTRAK

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ekspor, pengeluaran Pemerintah, dan inflasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series yaitu dari tahun 1970 sampai 2007. Data diolah dengan menggunakan program e-views 5.1 dengan menggunakan model Error Correction Model (ECM).

Hasil estimasi menunjukkan nilai R-square yaitu 92%, yang berarti bahwa variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 92%, sisanya 8% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi. Ekspor dan pengeluaran Pemerintah mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, sedangkan inflasi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Semua variabel bebas signifikan secara statistik dan sesuai hipotesis.

Kata Kunci : Pertumbuhan ekonomi, ekspor, pengeluaran pemerintah, inflasi, Error Correction Model (ECM).


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan pertolongan-Nya, yang selalu menyertai penulis dalam melakukan segala aktivitas penulis hingga sampai pada penyelesaian skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Pendekatan ECM)”.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat, materil, maupun sumbangan pemikiran. Oleh sebab itu pula pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan yang mendukung penyelesaian skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, Selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, sebagai sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan FE USU.

4. Bapak Paidi Hidayat, Msi, selaku Dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bantuan bimbingan, saran, masukan, kritikan dan petunjuk kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini.


(5)

v

5. Kasyful Mahalli, Msi, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis. 6. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Dosen Penguji II yang

telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.

7. Ibu T Diana Bakti, Msi, selaku Dosen wali yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan.

8. Serta seluruh Staff Pengajar dan Staff Administrasi Fakultas Ekonomi USU yang selama ini telah mendidik dan membimbing penulis dengan baik.

9. Kedua Orangtua tercinta penulis Ayahanda Alimura Panggabean dan Ibunda Rosmaini Sitompul, Dengan penghargaan dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya, terimakasih buat dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat dan doa yang tak ternilai harganya.

10.Kakak/abang/Adik serta keponakan penulis : farida ningsih, reskianna, ali guntur, heriandi, yarit, widia, dan denil yang telah banyak memberi dukungan dan semangat bagi penulis.

11.Keluarga saya yang di marelan, Bapak (alm.), Ibu, abang tercinta rinaldi rizal affandi, terima kasih atas kasih sayang yang sedalam-dalamnya, terimakasih buat dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat dan doa yang tak ternilai harganya. 12.Buat Saudara-saudara penulis terima kasih buat motivasi dan dukungannya


(6)

vi

12 Buat senoir saya EP’04 (Bang Andry Lambok) terimakasih buat bantuannya, doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.

13.Buat sahabat penulis tersayang fitri sumayanti yang selalu memberikan semangat dan doa selama penulisan skripsi ini, terimakasih yang sebesar-besarnya.

14.Buat teman-teman terdekat penulis, M. hamdani, puad, ahmadi, fazli, radifan, adit, lily, devi, vera, rini yang telah banyak membantu di dalam pembuatan skripsi ini. Terimakasih untuk kehadiran kalian sebagai teman-teman terbaik disetiap harinya yang begitu berkesan bagi penulis.

15.Buat teman-teman di Departemen Ekonomi pembangunan, khususnya angkatan ’06 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan warna dan kebersamaan pada setiap hari yang kita lewati bersama.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan ataupun kelemahan dan keterbatasan dalam penyusunanya oleh sebab itu penulis menerima segala masukan yang konstruktif dari para pembaca guna penyempurnaan isi maupun teknik penulisan yang benar. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih.

Hormat Saya Penulis,


(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Ekspor dengan Pertumbuhan Ekonomi ……… 8


(8)

viii

2.3 Hubungan Inflasi dengan Pertumbuhan Ekonomi ………. 16

2.4Penelitian Sebelumnya ……….... 18

2.5Kerangka Konseptual Penelitian ... 20

BAB III: METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 22

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 22

3.3 Pengolahan Data ... 23

3.4 Metode Analisis ... 23

3.4.1 Uji Akar Unit (Unit Root-Test) ... 23

3.4.2 Uji Derajat Integrasi ………. 24

3.4.3 Error Correction Model (ECM) ……… 25

3.5 Test of Goodness of Fit (uji Kesesuaian) ………. 27

3.5.1 Koefisien Determinasi (R-squre) ……….. 27

3.6 Uji penyimpangan Asumsi Klasik ... 27

3.6.1 Multikolinearity ... 27

3.6.2 Autocorrelation (LM-Test) ... 28

3.7 Defenisi Variabel Operasional ………. 29

BAB IV: HASIL PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia ... 30


(9)

ix

4.3 Perkembangan ekspor di Indonesia ... 34

4.4 Perkembangan pengeluaran pemerintah di Indonesia... 37

4.5 Perkembangan Inflasi di Indonesia ... 41

4.6 Analisis Data ……… 44

4.6.1 Hasil Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi ………... 44

4.6.3 Analisis Model ECM ...47

4.6.3.1 Hasil Estimasi Model ……... ………....47

4.6.4 Test of Goodness of Fit (uji Kesesuaian) ………....49

4.6.4.1 Analisis Koefisien Determinasi (R-Square) ...49

4.6.5 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik …... 49

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...52

5.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(10)

x

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

4.1 : Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi indonesia 33

4.2 : Perkembangan Ekspor di Indonesia 36

4.3 : Perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Indonesia 38

4.4 : Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia 42

4.5 : Hasil Estimasi ADF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit 45 4.6 : Hasil Uji Derajat Integrasi dari Phillips-Perron 46

4.7 : Hasil Error Correction Model (ECM) 47

4.8 : Hasil Multikolienaritas 50


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 : Kerangka Konseptual 20

2.2 : Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 32

2.3 : Perkembangan Ekspor di Indonesia 35

2.4 : Perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Indonesia 40


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran

1 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi

Untuk Uji Akar Unit Pada Pertumbuhan Ekonomi (Y)

2 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit Pada Ekspor (X1)

3 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi

Untuk Uji Akar Unit Pada Pengeluaran Pemerintah (X2)

4 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit Pada Inflasi (X3)

5 : Hasil Regres Error Correction Model (ECM)

6 : Hasil Regres Multikolienaritas


(13)

ii

ABSTRACT

The aim of this research is to analyze the factors which influences the economic growth in Indonesia. The variables employed in this research are export, Government expenditure, and inflation. Data used for this research is time series data from 1970 to 2007. The data is processed with program e-views 5.1 by using econometric model that is Error Correction Model (ECM).

The estimation showed R-square is 92%, it means that the independent variables are able to explain the dependent variable as much as 92%, while the rest 8% are explained by variables are not included in estimation model. Export and Government expenditure have positively influence on economic growth. inflation has negatively influence on economic growth. All the independent variables are significant in statistic estimation and according to hypothesis.

Keywords : Economic growth, export, government expenditure, inflation, Error Correction Model (ECM).


(14)

iii

ABSTRAK

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ekspor, pengeluaran Pemerintah, dan inflasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series yaitu dari tahun 1970 sampai 2007. Data diolah dengan menggunakan program e-views 5.1 dengan menggunakan model Error Correction Model (ECM).

Hasil estimasi menunjukkan nilai R-square yaitu 92%, yang berarti bahwa variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 92%, sisanya 8% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi. Ekspor dan pengeluaran Pemerintah mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, sedangkan inflasi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Semua variabel bebas signifikan secara statistik dan sesuai hipotesis.

Kata Kunci : Pertumbuhan ekonomi, ekspor, pengeluaran pemerintah, inflasi, Error Correction Model (ECM).


(15)

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perekonomian dunia saat ini dihadapkan pada suatu perubahan drastis yang tak terbayangkan sebelumnya. Krisis kredit macet perumahan beresiko tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis keuangan global, dan kemudian Dalam hitungan bulan telah berubah menjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia. Kuatnya intensitas krisis membuat Negara Negara kawasan Asia, yang semula dianggap relative steril dari dampak krisis, akhirnya sulit bertahan dan turut pula terkenan imbas krisis.

Sejalan dengan semakin dalamnya krisis global, kegiatan investasi juga mulai menurun. Perlambatan investasi juga dialami beberapa industry seperti industry logam dasar bukan besi, industry bambu, kayu dan rotan, industry minyak dan lemak, industry mesin, tekstil dan Industri pengilangan minyak, serta industry barang dari karet. Mengingat industryi–industri tersebut bersifat leading dalam investasi (memiliki multiplier investasi yang tinggi), maka perlambatan investasi yang dialami oleh sektor-sektor tersebut berpengaruh besar terhadap kinerja perekonomian secara keseluruhan.

Peran investasi terhadap PDB telah mengalami perubahan structural setelah periode krisis moneter yang tercermin dari penurunan pangsa investasi terhadap PDB secara drastis. Namun demikian sejak enam tahun terakhir peran investasi mulai menunjukkan peningkatan yang tercermin dari perbaikan pertumbuhan investasi yang rata-rata telah mencapai 9,9% selama 2004-2008.


(16)

xiv

Bahkan hingga kuartal III-2008, kinerja investasi telah menunjukkan pertumbuhan mencapai lebih dari 12%. Namun demikian, memburuknya prospek perekonomian dunia yang mulai terlihat di triwulan IV-2008 mendorong pengusaha untuk menunda pengeluaran investasi dan melakukan efisiensi yang pada akhirnya berdampak pada melambatnya pertumbuhan investasi dikuartal tersebut sebesar 9,1%.

Bukan hanya kegiatan investasi tetapi juga kinerja ekspor mengalami penurunan. Penurunan kinerja ekspor tidak terlepas dari struktur ekspor Indonesia yang hingga saat ini mayoritas masih ditujukan untuk memenuhi permintaan Negara maju terutama AS dan Jepang. Selain kedua Negara tersebut, ekspor Indonesia ke China dan singapura juga menempati pangsa yang cukup besar. Kondisi ini menyebabkan rentannya kinerja ekspor Indonesia terhadap perkembangan ekonomi AS, Jepang dan juga china yang juga merupakan mitra dagang AS. Selain factor tersebut, tingginya kontribusi sector primer dalam struktur ekspor Indonesia yang tercatat hampir mencapai 50% dari total ekspor turut mendorong pelemahan kinerja ekspor Indonesia.

Rentannya kinerja ekspor terhadap krisis global juga tidak terlepas dari karakteristik ekspor Indonesia selama ini. Kurang teridentivikasinya Negara tujuan ekspor, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia langsung mendapat pukulan berat. Selain itu komoditas ekspor Indonesia juga cenderung kurang teridentivikasi dimana komoditas utama ekspor sebagian besar masih berbasis sumber daya alam yang ternyata justru sangat rentan terhadap gejolak harga. Melemahnya kinerja ini selanjutnya memberikan tekanan pada sector-sector lainnya yang memasok bahan baku pada sektor industry eskpor.


(17)

xv

Selain investasi dan ekspor, pengeluaran pemerintah juga memiliki pengaruh yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah dalam APBN diharapkan dapat menstimulus produk domestik bruto. Pengeluaran pemerintah dapat menstimulus perekonomian melalui peningkatan konsumsi dan investasi. Konsumsi dan investasi merupakan komponen Produk Domestik Bruto (PDB). Pengeluaran rutin pemerintah digunakan untuk pengeluaran yang tidak produktif dan mengarah kepada konsumsi sedangkan pengeluaran pembangunan lebih bersifat investasi. Hal ini menuntut produktivitas masing-masing komponen pengeluaran pemerintah untuk dapat memberikan kontribusi kepada PDB untuk periode berikutnya secara berkesinambungan. Tentunya pengeluaran komponen-komponen tersebut harus dialokasikan kepada pengeluaran-pengeluaran yang bersifat produktif dan investasi. Dapat juga dikatakan, anggaran belanja rutin memegang peranan yang penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan. Sedangkan pengeluaran pembangunan ditujukan untuk membiayai program pembangunan yang anggarannya selalu disesuaikan dengan besarnya dana yang berhasil dimobilisasi.

Apabila dalam kondisi alokasi anggaran tidak memberikan arah perubahan besar bagi terciptanya suatu suasana keadilan sebagai stimulasi pertumbuhan ekonomi dan justru menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor vital dalam membangun suatu bangsa yang maju dan beradab seperti pada sektor pendidikan, kesehatan dan peningkatan kualitas hidup seluruh bangsa Indonesia. Maka pemerintah melalui kebijakan


(18)

xvi

anggaran negara yang dilakukan dengan mengarahkan alokasi belanja rutin yang ditunjukan pada upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Sedangkan pengeluaran pembangunan diarahkan untuk program proyek prasarana sosial dan program pemulihan perekonomian.

Dampak krisis global juga membuat tekanan inflasi pada tahun 2008 secara keseluruhan cukup tinggi. Inflasi pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi 11,06% (yoy) dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 6,59%. Sumber tekanan inflasi terutama berasal dari tingginya lonjakan harga komoditas global terutama harga komditas minyak dan pangan ditambah dengan beberapa permasalahan distribusi dan pasokan. Namun tekanan inflasi mereda cukup signifikan pada triwulan IV-2008 terutama akibat merosotnya harga komoditas global dan juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM pada desember 2008 seiring dengan turunnya harga minyak dunia.

Selain krisis global di penghujung tahun 2007, Indonesia pernah mengalami resesi ekonomi yang cukup besar. Dampak negatif dari resesi ekonomi dunia pada tahun 1982 terhadap perekonomian Indonesia terutama terasa dalam laju pertumbuhan ekonomi yang rendah untuk periode 1982-1988 yaitu sekitar 3,62 persen. Selama periode 1993-1995 rata-rata pertumbuhan pertahun meningkat menjadi 7,3 hingga 8,2 persen, tetapi akibat krisis yang melanda Indonesia laju pertumbuhan ekonomi nasional menurun drastis. Pada tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13,13 persen dengan laju inflasi sebesar 77,63 persen. Kondisi ini sangat memprihatinkan dimana harga-harga


(19)

xvii

melambung tinggi sehingga masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Tambunan, 2001 :12-13).

Di Indonesia, perekonomian yang dalam 3 (tiga) triwulan terakhir dipenuhi optimis dan tumbuh diatas 6%, tiba tiba harus mengalami perlambatan dan hanya mampu tumbuh 5,2% pada triwulan IV-2008, jauh menurun dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu yang mencapai 5,9%. Seiring dengan meningkatnya intensitas krisis financial global, ketahanan perekonomian domestic terhadap imbas krisi tersebut akan sangat bergantung pada karakteristik perekonoian Indonesia yang tercermin dari perkembangan berbagai indicator makro ekonomi dalam kurun waktu lima tahun sampai sepuluh tahun terakhir.

Maka berdasarkan uraian diatas penulis ingin menganalisa lebih lanjut mengenai pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan juga mengetahui sejauh mana faktor-faktor seperti ekspor, pengeluaran pemerintah, dan inflasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka penulis membuat skripsi dengan judul “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi

Indonesia : pendekatan Error Correction Model”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh keseimbangan jangka pendek jumlah Ekspor, dan Pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?


(20)

xviii

2. Bagaimana pengaruh keseimbangan jangka pendek tingkat inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh jangka pendek Jumlah Ekspor, Pengeluaran Pemerintah dan tingkat inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh jangka panjang Jumlah Ekspor, Pengeluaran Pemerintah, dan tingkat inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan pemikiran bahan studi atau tambahan ilmu pengetahuan khususnya bagi mahasiswa/i Departemen Ekonomi Pembangunan.

2. Sebagai bahan studi atau tambahan literatur bagi mahasiswa/i Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.

3. Sebagai bahan tambahan dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

4. Sebagai salah satu syarat bagi Penulis untuk menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana.


(21)

xix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu tujuan pembangunan sacara makro adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berhubungan dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat dan dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menyangkut perkembanganyang berdimensi tunggal dan diukur dengan peningkatan hasil produksi dan pendapatan.

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai sekarang lebh tinggi dari pada yang dicapai pada masa sebelumnya. Pertumbuhan tercapai apabila jumlah fisik barang-barangdan jasa-jasa yang dihasilkan dalam perekonomian tersebut bertambah besar dari tahun-tahun sebelumnya.

Dalam teori ekonomi pembangunan, dikemukakan ada enam karakteristik pertumbuhan ekonomi, yaitu :

1. Terdapatnya laju kenaikan produksi perkapita yang tinggi untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang cepat.

2. Semakin meningkatnya laju produksi perkapita terutama akibat adanya perbaikan teknologi dan kualitas input yang digunakan.

3. Adanya perubahan struktur ekonomi dari sector pertanian ke sector industry dan jasa.


(22)

xx

4. Meningkatnya jumlah penduduk yang berpindah dari pedesaan ke daerah perkotaan (urbanisasi).

5. Pertumbuhan ekonomi terjadi akibat adanya ekspansi Negara maju dan adanya kekuatan hubungan internasional.

6. Meningkatnya arus barang dan modal dalam perdagangan internasional. (Jhingan : 1995)

2.1 Hubungan Ekspor dengan Pertumbuhan Ekonomi

Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara miskin tidak akan mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam menganbil keuntungan dari skala ekonomi yang mereka miliki (Michael P. Todaro & Stephen C).

Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2000).

Ekspor maupun impor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor impor akan


(23)

xxi

memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara miskin tidak akan mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui promosi serta penguatan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif, baik itu berupa ketersediaan faktor-faktor produksi tertentu dalam jumlah yang melimpah, atau keunggulan efisiensi alias produktifitas tenaga kerja. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang mereka miliki. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, setiap negara perlu merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan internasional yang berorientasi ke luar. Dalam semua kasus, kemandirian yang didasarkan pada isolasi, baik yang penuh maupun yang hanya sebagian, tetap saja secara ekonomi akan lebih rendah nilainya daripada partisipasi ke dalam perdagangan dunia yang benar-benar bebas tanpa batasan atau hambatan apapun (Todaro dan Smith, 1993).

Ahli ekonomi telah menunjukkan berbagai kebaikan dari hubungan ekonomi dengan luar negeri, terutama kegiatan mengekspor dan mengimpor. Ahli ekonomi Klasik telah lama telah lama menunjukkan bahwa ekspor dapat memperluas pasar (contoh : sumbangan ekspor karet dan minyak mentah kepada ekonomi Indonesia) dan memungkinkan Negara yang mengekspor memperoleh dana untuk mengimpor barang lain, termasuk barang modal yang akan


(24)

xxii

mengembangkan perekonomian tersebut lebih lanjut. Perkembangan perdagangan dunia dalam dua tiga decade belakangan ini menunjukkan pula bahwa perkembangan ekspor yang pesat telah dapat menciptakan percepatan dalam pertumbuhan ekonomi di berbagai Negara. Perkembangan ekspor yang pesat tersebut menyebabkan pertambahan pesat dalam perbelanjaan agregat, yang pada akhirnya akan menimbulkan pertumbuhan pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi yang pesat (Sukirno : 87).

Menurut pendapat kaum merkantilis bahwa kemakmuran Negara akan tercapai bilamana terjadi kelebihan ekspor disbanding impor. Kelebihan ini dibayar dengna emas, dan emas inilah yang akan memakmurkan Negara atau disebut dengan neraca pembayaran yang aktif. Adam Smith mengatakan bahwa neraca pembayaran aktif tidak akan bias dipertahankan perekonomian Negara karena neraca pembayaran selalu menuju proses keseimbangan . Keynes mengatakan keseimbangan ekspor dan impor suatu Negara adalah pendapatan nasional. Ekspor Negara A akan menambah pendapatan nasional Negara tersebut dan penambahan ini akan bersifat inflatoir. Efek inflatoir ini akan dihilangkan dengan menambah impor yang sebanding dengan ekspor (Nasution : 35).

Menurut model basis ekspor, pertumbuhan suatu daerah adalah tergantung dari pertumbuhan industri-industri ekspornya dan kenaikan permintaan yang bersifat ekstrim bagi daerah yang bersangkutan adalah penentu pokok dari pertumbuhan regional. Bertambah luasnya basis ekspor suatu daerah akan cenderung menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi.


(25)

xxiii

2.2 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu indikator untuk mengukur sejauh mana peran pemerintah lewat kebjakan fiskalnya di dalam perekonomian Indonesia adalah tren perkembangan jangka panjang dari rasio G-Y atau besarnya pengeluaran pemerintah sebagai persentase dari pendapatan nasional atau PDB. Pentingnya pengeluaran pemerintah khususnyasemas krisis adalah untuk menggairahkan kembali perekonomian nasional ( Tambunan : 167 ).

Pengeluaran pemerintah yang diwujudkan dalam permintaan barang dan jasa, anggaran pembnagunan, serta anggaran rutin harus disesuaikan dengan perkembnagan perekonomian yang terjadi. Walaupun pada dasarnya pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa, pengeluaran rutin relative stabil. Akan tetapi, bila menghadapi perekonomian yang sedang mengalami kelesuhan harus diusahakan untuk dapat ditingkatkan sesuai aktivitas perekonomian yang terjadi. Bila perekonomian mengalami kelesuhan pengeluaran pemerintah akan meningkat untuk dapat menciptakan lapangan kerja. Keynes mengatakan, bila pendapatan masyarakat meningkat, tidak akan seluruhnya diwujudkan dalam konsumsi. Kalau hal ini berlangsung secara terus-menerus akan menyebabkan distorsi pada supply side (sisi penawaran), sehingga perusahaan menurunkan aktivitas dan mengurangi tenaga kerja.bila ini berlangsung lama akan menyebabkan kelesuhan perekonomian (resesi). Untuk mengatasi ini Keynes mengatakan, pengeluaran pemerintah harus lebih besar dibandingkan penurunan konsunsi yang terjadi, dengan demikian perekonomian bergerak secara dinamis. Jadi, pengeluaran pemerintah berfungsi sebagai stabilisator dalam perekonomian


(26)

xxiv

yang sedang mengalami kelesuhan, sehingga akan dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi (Nasution : 175).

A. Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Teori mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut, sehingga teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar dari teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi pajak ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut:

Perkembangan eknomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.


(27)

xxv

B. Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menegnah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan eknomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta yang semakin besar ini banyak menimbulkan kegagalan pasar, dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan eknomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang semakin rumit (complicated). Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri, menimbulkan semakin tingginya tingkat pencemaran udara dan air., dan pemerintah harus turun tangan untuk mengatur dan mengurangi akibat negatif dari polusi itu terhadap masyarakat. Pemerintah juga harus melindungi buruh yang berada dalam posisi yang lemah agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Teori perkembangan peranan pemerintah yang dikemukakan oleh Musgrave dan Rostow adalah suatu pandangan yang ditimbulkan dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak


(28)

xxvi

didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu, tidak jelas, apakah tahap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam tahap demi tahap, ataukah beberapa tahap dapat terjadi secara stimultan.

C. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP yang juga didasarkan pula pengamatan di negara-negara Eropa, U.S. dan Jepang pada abad ke-19. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu hukum, akan tetapi dalam pandangannya tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan GNP, apakah pengertian dalam pertumbuhan secara relatif ataukah secara absolut. Apabila yang dimaksud oleh Wagner adalah perkembangan pengeluaran pemerintah secara relatif sebagaimana teori Musgrave, maka hukum Wagner adalah sebagai berikut: dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.

Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (USA, German, Jepang), tetapi hukum tersebut memberi dasar akan timbulnya kegagalan pasar dan eksternalitas. Wagner menyadari bahwa dengan bertumbuhnya perekonomian hubungan antara industri dengan industri, hubungan industri dengan masyarakat dan sebagainya menjadi semakin rumit atau kompleks. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.


(29)

xxvii

Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat, dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya suatu gangguan sosial yang menyebabkan aktifitas swasta dialihkan pada ktifitas pemerintah. Perang tidak bisa dibiayai dengan pajak, sehingga pemerintah juga harus meminjam dari negara lain untuk pembiayaan perang.

Hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman mendapat kritikan dari Bird. Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktifitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke aktifitas yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan menyebabkan kenaikan pengeluaran pemerintah dalam persentasenya terhadap GNP. Akan tetapi setelah terjadinya gangguan, persentase pengeluaran pemerintah terhadap GNP perlahan-lahan akan menurun kembali pada tingkat sebelum terjadinya gangguan. Jadi menurut Bird, efek pengalihan hanya merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang.


(30)

xxviii

Suatu hal yang perlu dicatat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapakah toleransi pajak tersebut. Clarke menyatakan bahwa limit perpajakan sebesar 25 persen dari pendapatan nasional. Apabila limit tersebut dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan sosial lainnya.

2.3 Hubungan Inflasi dengan Pertumbuhan Ekonomi

Peredaran uang yang terlalu banyak di masyarakat, mengakibatkan terlalu banyak permintaan . jika produksi atau penawaran di pasar terbatas, maka tingkat inflasi akan meningkat dan inflasi yang terlalu tinggi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi kebijakan moneter dan fiskal sangat diperlukan dalam menjaga stabilitas peredaran uang, jangan terlalu banyak atau terlalu sedikit, sehingga inflasi juga akan stabil. Stabilitas uang beredar berarti stabilitas ekonomi (tambunan : 171).

Inflasi yang tinggi tingkatnya tidak akan menggalakkan perkembangan ekonomi. Biaya yang terus-menerus naik menyebabkan kegitan produktif sangat tidak menguntungkan. Kenaikan menimbulkan efek yang buruk terhadap perdagangan. Kenaikan harga menyebabkan barang-barang Negara itu tidak dapat bersaing di pasar internasional. Maka ekspor akan menurun. Sebaliknya, harga-harga produksi dalam negeri yang semakin tinggi sebagai akibat inflasi menyebabkan barang-barang impor menjadi relative murah. Maka lebih banyak impor akan dilakukan. Ekspor yang menurun dan diikuti pula oleh impor yang


(31)

xxix

bertambah menyebabkan ketidakseimbangan dalam aliran mata uang asing yang akibatnya kedudukan neraca pembayaran akan memburuk.

Ada sebahagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa inflasi yang lunak akan dapat menjadi gawat bila tidak dikendalikan dari pemerintah (sebagai penegndali tunggal perekonomian). Ada pula ahli ekonomi yang berpendapat, yaitu bila terjadi inflasi yang dapat dikendalikan (ukurannya tergantung setiap Negara berapa inflasi yang dapat dikendalikan) atau resesi yang lunak kadang-kadang dapat menguntungkan perekonomian. Hal ini dapat terjadi jika ada dugaan akan terjadinya kenaikan harga yang lunak akan dapat mendorong tingkat investasi yang tinggi. Karena investor akan terdorong mengadakan investasi untuk menikmati kenakan harga yang terjadi di pasar. Kondisi ini sendiri akan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi secara dinamis, secara langsung hal ini akan meningkatkan kembali pendapatan nasional (Nasotion: 233).

Pada system Schumpeter, gerakan inflasi merupakan bagian integral dari proses pembangunan, tetapi gerakan tersebut tidak mencakup inflasi jangka panjang. Tingkat harga jangka panjang tetap stabil. Namun demikian, dalam ekonomi terbelakang bebas inflasi sanagt kuat. Walaupun demikian, teori Schumpeter menggarisbawahi pentingnya pembiayaan inflasioner dan inovasi sebagai faktor utama dalam pembangunan ekonomi (M.L. Jhingan : 132).

Dikebanyakan Negara, inflasi bersifat inflasi merayap atau sederhana. Kebijakan ekonomi, terutama kebijakan moneter suatu Negara biasanya akan berusaha dengan inflasi tetap berada pada taraf inflasi merayap. Inflasi seperti ini tetap mengurangi pendapatan riil pekerja-pekerja bergaji tetap, tetapi kemerosotan


(32)

xxx

tersebut tidaklah begitu besar. Walau bagaimanapun inflasi seperti itu sering kali menimbulkan efek yang baik dalam perekonomian. Keuntungan perusahaan meningkat dan ini akan menggalakkan investasi. Lanjutan dari perkembanagan ini kesempatan kerja dan pendapatan meningkat dan mendorong pada pertumbuhan ekonomi (Sukirno : 11).

2.4 Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian Rahmad Sumanjaya (2005) yang menganalisis fakktor-faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia, menunjukkan bahwa ekspor dan investasi memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara nilai tukar yang meningkat tajam, justru mempunyai hubungan yang negatif dan bahkan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Inflasi sering meningkat sejalan dengan kebijaksanaan. Temuan selanjutnya yang tidak kurang penting adalah bahwa fluktuasi nilai tukar secara nyata kurang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tercermin dari pengalaman Indonesia yang hanya pernah mengalami dua kali surplus neraca current account sejak 1969 sampai dengan saat ini. Sementara tingkat inflasi tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi inddonesia.

Oktozuhri (2006), dalam “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN” memperlihatkan bahwa pengeluaran pemerintah, investasi asing, dan ekspor di Negara-negara ASEAN memiliki pengaruh yang positif dan signifikan untuk pertumbuhan ekonomi di masing-masing Negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, dan Thailand). Tenaga kerja di Philippines dan Singapore memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun hanya di Philippines yang memiliki


(33)

xxxi

pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonominya. Tenaga kerja di Indonesia, Malaysia, dan Thailand memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing Negara tersebut. Faktor dominan dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN adalah pengeluaran pemerintah, sementara itu ekspor dan investasi asing memiliki pengaruh yang relatif kecil dalam pertumbuhan ekonomi sesuai dari koefisien regresi masing-masing variabel.

Penelitian yang dilakukan oleh Endy Dwi thahjono dan Donni Fajar Anugrah (2006) yang berjudul “Faktor-faktor determinan pertumbuhan ekonomi Indonesia” menemukan bahwa hasil pennelitian dengan model Solow-Swan menunjukkan bahwa peran labor lebih besar dibandingkan capital, yang ditunjukkan dengan capital share sebesar 0,4 dan labor share sebesar 0,6. Sementara itu, dari Model Mankiw-Romer-Weil (MRW) yang memasukkan faktor human capital pada model Solow-swan menyimpulkan human capital berpengaruh positif pada pertumbuhan meskipun kecil dengan share 0,05%. Selanjutnya beberapa variable makro yang secara empiris terbukti menjadi sumber fluktuasi business cycle di Indonesia adalah inflasi, nilai tukar, kredit perbankan, dan harga minyak.


(34)

xxxii

2.5 Hipotesis penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris.

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut :

1. Jumlah Ekspor dan Pengeluaran Pemerintah memiliki pengaruh positif dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, Ceteris

Paribus.

2. Tingkat inflasi memiliki pengaruh yang negatif dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia, ceteris paribus.


(35)

xxxiii

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan masalah dan menguji hipotesis dari penelitian.

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan mengamati dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di indonesia. Faktor-faktor itu adalah Ekspor, Pengeluaran Pemerintah, dan inflasi.

3.2. Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk runtun waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yaitu data yang berbentuk anga-angka.

Sumber data diperoleh dari berbagai sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Bank Indonesia (BI) Kota Medan dan Badan Pusat Statistik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan kurun waktu 38 tahun (1970-2007).


(36)

xxxiv

Penulis menguji variabel-variabel bebas utama yang memiliki pengaruh kuat terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebagai variabel tak bebas yang berhubungan dengan model yang digunakan.

Disamping itu penulis melakukan studi literarur untuk mendapatkan teori yang mendukung penelitian. Referensi studi kepustakaan diperoleh melalui jurnal, Perpustakaan FE-USU, Perpustakaan pusat USU, dan Perpustakaan Bank Indonesia.

3.3. Pengolahan Data

Dalam melakukan pengolahan data, penulis Menggunakan program komputer Eviews 5.1 sebagai software utama untuk mengolah data dalam penulisan skripsi ini. Selain itu juga digunakan software Microsoft Excel sebagai software pembantu dalam mengkonversi data dalam bentuk baku yang disediakan oleh sumber kedalam bentuk yang lebih representatif untuk digunakan pada software utama diatas dengan tujuan untuk meminimalkan kesalahan dalam pencatatan data jika dibandingkan dengan pencatatan ulang secara manual.

3.4. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam analisis ini adalah model ekonometrika untuk mengestimasi model penelitian dengan dua analisis yaitu analisis jangka panjang dengan menggunakan persamaan kointegrasi dan analisis


(37)

xxxv

dinamis jangka pendek dengan menggunakan ECM (Error Correction

Mechanism) dengan terlebih dahulu dilakukan uji akar-akar unit (unit root test).

3.4.1. Uji Akar-Akar Unit (Unit root test)

Uji akar unit dari Dickey Fuller maupun Phillips-Perron adalah untuk melihat stasioneritas data time series yang diteliti dengan program Eviews 5.1. Adapaun formula dari uji Augmented Dickey Fuller dapat dinyatakan sebagai berikut :

ΔYt =a0 + γYt-1 +

=

p

i 2

βi ΔYt-1+1 + et

Sedangkan untuk uji Philip Perron adalah :

ΔYt =a0 + λYt-1 + et

Dimana Δ adalah perbedaan atau differensi.

Kedua uji dilakukan dengan hipotesis null γ=0 untuk ADF dan λ=1 untuk PP. Satsioner tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai statistik ADF dan

Ppyang diperoleh dari nilai t hitung koefisien γ dan λ dengan nilai kritis sattistik Mackinnon. Jika nilai absolut statistik ADF dan PP lebih besar dari nilai kritis


(38)

xxxvi

3.4.2. Uji Derajat Integrasi

Apabila data yang telah diamati pada uji akar unit ternyata “tidak stasioner”, maka kita mempunyai regresi lancung (spurious regression). Untuk menghindari regresi lancung ini, maka dilakukan transformasi data nonstasioner menjadi data stsioner. Dalam uji ADF bila menghasilkan kesimpulan bahwa data tidak stasioner , maka diperlukan langkah untuk membuat data stasioner melalui proses diferensi data. Uji stasioner melalui proses diferensi disebut uji derajat integrasi. Adapun formulasi uji derajat integrasi dari ADF sebagai berikut :

Δ2Yt =a0 + γΔYt-1 +

=

p

i 2

βi Δ2Yt-1+1 + et

Δ2Yt = a0 + a1T + γΔYt-1 +

=

p

i 2

βi Δ2Yt-1+1 + et

Dimana :

Δ2Yt = ΔYt – ΔYt-1

Seperti uji akar-akar unit sebelumnya, keputusan sampai pada derajat keberapa suatu data akan stasioner dapat dilihat dengan membandingkan antar

nilai statistic ADF yang diperoleh dari koefisien γ dengan nilai kriris distribusi statistic Mackinnon. Jika nilai absolute dari statistic ADF labih besar dari nilai kritisnya pada diferensi tingkat pertama, maka data dikatakan stasioner pada derajat satu. Akan tetapi, jika nilainya lebih kecil maka uji derajat integrasi perlu


(39)

xxxvii

dilanjutkan pada diferensi yang lebih tinggi sehingga diperoleh data yang stasioner.

3.4.3 Error Correction Mechanism (ECM)

Teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju pada keseimbangan jangka panjang disebut dengan Error Correction Mechanism

(ECM). Metode ini pertama sekali dikenalkan oleh Sargan dan dikembangkan

oleh Engel dan Granger pada tahun 1987.

Metode ini adalah suatu regresi tunggal menghubungkan diferensi pertama pada variabel bebas (Dy t )dan tingkatan variabel yang dimundurkan (lagged level variables = Y t-1 ) untuk semua variabel dalam model serta EC term

lagged period (EC t-1) menggabungkan pergerakan short-run dan long-run pada

tingkat pertumbuhan ekonomi.

Bentuk umum metode ECM adalah sebagai berikut (Widarjono,2007: 358) :

ΔYt = α0 + α1 ΔXt + α2ECt + et

Dimana : ECt = (Yt-1 – β0 – β1Xt-1)

Untuk mengetahui spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang


(40)

xxxviii

pengujian terhadap koefisien ECT signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid.

Adapun persamaan model estimasinya adalah sebagai berikut :

Y t = f (X1 t , X2 t ,X3 t, e t )

Kemudian dibentuk dalam model ekonometrika dengan persamaan regresi linier berganda :

Δ Yt = α + β1Δ X1t + β2Δ X2t + β3Δ X3t + β4 ECT + e t

Keterangan :

Y = Pertumbuhan ekonomi

α = Konstanta

β1,β2,β3, = Koefisien regresi ECM jangka pendek

β4 = koefisien ECT

Δ (X1)t = (Ekspor)t – (Ekspor)t-1

Δ (X2)t = (Pengeluaran Pemerintah)t – (pengeluaran pemerintah)t-1

Δ (X3)t = (Inflasi)t – (Inflasi)t-1

ΔYt = Yt – Yt-1

ECT = Error Correction Terms


(41)

xxxix

3.5. Test of goodness of fit (Uji Kesesuaian)

3.5.1 Koefisien Determinasi (R-Square)

Koefisien determinasi (R-Square) dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama mampu memberi penjelasan terhadap variabel dependen. Koefisien determinasi (R-Square) yaitu angka yang menunjukkan besarnya kemampuan varians atau penyebaran dari variabel-variabel independen yang menerangkan variabel dependen atau angka yang menunjukkan seberapa besar variabel dependen dipengaruhi oleh variabel-variabel independennya.

Besarnya nilai koefisien determinasi adalah antara 0 hingga 1 (0<R²<1), dimana nilai koefisien mendekati 1, maka model tersebut dikatakan baik karena semakin dekat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependennya.

3.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

3.6.1 Multikolinearity

Multikolinearity adalah alat yang digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang kuat (kombinasi) diantara independen variabel. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearity dapat dilihat dari nilai R-square, F-hitung, t-hitung serta standart error. Kemungkinan adanya multikolinearity jika nilai R-square dan F-hitung tinggi, sedangkan nilai t-hitung banyak yang tidak signifikan (uji tanda yang berubah tidak sesuai dengan yang ditetapkan).


(42)

xl

3.6.2 Autocorrelation / Serial korelasi

Autokorelasi terjadi bila error term (µ) dari periode waktu yang berbeda (observasi data cross section ) berkorelasi atau dapat juga dikatakan adanya hubungan atau korelasi antara residual yang sekarang dengan masa lalu. Dikatakan bahwa error term berkorelasi atau mengalami korelasi serial apabila :

Variabel (εij)≠0;untuk i ≠j, dalam hal ini dikatakan memiliki masalah autokorelasi.

Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengetahui keberadaan autokorelasi, yaitu :

a. Dengan memplot grafik

b. Dengan Durbin-Watson (Uji D-W test)

D-hitung = 2

2 )] 1 ( [ et et et ∑ − − ∑

c. Dengan LM-Test

Autokorelasi untuk model dinamis seperti ECM, uji D-W tidak bisa digunakan untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, karena DW statistik secara asimtotik akan biasa mendekati nilai 2 (Sritua Arief, 1993 : 15). Oleh karena alasan tersebut maka digunakan langrange Multiplier Test, yakni berupa regresi atas semua variabel bebas dalam persamaan regresi ECM tersebut dan variabel lag t dari nilai residual regresi ECM. Adapun hasil persamaan regresi ECM dapat dituliskan sebagai berikut :

Residt = bo + b1 ΔX1t + b2 ΔX2 t + b3 ΔX3 + b4 X1t-1 + b5 X2t-1 + b6 X3t-1 +


(43)

xli

Dari model tersebut akan didapat nilai R2, kemudian nilai ini dimasukkan dalarn rumus sebagai berikut : (n- 1)R2, dimana n adalah jumlah observasi, kemudian dilakukan pengujian dengan hipotesa sebagai berikut :

Ho : ρ=0 berarti tidak ada masalah autokorelasi

Ho : ρ≠0 berarti ada masalah autokorelasi

Selanjutnya nilai (n-1)R2 diperbandingkan dengan χ2 (0,05). Dimana χ2 (0,05) adalah nilai kritis Chi Square yang ada dalam tabel statistik Chi Square. Jika (n-1) R2 lebih besar dari χ2, maka terdapat masalah autokorelasi, dan jika sebaliknya maka tidak terjadi masalah autokorelasi.

3.7 Defenisi Variabel Operasional

1. Pertumbuhan Ekonomi adalah tingkat pertumbuhan perekonomian di Indonesia dari tahun ke tahun yang diproxy dengan PDB menurut harga berlaku dalam satuan milyar rupiah.

2. Ekspor adalah nilai barang dan jasa yang dikirim ke luar negeri dalam satuan milyar rupiah.

3. Pengeluaran pemerintah adalah sutau realisasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintah yang disalurkan kepada provinsi-provinsi di Indonesia dalam satuan milyar rupiah.

4. Inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga-harga umum secara terus menerus dalam satuan persen.


(44)

xlii

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia

Kondisi perekonomian Indonesia sejak kemerdekaan mengalami perkembangan yang cukup menarik. Pada awal tahun 1960, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 2% per tahun dan pada peride tahun 1984-1993, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan di atas 6% per tahun. Dalam tahun 1988/1989, Neraca Pembayaran Internasional menunjukkan perkembangan yang cukup mantap. Hal ini ditandai oleh terus meningkatnya ekspor non migas dan terutama pada barang-barang manufaktur.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 13,1%. Hai ini terlihat pada posisi neraca transaksi berjalan yang selalu defisit dari tahun ke tahun. Disamping itu, kondisi makroekonomi Indonesia juga semakin kacau dengan meningkatnya inflasi yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di Indonesia, lemahnya posisi sektor riil dan ;ain-lain. Sehingga keadaan perekonomian Indonesia semakin parah.

Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi perekonomian Indonesia berangsur membaik. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia menekan laju inflasi pada tahun 1998 sebesar 77,6% melalui kenaikan tingkat suku bunga SBI. Pada saat itu diharapkan uang yang beredar di masyarakat akan terserap oleh bank-bank umum akibat dari tingkat suku bunga perbankan yang


(45)

xliii

juga ikut naik. Sehingga pada tahun 1999 inflasi mulai dapat di kendalikan dan PDB Indonesia tumbuhsebesar 0,8%.

Sedangkan perekonomian makro Indonesia di tahun 2002 tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi global yang masih ditandai oleh melemahnya perekonomian di negara-negara besar seperti: Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Dengan adanya permasalahan struktural, secara keseluruhan selama tahun 2002 perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 4,2% dan masih bertumpu pada konsumsi, sementara peranan investasi dan ekspor dalam mendorong pertumbuhan masih terbatas. Terbatasnya investasi sebagai motor penggerak utama tersebut disebabkan masih ada berbagai masalah dasar di sektor riil, masih tinggi resiko dan ketidakpastian dalam perekonomian, serta pembiayaan investasi akibat belum pulihnya intermediasi perbankan, meningkatnya persaingan di Asia dalam menarik minat investasi asing dan mulai menurunnya daya saing Indonesia berakibat memperburuk kinerja ekspor. Kemudian pada tahun 2003 sampai tahun 2008, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata sebesar 5,5%.

4.1.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi di indonesia juga mengalami banyak perubahan selama dekade 1970an dan 1980an, proses pembangunan di Indonesia mengalami banyak hambatan yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti merosotnya harga minyak mentah internasional menjelang pertengahan tahun 1980an dan adanya resesi ekonomi dunia. Pada pertengahan dekade 1980an


(46)

xliv

pemerintah mulai menghilangkan hambatan terhadap aktivitas ekonomi. Kebijakan ini ditujukan terutama pada sektor eksternal dan finansial, dan dirancang untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan di bidang ekspor non migas.

Gambar 4.1: Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 1970 – 2007.

Pertumbuhan ekonomi di ukur dengan perubahan Produk Domestik Bruto setiap tahunnya. Sejak tahun 1986 hingga tahun 1989, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di ukur melalui PDB terus menerus mengalami peningkatan, yaitu dari 5,9% di tahun 1986 menjadi 7,5% di tahun 1989. Pada tahun 1990 dan tahun 1991, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 1992-1997 mendekati angka 7% juga.


(47)

xlv

Pada tahun 1998, terjadi krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi -13,1%. Namun, sejak tahun 1999 perekonomian Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi bertambah 0,8%, tahun 2000 sekitar 4,9%, tahun 2001 sekitar 3,5%, dan tahun 2002 bertambah menjadi 4,2%.

Peningkatan pertumbuhan ini memberikan harapan kepada bangsa Indonesia agar bisa keluar dari krisis ekonomi, walaupun pertumbuhan masih berada di bawah target yang diinginkan. Hal ini memperlihatkan pemulihan perekonomian Indonesia sudah berjalan menuju apa yang di harapkan.

Tabel 4.1

PDB Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku tahun 1970-2007

Tahun PDB (Rp Milyar) Laju Pertumbuhan

Ekonomi (%) Tahun

PDB (Rp Milyar) Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

1970 3339.7 - 1989 167494.7 7,5

1971 3793.9 6,9 1990 197721 7,2

1972 4548 7,8 1991 227162.8 7,0

1973 6605 8,1 1992 260786.3 6,5

1974 10708 7,6 1993 382219.7 6,5

1975 12642.5 5,0 1994 379209.4 7,5

1976 15466.7 6,9 1995 454514.1 8,2

1977 19010.7 8,8 1996 532630.8 7,8

1978 21967.4 6,8 1997 672695.5 4,7

1979 32025.4 7,3 1998 955753.5 - 13,1


(48)

xlvi

1981 54027 7,9 2000 1264919 4,9

1982 59632.6 2,2 2001 1467655 3,5

1983 73697.6 4,2 2002 1610565 4,2

1984 85914.4 7,0 2003 1786691 4,6

1985 96066.4 2,5 2004 2273142 4,9

1986 102545.9 5,9 2005 2774281 5,6

1987 124538.9 4,9 2006 3339480 5,5

1988 142104.8 5,8 2007 3957404 6,3

Sumber : Bank Indonesia Dalam Angka 2008.

Pada tabel 4.3 diatas dapat dilihat PDB Indonesia berdasarkan harga berlaku mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970, PDB Indonesia tercatat sebesar Rp. 3,33 triliun dan menjadi Rp. 45,44 triliun di tahun 1980. Pada tahun 1997, PDB Indonesia sebesar Rp. 627,69 triliun. Setahun kemudian menjadi sebesar Rp. 955,75 triliun. Produk Domestik Bruto Indonesia berdasarkan harga berlaku pada tahun 2002 menjadi Rp. 1.610,56 triliun. Hal ini menunjukkan secara perlahan-lahan Indonesia berusaha memperbaiki kondisi perekonomiannya. Dengan meningkatnya PDB, maka diharapkan akan meningkatnya pertumbuhan ekonomi sehingga Indonesia dapat memiliki pembangunan ekonomi yang sehat.

Selanjutnya pada tahun 2005 nilai PDB Indonesia sebesar Rp. 2.774,28 triliun, dengan pertumbuhan mencapai 22,04% dibanding tahun 2004. Perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan terbaik selama periode 2007 hingga semester I-2008 sejak krisis 1997-1998. Pertumbuhan ekonomi


(49)

xlvii

mencapai 6,3% pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 6,4% selama semester I-2008.

4.1.2 Perkembangan Ekspor di Indonesia

Perkembangan ekspor di Indonesia mengalami pola yang terus menerus berubah setiap tahunnya. Pada tahun 1970, ekspor Indonesia 1,1 milyar US $ dan mengalami peningkatan sebesar 125,5 juta US $ pada tahun 1971. Peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia terjadi dari tahun ke tahun. Namun, pada tahun 1975, pertumbuhan ekspor menurun sebesar 4,36%.

Begitu juga pada tahun 1997/1998, ekspor Indonesia juga mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan terjadinya krisis ekonomi pada saat itu yang menyebabkan penurunan kinerja ekspor Indonesia. Penurunan nilai tukar rupiah yang tajam disertai dengan terputusnya akses ke sumber dana luar negeri menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis sebagai akibat tingginya ketergantungan produsen domestik pada barang dan jasa impor. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang segera harus dipenuhinya. Pemutusan hubungan kerja juga sangat mewarnai ekonomi Indonesia pada saat itu sebagai dampak semakin banyaknya perusahaan mengurangi aktivitas, atau bahkan menghentikan produksinya.Melemahnya kinerja ekspor disebabkan oleh permintaan produk ekspor yang berkurang dan atau menurunnya harga komoditas ekspor. Apabila penurunan kinerja ekspor tersebut berkelanjutan maka kemungkinan terjadi penurunan cadangan devisa.


(50)

xlviii

Gambar 4.2 : Perkembangan Ekspor Indonesia, Tahun 1970 – 2007.

Ekspor non migas lebih mendominasi pertumbuhan ekspor di Indonesia bila dibandingkan dengan ekspor migas. Pada tahun 2000, ekspor non migas Indonesia sebesar 47,75 milyar US $, sedangkan ekspor migasnya sebesar 14,36 milyar US $. Begitu juga pada tahun 2003, peningkatan ekspor non migas di dorong oleh peningkatan ekspor mesin-mesin/pesawat mekanik sebesar 135,1 juta US $. Ekspor migas justru turun sebesar 7,45%. Ini menjelaskan bahwa ekspor non migas lebih berperan dari pada ekspor migas. Perkembangan ekspor di Indonesia pada tahun 1970 sampai 2008 dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini :

Tabel 4.2

Perkembangan Ekspor Indonesia tahun 1970-2007

Tahun

Ekspor

Pertumbuhan Ekspor

Tahun

Ekspor

Pertumbuhan Ekspor

(Rp Milliar) (%)

(Rp


(51)

xlix

1970 1108.1 - 1989 22158.9 15,29

1971 1233.6 11,33 1990 25675.3 15,86

1972 1777.7 44,10 1991 29142.4 13,50

1973 3210.8 80,61 1992 33967 16,55

1974 7426.3 90,03 1993 36823 8,40

1975 7102.5 -4,36 1994 40053.4 8,77

1976 8546.5 20,33 1995 45418 13,39

1977 10852.6 26,98 1996 49814.8 9,68

1978 11643.2 7,28 1997 53443.6 7,28

1979 15590.1 33,89 1998 48847.6 -8,59

1980 23950.4 53,63 1999 48665.4 -0,37

1981 25164.5 5,06 2000 62124 27,65

1982 22328.3 -11,27 2001 56320.9 -9,34

1983 21145.9 -5,29 2002 57158.8 1,48

1984 21887.8 3,50 2003 61058.2 6,82

1985 18586.7 15,08 2004 71584.6 17,23

1986 14805 -20,34 2005 85660 19,66

1987 17135.6 15,74 2006 100798.6 17,67

1988 19218.5 12,15 2007 114100.9 13,19

Sumber : Bank Indonesia dalam Angka 2008.

Pada tabel 4.4 di atas menunjukan ekspor yang selalu mengalami perubahan setiap tahunnya. Pada tahun 1978 tercatat sebesar 11,64 milyar US $ dan menjadi 25,67 milyar US $ di tahun 1990. Kemudian pada tahun 2003 pertumbuhan ekspor meningkat sebesar 6,82% dari tahun 2002. Laju pertumbuhan ekspor yang tinggi dapat memperbesar proporsi dari nilai ekspor atau perdagangan luar negeri di dalam pembentukan PDB.


(52)

l

Berdasarkan data diatas dapat dilihat nilai ekspor pada tahun 2008 sebesar 136,76 milyar US $ meningkat sebesar 19,86% dibanding ekspor dari tahun sebelumnya. Sedangkan ekspor non migas mencapai 107,8 milyar US $ atau meningkat 17,16%. Secara kumulatif ekspor selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya, dan sampai dengan 2008 net ekspor masih positif, walaupun semakin menipis. Penurunan ekspor migas lebih disebabkan menurunnya harga migas di pasar internasional. Sedangkan menipisnya net ekspor juga disebabkan menurunnya harga komoditas dan diiringi penurunan permintaan internasional terhadap produk ekspor Indonesia sebagai dampak melemahnya perekonomian di tahun 2008.

4.1.3 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Indonesia

Realisasi pengeluaran pemerintah pusat dan daerah adalah seluruh pengeluaran negara yang dianggarkan pada APBN dan telah direalisasikan. Realisasi pengeluaran ini digunakan untuk belanja rutin, pengeluaran pembangunan dan pengeluaran untuk daerah yang jumlahnya dapat berbeda dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tabel 4.3

Perkembangan Pengeluaran Pemerintah di Indonesia tahun 1970-2007

Tahun

pengeluaran

pemerintah Tahun

pengeluaran pemerintah


(53)

li

(Rp. Milliar) (Rp. Milliar)

1970 458 1989 38165

1971 545 1990 49450

1972 736 1991 51992

1973 1164 1992 60511

1974 1978 1993 68718

1975 2730 1994 72343

1976 3684 1995 82353

1977 4306 1996 98513

1978 5299 1997 131545

1979 8076 1998 245192

1980 11716 1999 231900

1981 13918 2000 221400

1982 14356 2001 341600

1983 18311 2002 322200

1984 19381 2003 378800

1985 22825 2004 435700

1986 21891 2005 509419

1987 26959 2006 669800

1988 32990 2007 752373

Sumber : Bank Indonesia dalam Angka 2008

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa pada tahun 2000 total realisasi pengeluaran pemerintah mengalami penurunan menjadi Rp. 221.400 milliar dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 231.900 milliar. Hal ini disebabkan karena kondisi internal dimana masih tingginya resiko dan


(54)

lii

ketidakpastian dan berlanjutnya berbagai permasalahan dalam negeri yang terkait dengan restrukturisasi hutang. Sehingga mengakibatkan menurunnya kepercayaan dunia usaha untuk melakukan kegiatan produksi dan investasi. Maka pemerintah menurunkan pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 19,4 triliun dibanding tahun sebelumnya.

Walaupun demikian, pada tahun 2001 realisasi pengeluaran total pemerintah kembali meningkat menjadi Rp. 341.600 milliar sekitar 12,27% bila dibandingkan dengan tahun lalu. Pada tahun 2002, realisasi pengeluaran pemerintah menunjukan penurunan menjadi Rp. 322.200 milliar. Rasio pengeluaran pemerintah yang disumbangkan terhadap PDB pada tahun 2001 sebesar 23,6%. Sedangkan pada tahun 2002, rasio yang disumbangkan terhadap PDB mengalami sedikit penurunan menjadi 21,39% bila dibandingkan dengan tahun lalu. Penurunan ini terjadi karena pada tahun 2001 merupakan masa dimulainya penerapan desentralisasi atau otonomi daerah. Sehingga pemerintah mengalokasikan sumber daya dalam jumlah besar pada daerah-daerah yang lebih miskin sebagai upaya untuk menyeimbangkan disparitas di negeri ini. Pada saat itu terjadi kenaikan alokasi pengeluaran untuk daerah menjadi Rp. 98.200 milliar setelah terjadi otonomi daerah. Realisasi dalam pengeluaran rutin menjadi menurun dari Rp. 218.900 menjadi Rp. 186.700 milliar dan pengeluaran pembangunan menurun dari Rp. 41,600 milliar menjadi Rp. 37,300 milliar.

Perkembangan belanja negara secara nominal juga terus mengalami peningkatan dari Rp. 322.200 milliar pada tahun 2002 menjadi Rp. 376.500 milliar pada tahun 2003. Peningkatan ini terutama dalam upaya perbaikan kesejahteraan aparatur pemerintah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat,


(55)

liii

pemberian stimulus fiskal secara terbatas pada perekonomian dan peningkatan alokasi anggaran ke daerah sejalan dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal.

Gambar 4.3 : Perkembangan pengeluaran pemerintah di Indonesia, 1970 – 2007

Pada tahun 2005, arah kebijakan fiskal secara umum bersifat ekspansif seperti tercermin dari perkembangan defisit anggaran yang mengalami peningkatan. Pada tahun 2001- 2005 arah kebijakan defisit anggaran pemerintah dilakukan melalui konsolidasi fiskal yang ditunjukkan oleh defisit dari sebesar 2,4% terhadap PDB pada 2001 menjadi 0,5% pada 2005. Sedangkan pada tahun 2006 dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi arah kebijakan defisit mengalami perubahan orientasi menjadi stimulus melalui peningkatan target defisit yaitu sebesar 0,9% terhadap PDB. Kebijakan defisit APBN yang cenderung terus meningkat berlanjut pada tahun 2007 menjadi sebesar 1,3% PDB.


(56)

liv

Selama lebih dari 10 tahun terakhir telah terjadi transformasi yang luar biasa pada pengelolaan dan pengalokasian berbagai sumber daya publik. Terdapat tiga momen penting yang perlu diperhatikan:

1. 1997-1998 – Masa krisis ekonomi. Ekonomi lesu, pengeluaran publik turun. Hutang dan subsidi meningkat, sementara itu pengeluaran pembangunan menurun tajam.

2. 2001 – Desentralisasi. Sepertiga pengeluaran pemerintah pusat dialihkan ke daerah.

3. 2006 – Dana sebesar US$15 milyar untuk dialokasikan kembali. Pengurangan subdisi bahan bakar minyak (BBM) memberikan peluang untuk dialokasikan kembali. Jumlah hutang menurun sampai di bawah 40% dari PDB, pengeluaran agregat meningkat sampai dengan 20 %, dan transfer dana ke pemerintah daerah meningkat menjadi sebesar 32%.

Tabel berikut memberikan gambaran perkembangan pengeluaran pemerintah di Indonesia selama periode 1970-2007 .

4.1.4 Perkembangan Inflasi di Indonesia

Angka inflasi sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi selalu menjadi pusat perhatian orang. Inflasi menggambarkan gejolak ekonomi dan selalu mengikuti perjalanan sebuah perekonomian Negara yang berkembang dan dinamis. Inflasi bisa muncul jika suatu permintaan lebih tinggi dibandingkan penawaran dan juga karena factor lainnya. Naik turunnya angka ini


(57)

lv

menggambarkan seberapa besar kemampuan daya beli masyarakat terhadap barang barang dipasaran

Tabel 4.4

Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesai tahun 1970-2007

Sumber : Bank Indonesia dalam Angka 2008.

Tahun Inflasi Tahun Inflasi

1970 9.8 1989 5.97

1971 2.5 1990 9.53

1972 25.8 1991 9.52

1973 27.3 1992 4.94

1974 33.3 1993 9.77

1975 19.7 1994 9.24

1976 14.2 1995 8.64

1977 11.8 1996 6.47

1978 6.7 1997 11.05

1979 21.8 1998 77.63

1980 15.9 1999 2.01

1981 7.1 2000 9.53

1982 9.7 2001 12.55

1983 11.5 2002 10.03

1984 8.7 2003 5.06

1985 4.3 2004 6.4

1986 8.8 2005 17.11

1987 8.9 2006 6.6


(58)

lvi

Tabel diatas memberikan gambaran perkembangan inflasi di Indonesia selama periode 1970-2007. Besar kecilnya laju inflasi di Indonesia tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, meningkatnya inflasi dunia, dan penyesuaian terhadapa harga BBM.

Tingkat inflasi di Indonesia dari tahun 1970 sampai 2007 sangat berfluktuasi. Khususnya pada tahun 1998, dimana tingkat inflasi nya tertinggi yaitu 77,63%. Inflasi terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,01.

Pada tahun 1986-1987 inflasi terjadi karena tingginya ketergantungan impor untuk memenuhi kebutuhan industri substitusi impor di Indonesia dan juga terjadinya devaluasi. Pada tahun 1990-1997 inflasi terjadi karna adanya kenaikan harga BBM yang mendorong meningkatnya harga barang-barang lainnya. Inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 77,63%.

Krisis moneter yank berkepanjangan dan keadaan politik serta keamanan yang tidak stabil sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengambil uangnya di bank (bank rush) dan akibatnya jumlah uang beredar bertambah. Fluktuasi inflasi yang tinggi selama tahun 1998-1999 disebabkan oleh kondisi ekonomi dan social politik yang tidka menentu, terutama semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia dan juga terkait dengan serangkaian kebijakan pemerintah seperti pencabutan subsudi BBM dan kenaiakn tarif dasar listrik (TDL).


(59)

lvii

Grafik 4.4 : Perkembangan tingkat inflasi di Indonesia tahun 1970-2007.

Dari gambar diatas dapat dilihat setelah tahun 1998 tingkat inflasi mulai menurun yang mengindikasikan perbaikan dalam perekonomian Indonesia. Berbagai kebijakan pemerintah pasca krisis ekonomi serta ketersediaannya berbagai kebutuhan pokok mendorong hal ini.

Setelah tahun 1999, kondisi perekonomian mulai membaik, terbentuknya pemerintahan yang baru hasil pemilu 1999 tersebut telah memunculkan kembali ekspektasi yang positif di masyarakat terhadap perekonomian Indonesia ke depan. Pada tahun 2003, tingkat inflasi mencapai mencapai titik terendah selama enam tahun terakhir (1998-2003) yang disebabkan membaiknya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan situasi perekonomian yang stabil.

Angka inflasi sebagai salah satu indicator stabilitas ekonomi selalu menjadi pusat perhatian orang. Inflasi menggambarkan gejolak ekonomi dan


(60)

lviii

selalu mengikuti perjalanan sebuah perekonomian Negara yang berkembang dan dinamis. Inflasi bisa muncul jika suatu permintaan lebih tinggi dibandingkan penawaran dan juga karena faktor lainnya. Naik turunnya angka ini menggambarkan seberapa besar kemampuan daya beli masyarakat terhadap barang barang dipasaran.

4.2 Analisi Data

4.2.1 Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test)

Uji stasioneritas ini digunakan untuk mengetahui apakah data PDB (pertumbuhan ekonomi), Ekspor, investasi, Pengeluaran Pemerintah dan inflasi di Indonesia stasioner atau tidak. Pengujian yang dikembangan oleh Dickey Fuller ini dilakukan untuk menghindari model yang lancung (tidak efisien).

Uji akar unit ini menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) statistik untuk kurun waktu 1970-2008, berikut ini hasil dari uji ADF pada tabel 4.5 dibawah ini :

Tabel 4.5

Hasil Uji Derajat Integrasi dari ADF

Uji Akar Unit

Variabel ADF Critical Value Derajat Integrasi Y -6.657933 -3.632900*** I (2) X1 -6.825698 -3.639407*** I (2) X2 -9.923118 -3.639407*** I (2) X3 -7.194648 -3.646342*** I (2)


(61)

lix

Catatan : * = Signifikan pada α = 10%

** = Signifikan pada α = 5%

*** = Signifikan pada α = 1%

Dari tabel 4.6 diatas, dapat dilihat bahwa hasil uji akar unit untuk variable Y (pertumbuhan ekonomi), X1 (ekspor), X2 (pengeluaran pemerintah), dan X3 (inflasi) stasioner pada derajat integrasi 2 atau pada I (2). Artinya, semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada data 2nd Difference dengan

tingkat signifikasi pada α = 1%.

Hal ini dapat dilihat berdasarkan angka ADF statistic yang diperoleh pada data Y sebesar -6.657933, sedangkan nilai kritis untuk tingkat signifikasi 1% sebesar 3.632900, signifikan 5% sebesar 2.948404, dan signifikan 10% sebesar -2.612874. Hasil ini menunjukkan nilai ADF statistic lebih besar dari nilai kritisnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data telah stasioner.

Untuk variabel X1, nilai ADF statistic X1 sebesar -6.825698, sedangkan nilai kritis untuk tingkat signifikan 1% sebesar 3.639407, signifikan 5% sebesar -2.951125, dan -2.614300 untuk tingkat signifikan 10%. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai ADF statistic X1 lebih besar dari nilai kritisnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa data tersebut telah stasioner.

Variable X2, nilai ADF statistic X2 sebesar -9.923118, sedangkan nilai kritis untuk tingkat signifikan 1% sebesar 3.639407, signifikan 5% sebesar -2.951125, dan -2.614300 untuk tingkat signifikan 10%. Hasil ini menunjukkan


(62)

lx

bahwa nilai ADF statistic X2 lebih besar dari nilai kritisnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa data tersebut telah stasioner.

Untuk variable X3 angka ADF statistic yang diperoleh pada data X3 sebesar 7.194648, sedangkan nilai kritis untuk tingkat signifikasi 1% sebesar 3.646342, signifikan 5% sebesar 2.954021, dan signifikan 10% sebesar -2.615817. Hasil ini menunjukkan nilai ADF statistic lebih besar dari nilai kritisnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data telah stasioner.

Tabel 4.6

Hasil Uji Derajat Integrasi dari Phillips-Perron

Uji Akar Unit

Variabel Phillips-Perron Critical Value

Derajat Integrasi Y -6.657933 -3.632900*** I (2) X1 -6.825698 -3.639407*** I (2) X2 -9.923118 -3.639407*** I (2) X3 -7.194648 -3.646342*** I (2)

Catatan : * = Signifikan pada α = 10%

** = Signifikan pada α = 5%


(63)

lxi

Dari tabel 4.7 diatas, dapat dilihat bahwa hasil uji akar unit untuk variable Y (pertumbuhan ekonomi), X1 (ekspor), X2 (pengeluaran pemerintah), dan X3 (inflasi) stasioner pada derajat integrasi 2 atau pada I (2). Artinya, semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada data 2nd Difference dengan

tingkat signifikasi pada α = 1%.

4.2.2 Hasil Uji Error Correction Model (ECM)

Pada penelitian ini model analisis yang digunakan adalah Model Koreksi Kesalahan atau Error Correction Model (ECM) untuk melihat ketidakseimbangan model dalam jangka pendek. Secara lengkap dirumuskan sebagai berikut :

Tabel 4.7

Hasil Estimasi Model ECM

DPertumbuhan ekonomi = – 8813.550 +12.59640DX1 + 3.652844DX2 – 1104.100DX3 –0.867284ECT

t-statistik (7.127133)*** (14.48439)*** (-2.254705)** (-6.999290)***

R2 = 0.922689 F-statistik = 95.47783 Adj.R2 = 0.913025


(64)

lxii

(***) = signifikan pada α = 1% (**) = signifikan pada α = 5%

Berdasarkan output atas estimasi model ECM diperoleh variable µt-1

sebesar 6.9 berarti signifikan pada α 1% dan bertanda negatif. memberikan penjelasan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan dalam jangka pendek.. Tanda negatif pada koefisien µt-1 ( β2 µt-1 ˂ 0 ) memberikan penjelasan bahwa

pertumbuhan ekonomi (Yt) berada di atas nilai keseimbangan, maka pertumbuhan ekonomi (Yt) akan menurun pada periode berikutnya untuk mengoreksi kesalahan keseimbangan.

Output diatas juga menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, ekspor(X1), pengeluaran pemerintah(X2) memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi (X3) memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Persamaan Jangka Pendek

Variabel jangka pendek dari model persamaan ECM tersebut dapat ditunjukkan oleh D(ekspor), D(pengeluaran pemerintah), dan D(inflasi). Koefisien regresi jangka pendek dari regresi ECM jangka pendek.

Adapun persamaan jangka pendek dapat dituliskan sebagai berikut :

DPertumbuhan ekonomi = – 8813.550 + 12.59640DX1 + 3.652844DX2 –


(65)

lxiii

Berdasarkan model estimasi tersebut, dapat dijelaskan pengaruh variabel independent (ekspor, pengeluaran pemerintah, dan inflasi) terhadap variabel dependent (pertumbuhan ekonomi) dalam jangka pendek. Dari model estimasi diatas dapat dilihat bahwa :

1. Variabel Ekspor (X1) mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, koefisien menunjukkan 12.59640, artinya apabila ekspor meningkat sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0,12% dalam jangka pendek, ceteris paribus.

2. Variabel Pengeluaran pemerintah (X2) mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, koefisien menunjukkan 3.652844, artinya apabila pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0,03% dalam jangka pendek, ceteris

paribus.

3. Variabel Inflasi (X3) mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, koefisien menunjukkan 1104.100, artinya apabila Inflasi meningkat sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 11,04% dalam jangka pendek, ceteris paribus.

4.3 Test of goodness of fit ( uji kesesuaian )

4.3.1 Analisis Koefisien Determinasi ( R- Square )

Dari tabel regresi diatas dapat diperoleh Koefisien Determinasi (R-


(66)

lxiv

independen (ekspor, pengeluaran pemerintah dan inflasi) mampu memberikan penjelasan terhadap variabel dependen (pertumbuhan ekonomi) sebesar 92% dalam jangka pendek sedangkan sisanya sebanyak 8% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi.

4.4 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

a. Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah suatu kondisi dimana terdapat hubungan variabel independent diantara satu dengan lainnya. Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikan diantara variabel bebas. Uji multikolinieritas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji korelasi parsial yang dikemukakan oleh L.R. Klein. Metode ini membandingkan lower case (korelasi antar masing-masing variabel independen). Dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel independen, dapat diputuskan apakah data terkena multikolinearitas atau tidak menguji koefisien korelasi (r) antar variabel independen. Hasil pengujian multikolinearitas menggunakan uji korelasi (r) dapat dilihat sebagai berikut :


(67)

lxv

Tabel 4.8

Hasil Uji Multikolienaritas

Berdasarkan tabel hasil analisis uji multikolinearitas di atas terlihat bahwa nilai koefisien korelasi rendah (dibawah 0,80) maka diduga tidak terdapat masalah multikolinieritas.

b. Autokorelasi (Serial correlation)

Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini, dilakukan uji Langrange Multiplier Test (LM-test), yaitu dengan membandingkan

antara nilai χ2

hitung dengan χ2tabel, dengan kriteria sebagai berikut :

• Jika nilai χ2

hitung > χ2tabel, berarti ada autokorelasi. • Jika nilai χ2hitung < χ2tabel, berarti tidak ada autokorelasi.

Hasil estimasi menggunakan E-views menunjukkan :

DX1 DX3 DX4

DX1 1.000000 0.293335 -0.061274 DX3 0.293335 1.000000 0.301445 DX4 -0.061274 0.301445 1.000000


(68)

lxvi

Tabel 4.9

Hasil Uji LM-Test

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.648115 Prob. F(2,13) 0.209360 Obs*R-squared 3.662892 Prob. Chi-Square(2) 0.160182

Nilai χ2

hitung( Obs*R-squared) = 3,66

Probability = 0,160

df = n-k-1 = 38-3-1 = 34 χ2 tabel = 43,7730

Berdasarkan hasil uji LM-test diatas, menunjukkan bahwa besarnya nilai

χ2

hitung = 3.662892 lebih kecil daripada nilai χ2 tabel = 43,7730 (χ2 hitung3,662892

< χ2

tabel43,7730) pada level signifikan 5%, atau nilai nilai probability lebih tinggi

dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hasil estimasi tersebut tidak signifikan. Artinya dalam model yang diestimasi tersebut tidak mengandung korelasi serial (autokorelasi) antar faktor pengganggu (error term).


(1)

Lampiran II

Hasil Regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit

Pada Ekspor (X1)

Null Hypothesis: D(X1,2) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=2)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.825698 0.0000 Test critical values: 1% level -3.639407

5% level -2.951125

10% level -2.614300

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X1,3)

Method: Least Squares Date: 02/09/10 Time: 15:18 Sample (adjusted): 1974 2007

Included observations: 34 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(X1(-1),2) -1.859915 0.272487 -6.825698 0.0000 D(X1(-1),3) 0.384175 0.166299 2.310141 0.0277 C 710.9293 835.5610 0.850841 0.4014 R-squared 0.719174 Mean dependent var -80.15588 Adjusted R-squared 0.701056 S.D. dependent var 8827.017 S.E. of regression 4826.238 Akaike info criterion 19.88562 Sum squared resid 7.22E+08 Schwarz criterion 20.02030 Log likelihood -335.0555 F-statistic 39.69431 Durbin-Watson stat 2.095648 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

Lampiran III

Hasil Regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit

Pada Pengeluaran Pemerintah (X2)

Null Hypothesis: D(X2,2) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=2)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.923118 0.0000 Test critical values: 1% level -3.639407

5% level -2.951125

10% level -2.614300

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X3,3)

Method: Least Squares Date: 02/09/10 Time: 15:19 Sample (adjusted): 1974 2007

Included observations: 34 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(X3(-1),2) -2.567572 0.258746 -9.923118 0.0000 D(X3(-1),3) 0.644736 0.151591 4.253120 0.0002 C 8160.213 5721.697 1.426188 0.1638 R-squared 0.859000 Mean dependent var -2295.441 Adjusted R-squared 0.849903 S.D. dependent var 85048.52 S.E. of regression 32949.78 Akaike info criterion 23.72745 Sum squared resid 3.37E+10 Schwarz criterion 23.86213 Log likelihood -400.3667 F-statistic 94.42903 Durbin-Watson stat 1.956403 Prob(F-statistic) 0.000000


(3)

Lampiran IV

Hasil Regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit

Pada Inflasi (X3)

Null Hypothesis: D(X3,2) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=2)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.194648 0.0000 Test critical values: 1% level -3.646342

5% level -2.954021

10% level -2.615817

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X4,3)

Method: Least Squares Date: 02/09/10 Time: 15:19 Sample (adjusted): 1975 2007

Included observations: 33 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(X4(-1),2) -3.550061 0.493431 -7.194648 0.0000 D(X4(-1),3) 1.353542 0.362329 3.735671 0.0008 D(X4(-2),3) 0.425467 0.166783 2.551024 0.0163 C -0.860261 3.507733 -0.245247 0.8080 R-squared 0.893525 Mean dependent var 0.181818 Adjusted R-squared 0.882511 S.D. dependent var 58.75849 S.E. of regression 20.14048 Akaike info criterion 8.956553 Sum squared resid 11763.52 Schwarz criterion 9.137947 Log likelihood -143.7831 F-statistic 81.12176 Durbin-Watson stat 2.259361 Prob(F-statistic) 0.000000


(4)

Lampiran V

Hasil Regres Error Correction Model (ECM)

Dependent Variable: D(Y) Method: Least Squares Date: 02/09/10 Time: 10:40 Sample (adjusted): 1971 2007

Included observations: 37 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -8813.550 10263.92 -0.858693 0.3969 D(X1) 12.59640 1.767386 7.127133 0.0000 D(X2) 3.652844 0.252192 14.48439 0.0000 D(X3) -1104.100 489.6871 -2.254705 0.0311 RESID01(-1) -0.867284 0.123910 -6.999290 0.0000 R-squared 0.922689 Mean dependent var 106866.6 Adjusted R-squared 0.913025 S.D. dependent var 169835.2 S.E. of regression 50087.05 Akaike info criterion 24.60600 Sum squared resid 8.03E+10 Schwarz criterion 24.82369 Log likelihood -450.2110 F-statistic 95.47783 Durbin-Watson stat 1.464391 Prob(F-statistic) 0.000000


(5)

Lampiran VI

Hasil Regres Multikolienaritas

DX1 DX2 DX3

DX1 1.000000 0.293335 -0.061274 DX2 0.293335 1.000000 0.301445 DX3 -0.061274 0.301445 1.000000


(6)

Lampiran VII

Hasil Regres LM-TEST

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.648115 Prob. F(2,30) 0.209360 Obs*R-squared 3.662892 Prob. Chi-Square(2) 0.160182

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 02/10/10 Time: 14:58 Sample: 1971 2007

Included observations: 37

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 807.4300 10078.92 0.080111 0.9367 D(X1) -0.344440 1.751574 -0.196646 0.8454 D(X3) 0.043169 0.252347 0.171068 0.8653 D(X4) 75.83842 484.6933 0.156467 0.8767 RESID01(-1) -0.144124 0.149895 -0.961502 0.3440 RESID(-1) 0.322031 0.234786 1.371595 0.1804 RESID(-2) 0.175035 0.197485 0.886319 0.3825 R-squared 0.098997 Mean dependent var 3.93E-12 Adjusted R-squared -0.081203 S.D. dependent var 47222.52 S.E. of regression 49102.42 Akaike info criterion 24.60986 Sum squared resid 7.23E+10 Schwarz criterion 24.91463 Log likelihood -448.2824 F-statistic 0.549372 Durbin-Watson stat 1.851722 Prob(F-statistic) 0.766467