Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

TESIS

Oleh

YUNAN

067018070/EP

SE

K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUNAN

067018070/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Yunan Nomor Pokok : 067018070

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Irsad Lubis, M.Soc.Sc.Ph.D) (Kasyful Mahalli, S.E, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur,


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 12 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si

2. Dr. Murni Daulay, M.Si 3. Dr. Rahmanta, M.Si


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2009


(6)

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian dalam jangka panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, dan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan analisis digunakan data sekunder berupa data time series, 1988 – 2007, yaitu data kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, jumlah tenaga kerja dan PDB Indonesia. Data tersebut diperoleh dari Departemen Keuangan, BPS dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat kepercayaan 99 persen atau g=1 %, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 98,46 persen. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa kredit perbankan, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin meningkat secara signifikan dengan meningkatnya kredit perbankan, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja. Sedangkan nilai ekspor tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kata kunci: Pertumbuhan ekonomi, kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, jumlah tenaga kerja.


(7)

ABSTRACT

Economic growth represent the economics problem in the term and is influenced by various factor. This research is objected to analyse the influence of banking credit, export, government spending, and labour to economic growth of Indonesia

The analysis uses Ordinary Least Square (OLS) method. Secondary of time series data of 1988 – 2007, are applied.

The result of research indicate that the banking credit, export, government spending, and labour had a significant effect to economic growth of Indonesia at α=1 %, with a coefficient of determinant (R2) 98,46 percents. Partially, this study showed that the banking credit, government spending, and labour to had a significant and positively effect on economic growth of Indonesia. This means that economic growth of Indonesia will progressively with increasing the banking credit, government spending, and labour. While exporting value has unsignificant and positive effect to economic growth of Indonesia.

Keywords: Economic growth, banking credit, export value, government spending, labour.


(8)

KATA PENGANTAR

Penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis ini merupakan tugas akhir yang harus disajikan dalam rangka menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU)

Medan. Dengan mengambil judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.

Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini dalam waktu yang telah ditetapkan berkat bimbingan dan arahan dari Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan khususnya Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji dengan kesabarannya telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan arahan.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga sesuai dengan syarat dan tatacara yang telah ditentukan. Untuk itu penulis dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati dengan rasa hormat menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B., M.Sc., Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si., Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai pembanding yang telah memotivasi dan memberikan arahan dalam penyusunan tesis ini.

3. Bapak Irsad Lubis, SE,M.Soc.Sc.Ph.D sebagai Ketua Pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

4. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, sebagai Anggota Pembimbing yang telah


(9)

5. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si dan Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si, sebagai Pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran perbaikan dalam penyusunan tesis ini.

6. Bapak, Ibu Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

8. Kepada orang-orang tercinta penulis dan seluruh keluarga besar yang telah

memberikan perhatian, motivasi, semangat, saran dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Rekan-Rekan Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kesilapan penulis selama ini..

Medan, Agustus 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Yunan

2. Tempat/ Tanggal Lahir : Mandasip / PALUTA, 12 September 1969

3. Pekerjaan : Pegawai BUMN

4. Agama : Islam

5. Nama Istri : Sri Ridhayanti Harahap, SKM, M.Kes.

6. Anak : 1. Islahsifa Yunaini Siregar

2. Salsabila Yunaini Siregar 3. Fakhrusy Hassan Siregar 4. Akhsanul Amal Siregar

7. Nama Orang Tua :

Ayah : Alm. H. Wan Purba Siregar

Ibu : Alm. Hj. Nariman Harahap

8. Nama Mertua :

Ayah : H. Muhammad Ramli Salim Harahap

Ibu : Nurlela Siagian

9. Pendidikan :

a. SD Negeri Mandasip : Lulus Tahun 1983

b. SMP Negeri 2 Gunung Tua : Lulus Tahun 1986

c. SMA Al-Azhar Medan : Lulus Tahun 1990

d. Sarjana Pertanian UISU Medan : Lulus Tahun 1994

e. Sekolah Pascasarjana USU : Lulus Tahun 2009

10.Pekerjaan : Tahun 1996 – sekarang, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi... 8

2.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia... 14

2.3. Kredit Perbankan ... 19

2.4. Ekspor ... 22

2.5. Konsumsi dan Fungsi Konsumsi... 23

2.6. Teori Konsumsi... 25

2.6.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes ... 25

2.6.2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Milton Friedman) ... 28

2.6.3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup... 29


(12)

2.7.1. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi ... 31

2.7.2. Kesempatan Kerja dan Upah ... 32

2.8. Penelitian Sebelumnya ... 34

2.9. Kerangka Konseptual ... 38

2.10. Hipotesis Penelitian... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 39

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 39

3.3. Model Analisis ... 39

3.4. Metode Analisis ... 40

3.5. Uji Kesesuaian ... 41

3.6. Definisi Operasional... 41

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

4.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 44

4.2. Penyaluran Kredit... 48

4.3. Volume Ekspor... 51

4.4. Pengeluaran Pemerintah... 53

4.5. Tenaga Kerja ... 56

4.6. Analisis Estimasi... 58

4.6.1. Uji Kesesuaian (Goodness of fit)... 58

4.6.2. Uji Asumsi Klasik ... 63

4.7. Pembahasan ... 65

4.7.1. Jumlah Kredit ... 65

4.7.2. Volume Ekspor ... 67

4.7.3. Pengeluaran Pemerintah... 69

4.7.4. Jumlah Tenaga Kerja ... 71


(13)

5.1. Kesimpulan ... 72 5.2. Saran... 72 DAFTAR PUSTAKA ... 73


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun

1988 – 2007 ...

2

4.1. Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun

1985 – 2007 ...

45

4.2. Perkembangan Jumlah Kredit Berdasarkan Sektor Usaha, Tahun

1985 – 2007 ... 49

4.3. Perkembangan Volume Ekspor Indonesia, Tahun 1985 – 2007 ... 52

4.4. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Indonesia Tahun 1985 –

2007 ... 54

4.5. Perkembangan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 1985 – 2007 ... 57

4.6. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Ekonomi Indonesia ... 59 4.7. Hasil Uji Multikolinieritas... 64 4.8. Hasil Uji Autokorelasi dengan LM Test... 65


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kurva Konsumsi (Dornbuch, et,al,2001:195) ... 27

2.2. Hubungan Tingkat Upah dengan Penyerapan Tenaga Kerja ... 33

2.3. Kerangka Konseptual Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia... 38

4.1. Perkembangan PDB Indonesia, Tahun 1985 – 2007... 46

4.2. Perkembangan Jumlah Kredit di Indonesia, Tahun 1985 – 2007... 50

4.3. Perkembangan Total Ekspor Indonesia, Tahun 1985 – 2007... 53

4.4. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Indonesia, Tahun 1985 – 2007 ... 55


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Penelitian ... 78

2. Input Data Analisis... 79

3. Analisis OLS ... 80


(17)

DAFTAR SINGKATAN

APC = Average Propensity to Consume

APS = Average Propensity to Save

BI = Bank Indonesia

BMPK = Batas Minimum Pemberian Kredit

BPS = Badan Pusat Statistik

CAR = Capital Adequacy Ratio

MPC = Marginal Propensity to Consume

MPS = Marginal Propensity to Save

NPL = Non Performing Loan

OLS = Ordinary Least Square

PAD = Pendapatan Asli Daerah

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto

PJPT = Pembangunan Jangka Panjang Tahap

RR = Rate Return


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian dalam jangka panjang, dan pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena penting yang dialami dunia belakangan ini. Proses pertumbuhan ekonomi tersebut dinamakan sebagai Modern Economic Growth. Pada dasarnya, pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai suatu

proses pertumbuhan output perkapita dalam jangka panjang. Hal ini berarti, bahwa dalam jangka panjang, kesejahteraan tercermin pada peningkatan output perkapita yang sekaligus memberikan banyak alternatif dalam mengkonsumsi barang dan jasa, serta diikuti oleh daya beli masyarakat yang semakin meningkat.

Pertumbuhan ekonomi juga bersangkut paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan, bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan. Dalam hal ini berarti terdapatnya kenaikan dalam pendapatan nasional yang ditunjukkan oleh besarnya nilai Produk Domestik Bruto (PDB).

Indonesia, sebagai suatu negara yang sedang berkembang, sejak tahun 1969 dengan giat melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Pembangunan nasional mengusahakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yang pada


(19)

akhirnya memungkinkan terwujudnya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 1.1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.

Tabel 1.1 Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun 1988 – 2007

Tahun PDB (Milyar Rp.) Peningkatan (%)

1988 819.960,60 -

1989 882.393,80 7,61

1990 948.213,50 7,46

1991 1.014.760,50 7,02

1992 1.083.350,60 6,76

1993 1.156.505,30 6,75

1994 1.244.467,60 7,61

1995 1.347.040,90 8,24

1996 1.451.727,90 7,77

1997 1.518.293,60 4,59

1998 1.317.245,10 -13,24

1999 1.325.352,10 0,62

2000 1.389.770,20 4,86

2001 1.443.014,60 3,83

2002 1.504.380,60 4,25

2003 1.572.159,30 4,51

2004 1.656.757,54 5,38

2005 1.750.656,10 5,67

2006 1.846.654,90 5,48

2007 1.901.147,50 2,95

Rata-rata 4,64

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007

Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun 1988-1997. Pada tahun 1998 menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu minus 13,24 %, hal ini disebabkan karena krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang


(20)

berlanjut menjadi krisis multidimensi, sehingga membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1998. Pada tahun 1999-2003 perekonomian Indonesia baru dapat tumbuh lagi walaupun pertumbuhannya tidak sepesat pada tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 1995, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka yang tertinggi, yakni sebesar 8,24 %. Kenaikan ini sebagian besar didorong oleh kenaikan konsumsi dan sebagai dampak dari adanya boom investasi yang terjadi pada tahun 1995, dengan nilai investasi sebesar 39.914,7 juta US Dolar (Bank Indonesia, 2003).

Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang cukup tajam, yaitu sebesar minus 13,24 %. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, perekonomian nasional Indonesia mengalami pemulihan (recovery), meskipun jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang mengalami krisis serupa, proses pemulihan ekonomi di Indonesia relatif lebih lambat.

Memasuki tahun 2000, perekonomian Indonesia diwarnai oleh nuansa optimisme yang cukup tinggi. Hal ini antara lain ditandai dengan menguatnya nilai tukar rupiah sejalan dengan penurunan inflasi dan tingkat suku bunga pada sektor riil. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 sebesar 4,86 % lebih tinggi dari prakiraan awal tahun oleh Bank Indonesia sebesar 3,0 % sampai dengan 4,0 %. Pada tahun 2002 semakin membaik dibandingkan tahun 2001, berdasarkan perhitungan PDB atas dasar harga konstan 2000, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2002 adalah


(21)

sebesar 4,25 %, dan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 sebesar 3,83 %, Sedangkan pada tahun 2003 laju pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 4,51 %.

Perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang membaik dan lebih stabil selama 2003 sebagaimana yang tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Walaupun demikian, pertumbuhan ekonomi yang terjadi masih belum memadai untuk menyerap tambahan angkatan kerja sehingga jumlah pengangguran masih mengalami kenaikan. Aktivitas perdagangan dunia yang masih lesu mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor Indonesia, khususnya komoditas nonmigas, relatif rendah. Dalam situasi demikian, kinerja ekspor secara nominal sangat terbantu oleh meningkatnya harga komoditas migas dan nonmigas di pasar internasional sehingga secara keseluruhan nilai ekspor pada 2003 masih mengalami kenaikan yang signifikan dan menjadi penopang utama terjadinya surplus transaksi berjalan selama 2003 (Bank Indonesia, 2003).

Namun, dengan perkembangan perekonomian yang dicapai saat ini, Indonesia masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang, yang sedang melaksanakan pembangunan. Pembangunan tersebut tentunya memerlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sumber pendanaan tersebut adalah kredit bank. Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung pada sumber alamnya, sumber daya manusia, modal usaha, teknologi dan sebagainya.


(22)

lembaga sosial, sikap budaya, nilai moral, kondisi politik, dan kelembagaan dari negara tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu pengkajian ilmiah terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam hal ini faktor-faktor yang dianalisis adalah kredit perbankan, ekspor, pengeluaran pemerintah, dan jumlah tenaga kerja. Penggunaan variabel ini didasarkan pada Kuznets dalam Tambunan (2001a), bahwa perubahan struktur ekonomi didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat dan penawaran agregat.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh kredit perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Bagaimana pengaruh nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 3. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di

Indonesia.

4. Bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.


(23)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis pengaruh kredit perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Untuk menganalisis pengaruh nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

4. Untuk menganalisis pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah Indonesia dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

2. Sebagai bahan informasi bagi dunia perbankan, perdagangan ekspor – impor, dalam hubungannya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

3. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.


(24)

4. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor yang menentukan kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dan penjelasan mengenai interaksi faktor-faktor tersebut satu sama lain sehingga terjadi proses pertumbuhan (Boediono, 1999). Teori pertumbuhan ekonomi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:

(1) Teori-teori klasik, mencakup teori pertumbuhan Adam Smith, David Richard, dan Arthur Lewis. Perbedaan teori Lewis dengan teori-teori Klasik Smith dan Ricardo terletak pada penekanan oleh Lewis pada aspek dualisme perekonomian, yaitu adanya sektor modern dan sektor tradisional, yang masing-masing memiliki ciri-ciri ekonomi khusus.

(2) Teori-teori modern, yang mencakup empat sub golongan, yaitu:

a. Teori pertumbuhan yang tumbuh dari teori makro Keynes (Keynesian). Dalam hal ini termasuk teori pertumbuhan Harrod-Domar, Kaldor.

b. Teori Pertumbuhan Neo Klasik, diawali terutama oleh teori Robert Solow dan Trevor Swan.


(26)

Teori ini bertujuan mencari jalur pertumbuhan yang paling baik (optimum) bagi suatu perekonomian. Termasuk dalam hal ini teori Dalil Emas dan Teori Jalan Raya.

d. Teori pertumbuhan dengan uang

Teori ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari pertumbuhan Neo Klasik, tetapi dengan tambahan adanya uang di dalam perekonomian sebagai alat penyimpan kekayaan. Teori pokoknya berawal dari karya James Tobin.

Dalam hal ini diambil satu teori pertumbuhan ekonomi, yaitu teori pertumbuhan Harrod-Domar. Teori Harrod-Domar adalah perkembangan langsung dari makro Keynes jangka pendek menjadi suatu teori jangka panjang. Harrod-Domar melihat pengaruh investasi (I) dalam perspektif waktu yang lebih panjang. Menurut Harrod-Domar, pengeluaran investasi (I) tidak hanya mempunyai pengaruh (lewat proses multiplier) terhadap permintaan agregat (Z), tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang, I menambah stok kapital, misalnya pabrik-pabrik, jalan-jalan). Jadi I = ΔK, dimana K adalah stok kapital dalam masyarakat. Hal ini berarti pula peningkatan kapasitas produksi masyarakat.

Harrod-Domar mengatakan bahwa setiap penambahan stok kapital masyarakat (K) meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output (QP). QP


(27)

adalah output yang potensial bisa dihasilkan dengan stok kapital yang ada. Hubungan antara K dan QP digambarkan sebagai:

QP = hK ...(2.1) dimana h, menunjukkan berapa unit output yang bisa dihasilkan dari setiap unit kapital. Koefisien ini diberi nama out-put capital ratio, dan kebalikannya, yaitu 1/h adalah capital-output ratio.

Hubungan antara K dan QP adalah proporsional, apabila K naik dua kali lipat maka QP juga naik dua kali lipat. Jadi apabila dalam satu tahun ada investasi sebesar

I, maka stok kapital pada akhir tahun tersebut akan bertambah sebesar ΔK = I.

Selanjutnya penambahan kapasitas ini akan meningkatkan output potensial sebesar: ΔQP = h ΔK = hI hK ...(2.2) Semakin besar I, semakin besar tambahan out potensial.

Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pembangunan bertujuan menentukan usaha pembangunan yang berkelanjutan dengan tidak menghabiskan sumber daya alam. Teori dan model pertumbuhan yang dihasilkan dijadikan panduan konsep pembangunan, dimana hal ini dibahas dalam teori pertumbuhan dan pembangunan dan berusaha menganalisa secara kritikal dengan melihat kesesuaiannya dalam konteks negara. Walaupun tidak semua teori atau model dapat digunakan, namun berbagai pendapat mengenai peranan faktor pengeluaran termasuk buruh, tanah, modal dan pengusaha dapat menjelaskan penyebab tidak terlaksananya pembangunan dalam sebuah negara. Pada tahap awal,


(28)

pendapatan per kapita menjadi alat ukur utama bagi pembangunan. Namun sesuai dengan perubahan waktu, aspek pembangunan manusia dan pembangunan sumber daya alam semakin ditekankan. Pembangunan sumber daya alam melihat kepada aspek manfaat kepada generasi akan datang melalui kebijakan masa kini. Oleh karena itu konsep pembangunan dan pertumbuhan tidak ditafsirkan dari perspektif ekonomi semata-mata, namun meliputi berbagai disiplin seperti pendidikan, perindustrian dan kebijakan (Idris dan Dan, 2004).

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, karena penduduk bertambah terus dan berarti kebutuhan ekonomi juga bertambah terus, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Hal ini hanya bisa didapat lewat peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau produk domestik bruto (PDB) setiap tahun. Jadi dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB yang berarti juga penambahan pendapatan nasional (Tambunan, 2001a).

Pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dalam nilai absolut dan nilai relatif (persentase). Pertumbuhan dalam nilai absolut dinyatakan dalam rupiah, misalnya PDB tahun 2000 tumbuh Rp. 2 triliun dibandingkan PDB tahun 1999. Sedangkan pertumbuhan dalam persentase dapat dihitung dengan cara sederhana, sebagai berikut (Tambunan, 2001b).


(29)

dimana ΔPDB(t) = pertumbuhan ekonomi tahun (t) tertentu dalam nilai absolut, t-1 = tahun sebelumnya. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun, menggunakan rumus sebagai berikut:

r = 1 x 100%

0 t tn 1 n ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜⎝ ⎛ ……….(2.4)

atau dengan compounding factor :

tn = t0(1 + r)n-1 ………(2.5)

dimana r = laju pertumbuhan PDB rata-rata per tahun, n = jumlah tahun (misalnya untuk periode 1990-an, n = 10), tn = tahun akhir periode, t0 = tahun awal periode,

(1 + r)n-1 menggambarkan compound factor. Menurut Tambunan (2001 b),

pertumbuhan ekonomi dalam nilai absolut selanjutnya dapat dinyatakan dalam nilai nominal berdasarkan harga berlaku dan nilai riil (nyata) berdasarkan harga konstan.

Pembangunan ekonomi sebuah negara pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata. Kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat tercipta melalui bekerjanya pasar secara efisien. Mekanisme pasar akan bekerja secara efisien apabila tersedia tata aturan dan hukum-hukum pasar yang dilaksanakan dengan baik. Ketersediaan tata aturan dan hukum tersebut mengundang peran para pembuat undang-undang (parlemen) dan pelaksana undang-undang (pemerintah). Selain itu, Pemerintah termasuk bank sentral menyusun kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dengan perkembangan untuk lebih cepat merealisasikan tujuan-tujuan


(30)

yang diinginkan dalam koridor undang-undang/peraturan yang sudah dijalankan. Atas dasar itu, Pemerintah melalui kebijakan makroekonomi, investasi, perdagangan, pelaksanaan hukum serta perundang-undangan mempunyai peranan penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi bekerjanya pasar secara optimal. Demikian pula halnya bank sentral yang menetapkan kebijakan moneter, sebagai salah satu elemen kebijakan makroekonomi mempunyai peranan penting dalam penciptaan kondisi bagi bekerjanya mekanisme pasar yang efisien (Abdullah, 2003).

Implikasi dari kebijakan fiskal pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi masih banyak diperdebatkan baik dari sisi teori maupun studi empirisnya yang juga masih terus berkembang. Pada awalnya yang lebih diperhatikan adalah kuantitas pengeluaran pemerintah, namun pada tahap selanjutnya aspek-aspek lain dari kebijakan fiskal pemerintah tersebut dirasa perlu pula untuk diamati. Selain efektifitas atau efisiensi dari pengeluaran pemerintah baik besarannya (size) dan alokasi sektoralnya, dampak dari cara pemerintah dalam membiayai pengeluarannya terhadap pertumbuhan ekonomi juga merupakan area studi yang menarik (Gunadi, 2004). Seperti disebutkan oleh Aschauer (2000), persoalan kebijakan fiskal pemerintah mencakup “how much you have”, “how you pay for it” dan “how you use it”. Selain cross-countries studies seperti Baffes dan Shah (1998), Dessus dan Herrera (2000),

Aschauer (2000), Gupta et al. (2002), hubungan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi pada tingkat daerah di suatu negara juga telah mendapatkan perhatian. Hal terakhir ini misalnya studi Rappaport (1999) dengan kasus Amerika Serikat, Bergstrom (1998) dengan kasus Swedia, Lall dan Yilmaz (2000) dengan


(31)

kasus Amerika Serikat. Brata dan Arifin (2003) juga telah mencoba menganalisis aspek fiskal pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi di Indonesia. Namun, seperti juga kecenderungan studi-studi yang telah dikemukakan di atas, aspek fiskal yang diamati belum mencakup sisi penerimaan maupun komposisinya tetapi baru pada sisi pengeluaran khususnya pengeluaran pembangunan sebagai proksi dari investasi sektor publik lokal. Sementara itu aspek penerimaan pemerintah daerah merupakan salah satu isu krusial bagi Indonesia. Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tahun 1999, pemerintah daerah baik tingkat propinsi (Dati I) maupun kabupaten/kota (Dati II) lebih banyak tergantung pada pemerintah pusat (Kuncoro, 1995). Dalam hal ini, andil subsidi dari pemerintah pusat dalam struktur penerimaan pemerintah daerah sangat tinggi, jauh melebihi Penerimaan Asli Daerah (PAD).

2.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Hampir enam puluh (60) tahun bangsa Indonesia melakukan pembangunan ekonomi, selama itu pula pertumbuhan ekonomi mengalami pasang surut. Fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat terkait dengan fluktuasi stabilitas sosial, politik dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari nilai absolut maupun relatif. Secara absolut berarti dilihat dari perubahan PDB tahun lalu dengan tahun sekarang. Misalnya PDB tahun 2004 tumbuh Rp 3 triliun dari tahun 2003. Untuk mempermudah penggambaran, masa pertumbuhan ekonomi dipilah menjadi tiga (3),


(32)

Masa Orde Lama

Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing, dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.

Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with

Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam

mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965 (Tambunan: 2001).

Masa Orde Baru

Belajar dari kegagalan Orde Lama, Orde Baru sejak awal tahun 1970 menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth. Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomian

dengan pola kemajuan perekonomian suatu masyarakat melalui beberapa tahapan, sehingga pada masa itu pemerintah mengenalkan adanya Pembangunan Jangka


(33)

Panjang Tahap I (PJPT I), dan PJPT II. Pembangunan jangka panjang juga dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama PJPT I.

Tahap pertama adalah mengubah pola ekonomi traditional yang berbasis pertanian tradisional, dimana penguasaan teknologi masyarakat sangat rendah, sehingga mayoritas produksi adalah barang-barang pertanian dan bahan mentah menuju pola ekonomi industri (industrial economy), di mana kegiatan ekonomi bertumpu pada industri. Ciri utama pada tahap ini adalah, pertama struktur masyarakat berjenjang, penguasaan teknologi sangat terbatas, penguasaan sumberdaya yang dipengaruhi oleh hubungan darah/keluarga dan produk utama adalah pertanian.

Tahap kedua adalah precondition untuk take-off (tinggal landas), mempunyai beberapa indikator. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan dan penting, kegiatan perekonomian mulai bergerak dinamis, sektor industri, jasa dan lembaga keuangan mulai berkembang. Tahap kedua ini tahap yang sangat krusial, karena menyiapkan prasarat untuk tinggal landas. Prasarat yang harus disiapkan


(34)

pelabuhan, rel kereta api, lapangan terbang. Pada tahap ini pertumbuhan pendapatan tinggi dan diikuti dengan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, capital-labor ratio semakin meningkat, share industri dalam pertumbuhan ekonomi semakin besar (bahkan mulai menggeser peranan sektor pertanian).

Tahap ketiga adalah initiating take-off, di mana dalam tahap ini peran pemerintah mulai berkurang. Porsi pembangunan mulai diserahkan kepada swasta. Pemerintah lebih bersifat pendorong, melalui peraturan dan kestabilan politik. Beberapa indikator utama dalam tahap ini adalah pertama, terjadinya perubahan teknologi dalam pengelolaan baik sektor industri maupun pertanian. Ratio capital to labor semakin meningkat. Kedua, peran penanaman modal asing dalam

pembangunan ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari peran swasta domestik maupun negara. Selanjutnya, growth model bertumpu pada akumulasi kapital melalui pasar modal. Ini berarti peran rakyat dalam pembangunan mulai diaktifkan, terutama dalam akumulasi modal melalui transaksi di pasar modal.

Tahap keempat adalah take-off. Tahap tinggal landas merupakan tahap yang paling menentukan dalam proses pembangunan ekonomi. Tinggal landas menurut Kuncoro (2000) diartikan sebagai tiga (3) kondisi yang saling terkait, yaitu: (1) Kenaikan laju investasi produktif antara 5 – 10 persen dari pendapatan nasional, (2) Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi (3) Adanya kerangka politik, sosial dan institusional yang jelas, yang dapat mendorong ekspansi di sektor modern. Ciri lain pada tahap ini terletak


(35)

pada peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi hanyalah sebagai fasilitator, bukan lagi inisiator. Peran swasta sangat tinggi dalam pembangunan, mekanisme pasar mulai diperkenalkan dan local currency memasuki perdagangan internasional.

Tahap kelima adalah tahap konsumsi tinggi. Pada tahap akhir perkembangan perekonomian Rostow ini akan ditandai adanya migrasi besar-besaran penduduk kota ke daerah pinggiran kota. Masyarakat mulai timbul kesadaran bahwa kesejahteraan bukan masalah individu, yang hanya dipecahkan dengan konsumsi individu, namun kesejahteraan merupakan kebutuhan bersama. Meskipun pertumbuhan ekonomi masa orde baru cukup tinggi, dimana pertumbuhan ekonomi tertinggi pernah mencapai 8 persen (Tambunan: 2001) dan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.100 (Pratama Mandala : 2003), namun angka kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, ternyata hanya dinikmati golongan masarakat tertentu saja. Pembangunan ekonomi model Growth First then Distribution of Wealth ternyata menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat. Dengan berakhirnya PJPT I diharapkan Indonesia sudah mencapai tahap take-off, namun kondisi empirik menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil pembangunan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat, sehingga perekonomian menjadi rapuh. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde baru adalah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 (Tambunan, 2001b). Masa Reformasi


(36)

krisis. Krisis ekonomi yang diawali tahun 1997 telah berdampak luas pada semua aspek kehidupan masyarakat, sehingga memicu instabilitas pada bidang sosial, politik dan keamanan. Kondisi ini memicu timbulnya kekacauan dalam kegiatan perekonomian dan laju inflasi yang semakin tinggi. Begitu beratnya kondisi perekonomian Indonesia sehingga terpuruk di mata internasional.

Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, pendapatan perkapita sebelum krisis mencapai US$ 1.100 pada tahun 1999 merosot menjadi US$ 580 (Tambunan, 2001a). Demikian juga dengan nilai kurs rupiah yang sempat menyentuh nilai tertinggi Rp 17.500 per US$ 1. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kepercayaan masyarakat dalam negeri maupun internasional terhadap perekonomian Indonesia, sehingga aktivitas di pasar modal didominasi oleh aktivitas jual, bukan pembelian. Setelah tahun 2000 perekonomian mulai recovery sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai positif. Sektor-sektor perekonomian yang sebelumnya tumbuh negatif, sudah berkembang menjadi positif. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3 sampai 4 persen.

2.3. Kredit Perbankan

Perbankan sebagai salah satu fungsi intermediasi, berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja melalui penyediaan sejumlah dana pembangunan dan dunia usaha. Khusus untuk dunia usaha, dana yang diberikan oleh bank adalah dalam bentuk kredit. Jumlah permintaan kredit pada suatu bank dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari sisi debitur maupun dari sisi


(37)

kreditur (perbankan) itu sendiri. Permintaan kredit dari sisi debitur (dunia usaha) dipengaruhi oleh adanya upaya untuk meningkatkan aktivitas usaha, baik dalam bentuk investasi maupun modal kerja. Sedangkan dari sisi perbankan, permintaan kredit dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suku bunga kredit, batas maksimum kredit, SBI, kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelayanan bank itu sendiri kepada nasabahnya.

Berdasarkan data Bank Indonesia (2005), nilai kredit yang diberikan bank umum sejak tahun 2000 hingga tahun 2004 mengalami peningkatan setiap tahun. Nilai kredit yang diberikan bank umum pada tahun 2000 sebesar Rp. 861.905 miliar dan meningkat setiap tahun menjadi Rp. 1.794.190 miliar pada tahun 2004.

Pengertian kredit dalam arti ekonomi adalah suatu penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan seseorang, baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa. Artinya uang atau barang diterima sekarang dan dikembalikan pada masa yang akan datang. Kredit erat kaitannya dengan pengadaan modal suatu badan usaha, dimana dalam menjalankan usahanya pihak manajeman berusaha untuk memperoleh tambahan modal dari berbagai sumber, termasuk diantaranya melalui kredit. Menurut Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.


(38)

Kredit adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa keuntungan atau bunga yang diperoleh dari pemberi kredit untuk memelihara kelangsungan usaha dan memperluas usahanya (Tohar, 2000). Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), alasan permintaan kredit adalah: permintaan transaksi, yaitu kebutuhan alat tukar yang diterima oleh umum untuk membeli barang dan membayar tagihan, dan sebagai tambahan, yaitu sebagai aset atau penyimpan nilai. Permintaan kredit tersebut dipengaruhi suku bunga (biaya untuk memegang uang), dimana semakin tinggi biaya (suku bunga kredit) maka permintaan kredit (uang) menurun.

Permintaan uang untuk tujuan kredit, menurut Keynes (dalam Nusantara dan Azis, 2002) ditentukan oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin rendah keinginan masyarakat akan kredit. Alasannya, apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uang (opportunity cost) makin kecil. Sebaliknya semakin rendah tingkat suku bunga maka semakin besar keinginan masyarakat untuk meminjam kredit.

Pada umumnya alasan orang meminjam kredit adalah untuk investasi, modal kerja, maupun untuk konsumsi. Namun dari sisi perbankan, kredit yang lebih banyak diberikan adalah kredit investasi dan modal kerja. Aktivitas perekonomian, khususnya sektor usaha dapat bergerak dengan adanya kredit dari bank. Para pelaku usaha lebih mengandalkan bantuan kredit untuk invetasi maupun untuk modal kerja dibandingkan dengan modal sendiri. Oleh karena itu peranan kredit bank dalam dunia usaha sangat penting, karena sebagian besar kegiatan usaha didanai oleh kredit


(39)

bank. Walaupun kegiatan usaha membutuhkan kredit, namun tinggi rendahnya permintaan kredit oleh dunia usaha tersebut terutama dipengaruhi oleh suku bunga kredit.

2.4. Ekspor

Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri keluar negeri dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh sebuah negara ke negara lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Triyoso, 1984).

Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara miskin tidak akan mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui promosi serta penguatan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif, baik itu berupa ketersediaan faktor-faktor produksi tertentu dalam jumlah yang melimpah, atau keunggulan efisiensi alias produktifitas tenaga kerja. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam mengambil keuntungan dari


(40)

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, setiap negara perlu merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan internasional yang berorientasi ke luar. Dalam semua kasus, kemandirian yang didasarkan pada isolasi, baik yang penuh maupun yang hanya sebagian, tetap saja secara ekonomi akan lebih rendah nilainya daripada partisispasi ke dalam perdagangan dunia yang benar-benar bebas tanpa batasan atau hambatan apapun (Todaro & Smith, 2004).

Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2000).

2.5. Konsumsi dan Fungsi Konsumsi

Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang di produksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi.(Dumairy, 1996).

Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan


(41)

nasional (pendapatan disposebel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan :

C = a + bY ...(2.6)

Dimana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0, b

adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan nasional.

Ada dua konsep untuk mengetahui sifat hubungan antara pendapatan disposabel dengan konsumsi dan pendapatan diposabel dengan tabungan yaitu kosep kecondongan mengkonsumsi dan kecondongan menabung. Kecondongan mengkonsumsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu kecondongan mengkonsumsi marginal dan kecondongan mengkonsumsi rata-rata. Kencondongan mengkonsumsi marginal dapat dinyatakan sebagai MPC (berasal dari istilah Inggrisnya Marginal Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara

pertambahan konsumsi ( C) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposebel ( Yd) yang diperoleh. Nilai MPC dapat dihitung dengan menggunakan formula :

MPC = Yd

C

...(2.7) Kencondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan dengan APC (Average Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara tingkat


(42)

konsumen tersebut dilakukan (Yd). Nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan formula :

APC = Yd

C

...(2.8) Kecondongan menabung dapat dibedakan menjadi dua yaitu kencondongan menabung marginal dan kecondongan menabung rata-rata. Kecondongan menabung marginal dinyatakan dengan MPS (Marginal Propensity to Save) adalah perbandingan di antara pertambahan tabungan ( S) dengan pertambahan pendapatan disposebel ( Yd). Nilai MPS dapat dihitung dengan menggunakan formula :

MPS = Yd

S

...(2.9) Kecondongan menabung rata-rata dinyatakan dengan APS (Average Propensity to Save), menunjukan perbandingan di antara tabungan (S) dengan

pendapatan disposebel (Yd). Nilai APS dapat dihitung dengan menggunakan formula (Sukirno, 2003) :

APS = Yd

S

...(2.10) 2.6. Teori Konsumsi

2.6.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes

Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi casual. Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi marginal (marginal propensity to consume) jumlah yang dikonsumsi dalam setiap


(43)

tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah krusial bagi rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk mempengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi.

Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (avarage prospensity to consume), turun ketika pendapatan naik. Keynes percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang orang miskin.

Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peranan penting. Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Kesimpulannya bahwa pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap pengeluaran individu dari pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak penting.

Berdasarkan tiga dugaan ini, fungsi konsumsi Keynes sering ditulis sebagai (Mankiw, 2003) :

C = C + cY, C > 0, 0 < c < 1 ... (2.11) Keterangan :

C = konsumsi


(44)

c = kecenderungan mengkonsumsi marginal

C

C = Y

saving

E a + bY

Cg

disaving C

Yeq Y

Gambar 2.1. Kurva Konsumsi (Dornbusch, et.al, 2001: 195)

Secara singkat di bawah ini beberapa catatan mengenai fungsi konsumsi Keynes (Reksoprayitno, 2000) :

1. Variabel nyata adalah bahwa fungsi konsumsi Keynes menunjukkan hubungan antara pendapatan nasional dengan pengeluaran konsumsi yang keduanya dinyatakan dengan menggunakan tingkat harga konstan.

2. Pendapatan yang terjadi disebutkan bahwa pendapatan nasional yang menentukan

besar kecilnya pengeluaran konsumsi adalah pendapatan nasional yang terjadi atau current national income.

3. Pendapatan absolute disebutkan bahwa fungsi konsumsi Keynes variabel pendapatan nasionalnya perlu diinterpretasikan sebagai pendapatan nasional


(45)

absolut, yang dapat dilawankan dengan pendapatan relatif, pendapatan permanen dan sebagainya.

4. Bentuk fungsi konsumsi menggunakan fungsi konsumsi dengan bentuk garis lurus. Keynes berpendapat bahwa fungsi konsumsi berbentuk lengkung.

2.6.2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Milton Friedman)

Teori dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh M Friedman. Menurut teori ini pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi 2 yaitu pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory income). Pengertian dari pendapatan permanen adalah :

1. Pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat

diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan dari gaji, upah.

2. Pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang menentukan kekayaan seseorang (yang menciptakan kekayaan).

Pengertian pendapatan sementara adalah pendapatan yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya (Mangkoesoebroto, 1998). Friedman menganggap pula bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan sementara dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara. Sehingga MPC dari pendapatan sementara sama dengan nol yang berarti bila konsumen menerima pendapatan sementara yang positif maka tidak akan mempengaruhi konsumsi. Demikian pula bila


(46)

konsumen menerima pendapatan sementara yang negatif maka tidak akan mengurangi konsumsi (Suparmoko, 1991).

2.6.3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup

Teori dengan hipotesis siklus hidup dikemukaan oleh Franco Modigliani. Franco Modigliani menerangkan bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat mendasarkan kepada kenyataan bahwa pola penerimaan dan pola pengeluaran konsumsi seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya. Karena orang cenderung menerima penghasilan/pendapatan yang rendah pada usia muda, tinggi pada usia menengah dan rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan berfluktuasi sejalan dengan perkembangan umur mereka yaitu orang muda akan mempunyai tabungan negatif (dissaving), orang berumur menengah menabung dan membayar kembali pinjaman pada masa muda mereka, dan orang usia tua akan mengambil tabungan yang dibuatnya di masa usia menengah.

Selanjutnya Modigliani menganggap penting peranan kekayaan (assets) sebagai penentu tingkah laku konsumsi. Konsumsi akan meningkat apabila terjadi kenaikan nilai kekayaan seperti karena adanya inflasi maka nilai rumah dan tanah meningkat, karena adanya kenaikan harga surat-surat berharga, atau karena peningkatan dalam jumlah uang beredar. Sesungguhnya dalam kenyataan orang menumpuk kekayaan sepanjang hidup mereka, dan tidak hanya orang yang sudah pensiun saja. Apabila terjadi kenaikan dalam nilai kekayaan, maka konsumsi akan meningkat atau dapat dipertahankan lebih lama. Akhirnya hipotesis siklus kehidupan


(47)

ini akan berarti menekan hasrat konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan, seperti perubahan dalam investasi, ekspor, maupun pengeluaran-pengeluaran lain (Suparmoko, 1991).

2.6.4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif

James Dusenberry dalam Reksoprayitno (2000) mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan yang pernah dicapainya. Pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya saving. Apabila pendapatan bertambah maka konsumsi mereka juga akan betambah, tetapi brtambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan saving akan bertambah besar dengan pesatnya.

Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang telah kita capai tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya

pengeluaran untuk konsumsi, sedangkan di lain pihak bertambahnya saving tidak

begitu cepat (Reksoprayitno, 2000). Dalam teorinya, Dusenberry dalam Reksoprayitno (2000) menggunakan dua asumsi yaitu:

1. Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang


(48)

2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversibel. Artinya pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan (Mangkoesoebroto, 1998).

2.7. Kesempatan Kerja

2.7.1. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi

Tolok ukur kemajuan ekonomi, meliputi pendapatan nasional, tingkat kesempatan kerja, tingkat harga dan posisi pembayaran luar negri (Makmun, 2004). Secara nasional data menunjukkan bahwa lumpuhnya ekonomi wilayah industri di perkotaan menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah pedesaan dan meningkatnya pengangguran sebagai akibat meningkatnya migran pulang ke desa. Menurunnya laju perekonomian di desa dan bertambahnya jumlah tenaga kerja di desa serta meningkatnya harga konsumsi dan biaya produksi di bidang pertanian jelas akan mengurangi kapasitas produksi pertanian yang dihasilkan.

Pemberian kemudahan modal pemerintah untuk pengembangan sektor UKM akan mampu mengatasi levelling off (penurunan tingkat kemampuan) dan meningkatkan keuntungan. Pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan juga akan mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesempatan kerja penduduk sehingga akan meningkatkan agregat supply. Menurut Makmun dan Yasin (2003), pergeseran agregat supply, secara teoritis dapat diturunkan dari fungsi produksi agregat dan keseimbangan pasar tenaga kerja, yang secara matematis ditulis: Y = f ( N, T, SDM, INF) ... (2.12)


(49)

Dimana : Y = produksi N = tenaga kerja T = teknologi

SDM = sumber daya manusia INF = infrastruktur

2.7.2. Kesempatan Kerja dan Upah

Dalam perekonomian pasar-bebas tradisional, ciri-ciri utamanya antara lain adalah penonjolan kedaulatan konsumen, utilitas atau kepuasan individual, dan prinsip maksimalisasi keuntungan, persaingan sempurna dan efisiensi ekonomi dengan produsen dan konsumen yang atomistik. produsen dan konsumen yang atomistik maksudnya tidak ada satu pun produsen atau konsumen yang mempunyai

pengaruh atau kekuatan cukup besar untuk mendikte harga-harga input maupun output produksi. Tingkat penyerapan tenaga kerja dan harganya (yakni tingkat upah), ditentukan secara bersamaan atau sekaligus oleh segenap harga output dan faktor-faktor produksi (di luar tenaga kerja), dalam suatu perekonomian yang beroperasi melalui perimbangan kekuatan permintaan dan penawaran (Todaro, 2000).

Produsen meminta lebih banyak tenaga kerja sepanjang nilai produk marjinal yang akan dihasilkan oleh pertambahan satu unit tenaga kerja melebihi biayanya (tingkat upah). Dengan asumsi bahwa hukum produk marjinal yang semakin menurun


(50)

produk marjinal tenaga kerja tersebut akan memiliki kemiringan yang negatif atau mengarah dari bawah ke atas (Gambar 2.2). Hal ini berarti tenaga kerja yang direkrut selanjutnya oleh pihak pengusaha atau produsen akan mendapat tingkat upah yang lebih rendah daripada tenaga kerja sebelumnya.

Pada sisi penawaran, setiap individu diasumsikan selalu berpegang pada prinsip maksimalisasi kepuasan. Kenaikan tingkat upah akan setara dengan kenaikan harga bersantai (biaya oportunitas). Seandainya tingkat upah mengalami kenaikan, maka penawaran tenaga kerja, yakni para pekerja itu sendiri akan meningkat. Motivasi kerja mereka bertambah karena adanya iming-iming upah yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Korelasi tersebut ditunjukkan oleh kemiringan positif (mengarah dari bawah ke atas) atas kurva penawaran tenaga kerja yang juga termuat dalam Gambar 2.2.

DL

SL

DL

SL

F G

W2 We

W1

Le

T

ing

k

at

u

pah

Penyerapan tenaga kerja Sumber: Todaro, 2000


(51)

Gambar 2.2. memperlihatkan bahwa hanya satu titik yang melambangkan tingkat upah ekuilibrium, yaitu We, jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan oleh

individu (pasar tenaga kerja) sama besarnya dengan yang diminta oleh pengusaha.

Pada tingkat upah yang lebih tinggi, seperti pada W2, penawaran tenaga kerja

melebihi permintaan sehingga persaingan di antara individu dalam memperebutkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat pada titik ekuilibriumnya. Sebaliknya, pada upah yang lebih rendah (W1), jumlah total tenaga

kerja yang akan diminta oleh para produsen dengan sendirinya akan melebih kuantitas penawaran yang ada sehingga terjadilah persaingan di antara para pengusaha atau produsen dalam memperebutkan tenaga kerja, sehingga hal tersebut akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat pada titik ekuilibrium. Pada titik We jumlah kesempatan kerja yang diukur pada sumbu mendatar atau horisontal adalah sebesar Le. Secara definitif, pada titik Le inilah tercipta kesempatan

atau penyerapan tenaga kerja secara penuh (full employement). Artinya pada tingkat upah ekuilibrium tersebut semua orang yang menginginkan pekerjaan akan memperoleh pekerjaan, sehingga sama sekali tidak terdapat pengangguran.

2.8. Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian Hakim, Kusmiarso, et.al. (2000) menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan yang rendah kepada dunia usaha merupakan salah satu persoalan yang turut berperan dalam lambatnya proses pemulihan perekonomian


(52)

menyalurkan kredit berturut dari yang paling tinggi adalah CAR, kemudian batas minimum pemberian kredit (BMPK) dan rate return (RR).

Hasil penelitian Lihan dan Yogi (2003) menunjukkan bahwa, peranan sektor ekspor di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan PDRB di Indonesia. Hal itu sejalan dengan pendapat Jung dan Marshall (1985) yang mengemukakan sebagian besar negara-negara berkembang tidak menunjukkan dukungan empiris bahwa pertumbuhan ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Temuan ini, juga sejalan dengan pendapat Sritua Arief (1993) yang menyatakan jika sektor ekspor ini masih tergantung pada input impor maka pengaruhnya terhadap PDRB tidaklah nyata. Faktor yang berpengaruh nyata dalam penelitian ini adalah ekspor dikurangi dengan impor tahun sebelumnya.

Lee (2005), menjelaskan secara apriori setidaknya terdapat dua kemungkinan hubungan antara variabel-variabel keuangan dan variabel-variabel riil. Perkembangan sektor keuangan mengikuti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan kenaikan permintaan terhadap produk-produk keuangan, sehingga menghasilkan kenaikkan aktivitas pasar keuangan dan kredit. Dengan demikian, perkembangan sektor keuangan merupakan demand-following. Teori lain, mendalilkan jika perkembangan sektor keuangan merupakan determinan perkembangan ekonomi. Hipotesis supply leading ini menunjukkan kausalitas berasal dari perkembangan keuangan ke arah pertumbuhan riil, dimana perkembangan sektor keuangan merupakan necessary condition but not sufficient untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang sustainable.


(53)

Hasil penelitian Hamoraon (2005) menunjukkan bahwa konsumsi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 1960 – 2002. Konstribusi konsumsi terhadap pendapatan nasional sebesar 0,6973 yang berarti tingkat konsumsi Indonesia lebih dari 2/3 pendapatan nasional. Sedangkan MPC Indonesia adalah 0,74089 menunjukkan bahwa setiap kali terjadi kenaikan pendapatan US$ 1 akan menyebabkan pertambahan konsumsi sebesar US$ 0,741.

Purbadharmaja (2006) melakukan penelitian untuk mengidentifikasikan dan

menganalisis variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi PDRB Propinsi Bali dan menginterpretasikan implikasi variabel-variabel ekonomi yang memberikan kontribusi utama terhadap PDRB Propinsi Bali. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa data deret waktu dari tahun 1999 sampai dengan 2002. Data deret waktu diuji kestasioneritasnya dengan menggunakan autocorrelation fuction metode correlogram. Setelah itu dilakukan uji analisis faktor

metode principal component analisys (PCA) untuk membentuk satu set variabel

ortogonal yang bebas autokorelasi dan multikolinieritas. Dari variabel yang terbentuk lewat PCA kemudian dilihat bentuk model regresi bergandanya dengan melakukan uji mckinnon-white and davidson (MWD) apakah model berbentuk linier atau log

linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel ekonomi yang berpotensi mempengaruhi PDRB Propinsi Bali diidentifikasikan sebagai variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, nilai tukar


(54)

produksi pertanian, investasi swasta domestik, investasi swasta asing, jumlah angkatan kerja, dan jumlah wisatawan asing. Setelah melewati metode PCA dan MWD diperoleh model berbentuk linier dengan hasil menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap PDRB adalah variabel pengeluaran dengan nilai t statistik sebesar 19,79 (signifikan), sedangkan variabel yang tidak mempengaruhi PDRB secara nyata adalah variabel investasi dengan nilai t statistik sebesar 0,75 (nonsignifikan). Variabel investasi tidak signifikan terhadap PDRB disebabkan oleh investasi yang dilakukan di Bali tidak efisien. Interpretasi terhadap implikasi variabel ekonomi dalam model menunjukkan bahwa variabel ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Propinsi Bali adalah nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya pola pikir dollar minded dalam masyarakat di Bali. Pengeluaran konsumsi pemerintah daerah yang

tinggi menunjukkan tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada pemerintah pusat.


(55)

2.9. Kerangka Konseptual

Kredit Perbankan

Pengeluaran Pemerintah

Jumlah Tenaga Kerja

Nilai Ekspor Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

2.10. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Kredit perbankan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, ceteris paribus.

2. Nilai ekspor berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, ceteris paribus.

3. Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, ceteris paribus.

4. Jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, ceteris paribus.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 1985 – 2007. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianalisis adalah kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja.

3.2. Jenis Dan Sumber Data

Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dapat diperoleh dari berbagai instansi yang terkait yaitu Bank Indonesia, BPS dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.

Data yang dibutuhkan untuk menjadi bahan penelitian ini adalah jumlah kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, jumlah tenaga kerja, serta pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDB.

3.3. Model Analisis

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Sebagai variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian

ini adalah PDB Indonesia, variabel bebasnya (independent variable) adalah jumlah kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja.


(57)

Dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia dianalisis dengan fungsi matematis sebagai berikut:

PE = f(KR, EX, PP, TK) ...(3.1) Menurut Gujarati (2004), bahwa dalam perekonomian, ketergantungan dependent variabel terhadap independent variabel jarang terjadi secara linear, akan tetapi membutuhkan selang waktu. Oleh karena itu fungsi matematis di atas ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma. Dengan demikian spesifikasi model yang akan dijadikan sebagai model penelitian adalah sebagai berikut:

LogPE = a0 + a1 LogKR + a2 LogEX + a3 LogPP + a4 LogTK + μ ...(3.2)

Dimana:

PE = pertumbuhan ekonomi Indonesia, diproxy dengan PDB (Rp.)

KR = kredit perbankan (Rp.)

EX = nilai eskpor (Rp.)

PP = pengeluaran pemerintah(Rp.)

TK = jumlah tenaga kerja (orang)

a0 = intercept (konstanta)

a1,a2,a3,a4 = koefisien regresi

μ = kesalahan pengganggu

3.4. Metode Analisis


(58)

sebagai alat analisis yang digunakan dalam mengolah data tersebut adalah Program Eviews versi 4.1

3.5. Uji Kesesuaian

1. R2 (coefficient determinant), untuk melihat kekuatan variabel bebas

(independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent variable). 2. Overall test (F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik

koefisien regresi secara serempak. Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak dan H1

diterima.

3. Partial test (t-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik

koefisien regresi secara parsial. Jika thit > ttabel, maka H0 ditolak dan H1

diterima.

3.6. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dari variabel yang digunakan pada penelitian ini, maka berikut ini dijelaskan perihal batasan operasional sebagai berikut:

a. Pertumbunan ekonomi yaitu tingkat petumbuhan ekonomi Indonesia diproxy

dengan PDB atas dasar harga konstan (dalam Rp.).

b. Kredit perbankan yaitu jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan dalam satu tahun, diukur dalam rupiah.

c. Nilai ekspor yaitu nilai ekspor barang-barang dari Indonesia, dihitung dalam


(59)

d. Pengeluaran pemerintah yaitu pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rutin dan pembangunan, dihitung dalam rupiah.

e. Tenaga kerja adalah banyaknya jumlah tenaga kerja yang bekerja di Indonesia,

diukur dalam satuan orang.

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Penelitian ini juga mungkin tidak terlepas dengan modal regresi bias yang terjadi secara statistik yang dapat mengganggu model yang telah ditentukan. Dalam penghitungan regresi mungkin akan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik (Gujarati, 2004). Dalam penelitian asumsi klasik yang diuji terdiri dari:

a. Multikolinieritas

Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :

1) Variasi besar (dari taksiran OLS)

2) Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar).


(60)

3) Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.

4) R2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari t-test.

5) Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang

tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi.

b. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau penggunaan. Dengan menggunakan lambang µ secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.

Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan melalui uji Lagrange Multiplier Test (LM Test), yaitu dengan membandingkan nilai X² hitung dengan X² tabel, dengan kriteria penilaian sebagai berikut :

1. Jika nilai X²hitung > X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan, ditolak.

2. Jika nilai X²hitung < X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan, tidak dapat ditolak.


(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan yang dilaksanakan, khususnya bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan gambaran tingkat perkembangan ekonomi terjadi. Pertumbuhan ekonomi secara rinci dari tahun ke tahun, disajikan melalui Product Domestic Bruto (PDB) atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha secara berkala. Jika terjadi pertumbuhan positif, hal ini menunjukkan adanya peningkatan perekonomian dibandingkan dengan tahun yang lalu. Sebaliknya apabila menunjukkan negatif, hal ini menunjukkan terjadinya penurunan perekonomian dibandingkan dengan tahun lalu.

Perkembangan PDB Indonesia sejak tahun 1985 – 2007 atas dasar harga konstan tahun 2000 disajikan pada Tabel 4.1.

Selama periode 1985 – 2007 PDB Indonesia mengalami peningkatan rata-rata 4,89 persen per tahun. Peningkatan PDB yang paling tinggi terjadi pada tahun 1993 (8,50 persen), dan yang paling rendah adalah pada tahun 1998 (-13,13 persen). Kondisi ini disebabkan penurunan sumbangan sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran sebagai efek krisis yang masih terjadi di Indonesia.


(62)

Tabel 4.1. Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun 1985 – 2007

Tahun PDB (Milyar Rp.) Peningkatan (%)

1985 701.259,8 -

1986 742.461,6 5,88

1987 779.032,2 4,93

1988 824.064,1 5,78

1989 885.519,4 7,46

1990 949.641,1 7,24

1991 1.018.062,6 7,20

1992 1.061.248,0 4,24

1993 1.151.490,2 8,50

1994 1.238.312,3 7,54

1995 1.340.101,6 8,22

1996 1.444.873,3 7,82

1997 1.512.780,9 4,70

1998 1.314.202,0 -13,13

1999 1.324.599,0 0,79

2000 1.389.770,2 4,92

2001 1.442.984,6 3,83

2002 1.504.380,6 4,25

2003 1.577.171,3 4,84

2004 1.656.516,8 5,03

2005 1.750.815,2 5,69

2006 1.847.292,9 5,51

2007 1.963.974,3 6,32

Rata-rata 4,89


(63)

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 198 5 198 6 198 7 198 8 198 9 199 0 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 P D B ( M ily a r Rp )

Gambar 4.1. Perkembangan PDB Indonesia, Tahun 1985 – 2007

Pada tahun 2007, perkembangan ekonomi Indonesia mengalami kenaikan sebesar 6,32 persen, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang lalu. Pada tahun 2007 keadaan ekonomi Indonesia, pada umumnya semakin lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dapat diketahui dari peningkatan aktivitas sektor riil.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1985 – 2007 menunjukkan peningkatan setiap tahun, kecuali tahun 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi mulai tahun 1997. Hingga saat terjadinya krisis ekonomi (hingga tahun 1997), dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat secara fluktuatif, dimana peningkatan yang terbesar terjadi pada tahun 1993 sebesar 8,50 %, dan yang


(64)

paling rendah pada tahun 1997 sebesar 4,70 %. Selama periode tahun 1985 – 1997 fluktuasi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong rendah, (diilustrasikan sebesar 8,50 – 4,70 % = 3,8 %). Sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 13,13 %. Selanjutnya setelah krisis ekonomi pada periode 1999 – 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil, dengan pertumbuhan antara 0,79 – 6,32 %, yang berarti fluktuasinya cukup rendah, yaitu 6,32 – 0,79 = 5,53 %), yang berarti cukup stabil. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi Indonesia, dilihat dari stabilnya pertumbuhan ekonomi tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih stabil pada kondisi sebelum krisis ekonomi dibandingkan setelah krisis ekonomi karena salah satu indikator baiknya pertumbuhan ekonomi adalah stabilitas pertumbuhan ekonomi tersebut, bukan besarnya laju pertumbuhan ekonomi dimaksud.

Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi akan mencatat pertumbuhan ekonomi. Sektor industri pengolahan diperkirakan memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor lainnya yang memberikan sumbangan besar adalah perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Peningkatan kegiatan di sektor industri pengolahan ini mengikuti faktor musimannya yang meningkat pesat dalam rangka mengantisipasi meningkatnya permintaan. Sejalan dengan peningkatan di sektor industri tersebut, kegiatan di sektor perdagangan dan sektor pengangkutan yang merupakan mata rantai dari proses


(65)

produksi-distribusi konsumen akhir diperkirakan juga akan mencatat pertumbuhan yang tinggi (Bank Indonesia, 2003). Peningkatan kontribusi industri pengolahan menunjukkan bahwa industri pengolahan menunjukkan peningkatan, dimana dengan peningkatan aktivitas tersebut, kebutuhan modal kerja akan semakin meningkat.

4.2. Penyaluran Kredit

Kredit merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk sektor riil. Kredit yang disalurkan oleh perbankan terdiri dari beberapa jenis. Berdasarkan sektor usaha yang dilayani, jenis kredit terdiri dari: kredit sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor perindustrian, sektor jasa, dan sektor lain-lain. Perkembangan jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan berdasarkan sektor usaha tersebut disajikan pada Tabel 4.2.

Perkembangan penyaluran kredit di Indonesia menunjukkan dua fase. Fase pertama adalah periode tahun 1985 s/d 1998, dimana pada fase tersebut dapat dilihat bahwa penyaluran kredit mengalami peningkatan dengan laju yang cenderung tetap. Kemudian fase 1999 s/d 2007, dimana dapat dilihat bahwa penyaluran kredit mengalami peningkatan dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode tahun 1985 s/d 1998. Fase tersebut dipisahkan oleh kejadian pada tahun 1998 – 1999, dimana pada periode tesebut terjadi penurunan penyaluran kredit yang sangat besar. Hal ini merupakan dampak krisis ekonomi yang masih belum teratasi dengan baik, sehingga sektor riil banyak yang terpuruk.


(66)

Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Kredit Berdasarkan Sektor Usaha, Tahun 1985 – 2007

Jumlah Kredit (Milyar Rp.) Tahun

Pertanian Tambang Industri Dagang Jasa Lain-lain

Total

Peningkatan (%)

1985 1.656 258 7.069 7.214 4.047 1.210 21.454 - 1986 2.097 394 8.839 8.329 4.130 2.156 25.945 20,93 1987 2.630 372 10.508 10.065 5.151 3.143 31.869 22,83 1988 3.572 424 13.994 13.682 6.917 3.667 42.256 32,59 1989 5.214 456 17.654 19.342 9.600 6.709 58.975 39,57 1990 6.884 570 25.002 27.267 14.943 11.197 85.863 45,59 1991 8.465 743 33.131 33.049 20.066 17.371 112.825 31,40 1992 10.281 762 37.289 32.944 25.870 15.772 122.918 8,95 1993 12.057 777 51.432 37.794 35.824 12.387 150.271 22,25 1994 13.860 799 60.211 44.372 50.806 18.832 188.880 25,69 1995 15.525 913 72.088 54.224 66.584 25.277 234.611 24,21 1996 17.630 1.693 78.850 70.586 91.655 32.507 292.921 24,85 1997 26.002 5.316 111.679 82.264 113.569 39.304 378.134 29,09 1998 39.308 5.909 171.668 96.364 139.124 35.053 487.426 28,90 1999 23.777 3.697 84.259 43.288 43.161 26.951 225.133 -53,81 2000 19.503 6.680 106.782 44.099 44.316 47.620 269.000 19,48 2001 20.863 7.440 116.525 48.450 49.061 65.255 307.594 14,35 2002 22.332 6.095 121.035 65.978 60.983 88.987 365.410 18,80 2003 24.307 5.061 123.125 84.257 89.129 112.063 437.942 19,85 2004 32.376 7.730 143.603 111.035 107.858 150.946 553.548 26,40 2005 36.678 7.873 169.678 134.108 134.943 206.389 689.669 24,59 2006 45.003 13.896 182.432 162.396 157.638 225.771 787.136 14,13 2007 55.905 25.340 203.808 215.670 212.441 281.947 995.111 26,42

Rata-rata 21,23


(67)

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 198 5 198 6 198 7 198 8 198 9 199 0 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 T o ta l K re d it ( M ily a r R p .)

Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Kredit di Indonesia, Tahun 1985 – 2007

Penyaluran kredit menunjukkan fluktuasi setiap tahun. Pada periode 1985 s/d

1998 peningkatan penyaluran kredit yang paling tinggi terjadi pada tahun 1990 sebesar 45,59 % dan yang paling rendah adalah pada tahun 1992 yaitu sebesar 8,95 %. Pada tahun 1999 terjadi penurunan penyaluran kredit sebesar 53,81 %. Selanjutnya pada periode tahun 1999 s/d 2007, peningkatan penyaluran kredit yang paling tinggi adalah pada tahun 2007, yaitu sebesar 26,42 %, dan peningkatan penyaluran kredit yang paling rendah terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 14,13 %.

Berdasarkan jenis kredit yang disalurkan pada tahun 2007, dapat diketahui bahwa kredit yang paling banyak disalurkan adalah pada sektor lain-lain, yaitu


(1)

Lampiran 1. Data Penelitian

Tahun PDB ADHK 2000 (Milyar Rp.)

Total Kredit (Milyar

Rp.)

Ekspor ADHK 2000 (Milyar Rp.)

Pengeluaran Pemerintah

ADHK (Milyar Rp.)

TK (orang)

1985 701.259,8 21.454 197.545,20 65.806,4 62.458.000 1986 742.461,6 25.945 227.596,50 67.636,9 68.750.000 1987 779.032,2 31.869 260.879,20 67.522,7 70.811.000 1988 824.064,1 42.256 263.622,30 72.635,7 72.922.000 1989 885.519,4 58.975 291.161,50 80.254,8 73.400.000 1990 949.641,1 85.863 292.474,80 82.831,1 75.900.000 1991 1.018.062,6 112.825 364.182,90 88.652,6 76.423.000 1992 1.061.248,0 122.918 402.035,80 93.822,0 78.518.000 1993 1.151.490,2 150.271 428.605,20 93.900,3 79.200.000 1994 1.238.312,3 188.880 475.428,60 96.064,7 82.039.000 1995 1.340.101,6 234.611 512.137,20 97.352,2 80.110.000 1996 1.444.873,3 292.921 550.854,90 99.973,9 85.702.000 1997 1.512.780,9 378.134 593.821,40 100.035,1 86.951.000 1998 1.314.202,0 487.426 660.229,50 84.658,1 87.672.000 1999 1.324.599,0 225.133 450.243,60 85.246,4 88.817.000 2000 1.389.770,2 269.000 569.490,30 90.779,7 89.839.000 2001 1.442.984,6 307.594 573.163,40 97.645,0 91.407.000 2002 1.504.380,6 365.410 566.188,40 110.333,6 91.648.000 2003 1.577.171,3 437.942 599.516,40 121.404,1 90.784.000 2004 1.656.516,8 553.548 680.620,90 126.248,6 93.722.036 2005 1.750.815,2 689.669 791.995,90 134.625,6 93.958.387 2006 1.847.292,9 787.136 864.503,50 147.563,7 95.456.935 2007 1.963.974,3 995.111 938.397,71 155.354,3 99.930.217


(2)

Lampiran 2. Input Data Analisis

============================================================== obs PE K EX PP CS TK ============================================================== 1985 5.845879 4.331508 5.295666 4.818268 5.589038 7.795588 1986 5.870674 4.414054 5.357166 4.830184 5.598441 7.837273 1987 5.891555 4.503368 5.416439 4.829450 5.612563 7.850101 1988 5.915961 4.625888 5.420982 4.861150 5.629089 7.862859 1989 5.947198 4.770668 5.464134 4.904471 5.646751 7.865696 1990 5.977560 4.933806 5.466088 4.918193 5.687653 7.880242 1991 6.007774 5.052405 5.561320 4.947691 5.718259 7.883224 1992 6.025817 5.089615 5.604265 4.972305 5.730481 7.894969 1993 6.061260 5.176875 5.632057 4.972667 5.755085 7.898725 1994 6.092830 5.276186 5.677085 4.982564 5.809569 7.914020 1995 6.127138 5.370348 5.709386 4.988346 5.861047 7.903687 1996 6.159830 5.466751 5.741037 4.999887 5.901337 7.932991 1997 6.179776 5.577646 5.773656 5.000152 5.934038 7.939275 1998 6.118662 5.687909 5.819695 4.927669 5.906388 7.942861 1999 6.122084 5.352439 5.653448 4.930676 5.926057 7.948496 2000 6.142943 5.429752 5.755486 4.957989 5.932879 7.953465 2001 6.159262 5.487978 5.758278 4.989650 5.947796 7.960979 2002 6.177358 5.562780 5.752961 5.042708 5.964142 7.962123 2003 6.197879 5.641417 5.777801 5.084233 5.980727 7.958009 2004 6.219196 5.743155 5.832905 5.101227 6.001781 7.971842 2005 6.243240 5.838641 5.898723 5.129128 6.018619 7.972936 2006 6.266536 5.896050 5.936767 5.168980 6.032187 7.979807 2007 6.293136 5.997872 5.972387 5.191323 6.053353 7.999697 ============================================================== Keterangan:

PE = log. PDB

K = log. kredit perbankan EX = log. nilai eskpor

PP = log. pengeluaran pemerintah TK = log. tenaga kerja


(3)

Lampiran 3. Analisis OLS

LogPE = b0 + b1 LogKr + b2 Log Ex + b3 Log PP + b4 Log TK + ε Dependent Variable: PE

Method: Least Squares Date: 05/26/09 Time: 09:17 Sample: 1985 2007

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Kr 0.126398 0.063019 2.005715 0.0602

EX 0.093087 0.151364 0.614986 0.5463

PP 0.218785 0.088314 2.477364 0.0234

TK 0.596254 0.290039 2.055770 0.0546

C -0.915269 2.174679 -0.420875 0.6788

R-squared 0.984647 Mean dependent var 6.088850 Adjusted R-squared 0.981235 S.D. dependent var 0.131032 S.E. of regression 0.017950 Akaike info criterion -5.012841 Sum squared resid 0.005799 Schwarz criterion -4.765994 Log likelihood 62.64767 F-statistic 288.5958 Durbin-Watson stat 1.584911 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 4. Uji Asumsi Klasik 1. Multikolinieritas

Dependent Variable: K Method: Least Squares Date: 06/23/09 Time: 09:19 Sample: 1985 2007

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

EX 1.978143 0.312546 6.329134 0.0000

PP 0.144398 0.319788 0.451542 0.6567

TK 1.847765 0.967034 1.910755 0.0712

C -21.28330 6.231692 -3.415332 0.0029

R-squared 0.928420 Mean dependent var 5.270744 Adjusted R-squared 0.928178 S.D. dependent var 0.484181 S.E. of regression 0.065344 Akaike info criterion -2.461530 Sum squared resid 0.081127 Schwarz criterion -2.264053 Log likelihood 32.30759 F-statistic 396.2962 Durbin-Watson stat 1.131438 Prob(F-statistic) 0.000000


(4)

Dependent Variable: EX Method: Least Squares Date: 06/23/09 Time: 09:21 Sample: 1985 2007

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

K 0.342888 0.054176 6.329134 0.0000

PP 0.115854 0.131188 0.883118 0.3882

TK 0.190252 0.437426 0.434934 0.6685

C 1.773606 3.270845 0.542247 0.5940

R-squared 0.919768 Mean dependent var 5.664249 Adjusted R-squared 0.917913 S.D. dependent var 0.188318 S.E. of regression 0.027205 Akaike info criterion -4.214038 Sum squared resid 0.014062 Schwarz criterion -4.016561 Log likelihood 52.46144 F-statistic 345.0471 Durbin-Watson stat 1.523953 Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PP Method: Least Squares Date: 06/23/09 Time: 09:21 Sample: 1985 2007

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

EX 0.340331 0.385375 0.883118 0.3882

K 0.073527 0.162835 0.451542 0.6567

TK -0.112185 0.753005 -0.148983 0.8831

C 3.553380 5.590113 0.635654 0.5326

R-squared 0.824065 Mean dependent var 4.980387 Adjusted R-squared 0.796285 S.D. dependent var 0.103309 S.E. of regression 0.046628 Akaike info criterion -3.136450 Sum squared resid 0.041310 Schwarz criterion -2.938972 Log likelihood 40.06917 F-statistic 29.66474 Durbin-Watson stat 0.576364 Prob(F-statistic) 0.000000


(5)

Dependent Variable: TK Method: Least Squares Date: 06/23/09 Time: 09:22 Sample: 1985 2007

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PP -0.010401 0.069814 -0.148983 0.8831

EX 0.051816 0.119135 0.434934 0.6685

K 0.087232 0.045653 1.910755 0.0712

C 7.216303 0.466972 15.45340 0.0000

R-squared 0.937146 Mean dependent var 7.917777 Adjusted R-squared 0.927221 S.D. dependent var 0.052628 S.E. of regression 0.014198 Akaike info criterion -5.514690 Sum squared resid 0.003830 Schwarz criterion -5.317213 Log likelihood 67.41894 F-statistic 94.42885 Durbin-Watson stat 1.192152 Prob(F-statistic) 0.000000

2. Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.381710 Probability 0.688746 Obs*R-squared 1.047439 Probability 0.592313 Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 06/23/09 Time: 09:22

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

K 0.003596 0.067915 0.052955 0.9584

EX -0.048063 0.173911 -0.276366 0.7858

PP 0.041099 0.103582 0.396782 0.6968

TK 0.052254 0.308992 0.169110 0.8678

C -0.365309 2.292717 -0.159334 0.8754

RESID(-1) 0.228039 0.292848 0.778692 0.4475 RESID(-2) 0.083942 0.270998 0.309751 0.7607 R-squared 0.045541 Mean dependent var 2.17E-15

Adjusted R-squared -0.312381 S.D. dependent var 0.016236 S.E. of regression 0.018600 Akaike info criterion -4.885538 Sum squared resid 0.005535 Schwarz criterion -4.539953 Log likelihood 63.18369 F-statistic 0.127237 Durbin-Watson stat 1.790250 Prob(F-statistic) 0.991098


(6)