EFEKTIVITAS KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING DAN PROBLEM SOLVING DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) SISWA KELAS VIII SMPN 3 PEKALONGAN TAHUN PELAJARAN 2014/2015

(1)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING DAN PROBLEM SOLVING DENGAN

MEMPERHATIKAN KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) SISWA KELAS VIII SMPN 3 PEKALONGAN TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Oleh

Defryana Eka Susanti

Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya keterampilan berpikir kreatif mata pelajaran IPS Terpadu siswa kelas VIII Semester genap SMP Negeri 3 Pekalongan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mana yang lebih efektivitas antara model pembelajaran Problem Posing dan Problem Solving dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa serta untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional yang dimiliki siswa terhadap pengembangan keterampilan berpikir kreatif di dalam pembelajaran IPS Terpadu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu dengan pendekatan komparatif. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah teknik cluster random sampling. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil: (1) terdapat perbedaan keterampilan berpikir siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Problem Posing dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving pada mata pelajaran IPS Terpadu, (2) terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Problem Posing lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Problem Solving bagi siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, (3) terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Problem Posing lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Problem Solving bagi siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah, dan (4) terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif pada kecerdasan emosional terhadap keterampilan berpikir kreatif

Kata Kunci: Keterampilan Berpikir Kreatif, Kecerdasan Emosional, Problem Posing, Problem Solving


(2)

EFEKTIVITAS KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING DAN PROBLEM SOLVING DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) SISWA KELAS VIII SMPN 3 PEKALONGAN TAHUN PELAJARAN

2014/2015

Oleh

DEFRYANA EKA SUSANTI

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Ekonomi

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Defryana Eka Susanti dilahirkan di Muara Bungo pada tanggal 29 Maret 1993, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Edi Susamtono dan Ibu Ofridesma .

Pendidikan formal yang pernah diselesaikan oleh penulis adalah : 1. SD Negeri 2 Cahya Maju selesai pada tahun 2005

2. SMP IT Raudhatul Ulum selesai pada tahun 2008 3. SMA Negeri 1 Kayuagung selesai pada tahun 2011

Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Lampung pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Ekonomi melalui jalur SNMPTN. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dengan tujuan Solo-Bali-Jogja-Bandung- Jakarta yang dilaksanakan pada tanggal 22 Januari 2014 sampai 31 Januari 2014. Penulis juga mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 2 Semaka, Desa Garut, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus dengan waktu pelaksanaan tanggal 1 Juli 2014 sampai 17 September 2014.


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin dan ridha-Nyalah karya kecilku ini kupersembahkan kepada :

Bapak dan Ibuku tercinta

Terimakasih telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang, yang telah banyak berjuang tanpa lelah, serta selalu menyebut

namaku disetiap do’a mu.

Adik-adikku tersayang, (Nikken dan Dio)

Terima kasih atas doa, kasih sayang, pengorbanan, dukungan dan bantuan yang diberikan untukku.

Keluarga besar ku tercinta,

Yang selalu menjadi motivasi dalam hidupku, selalu memberikan do’a, keceriaan, mendukungku dan menantikan keberhasilanku.

Sahabat-sahabatku Pendidikan Ekonomi 2011

Yang selalu memberi motivasi, menemani dalam suka dan duka, memberi pengalaman baru serta menjadikan hari-hariku menjadi lebih

berwarna

Para pendidikku yang ku hormati

Terimakasih atas seluruh ilmu dan bimbingan yang diberikan

Almamater tercinta, Universitas Lampung


(8)

MOTO

Semua orang membuat kesalahan, yang penting

adalah apakah kamu menjadi gagal setelah membuat

kesalahan atau berhasil setelah melakukan kesalahan

Defryana Eka Susanti

“Baik ataupun buruk, aku akan tetap mencintai diriku sendiri”

-Vany Fallaa

Tak ada bunga yg mekar tanpa mendapat goncangan. Dan tak ada hidup yg berjalan tanpa ada masalah" - School 2013


(9)

SANWACANA

Alhamdulilah, puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Hubungan Antara Pemberdayaan Guru, Lingkungan Kerja, dan Kompensasi dengan Efektivitas Kerja Pada Guru Sertifikasi SMA dan MA Kecamatan Terbanggi Besar Tahun Pelajaran 2014/2015" adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, motivasi, saran dan kritik yang telah diberikan oleh semua pihak.Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih seluruhnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M. Sc. Selaku Rektor Unila. 2. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Unila. 3. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si., selaku Wakli Dekan I FKIP Unila. 4. Bapak Drs. Hi. Buchori Asyik, M.Si., selaku Wakil II FKIP Unila. 5. Bapak Dr. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Wakil II FKIP Unila.

6. Bapak Drs. Zulkarnain, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Unila.


(10)

telah bersedia menjadi pembimbing II penulis. Terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah Bapak berikan kepada penulis.

8. Bapak Dr. Edy Purnomo, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik (PA) dan Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah Bapak berikan kepada penulis.

9. Bapak Drs. Yon Rizal, M.Si., yang telah bersedia menjadi Pembahas penulis yang telah banyak meluangkan waktu untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah Bapak berikan kepada penulis.

10. Bapak dan Ibu Dosen FKIP Universitas Lampung khususnya Program Studi Pendidikan Ekonomi terima kasih atas ilmu yang diberikan.

11. Kepala SMP Negeri 3 Pekalongan, Ibu Hj. Aida Aini, S.Pd., yang telah mengizinkan dan membantu dalam proses penelitian.

12. Bapak dan Ibuku tercinta, terima kasih atas do’a tulus mu, motivasi, serta kasih sayangmu selama ini.

13. Adik-adikku Nikken dan Dio, serta semua saudaraku yang mendukung dan menyayangi serta berdoa untuk keberhasilanku..

14. Untuk Sahabat-sahabat terbaikku Rita, Vita, Ami, Eka, Shera, Vani dan Uti. 15. Abiku Binar Sumirat yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam

menyelesaikan kuliah dan skripsi ini.


(11)

18. Sahabat-sahabat KKN-KT dan PPL ku tercinta Ardi, Dewi, Kiki, Risa, Tiwi, Abas, Inayah, Novi.

19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan di atas kertas ini namun penulis berterimakasih atas semuanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka dan ucapan terimakasih. Namun demikian, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Indentifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Peneltian ... 13

G. Ruang Lingkup Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka ... 15

1. Definisi Belajar dan Teori Belajar ... 15

2. Hasil Belajar ... 19

3. Model Pembelajaran Kooperatif ... 22

4. Model Pembelajaran Problem Posing ... 25

5. Model Pembelajaran Problem Solving ... 29

6. Keterampilan Berpikir Kreatif ... 34

7. Kercerdasan Emosional ... 39

B. Penelitian yang Relevan ... 44

C. Kerangka Pikir ... 46

D. Hipotesis ... 56

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 57

1. Desain Penelitian ... 57

2. Prosedur Penelitian ... 58

B. Populasi dan Sampel ... 59

1. Populasi ... 59

2. Sampel ... 60

C. Variabel Penelitian ... 60

D. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel ... 61

E. Instrumen Penelitian ... 64

F. Teknik Pengumpulan Data ... 65


(13)

G. Uji Persyaratan Instrumen ... 66

1. Uji Validitas Instrumen ... 66

2. Uji Reliabilitas Instrumen ... 67

H. Uji Persyaratan Analisis Statistik Parametrik ... 68

1. Uji Normalitas ... 68

2. Uji Homogenitas ... 69

I. Teknik Analisis Data ... 69

1. T-tes Dua Sampel Independen ... 69

2. Analisis Varians Dua Jalan ... 71

3. Pengujian Hipotesis ... 73

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 76

1. Sejarah Berdirinya SMP Negeri 3 Pekalongan ... 76

2. Visi, Misi, dan Tujuan ... 77

3. Tujuan SMP Negeri 3 Pekalongan ... 78

4. Situasi dan kondisi SMP Negeri 3 Pekalongan ... 79

5. Proses Belajar Mengajar di SMP Negeri 3 Pekalongan ... 82

B. Deskripsi Data ... 82

1. Data Hasil Tes Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa di Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 83

2. Data Hasil Observasi Keterampilan Berpikir Kreatif yang memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi dan Rendah di Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 87

C. Uji Persyaratan Analisis Data ... 93

1. Uji Normalitas ... 93

2. Uji Homogenitas ... 95

D. Pengujian Hipotesis ... 96

1. Pengujian Hipotesis 1 ... 97

2. Pengujian Hipotesis 2 ... 98

3. Pengujian Hipotesis 3 ... 100

4. Pengujian Hipotesis 4 ... 102

E. Pembahasan ... 105

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 116 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kesenjangan antara Harapan dan Fakta yang Terjadi ... 4

2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif ... 25

3. Peran Guru dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... 31

4. Hasil Penelitian yang Relevan ... 45

5. Desain Penelitian ... 58

6. Kisi-Kisi Instrumen ... 64

7. Tingkat Besarnya Koefisien Korelasi ... 68

8. Rumus Unsur Tabel Persiapan Anava Dua Jalan ... 71

9. Data Siswa dalam 4 ( empat ) tahun terakhir ... 80

10.Data Ruang Lainnya ... 80

11.Data Ruang Kelas ... 81

12.Data Rombongan Belajar (Rombel) ... 81

13.Data Guru/ Staf Tata Usaha ... 81

14.Distribusi Frekuensi Keterampilan Berpikir Kreatif Kelas Eksperimen ... 84

15.Distribusi frekuensi Keterampilan Berpikir Kreatif Kelas Kontrol ... 85

16.Hasil Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi di Kelas Eksperimen ... 88 17.Hasil Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa yang


(15)

18.Hasil Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi di

Kelas Kontrol ... 90

19.Hasil Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi di Kelas Kontrol ... 92

20.Hasil Uji Normalitas Hasil Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 93

21.Rekapitulasi Uji Normalitas ... 94

22.Hasil uji Homogenitas Varians Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 95

23.Hasil Pengujian Hipotesis 1 ... 98

24.Hasil Pengujian Hipotesis 2 ... 99

25.Hasil Pengujian Hipotesis 3 ... 101


(16)

LAMPIRAN

1. Struktur Organisasi 2. Daftar Nama Guru

3. Daftar Nama Siswa Kelas Eksperimen 4. Daftar Nama Siswa Kelas Kontrol 5. Silabus

6. RPP Kelas Eksperimen 7. RPP Kelas Kontrol

8. Kisi-Kisi Angket Berpikir Kreatif 9. Soal Tes Keterampilan Berpikir Kreatif 10.Kisi-kisi Angket Kecerdasan Emosional 11.Angket Penilaian Antar Teman

12.Uji Validitas dan Reliabilitas Kecerdasan Emosional 13.Lembar Kerja Kelompok Kelas Eksperimen

14.Lembar Kerja Kelompok Kelas Kontrol 15.Hasil Angket EQ Kelas Eksperimen 16.Hasil Angket EQ Kelas Kontrol 17.Hasil Keterampilan Berpikir Kreatif 18.Hasil EQ Kelas Eksperimen


(17)

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Interaksi antara Model Pembelajaran Kooperatif dan Kecerdasan

Emosional terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif ... 55 2. Estimated Marginal Means Keterampilan Berpikir Kreatif ... 104


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan proses dalam pembangunan manusia untuk mengembangkan dirinya agar dapat menghadapi segala permasalahan yang timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Berdasarkan Undang-undang tersebut maka pendidikan memiliki peranan yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa karena pendidikan merupakan suatu proses dalam usaha membentuk manusia yang cerdas dan terampil, mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan kreatif serta mampu bersaing dalam menghadapi tantangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui proses


(20)

pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan non formal di lingkungan masyarakat.

Tujuan pendidikan pada dasarnya menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas ke depan untuk mencapai suatu cita-cita yang diharapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di berbagai lingkungan. Pelaksanaan pendidikan nasional harus menjamin pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan di tengah perubahan global agar warga Indonesia menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cerdas, proaktif, dan berdaya saing tinggi dalam pergaulan nasional maupun internasional.

Standar Nasional Pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan nasional berpusat pada peserta didik agar dapat: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, afektif dan menyenangkan. Hal tersebut dapat terwujud dengan adanya proses belajar mengajar yang efektif dan efisien.

Kualitas peserta didik ditentukan oleh kegiatan pembelajaran. Peningkatan kualitas kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan kebutuhan yang mutlak.


(21)

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran adalah dengan meningkatkan proses pelaksanaan pembelajaran di sekolah yang baik. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotorik).

Guru sebagai pendidik harus mampu membentuk kegiatan belajar yang aktif, inovatif, kreatif, menyenangkan dan berbobot. IPS adalah mata pelajaran yang merupakan keterampilan dari sejumlah cabang ilmu-ilmu sosial yang dipelajari dengan tujuan membentuk warga negara yang baik, serta mampu memahami dan memecahkan masalah-masalah sosial sesuai dengan perkembangan kemampuan peserta didik (Anwar Kurnia: 2014). Ranah IPS meliputi sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi. Tujuan pembelajaran IPS adalah untuk mendidik para siswa agar prestasi belajar siswa meningkat dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan sebagai bekal untuk memecahkan segala persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Keterampilan tersebut meliputi, keterampilan berpikir kritis, meningkatkan keterampilan bekerjasama dengan teman, dan meningkatkan berpikir kreatif. Selain itu tujuan pembelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan pribadi warga negara yang baik. Proses pembelajaran lebih ditekankan dengan memberikan pengalaman untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu melihat dan memahami kondisi kehidupan sehari-hari.


(22)

Tabel 1. Kesenjangan antara Harapan dan Fakta yang Terjadi No Fakta yang terjadi Harapan yang diinginkan 1 Siswa belum menyadari apa

yang menjadi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial.

Siswa dapat menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan

lingkungannya. 2 Siswa mengandalkan dan

berdasarkan perintah guru dalam memperoleh informasi.

Siswa dapat menggali dan menemukan informasi sendiri. 3 Di dalam kelas siswa sulit

mengambil kesimpulan dalam berdiskusi.

Siswa dapat mengolah dan mengambil keputusan termasuk dalam pembahasan diskusi 4 Siswa masih kurang baik

dalam berkomunikasi secara lisan dan tulisan.

Siswa dapat berkomunikasi dengan baik secara lisan dan tulisan.

Sumber: Hasil Wawancara dengan Guru IPS Terpadu Kelas VIII SMP Negeri 3 Pekalongan

Berdasarkan penelitian pendahuluan dan wawancara dengan guru IPS di SMP Negeri 3 Pekalongan, pembelajaran yang diterapkan masih dominan menggunakan model pembelajaran bersifat konvensional atau ceramah. Metode ceramah hanya guru yang aktif menerangkan bahan pelajaran, sedangkan siswa kurang dilibatkan dalam proses belajar dan pembelajaran karena siswa hanya berperan sebagai pendengar pasif saja, tidak ada umpan balik antara guru dan siswa, sehingga siswa kurang aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Selain itu, interaksi siswa kurang optimal karena proses pembelajaran yang masih bersifat satu arah, yaitu hanya antar guru dan siswa saja. Model pembelajaran kelompok merupakan salah satu variasi yang diterapkan guru, akan tetapi penerapannya belum maksimal, karena siswa malas untuk berpikir dan hanya mengandalkan teman satu kelompoknya. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak.


(23)

Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak seseorang. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian memiliki wawasan tentang obyek tersebut.

Kuswana (2011: 3) dalam berpikir terkandung sifat, proses, dan hasil. 1. Sifat berpikir merupakan suatu keadaan mental dan dapat

dipersepsikan serta diinterpretasikan. Hal itu berbeda dengan sifat fisik dari suatu benda yang memiliki intensif dan ekstensif (tergantung pada ukuran dan jumlah materi pada objek). Oleh karena itu, setiap individu pada situasi dan kondisi tertentu memiliki kebutuhan yang “memaksanya” untuk berpikir.

2. Proses berpikir merupakan urutan kejadian mental yang terjadi secara alamiah atau terencana dan sistematis pada konteks ruang, waktu, dan media yang digunakan, serta menghasilkan suatu perubahan terhadap objek yang mempengaruhinya. Proses berpikir merupakan peristiwa mencampur, mencocokkan, menggabungkan, menukar, dan mengurutkan konsep-konsep, persepsi-persepsi, dan pengalaman sebelumnya.

3. Hasil berpikir merupakan sesuatu yang dihasilkan melalui proses berpikir dan membawa atau mengarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran. Hasil berpikir dapat berupa ide, gagasan, penemuan dan pemecahan masalah, keputusan, serta selanjutnya dapat dikonkretisasi ke arah perwujudan, baik berupa tindakan untuk mencapai tujuan kehidupan praksis maupun untuk mencapai tujuan keilmuan tertentu.

Mengasah keterampilan berpikir kreatif merupakan salah satu kompetensi yang sangat penting dalam membangun pilar belajar yang bernilai untuk membangun daya kompetensi bangsa dalam meningkatkan mutu produk pendidikan. Kemampuan berpikir kreatif merupakan kecakapan mengolah pikiran untuk menghasilkan ide-ide baru dan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif itu sendiri diperlukan latihan-latihan dan mempertimbangkan kondisi khas peserta didik. Peran utama pendidik antara


(24)

lain adalah mengembangkan sikap dan kemampuan peserta didik yang dapat membantu untuk menghadapi persoalan-persoalan di masa yang akan datang secara kreatif dan inovatif.

Untuk mengatasi masalah siswa yang malas berpikir diperlukan model pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Guru dituntut untuk membuat suasana belajar yang melibatkan siswanya untuk berperan aktif dalam kegiatan belajar. Beberapa model pembelajaran kreatif dan inovatif yang dewasa ini banyak sekali berkembang adalah pembelajaran kooperatif di mana dalam pembelajaran ini menuntut siswa untuk berperan aktif dalam kelas, sehingga dengan pembelajaran yang kooperatif ini diharapkan akan meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa dan siswa akan mudah menerima materi-materi pembelajaran yang disampaikan.

Menurut Slavin dalam Isjoni (2010: 12), pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Pembelajaran kooperatif bergantung pada efektivitas kelompok- kelompok siswa tersebut. Dalam pembelajaran ini, guru diharapkan mampu membentuk kelompok-kelompok kooperatif dengan hati-hati agar semua anggotanya dapat bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan pembelajarannya sendiri dan pembelajaran teman-teman satu kelompoknya. Masing-masing anggota kelompok bertangungjawab mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman-teman satu anggota untuk mempelajarinya juga. Singkatnya, pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pembelajaran dimana siswa bekerjasama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar. Pembelajaran kooperatif umumnya melibatkan kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 siswa dengan kemampuan yang berbeda dan ada pula yang menggunakan kelompok dengan ukuran yang berbeda-beda.


(25)

kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengedepankan keaktifan siswa selama pembelajaran berlangsung, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk menciptakan proses pembelajaran tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran Problem Posing dan Problem Solving. Problem Posing yaitu pembelajaran yang menekankan pada pengajuan soal oleh siswa. Oleh karena itu, Problem Posing dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis. Model pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini selain model Problem Posing adalah model Problem Solving. Problem solving merupakan suatu penyajian materi pembelajaran yang menghadapkan siswa pada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran, baik itu masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.

Sukoriyanto (2001: 103) mengatakan “Penyelesaian masalah

merupakan proses dari menerima tantangan dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya sampai memperoleh penyelesaian. Sedangkan pengajaran penyelesaian masalah merupakan tindakan guru dalam mendorong siswa agar menerima tantangan dari pertanyaan bersifat menantang, dan mengarahkan siswa agar dapat menyelesaikan pertanyaan tersebut”.

Berdasarkan pemaparan di atas, model pembelajaran Problem Solving mengajak siswa untuk memecahkan permasalahan yang ada dalam mata pelajaran berdasarkan data yang ada. Data yang digunakan dalam pemecahan masalah harus benar-benar yang objektif yang berasal dari kajian pustaka atau pengalaman kehidupan sehari-hari, dengan demikian model


(26)

pembelajaran Problem Solving dapat digunakan dalam mata pelajaran IPS Terpadu karena mata pelajaran IPS Terpadu mempelajari suatu studi tentang fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat dan alam. Sedangkan model pembelajaran problem posing dapat digunakan untuk merumuskan soal matematis yang ada dalam mata pelajaran IPS Terpadu.

Kedua media pembelajaran tersebut hampir memiliki kesamaan dalam proses pelaksanaan pembelajaran kooperatif. Pelaksanaan kedua media pembelajaran tersebut, peran guru di sini hanya sebagai pemberi arahan awal mengenai topik pembelajaran dan selanjutnya penertiban terhadap jalanya pembelajaran. Penerapan model pembelajaran kooperatif yang mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar semacam ini, diharapkan siswa tidak merasa bosan akan materi yang disampaikan dan siswa mampu untuk mengembangkan kemampuan berfikir serta mengembangkan kecerdasan yang dimiliki dalam dirinya tentunya dengan keikutsertaan guru dalam mengarahkanya. Membuat siswa merasa nyaman, dan menyenangkan dalam proses pembelajaran kooperatif semacam ini akan menumbuhkan rasa senang mereka akan materi yang disampaikan, dan hambatan-hambatan dalam kegiatan belajar yang sering terjadi dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Meningkatnya kemampuan siswa dalam belajar secara terus menerus akan meningkatkan kemampuan berpikir dan kecerdasan mereka dalam memecahkan masalah dalam belajar yang mereka hadapi.


(27)

Kemampuan yang dimiliki masing-masing orang berbeda-beda dan beragam tentunya, namun dalam dunia pendidikan kecerdasan merupakan kemampuan yang banyak diinginkan oleh setiap orang. Kebanyakan orang menganggap bahwa IQ (Intellectual Quotient) merupakan satu-satunya tolok ukur kecerdasan seseorang. Namun, ternyata IQ kurang bisa merepresentasikan kecerdasan seseorang secara menyeluruh dan beragam. IQ lebih berpatok pada kecerdasan intelektual tanpa memperhatikan aspek kecerdasan yang lainnya. Menurut Goleman (2000: 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.

IQ dan EQ sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan dalam pembelajaran siswa di kelas. Seseorang yang memiliki IQ rendah tetapi dengan ketekunan dan emosi yang seimbang maka dia akan tetap bisa sukses dalam belajar dan bekerja. Orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan diri dan lingkungannya, mengusahakan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri, dapat mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik, serta mampu bekerja sama


(28)

dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang beragam. EQ lebih banyak berhubungan dengan perasaan dan emosi (otak kanan).

Sejalan dengan pendapat Suparno (2004: 21) yang menjelaskan jika kecerdasan seseorang tidak hanya bersifat teoritik saja, akan tetapi harus dibuktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan emosional yang baik diharapkan mampu mengembangkan keterampilan berpikir kreatif siswa dalam proses pembelajaran di sekolah, dan dapat meningkatkan kerjasama dalam pemecahan suatu masalah. Karena untuk dapat berhubungan dengan orang lain secara baik kita memerlukan kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi diri dan orang lain secara baik. Disinilah fungsi kecerdasan emosional.

Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini mengambil judul : Efektivitas Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu Menggunakan Model Pembelajaran Problem Posing dan Problem Solving dengan Memperhatikan Kecerdasan Emosional (EQ) Siswa Kelas VIII SMPN 3 Pekalongan Tahun Pelajaran 2014/2015”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Belum optimalnya kegiatan belajar mengajar.

2.Proses pembelajaran yang monoton sehingga siswa mengalami kejenuhan belajar di kelas.


(29)

3.Siswa kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan topik yang sedang dipelajari sehingga siswa malas untuk berpikir.

4.Guru kurang memiliki pengetahuan tentang model-model pembelajaran yang menuntut keaktifan dan menarik perhatian yang dapat disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.

5.Kurangnya pemahaman guru akan model pembelajaran kooperatif.

6.Guru belum dapat memanfaatkan kecerdasan emosional siswa dalam proses pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka pembatasan masalah penelitian ini adalah efektivitas keterampilan berpikir kreatif siswa IPS Terpadu menggunakan model pembelajaran problem posing dan problem solving dengan memperhatikan variabel moderator kecerdasan emosional (EQ) pada siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Pekalongan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang masalah, identifikasi, dan pembatasan masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem posing dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran problem solving pada mata pelajaran IPS Terpadu?


(30)

2. Apakah keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem posing lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran problem solving pada siswa yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) tinggi pada mata pelajaran IPS Terpadu?

3. Apakah keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem posing lebih rendah dibandingkan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran problem solving bagi siswa yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) rendah pada mata pelajaran IPS Terpadu?

4. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kecerdasan emosional (EQ) terhadap keterampilan berpikir kreatif?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem posing dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran problem solving pada mata pelajaran IPS Terpadu?

2. Untuk mengetahui apakah keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem posing lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran problem solving pada siswa yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) tinggi pada mata pelajaran IPS Terpadu?


(31)

3. Untuk mengetahui apakah keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem posing lebih rendah dibandingkan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran problem solving bagi siswa yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) rendah pada mata pelajaran IPS Terpadu?

4. Untuk mengetahui apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kecerdasan emosional (EQ) terhadap keterampilan berpikir kreatif

F. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ada dua hal yaitu:

1. Kegunaan teoritis, bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan media pembelajaran yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Kegunaan praktis, penelitian ini berguna untuk:

a. Bahan informasi bagi guru ataupun calon guru untuk meningkatkan mutu pengajaran.

b. Siswa: sebagai tambahan wawasan untuk meningkatkan hasil belajar melalui media pembelajaran yang melibatkan siswa secara lebih optimal.

c. Guru: sebagai mediasi untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran mata pelajaran IPS Terpadu di sekolah.

d. Bagi peneliti sebagai bentuk praktik dan pengabdian terhadap ilmu yang telah di peroleh serta sebagai syarat menyelesaikan studi di Universitas Lampung.


(32)

G. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini sebagai berikut. 1. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah Keterampilan Berpikir Kreatif (Y), dengan menggunakan pendekatan pembelajaran Problem Solving (X1) dan

Problm Posing (X2) dengan memperhatikan Kecerdasan Emosional (EQ)

terhadap mata pelajaran IPS Terpadu (sebagai variabel moderator). 2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII IPS 3. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Pekalongan. 4. Waktu Penelitian


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

Bagian ini mengemukakan pengertian atau deskripsi dari variabel-variabel penelitian. Variabel-variabel itu antara lain belajar dan hasil belajar, pengertian model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran Problem Posing, model pembelajaran Problem Solving, keterampilan berpikir kreatif, dan kecerdasan emosional (EQ). Secara umum tinjauan pustaka, proses penelitian mengungkapkan teori-teori dan konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teori untuk pelaksanaan penelitian dalam mendapatkan data.

1. Definsi Belajar dan Teori Belajar a. Definsi Belajar

Menurut Amri (2013: 24), belajar merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Siregar (2014: 3), belajar merupakan sebuah proses yang komplek yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak masih bayi hingga liang lahat. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku pada dirinya.


(34)

Sedangkan Menurut Hamalik (2008: 154) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses. Belajar bukan satu tujuan, tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.

Amri (2013: 24) menyebutkan enam jenis tingkah laku yang dikategorikan sebagai aktivitas belajar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Perubahan tingkah laku terjadi secara sadar.

Suatu perilaku digolongkan sebagai aktivitas belajar apabila pelaku menyadari terjadinya perubahan tersebut atau merasakan adanya perubahan dalam dirinya.

2. Perubahan bersifat kontinyu dan fungsional.

Perubahan yang terjadi berlangsung secara berkesinambungan dan tidak statis. Satu perubahan menyebabkan perubahan selanjutnya yang akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya.

3. Perubahan bersifat positif dan aktif.

Dikatakan positif apabila perilaku senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan bersifat aktif berarti bahwa perubahan tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karna usaha pelaku sendiri.

4. Perubahan bersifat permanen.

Apa yang didapat tidak akan hilang begitu saja, melainkan akan terus dimiliki bahkan semakin berkembang kalau terus dipergunakan atau dilatih.

5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.

Perubahan tingkah laku dalam belajar mensyaratkan adanya tujuan yang akan dicapai oleh pelaku belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.

6. Perubahan mencakup keseluruhan aspek tingkah laku.

Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.

Berdasarkan teori-teori di atas, belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam bentuk perubahan

tingkah laku karena adanya interaksi individu dengan


(35)

adanya usaha dari individu dan perubahan tersebut berlangsung lama. Belajar merupakan kegiatan yang aktif, karena kegiatan belajar dilakukan dengan sengaja, sadar dan bertujuan.

Amri (2013: 25) Ada dua faktor yang mempengaruhi belajar yaitu : 1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berada dalam diri individu yang sedeang belajar.faktor internal meliputi:

a. Faktor jasmaniah

Antara lain: Kesehatan dan cacat tubuh b. Faktor psikologis

Antara lain: Intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kelelahan

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar individu yang sedang belajar. Faktor eksternal meliputi :

a. Faktor keluarga Antara lain:

Cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan

b. Faktor sekolah Antara lain:

Metode mengajar, kurikulum, relasi antara guru dan siswa, relasi antar siswa, disiplin sekolah, pelajaan, waktu, standar pelajaran, keadaan gedung , metode belajar, dan tugas rumah.

c. Faktor masyarakat Antara lain:

Kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul, bentuk kehidupan dalam masyarakat, dan media massa.

b. Teori Belajar

a. Teori Perilaku (Behavioristik) mengatakan bahwa belajar sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara rangsangan (stimulus) dan balas (respon). Pembelajaran merupakan proses pelaziman (pembiasan). Hasil pembelajaran yang diharapkan adalah perubahan perilaku berupa kebiasaan. Perilaku dalam behaviorisme dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan melalui proses mental. Tokoh teori perilaku adalah Ivan Petrivich Pavlov, JB Waston, Edwin Guthrie, Edward Lee dan Skinner. (Suprijono, 2009: 17)


(36)

b. Teori Belajar Kognitif mengatakan bahwa belajar adalah proses mental yang aktif untuk mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah perseptual. Teori Kognitif menekankan belajar sebagai proses internal.Teori kognitif dipelopori oleh Piaget, Bruner dan Ausubel. Menurut Bruner perkembangan kognitif individu dapat ditingkatkan melalui penyusunan materi pelajaran dan mempresentasikannya sesuai dengan tahap perkembangan individu. Penyusunan penyajian materi dapat dimulai dari materi secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci. (Suprijono, 2009: 24)

c. Teori Belajar Konstruktivisme Secara sosiologis, pembelajaran konstruktivisme menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam belajar kolaboratif dan kooperatif akan dapat meningkatkan pengubahan secara konseptual. Keterlibatan orang lain membuka kesempatan bagi peserta didik untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengebangann pembelajaran konstrukfisme adalah: 1) Prior Knowledge (pengetahuan awal siswa), 2) dan Conceptual-Change Process (Proses perubahan konseptual). (Suprijono, 2009: 39)

Keterkaitan antara teori belajar dan model pembelajaran Problem Posing dan Problem Solving yakni teori konstruktivisme karena manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Teori konstruktivisme dapat mendorong siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan mampu mengaplikasikannya dalam semua situasi.


(37)

2. Hasil Belajar

Skinner (dalam Faturrohman dan Sobry 2010: 5) mengartikan belajar sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku secara progresif. Menurut Sardiman (2005: 21) Hasil belajar dapat diperoleh dari berbagai usaha, misalnya aktif dalam kegiatan pembelajaran, memahami eksperimen yang dilakukan, dan menganalisis hasil eksperimen dan menganalisis isi suatu buku. Belajar yang terpenting adalah proses bukan hasil yang diperolehnya. Artinya belajar harus diperoleh dengan usaha sendiri, adapun orang lain itu hanya sebagai perantara atau penunjang dalam kegiatan belajar agar belajar itu dapat berhasil dengan baik.

Benjamin S. Bloom (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 26) menyebutkan enam jenis perilaku ranah kognitif yang diajadikan penilaian hasil belajar. Penilaian tersebut adalah sebagai berikut.

a) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, kaidah, teori, prinsip, atau metode.

b) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari.

c) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru.

d) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi bagian yang telah kecil.

e) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya kemampuan menyusun suatu program.

f) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya, kemampuan menilai hasil ulangan.


(38)

Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah professional yang dimiliki oleh guru yaitu artinya kemampuan dasar guru baik dibidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik). Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam individu siswa baik itu kemampuan personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yaitu lingkungan.

Menurut Hamalik (2011: 155), hasil belajar tampak dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan, pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang baik dibandingkan sebelumnya misalnya dari yang tidak bisa menjadi bisa.

Menurut Sudjana (2005: 22) mengatakan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajaranya. Sedangkan Anni (2004: 4) hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajaran setelah mengalami aktivitas belajar.

Inti dari hasil belajar adalah suatu alat untuk megukur tingkat keberhasilan para siswa dalam proses belajar mengajar. Siswa maupun guru dapat mengukur kemampuan yang dimilikinya dengan mengetahui hasil belajar. Sebagai seorang guru dapat mengevaluasi cara mengajar. Sedangkan siswa dapat mengukur sejauh mana dapat mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru.


(39)

Uno (2008:21) mengemukakan bahwa pada tingkat yang umum, hasil pembelajaran diklasifikasi menjadi tiga:

1. keefektifan (effectiveness); 2. efisiensi (efisiency); 3. daya tarik (appeal);

Pencapaian hasil belajar yang tinggi oleh siswa tidak bisa dilepaskan dari standar proses yang menampilkan kualitas layanan pembelajaran. Pencapaian hasil belajar siswa juga tidak dapat dielakkan dari keharusan menganalisis setiap komponen yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pembelajaran. Begitu banyak komponen yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan, seperti guru, siswa, kurikulum, metode, anggaran, fasilitas, evaluasi, dan sebagainya. Namun demikian, tidak mungkin upaya meningkatkan kualitas pendidikan dilakukan dengan memperbaiki setiap komponen secara serempak.

Menurut Benjamin S Bloom dalam Susanti (2009: 12), hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ranah (domain), yaitu:

1. domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika),

2. domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional),

3. domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestik, kecerdasan visual-spesial, dan kecerdasan musical).


(40)

3. Model Pembelajaran Kooperatif

a. Pengertian model pembelajaran kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran efektif dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil untuk saling bekerja sama, berinteraksi, dan bertukar pikiran dalam proses belajar. Belajar dalam pembelajaran kooperatif, dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

Menurut Hamiyah (2014: 57) model pembelajaran adalah cara atau teknik penyajian yang digunakan guru dalam proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan pendapat Amri (2013: 34) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Berdasarkan pendapat di atas, model pembelajaran merupakan suatu desain yang menggambarkan proses dan penciptaan situasi lingkungan yang dapat mengarahkan siswa untuk berinteraaksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Model sangat penting peranannya dalam pembelajaran, karena melalui pemilihan model yang tepat dapat mengarahkan guru pada kualitas pembelajaran yang efektif


(41)

Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang menggunakan prinsip kerjasama dalam suatu kelompok kecil dan saling membantu dalam memecahkan masalah atau memahami konsep-konsep yang sulit. Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Keuntungan menggunakan model pembelajaran kooperatif antara lain: mengajarkan siswa menjadi percaya pada guru, kemampuan untuk berfikir, mencari informasi dari sumber lain dan belajar dari siswa lain, serta sikap saling menghargai.

Menurut Rusman (2012: 207) karakteristik atau ciri-ciri pembelajaran kooperatif, adalah sebagai berikut:

1) pembelajaran secara tim,

2) didasarkan pada manajemen koopertif, 3) kemauan untuk bekerjasama,

4) keterampilan bekerjasama.

Pembelajaran kooperatif diharapkan dapat menciptakan interaksi yang baik sehingga tercipta suasana belajar dikelas yang menyenangkan. Suasana kelas yang menyenangkan salah satu dapat diciptakan dengan mengikutsertakan siswa yang aktif dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran yang mengaktifkan siswa adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) .


(42)

b. Tujuan pembelajaran kooperatif

Pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja. Namun, siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan, kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antara kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan memberi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan.

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya tiga tujuan pembelajaran yang disarikan oleh Ibrahim, dkk (2000: 7─8) sebagai berikut:

1. meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan sosial, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Model struktur penghargaan kooperatif juga telah dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar,

2. penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain,

3. tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini penting karena banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial.

Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan rasa solidaritas sosial antar siswa. pembelajaran kooperatif diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.


(43)

c. Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif

Terdapat enam langkah utama di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif, pembelajaran dimulai dari guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.

Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif adalah : Tabel 2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

TAHAP TINGKAH LAKU GURU

Tahap 1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pembelajaran dan menekankan pentingnya topik yang akan dipelajari dan memotivasi siswa belajar.

Tahap 2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau melalui bahan bacaan.

Tahap 3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaiman caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efesien. Tahap 4

Membimbing kelompok bekarja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Tahap 5 Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil karyanya.

Tahap 6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber: Rusman, (2012: 211)

4. Model Pembelajaran Problem Posing

Problem posing adalah istilah dalam bahasa Inggris yaitu dari kata problem” artinya masalah, soal/persoalan dan kata “pose” yang artinya


(44)

mengajukan. Jadi Problem Posing dapat diartikan sebagai pengajuan soal atau pengajuan masalah. Model pembelajaran Problem Posing mulai dikembangkan di tahun 1997 oleh Lyn D. English, dan awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran matematika. Selanjutnya, model ini dikembangkan pula pada mata pelajaran yang lain.

Problem Posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut. Menurut Silver (dalam Irwan 2011: 4) mengatakan Problem Posing merupakan aktivitas yang meliputi merumuskan soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut serta menentukan penyelesaiannya.

Viyanti (2012: 125) Model pembelajaran Problem Posing yaitu pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simpel sehingga dipahami. Sintaknya adalah pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, meminimalisasi tulisan hitungan, cari alternatif, dan menyusun soal.

Berdasarkan pendapat di atas siswa dituntut untuk memahami soal dengan baik, hal ini merupakan tahap pertama dalam penyelesaian masalah. Pada prinsipnya, model pembelajaran Problem Posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri. Mengingat soal yang diajukan siswa juga harus diselesaikan,


(45)

tentu siswa berusaha untuk dapat membuat perencanaan penyelesaian berupa pembuat model matematika untuk kemudian menyelesaikannya.

Suparno (2007: 100), mengatakan bahwa dalam model

pembelajaran Problem Posing, siswa diajak belajar lewat menyusun persoalan dan pertanyaan. Setelah para siswa menyusun persoalan atau permasalahan sesuai bahan, guru kemudian mengumpulkan permasalahan itu, dan akhirnya juga para siswa sendiri yang harus mengerjakan persoalannya. Keuntungan model pembelajaran Problem Posing adalah persoalan yang muncul pada siswa dapat lebih bervariasi daripada yang disiapkan oleh guru sendiri. Dapat juga persoalannya lebih merata dan menunjukan di mana siswa masih mempunyai kesulitan. Dengan demikian guru nantinya dapat lebih mudah untuk membantu menekankan konsep yang perlu dipelajari siswa.

Menurut Silver dan Cai dalam Siswanto (2004: 5) memberikan istilah pengajuan soal (Problem Posing) diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda, yaitu sebagai berikut. 1. Pengajuan pre-solusi (presolution posing) yaitu seorang siswa

membuat soal dari situasi yang diadakan.

2 .Pengajuan didalam solusi (within-solution posing), yaitu seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.

3. Pengajuan setelah solusi (post solution posing), yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah deselesaikan untuk membuat soal yang baru.

Berdasarkan pendapat Silver dan Cai pengajuan soal diaplikasikan dalam tiga bentuk aktivitas kognitif, dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengajuan soal pre-solusi yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan. Guru memberi penjelasan mengenai materi yang dipelajari kemudian memberi contoh cara membuat soal, setelah siswa memahami cara pembuatan soal, siswa diberi latihan secara berkelompok. Pengajuan soal secara berkelompok dapat menumbuhkan keaktifan siswa. Setiap anggota kelompok memiliki kewajiban membuat dan memahai soal yang dibuat, karena guru akan


(46)

meminta siswa untuk mempresentasikan soal yang dibuat.

Menurut Saminanto (2010: 45) model pembelajaran pengajuan soal (Problem Posing) dikembangkan oleh Lyn. D. English pada 1997 mempunyai langkah- langkah sebagai berikut.

a. Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa.

Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep yang disarankan.

b. Guru memberikan latihan soal secukupnya.

c. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 soal yang menantang, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat dilakukan secara berkelompok.

d. Secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya didepan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.

e. Guru memberi tugas rumah secara individual.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa keterlibatan siswa untuk turut belajar dengan cara menerapkan model pembelajaran Problem Posing merupakan salah satu indikator keefektifan belajar. Bagi siswa, pembelajaran Problem Posing merupakan keterampilan mental di mana siswa menghadapi suatu kondisi dimana diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut. Siswa tidak hanya menerima materi dari guru saja, melainkan siswa juga berusaha menggali dan mengembangkan sendiri. Kemampuan siswa untuk mengerjakan soal-soal sejenis uraian perlu dilatih, agar penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat optimal. Kemampuan tersebut akan tampak dengan jelas bila siswa mampu mengajukan soal-soal secara mandiri maupun berkelompok. Kemampuan siswa untuk mengerjakan soal tersebut dapat dideteksi lewat kemampuannya untuk menjelaskan penyelesaian soal yang diajukannya di depan kelas. Penerapan model


(47)

pembelajaran Problem Posing dapat melatih siswa belajar kreatif, disiplin, dan meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa.

Dimyati dan Mudjiono (2009: 166) mengemukakan bahwa tujuan utama pembelajaran dengan cara berkelompok adalah sebagai berikut.

a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional

b. Mengembangkan sikap sosial dan semangat bergotong-royong dalam kehidupan.

c. Mendinamiskan kegiatan kelompok belajar sehingga tiap anggota merasa diri sebagai bagian yang bertanggung jawab.

d. Mengembangkan kemampuan kepemimpinan-kepemimpinan pada setiap anggota kelompok dalam pemecahan masalah kelompok.

5. Model Pembelajaran Problem Solving

Wardhani (dalam Hamiyah 2014: 119) mengatakan bahwa model

pembelajaran Problem Solving merupakan proses menerapkan

pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Polya (dalam Hudojo, 2005: 74) mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai.

Sejalan dengan pendapat di atas, Sukoriyanto ( 2001: 103) mengatakan

“Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya sampai memperoleh penyelesaian. Sedangkan pengajaran penyelesaian masalah merupakan tindakan guru dalam mendorong siswa agar menerima tantangan dari pertanyaan bersifat menantang, dan mengarahkan siswa agar dapat menyelesaikan pertanyaan tersebut”.

Polya (dalam Hamiyah 2014: 120), terdapat 2 macam masalah yaitu : a. Masalah untuk menemukan aspek teoritis atau praktis, dan abstrak

atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari suatu masalah adalah apa yang dicari, bagaimana data yang diketahui, dan bagaimana syaratnya. Ketiga bagian utama tersebut merupakan landasan untuk menyelesaikan masalah jenis ini.


(48)

b. Masalah pembuktian adalah menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar, salah, atau tidak kedua-duanya. Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Kedua bagian utama tersebut adalah untuk landasan utama untuk menyelesaikan masalah jenis ini.

Berdasarkan pengertian di atas, model pembelajaran problem solving adalah suatu cara dalam pembelajaran yang dapat mendorong peserta didik untuk mencari dan memecahkan suatu masalah dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Penggunaan model problem solving dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik, karena model tersebut menekankan pada kemampuan peserta didik untuk dapat memecahkan suatu permasalahan. Dengan demikian maka kemampuan berpikir kreatif peserta didik akan terus terlatih. Tujuan utama dari model problem solving yaitu agar peserta didik mampu berpikir secara kreatif dalam menghadapi suatu masalah dalam kehidupannya, baik masalah pribadi maupun masalah kelompok, sehingga dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu, diharapkan pula agar peserta didik mampu menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, sehingga dapat merangsang perkembangan cara berpikir kreatif dan kemampuan mereka.

Polya (dalam Hamiyah, 2014: 121) mengatakan indikator pemecahan masalah sebagai berikut.

a. Memahami masalah

Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar.

b. Merencanakan penyelesaian

Setelah siswa memahami masalah dengan benar, selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah.


(49)

c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat.

d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah

dikerjkan

Langkah terakhir menurut Polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai fase penyelesaian yang ketiga.

Giljbelc (dalam Jacobsen, 2009: 242) mengatakan strategi pembelajaran berbasis masalah memiliki karateristik umum sebagai berikut.

1. Pelajaran dimulai dengan mengangkat suatu permasalahan atau satu pertanyaan yang nantina menjadi focal poin untuk keperluan usaha-usaha investigasi peserta didik.

2. Peserta didik memiliki tanggungjawab utama dalam menyelidiki

masalah-masalah dan memburu pertanyaan-pertanyaan.

Tanggungjawab sangat penting, baik secara instruksional maupun secara motivasional, karena peserta didik dalam pelajaran berbasis masalah secara literal melakukan learning by doing.

3. Guru berperan sebagai fasilitator.

Sejalan dengan Giljbelc (Isjoni, 2009: 52) menjelaskan peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Peran Guru dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Fase Perilaku Guru

Fase 1 mengarahkan

peserta didik

kedalam

permasalahannya

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,

mendeskripsikan keperluan-keperluan logistik

penting dan memotivasi peserta didik untuk ikut terlibat dalam kegiatan Problem Solving yang dipilih sendiri.

Fase 2

mengorganisasikan peserta didik untuk belajar

Guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas pembelajaran yang berhubungan dengan permasalahannya.

Fase 3 membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan

informasi yang tepat guna, melaksanakan

eksperimen, dan berusaha menemukan penjelasan dan solusi.


(50)

Lanjutan Tabel 3.

Fase Perilaku Guru

Fase 4

mengembangkan dan

mempresentasikan artefak dan exhibits

Guru membantu peserta didik mencernakan dan mempersiapkan artefak sebagai lapora, vidio, dan model membantu mereka untuk berbagi karya ilmiah.

Fase 5 menganalisis dan mengevaluasi

proses Problem

Solving

Guru membantu peserta didik untuk mereflesikan investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.

Sumber: Isjoni (2009: 83)

Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa harus aktif dalam pembelajaran. Hal ini

karena setiap peserta didik memiliki tanggungjawab dalam

menyelidiki persoalan yang diberikan guru. Jacobsen (2009: 25) mengatakan bahwa pembelajaran Problem Solving dapat dilaksanakan dengan cara: 1) mengidentifikasikan masalah; 2) melibatkan guru dalam membimbing siswa; 3) memiih metode untuk memecahkan masalah; 4) guru mendorong peserta didik menilai validitas solusi.

Langkah-langkah dalam melaksanakan metode Problem Solving

menurut Hamiyah (2014: 129) yaitu :

1. Menyajikan masalah. Guru menyajikan masalah kepada siswa

kepada siswa dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan yang merangsang untuk berpikir. Tidak ada penjelasan atau demonstrasi karena pemecahannya bersumber dari anak.

2. Menentukan prosedur. Para siswa harus memikirkan prosedur yang

dibutuhkan untuk mencapai pemecahan. Bila usia anak lebih masih muda seperti di kelas awal (kelas 1, 2, atau 3), maka persoalan diajukan juga lebih sederhana.

3. Bereksperimen dan mengeksplorasi. Dalam bereksperimen, siswa mencoba beberapa cara untuk memecahkan masalah serta menilai dan membuat sebuah pilihan. Ketika mencari-cari jawaban, anaklah yang menetukan arah pemecahannya. Sementara itu, guru hanya berperan sebagai penasihat, seperti menjawab pertanyaan untuk membantu, memberikan komentar, dan mendorong siswa. Namun,


(51)

ia tidak mengemukakan jawaban. Waktu harus dirancang agar cukup untuk mencari jawaban.

4. Mengamati, mengevaluasi, dan berdiskusi. Setiap anak perlu

memperoleh kesempatan untuk mengemukakan jawaban dan mengamati apa yang ditemukan siswa lainnya. Aneka macam hasil temuan dapat dipertunjukkan oleh anak secara perorangan, kelompok kecil, rombongan yang agak besar,atau bagian dari kelas. Diskusi terpusat pada pengujian pemecahan yang khas.

5. Memperhalus dan memperluas. Setelah mengamati pemecahan yang diajukan siswa lainnya dan mengevaluasi alasan dibalik pemecahan yang dipilih, maka perlu dipertimbangkan tentang apa yang perlu dilakukan. Selanjutnya, setiap anak memperoleh kesempatan untuk bekerja kembali untuk melakukan pola geraknya dan menggabungkan satu gagasan lainnya.

Berdasarkan pendapat Hamiyah, langkah-langkah model pembelajaran Problem Solving yaitu peserta didik harus mencari data yang digunakan untuk memecahkan masalah sehingga dapat ditarik kesimpulan dan solusi dari permasalahan yang telah ditentukan, dengan demikin model Problem Solving dapat mendorong keaktifan siswa, melatih keberanian dan tanggung jawab. Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan.

Menurut Hamiyah (2014: 130 ) metode Problem Solving mempunyai kelebihan dan kelemahan sebagai berikut.

1. Kelebihan Metode Problem Solving

a. Meningkatnya potensi intelektual dari dalam diri siswa, akan menimbulkan motivasi intern bagi siswa.

b. Dengan menggunakan metode ini, materi yang telah dipelajari akan tahan lama.

c. Masing-masing siswa diberi kesempatan yang sama dalam mengeluarkan pendapatnya sehingga para siswa merasa lebih dihargai dan nantinya akan menumbuhkan rasa percaya diri. d. Para siswa dapat diajak untuk lebih menghargai orang lain.

e. Dapat membantu siswa dalam mengembagkan kemampuan lisannya.

f. Siswa diajak untuk berpikir secara rasional dan bersikap aktif. g. Dapat mengembangkan rasa tanggung jawab.


(52)

i. Dapat berpikir dan bertindak kreatif melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.

j. Dapat memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis. k. Dapat menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.

l. Dapat merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.

2. Kekurangan Metode Problem Solving

a. Bagi siswa yang kurang memahami pelajaran tertentu, maka pengajaran dengan metode ini akan sangat membosankan dan menghilangkan semangat belajarnya.

b. Bila guru tidak berhati-hati dalam memilih soal pemecahan masalah, fungsinya menjadi latihan. Bila tidak memahami konsep yang dikandung dalam soal-soal tersebut.

c. Karena tidak melihat kualitas pendapat yang disampaikan, penguasaan materi kadang sering diabaikan.

d. Metode ini sering kali menyulitkan mereka yang malu untuk mengutarakan pendapat secara lisan.

e. Memakan waktu lama.

f. Kebulatan bahan kadang-kadang sukar dicapai.

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam menerapkan model pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing dalam proses pembelajaran, tetapi keuntungan yang ada jauh melebihi dari pada hambatan yang ditemukan.

6. Keterampilan Berikir Kreatif

Berfikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang apabila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Ketika seseorang merumuskan masalah, memecahkan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan aktivitas berfikir. Oleh karena itu, dalam berpikir melibatkan kemampuan untuk membayangkan atau menyajikan objek-objek yang tidak ada secara fisik atau kejadian-kejadian yang tidak sedang berlangsung.


(53)

Menurut Sagala (2006: 129) berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir, yaitu:

a. Pembentukan pengertian yaitu melalui proses mendeskripsi ciri-ciri objek yang sejenis mengklasifikasi ciri-ciri yang sama mengabstraksi dengan menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri yang hakiki.

b. Pembentukan pendapat, yaitu meletakkan hubungan antar dua buah pengertian atau lebih yang hubungan itu dapat dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, pendapat menerima, dan pendapat asumtif yaitu mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada suatu hal.

c. Pembentukan keputusan, yaitu penarikan kesimpulan yang berupa keputusan sebagai hasil pekerjaan akal berupa pendapat baru yang dibentuk berdasarkan pendapat-pendapat yang sudah ada.

Proses berpikir terkait dengan jenis perilaku lain dan memerlukan keterlibatan aktif pemikir. Hal penting dari berpikir di samping pemikiran dapat pula berupa terbangunnya pengetahuan, penalaran, dan proses yang lebih tinggi seperti mempertimbangkan. Coleman dan Hammen (dalam Sukmadinata, 2004: 177) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality), dan ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating).

Berpikir kreatif menurut James C. Coleman dan Coustance L. Hammen (dalam Rakhmat, 2005: 74) adalah “thinking which produces new methods, new concepts, new understandings, new inventions, new work

of art.” Berpikir kreatif diperlukan mulai dari komunikator yang harus mendesain pesannya, insinyur yang harus merancang bangunan, ahli iklan yang harus menata pesan verbal dan pesan grafis, sampai pada pemimpin masyarakat yang harus memberikan perspektif baru dalam mengatasi masalah sosial.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka berpikir kreatif dapat diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk


(54)

membangun ide atau gagasan yang baru dan dapat diberikan dalam bentuk ide yang nyata maupun abstrak. Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktek pemecahan masalah, pemikiran divergen menghasilkan banyak ide yang berguna dalam menyelesaikan masalah. Keseimbangan antara logika dan kreativitas sangat penting. Jika salah satu menempatkan deduksi logis terlalu banyak, maka kreativitas akan terabaikan. Dengan demikian untuk memunculkan kreativitas diperlukan kebebasan berpikir tidak di bawah kontrol dan tekanan.

Menurut Iskandar (2009: 89) berpikir kreatif dapat dilihat dari dua komponen:

a.Suatu kelompok kemampuan yang digunakan untuk memproses atau melahirkan informasi dan keyakinan.

b.Suatu kebiasaan, yang terbentuk berlandaskan komitmen intelektual, dalam menggunakan kemampuan tersebut untuk menjadi landasan kepada perilaku manusia.

Menurut Rakhmat (2005: 74) berpikir kreatif harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kreativitas melibatkan respon atau gagasan yang baru, atau secara statistik sangat jarang terjadi. Kedua, kreativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis. Ketiga, kreativitas merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinil, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin. Jadi, untuk bisa memahami kemampuan berpikir kreatif, kita terlebih dahulu memahami kreativitas.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Coleman dan Hammen (dalam Rakhmat 2005: 77) bahwa ada beberapa faktor yang menandai orang-orang yang berpikir kreatif:


(55)

a. Kemampuan kognitif: Termasuk disini kecerdasan diatas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang berlainan, dan fleksibilitas kognitif.

b. Sikap yang terbuka: Orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima

stimuli internal dan eksternal; ia memiliki minat yang beragam dan luas.

c. Sikap yang bebas, otonom, dan percaya pada diri sendiri. Orang kreatif

tidak senang “digiring”; ingin menampilkan dirinya semampu dan semaunya; ia tidak terlalu terikat pada konvensi-konvensi sosial. Mungkin inilah sebabnya, orang-orang kreatif sering dianggap “nyentrik”.

Lebih lanjut Efendi (2005: 267) menjelaskan bahwa dalam dalam ciri non kognitif termasuk ciri berpikir kreatif, yaitu motivasi, sikap dan kepribadian kreatif. Sedangkan, ciri kognitif termasuk ciri berpikir kreatif, yaitu orisinalitis, fleksibilitas, kelancaran dan elaborasi.

1. Orisinalitis/keaslian (Originality)

Keaslian adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise. Keaslian berkaitan dengan kemampuan memberikan respon yang khas/unik berbeda dengan yang biasa dilakukan orang lain.

2. Fleksibilitas/keluwesan (Flexibility)

Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Keluwesan berkaitan dengan kemampuan untuk membuat variasi terhadap satu ide dan kemampuan memperoleh cara baru.

3. Kelancaran (Fluency)

Kelancaran adalah kemampuan untuk memberikan berbagai respon. Kelancaran pada umumnya berkaitan dengan kemampuan melahirkan alternatif-alternatif pada saat diperlukan.

4. Elaborasi/penguraian (Elaboration)

Penguraian adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara lebih terinci. Dapat dikatakan elaborasi merupakan penambahan detail atau keterangan terhadap ide yang sudah ada.

Berdasarkan teori di atas, berpikir kreatif dapat diukur ketika produk yang dihasilkan asli, tidak sama dengan yang lain atau siswa dapat dikatakan berpikir kreatif jika hasil yang mereka dapatkan memenuhi keempat kriteria diatas, yang pada intinya siswa dapat menciptakan dari yang


(56)

semula tidak ditemukan, atau siswa dapat mengkombinasikan sesuatu yang mereka ketahui sehingga menghasilkan sesuatu yang baru, dan siswa dapat menyelesaikan atau memecahkan suatu permasalahan.

Keterampilan berpikir kreatif adalah keterampilan kognitif untuk memunculkan dan mengembangkan gagasan baru, ide baru sebagai pengembangan dari ide yang telah lahir sebelumnya dan keterampilan untuk memecahkan masalah secara divergen (dari berbagai sudut pandang). Untuk memunculkan kreativitas dapat melalui berbagai pembelajaran, seperti pembelajaran kooperatif yang terdiri dari berbagai metode yang dapat dipakai, pembelajaran realistik, pembelajaran konstekstual.

Seseorang yang memiliki keterampilan berpikir kreatif akan dapat menyimpulkan dan memperluas gagasan, mengajukan hipotesis, menggunakan imajinasi, serta dapat mencari hasil alternatif yang inovatif. Keterampilan berpikir kreatif diarahkan untuk memecahkan suatu masalah, dapat dilukiskan sebagai upaya mengeksplorasikan model-model tugas pelajaran di sekolah agar model-model itu menjadi lebih baik dan memuaskan. Keterampilan berpikir telah menjadi ungkapan yang bersifat umum, mencakup proses belajar dan memecahkan masalah. Berpikir kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan. Dengan cara itu seseorang akan mampu melihat persoalan dari banyak perspektif.

Indikator keterampilan berpikir kreatif yang harus dimiliki untuk dikembangkan siswa berkaitan dalam model pembelajaran problem


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data, dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan keterampilan berpikir siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Problem Posing dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran Problem solving pada mata pelajaran IPS Terpadu. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa terjadi karena adanya perbedaan perlakuan model pembelajaran antara kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran problem possing dengan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran problem solving

2. Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem possing lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem solving bagi siswa yang memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) tinggi pada mata pelajaran IPS Terpadu. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran problem posing bagi siswa yang


(2)

116

memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) tinggi akan memberikan keterampilan berpikir kreatif yang lebih baik

3. Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem posing lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran problem solving bagi siswa yang memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) rendah pada mata pelajaran IPS Terpadu. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran problem solving bagi siswa yang memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) rendah akan memberikan keterampilan berpikir kreatif yang lebih baik

4. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan Kecerdasan Emosional (EQ) terhadap keterampilan berpikir kreatif. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa perlu menggunakan model pembelajaran dengan memperhatikan Kecerdasan Emosional (EQ) siswa.

B. Saran

Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut.

1. Guru dapat memilih model pembelajaran yang sesuai pada mata pelajaran IPS Terpadu, seperti menggunakan model pembelajaran

problem posing yang dapat melatih siswa untuk meningkatkan


(3)

117

menggunakan model pembelajaran problem solving.

2. Guru dapat menggunakan model pembelajaran problem posing sebagai alternatif untuk materi matematik pada IPS Terpadu, karena dengan model ini dapat memudahkan siswa untuk mengerjakan soal matematik, sehingga dapat meningkatkan keaktifan siswa.

3. Pada penelitian ini untuk siswa yang memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) rendah terhadap mata pelajaran IPS Terpadu yang menggunakan model pembelajaran problem solving dapat lebih meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa, jadi sebaiknya para guru menggunakan model pembelajaran problem solving untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa bagi siswa yang memiliki kecerdasan emosionl (EQ) rendah.

4. Pada penelitian ini Kecerdasan Emosional (EQ) memiliki pegaruh untuk memilih model pembelajaran yang tepat untuk siswa yang memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) tinggi dan rendah terhadap mata peajaran IPS Terpadu khususnya dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif, sebaiknya bagi guru harus lebih dapat berkreasi dalam memadukan model pembelajaran dengan Kecerdasan Emosional (EQ) yang dimiliki siswa terhadap mata pelajaran IPS Terpadu.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kasinu.2007. Metodologi Penelitian Sosial. Kediri: Jenggala Pustaka Utama

Amri, Sofan. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya

Anni, Catharina Tri. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT UNNES Press

Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Arikunto, Suharsimi. 2008. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Dimyati dan Mujiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Efendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta Fathurrohman, Pupuh. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Refika Aditama:

Bandung

Goleman, Danniel. 2000. Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: Gramedia Pustaka

Goleman, Danniel. 2002. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar

Grafika


(5)

Pustakaraya

Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Malang (UM Press)

Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press Isjoni. 2009. Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Gaung Persada Press

Jacobsen, David A. 2009. Methods for teaching. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Jacobsen. 2009. Methods Teaching. Jogjakarta: Pustaka Remaja

Kuswana. 2011. Taksonomi Berpikir. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya Paul, Suparno. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika. Yogyakarta:

Universitas Sanatha Dharma:

Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Sagala, Syaiful. 2006. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung:

Alfabeta

Saminanto. 2010. Ayo Praktik PTK. Semarang : Rosail Media Group Sardiman, A.M., 2005. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Rajawali

Pers

Siregar, Eveline. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia

Sudjana, 2005. Metode Statistik. Tarsito: Bandung

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D)Bandung : Penerbit Alfabeta


(6)

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D). Bandung: Penerbit Alfabeta

Sukardi. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran

Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya

Sukoriyanto. 2001. Langkah-langkah dalam pemberlajaran matematika dengan menggunakan penyelsaian masalah. Jurna matematika atau pembelajarannya. Tahun VII, No. 2. 103=110

Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Suprijono, Agus. 2009. Cooperatif Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Susanti, Yuni.2009. Studi Perbandingan Kecerdasan dan Hasil Belajar Ekonomi dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dan NHT Pada Siswa Kelas X Semester Genap SMA

Muhammadiyah 2 Bandar Lampung TP 2008/2009. Bandar Lampung: Skripsi

Uno, Hamzah B. 2008. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara: Jakarta Viyanti. 2012. Metodologi Pembelajaran. Lampung: Universitas Lampung


Dokumen yang terkait

PERBEDAAN MORALITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADU YANG PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN SIMULASI DAN PROBLEM SOLVING DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL DAN KECERDASAN INTERPERSONAL PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 5 BANDAR

1 9 108

STUDI KOMPARATIF HASIL BELAJAR EKONOMI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING DENGAN MEMPERHATIKAN SIKAP SISWA TERHADAP MATA PELAJARAN EKONOMI PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 13 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2

0 2 108

STUDI KOMPARATIF HASIL BELAJAR EKONOMI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING DENGAN MEMPERHATIKAN SIKAP SISWA TERHADAP MATA PELAJARAN EKONOMI PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 13 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2

0 5 107

STUDI KOMPARATIF HASIL BELAJAR IPS TERPADU MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH DAN THINK PAIR SHARE DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN ADVERSITAS TERHADAP MATA PELAJARAN IPS TERPADU PADA SISWA KELAS VIII SMP MIFTAHUL ULUM PAMPANGAN TAHUN PELAJARAN 20

0 9 19

PENERAPAN MODEL PROBLEM POSING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF DAN HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK SISWA KELAS IV C SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

0 7 72

PENERAPAN MODEL PROBLEM POSING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF DAN HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK SISWA KELAS IV C SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

0 32 244

EFEKTIVITAS KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING DAN PROBLEM SOLVING DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) SISWA KELAS VIII SMPN 3 PEKALONGAN TAHUN PELAJARAN 2014/2015

0 18 99

STUDI PERBANDINGAN KECERDASAN MORAL DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT DAN MODEL PEMBELAJARAN ROLLE PLAYING DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN SPIRITUAL SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP SEJAHTERA BANDAR LAMPUNG

0 15 105

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN EKONOMI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING DENGAN MEMPERHATIKAN MOTIVASI SISWA TERHADAP MATA PELAJARAN EKONOMI PADA SISWA KELAS X SMA MUHAMMADIYAH 2 BANDAR LAMPU

0 3 99

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR IPS TERPADU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN DISCOVERY LEARNING DENGAN MEMPERHATIKAN KEMAMPUAN AWAL PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 3 BATANGHARI NUBAN TAHUN AJARAN 2014/2015

1 8 95