bekerjasama baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Konstruksi film, terdiri atas aspek-
aspek “realitas” seperti individu, tempat, objek, peristiwa, identitas kultural dan konsep abstrak lainnya.
Representasi ini dapat dituangkan dalam bentuk
speech, writing,
atau bahkan
moving images
yakni film.yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara, yakni kata yang diucapkan ditambah dengan suara-suara lain yang
serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film Zoest, 1996. Selain gambar, musik film juga merupakan tanda ikonis, namun musik
lebih memiliki cara yang jauh lebih misteerius. Musik yang semakin keras, dengan cara tertentu “mirip” ancaman yang mendekati kita ikonitas metaforis.
Namun perlu dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar kata- kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya dengan musik yang
mengiringinya. Suara secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan gambar-
gambarnya. “suara , sama dengan gambar, merupakan unsur dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan dan dianalisis
dengan cara yang juga sebanding” Zoest, 1996, :110.
2.9. Semiotika ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang
sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi makna sebenarnya sesuai kamus dan konotasi makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes mendefinisikan mitos dengan merujuk kepada teori tingkatan kedua sistem tanda. Mitos ditemukan pada tingkatan kedua tanda atau pada level
konotasi. Barthes membuat perbedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi digambarkan sebagai makna harafiah, sedangkan konotasi adalah makna
parasitis dimana tanda historis berubah menjadi tanda atau “mitos” yang dinaturalkan. Terdapat kemungkinan untuk membaca tingkatan penandaan, baik
yang muncul dipermukaan maupun yang ada dibalik tanda. Nilai semiotika dapat dipakai untuk menunjukkan kemampuan suatu mitos
„ditukarkan‟ dengan suatu ide ideologi dan „dibandingkan‟ dengan mitos-mitos lain. Suatu mitos dapat dipakai karena dia punya nilai. Kita bisa
membandingkannya dengan berbagai mitos serupa atau berlawanan yang ada dalam masyarakat. Dia mempunyai nilai karena dia dapat ditukarkan dengan
ideologi tertentu. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai „mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu
periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh
suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah
petanda dapat memiliki beberapa penanda. Pada signifikasi tahap kedua, tanda bekerja melalui mitos
myth
. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau
memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Menurut Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Dengan mitos kita dapat menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang
terdapat di dalam mitos itu sendiri Sobur, 2006. Mitos dari Roland Barthes mempunyai makna berbeda dengan mitos
dalam arti umum mitos takhayul . Mios dari Roland Barthes memaparkan
fakta. Bagi Roland Barthes mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang di perluas oleh Roland Barthes dapat berbentuk Verbal lisan atau
tulisan atau Non Verbal: n‟importe quelle matiere peut etre dotee arbitrairement de signification materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer . Mitos
merupakan perkembangan dari konotasi, konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan
mayoritas yang member konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos makna yang membudaya. Roland Barthes
membuktikannya dengan melakukan pembongkaran demontage semiologique. Tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi dalam kosep Roland Barthes tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun
juga menggandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya ada perbedaan antara konotasi dan denotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang di pahami oleh Roland Barthes. Di dalam semiologi roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi
merupakan sigifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna.
Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Roland Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada
hanyalah konotasi. Roland Barthes lebih lanjut mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
Bagan 2.1. Order of signification Roland Barthes Sumber: McQuaill,2000
Dalam Film Sang Penari ini, alasan penulis untuk lebih memilih menggunakan teori semitotika Roland Barthes daripada teori semiotik-semiotik
yang lain karena pada teori semiotika Roland Barthes ini, terhadap dengan pemaknaan dua tahap denotasi konotasi yang digunakan oleh Roland Barthes
dalam teori semiotiknya, Roland Barthes menelusuri makna dengan pendekatan budaya Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan
yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Selain itu Roland Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan
konotasi
denotasi signifier
signified mitos
“order of signification”, mencakup denotasi makna sebenarnya sesuai kamus dan konotasi makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal.
Di sinilah titik perbedaan Semiotik Roland Barthes dengan ahli-ahli semiotik yang lain. Selain itu Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu
“mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-
signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos, dalam tataran mitos dapat diungkap
sesuai dengan keunggulan semiotik Roland Barthes yang terkenal dengan elemen mitosnya. Selain itu di dalam semiotik Roland Barthes, makna konotasi identik
dengan ope rasi ideology, yang di sebutnya sebagai “mitos” dan berpungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
2.10. Film Dimaknai Secara Konotasi dan Denotasi