atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan
seseorang atau kelompok tertentu.
Kedua,
bagaimanakah representasi itu ditampilkan, hal tersebut bisa diketahui melalui penggunaan kata, kalimat,
aksentuasi Eriyanto, 2001:113. Menurut Stuart Hall, representasi adalah proses sosial dari
representing.
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk pemaknaan suatu
tanda. Representasi juga bisa merupakan proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrakdalam bentuk konkret. Representasi adalah konsep yang
digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia yaitu, dialog, tulisan, video, film, fotografi. Representasi adalah
produksi makna melalui bahasa Hall, 1997. Isi atau makna dari sebuah film dapat dikatakan merepresentasikan suatu realita yang terjadi karena menurut
Fiske representasi itu merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi dan kombinasinya Fiske, 2004 : 282
2.7. Representasi Perempuan dalam Media
Perempuan di media massa menyangkut tiga hal, yaitu gambaran atau representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan
perempuan dalam sturktur organisasi media yang belum berimbang dibandingkan dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan
persoalan-persoalan perempuan. Untuk itu, diperlukan jurnalisme yang berpihak pada perempuan, yang dikenal dengan jurnalisme berperspektif gender.
Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara tentang tiga hal. Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa,
baik media cetak, media elektronik, maupun berbagai bentuk multi media. Sejauh ini media massa masih menjadikan perempuan sebagai obyek, baik di
dalam pemberitaan, iklan komersial maupun program acara hiburannya seperti sinetron. Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan
perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya
kriminalitas, atau sebagai obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan tampil lebih sering sebagai potongan-potongan tubuh yang dikomersialisasi
karena keindahan tubuhnya atau kecantikan wajahnya. Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga
menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali sangat stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya, lemah, membutuhkan
perlindungan, korban kekerasan dalam rumah tangga, kompe-tensinya pada wilayah domestik saja. Atau, justru perempuan yang galak, tidak masuk akal,
“murahan” dan bahkan pelacur, bukan perem-puan baik-baik, pemboros, dan sebagainya
2
. Realitas media di Indonesia menunjukkan adanya bias gender dalam
representasi perempuan dalam media, baik media cetak maupun elektronik. Berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi,
stereotipe
atau label
negatif,
beban kerja, kekerasan dan sosialisasi keyakinan gender terlihat. Mengutip Rhenald Kasali, bagi profesional pemasaran,
perempuan merupakan potensi pemasaran yang luar biasa. Sebagai
target market,
perempuan telah “menciptakan” begitu banyak produk baru dibandingkan laki-laki
3
. Hetty Siregar dalam bukunya Komunikasi, Media dan Gender mengatakan
media massa cenderung memojokkan posisi perempuan dengan memperlakukan perempuan dengan simbol-simbol jari, tangan, dan kaki yang menggambarkan
pengabdian dan seks. Perempuan dipajang di tempat tidur di bawah kekuasaan laki-laki. Di samping itu masih di dalam media, perempuan secara tradisional
digambarkan sebagai dekorasi atau model untuk memikat laki-laki. Segala media menempatkan perempuan menjadi obyek, menstereotipkan perempuan sebagai
2
http:www.esaunggul.ac.idarticlejurnalisme-berperspektif-gender diunduh pada tanggal 29
Desember 2012 jam 17.23 WIB. Perempuan di dalam Media Massa.
3
http:erhanana.wordpress.com20080320representasi-perempuan-dalam-media diunduh pada
tanggal 29 Desember 2012 jam 17.55 WIB. Representasi Perempuan Dalam Media.
bawahan laki-laki dan terbatasnya hak perempuan karena dibatasi oleh pemenuhan hak laki-laki, seolah-olah perempuan termarginalkan. Pada
kenyataannya bahwa media massa, film, surat kabar, majalah, buku, semuanya cenderung memperlihatkan gambaran stereotip kaum perempuan yang
merugikan perempuan. Bahwa perempuan itu pasif, didominasi, tidak dapat mengambil keputusan dan hanya menerima keputusan dari laki-laki. Sebagai
simbol seks dan secara sadar menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua.Siregar, 2001.
2.8. Semiotika