Sidang BPUPKI-PPKI Sebagai Landasan Tindakan Komunikatif

101 BAB IV ANALISA ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

A. Sidang BPUPKI-PPKI Sebagai Landasan Tindakan Komunikatif

Tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI-PPKI secara sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah sudah menjadi ketentuan ada proses memberi dan menerima sebelum keputusan bersama atau mufakat itu dapat dicapai. Dalam persidangan BPUPKI-PPKI, seperti yang telah dijelaskan pada bab tiga, mengalami begitu banyak perdebatan serius tentang nasib negara baru yang akan dibentuk. Salah satunya adalah perdebatan mengenai dasar negara. Perdebatan ini mempunyai perjalanan hingga mencapai suatu kesepakatan antar para pendiri negara untuk bersama menggunakan Pancasila dan segala isi peraturannya menjadi landasan bersama untuk hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada persidangan BPUPKI telah muncul perdebatan sengit yang menjadi fokus perhatian sampai kepada Proklamasi Kemerdekaan. Pembicaraan awal sidang BPUPKI ialah mengenai dasar negara yang akan digunakan. Arah model negara ingin dibawa menjadi negara agama Islam dan di sisi lain ingin dibawa menjadi negara nasional kesatuan. Melalui pidato-pidato mereka pada awal persidangan dapat dilihat bahwa dasar negara menjadi titik tolak model negara apa yang akan dipilih. 102 Melalui data-data yang penulis dapatkan, terutama dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI , pidato Soekarno seakan-akan telah menjadi persetujuan sebahagian besar peserta sidang melalui tepuk tangan riuh dari para sidang rapat tersebut. Dalam penjelasan pidato Soekarno juga terlihat jelas bahwa ia tidak mengusung model negara agama, melainkan negara kesatuan yang mengusung nilai Ke-Tuhanan. Pidato Soekarno ini mendapat perhatian khusus dari Ketua Radjiman dan membentuk Panitia Kecil dengan beberapa anggotanya guna merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Soekarno itu. Melalui Panitia Kecil ini dugaan penulis terdapat perdebatan antara peserta yang masih bertekad untuk membentuk negara Islam dan di pihak lain ada yang masih berupaya menatap Indonesia ini menjadi negara kesatuan. Hal ini tersirat dari dibentuknya panitia kecil lagi dengan sebutan “ panitia sembilan ” untuk menghasilkan suatu rumusan kolektif dari kedua golongan Islam dan Kebangsaan. Rumusan kolektif ini kelihatan nyata bahwa ada upaya mengangkat ideologi Islam di dalamnya, a.l. sebagai berikut: 1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya; 2. menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penulis mengatakan demikian karena ada beberapa hal alasannya, a.l. keberatan Golongan Islam dengan peletakan prinsip Ke-Tuhanan pada sila terakhir. Mereka memandang prinsip Ke-Tuhanan ini sebagai skala prioritas, serta penambahan kalimat “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan 103 dasar negara telah terbentuk untuk sementara di dalam kesepakatan Panitia Sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai hasil kompromis antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan. Kesepakatan ini pada awalnya merupakan termasuk dalam teori tindakan teleologis. Hal ini disebabkan melalui tindakan strategis yang turut memperhitungkan sarana dan langkah-langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama tentunya dengan persetujuan aktoranggota sidang lainnya. Penulis mengatakan melalui tindakan strategis karena dalam perbincangan sebelum-setelah panitia sembilan ini ada pembicaraan mengenai jumlah mayoritas penduduk yang memeluk agama Islam mencapai 90-95. Ada kecenderungan bahwa suasana pengambilan keputusan pada panitia sembilan bukan dalam pemahaman general will , melainkan the will of all . Sedikit-banyaknya pokok diskusi rapat panitia sembilan seputar mengenai pertimbangan suara rakyat yang lebih banyak menganut agama Islam. Rumusan ini dilemparkan kepada forum ketika dimulai rapat sidang BPUPKI kembali. Pembicaraan pada sidang tersebut mencakup beberapa hal, yakni 1 panitia perancang hukum dasar, 2 panitia perancang keuangan, 3 panitia perancang pembelaan tanah air. Pada tiga pembahasan ini ada tiga pokok perdebatan yang timbul, yaitu: 1 Di dalam Republik apakah menjadi unitarisme atau federalisme?; 2 Keberatan dengan “tujuh kata” anak kalimat; 3 Perhatian pada isu Hak Asasi Manusia HAM. Pada keberatan pertama dan ketiga kesepakatan yang dicapai tidak terlalu mengalami kesukaran persetujuan karena pengalaman sosial dan dalam bidang politik pemerintahan mempunyai banyak persamaan terlebih lagi sama-sama berangkat dari 104 perjuangan melawan penjajah. Pada kenyataan taraf ini – unitarisme dan isu HAM – para pendiri negara telah mencapai kesepakatan model tindakan komunikatif, karena perjuangan mereka terhadap rasa nasionalis dan kemanusiaan mengindikasikan bahwa setiap interpretasi mereka terhadap keadaan yang terjajah dan sama-sama merindukan kemerdekaan yang bersatu dan bebas dari ketertindasan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan ialah interpretasi definisi-situasi yang sama. Namun, lain halnya dengan ideologi agama yang tidak dapat disatukan dengan ideologi atau konsep lainnya. Penulis mencatat ada beberapa percakapan mengenai perdebatan-perdebatan tersebut. Pertama , keberatan ini diajukan oleh Latuharhary 11 Juli tentang “tujuh kata” anak kalimat. Baginya hal ini merupakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa macam-macam, dan menimbulkan perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan. Kemudian ditambah lagi dengan terjadinya benturan pada adat-istiadat karena agama Islam dalam menjalankan Syariat Islam harus murni tanpa ada unsur adat-istiadat. Perdebatan ini memicu beberapa anggota angkat bicara, seperti: Agus Salim menyangkal ketakutan Latuharhary dengan mengatakan bahwa ketakutan itu berlaku pada orang Islam yang umur agamanya masih muda. Orang Minangkabau yang sudah menganut Islam sejak lama tidak lagi kesulitan tentang hal tersebut; Wongsonagoro tujuh kata jangan diubah, tetapi ditambahkan “bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan lain menurut agamanya masing-masing; Djajadiningrat tujuh kata itu bisa menimbulkan fanatisme, seperti memaksa sembahyang, shalat, dan lain-lain; dan Wachid Hasjim memberi solusi pada Djajadinigrat kalau hal itu terjadi, akan ada wadah perwakilan rakyat untuk menyelesaikan paksaan-paksaan itu dan menyarankan untuk tidak lagi memperpanjang perdebatan tersebut. Perdebatan ditutup oleh 105 Soekarno dengan mengatakan bahwa rumusan itu adalah hasil kompromis antara dua golongan dan menegaskan kembali bahwa kompromi itu telah diterima oleh Panitia. Upaya-upaya dari beberapa tokoh ini merupakan tindakan ilokusi. Hal ini dapat dilihat pada upaya penjelasan yang diberikan oleh Salim, Wongsonagoro, dan W. Hasjim agar pendengar dapat memahami dan menerimanya tentu dengan maksud agar dapat menjadi aturan yang normatif. Dalam pengertian bahwa segala tindakan yang akan dilakukan di masyarakat Indonesia mengacu pada kesepakatan-kesepakatan tersebut. Hal yang ingin dicapai bukan berdasarkan pada pendapat dan alasan pribadi, melainkan untuk mempertahankan kesepakatan Piagam Jakarta itu sendiri. Keteguhan Wachid Hasjim terhadap ajaran dan ideologi Islam terlihat kembali ketika ia mengusulkan perubahan pada pasal 4 dan pasal 29. Hasjim menjelaskan bahwasannya hal itu erat berhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan perlokusioner pembicara melalui tindakannya akan mengarahkan pendengar untuk mencapai pemahaman, artinya tujuan ini hanya bisa dipahami lewat maksud dari pembicara. Djajadinigrat mampu menyimpulkan tujuan perlokusioner dari konteks atau keadaan pada saat itu. Perdebatan ini untuk kesekian kalinya diangkat lagi dalam persidangan berikutnya, 14 Juli 1945. Dalam percakapan itu ada keberatan yang diajukan oleh Hadikoesoemo dan itu ditangkis oleh Soekarno. Pada kalimat Soekarno nampak sekali terdapat masalah koordinasi tindakan. Rumusan Rancangan UUD masih belum dapat 106 diterima oleh peserta. Soekarno berusaha mencapai pemahaman dalam bahasa yang direpresentasikan pada model subjek secara teleologis, yang saling mempengaruhi yaitu tindakan rasional-bertujuan. Artinya ada tindakan-tindakan individu yang diorientasikan pada harapan untuk mancapai pemahaman demi suatu makna yang dimaksud. Hadikoesoemo bersikeras dengan pendapatnya yang nasionalistik terhadap kalimat tersebut sampai empat kali. Dalam pandangan Habermas ini bukan merupakan komunikasi karena ketidaksetujuannya terhadap rumusan itu. Ia dengan jelas mengutarakan “ketidakenakan” terhadap warga yang bukan umat Islam karena ada pengkhususan di salah satu golongan yang mengakibatkan akan ada dua peraturan yakni satu untuk umat Islam dan satu untuk yang bukan Islam di dalam satu negara. Hal ini bisa diartikan bahwa kesepakatan dalam rumusan itu merupakan sikap orientasi kepada keberhasilan. Secara mekanismenya rumusan tersebut mencapai suatu pemahaman tapi ketika banyak perdebatan mengenai ini terlihat ada penghubungan rencana tindakan terstruktur dengan kombinasi tindakan individu yang terlebih dahulu ke dalam kompleks interaksi. Penulis mengamati melalui beberapa pendapat yang memberikan sesuatu untuk dipahami kepada subjek lainnya dan secara tidak langsung menyuruhnya membentuk opini tertentu atau menjalankan kehendak tertentu. Lagi-lagi perdebatan ini muncul kembali. Kali ini usul diutarakan oleh Abd. Pratalykrama yang mencoba mengusulkan perubahan supaya presiden minimal usia 40 tahun dan beragama Islam. Usul ini ditambahkan oleh Masjkoer supaya kalo tidak dapat diubah tentang presiden, pasal 28 menjadi “Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah 107 agama Islam”. Upaya-upaya seperti ini dapat dijadikan alasan bahwa beberapa orang bersikeras mengiginkan menjadi negara Islam. Usul-usul ini membuat Soekarno mengambil keputusan pada keesokan harinya. Melalui keputusan ini, penulis melihat bagaimana cara Soekarno mengompromiskan kedua golongan ini agar memperoleh suatu pencapaian pemahaman yang komunikatif. Pertimbangan banyaknya penduduk lebih diutamakan. Menurut Soekarno, ini merupakan jalan tengah. Jalan tengahnya ada pada permohonan khusus kepada kaum kebangsaan, terutama kepada yang beragama non-Islam, yang merelakan dan berkorban untuk pasal tertentu ada dikaitkan Islam, namun, pada pasal lainnya, 29 ayat ke-2 menggambarkan tindakan bijak dari Soekarno agar pihak Islam tidak terlalu memiliki kekuasaan besar yang menindas agama lainnya, melainkan bisa hidup berdampingan. Pada kalimat kompromis Soekarno ini, dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan untuk mencapai klaim validitas. Kesepakatan harus diterima atau diyakini validitasnya oleh para partisipan. Kesepakatan terletak pada keyakinan bersama. Keyakinan yang dimaksud adalah jika orang lain menerima tawaran yang ada dalam pembicaraan dengan “ya“ atau “tidak” terhadap klaim validitas dan mendasarkan keputusannya masing-masing pada alasan-alasan potensial. Hal ini dapat dilihat pada model percakapan, di mana akan dianalisa maksud kedua subjek untuk sampai kepada pemahaman satu sama lain. Habermas menyatakan bahwa pada dasarnya percakapan dan pemahaman tidak terkait satu sama lain seperti antara sarana dan tujuan. Keterkaitan itu baru dapat dilihat dan dijelaskan jika menspesifikasikan tujuan dari penggunaan kalimat yang menjadi maksud komunikatif. 108 Keterkaitan sarana dan tujuan Soekarno mengatakan hal itu ada pada kalimat: a. “Kepada kaum yang dinamakan kaum kebangsaan Indonesia, saya minta dengan tegas, supaya suka menjalankan sesuatu pengorbanan, menjalankan suatu offer kepada keyaki nan itu,” b. “Terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai. ” Ini merupakan kalimat komunikatif, keputusan yang ia ambil lebih condong kepada golongan kaum Islam karena pertimbangan banyaknya jumlah penduduk dan butuh pengorbanan dari pihak lainnya. Respons peserta terhadap kalimat kompromis Soekarno ini lebih condong kepada menyepakatinya dengan sikap tidak dipertentangkan lagi. Kemungkinan besar maksud komunikatif- nya ada pada kalimat “pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai”, walaupun ada tiga orang bangsa Tiong Hoa tidak mufakat. Perdebatan ini berakhir pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan. Keberatan terakhir pada sidang tersebut datang dari masyarakat Indonesia Timur yang meminta anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk- pemeluknya” dan “Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Keberadaan kalimat- kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang 109 beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Kesepakatan yang dianggap sah dan disepakati pada 16 Juli menuai protes pada keberatan yang sama. Keberatan ini masuk dalam kegagalan klaim validitas normatif, klaim validitas kebenaran, dan klaim validitas kejujuran. Pada tataran klaim validitas normatif, masyarakat Indonesia Timur meragukan validitas norma-normanya bahwa kesepakatan tersebut tidak mencakup dunia sosial keseluruhan bangsa Indonesia. Pada tataran klaim validitas kebenaran, masyarakat Indonesia Timur mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap suatu kondisi yang ingin diciptakan dari kesepakatan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada respons mereka yang mengatakan bahwa keberadaan kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Sedangkan pada tataran klaim validitas kejujuran, kesepakatan tersebut tidak menunjukkan adanya kompromitas yang komunikatif di antara kedua golongan. Ciri khas dari klaim kejujuran ini ialah bagaimana kesepakatan tersebut merupakan perjumpaan dan pertunjukkan. Kesepakatan tersebut bersifat konstitutif bagi interaksi sosial secara umum selama dalam kesepakatan itu terdapat aspek pribadi-pribadi yang berjumpa satu sama lain. Pada kenyataannya, kesepakatan hasil kompromis itu tidak menjadi wadah Konstitusi yang komunikatif karena bagaimana mungkin bisa berjumpa satu sama lain jikalau sudah didiskriminasi melalui Konstitusi. 110 Terjadi percakapan di mana Hatta bersama Ki Bagoes Hadikoesoemo, Teuku Muhammad Hassan, dan Kasman Singodimedjo menjelang pembukaan rapat pertama PPKI. Percakapan itu mencapai kesepakatan pada sidang rapat bahwa sungguh menggambarkan kuatnya keinginan para pendiri negara untuk menjaga keutuhan bangsa sehingga mengganti anak kalimat yang dipermasalahkan itu menjadi “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Ucapan Kasman pada rapat kecil yang mereka buat mengatakan bahwa upaya terakhir dilakukan olehnya dengan mengajukan argumen, bahwa dalam situasi krisis, di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam harus bisa mengalah. Proses sidang ini penulis jadikan sebagai landasan model tindakan komunikatif karena media linguistik begitu terlihat jelas di dalamnya. Tercapainya pemahaman dalam bahasa dipandang sebagai mekanisme yang mengoordinasikan tindakan. Pengoordinasian tindakan di sini meliputi seluruh proses persidangan sehingga sering didapat ketika di satu pihak ada Rancangan UUD yang berbicara A, maka dalam pasal lainnya yang berhubungan dengan itu akan mengacu kepada A tersebut. Lalu bagaimana proses penerimaan para pendiri negara terhadap Pancasila sebagai dasar negara bisa menjadi beberapa tahap ada dalam bagian “B” bab ini dan apakah konsensus pada tahap terakhir merupakan model tindakan komunikatif atau bukan dengan meninjau kepentingan politik dan ideologi di dalamnya? Penjabaran analitis ada di bagian berikut. 111

B. Analisa Terhadap Alasan Para Pendiri Negara dalam Menerima Pancasila

Dokumen yang terkait

Bab 1 Berkomitmen Terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara

0 9 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB V

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB II

0 6 99

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kinerja Rendah Sebagai Alasan PHK T1 312005001 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kemanusiaan Pancasila Perspektif Sukarno T2 752012006 BAB IV

0 0 8