Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB II

(1)

10

BAB II

PENDEKATAN KONSEPTUAL

A. Teori-teori Tindakan Komunikatif

Menurut Jurgen Habermas, setidak-tidaknya secara konseptual ada empat model tindakan, yaitu berturut-turut: (1) tindakan teleologis, (2) tindakan yang diatur secara normatif, (3) tindakan dramaturgis, (4) tindakan komunikatif. Keempat tindakan itu ialah, 1

Pertama, teori tindakan teleologis. Tindakan ini diorientasikan pada tujuan dari setiap langkah atau keputusan yang diambil, yang memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat. Tindakan ini diperluas menjadi model tindakan strategis karena proses perhitungan sarana dan langkah-langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama (tentunya dengan persetujuan aktor lainnya). Tindakan ini dilihat sebagai

pembuka aspek rasionalitas tindakan,2 tindakan rasionalitas-bertujuan yang menyoroti

aktivitas bertujuan. Habermas mengatakan bahwa dalam tindakan ini diyakini adanya

relasi antara aktor dengan keadaan yang sedang berjalan/situasi pada saat itu.3

Layaknya ada dua subjek yang sedang akan melakukan tindakan bertujuan untuk mencapai suatu tujuan bersama, salah satu subjek bertindak secara strategis dengan

1

Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1: Reason and Rasionalization of Society adalah versi terjemahan karya Habermas oleh Thomas McCharty dari bahasa Jerman Theorie des Kommunikativen Handelsn, Band 1: Handlungsrationalität und gesellschaftliche Rationalisierung (Boston: Beacon Press, 1984).

2

Ibid., 86.

3Roger Bolton, “Habermas‟ Theory of Communicative Action and The Theory of Social

Capital” makalah yang dibawakan pada rapat Association of American Geographers (Denver: Colorado, April 2005), 7.


(2)

11

membekali diri melalui kemampuan kognitif untuk membentuk keyakinan tentang segala keadaan yang melalui persepsinya sendiri dan mengembangkan maksud-maksud dengan tujuan mewujudkan hal-hal yang diinginkan dalam sistem pengambilan

keputusan.4 Di sinilah dapat dilakukan klaim kebenaran dan efektifitas.

Kedua,teori tindakan yang diatur secara normatif. Jikalau tindakan teleologis merupakan tindakan yang bergerak dengan model bawah (subjek atau aktor) menuju ke atas (kesepakatan yang akan dijalin bersama), maka tindakan ini bergerak dengan model dari atas ke bawah. Aktor diharapkan untuk pemenuhan perilaku terhadap norma yang telah disepakati. Aktor di dalam lingkungannya mengorientasikan tindakannya kepada nilai-nilai bersama. Konteks sosial berisi konteks normatif yang jadi dasar bagi interaksi-interaksi dalam totalitas yang relasi antar pribadi, artinya aktor selain berelasi terhadap keadaan situasinya dengan tujuan pribadinya pada saat itu, juga ia berelasi dengan dunia sosial yang menjadi bagian dari aktor sebagai subjek yang memiliki peran tertentu. Di sinilah dapat dilakukan klaim terhadap ketepatan normatif (klaim validitas normatif), artinya klaim yang menyatakan validitas sesuatu kepada kelompok orang yang dituju. Suatu norma dikatakan valid secara ideal ketika dia memperoleh pengakuan dari orang-orang yang terikat dengannya karena norma tersebut mengatur persoalan

tindakan dalam kepentingan bersama.5

Dalam tindakan ini juga terdapat model pembelajaran internalisasi nilai. Tindakan dinilai berdasarkan apakah tindakan tersebut sejalan atau menyimpang dari konteks normatif yang ada, yaitu benar tidaknya tindakan tersebut berdasarkan konteks

4 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1…, 87. 5 Ibid., 88.


(3)

12

normatif yang diakui keabsahannya. Aktor masih belum dapat atau diandaikan sebagai

sebuah dunia yang bisa menjadi tempat dia melakukan refleksi.6

Ketiga, teori tindakan dramaturgis. Aktor mengungkapkan citra tertentu di hadapan masyarakat, suatu kesan tentang dirinya sendiri, mengungkapkan sisi subjektivitasnya. Konsep presentasi diri yang mengakibatkan pembentukan ekspresi pengalaman sendiri untuk ditunjukkan kepada audiens. Model dalam tindakan ini digunakan dalam deksripsi interaksi yang diorientasikan secara fenomenologis. Habermas mengakui tindakan dramaturgis ini diperkenalkan pertama kali oleh

Goffman.7 Melalui perspektif tindakan ini, dapat dipahami bahwa tindakan sosial

sebagai perjumpaan yang di dalamnya partisipan membentuk sesuatu yang bersifat

publik yang dapat diperlihatkan dan saling ditampilkan.8

Habermas menekankan pada perkataan „perjumpaan‟ dan „pertunjukan‟ sebagai konsep kuncinya. Menurutnya, suatu pertunjukan memungkinkan sang aktor menampilkan dirinya di hadapan orang lain dengan cara tertentu, dalam menampilkan sesuatu yang berasal dari subjektivitasnya, ingin diperhatikan publik dengan cara tertentu. Bagaimana pun juga, hal itu bersifat konstitutif bagi interaksi sosial secara umum selama hal-hal tersebut hanya dilihat di dalam aspek pribadi-pribadi yang

berjumpa satu sama lain.9

Dalam kaitan dengan penampilan diri, apakah saat itu aktor mengekspresikan pengalaman yang dimilikinya, apakah dia bersungguh-sungguh dengan yang dia katakan/ekspresikan, atau dia hanya mengarang pengalaman yang dia ekspresikan (kesan palsu). Bagi Habermas, sangat tepat jika tindakan dramaturgis dikelompokkan

6

Ibid., 89.

7 Lih.juga E. Goffman, The Presentation of Self in Everyday life (New York, 1959). 8 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1.


(4)

13

sebagai konsep yang meyakini adanya dua dunia, yaitu dunia internal dan dunia eksternal. Ujaran-ujaran ekspresif menampilkan subjektivitas sebagai suatu yang terpisah dari dunia eksternal, aktor siap mengobjektifkan dirinya terhadap dunia eksternal.10

Keempat, teori tindakan komunikatif. Tindakan ini mengacu pada interaksi dari paling tidak dua orang subjek yang dapat berbicara dan bertindak, yang membangun hubungan antar personal. Aktor berusaha mencapai pemahaman tentang situasi tindakan dan rencana bertindak untuk mengoordinasikan tindakan mereka melalui kesepakatan. Masing-masing aktor melakukan interpretasi terhadap definisi-situasi yang menjurus kepada terjadinya konsensus. Habermas menekankan bahasa

(media linguistik) sangat penting dalam tindakan komunikatif ini.11

Dalam hal tindakan ini harus dijelaskan pengertian seperti apa tercapainya pemahaman dalam bahasa dipandang sebagai mekanisme yang mengoordinasikan tindakan. Habermas dengan sengaja menekankan hanya dalam tindakan komunikatif,

karena tiga alasan: perta ma, dalam tindakan teleologis, bahasa digunakan hanya sebagai

media pembicara yang ingin mencapai keberhasilannya sendiri. Kedua, dalam hal

tindakan normatif, di mana bahasa digunakan sebagai media yang mentransmisikan nilai-nilai budaya dan membawanya ke suatu konsensus yang semata-mata direproduksi lewat tindakan pemahaman tambahan masing-masing. Artinya, bahwa tindakan konsensual dari orang-orang yang hanya mengaktualisasikan kesepakatan normatif yang

10 Ibid., 93. 11

Ibid., 86. Lih.juga (bunga rampai) Arbeitsgruppe Beilefelder Soziologen, Alltagswissen, Interaktionund gesselschaftliche Wirklichkeit, jilid 2 (Hamburg, 1973); Lih.juga H. Steinert, “Das

Handlungsmodell des symbolischen Interaksinionismus” dalam H. Lenk, ed., Handlungstheorien,4 (Munich: 1977).


(5)

14

telah ada.12 Ketiga, dalam hal tindakan dramaturgis bahasa digunakan sebagai media

presentasi-diri. Bahasa diasimilasikan ke dalam bentuk ekspresi stilistik, yaitu

penggunaan bahasa dan gaya bahasa dan estetis.13 Sedangkan tindakan komunikatif

lebih mengutamakan bahasa sebagai media komunikasi bebas tekanan, di mana pembicara dan pendengar dalam berelasi dan berkomunikasi secara simultan merujuk

pada hal-hal yang ada di dunia objektif – yang sedang terjadi.14

B. Konsep Komunikasi dalam Pandangan Habermas

Interaksi sosial melahirkan struktur simbolis dari kalimat dan tindakan. Kesemuanya ini dimulai dari ekspresi linguistik dan perilaku yang teramati dan terbuka bagi pengujian intersubjektif. Analisis bahasa menerapkan prosedur-prosedur yang berasal dari logika dan linguistik untuk melakukan rekonstruksi rasional atas pengetahuan kita tentang aturan. Di sisi lain, psikologi perilaku mengambil alih metode observasi dan tata cara penjelasan yang terdapat dalam studi-studi atas suatu perilaku. Habermas mendasarkan teori komunikasinya melalui keterangan Mead yang melakukan studi-studi perilaku terhadap binatang. Ia menganalisa fenomena kesadaran dari sudut pandang bagaimana fenomena tersebut terbentuk di dalam struktur interaksi yang diperantai oleh bahasa dan simbol. Habermas menegaskan bahwa model yang menjadi titik awalnya bukanlah perilaku organisme individual yang bereaksi terhadap stimulus dan lingkungan, melainkan interaksi yang di dalamnya paling tidak ada dua organisme bereaksi satu sama lain dan bertindak dalam hubungan satu sama lain. Hal ini masuk

12 Ibid., 95. Lih.juga Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality (Cambridge, Mass.,

1956); H. Gipper, Gibt est ein sprachliches Relativitätprinzip? (Frankfurt, 1972); P. Henle, ed., Sprache, Denken, Kultur (Frankfurt, 1969).

13 Lih. juga Harré dan Secord, Explanation of Behavior (Carleton, Montreal, 1978). 14 Ibid.


(6)

15

dalam kategori psikologi sosial, yaitu bukan menempatkan perilaku kelompok sosial sebagai perilaku individu-individu terpisah yang jadi anggota suatu kelompok, melainkan memulainya dari keseluruhan kompleks aktivitas sosial sebagai tempat untuk

menganalisa perilaku masing-masing individu sebagai elemen-elemen pembentuk.15

Namun, teori komunikasi ini tidak terbatas pada tindakan pencapaian pemahaman, melainkan lebih condong membahas tindakan komunikatif. Dalam tindakan komunikatif ini, bahasa berperan sebagai pengatur aktivitas-aktivitas subjek berbeda yang diarahkan kepada pencapaian tujuan dan juga sebagai media bagi subjek-subjek untuk melakukan sosialisasi. Habermas menyoroti perkembangan bahasa yang diangkat oleh Mead. Perkembangan bahasa dimulai dari tahap bahasa tanda dalam interaksi yang diperantarai oleh simbol dan kemudian berkembang menjadi wicara yang

dibeda-bedakan berdasarkan situasi dan keadaannya.16

Istilah „isyarat yang mengandung makna‟ digunakan untuk simbol-simbol sederhana, yang memiliki makna yang sama oleh paling tidak dua orang partisipan yang berada pada konteks yang sama (cukup mirip). Biasanya ini ada dalam tanda atau ucapan satu-kata yang digunakan jika dikaitkan dengan situasi, seperti sebuah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah objek dan itu harus tergantung pada

situasi karena tidak bisa lepas dari konteks.17 Dalam interaksi itu ada respons ekpektasi

perilaku yang sama secara langsung. Ada hubungan antara makna tanda dengan perilaku yang diharapkan oleh si pengirim agar dilakukan oleh si penerima sebagai

15

Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 2:Lifeworld and System A Critique of Functionalist Reason yang diterjemahkan oleh Thomas McCharty (Boston: Beacon Press, 1987), 4. Lih.juga G. H. Mead, Mind, Self, and Society yang telah diedit oleh C. Morris (Chicago, University of Chicago, 1962).

16

Ibid.

17 Thomas McCarthy, “On Communicative Action” makalah yang disampaikan dalam

Boston Colloquium for the Philosophy of Science, (Bolton, Desember, 1976), 20-1 Lih.juga E. Tugendhat, Traditional dan Analytical Philosophy: Lectures on the Philosophy Language (Cambridge, 1982).


(7)

16

respons yang sesuai. Makna perilaku melalui peran fungsional yang dimainkan dalam sistem pola perilaku. Ciri khas interaksi yang diperantarai simbol adalah komunitas bahasa hanya memiliki tanda, berangkat dari situasi di mana dua partisipan independen dapat menggunakan dan memahami simbol yang sama dengan makna, juga yang sama

dalam situasi yang minimal cukup mirip.18

Perkembangan selanjutnya yang mengarah kepada wicara (speech) hanyalah

perkembangan yang mengalir dan menjadi suatu komunikasi antara partisipan satu dengan yang lainnya. Analisa awalnya adalah interaksi yang diperantarai syarat karena di sanalah ia menemukan awal proses semantisasi (berkaitan dengan bahasa) sehingga kebanyakan dalam suatu masyarakat melalui interaksi dan menjadi peristiwa selalu mentransformasikannya menjadi simbol dengan maknanya. Intersubjektivitas yang

terbentuk melalui bahasa memungkinkan terjadinya komunikasi.19

C. Konsep Tindakan Komunikatif dalam Pandangan Habermas

Basis tindakan komunikatif Habermas sebenarnya telah terurai singkat lebih dahulu dalam konsep-konsep tindakan yang ia rumuskan. Pada saat itu konsep tindakannya hanya diorientasikan dengan bahasa sebagai dasarnya menjalin relasi dan kini konsep itu berkembang menjadi suatu model tindakan komunikatif yang benar-benar mempertimbangkan asas-asas perilaku dan asas-asas ilmu komunikasi yang berlaku pada diri manusia, baik secara individu maupun sosial masyarakat.

18 Habermas, The Theory, Vol. 2…, 6. 19 Ibid., 11.


(8)

17

Dalam kaitan antara tindakan komunikasi dengan tindakan komunikatif, Habermas menerangkan bahwa tindakan komunikasi tidak bisa disamakan dengan tindakan komunikatif. Bahasa adalah sarana komunikasi dalam saling mencapai pemahaman, yang berusaha mencapai pemahaman satu sama lain untuk dapat mengoordinasikan tindakan-tindakan mereka mengejar tujuan-tujuan tertentu.

Terkait dengan definisi paragraf di atas, struktur teleologis merupakan konsep dasar dalam tindakan tersebut. Jadi sangat jelas di sini bahwa tindakan komunikasi berfungsi sebagai mekanisme koordinasi untuk tindakan-tindakan lain. Lain halnya dengan tindakan komunikatif, dalam model tindakan ini interaksi yang diperantarai secara linguistik, yang di dalamnya semua partisipan ingin mencapai tujuan-tujuan ilokusioner. Pada model ini juga, ada upaya interpretif yang menjadi dasar proses interpretasi kooperatif merepresentasikan mekanisme pengoordinasian tindakan. Namun, kedua model ini menjadi satu ke dalam interaksi-interaksi strategis. Interaksi-interaksi ini diperantai secara linguistik oleh paling tidak salah satu partisipan agar

tindak-wicaranya (speech act) menghasilkan efek-efek perlokusioner kepada pendengar.

Pembahasan Model Tindakan Komunikatif ini ada enam hal yang diajukan oleh Habermas untuk memahaminya, namun penulis hanya mengambil tiga hal yang cukup mencakup keenam hal tersebut, yaitu (1) masalah koordinasi tindakan, (2) perbedaan ilokusioner dan perlokusioner yang mempunyai orientasi kepada keberhasilan dan

orientasi kepada tercapainya pemahaman, (3) peran klaim validitas:20

Pertama, masalah koordinasi tindakan. Sebelum terjadinya tindakan komunikatif, setiap orang membekali dirinya sendiri dengan pola tindakan

20


(9)

18

sendiri. Pada titik peralihan pertama, Habermas melihat kepada teori tindakan Weber yang mempunyai suatu pandangan fundamental bukan kepada relasi antar pribadi, melainkan relasi yang merujuk kepada tercapainya pemahaman di dalam bahasa. Artinya aktivitas yang bertujuan dari subjek yang bertindak sendiri-sendiri. Tercapainya pemahaman dalam bahasa direpresentasikan pada model subjek yang

bertindak secara teleologis, yang secara timbal balik saling memengaruhi – yaitu

tindakan rasional-bertujuan21 oleh tindakan-tindakan individu yang diorientasikan pada

harapan untuk mencapai pemahaman demi suatu makna yang dimaksud. Tujuan-tujuan yang demikian juga bisa disebut sebagai tujuan utilitarian, yang dapat dilihat melalui tujuan spesifik menurut situasinya, yang merupakan bentuk makna subjektif dapat

dikaitkan subjek yang bertindak dengan aktivitas terarah guna mencapai tujuan.22

Seorang aktor bertingkah laku secara rasional-bertujuan ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul. Tindakan sosial dapat dibedakan menurut mekanisme koordinasi tindakan individu, misalkan apakah suatu relasi sosial didasarkan pada posisi kepentingan semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan cara melakukan validitas yang didasarkan pada kesepakatan. Interaksi yang didasarkan pada kepentingan yang saling melengkapi tidak hanya berbentuk adat kebiasaan, namun juga pada level perilaku kompetitif rasional, di mana partisipan telah membentuk suatu

kesadaran yang jelas tentang komplementaritas (melengkapi) sekaligus

21

Istilah ini ialah istilah langsung dari Weber yang menganalisa masyarakat dan perekonomiannya.

22 Ibid., 280. Lih. juga H. Girndt, Das Soziale Handeln als Grundkategorie der


(10)

19

ketidakmenentuan posisi kepentingan mereka sendiri. Beda halnya dengan interaksi yang didasarkan pada konsensus normatif. Interaksi ini tidak hanya menimbulkan tindakan konvensional (adat pembiasaan), melainkan juga tindakan dalam bentuk

gagasan tentang kontrak dasar antara orang-orang yang bebas dan setara. 23

Tindakan komunikatif dalam koordinasi tindakan dapat didefinsikan bahwa orientasi utama partisipan bukanlah mencapai keberhasilan pribadi. Para partisipan itu dapat mengejar tujuan-tujuan asalkan mereka dapat mengharmoniskan rencana tindakan mereka berdasar definsi-situasi yang sama. Dalam hal ini negoisasi definisi-situasi adalah suatu elemen mendasar bagi upaya interpretatif yang diperlukan bagi tindakan

komunikatif.24

Kedua, perbedaan ilokusioner dan perlokusioner yang mempunyai orientasi kepada keberhasilan dan orientasi kepada tercapainya pemahaman. Dalam hal ini, tindakan sosial dapat dipilah-pilah menurut apakah para partisipan menerapkan sikap orientasi pada keberhasilan atau orientasi pada pencapaian pemahaman sehingga dapat dipahami unsur-unsur struktural proses pencapaian pemahaman yang dari itu dapat diambil beberapa asumsi pragmatika umum tentang

tindakan komunikatif. Untuk dapat menjelaskan maksud dengan “suatu sikap yang

diorientasikan kepada tercapainya pemahaman”, Habermas mempunyai penjelasan mengenai konsep pencapaian pemahaman yang padat.

“Tercapainya pemahaman dipandang sebagai suatu proses

tercapainya kesepakatan antar subjek yang berbicara dan bertindak. Secara alamiah, sekelompok orang dapat sama-sama

merasa berada dalam satu mood yang begitu cair sehingga

kandungan proposisionalnya atau objek intensional yang menjadi sasarannya sulit diidentifikasi. Kemiripan pikiran secara

23 Ibid., 283. 24 Ibid., 285.


(11)

20

kolektif semacam itu belum memenuhi syarat tipe kesepakatan di mana upaya untuk mencapai pemahaman dapat dihentikan ketika pemahaman telah berhasil dicapai. Suatu kesepakatan yang dicapai secara komunikatif, atau kesepakatan yang secara timbal balik diasumsikan terjadi di dalam tindakan komunikatif,

dipilah-pilah berdasarkan kandungan proposisionalnya.

Dikarenakan adanya struktur linguistik tersebut, kesepakatan ini tidak dapat hanya diraih melalui pengaruh dari luar; kesepakatan ini harus diterima atau diyakini validitasnya oleh para partisipan. Sampai di sini, kesepakatan ini dapat dibedakan dari persetujuan

secara de fa cto. Proses tercapainya pemahaman berusaha meraih

suatu kesepakatan yang memenuhi syarat-syarat persetujuan yang bermotif rasional terhadap isi wicara. Suatu kesepakatan yang dicapai secara komunikatif memiliki basis rasional; dia tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak, apakah secara instrumental melalui intervensi di dalam situasi secara langsung atau secara strategis dengan cara mempengaruhi keputusan pihak lawan.”

Akan tetapi, ada juga jenis kesepakatan melalui paksaan:

“Kesepakatan memang bisa dicapai secara objektif melalui

paksaan; namun, yang muncul secara terang-terangan melalui pengaruh luar atau penggunaanya kekerasan tidak dapat secara subjektif disebut sebagai kesepakatan. Kesepakatan terletak

pada keyakinan bersama. Tindak-wicara seorang baru berhasil

jika orang lain menerima tawaran yang ada di dalamnya dengan

mengambil posisi (betapa pun implisitnya) “ya” atau “tidak”

terhadap klaim validitas yang dapat dikritik. Kedua ego pihak yang mengajukan klaim yang valid dengan cara berbicara, dan orang lain (pendengar), yang mengakui atau menolaknya, mendasarkan keputusan masing-masing pada dasar atau

alasan-alasan potensial.”25

Jika analisis model percakapan ini dipakai sebagai pendekatan untuk memisahkan tindakan yang diorientasikan pada tercapainya keberhasilan dengan tindakan yang diorientasikan pada tercapainya pemahaman akan ditemukan kesulitan. Pada satu sisi, dengan bantuan tindakan komunikatif pembicara dan pendengar dapat sampai kepada pemahaman tentang sesuatu mekanisme untuk mengoordinasikan

25 Jürgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif, Buku Satu: Rasio dan Rasionalisasi

Masyarakat (Bantul: Kreasi Wacana, cetakan ketiga, 2009), 352-3; yang diterjemahkan oleh Nurhadi dari judul asli Theorie des Kommunikativen Handelsn, Band 1: Handlungsrationalität und gesellschaftliche Rationalisierung. Proposisional ialah ungkapan yang mengandaikan sesuatu dapat dipercaya, disangsikan, atau dibuktikan benar-tidaknya.


(12)

21

tindakan. Namun, unsur teleologisnya dapat diamati melalui penghubungan rencana tindakan terstruktur dengan kombinasi tindakan individu yang terlebih dahulu ke dalam kompleks interaksi. Sehingga pada sisi lainnya, terdapat nuansa tercapainya pemahaman sebagai solusi atas masalah koordinasi antar subjek yang bertindak dengan orientasi ke arah keberhasilan.

Pengamatan dapat dilihat melalui seorang subjek memberikan sesuatu untuk dipahami kepada subjek lainnya dan secara tidak langsung menyuruhnya membentuk opini tertentu atau menjalankan kehendak tertentu. Artinya, ini menimbulkan kesan bahwa seorang subjek terang-terangan memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri, yaitu, menyuruhnya bertindak sebagaimana yang ia kehendaki dengan secara manipulatif menggunakan sarana linguistik dan memperalatnya demi

kesuksesan dirinya.26 Inilah tindakan yang diorientasikan pada keberhasilan. Tindakan

yang diorientasikan kepada keberhasilan disebut sebagai tindakan instrumental dan tindakan strategis.

“…Tindakan instrumental jikalau tindakan itu dilihat berdasarkan aturan teknis tindakan dijajaki keampuhannya dalam mengintervensi suatu kompleks situasi dan peristiwa-peristiwa. … tindakan strategis jikalau tindakan itu dilihat berdasarkan aspek aturan-aturan pilihan rasional dan dijajaki keampuhannya dalam memengaruhi keputusan-keputusan lawan

yang rasional.”27

Habermas mencoba membedahnya dengan memastikan bahwa kesulitan ini tidak akan terjadi jikalau pemakaian bahasa yang berorientasi pada tercapainya pemahaman adalah model pemberian suatu pemahaman untuk dipahami dan membiarkan sesuatu untuk dipahami. Bagi Habermas, Austin mempunyai pemilahan ini, yaitu, antara ilokusi dan perlokusi. Austin sendiri memperkenalkan ketiga istilah ini

26 Ibid., 288.


(13)

22

sebagai berikut: (a) lokusi: semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak (suatu tindakan)

yang mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di

dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya; (b) ilokusi: hal

tertentu yang dimaksudkan atau ingin dicapai dari suatu tindak wicara; dan (c) perlokusi: mengacu pada efek yang ditimbulkan oleh tindak wicara yang dihasilkan.28

Austin menggunakan istilah „lokusioner‟ untuk menunjuk kandungan kalimat proposisional, mengekspresikan keadaan-keadaan, juga mengatakan sesuatu. Melalui tindakan ilokusioner seseorang menampilkan suatu tindakan ketika mengatakan sesuatu, sedangkan tindakan perlokusioner ini, pembicara menimbulkan efek bagi pendengar dan dengan melakukan percakapan dia menyebabkan terjadinya sesuatu di dunia ini. Habermas merumuskan kata kuncinya sebagai berikut: mengatakan sesuatu, bertindak ketika mengatakan sesuatu, menyebabkan sesuatu terjadi dengan cara bertindak ketika

mengatakan sesuatu.29

Ada batasan konseptual yang ditekankan oleh Austin, tindakan ilokusioner dihadirkan sebagai sesuatu yang sesuai dengan diri pembicara itu sendiri dan selalu dengan tujuan komunikatif, yaitu agar pendengar dapat memahami dan menerima perkataannya. Cukup memadainya percakapan harus dipahami dengan pengertian bahwa maksud komunikatif pembicara dan tujuan ilokusioner yang sedang ia upayakan berasal dari makna manifes (hal-hal tertentu yang dimaksud atau ingin dicapai) dari setiap yang dikatakannya.

Lain hal dengan efek perlokusioner. Tindakan ini muncul dari fakta bahwa tindakan ilokusioner berada pada konteks interaksi, percakapan dapat menimbulkan

28 Lih. J.L.Austin, How To Do Things with Words (Oxford, 1962). 29 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1…,289.


(14)

23

efek samping yang tidak dapat diperkirakan (maksudnya) oleh sang aktor. Tindakan ilokusioner kadang-kadang berperan di dalam konteks interaksi dengan efek-efek yang muncul ketika suatu percakapan dengan orientasi keberhasilan memperalat percakapan untuk tujuan yang kaitannya dengan makna hal-hal yang dikatakan tidak dapat dipastikan. Kalau makna hal-hal yang dilakukan adalah hal mendasar bagi tindakan ilokusioner, maka yang mendasar bagi efek perlokusioner adalah maksud dari aktor itu sendiri. Ada empat kriteria demarkasi atau garis batas antara tindakan ilokusioner dan

tindakan perlokusioner:30

Pertama, dengan tindakan ilokusioner seorang pembicara membiarkan seorang pendengar mengetahui kalau dia menginginkan apa yang dia katakan dipahami sebagai sapaan, perintah, peringatan, dan lain-lain. Dengan kata lain ada identifikasi-diri. Tujuan perlokusioner pembicara melalui tindakannya akan mengarahkan pendengar untuk mencapai pemahaman, tidak berasal dari isi yang tampak dari percakapan tersebut. Artinya, tujuan ini hanya bisa dipahami lewat maksud dari pembicara. Contoh: seorang pendengar memahami suatu permintaan yang ditujukan kepadanya dari pembicara hanya sedikit dari apa yang diutarakan pembicara yang pada saat itu tergesa-gesa, tetapi pendengar memahami mengapa ia tergesa-gesa. Pendengar paling tidak

dapat menyimpulkan tujuan perlokusioner dari konteks atau keadaan pada saat itu.31

Kedua, syarat bagi keberhasilan ilokusioner pembicara tidak serta-merta

menjadi syarat bagi keberhasilan perlokusioner – yang mungkin ingin dicapai – karena

dalam setiap percakapan terjadi maksud-maksud yang lain sehingga menimbulkan

30 Ibid., 290-5. 31 Ibid.


(15)

24

kesan-kesan yang satu sama lain dan terkadang tidak pada situasi mencapai pemahaman bersama.

Kriteria yang ketiga, menegaskan sedikit dari kriteria kedua yaitu hasil

ilokusioner terdapat di dalam kaitan yang diatur secara konvensional. Sementara itu, efek perlokusioner tetap bersifat eksternal bagi makna apa yang dikatakan. Artinya,

hasil ilokusioner – keberhasilan atas konsekuensi kesepakatan – tidak selalu menjadi

perlokusioner. Namun, perlokusioner sudah pasti memanfaatkan tindakannya pada ilokusioner.

Kriteria keempat, pada kriteria yang terakhir ini efek-efek perlokusioner hanya

dapat dicapai dengan tindak-wicara jika tindak-wicara dilibatkan sebagai sarana ke dalam tindakan yang berorientasi pada keberhasilan. Tindakan-tindakan perlokusioner merupakan indikasi tentang adanya integrasi tindak-wicara ke dalam konteks interaksi strategis. Tindakan-tindakan yang demikian menjadi bagian dari konsekuensi atau hasil yang dikehendaki dari suatu tindakan teleologis yang dilakukan seorang aktor dengan keinginan memengaruhi pendengar dengan cara tertentu menggunakan keberhasilan ilokusioner.

Ketiga, peran klaim validitas. Dalam penjelasan ini, Habermas menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh persetujuan (konvensional) yang tercapai secara komunikatif yaitu fungsi tindakan koordinatif. Ada model pasangan elementer wicara, yaitu tindak wicara pembicara dan respons afirmatif dari pendengar.

Penjelasan dengan kata “ya” dalam suatu pembicaraan, pembicara menerima suatu tawaran tindak wicara dan menyatakan kesepakatan tentang apa yang terkandung dalam ucapan. Keberhasilan ilokusioner ini relevan dengan interaksi selama di antara


(16)

25

pembicara dan pendengar terbangun suatu relasi antar pribadi yang efektif bagi koordinasi tindakan dan rangkaian interaksi.

Melalui perspektif demikian reaksi terhadap tindak wicara dapat dibedakan menjadi tiga level, yaitu pendengar memahami ucapan dengan memahami maksud dari apa yang dikatakan; dengan kata “ya” atau “tidak” pendengar bersikap terhadap klaim yang diajukan dengan tindak wicara, dia menerima tawaran tindak wicara atau menolaknya; dan sebagai konsekuensi dari kesepakatan yang tercapai, pendengar mengarahkan tindakannya sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Artinya, syarat-syarat yang harus dipenuhi sudah jelas, yaitu syarat penerimaan identik dengan syarat keberhasilan ilokusionernya. Habermas lebih menekankan bahwa suatu

tindak wicara dikatakan “dapat diterima” jika dia memenuhi syarat-syarat yang

diperlukan agar pendengar dapat mengambil posisi “ya” terhadap klaim yang diajukan oleh pembicara. Syarat-syarat tersebut lebih merupakan syarat bagi adanya pengakuan

intersubjektif.32

Habermas mengajukan ada dua cara untuk menganalisa model percakapan imperatif, yaitu dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, jika pendengar terbiasa dengan syarat yang menjadikan terjadinya sesuatu ketika dia merokok, dia tahu apa yang seharusnya dia lakukan sendiri dalam situasi tertentu agar syarat-syarat tersebut terpenuhi. Syarat-syarat pemenuhan ini ditafsirkan sebagai kewajiban yang relevan dengan sekuel interaksi. Artinya, seseorang harus mengetahui


(17)

26

syarat kebenaran proposisi agar bisa memahaminya, dia harus tahu syarat kebenaran

yang menjadikan suatu imperatif dapat terpenuhi jika dia ingin memahaminya.33

Dalam pengertian sempit dapat dilihat cakupan konteks interaksi hanya sebatas mengetahui apakah suatu imperatif diterima atau tidak. Sedangkan dalam pengertian luas, analisa diperluas sampai kepada kesadaran akan imperatif yang menjadi dasar kepatuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang relevan dengan sekuel interaksi. Maksud Habermas adalah ada faktor lain dalam imperatif tersebut sehingga dipatuhi oleh pendengarnya sesuai dengan konteks pada saat itu (faktor yang sesuai dengan situasi dan kondisinya).

Melalui imperatif ini, pembicara mengajukan klaim kekuasaan terhadap pendengar dan ini hanya berlaku dalam kondisi si pembicara tahu bahwa lawan bicaranya memiliki alasan untuk menerima imperatifnya, yaitu alasan sanksi atau

hukuman. Artinya ada syarat sanksi – dalam syarat pemenuhan – untuk melengkapi

syarat penerimaan. Melalui dua cara ini, sempit dan luas, pendengar baru bisa dikatakan telah memahami permintaan imperatif ketika dia mengetahui apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keadaan yang diinginkan itu segera dilakukannya dan melalui ini dapat diketahui apa yang akan membuat ucapan si pembicara dapat diterima (mengetahui alasannya).

Melalui pemaparan di atas, apabila memakai bahasa untuk saling memahami, menurut Habermas, itu berarti telah mengandaikan berbagai macam sikap performatif terhadap dunia. Artinya, orang dapat membeda-bedakan macam-macam

33 Kebenaran proposisi ini ialah ungkapan dari pembicara menyangkut kalimat imperatifnya

mempunyai suatu sinyal kebenaran dengan keadaan yang akan terjadi dan tindakan apa yang harus dilakukan dalam taraf interpretasi dari pendengar, seperti: pendengar memahami bahwa merokok menyebabkan sesuatu nantinya (bisa juga dalam konteks pada saat itu) dan dia harus melakukan tindakan sebagai tanda dia memahaminya.


(18)

27

pernyataan yang diungkapkan, yaitu pernyataan bersifat emipiris-objektif, subjektif dan normatif. Ia menggunakan ketiga hal ini sebagai dimensi-dimensi klaim kesahihan (Geltungsansprüche), di mana pernyataan-pernyataan setiap orang itu benar (wahr),

tepat (tichtig), atau jujur (wahrhaftig), dan di dalam praksis komunikasi sehari-hari apa

yang disebutnya klaim-klaim kesahihan ini diandaikan dengan begitu saja/tanpa

disadari. 34 Penjabarannya sebagai berikut:35

(1) Klaim validitas normatif (ketepatan): kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial. Dalam hal ini harus dibedakan antara validitas suatu tindakan atau norma yang mendasarinya dan klaim bahwa syarat-syarat bagi dipenuhinya valid. Orang yang meragukan validitas norma-norma yang ada harus memberikan alasan dan landasannya, baik itu secara moral-praktis maupun secara terang-terangan melawan kekuatan sosial. Klaim ini mempunyai daya jaminan yang kuat dari lawan bicaranya ketika pembicara mampu memberikan landasan dan alasan yang kuat.

“Seorang pembicara dapat memotivasi secara rasional seorang

pendengar untuk menerima tawaran tindak wicara karena –

berdasarkan kaitan internal antara validitas klaim yang valid,

dan penolakan kevalidan klaim – dia dapat memperoleh jaminan

bagi tersedianya, jika diperlukan, alasan-alasan meyakinkan yang akan membentuk kritik atas kevalidan klaim. Dengan demikian seorang pembicara memperoleh kekuatan yang mengikat/ mempersatukan tindakan ilokusionernya tidak dari validitas hal-hal yang dikatakan melainkan dari efek koordinasi jaminan yang ditawarkannya, tempat bagi kekuatan sanksi yang didorong secara empiris digantikan oleh kekuatan pendorong rasional untuk menerima jaminan pembicara bagi diterimanya

klaim validitas.”36

34 F. Budi Hardiman, Demokrasi Liberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’

dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas (Jogjakarta: Kanisius, 2009), 36.

35

Ibid., 301-316. Lih.juga F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Posmodernisme Menurut Jürgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, cet. Ke-4, 2012), 18.


(19)

28

(2) Klaim kebenaran: kesepakatan tentang dunia alamiah yang sedang terjadi dan objektif. Klaim ini berdasar atas suatu pengalaman subjektif yang terungkap dan berdasar atas kebenaran suatu proposisi. Ungkapan ini akan menjadi valid ketika seorang pendengar memahami suatu pengakuan dan dalam pemahaman itu ia mengetahui adanya syarat-syarat yang memungkinkan seseorang memahami ketidaksukaannya terhadap suatu kondisi yang ingin diciptakan oleh pembicara dalam perkataan dan maksudnya.

(3) Klaim kejujuran: kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang. Seorang pembicara bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya hanya dapat dipastikan di dalam konsistensi hal-hal yang dilakukannya, yaitu adanya konsistensi perilaku pada hal-hal tertentu.

Habermas mengatakan bahwa seseorang dapat menganalisis maksud orang-orang yang berinteraksi untuk sampai kepada pemahaman harus mulai dari posisi yang mengacu pada model percakapan. Oleh karena itu, ia memaparkan fungsi dari

percakapan seperti ini:37

a. Untuk membangun dan memperbarui hubungan antar pribadi, yang di dalamnya

pembicara menciptakan suatu hubungan dengan sesuatu di dunia tatanan sosial sebagai sesuatu yang legitim;

b. Untuk merepresentasikan (atau menduga) kondisi dan peristiwa yang di

dalamnya pembicara menciptakan hubungan dengan sesuatu di dunia keadaan yang sedang terjadi;


(20)

29

c. Untuk memperlihatkan pengalaman – representasi diri – yang di dalamnya

pembicara menciptakan hubungan dengan sesuatu di dunia subjektif tempat dia memiliki akses istimewa.

Kesepakatan yang tercapai secara komunikatif diukur berdasarkan tiga klaim kesahihan yang telah disajikan oleh Habermas di atas. Keberhasilan komunikasi tergantung pada kemampuan pendengar untuk menerima atau menolak klaim-klaim kesahihan itu. Seseorang yang menolak suatu tindak wicara yang sedang dipahami berarti sedang mempersoalkan salah satu klaim validitas. Jika ada penolakan dengan mengatakan “tidak,” sebenarnya pendengar sedang mengekspresikan fakta bahwa ucapan atau kalimat yang dikatakan pembicara belum memenuhi fungsinya yang telah

dipaparkan oleh Habermas.38

D. Proses Pengambilan Putusan

1. Menurut Jean – Jacques Rousseau

Dalam buku Kontrak Sosial,39 sifat alamiah – kebebasan – yang diusung oleh

Rousseau ini merupakan tujuan teknisnya. Pada kenyataannya yang mendasar, kesetaraan dan kesamaan haklah yang ia maksudkan dan upayakan dengan mempertaruhkan ide kebebasan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar atau alamiah ini tiap individu harus membuat suatu negara berdasarkan kontrak sosial.

38

Hardiman, Demokrasi …, 38.

39 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract and The First and Second Discourses (New

Haven & London: Yale University Press, 2002). Buku ini adalah gabungan dari buku The Discourse on the Sciences and Arts dan The Social Contract oleh Susan Dunn.


(21)

30

“Each of us puts in common his person and all

his power under the supreme direction of the general will; and in return each member

becomes an indivisible part of the whole.”40

Pada rumusan di atas ada istilah kehendak umum (volonté générale the

general will). Kehendak umum inilah yang akan menjadi tujuan dari proses pengambilan putusan. Pada keinginan pribadi ada dua komponen dasar yang dimiliki manusia, yaitu keinginan atau kehendak yang semata-mata memang bersifat pribadi sesuai dengan seleranya, dan keinginan yang merupakan sebagian dari kepentingan umum. Sebenarnya tidak ada orang yang keinginannya semata-mata bersifat egoistik

murni, melainkan juga ditemukan unsur kepentingan umum.41

Kehendak umum ini akan menjadi sebuah kesepakatan yang menciptakan suatu lembaga moral dan kolektif yang disebut negara. Dalam kesepakatan tersebut ada yang

dinamakan proses alienasi total tanpa syarat (aliénation sans reserve). Tiap individu

mendapatkan hak-haknya tanpa ada yang lebih unggul (superior) dan mereka masing-masing meninggalkan areal keinginan pribadinya untuk mematuhi kesepakatan secara mutlak, yaitu persyaratan yang akan sama dengan semua orang. Inilah yang dinamakan pemerintahan yang berdaulat. Artinya ada kedaulatan rakyat yang tidak terbatas, negara

adalah rakyat, dan rakyat adalah negara.42

Di sisi lain, selain menekankan kehendak umum, Rousseau juga tidak menutup kemungkinan dengan adanya beberapa suara terbanyak atau mayoritas yang disebut

40

Ibid., 164. Terjemahan bebasnya adalah masing-masing dari kita bersama-sama menyerahkan pribadi dan seluruh kuasanya di bawah pedoman tertinggi dari kehendak umum; dan dalam satu tubuh, menerima setiap warga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan.

41 Simon P.L Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman

Yunani hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 264. Lihat juga Rousseau, The Social…, Book I, Chapter VI.

42 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social

Circumtances from the Earliest Times to Present Day (London: George Allen and unwin, Ltd, Second Impression, 1947), 722. Lihat juga Rousseau, The social…, Book I, Chapter VI.


(22)

31

kehendak semua (volonté de tous the will of all). Kehendak semua ini merupakan

ancaman serius terhadap model negara Rousseau. Artinya, dalam pembentukan suatu negara akan ada pihak yang setuju dan pihak yang tidak setuju. Ia merancang langkah

yang perlu dilakukan untuk mengatasi keadaan yang demikian, yaitu, “jika ada

masyarakat yang berpihak (mayoritas) terhadap satu suara, mereka disarankan untuk memperbesar jumlahnya hingga mereka menjadi kehendak umum.”43

Konsepsi seperti ini dapat dipahami sebagai suatu ajang komunikasi berbekal informasi yang memadai untuk membuat perbedaan menjadi kecil dan lama-kelamaan di dalam komunikasi itu akan memunculkan kehendak umum, dan keputusan yang diambil selalu baik. Komunikasi itu meliputi pendapat-pendapat warga berdasar pada kepentingan pribadi, yang jelas berbeda-beda, akan terhapus dan yang tinggal hanyalah resultan yang sama, ada dalam tiap individu, atau disebut juga mewakili kepentingan

bersama.44

2. Menurut Pokok Tindakan Komunikatif Habermas

Berdasarkan refleksi atas beberapa teori para tokoh yang menjadi acuan, Habermas menyimpulkan bahwa tindakan antar manusia/interaksi sosial di dalam sebuah masyarakat pada dasarnya bersifat rasional. Sifat itu tampak pada kenyataan bahwa aktor mengorientasikan diri pada pencapaian pemahaman satu sama lain. Kata “pemahaman” di sini dapat berarti mengerti suatu ungkapan yang diberikan, atau bisa juga berarti persetujuan/konsensus, yang sering disebut sebagai pencapaian kesepakatan. Dengan kata lain, rasio komunikatif mengarahkan seluruh proses pemakaian bahasa, ungkapan-ungkapan non-verbal dan pengambil-alihan perspektif

43 Rousseau, The social…, 173. 44 Russel, History …, 724-25.


(23)

32

orang lain sedemikian rupa sehingga akhirnya dapat saling mengerti satu dengan yang lainnya.

Kesaling-mengertian ini adalah syarat mutlak pencapaian konsensus bebas

kekerasan, konsensus dicapai dengan penerimaan intersubjektif – tidak ada yang

dipengaruhi untuk suatu orientasi keberhasilan subjektif apapun.45 Seseorang yang

telah memperoleh kompetensi interaktif pada level tertentu akan membentuk suatu kesadaran moral pada level yang sama sejauh struktur motivasional ini tidak menghalanginya ketika berpegang pada struktur tindakan sehari-hari dan juga dalam

menyelesaikan konflik konsensual.46 Manusia memiliki dua orientasi tindakan, yaitu

pertama, tindakan yang berorientasi pada pencapaian sukses-strategis atau sering juga

disebut tindakan rasional-bertujuan; kedua, tindakan yang berorientasi pada pencapaian

konsensus atau tindakan komunikatif.47

Model tindakan rasional-bertujuan berorientasi mencapai hasil, dengan telah disusun rapi ke dalam bentuk tujuan-tujuan yang jelas. Model tindakan ini dibagi

menjadi dua, yaitu tindakan instrumental, yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu dalam konteks relasi dengan dunia fisik, di mana mencapai sesuatu

menggunakan aturan-aturan yang bersifat teknis; dan tindakan strategis, yang bertujuan

untuk mempengaruhi orang lain demi mencapai beberapa tujuan yang bersifat partikular

berdasarkan aturan-aturan pilihan rasional.48

Namun, lain halnya dengan tindakan komunikatif. Orientasi utama aktor tidak

diatur dengan kalkulasi egosentrisme keberhasilan, melainkan dengan tindakan-tindakan

45

Hardiman, Demokrasi …, 34-5.

46 Thomas McCathy, Teori Kritis Jürgen Habermas (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 448. 47 Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1…,285.


(24)

33

pencapaian pemahaman. Para aktor mengejar tujuan-tujuannya asalkan mereka dapat mengharmoniskan rencana tindakan mereka berdasarkan pada definisi situasi yang sama. Mereka mencapai persetujuan dan kesalingpahaman antara dua aktor atau lebih tentang “sesuatu” yang ada di dunia.49

Setiap aktor yang bertindak dengan komunikatif secara langsung sudah menerima berbagai klaim-klaim validitas di dalam ucapan dan tindakan, sehingga mereka mampu berargumentasi ketika validitas pernyataan mereka dipertanyakan. Suatu tindakan berbicara dapat dianggap sebagai tindakan komunikatif jika aktor-aktor

memiliki situasi perbincangan ideal dan klaim-klaim validitas telah terpenuhi.50

Dengan kata lain, konsensus tersebut hanya dapat dicapai melalui

persyaratan-persyaratan validitas.51

Arena diskursus untuk mencapai konsensus ini merupakan arena di mana setiap orang memandang diri mereka sebagai mahluk rasional yang mampu berargumentasi

atas pernyataan-pernyataan mereka. Inilah yang disebut sebagai posisi deliberatif, di

mana tiap orang bertindak rasional dan mengambil bagian dalam “kondisi keberpikiran.”52

Deliberatif mempunyai arti menimbang/musyawarah. Pengertian ini berada di konteks publik (politis). Hardiman mengatakan bahwa demokrasi liberatif lebih mementingkan prosedur dalam suatu diskursus dengan persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif. Kesemua ini keluar sebagai opini publik dan Habermas

49 Ibid., 286.

50 Pauline Johnson, Habermas: Rescuing the Public Sphere (New York: Routledge, 2006), 42. 51

Ibid.

52 Reza A. A. Watimena, Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-Habermas

(Jogjakarta: Kanisius, 2007), 106. LIhat juga Fred Rush (ed.), The Cambridge Companion to Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 200.


(25)

34

mempunyai cara untuk mengatasi opini mayoritas yang diklaim legitimitasnya menjadi

opini publik.53

Tujuan-tujuan kolektif yang disepakati lewat diskursus-diskursus etis politis pada akhirnya masih dipersoalkan dengan menghadapkan kepentingan-kepentingan di dalamnya dengan asas universalisasi. Diskursus tersebut disebut diskursus moral, karena di dalamnya para aktor berupaya untuk menguji kontribusi-kontribusi yang masuk dengan pertanyaan apakah kontribusi-kontribusi itu dapat diuniversalkan sebagai kepentingan bersama atau dapat dijadikan acuan etis-pragmatis. Diskursus moral tidak hanya menuntut kesediaan untuk meninggalkan preferensi-preferensi subjektif, melainkan juga kesediaan untuk melampaui perspektif yang dibatasi oleh etnosentrisme (mengambil jarak terhadap dunia kehidupan kultural dan konsepsi mereka tentang hidup yang baik). Dari sini timbullah perundingan-perundingan yang akan menemukan keseimbangan.

“Apakah yang harus dilakukan orang jika nilai-nilai atau

kepentingan-kepentingan yang didiskusikan bertentangan

sehingga konsensus tentangnya menjadi mustahil? Bila orang hendak melanjutkan komunikasi, orang harus mencari kompromi berbagai pihak dengan cara menoleransi berbagai

alasan atau keyakinan etis-politis dan menemukan

keseimbangan.”54

E. Kesadaran Kolektif Menurut Emile Durkheim

Asumsi umum paling fundamental yang mendasari pendekatan Durheim terhadap sosiologi adalah gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik

53 Hardiman, Demokrasi … , 128.

54 Ibid., 117. Lih. juga Reinhard Merkel, “Was ist das Recht? Jurgen Habermas: Faktizität und


(26)

35

individu lainnya. Menurut Durkheim, fakta sosial itu tidak dapat direduksi ke fakta

individu, melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial.55

Bagaimana gejala sosial itu dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar

individual (psikologis)? Ada tiga karakteristik dalam gejala sosial, pertama, gejala

sosial bersifat eksternal terhadap individu. Artinya cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar

kesadaran individu.56 Kedua, fakta sosial itu memaksa individu. Tipe-tipe perilaku dan

berpikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif, sesungguhnya kalau proses itu berhasil, maka individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu. Di sinilah letak kekuatan

fakta sosial.57 Tekanannya bergeser ke proses-proses di mana individu-individu

sebenarnya menciptakan dan mendarahdagingkan fakta sosial. Harapan normatif sebagai sesuatu yang benar dan pantas membuat individu layak secara pribadi menyesuaikan diri dengannya karena di dalamnya terdapat pola-pola kepribadian dasar yang sudah dikembangkan, sehingga bukan lagi menjadi respon terhadap paksaan dari

55 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1, yang diterjemahkan oleh Robert

M. Z. Lawang (Jakarta: Gramedia, 1994), 174.

56 Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, yang diterjemahkan oleh Sarah A.

Solovay dan John H. Mueller, dan George E. G. Catlin (edt.) (New York: Free Press, 1964), 2.


(27)

36

luar. 58Ketiga, fakta sosial itu milik bersama, bukan sifat individu merupakan hasil dari

sifat kolektifnya (akibat dari karakteristik yang kedua).59

Solidaritas sosial Durkheim menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan/ atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama juga diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, dan untuk menunjuk gejala ini, ia menyebutnya “representasi kolektif.”60

Durkheim menganalisa pengaruh/fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. ia menggunakan istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya.

Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang

rata-rata ada pada warga masyarakat itu.61 Warga masyarakat seperti ini merupakan

suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan juga menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama. Durkheim menekankan untuk indikator yang paling jelas dalam solidaritas mekanik ini adalah

ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat repressive. Hukum yang

dimaksud di sini didefinisikan sebagai suatu kekuatan sosial yang mencerminkan kemarahan kolektif karena suatu perilaku yang menyimpang, melakukan pelanggaran

58 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, yang diterjemahkan oleh Joseph

W. Swain (New York: Free Press, 1947), 62.

59

Ibid., 10.

60 Johnson, Teori …, 181.

61 Emile Durkheim, The Division of Labor in Society, yang diterjemahkan oleh George Simpson


(28)

37

moral sehingga membuat ancaman bagi dasar keteraturan sosial. Pembagian kerja pada

solidaritas sosial jenis ini bukan tidak ada pembagian kerja, melainkan minim.62

Kemudian, apa yang menyebabkan mereka mempunyai kesadaran solidaritas yang cukup tinggi bagi komunitas mereka sendiri? Penjelasan Durkheim dimulai dari penelitiannya mengenai lambang atau totem yang dipilih oleh masyarakat tertentu dan dianggap sakral. Totem ini hanya sebuah objek atau lambang di mana di dalamnya diletakkan refleksi dari yang religius, sehingga pemahaman selanjutnya ialah di mana

letak sumber religius itu sendiri.63

Durkheim mulai menjelaskan konsistensi pemahamannya melalui konsep masyarakat yang fungsional-struktural. Masyarakat terdiri dari beberapa individu yang mempunyai keterikatan di dalamnya, yang bersama mempunyai tujuan. Masyarakat tanpa individu tidak dapat mewujudkan tujuannya. Oleh karena itu, masyarakat perlu bekerjasama dengan individu-individu untuk mencapai tujuannya. Dalam proses menuju suatu pencapaian bersama ini individu dituntut untuk melupakan segala kepentingan pribadi.

Menjalankan proses ini dalam bentuk peraturan yang terkadang ada beberapa aturan tingkah laku bertentangan dengan keinginan atau insting dasariah dari beberapa individu, sehingga diperlukan pengorbanan. Dalam hal ini, Masyarakat mendapat rasa hormat dan respek yang paling utama. Masyarakat sebagai fungsional-struktural menggerakkan individu bukan karena ukuran baik-buruk, untung-rugi, melainkan

62 Johnson, Teori …, 183. Gambaran Durkheim tentang pelanggaran moral dalam masyarakat

primitif ini dinilai terlampau melebih-lebihkan kesatuan moral masyarakat primitif dan tingkat kepentingan dalam penyimpangan individu – Lih. Robert A. Nisbet, The Sociology of Emile Durkheim (New York: Oxford University Press, 1974), 128-32.


(29)

38

digerakkan oleh cara mereka menyadari dan memahami. Hal in disebabkan oleh

keadaan mental (mental states) seseorang dan sering disebut sebagai pengaruh moral.64

Namun di sisin lain, peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat itu ketika diterapkan secara luas kepada masing-masing individu memiliki respons di dalam setiap

pikirannya. Pada situasi ini disebut keadaan kesadaran individual (states of

consciousness). Akan tetapi, tidak dapat disangkal juga bahwa peraturan yang ada itu telah mendapat kekuatan dari representasi individual. Kekuatan masyarakat digunakan untuk melawan ketidakteraturan dan perpecahan, entah itu dalam bentuk tekanan moral atau fisik, yang semakin memperkuat dominasi. Pada situasi ini kekuatan masyarakat

disebut sebagai bagian dari pendapat (state of opinion).65

State of opinion ini merupakan representasi dari sesuatu yang ada di dalam diri masing-masing individu yang telah dibekali kekuatan dari mana mereka berasal. Kekuatan ini tetap disadari dan dirasakan oleh orang yang tidak mempunyai

kepentingan sekalipun. State of opinion ini membentuk otoritas moral, yang terkadang

menimbulkan tekanan sosial. Durkheim menjelaskan bahwa tekanan sosial ini dapat dirasakan melalui jaringan-jaringan mental. Pada kondisi seperti ini akan muncul ide bahwa di luar dirinya ada satu kekuatan moral yang sangat kuat, sehingga mereka

mengimajinasikannya sebagai suatu kekuatan eksternal dari dirinya.66 Selama analisa

saintifik belum mampu menyadarinya, manusia sadar bahwa ia berperilaku berdasarkan kekuatan itu, dan tetap tidak tahu kekuatan siapa dan dari mana. Kekuatan ini menjadi

64 Ibid., 157. 65 Ibid. 66

Durkheim memberi keterangan bahwa situasi seperti ini yang mendukung munculnya interpretasi mitologis, yang sebenarnya tidak perlu ada jikalau mereka mengetahui bahwa ini juga datang dari masyarakat. Akan tetapi, jika ini diperpanjang lagi akan timbul pertanyaan dari mana datangnya masyarakat itu sendiri.


(30)

39

bagian yang integral dari keberadaan manusia karena selalu bersentuhan dengan mental mereka.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tekanan sosial ini bukanlah suatu tekanan yang mempunyai pengaruh negatif. Dampak dari tekanan ini hanya dapat dirasakan ada momen kebersamaan yang menuntut agar individu tidak mengambil sikap sesuai dengan keinginannya, melainkan turut mengambil bagian tindakan yang telah disepakati dalam setiap pertemuan. Ketika sudah keluar atau selesai dari pertemuan tersebut, dapat kembali sebagai diri sendiri melakukan akivitas pribadi.

Dalam situasi ini mereka merasa ada yang mengontrol mereka. Di sini timbul dimensi sakral dalam masyarakat tersebut. Kekuatan itu tidak akan menjadi sakral ketika tidak lagi dipatuhi oleh individu-individu. Kekuatan itu disepakati oleh opini publik sebagai suatu kekuatan yang mengatur moralitas mereka dan mental mereka. Inilah kekuatan religius atau sakral. Tiap-tiap individu memiliki kesamaan dan kesetaraan dengan anggota masyarakatnya dan inilah yang mereka rasakan dan coba

ekspresikan melalui lambang atau simbol-simbol religius.67

Durkheim menggiring ke pemahaman tentang hubungan simbol sebagai perekat sosial dengan masyarakat itu sendiri, yaitu adanya ide tentang yang Suci. Solidaritas

mekanik memiliki ikatan sosial yang bersifat primordial “mekanik”, seperti

kekerabatan/ klan, kesukuan, dan komunitas. Dalam ikatan sosial itu sendiri, individu-individu datang berkumpul pada kesempatan upacara atau ritus-ritus untuk melakukan interaksi terhadap satu tujuan yang sama, Yang Suci, sehingga ada suatu peningkatan


(31)

40

emosional secara bertahap yang menjadi kuat dalam setiap individu karena adanya kesadaran bahwa semua orang lain sedang ikut dalam pengalaman yang sama.

Dalam pengalaman kolektif ini individu-individu merasa dirinya berada dalam satu suasana di mana hadirnya suatu kekuasaan yang luar biasa dengan mana mereka menghubungkan dirinya dengan intim sekali, merasakan pentingnya kekuasaan (kekuatan) yang transenden. Para anggota klan mempunyai satu kebutuhan untuk menghadirkannya bagi mereka sendiri dalam suatu bentuk yang dapat dilihat, dan untuk menjelaskannya kepada mereka sendiri. Inilah tujuan benda totem itu. Totem menjadi simbol kehidupan kolektif dan kekuasaan kelompok, dan dilihat oleh anggota-anggota

klan itu sebagai sumber kekuasaan luar biasa yang mereka alami.68

Pola kehidupan sosial masyarakat semakin mengalami perubahan. Tiap-tiap individu mulai merangkak melalui keputusan-keputusan pribadi yang tentunya berakibat pada fakta sosial yang ada. Perubahan-perubahan seperti ini menjadi hasil yang bernilai sosial dan sekaligus merupakan dasar dalam fungsionalisme modern. Oleh karena itu, pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini disebut sebagai solidaritas organik yang didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi, semakin bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja, dan mengakibatkan bertambahnya perbedaan di kalangan individu yang turut juga merombak kesadaran kolektif itu. Dasar keteraturan sosial (mekanik) berubah menjadi saling ketergantungan fungsional (organik), ini memicu semakin banyaknya bidang-bidang sebagai hasil dari


(32)

41

tingkatan kekompakan atau konsensus, yang sebenarnya juga mencerminkan pengaruh

dari kesadaran kolektif bersama.69

Dalam sistem organik ini kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya karena kesadaran kolektif di sini tidak begitu kuat, sehingga hukuman lebih bersifat rasional yaitu disesuaikan dengan parahnya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya pola saling ketergantungan yang mendasari solidaritas sosial itu. Hal ini dapat dilihat jelas melalui hukum-hukum kontrak, hukum-hukum kepemilikan, hukum perdagangan dan peraturan administratif

dan prosedur-prosedur lainnya.70

Konsensus moral dalam masyarakat modern yang kompleks ini tidak menghancurkan kesadaran kolektif bersama yang pernah ada. Sistem masyarakat seperti ini hanya mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan dalam kehidupan sehari-hari, artinya mulai diberi ruang lebih banyak untuk otonomi individu dan heterogenitas sosial. Kesadaran kolektif memberikan dasar-dasar moral yang tidak bersifat

kontraktual, yang mendasari hubungan-hubungan kontraktual.71

F. Simpulan Sementara

Tindakan seseorang awal mula berangkat dari tindakan individu yang mempunyai maksud dan tujuannya tertentu. Tujuan individu yang tidak berorientasi pada kepentingan umum (bagian dari tujuan umum) akan menjadi penghalang terbesar

69 Durkheim, The Division …, 173. 70 Johnson, Teori …, 184.


(33)

42

ketika satu individu menjalin hubungan sosial dengan individu yang lainnya. Penjalinan ini merupakan fokus penelitian Habermas. Manusia tidak hanya terjalin karena sesuatu yang praksis (kerja) di dalamnya, tetapi juga ada kesadaran rasional yaitu melalui interaksi sehari-hari (komunikasi).

Habermas dan Rousseau sama-sama mengedepankan unsur komunikatif untuk mencapai suatu konsensus dan mufakat. Kondisi dari diskursus diandaikan dalam situasi dan kondisi perbincangan yang ideal. Artinya diskursus ini tidak akan mencapai mufakat ketika tiap aktor tidak memiliki suatu konsepsi keberadaan situasi (konteks) yang sama. Perbincangan tidak akan pernah saling terhubung. Kemudian, kesadaran moral pribadi menjadi suatu kesadaran kolektif untuk suatu kerekatan sosial dan memiliki aspek-aspek di dalamnya sebagai kerekatan sosial yang benar-benar nyata dan menjadi acuan bersama.

Upaya-upaya pendekatan konseptual ini penulis bawa menjadi alat analisis untuk menyingkapkan maksud dan tujuan (alasan) dari para pendiri bangsa ketika mencapai kesepakatan bersama untuk mendasarkan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses panjang diskusi selama di sidang BPUPKI-PPKI akan menjadi saksi utama untuk menyingkapkan alasan-alasan potensial dari orang-orang yang mengikuti persidangan tersebut.


(1)

37

moral sehingga membuat ancaman bagi dasar keteraturan sosial. Pembagian kerja pada solidaritas sosial jenis ini bukan tidak ada pembagian kerja, melainkan minim.62

Kemudian, apa yang menyebabkan mereka mempunyai kesadaran solidaritas yang cukup tinggi bagi komunitas mereka sendiri? Penjelasan Durkheim dimulai dari penelitiannya mengenai lambang atau totem yang dipilih oleh masyarakat tertentu dan dianggap sakral. Totem ini hanya sebuah objek atau lambang di mana di dalamnya diletakkan refleksi dari yang religius, sehingga pemahaman selanjutnya ialah di mana letak sumber religius itu sendiri.63

Durkheim mulai menjelaskan konsistensi pemahamannya melalui konsep masyarakat yang fungsional-struktural. Masyarakat terdiri dari beberapa individu yang mempunyai keterikatan di dalamnya, yang bersama mempunyai tujuan. Masyarakat tanpa individu tidak dapat mewujudkan tujuannya. Oleh karena itu, masyarakat perlu bekerjasama dengan individu-individu untuk mencapai tujuannya. Dalam proses menuju suatu pencapaian bersama ini individu dituntut untuk melupakan segala kepentingan pribadi.

Menjalankan proses ini dalam bentuk peraturan yang terkadang ada beberapa aturan tingkah laku bertentangan dengan keinginan atau insting dasariah dari beberapa individu, sehingga diperlukan pengorbanan. Dalam hal ini, Masyarakat mendapat rasa hormat dan respek yang paling utama. Masyarakat sebagai fungsional-struktural menggerakkan individu bukan karena ukuran baik-buruk, untung-rugi, melainkan

62 Johnson, Teori …, 183. Gambaran Durkheim tentang pelanggaran moral dalam masyarakat primitif ini dinilai terlampau melebih-lebihkan kesatuan moral masyarakat primitif dan tingkat

kepentingan dalam penyimpangan individu – Lih. Robert A. Nisbet, The Sociology of Emile Durkheim (New York: Oxford University Press, 1974), 128-32.


(2)

38

digerakkan oleh cara mereka menyadari dan memahami. Hal in disebabkan oleh keadaan mental (mental states) seseorang dan sering disebut sebagai pengaruh moral.64

Namun di sisin lain, peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat itu ketika diterapkan secara luas kepada masing-masing individu memiliki respons di dalam setiap pikirannya. Pada situasi ini disebut keadaan kesadaran individual (states of consciousness). Akan tetapi, tidak dapat disangkal juga bahwa peraturan yang ada itu telah mendapat kekuatan dari representasi individual. Kekuatan masyarakat digunakan untuk melawan ketidakteraturan dan perpecahan, entah itu dalam bentuk tekanan moral atau fisik, yang semakin memperkuat dominasi. Pada situasi ini kekuatan masyarakat disebut sebagai bagian dari pendapat (state of opinion).65

State of opinion ini merupakan representasi dari sesuatu yang ada di dalam diri masing-masing individu yang telah dibekali kekuatan dari mana mereka berasal. Kekuatan ini tetap disadari dan dirasakan oleh orang yang tidak mempunyai kepentingan sekalipun. State of opinion ini membentuk otoritas moral, yang terkadang menimbulkan tekanan sosial. Durkheim menjelaskan bahwa tekanan sosial ini dapat dirasakan melalui jaringan-jaringan mental. Pada kondisi seperti ini akan muncul ide bahwa di luar dirinya ada satu kekuatan moral yang sangat kuat, sehingga mereka mengimajinasikannya sebagai suatu kekuatan eksternal dari dirinya.66 Selama analisa saintifik belum mampu menyadarinya, manusia sadar bahwa ia berperilaku berdasarkan kekuatan itu, dan tetap tidak tahu kekuatan siapa dan dari mana. Kekuatan ini menjadi

64 Ibid., 157. 65 Ibid. 66

Durkheim memberi keterangan bahwa situasi seperti ini yang mendukung munculnya interpretasi mitologis, yang sebenarnya tidak perlu ada jikalau mereka mengetahui bahwa ini juga datang dari masyarakat. Akan tetapi, jika ini diperpanjang lagi akan timbul pertanyaan dari mana datangnya masyarakat itu sendiri.


(3)

39

bagian yang integral dari keberadaan manusia karena selalu bersentuhan dengan mental mereka.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tekanan sosial ini bukanlah suatu tekanan yang mempunyai pengaruh negatif. Dampak dari tekanan ini hanya dapat dirasakan ada momen kebersamaan yang menuntut agar individu tidak mengambil sikap sesuai dengan keinginannya, melainkan turut mengambil bagian tindakan yang telah disepakati dalam setiap pertemuan. Ketika sudah keluar atau selesai dari pertemuan tersebut, dapat kembali sebagai diri sendiri melakukan akivitas pribadi.

Dalam situasi ini mereka merasa ada yang mengontrol mereka. Di sini timbul dimensi sakral dalam masyarakat tersebut. Kekuatan itu tidak akan menjadi sakral ketika tidak lagi dipatuhi oleh individu-individu. Kekuatan itu disepakati oleh opini publik sebagai suatu kekuatan yang mengatur moralitas mereka dan mental mereka. Inilah kekuatan religius atau sakral. Tiap-tiap individu memiliki kesamaan dan kesetaraan dengan anggota masyarakatnya dan inilah yang mereka rasakan dan coba ekspresikan melalui lambang atau simbol-simbol religius.67

Durkheim menggiring ke pemahaman tentang hubungan simbol sebagai perekat sosial dengan masyarakat itu sendiri, yaitu adanya ide tentang yang Suci. Solidaritas mekanik memiliki ikatan sosial yang bersifat primordial “mekanik”, seperti kekerabatan/ klan, kesukuan, dan komunitas. Dalam ikatan sosial itu sendiri, individu-individu datang berkumpul pada kesempatan upacara atau ritus-ritus untuk melakukan interaksi terhadap satu tujuan yang sama, Yang Suci, sehingga ada suatu peningkatan


(4)

40

emosional secara bertahap yang menjadi kuat dalam setiap individu karena adanya kesadaran bahwa semua orang lain sedang ikut dalam pengalaman yang sama.

Dalam pengalaman kolektif ini individu-individu merasa dirinya berada dalam satu suasana di mana hadirnya suatu kekuasaan yang luar biasa dengan mana mereka menghubungkan dirinya dengan intim sekali, merasakan pentingnya kekuasaan (kekuatan) yang transenden. Para anggota klan mempunyai satu kebutuhan untuk menghadirkannya bagi mereka sendiri dalam suatu bentuk yang dapat dilihat, dan untuk menjelaskannya kepada mereka sendiri. Inilah tujuan benda totem itu. Totem menjadi simbol kehidupan kolektif dan kekuasaan kelompok, dan dilihat oleh anggota-anggota klan itu sebagai sumber kekuasaan luar biasa yang mereka alami.68

Pola kehidupan sosial masyarakat semakin mengalami perubahan. Tiap-tiap individu mulai merangkak melalui keputusan-keputusan pribadi yang tentunya berakibat pada fakta sosial yang ada. Perubahan-perubahan seperti ini menjadi hasil yang bernilai sosial dan sekaligus merupakan dasar dalam fungsionalisme modern. Oleh karena itu, pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini disebut sebagai solidaritas organik yang didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi, semakin bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja, dan mengakibatkan bertambahnya perbedaan di kalangan individu yang turut juga merombak kesadaran kolektif itu. Dasar keteraturan sosial (mekanik) berubah menjadi saling ketergantungan fungsional (organik), ini memicu semakin banyaknya bidang-bidang sebagai hasil dari


(5)

41

tingkatan kekompakan atau konsensus, yang sebenarnya juga mencerminkan pengaruh dari kesadaran kolektif bersama.69

Dalam sistem organik ini kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya karena kesadaran kolektif di sini tidak begitu kuat, sehingga hukuman lebih bersifat rasional yaitu disesuaikan dengan parahnya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya pola saling ketergantungan yang mendasari solidaritas sosial itu. Hal ini dapat dilihat jelas melalui hukum-hukum kontrak, hukum-hukum kepemilikan, hukum perdagangan dan peraturan administratif dan prosedur-prosedur lainnya.70

Konsensus moral dalam masyarakat modern yang kompleks ini tidak menghancurkan kesadaran kolektif bersama yang pernah ada. Sistem masyarakat seperti ini hanya mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan dalam kehidupan sehari-hari, artinya mulai diberi ruang lebih banyak untuk otonomi individu dan heterogenitas sosial. Kesadaran kolektif memberikan dasar-dasar moral yang tidak bersifat kontraktual, yang mendasari hubungan-hubungan kontraktual.71

F. Simpulan Sementara

Tindakan seseorang awal mula berangkat dari tindakan individu yang mempunyai maksud dan tujuannya tertentu. Tujuan individu yang tidak berorientasi pada kepentingan umum (bagian dari tujuan umum) akan menjadi penghalang terbesar

69 Durkheim, The Division …, 173. 70 Johnson, Teori …, 184.


(6)

42

ketika satu individu menjalin hubungan sosial dengan individu yang lainnya. Penjalinan ini merupakan fokus penelitian Habermas. Manusia tidak hanya terjalin karena sesuatu yang praksis (kerja) di dalamnya, tetapi juga ada kesadaran rasional yaitu melalui interaksi sehari-hari (komunikasi).

Habermas dan Rousseau sama-sama mengedepankan unsur komunikatif untuk mencapai suatu konsensus dan mufakat. Kondisi dari diskursus diandaikan dalam situasi dan kondisi perbincangan yang ideal. Artinya diskursus ini tidak akan mencapai mufakat ketika tiap aktor tidak memiliki suatu konsepsi keberadaan situasi (konteks) yang sama. Perbincangan tidak akan pernah saling terhubung. Kemudian, kesadaran moral pribadi menjadi suatu kesadaran kolektif untuk suatu kerekatan sosial dan memiliki aspek-aspek di dalamnya sebagai kerekatan sosial yang benar-benar nyata dan menjadi acuan bersama.

Upaya-upaya pendekatan konseptual ini penulis bawa menjadi alat analisis untuk menyingkapkan maksud dan tujuan (alasan) dari para pendiri bangsa ketika mencapai kesepakatan bersama untuk mendasarkan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses panjang diskusi selama di sidang BPUPKI-PPKI akan menjadi saksi utama untuk menyingkapkan alasan-alasan potensial dari orang-orang yang mengikuti persidangan tersebut.


Dokumen yang terkait

Bab 1 Berkomitmen Terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara

0 9 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB IV

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB V

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB II

0 6 99

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kemanusiaan Pancasila Perspektif Sukarno T2 752012006 BAB II

0 0 29

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ADMINISTRASI_NEGARA ADMINISTRASI_NEGARA

0 0 7