Analisa Terhadap Alasan Para Pendiri Negara dalam Menerima Pancasila

111

B. Analisa Terhadap Alasan Para Pendiri Negara dalam Menerima Pancasila

Telah penulis kemukakan pada bab III mengenai Pancasila dalam dokumen- dokumen sejarah. Pancasila secara kronologis mengalami perjalanan panjang untuk menjadi yang sesuai dengan kepribadian dan rasa kebangsaan rakyat Indonesia. Perjalanan itu menjadikannya mengalami tiga tahap dari awal lahirnya sampai rapat sidang PPKI, yaitu: 1 dalam pidato 1 Juni 1945; 2 dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian dijadikan naskah Rancangan Pembukaan UUD 1945; 3 dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Pertama , dalam pidato 1 Juni 1945 Soekarno mencetuskan ide tentang Pancasila sebagai landasan atau dasar negara. Ide Soekarno tentang Pancasila ini tidak dapat dihindari dari pengalaman sosio-historis kehidupannya dan paham-paham yang mempengaruhi pola pikirnya. Pola pikir Soekarno sedikit-banyak terpengaruh oleh Mitologi Jawa yang memuat kepercayaan tentang Ratu Adil, yang berkenaan dengan frustasi, harapan, dan kedatangan juru selamat. Situasi penjajahan pada masa itu yang sangat membuat rakyat menderita dan membentuk pengharapan kepada datangnya keadilan dan kebebasan. Selain itu, Soekarno menawarkan Pancasilanya dengan berdalih pada pemahamannya mengenai Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Ketiga paham ini merupakan nyawa pergerakan rakyat. Di satu sisi rakyat sama-sama menyadari penjajahan yang terjadi di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu keinsafan rakyat bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Pada lain sisi Soekarno memahami agama yang ia anut ialah agama yang mendukung pergerakan-pergerakan rakyat yang nasionalistis, yang secara nasionalis dan sosialis selalu anti-kolonialisme. Sedangkan di 112 pihak lainnya Soekarno menemukan paham sosialis yang menentang penjajahan, borjuasi, dan kapitalisme yang ada dalam diri si penjajah. Soekarno sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang pokok sebagai cita-cita persatuan nasionalnya. Satu-satunya kelebihan yang dimiliki Indonesia ketika berhadapan dengan penjajah adalah kelebihannya dalam jumlah penduduk, pemanfaatan ini bergantung pada persatuan nasional. Melalui paparan ini, tindakan Soekarno mengusung Pancasila penulis yakini adanya relasi antara aktor dengan keadaan yang sedang terjadi pada saat itu. Pancasila pada 1 Juni ini merupakan klaim validitas kebenaran dan klaim kejujuran. Klaim validitas kebenaran ini dimotori oleh tindakan teleologis oleh Soekarno yang bertindak strategis dengan membekali dirinya melalui kemampuan kognitif untuk membentuk keyakinan tentang segala keadaan yang melalui persepsinya sendiri dan mengembangkan maksud-maksudnya dengan tujuan mewujudkan hal-hal yang diinginkannya dalam sistem pengambilan keputusan. Klaim validitas kejujuran dapat dilihat ketika Soekarno menjelaskan kelima sila ini berdasarkan pergumulan rakyat Indonesia. Klaim validitas kejujuran ditekankan melalui dua sisi, yaitu perjumpaan dan pertunjukkan. Pada aspek perjumpaan, Soekarno di sini sebagai aktor yang menampilkan diri di hadapan sidang dengan menampilkan penilaian subjektivitasnya. Hal ini mengakibatkan pembentukan ekspresi pengalaman sendiri melalui ketiga –isme yang diusung Soekarno. Ide ini akan menjadi konstitutif bagi interaksi sosial karena Pancasila yang dicetuskan Soekarno ini memberikan ruang bagi tiap orang Indonesia untuk berjumpa satu sama lain. Pada aspek pertunjukkan atau penampilan diri, Soekarno sebagai aktor mengekspresikan pengalaman yang 113 dimilikinya sehingga nyata jelas bahwa Pancasila yang dicetuskan Soekarno merupakan asli pemikiran Soekarno. Pancasila pada 1 Juni belum sampai mencapai kemufakatan yang menjadi klaim validitas normatif karena pada sidang pertama BPUPKI, yang diakhiri dari pidato Soekarno ini, tidak ada perumusan dasar negara apa yang hendak digunakan. Akan tetapi, panitia kecil yang dipilih oleh Ketua Radjiman menuntaskan perumusan ini dan diberitakan ke forum pada sidang selanjutnya. Menurut pengakuan beberapa tokoh yang mengatakan bahwa panitia kecil tersebut dibentuk untuk mengolah Pancasila Soekarno menjadi rumusan dasar negara, dapat diartikan sebagai adanya klaim validitas normatif “sementara”. Tidak ada catatan dari para pendiri bangsa yang berkeberatan untuk merumuskan Pancasila yang diusung oleh Soekarno pada tugas panitia kecil itu. Soekarno, dalam tinjauan Habermas telah melakukan klaim validitas kejujuran dan klaim validitas kebenaran. Kedua , dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian dijadikan naskah Rancangan Pembukaan UUD 1945. Naskah politik ini lebih dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Menurut data yang penulis peroleh bahwa dalam rapat Panitia Sembilan ini ada beberapa masukan bagi Pancasila Soekarno, seperti: perpindahan urutan sila-sila Pancasila yang terutama pada prinsip Ke-Tuhanan dan penambahan anak kalimat pada prinsip Ke-Tuhanan. Bunyinya menjadi yang tertera sebagai berikut: 1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya; 2. menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 114 4. dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Hasil kompromi pada Piagam Jakarta ini merupakan kesatuan gagasan terhadap perbedaan pendapat antara golongan Islam dan Kebangsaan. Kata kompromi ini pertama kali dilontarkan pertama kali oleh Ketua Panitia, Soekarno ketika menghadapi pertanyaan Latuharhary yang juga sempat ditanggapi oleh peserta sidang lain sebelumnya. Kompromis merupakan proses persilangan pendapat yang telah mendapat suatu persetujuan, jalan damai. Sinyal-sinyal adanya kompromi ini sudah ada pada perumusan Pancasila pertama pada pidato Soekarno. Sebelum pidato Soekarno, sudah ada lebih dulu beberapa tokoh yang mengusulkan dasar negara dengan rangkaiannya mendasarkan pada ideologiajaran Islam dan negara kesatuan. Soekarno jeli melihat permasalahan ideologis ini sehingga ia memasukkan idegagasan kompromis pada prinsip ketiga, di mana ia mengatakan: “dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.” Pada kajian berikutnya, penulis beranggapan bahwa idegagasan kompromis Soekarno pada prinsip ketiga ini tidak serta-merta memuaskan pihak Islam, sehingga pada Piagam Jakarta ditambah beberapa kalimat lagi yang menunjukkan ide Islam. Artinya, di dalamnya ada persetujuan aras kompromis yang dimufakati dengan pertimbangannya, yaitu isu mayoritas penduduk. Pada taraf Piagam Jakarta ini, Pancasila bukan merupakan tindakan komunikatif. Dapat dikatakan hampir karena harus diakui adanya perundingan di dalam panitia 115 sembilan yang mencari kompromi berbagai pihak dengan cara menoleransi berbagai alasankeyakinan etis-politis. Dalam hal ini keseimbangan ditemui karena adanya kompromi tersebut. Akan tetapi, ide mayoritas di dalamnya tidak menjadikan Piagam Jakarta ini model tindakan yang bebas tekanan, sama rata sama rasa. Artinya, ada yang ditonjolkan salah satu pihak dalam institusional, yaitu pihak Islam. Jadi Piagam Jakarta ini merupakan tindakan model teleologis karena orientasinya pada tujuan keputusan dengan memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat, dalam hal ini ialah ide mayoritas penduduk klaim kebenaran. Pancasila dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945 ini diberitakan ke forum agar mendapat berbagai tanggapan dan lekas diterima untuk menjadi Pembukaan UUD. Perdebatan yang paling menonjol dalam sidang BPUPKI ialah mengenai negara dan agama, a.l. sebagai berikut: a. Soekarno. Menurut teori Habermas, Soekarno melakukan tindakan rasionalitas- bertujuan, artinya alasannya menerima Piagam Jakarta ini sebagai alasan ideologinya yang nasionalis, yang menjadi tujuan dasarnya. b. Agoes Salim. Menurut teori Habermas, Salim melakukan tindakan rasionalitas- bertujuan dengan ide nasionalisnya dan ia meyakini bahwa Piagam Jakarta ini menghasilkan model tindakan yang diatur secara normatif. Piagam Jakarta diharapkan oleh Salim sebagai wadah untuk pemenuhan perilaku terhadap norma yang disepakati. Tidak mendeskriminasikan golongan lain, dengan kalimatnya: “Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?” c. Wachid Hasjim. Menurut teori Habermas, Hasjim melakukan tindakan teleologis yang memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat. Sarana 116 tersebut adalah Piagam Jakarta sebagai rancangan konstitusi, dan penerapannya melalui pemasukan ideologi Islam di dalamnya. d. Hoessein Djajadiningrat. Menurut teori Habermas, Djajadiningrat melakukan koordinasi tindakan, untuk sebelum terjadinya tindakan komunikatif. Setiap pertanyaannya melalui tujuan spesifik menurut situasi dan keadaan, sesuai dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul. Pencapaian tujuan yang ia maksudkan mengidentifikasikan sebuah objek itu harus tergantung kepada situasi karena tidak bisa lepas dari konteks. Selain itu, makna perilaku melalui peran fungsional yang dimainkan dalam sistem pola perilaku dapat memahami simbol yang sama dengan makna yang sama dalam konteksnya. Artinya dengan penduduk mayoritas Islam, bagi Djajadiningrat kemungkinan besar akan mewujudkan Pasal 4 ayat 2 tanpa mencantumkannya di dalam batang tubuh UUD. e. Ki Bagoes Hadikoesoemo. Menurut teori Habermas, Hadikoesoemo telah melakukan tanda-tandasinyal-sinyal model tindakan yang diatur secara normatif. Segala yang diputuskan dalam sidang akan menjadi kesepakatan yang siap dijalankan pada konteks sosial Indonesia. Ia melihat adanya pertanda perpecahan ketika dasar negara yang dipilih tidak berada pada posisi yang jelas sehingga menimbulkan kerancuan dalam koordinasi tindakan tiap individu. f. Abikoesno. Menurut teori Habermas, Abikoesno mengambil tindakan teleologis dalam melihat perumusan Piagam Jakarta. Kompromi final dari rapat panitia sembilan dirasa telah termasuk dalam proses perhitungan sarana dan langkah- langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama. 117 g. Soepomo. Menurut teori Habermas, orientasi Soepomo kepada persatuan nasional ini menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis yang mengarah kepada model tindakan komunikatif. Bagi Soepomo panitia sembilan merupakan arena diskursus untuk mencapai konsensus. Arena di mana setiap orang memandang diri mereka sendiri sebagai mahluk rasional yang mampu berargumentasi atas pernyataan mereka. Setelah keputusan Piagam Jakarta dibuat maka itu adalah hasil keputusan kolektif pada saat itu. h. Yamin. Menurut teori Habermas, orientasi Yamin kepada persatuan nasional ini menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis. Bagi Yamin panitia sembilan merupakan ajang kompromi untuk mencapai konsensus. i. Mohammad Hatta. Menurut teori Habermas, ideologi kebangsaan Hatta berada pada posisi pengajuan klaim-klaim yang mengarah kepada model tindakan komunikatif. Hatta pernah angkat bicara ketika ada diskusi yang berkaitan dengan agama dalam sidang BPUPKI, yang menyatakan ketegasannya bahwa ia tidak sepakat dibentuk negara Islam. j. Abdul Fatah Hasan. Menurut teori Habermas, tindakan A.F. Hasan dapat dikategorikan sebagai tindakan teleologis. A.F. Hasan menggunakan model tindakan strategis yang memperhitungkan sarana. k. Pratalykrama. Tokoh ini juga memiliki gaya pemikiran yang sama dengan A.F. Hasan. Pratalykrama dalam kategori teori Habermas termasuk melakukan tindakan strategis, di mana ia bertindak berdasar aspek aturan-aturan pilihan rasional dalam mempengaruhi keputusan lawan yang rasional. l. Masjkoer. Menurut teori Habermas, hal ini merupakan koordinasi tindakan. Tindakan sosial dapat dirujuk melalui mekanisme koordinasi tindakan individu 118 dengan apa relasi sosialnya didasarkan kepada kepentingan semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif. m. Moezakir. Moezakir berpikir tentang kepentingan ideologi persatuan-kesatuan dan politik agar tidak terjadi kerancuan dalam menjalani pemerintahan dan bertangung jawab kepada rakyat. Menurut teori Habermas, Moezakir ini mengambil model tindakan koordinasi. n. Ahmad Sanoesi. Menurut teori Habermas, Sanoesi mengambil tindakan model proses tindakan komunikatif koordinasi tindakan. Sanoesi melakukan interpretif keadaan pada sidang rapat dan menginterpretasikannya menjadi mekanisme pengoordinasian tindakan agar bagaimana negara Indonesia ke depannya sehingga permintaannya agar proses pengambilan keputusan pada saat itu tidak tergesa-gesa, membuatnya menjadi salah satu pendiri negara yang mempunyai pemikiran model tindakan komunikatif, Sanoesi penulis hargai sebagai pendiri negara yang menekankan pentingnya mufakat bukan dengan vote . Pancasila pada Piagam Jakarta ini telah disepakati sebagai hasil kompromis antara kedua pihak antara golongan Islam dan kebangsaan. Jikalau dilihat dengan seksama, ternyata perselisihan paham antara kedua golongan ini tidak hanya terjadi di dalam tubuh panitia sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Perselisihan paham itu pun juga ada dalam tubuh peserta sidang BPUPKI. Namun, kedua golongan ini sama-sama memiliki rasa superioritas bagi terbentuknya suatu negara yang akan keluar dari cengkeraman penjajahan. Rasa superioritas ini yang terkadang dapat disalahartikan oeh beberapa pendiri bangsa ketika mengambil bentuk dasar negara apa yang akan digunakan. Tidak dapat dipungkiri 119 bahwa pola dasar pemikiran mereka untuk bangsa yang sebesar Indonesia dengan jumlah terbanyak penduduknya, dan salah satu golongan terpaut besar kuantitasnya hingga 90-95, ialah mengambil bentuk negara berdasar atas satu agama atau golongan. Pada awal perumusan Piagam Jakarta, Soekarno memilih sembilan orang yang sudah sekaligus menjadi wakil dari dua pihak golongan. Harapan Soekarno dalam perumusan ini ialah benar-benar menjadi kompromis di antara kedua pihak tersebut. Namun, begitu disajikan di forum persidangan BPUPKI hal ini tidak dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah dirembukkan dalam panitia sembilan. Momen ini dapat dikategorikan sebagai masih adanya pola diri yang masih membekali dirinya sendiri dengan maksud-maksud tertentu merujuk kapada tercapainya pemahaman. Ketika dipetakan menurut jenis-jenis tindakannya, tindakan teleologis-lah yang paling banyak terlontar di percakapan sidang yang secara timbal balik saling memengaruhi dan akhirnya membentuk kesepakatan sidang pada 16 Juli 1945. Kesepakatan yang demikian tidaklah gagal. Kesepakatan demikian sangat memerlukan tenaga ekstra dalam pelaksanaannya. Kesadaran tentang komplementaris sungguh dibutuhkan demi menjaga validitas normatif yang telah terbentuk. Namun, kesadaran komplementaris ini menimbulkan kompetitif rasional dalam bersosialisasi yang membuat posisi mereka tidak menentu, seperti ada yang merasa di atas sebagai warga kelas satu, sedangkan yang lain merasa menjadi substitusi sebagai warga kelas dua. Pada akhir kesepakatan Piagam Jakarta ini pergolakan di tubuh peserta sidang BPUPKI ini semakin terasa dan semua itu berputar pada: 1 hal-hal teknis yang akan dilakukan dan terjadi di masyarakat ketika Piagam Jakarta itu digunakan sebagai dasar konstitusi negara ketika ada permakluman bagi salah satu golongan yang mendapat hak 120 istimewa masuk dalam UUD; dan 2 Piagam Jakarta ini menjadi diskriminatif dalam memperlakukan rakyat Indonesia. Piagam Jakarta ini dapat ditinjau berdasar teori tindakan komunikatif. Sebelum terjadinya tindakan komunikatif, setiap orang membekali dirinya sendiri dengan pola tindakan sendiri-sendiri. Pada titik peralihan pertama relasi yang diciptakan bukan relasi kepada antar pribadi, melainkan relasi yang merujuk kepada tercapainya pemahaman di dalam bahasa. Artinya aktivitas yang bertujuan dari subjek yang bertindak sendiri-sendiri. Tercapainya pemahaman dalam bahasa direpresentasikan pada model subjek yang bertindak secara teleologis, yang secara timbal balik saling memengaruhi, yaitu tindakan rasional-bertujuan oleh tindakan-tindakan individu yang diorientasikan pada harapan untuk mencapai pemahaman demi suatu makna yang dimaksud. Tindakan sosial dapat dibedakan menurut mekanisme koordinasi tindakan individu, misalnya: apakah suatu relasi sosial didasarkan pada posisi kepentingan semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan cara melakukan validitas yang didasarkan pada kesepakatan. Interaksi yang didasarkan pada kepentingan yang saling melengkapi tidak hanya berbentuk adat kebiasaan, namun juga pada level perilaku kompetitif rasional, di mana partisipan telah membentuk suatu kesadaran yang jelas tentang komplementaritas melengkapi sekaligus ketidakmenentuan posisi kepentingan mereka sendiri. Inilah yang disebut sebagai masalah koordinasi tindakan. Jadi menurut pisau analisa Habermas, kesepakatan Pancasila pada tataran ini belum mencapai model tindakan komunikatif karena beberapa alasan yang telah penulis kemukakan di atas. 121 Dalam pisau analisa Rousseau, kesepakatan dalam Piagam Jakarta ini merupakan the will of all . Hasil kompromis yang dijunjung tinggi oleh beberapa tokoh pendiri bangsa dalam persidangan BPUPKI terlihat hanya berlandaskan alasan bahwa ini adalah hasil kompromis dua pihak golongan yang sama-sama telah disepakati dan diterima dengan terbuka. Hasil kompromis ini mengalami beberapa kali mentah kembali ke dalam perdebatan. Ideologi paham ke-Islaman menjadi ideologi yang menempati posisi sentral. Bahkan untuk memperkuat alasan mengapa ideologi ini menempati posisi sentral dalam perdebatan ialah dikarenakan jumlah penduduk Islam di Nusantara terpaut jauh perbedaannya mencapai 90-95. Isu mayoritas ini terus didengungkan sehingga setiap ada pertanyaan tentang masuknya ideologi Islam dalam Piagam Jakarta seolah-olah diperhadapkan dengan 90-95 rakyat. Lain halnya lagi ketika pengaruh ideologi Islam masuk dalam Rancangan Pembukaan UUD, ada beberapa tokoh yang menghendaki sampai ke dalam Perancangan Batang Tubuh UUD juga disusun segala hal yang berhubungan dengan ke-Islaman. Sebenarnya perjalanan suasana rapat ini dapat dipahami sedikit-banyaknya ketika membaca risalah sidang BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945, di mana ada keluar perkataan di dalamnya bahwa suasana pada saat itu ditakutkan sampai kepada suasana yang berbau agama. 1 Suasana yang menjurus kepada rasialisme ini segera dihadang oleh pendapat Hadikoesoemo dan beberapa tokoh lainnya hingga mencapai sebuah perkataan: “kalau ideologie Islam tidak diterima, tidak diterima Jadi, nyata negara ini tidak berdiri atas agama Islam dan negara akan netral…. Jangan diambil sedikit kompromis … untuk keadilan dan kewajiban tidak ada kompromis, tidak ada…. 1 Istilah “berbau agama” ini merupakan pernyataan Sanoesi menanggapi perdebatan sengit pada tanggal 15 Juli 1945. 122 Siapa yang mufakat yang berdasar Islam, minta supaya menjadi satu negara Islam. Kalau tidak, harus netral terhadap agama. Itulah terang- terangan, itulah yang lebih tegas, kalau-kalau sudah nyata netral jangan mengambil-ambil perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai ujung-ujung saja. ” 2 Begitu nyata dalam hal ini usul beberapa tokoh ini merupakan sebagian dari kepentingan umum. Lain halnya dengan beberapa tokoh lainnya yang mempertahankan ideologi Islam dengan cara fanatik dalam sidang rapat BPUPKI, mereka mewakili sebagian dari kepentingan orang banyak. Kesepakatan hasil kompromis ini diakhiri oleh Soekarno yang meminta berbagai pengorbanan di kedua pihak dengan masuknya ideologi Islam di dalamnya. Kesepakatan semacam ini merupakan kesepakatan yang didapat melalui suara mayoritas – secara implisit. Kesepakatan ini akan memperbesar jumlahnya untuk dapat disepakati oleh semuanya melalui komunikasi atau lobying . Dalam hal ini, Piagam Jakarta ini seandainya menjadi konstitusi dalam RI, maka akan menjadi tindakan yang diatur secara normatif bagi yang tidak sepakat bagian kecil di dalam NKRI dan secara tidak sadar akan menjadi “seolah-olah” kepentingan bersama. Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, yaitu proses deliberasi sangat nyata selama persidangan BPUPKI membahas Piagam Jakarta ini. Tujuan-tujuan kolektif yang selama sidang disepakati melalui diskursus-diskursus etis-politis, di mana masih dipersoalkan dengan menghadapkan kepentingan-kepentingan di dalamnya dengan asas universalisasi. Oleh karena banyak perdebatan, sanggahan, dan penerimaan selama sidang, para peserta sidang berupaya untuk menguji kontribusi- kontribusi yang masuk dengan pertanyaan apakah kontribusi-kontribusi itu dapat 2 Ini adalah pernyataan Ki Bagoes Hadikoesoemo. 123 dijadikan acuan bersama sebagai kepentingan bersama acuan etis-pragmatis. Diskursus seperti ini diharapkan sebagai diskursus moral karena pengujian tersebut diharapkan mengarahkan kepada kesepakatan yang melampaui perspektif yang dibatasi etnosentrisme, sehingga perundingan-perundingan itu akan menemukan keseimbangan bagi NKRI. Akan tetapi, hal ini juga harus diwaspadai terhadap opini mayoritas yang diklaim legitimitasnya menjadi opini publik. Oleh karena itu, diperlukan perundingan- perundingan yang sangat deliberatif karena dalam posisi deliberasi lebih dipentingkan prosedur dalam suatu diskursus dengan persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif. Piagam Jakarta ini merupakan deliberasi yang tidak seimbang. Banyaknya perundingan-perundingan tentang keberadaan tujuh kata dan beberapa ideologi Islam dalam Batang Tubuh UUD. Perundingan-perundingan ini dianggap tidak sesuai dengan hasil kompromis karena keberatan selanjutnya ada di pihak Islam yang sudah menyepakati bulat-bulat pada rapat panitia sembilan jikalau keberadaan ketujuh kata tersebut dihilangkan. Kompromis ulang yang dibacakan oleh Soekarno pada 16 Juli 1945 merupakan kesepakatan kali kedua setelah Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Artinya beberapa perundingan dari para pendiri negara mengalami perkembangan. Alasan para pendiri negara menerima kompromis ulang 16 Juli ini lebih condong kepada menyepakati karena toh sebenarnya akar pembicaraan mengenai keyakinan agama tidak dapat disentuh secara mendalam, sehingga aras pemikiran atau pemahaman yang dicapai hanya pada tataran sosiologis kesepakatan sosial untuk mencapi hidup bersama dan merdeka – alasan nasionalisme. Soekarno dalam hal ini melakukan tindakan teleologis dengan memanfaatkan ilokusioner untuk menciptakan pemahaman baru bagi peserta 124 sidang bahwa kemerdekaan pada saat itu lebih penting ketimbang urusan keyakinan yang tidak berujung dalam perdebatan sidang. Dalam teori Habermas, pada tanggal 16 Juli ini para pendiri negara telah mencapai kesepakatan atau konsensus ketika ditandai dengan tidak adanya keberatan pada sidang. Namun, apakah berarti telah nyata menjadi sesuatu yang normatif bagi Indonesia Merdeka? Ternyata belum. Rancangan Pembukaan UUD dan pasal-pasal yang akan disahkan pada 18 Agustus pun mengalami perubahan. Ketiga , dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Rumusan Pancasila pada masa sidang PPKI ini sudah mengalami beberapa pertimbangan lainnya di luar para peserta sidang BPUPKI tempo hari yang lalu. Ada beberapa percakapan di sini yang perlu diperhatikan, a.l. ialah: a. Moh. Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda. Keperluannya adalah mengungkapkan keberatan yang diajukan oleh sebagian masyarakat Indonesia Timur terhadap anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk- pemeluknya” dan “Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli yang bera gama Islam”. Keberadaan kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. 3 Keberatan ini merupakan keberatan yang dirasakan sebagai tindakan diskriminatif bagi sebagian masyarakat Indonesia Timur. Respons dari keberatan ini 3 Penulis belum mendapatkan percakapan antara Hatta dan Tuan Nishiyam. Keterangan ini didapat melalui buku dari Hatta yang menuliska otobiografinya. 125 tidak lagi diperpanjang oleh para peserta dari golongan Islam yang diajak oleh Hatta untuk berunding. Kemungkinan kuat karena ini berbicara mengenai wilayah Indonesia Timur, maka Hatta memperhitungkan ini sebagai awal perpecahan nantinya. “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa. ” Ini merupakan respons awal yang ditunjukkan oleh Hatta. Respons ini memengaruhi respons-respons selanjutnya, seperti dari Hasan yang mengaku bahwa dia meyakinkan Hadikoesoemo dengan alasan bahwa untuk sementara akan masuk dalam aturan peralihan; dan Kasman yang mengungkapkan bahwa bahwa dalam situasi krisis, di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam harus bisa mengalah. Pengakuan Hasan dalam hal ini membingungkan penulis karena pada sidang- sidang BPUPKI sebelumnya Hadikoesoemo merupakan orang yang membela terbentuknya dasar negara yang tidak diskriminatif dengan dalil di Indonesia masih banyak perpecahan-perpecahan. Justru respons perkiraan Hadikoesoemo lebih cenderung menerima itu dengan persetujuan yang dilandaskan pada beberapa idenya yang dimunculkannya. Artinya tidak ada rasa keberatan denga permintaan masyarakat Indonesia Timur. Namun, pengakuan Hasan ini seolah- olah dengan kata “meyakinkan Hadikoesoemo”-nya membuat figur seorang Hadikoesoemo sebagai orang yang, bisa dikatakan, sebagai orang yang “susah” diajak untuk bersepakat. Melalui pendekatan ini 126 tokoh-tokoh Islam yang diajak berunding menyepakati perubahan kata tersebut. Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan ketika tidak adanya perwakilan golongan Islam yang ikut menandatangani Piagam Jakarta hadir dalam rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. b. Percakapan yang dilontarkan oleh I Gusti Ktut Pudja yang meminta untuk mengubah kata “Allah” pada Pembukaan UUD diganti dengan kata “Tuhan Yang Maha Kuasa”. Hal ini diangkat oleh Soekarno ke forum rapat dan disetujui oleh peserta. Dengan usulan I Gusti Ktut Pudja ini menambah daya tawar Pancasila yang disepakati kali ini benar-benar konsekuen terhadap bentuk persamaan derajat. Persamaan tersebut sampai kepada jenis tiap-tiap agama yang memiliki cara khusus memanggil Tuhan- nya. Penyebutan “Allah” akan memengaruhi salah satu kelompok agama di Indonesia melalui cara penyebutannya. Penyebutan Tuhan dirasa menyejajarkan antar agama untuk berkeyakinan terhadap Sang Tuhan. Menurut Penulis, perubahan pada 18 Agustus ini bermakna besar bagi rakyat Indonesia. Ada dua hal yang bisa diambil dari peristiwa 18 Agustus ini. Pertama , ketika dikaji berdasarkan penyebab perubahannya – ajuan keberatan dari Masyarakat Indonesia Timur dan usulan dalam sidang PPK oleh I Gusti Ktut Pudja – dapat disimpulkan bersama bahwa proses tersebut berlangsung dengan cepat. Perubahan ini diakibatkan karena dirasa kurang adilnya Rancangan Pembukaan UUD yang dikompromikan pada 16 Juli lalu. Penulis cenderung memperkirakan adanya kaitan ajuan keberatan yang mengatasnamakan Masyarakat Indonesia Timur dengan beberapa tokoh Kristen dalam sidang BPUPKI 16 Juli, namun hal ini belum terlalu kuat karena data yang penulis 127 miliki belum terlalu sempurna untuk data seorang Latuharhary – salah satu tokoh Kristen dalam sidang itu. Dalam kajian ini alasan nasionalisme ingin merdeka dan bersatu cukup berpengaruh kuat untuk mendominasi semangat kesepakatan pada saat itu karena alasan utama dari ajuan keberatan tersebut ialah adanya beberapa pernyataan dalam pembukaan UUD dan pasal di dalamnya yang diskriminatif dan itu berakibat kepada tuntutan mereka untuk diubah atau mereka berdiri di luar RI. Artinya, Pancasila pada 18 Agustus ini ialah model tindakan komunikatif yang dikatakan oleh Habermas. Kedua , ketika dilihat efeknya hingga saat ini, kesepakatan pada 18 Agustus bukan merupakan akhir dari kesepakatan. Kejadian-kejadian berulang seperti perubahan UUD, masalah sosial keagamaan, dan bahkan satu dekade yang lalu ada amandemen UUD yang mengubah pasal terkait dalam perdebatan pada masa sidang BPUPKI-PPKI, yaitu pasal mengenai presiden. Penulis ingin menjelaskan bahwa kesepakatan Pancasila terus mengalami perubahan. Kesepakatan rancangan Pembukaan UUD dan pasal-pasalnya pada 16 Juli yang hendak disahkan pada 18 Agustus mengalami perubahan. Apa penyebabnya mengenai hal ini dan apakah kaitan teori Habermas dengan perubahan-perubahan ini? Apakah bangsa Indonesia belum mencapai model mayarakat yang komunikatif dengan beberapa konsensus-konsensus yang dimilikinya? Apakah alasan nasionalisme tidak cukup kuat untuk menjelaskan konsensus-konsensus tersebut? Analisa penulis tidak dapat dilepaskan dari hasil Piagam Jakarta 22 Juni 1945 kompromi pertama, kesepakatan terhadap Rancangan Pembukaan UUD dan pasal- pasalnya pada 16 Juli 1945 kompromi kedua, dan pengesahan Pembukaan UUD dan 128 pasal-pasalnya pada 18 Agustus. Menurut teori Habermas yang menjadi dasar kajian penulis, perubahan-perubahan dan perundingan-perundingan di dalamnya merupakan upaya-upaya pendiri negara untuk membentuk suatu konsensus atau kesepakatan yang komunikatif. Berbagai alasan diajukan untuk mencapai suatu titik temu supaya hidup berbangsa dan bernegara dapat adil, setara, dan sejahtera sosial. Melalui perjalanan historis ini apakah Pancasila pada 18 Agustus telah menemukan formulanya yang tepat, yang sesuai dengan Habermas sebagai model tindakan komunikatif? Ternyata masih belum. Ada beberapa pertimbangan yang mengacu pada problematik ini. Jikalau diperhatikan secara mendalam, proses perubahan Pancasila pada 18 Agustus tidak memakan banyak waktu seperti pada perundingan-perundingan sebelumnya. Penulis menjelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya kalau hal ini didasarkan pada alasan nasionalisme yang kuat dari para pendiri negara. Namun, akan menjadi lain artinya ketika alasan nasionalisme ini diperhadapkan dengan situasi pada saat itu yang sangat mendesak untuk mengesahkan UUD bagi bangsa Indonesia Merdeka. Bahkan, akan menjadi lebih lain lagi ketika perwakilan golongan Islam yang diajak berunding oleh Hatta menjelang rapat PPKI pada 18 Agustus bukan perwakilan Islam yang menyusun Piagam Jakarta. Tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan pada saat itu memang benar- benar karena alasan nasionalisme ketika memperhatikan sejenak pernyataan Hatta kepada perwakilan Islam yang diajak berunding, sehingga dalam kurun waktu 5-10 menit dapat menghasilkan kesepakatan kecil. Pernyataan ini sangat didukung oleh pernyataan asli Hatta di dalam buku Otobiografi nya dan oleh karenanya penulis berani mengangkat ini ke permukaan bab ini. 129 Tidak menutup kemungkinan juga ketika yang diajak berunding pada saat itu ialah lima orang perwakilan golongan Islam pada panitia sembilan, maka hasilnya akan berbeda. Namun, pada tataran sosial Pancasila 18 Agustus ini telah memenuhi syarat- syarat klaim kesahihan Habermas untuk menjadi masyarakat komunikatif. Apa artinya ini? Secara sosiologis para pendiri negara telah mencapai konsensus untuk mendirikan suatu negara. Akan tetapi, perdebatan religius – yang berkaitan dengan keyakinan agama – belum selesai hingga kini. Bahkan lebih prolematik lagi bahwa kehidupan religius ini membawa pengaruh kuat kepada kehidupan sosial rakyat Indonesia sebagian besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sering dirundung oleh berbagai masalah sosial-keagamaan yang tidak kunjungi selesai. Tentunya dengan sadar bahwa kesepakatan tentang keyakinan agama pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara belum tuntas. Kaitannya dengan ini bahwa bangsa Indonesia belum selesai mencapai kesepakatan atau konsensus. Tawaran model masyarakat komunikatif Habermas berhasil pada tataran rasional-sosiologis. Akan tetapi pada tataran religius-sosiologi sosial-keagamaan, konsep masyarakat komunikatif Habermas belum menyentuh titik itu. Tindakan rasional memang sebagian besar dimiliki oleh kebudayaan Barat sehingga upaya pencapaian kesepakatan yang hanya berdasarkan pada titik rasional-sosiologis merupakan konsensus. Sungguh berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, yang tidak hanya membutuhkan sisi rasional-sosiologis dalam mencapai konsensus, melainkan juga harus dalam tataran religius-sosiologi. Dalam pengamatan penulis Pancasila 18 Agustus 1945 dapat dijadikan konsensus tanpa perubahan lagi ketika melihat kenyataan Pancasila ini sebagai 130 kenyataan keyakinan agama. Penulis mencoba mengkajinya dari konsep masyarakat Durkheim: C. Adakah Nilai Kesakralan dalam Pancasila?

Dokumen yang terkait

Bab 1 Berkomitmen Terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara

0 9 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara T2 752010008 BAB V

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB II

0 6 99

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kinerja Rendah Sebagai Alasan PHK T1 312005001 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kemanusiaan Pancasila Perspektif Sukarno T2 752012006 BAB IV

0 0 8