Two Step Intermediation Dalam Sistem Aku

(1)

Perbankan Syariah Di Indonesia

Khairun Fajri Arief, SE

Forum Riset Perbankan Syariah

2010


(2)

TWO STEP INTERMEDIATIONDALAM SISTEM AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Oleh

Khairun Fajri Arief

Tujuan utama dari sistem ekonomi Islam adalah menciptakan sebuah kerangka kerja sistem yang transformatif, adil, akuntabel, maslahat dan tidak menimbulkan kerusakan. Adanya Zakat dan mekanisme Non-Ribawi, harus dilihat dalam kerangka kerja sistem tersebut secara keseluruhan.Artinya zakat dan Non-Ribawi sistem dapat dikatakan sebagai salah satu

perangkat Instrumental yang paling penting, tapi bukan satu-satunya.

Dalam usaha menjadikan perbankan sebagai kombinasi zakat, perbankan syariah dapat mengkonstruksi sebuah sistem kombinasi perbankan-zakat yang disebut: Intermediasi 2 tahap ( Two Step Intermediation. ) yang pada prinsipnya adalah sebuah usaha untuk menjadikan Perbankan Syariah sebagai sebuah institusi pemungut zakat yang agregatif dan akseleratif agar dapat menjadi sarana Intermediasi perangkat produksi ( Intermediasi Tahap I). Setelah intermediasi tahap satu berhasil, Mustahikyang telah cukup mampu untuk mandiri akan dijadikan sebagai mitra binaan perbankan dan pada saatnya nanti akan mendapatkan dana Intermediasi perbankan. ( Intermediasi tahap II).

Terobosan-terobosan baru ini, harus mampu kita sajikan dalam rangka menghadirkan Islam sebagai sebuah peradaban total yang tidak hanya historis tetapi juga berorientasi masa depan dengan jalan yang tidak hanya menyodorkan ide tetapi juga berbagai jalan alternatif dan pemecahan yang Islami terhadap sejumlah besar persoalan yang dihadapi kemanusiaan. Karena Islam bukan hanya sekedar ibadah, etika dan juga hudud . Ia adalah solusi


(3)

Halaman ABSTRAK

DAFTAR ISI………..i I. PENDAHULUAN

Latar Belakang………...………..1 I.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1.2.1. Perumusan Masalah………..………...……..5 1.2.2. Pembatasan Masalah………...5 I.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian………..….…...6 II. METODE PENELITIAN

2.1. Jenis dan Metode Penelitian...7 2.2. Sumber Dan Metode Pengumpulan Data...8 2.3. Tempat danWaktu Penelitian……….8

III. PEMBAHASAN

3.1..Finding Epistemologi………...9 3.2. Aplikasi Tehnis Dari Dekonstruksi………...14 3.3. Two Step Intermediation Dalam Sistem Akuntansi Perbankan Syariah

di Indonesia...21 3.4. Konstruksi Two Step Intermediation dan Kaitannya Dengan Aturan

Hukum Positif Di Indonesia...26 3.5. Sebuah Model Manifestasi Tehnis Pada Perbankan Syariah...29 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan………..50 5.2. Saran………...…..51 DAFTAR PUSTAKA


(4)

.

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Dalam konstruksi sistem ekonomi Islam, Zakat dan non-ribawi sistem adalah 2 hal instrumental terpenting disamping tuntutannya untuk membangun sebuah perekonomian yang berkeadilan, sehat secara regulatif, dan tidak menimbulkan kerusakan alam. Kedua hal ini menjadi penting karena Islam sebagai sebuah kumpulan nilai-nilai moral, telah memberikan penekanan yang luar biasa dan pasti ( sharih dan Qath’y) terhadap kewajiban setiap umat muslim untuk membayar zakat dan untuk meninggalkan Riba. Dalam permasalahan anti riba, Islam bahkan sedari awal telah terang- terangan memberikan kutukannya yang keras bersamaan dengan perintahnya yang tegas dan tak dapat ditawar-tawar mengenai Monoteistik ketuhanannya. Sedangkan kata zakat dalam Al Quran, telah disebut sebagai sebuah definisi ( ma’rifah )sebanyak tiga puluh kali. Dalam penyebutan yang sebanyak itu, dua puluh tujuh kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks sama dengan shalat tetapi tidak di dalam satu ayat yaitu dalam Al Quran ( 92: 5-10) dengan redaksi ayat; “Dan orang-orang yang giat menunaikan zakat”setelah ayat; “Orang-orang yang khusyu dalam bersalat” ( Qordhawi,1987 : 35 ).

Dalam konteks modern saat ini sistem non-ribawi biasanya banyak dilakukan seputar implementasinya dalam perbankan bebas bunga / suku bunga nol dan prinsip kerjasama dalam pemberian modal. Konsekwensinya, perbankan tidak akan lagi mengenakan jumlah bunga yang tetap atas modal yang dalam kenyataan belum tentu dapat memberi tingkat keuntungan yang tetap. Sedangkan dalam hubungan dengan kreditor, perbankan akan memberikan bagian dari bagi hasil


(5)

yang didapat dari debitor yang juga melakukan kegiatan usaha dengan basis bagi hasil.

Dorongan Islam lainnya adalah dengan adanya mekanisme zakat. Dalam

mekanisme zakat, sebagian dari keseluruhan harta orang yang berkecukupan akan dipungut dan disebarkan kembali dalam bentuk pembiayaan alat produksi atau pemenuhan kebutuhan kasuistis yang bersifat konsumtif khusus kepada delapan kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Terlepas dari segala aspek ibadah (Ubudiyah)yang mendasari timbulnya kedua buah perintah ini, secara teori ekonomi, kombinasi sistem non-ribawi dan perintah untuk membayar zakat adalah dua buah hal yang sangat dapat untuk

dipertanggung jawabkan.

Suku bunga nol akan memberikan kesempatan Investasi yang tak terbatas terhadap usaha-usaha baru; yang mana dalam keadaan normal tidak dapat dilaksanakan. Kondisi itu, akan mampu menyediakan lapangan kerja dan

memungkinkan tercapainya sebuah kondisiFull Employment dan mempertinggi permintaan efektif . Implikasinya adalah kesejahteraan akan meningkat lebih pesat karena produktivitas individu didorong lewat peningkatan investasi agregat. Pada akhirnya, lembaga zakat dan sedekah akan membantu mencegah timbulnya penurunan tingkat konsumsi minimum dengan distribusi pendapatan kepada masyarakat paling miskin tanpa meningkatkan kecenderungan untuk menigkatkan uang kas ( liquidity preference). Institusi yang sama, juga akan merupakan

dorongan yang luar biasa terhadap kesempatan Investasi bila disalurkan dengan memperhatikan kebutuhan secara strategik dan bukan kasuistis. Dalam konteks masyarakat dimana tingkat kemiskinan sudah sangat rendah, intermediasi zakat ini mungkin sekali akan dialihkan keluar kepada negara lain yang memerlukan dana konsumtif atau bahkan strategis. Bagaimanapun, investasi masyarakat telah didorong melalui belanja barang bantuan di dalam negeri. Kalaupun tidak,

perekonomian telah terbantu melalui stimulus ekonomi berupa “ umpan” Investasi kepada negara luar yang bukan tidak mungkin akan mendorong permintaan ekspor karena daya beli masyarakatnya tetap terjaga.


(6)

Dari penjelasan-penjelasan diatas, jelaslah sudah bahwa kombinasi zakat dan Non-Ribawi sistem bukan saja berdimensi Teologismelainkan juga

Antrophocentrisdengan pola-polanya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Bahkan secara teoritis, dengan kombinasi ini, celah untuk timbulnya stagnasi ekonomi dan kemiskinan tampaknyasama sekali tidak ada.

Pertanyaan berikutnya yang relevan kemudian adalah; “Dari manakah semua kemiskinan yang kita lihat selama ini. Kalau kombinasi zakat dan perbankan syariah begitu luar biasa, lalu hal apakah yang telah menyebabkan kemampuannya menjadi tumpul ?”

Tentu saja pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi sangat untuk perlu diperhatikan, terlebih dalam konteks Indonesia dimana sebagian besar

penduduknya beragama islam. Dengan komposisi 90 % penduduknya muslim, pertanyaan tersebut tampaknya sudah selayaknya lebih mendapatkan gema. Ambillah contoh analisis resmi dari BPS tahun 2002. Dalam analisis tersebut, seandainya saja 90% penduduk Indonesia itu terakomodir dalam 40 juta keluarga, maka potensi zakat di Indonesia ini sekurang-kurangnya mencapai angka 7,5 trilyun! Hal yang serupa tetapi dengan tingkat optimistis yang lebih tinggi, tampak terlihat dalam hasil penelitian Potensi zakat versi Public Interest Research And

Advocacy Center( PIRAC) tahun 2007 yang menyebutkan, potensi zakat di

Indonesia lebih besar lagi, yaitu Rp 9,09 triliun dengan responden di 11 kota besar. Besar kemungkinan total angka-angka ini akan lebih besar lagi jumlahnya jika wilayah hitung terhadap potensi ini diperluas dan komponen yang menjadi obyek zakat diperbanyak sehingga betul-betul mencerminkan...”potongan atas setiap harta yang dapat terakumulasi”. Bukan tidak mungkin potensi zakat dalam masyarakat indonesia akan menjadi lebih tinggi 2 atau 3 kali lipat.

Kenyataannya di lapangan, sekalipun potensi dana zakat di Indonesia 8 dan 10 tahun lalu saja sangat besar, namun tingkat keterkumpulan dan ketersebaran atas dana –dana itu masih sangat kecil yaitu hanya sekitar 10-15 % dari potensi zakat. Lihatlah sebagai contoh, jumlah dana zakat yang bisa dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) tahun 2007 sebesar Rp 14 miliar. Apabila digabung dengan penerimaan zakat seluruh lembaga amil zakat (LAZ) tahun 2007, dicapai


(7)

Rp 600 miliar. Nilai ini hanya 12,5 persen dari potensi minimal yang ada jika asumsi potensi Rp 4,8 triliun. (Www.bimasislam.com, 2008)

Dari gambaran ini tampaknya terdapat sebuah gambaran umum bahwa

pengembangan Zakat sebagai sebuah kekuatan transformatif haruslah melibatkan Institusi yang mampu untuk melakukan sebuah terobosan dan modus baru dalam memobilisasi, mengorganisir, dan memfasilitasi aktivitas filantropy dalam sebuah rerangka akuntabilitas publik.

Oleh karena itu peningkatan kualitas dalam penyebaran zakat dan manajemen pengelolaan adalah sebuah hal yang tidak dapat diabaikan. Analisis secara makro sebuah persoalan tanpa mempertimbangkan persoalan tehnis yang dihadapi di lapangan akan menyebabkan pengelolaan zakat tersebut dilakukan tanpa arah yang jelas dan bahkan mungkin akan menyebabkan Tujuan Syariah ( Maqashid asy-syariah ) dari zakat tidak akan tercapai. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan dalam studi kasus pelaksanaan lembaga zakat dan wakaf di

Indonesia (2005), bahwa;

Filantropy Islam tidak saja menuntut adanya rekonseptualisasi fikih filantropy tapi juga merevitalisasi dan mengembangkan institusi-institusi filantropy Islam yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu,

diandaikan adanya satu pendekatan pembangunan yang lebih menitik beratkan pada investasi di bidang infrastruktur untuk menuai keuntungan jangka

panjang ketimbang sekedar mengatasi masalah-masalah jangka pendek.

Sehingga, secara ideal kerja Filantropy di indonesia masa depan adalah mengeksplorasi modus-modus yang baru di dalam memobilisasi,

mengorganisasi, dan juga memfasilitasi aktivitas filantropy di Indonesia, untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan mendorong inisiatif-inisiatif keadilan sosial yang berbasis pada kekuatan-kekuatan civil society.


(8)

I. 2. Perumusan dan Pembatasan Masalah I.2.1 Perumusan Masalah

Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang, jelas sudah bahwa zakat dan perbankan syariah sangat berpotensi untuk menjadikan perekonomian tumbuh dengan sehat selaras dengan distribusi kesejahteraan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut. Terlebih lagi bila kita dapat lebih jeli melihat bahwa Zakat dan Perbankan Syariah sebetulnya memiliki karakteristik yang hampir sama berkenaan dengan dorongannya terhadap pemerataan alat produksi.

Namun demikian, dalam prakteknya,kedua institusi tersebut belum sepenuhnya memiliki pola intermediasi yang cukup maslahat dan mampu menjadikan zakat tersebut sebagai bagian dari akuntansi modern yang dapat mentransformasikan ekonomi. Dalam konteks ini penulis melihat beberapa permasalahan yang akan penulis analisis. Permasalahan itu adalah:

a. Belum adanya pihak yang dengan sistematis dan terstruktur mencoba mengkombinasikan kelebihan-kelebihan yang ada dalam Perbankan Syariah dengan Potensi implementasi zakat.

b. Selain tidak adanya sistem dan metode akuntansi yang mengkombinasikan secara baik Zakat dengan perbankan syariah, saat ini belum banyak pihak yang menyadari bahwa dana zakat yang diberikan kepada Mustahik sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang produktif. Oleh karena itu pihak manapun yang menjadi Amil zakat, sudah sepantasnya tidak mengumpulkan zakat dan kemudian mendistribusikannya tanpa konsep yang memadai.

I.2. 2 Pembatasan Masalah

1. Penulis membatasi penelitian hanya pada Sistem Akuntansiperbankan syariah yang ada di Indonesia.

2. Aspek pencatatan dan penyusunan Laporan Keuangan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya dieksplorasi secara detail melainkan sepenuhnya


(9)

mengacu kepada PSAK 59 serta PSAK 101-106 yang telah mendeskripsikannya lebih dahulu dengan terperinci.

3. Fakta yang penulis pergunakan dalam menganalisa aspek zakat adalah data-data sekunder yang berkaitan dengan zakat dalam 5 tahun terakhir di Indonesia.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Sebagaimana telah penulis kemukakan dalam permasalahan, bahwa persoalan utama pengelolaan zakat saat ini adalah dalam sistem dan penyebarannya. Maka penulis tertarik untuk menghasilkan ide baru (Eksplorasi) yang berkaitan dengan pola penyebaran zakat dengan mengkombinasikannya dengan perbankan syariah sehingga penelitian ini memiliki tujuan untuk:

a. Menghasilkan bentuk Sistem Akuntansi dalam Perbankan Syariah yang di dalamnya mengkombinasikan secara sinergis Perbankan Syariah dengan Institusi Pemungut Zakat. Dalam hal ini , penulis ingin mengoptimalkan kelebihan-kelebihan dalam Perbankan Syariah berupa; Fasilitas yang lengkap, Profesionalisme kerja, kepercayaan masyarakat, Sistem Akuntansi yang mendukung dan mapan, dengan Zakat yang memiliki titik tekan tujuan: pengadaan alat produksi bagi masyarakat serta pemberdayaan bagi fakir dan miskin. Hal ini amat bersesuaian pula dengan perbankan yang memang memiliki tujuan umum : menjadi lembaga intermediasi atau penghubung antara pihak yang surplus dana dengan pihak yang defisit dana.

Bentuk Sistem Akuntansi Perbankan yang ingin penulis eksplorasi memiliki pola utama: “ ( Tahap 1 )Perbankan sebagai institusi pengumpul zakat yang agregatif dan penyebar dana zakat yang profesional dengan titik tekan pemakaian dana zakat sebagai modal kerja. ( Tahap II )Menjadikan “ mantan” penerima zakat yang sebelumnya memperoleh dana tersebut secara cuma-cuma, menjadi penerima dana intermediasi perbankan dengan


(10)

BAB II

METODE PENELITIAN 2.1. Jenis dan Metode Penelitian

2.1.1 Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memakai Paradigma Eksploratif dan Deskriptif untuk membuat teori ( grounded theory) dari berbagai fakta yang ada. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian penulis akan lebih banyak memakai data kualitatif. Sifat penelitian ini secara umum adalah untuk mendiagnosa fenomena hubungan antara perbankan syariah dan zakat yang sama-sama merupakan institusi intermediasi. Diagnosa tersebut diharapkan dapat menghasilkan ide berupa:

1). Tehnik baru dalam penyebaran zakat yang dikombinasikan dengan intermediasi modal kerja oleh perbankan.

2.1.2. Metodologi Penelitian

Sebagaimana penulis telah kemukakan, penelitian ini adalah penelitian yang berparadigama Eksploratif dan deskriptif ,maka penulis tidak akan

mempergunakan statistik sebagai sebuah alat analisis-uji. Hal ini karena penulis tidak perlu menguji

( Verifikasi) data apapun dalam penelitiannya. Tentu saja hal ini tidak berarti penulis tidak akan memakai statistik dalam bentuk apapun, karena penulis masih akan memakai beberapa data Sekunder statistik sebagai fakta sejarah yang harus penulis telaah secara serius. Data statistik itu, akan penulis bandingkan dengan teori yang sudah ada dan kemudian akan penulis ambil kesimpulan. Kesimpulan yang penulis dapat, akan penulis kelompokkan dalam kategori-kategori tertentu


(11)

kemudian penulis bandingkan kembali dengan teori yang sudah ada untuk akhirnya penulis pakai data tersebut untuk menyusun konstruksi teori baru atau inovasi teori yang sudah ada.( Indriantoro,Bambang supomo,1999 )

2.2. Sumber Dan Metode Pengumpulan Data 2.2.1 Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan oleh penulis adalah sumber data sekunder yang berasal dari data Statistik Bank Indonesia mengenai perbankan syariah, data-data zakat dari institusi penyebar zakat ( amil ), serta data-data-data-data laporan keuangan perbankan syariah di Indonesia hingga tahun 2009

Data dan informasi yang diperoleh kemudian diolah berdasarkan studi pustaka yang dikelompokkan secara sistematis dan relevan dengan subbab dalam tema penyusunan gagasan tertulis ini. Data dan Informasi yang telah dikelompokkan kemudian dianalisis relevansinya dengan ide penulisan gagasan tertulis ini. Berdasarkan analisis sintesis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan dan dapat dirumuskan saran berdasarkan pada prediksi penerapan ide gagasan tertulis ini.

2.2.2. Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah metode pengumpulan data secara:

a. Observasi terhadap sumber-sumber data yang relevan.

b. Telaah literatur yang akan penulis lakukan secara intens selama masa penelitian.

2.3. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Bandar Lampung yang dilakukan dalam jangka waktu tanggal 1 Juni 2010 hingga tanggal 23 Juni 2010


(12)

BAB III PEMBAHASAN

III.1. Finding Epistemologi.

…Orang yang tidur pada suatu malam untuk terjaga keesokan harinya, ia akan dapat mengikuti perjalanan hidupnya seperti biasa. Sedangkan penghuni gua (Ashab Al Kahfi) atau orang yang semakna dengan mereka, bagi mereka tidak cukup sekedar ‘terjaga’untuk dapat mengikuti jalan kehidupan,tetapi pertama-tama dan utama mereka membutuhkan pembaruan pemikiran agar mereka dapat melihat dengan pandangan sendiri kehidupan yang baru itu sebagaimana adanya.

( Muhammad Abed Al Jabiri , 2001)

Ketika kita melihat tuntutan atas implementasi Syariah yang terjadi di seluruh penjuru dunia, sebetulnya kita harus melihatnya dalam dua buah kerangka umum. Pertama, tuntutan itu kita sikapi sebagai sebentuk kesadaran umat Islam atas prinsip hidupnya secara independen dan tidak serta merta menyerahkan solusi permasalahan kepada segala sesuatu yang diimpor dari luar kesadarannya. Ini tentu saja masuk akal, kita sebagai umat Islam tidak dapat terus menerus hidup dengan konsepsi yang sepenuhnya diinstal oleh pandangan dunia barat toh? Bukankah, pandangan dunia barat adalah sebuah pandangan dunia asing yang tidak pernah menyentuh aspek autentisitas dan pengalaman keberagamaan kita sendiri secara jangka panjang? Tidakkah masuk akal jika demi autentisitas yang kita cari tersebut, kita menengok kepada syariat Islam saja dan tidak


(13)

memperpanjang masa percobaan atas sebuah konstruksi lain lagi yang mungkin tidak sepenuhnya ideal juga ?

Namun demikian, disaat yang sama, kita juga harus menyikapi tuntutan-tuntutan tersebut dalam kerangka dialogis yang sehat dan tidak serta merta menarik demarkasi dengan kebudayaan lain namun disaat yang sama kita tidak memiliki epistemologi yang memadai untuk menjalankannya sehingga yang akhirnya nampak ke permukaan hanyalah tuntutan-tuntutan yang berorientasi perwajahan tanpa berusaha untuk memberinya bentuk yang lebih esensial.

Lalu bagaimanakah sebetulnya prosedur yang benar dalam menggali otentisitas Islam berdasarkan sumber-sumbernya sendiri (Nash)? Adakah juga format yang sepenuhnya Islami dan berpijak pada kesejarahan kita sendiri dalam memahami sumber-sumber utama Islam tersebut?

Sebetulnya, pesan Nabi Muhammad kepada umat Islam sangat sederhana namun relevan, ia tidak mengajarkan doktrin baru tentang Tuhan ataupun melulu tentang aspek tehnis detail yang spesifik. Bahkan lebih jauh lagi, Quran sendiri bukanlah kitab tehnis tentang Tuhan maupun keilmuan dan tidak ditujukan untuk

memuaskan kecenderungan manusia demi debat spekulatif mengenai Ketuhanan, ilmu alam ataupun format tehnis dalam bernegara. Inti dari pesan kenabian adalah memurnikan KeEsaan Tuhan, mengkalamkan keadilan sosial bagi kemanusiaan dalam kerangka ‘akhlak baik secara relevan’ dan memberi manusia ancaman bahwa setiap tindakan akan diverifikasi dalam sebuah pertanggung jawaban dihari kiamat.

Problem dalam menyentuhkan nashdengan akhlak baik manusia dalam kerangka yang senantiasa relevan itulah yang disebut sebagai ijtihad. Tentu saja, derivasi tehnisnya tidaklah sedemikian sederhana, namun yang membuat persoalan menjadi lebih rumit lagi sebetulnya bukanlah nashyang tidak dapat kita akses. Problem utama dari kegagalan ijtihad di belahan dunia manapun adalah fakta bahwa konteks teks-teks suci kita-Al Quran dan teladan Nabi Muhammad, kerangka acuan kita yang absolut-telah kita paksa untuk membeku dan


(14)

paksa tertutup dan problem-problem tertentu kita jadikan sakral, maka tanpa sadar kita telah membuat perangkat berfikir tertentu yang membatasi kemajuan dan efeknya akan terasa akumulatif lintas generasi. Hingga tak heran jika saat ini, nashseolah timbul tenggelam dalam realita sejarah dan kita tidak pernah berani mempertanyakan format lain dari implementasinya. Hal inilah yang disitir secara serius oleh Profesor Arqoun sebagai jurang wilayah Tak Terfikir ( Unthinkable) dan Tak Terfikirkan (Unthought) dalam penalaran umat Islam. Kondisi ini terjadi ketika sebuah perangkat berfikir tertentu “memaksa” penalaran kita untuk berhenti mengeksplorasi solusi berdasarkan asumsi-asumsi kita sendiri dan menyerahkan penyelesaian kepada sesuatu yang berada diluar diri kita berupa; konstruksi sejarah yang usang, ideologi asing ataupun format tehnis yang tidak lagi relevan.

Untuk itulah, pemahaman kita atas nash, harus didekonstruksi ulang agar dapat menghasilkan kesadaran nilai-nilai moral yang Qurani - bukan ideologi asing – dan akhirnya dapat mengikuti kemajuan zaman. Hasil yang diharapkan dari proses dekonstruksi ini ialah; agar nash tidak timbul tenggelam diantara laju perkembangan budaya dan syarat material yang tak terbendungkan-dan

merupakan konsekwensi logis dari jalannya sejarah dan gerak kemanusiaan. Nash

harus kembali menentukan tempatnya yang tepat diantara kemanusiaan.Ia harus ada, hadir dan hidup sementara disisi lain pemahaman yang sehat atas nash itu harus selalu ’ mengada’ (Being) sebagai jalan keselamatan manusia dan manifestasi atas kecintaan terhadap Tuhan (Iman). Disaat yang sama dari

kebangunan kembali nashsebagai fasilitator jalannya sejarah ini, bentuk-dan juga hasil- yang paling aman dan sehat dari gerak maju ini adalah masyarakat yang kembali Dialektis dan selalu siap untuk maju. Kondisi dialektis ini, sebagaiman dikatakan dimuka, harus kembali menjadi etos sejarah dari masyarakat Islam. Yaitu masyarakat yang selalu siap untuk mengembalikan segala sesuatu kepada nash, tetapi disaat yang sama selalu bersedia melakukan tafsir ulang hasil yang telah diperolehnya dari penafsiran terhadap nash.

Karenanya, pembaruan pemahaman atas Islam bukanlah sebuah hal yang remeh dan tidak relevan. Kondisi itu tidaklah harus selalu berasal dan dipicu dari apologi yang dialektis dan ketidak samaan pendapat secara horisontal antar


(15)

ulama. Pembaharuan pemahaman ini dapat berasal dari tantangan zaman yang berbeda, konteks budaya, sosial-politik dan ekonomi, dan bahkan mungkin sekali karena didorong oleh perkembangan dan penemuan perangkat berfikir baru yang dapat memberi pemahaman lebih lanjut mengenai masalah-masalah tertentu di dalam nash. Karena itu, Islam itu sendiri pada dasarnya adalah dinamis tidak saja dalam artiannya yang dapat mendorong “ sekularisasi “ dalam artian yang

sosiologis, (Madjid,1999 ) melainkan juga karena kemampuannya untuk mendorong pembaruan-pembaruan yang dimensinya sangat tidak terbatas.

Pendeknya, pembaharuan pemahaman ini kita lakukan bukanlah karena kita telah beranggapan bahwa nilai-nilai moral dan beberapa redaksional spesifik di dalam nashtidak lagi relevan dengan kemajuan zaman. Lebih tepat lagi adalah

kenyataan bahwa pada saat ini, kita bahkan masih belum tahu tentang berbagai nilai-nilai serta karakter moralitas kita sendiri. Sehingga akhirnya kita sangat gamang untuk menyikapi kekinian dalam naungan hukum-hukum moral tersebut.

Oleh karena itu langkah besar yang harus kita lakukan adalah: 1).Melakukan “napak tilas” terhadap nashsebagaimana di katakan oleh Anwar (2002) ketika menggambarkan proses QiraatQuran dengan kekinian yang dilakukan oleh Prof.Arqoun:

Dengan kata lain, qira’atdimaksudkan untuk melakukan semacam “napak tilas” proses pengujaran (enonciation) Al-Qur’an dari berbagai segi dan dimensinya, sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan dalam suasana semiologisyang masih kaya dan segar. Artinya, tujuan qira’at bukan semata-mata untuk mengerti teks, melainkan untuk mendapatkan teks. Secara metodologis, “napak tilas” ini sebenarnya tidak mungkin karena proses pengujaran hanya terjadi satu kali, unik, dan karenanya tak akan pernah terulang lagi. Yang paling mungkin dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara asimtotiskepada suatu pendekatan yang makin lama makin akrab dengan wacana itu, dengan cara mengembalikan (dengan segala keterbatasannya) teks Qur’an sebagai languemenjadi parolebagi orang-orang yang hidup pada zaman sekarang ini.

Tentu saja dalam hal yang bersifat metodologis kita tidak akan menggambarkan secara detail bagaimana proses “menjulurkan tangan secara asimtotis” tersebut. Namun setidaknya, yang harus kita lakukan dalam hal ini-saat ini- adalah menggambarkan strategi umum dari seluruh proses pendekatan yang dapat


(16)

menjadikan kita lama kelamaan makin akrab dengan wacana dan menggesernya dari Teks sebagai Language menjadi Teks sebagai Parole.

Pendeknya, tindakan baca kita yang masih harus diselesaikan sejauh ini dalam menderivasikan nashadalah; membangun sebuah proses pemahaman dan cara baca yang membuat kita mampu menangkap pesan moral Islam yang menyeluruh dan disaat yang sama menjadikan kita tidak terkungkung dalam sebuah

penafsiran yang menimbulkan kondisi “dangkal nalar” sehingga hanya tertarik untuk memperhatikan dan mengulang-ulang ( repetisi ) persoalan remeh dan terbaca tetapi melupakan tujuan dan konsep moral yang terkandung di dalam nash - dan merupakan jumlah yang paling besar ( keteraturan dasar )

2.)Hasil-hasil dari pembacaan kita terhadap teks inilah yang nantinya akan kita arahkan dan kita banjiri kedalam konteks spesifik kita saat ini untuk mengatasi berbagai persoalan-persoalan utama dalam Islam yaitu: Konteks sosio historis yang tidak berpihak pada kemanusiaan. Dari itu semua, asumsi kita yang utama dan harus diingat berkaitan dengan nashadalah bahwa persoalan yang harus kita selesaikan dalam derivasi bukanlah mendekonstruksi nashitu sebagai petanda akhir dan menggantinya secara serampangan tanpa mengindahkan otentifitasnya, melainkan mencoba untuk memahami nashsecara lebih komprehensif sehingga menghasilkan pemahaman yang meluas dan moderat.

Dengan memperhatikan seluruh persoalan-persoalan tersebut di atas, tanpa memaksudkannya sebagai sebuah ushul fikih, strategi umum dapat kita

kemukakan berkaitan dengan “napak tilas” dan cara baca terhadap Nashsecara berkelanjutan dan menyejarah itu. Secara detail metodologis tentu saja hal ini masih harus di analisis ulang, namun secara tahapan tindakan-tindakan strategi umum ini dapat bermanfaat untuk menjadi basis langkah pembentukan

epistemologi lebih lanjut.

Strategi umum itu adalah:1.) Menentukan petanda akhir dari seluruh proses penafsiran kita dengan tidak menjerumuskan diri kepada relativitas ekstrim petanda akhir , lewat serangkaian pengujian yang tidak meremehkan autentisitas Petanda Akhir itu sendiri, 2.) Menempatkan diri dalam sikap sadar yang


(17)

aktif-kritis terhadap seluruh gugus makna yang telah tampak berkaitan dengan pemahaman atas Petanda-petanda Akhir, 3.) Menempatkan seluruh Nashdan seluruh produk penafsiran yang timbul dari kesejarahan penafsiran Nashkepada sebuah metodologi kritis yang tidak melenceng dari petanda akhir, 4.)

Menemukan keteraturan dasar yang akan dipergunakan sebagai sebuah bangunan Religio Ethic dari proses-proses penjangkauan makna, 5.) Menyentuhkan Religio Ethic yang telah ada kedalam sebuah proses yang dialektis dan gradual berkaitan dengan imajinasi sosial masyarakat di sebuah tempat.

Hasil yang diharapkan dari semua proses ini adalah kemampuan kita untuk mengapresiasi Nashsecara komprehensif lengkap antara perintah yang

“Terkatakan” dengan perintah-perintah yang “ Tak Terkatakan”, bagian-bagian yang sakral dari sebuah Nashdan bagian mana yang merupakan produk

kebudayaan. Dan kemudian menyajikan Islam itu sendiri sebagai sebuah

bangunan yang komprehensif dan interaktif meliputi ; Ketakwaan kepada Allah, hukum dan juga etika-norma .

Semua itulah yang kemudian akan kita arahkan kepada persoalan-persoalan spesifik saat ini agar dinaungi keseluruhan etika moral Islam dalam format solusi yang tidak harus seragam satu sama lain. Kita harus mampu menyajikan Islam sebagai sebuah peradaban total yang tidak hanya historis tetapi juga berorientasi masa depan dengan jalan yang tidak hanya menyodorkan ide tetapi juga berbagai jalan alternatif dan pemecahan yang Islami terhadap sejumlah besar persoalan yang dihadapi kemanusiaan. Karena Islam bukan hanya sekedar ibadah, etika dan juga hudud. Ia adalah solusi( Sardar,2003).

III.2. Aplikasi Tehnis dari Dekonstruksi

Namun demikian, persoalan nilai moral itu tidak hanya berkaitan dengan nilai-nilai dasar serta akhlak saja. Karena dalam nilai-nilai-nilai-nilai dasar tersebut, Islam memiliki perangkat transformasi yang khas dan menjadi piranti tekan yang harus terealisasi dalam pelaksanaan nilai-nilai dasar yang telah ada. Perangkat


(18)

1. Zakat

2. Non-ribawi sistem 3. Regulasi-keadilan sosial 4. Jaminan sosial.

Dengan demikian, keseluruhan nilai-nilai moralitas dan atributif dalam ekonomi dapat kita gambarkan dalam sebuah diagram sebagai berikut;(Lihat Gambar 1) Gambar 1. Keseluruhan Konstruksi Moralitas Dalam Ekonomi

Solusi Islam dalam masalah ekonomi, sebenarnya merupakan titik moderat dari individualistisnya kapitalisme dan kolektivitas komunistis. Islam mensolusikan bahwa dalam sebuah masyarakat, setiap individu harus bekerja. Sebagai prasyarat kondisi dari kerja masyarakat tersebut, setiap orang harus memiliki perangkat untuk kerja berupa Ilmu dan perangkat-perangkat produksi lainnya. Di titik ini, 2 buah konsekwensi lain muncul. 1). Karena diasumsikan bahwa semua orang harus bekerja, maka setiap orang yang sama sekali tak punya apa-apa , dari sebagian kepemilikan harta orang kaya harus mendapatkan transfer harta agar dapat memulai usaha. Disinilah posisi zakat. 2). Karena setiap komponen dari kerja yang dilakukan tersebut mensyaratkan adanya rehabilitasi dan kesempatan akumulasi juga, maka setiap komponen dari kerja tersebut harus mendapatkan


(19)

bagian juga dari harta tersebut sebesar minimal produktivitas atau sebesar keperluannya untuk mereproduksi kemampuan agar terus menerus dapat memenuhi kebutuhan kerja jangka panjang dan lintas generasi.atau sebesar kebutuhannya agar dapat memulai secara mandiri proses akumulasi laba. Dari sinilah doktrin Islam tentang kebutuhan pembagian hasil kerja yang adil, upah yang layak, ketidak bolehan mengambil riba dan tidak merusak alam timbul dan mendapatkan tempatnya. .

Karenanya, sebagai sebuah perangkat instrumental terpenting, implementasi zakat berpijak pada beberapa asumsi-asumsi pokok yang pada gilirannya akan

mempengaruhi kinerjanya. Asumsi-asumsi pokok itu adalah; 1). Zakat

merupakan konsekwensi normal dari basis kepemilikan dalam Islam bahwa harta adalah milik Allah yang dititipkan kepada manusia sementara di sisi lain seorang manusia telah mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. 2). Keyakinan bahwa zakat tersebut dipungut secara agregatif dan menyeluruh meliputi semua komponen masyarakat yang telah mampu dan seluruh potensi zakat yang berada di sebuah tempat 3). Kepercayaan publik atas pengumpulan dan Intermediasinya 4). Dana zakat tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan zakat itu sendiri yaitu mewujudkan sebuah mekanisme transfer perangkat produksi dan solusi kasuistis atas masalah-masalah yang timbul dalam sebuah komunitas muslim.

Oleh karena zakat merupakan sebuah pintu awal dari transfer kepemilikan dan alat produksi, maka setiap usaha yang mencoba untuk pelaksanaannya harus

mengarahkan diri kepada proses-proses yang memungkinkan pemerataan alat produksi berupa kepemilikan atas kerja mandiri atau kemampuan seseorang untuk masuk kedalam sebuah proses kerja yang baik

Berpijak pada beberapa asumsi-asumsi pokok tersebut, zakat seharusnya tidak lagi di posisikan sebagai sebuah kebajikan pihak kaya, melainkan sebuah hak yang harus didapat oleh orang-orang yang tidak memiliki harta. Artinya disini relasi sosial yang timbul dari mekanisme zakat tersebut seharusnya tidak lagi bersifat karetatif melainkan strukturalis. Karena dengan begitu zakat bukan lagi sebuah mekanisme belas kasih dari orang kaya melainkan sebuah mekanisme wajar di


(20)

dalam komunitas dimana sekelompok orang yang telah diperkaya oleh kontribusi masyarakat banyak, memberikan transfer harta kepada golongan lain yang tidak seberuntung dirinya sebagai konsekwensi kegiatan-kegiatan perekonomian yang telah ia lakukan telah mencapai titik tertentu dimana ia telah bisa mencukupi kebutuhan pokoknya.

Konsekwensi lain dari asumsi-asumsi tersebut diatas adalah; zakat sudah seharusnya tidak berhenti pada soal-soal yang berkaitan dengan kebaikan sosial seperti menyediakan pakaian, perumahan dan makanan sebagai solusi yang tampaknya kasuistis. Karena pada intinya zakat adalah lebih dari sekedar wacana moral, melainkan juga wacana sosial dan juga material. Zakat sudah seharusnya diarahkan pada sebuah prosesi sentimen moral yang nantinya akan

bertransformasi ke dalam tindakan-tindakan sosial dan struktural. Hal ini

dilakukan bukan saja karena substansi zakat memang menghendaki demikian, tapi juga karena kesadaran bahwa kemiskinan yang selama ini terjadi bukan hanya karena adanya kepedulian yang semakin menipis melainkan karena struktur masyarakat dan relasi sosial yang telah menyebabkan kemiskinan itu.

Untuk memenuhi 4 buah asumsi di atas dan menjalankan sebagian dari esensi ekonomi, tidak ragu lagi bahwa zakat harus diinstitusionalisasikan secara

bertanggung jawab. Hal ini penulis kemukakan karena Zakat , sebagai bagian dari filantropy Islam, di Indonesia belum menemukan formatnya yang tepat. Minimal, zakat di Indonesia harus lebih dahulu meletakkan diri secara tepat di antara 2 buah titik yang-dalam konteks Indonesia dan saat ini -berpotensi menimbulkan

masalah.Titik pertama adalah Institusionalisasi pemerintah , titik kedua adalah liberalisasi pembayaran zakat.

Dalam titik pertama, pemerintah bertindak sebagai pemungut zakat secara penuh dalam artian regulator dan merangkap sebagai institusi pelaksana. Di titik ini, kekhawatiran yang ada adalah : Adanya kooptasi pemerintah terhadap kekuatan-kekuatan civil society karena adanya relasi kuasa yang dipegang oleh pemerintah menyangkut hajat hidup masyarakat. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa akuntabilitas pemerintah selama ini terhadap keterkumpulan zakat dan


(21)

kondisi ini , telah menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat dari pengelolaan zakat menjadi turun atau hilang sama sekali. Kalau kondisi ini terjadi lagi, maka kehadiran zakat tidak akan memiliki dampak positif sama sekali secara

transformasi ekonomi kecuali sebagai sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan kooptasi kekuatan sosial.

Di sisi lain,akibat dari akumulasi kooptasi yang terjadi, telah menyebabkan alam pikiran masyarakat terkondisi untuk tidak mempercayakan kembali pengelolaan zakat kepada pemerintah. Bila hal ini terjadi di titik yang paling ekstrim, kondisi yang timbul adalah pemberian langsung dana zakat kepada orang-orang yang dirasa layak untuk diberi. Kondisi ini, secara Fikih memang masih diperdebatkan. Namun bila dilihat dari segi maslahat, tindakan ini pada ujung-ujungnya akan menumpulkan daya transformatif zakat dan hanya akan menimbulkan relasi ketergantungan antar Mustahik-Muzakki. Karena itu, walau bagaimanapun, terlepas dari aspek fikihnya pelembagaan zakat amat bermanfaat karena menghindarkan diri beberapa permasalahan yaitu; 1).Kesimpangsiuran

pembayaran yang akan timbul jika zakat dibayarkan secara langsung. Kesimpang siuran itu dapat timbul jika berhadapan dengan kondisi pembayaran zakat ganda, sementara di pihak lain terdapat kondisi ketidak terbagian dana 2).Tidak

tercapainya esensi zakat sebagai sarana intermediasi alat produksi. Pada esensinya, zakat adalah sarana pemerataan alat produksi dan alat bantu dalam masalah-masalah kasuistis mendesak yang pengadaannya dipungut dari seluruh kegiatan usaha dan semua pelaku ekonomi yang telah wajib. Karena itu,

pengelolaan zakat harus agregatif serta memungkinkan pemaksaan dan transfer. Hal itu,tentu tidak akan bisa terwujud kecuali melalui mekanisme

institusionalisasi.

Karena itu strategi agregasi zakat harus menempatkan diri dalam posisi yang tepat , dimana secara umum; regulasi yang memungkinkan agregasi harus dibuat oleh pemerintah, namun di saat yang sama pengelolaannya dengan memperbesar porsi kekuatan civil society yang profesional, akuntabel dan dapat dievaluasi dengan memakai keadilan sosial sebagai sebuah perangkat analisis utama( Lihat Diagram 2).


(22)

Derivasi dari seluruh persoalan itu dalam konteks yang lebih mikro dan juga akuntansi adalah; bagaimana membuat seperangkat pembangun informasi yang dapat menjadi sebuah alur kerja dari proses yang lebih manusiawi lewat

implementasi dan pengungkapan nilai moral yang inheren dalam laporan keuangan. Sehingga secara tehnis derivasinya akan mencakup

1. Pencapaian nilai syariah dalam proses kerja usaha. Sehingga dapat menjamin kehalalan produk dan pencapaian nilai moral syariah lainnya. 2. Pencapaian ke dalam perusahaan yang dapat dilihat dari segi pencapaian

keuntungan, likuiditas,solvensi , efisiensi serta perlakuan terhadap seluruh aset dan tenaga kerja.

3. Pencapaian keluar perusahaan, yang mengakomodir keseimbangan dari pencapaian keuntungan perusahaan dengan distribusi keuntungan tersebut kepada seluruh pihak eksternal seperti pemerintah yang melahirkan regulasi, bagi hasil nilai tambah terhadap alam, serta pencapaian penyebaran zakat dengan tepat guna kepada mustahiknya,

4. Menjadikan institusi bisnis itu sebagai organisasi pembelajar yang

memiliki sebuah perencanaan jangka panjang untuk merealisasikan tujuan kedalam dan keluar perusahaan tersebut secara bertahap.


(23)

Diagram 2. Konstruksi Strategi Agregasi Zakat Dan Ekonomi Yang Islami Dalam Struktur Tehnis Kelembagaan Indonesia


(24)

III.3. Two Step IntermediationDalam Sistem Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia

Dalam seluruh masalah manajerial dan regulatif yang berkaitan dengan

institusionalisasi zakat ini, perbankan adalah institusi yang paling mungkin untuk melakukan institusionalisasi, agregasi dan terobosan-terobosan baru.

Dalam usaha kita menjadikan perbankan sebagai kombinasi zakat ini, perbankan syariah dapat mengkonstruksi sebuah sistem kombinasi perbankan-zakat yang disebut: Intermediasi 2 tahap ( Two Step Intermediation. ). Intermediasi 2 tahap ini, pada prinsipnya adalah sebuah usaha untuk menjadikan Perbankan Syariah sebagai sebuah institusi pemungut zakat yang agregatif dan akseleratif melalui segala kelebihan dan kesempatan yang dipunyai oleh perbankan dan kemudian memberdayakan zakat tersebut agar dapat menjadi sarana Intermediasi perangkat produksi ( Intermediasi Tahap I). Setelah intermediasi tahap satu berhasil, tentu saja dengan parameter yang dimiliki oleh perbankan, perbankan akan menjadikan Mustahikzakat, berkat dana zakat sebelumnya, yang telah cukup mampu mandiri sebagai mitra binaan perbankan dan pada saatnya nanti akan mendapat dana Intermediasi perbankan.( Intermediasi tahap II) ( Lihat Gambar 3 )

Gambar 3. Konstruksi Prinsip Two Step Intermediation.

DANA ZAKAT DAN ASISTENSI:

MUSTAHIK PERBANKAN

PENGUSAHA KECIL / MUZAKKI

DANA ZAKAT DAN ASISTENSI: PERGESERAN DARI MUSTAHIK


(25)

Dalam konstruksinya, Two Step Intermediation. ini akan diarahkan untuk mempercepat daya dorong perekonomian Mustahiksecara produktif, dan untuk tujuan tersebut, pendekatan serta metode dapat dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk

Namun demikian, hemat penulis, selain kita menekankan fungsi-fungsi pengelolaan zakat tersebut pada titik tekan intermediasi alat produksi kearah pemberdayaan aset-aset produktif dan kepentingan bisnis yang dapat

memberdayakan Mustahikmenjadi Muzakki, kita tidak boleh melupakan bantuan-bantuan zakat yang bersifat kasuistis. Karena itu, pemanfaatan dana zakat dalam Two Step Intermediation. ini harus juga memperhatikan karakteristik Mustahik yang memerlukan jenis-jenis dana yang berbeda. Konsekwensinya jenis dana yang akan di Intermediasikan dalam Two Step Intermediation ini harus kita bagi kedalam minimal 2 buah jenis dana. Pertama, Dana Strategisyang akan

dipergunakan sebagai sarana penyebaran perangkat produksi. Kedua, Dana Kasuistisparsial yang akan dipergunakan untuk keperluan-keperluan lain seperti pinjaman ataupun bantuan konsumtif. Sedangkan Implementasi dilapangan atas sistem ini sangatlah cair dan diperlukan upaya kontekstualisasi lebih lanjut yang lebih sesuai dengan Spesialisasi Program, karakteristik Sistem Akuntansi

Perbankan Syariah secara spesifik, lingkungan dan usul fikih yang dominan di sebuah tempat.

Spesialisasi atas sistem, dalam hal ini bukanlah hal yang remeh. Spesialisasi itu dapat berupa spesialisasi wilayah, skim, ataupun spesialisasi program. Spesialisasi ini juga tidak harus spesialisasi antar bank namun bisa juga berupa spesialisasi antar kantor cabang. Spesialisasi ini, selain mempercepat akselerasi, juga akan mempermudah sinergi antar LAZ . Sebagai contoh, spesialisasi perbankan syariah A adalah pada program-program pertanian pada kantor cabang A1, sedangkan pada kantor cabang A2 adalah pada program beasiswa. Disisi lain, spesialisasi perbankan syariah B adalah program beasiswa pada kantor cabang A1 ,sedangkan pada kantor cabang A2 adalah program-program penciptaan usaha perdagangan. Dari contoh ini, dua buah perbankan tersebut melakukan spesialisasi dalam program-program tertentu. Adalah baik sekali jika Two Step Intermediation.


(26)

diarahkan pada hal-hal semacam ini dan diiringi dengan koordinasi antar bank pengelola zakat sehingga nantinya akan tercipta sinergi ( Lihat Gambar 4) Gambar 4. Spesialisasi Berdasar Kegiatan Spesifik Bank

Gambar 4a.

Gambar 4b.

Intermediasi tahap I dan II dengan titik tekan perangkat modal pertanian.

Titik tekan pada bantuan pendidikan

PERBANKAN SYARIAH A ( Bagian Terbesar Masyarakat Adalah

Petani )

PERBANKAN SYARIAH B ( Bagian Terbesar Masyarakat Adalah

Petani )

Kantor cabang A1

MUSTAHIK

Kantor cabang B1 Spesialisasi Beasiswa

PERBANKAN SYARIAH A ( Bagian Terbesar Masyarakat Adalah

Pedagang )

Titik tekan pada bantuan pendidikan

Intermediasi tahap I dan II dengan titik tekan perangkat modal dagang

PERBANKAN SYARIAH B ( Bagian Terbesar Masyarakat Adalah

Pedagang )

Kantor cabang A2

MUSTAHIK

Kantor cabang B2 spesialisasi Perdagangan


(27)

Spesialisasi juga dapat berupa spesialisasi kegiatan. Misalnya dalam konteks perbankan syariah tidak diperbolehkan menjadi penyebar dana zakat secara langsung, perbankan syariah dapat menjalin kerja sama dengan Amil atas

spesialisasi kegiatan. Perbankan dalam hal ini dapat bertindak sebagai pemungut zakat yang agregatif sedangkan Amil dalam hal ini berperan sebagai penyampai dana zakat, fasilitator lapangan dan pemberdayaan masyarakat berupa verifikasi, pemetaan kemiskinan dan pendampingan atas pemanfaatan dana zakat yang diberikan kepada Mustahikpada Intermediasi Tahap I dan Tahap II ( Lihat Gambar 5 )

Gambar 5. Spesialisasi Berdasar Kerja ( 1 )

Spesialisasi lain dapat berupa pemosisian perbankan syariah hanya sebagai koordinator dari pengumpulan zakat dengan menampung dana dari LAZDA dan berspesialisasi dengan menempatkan diri khusus sebagai pengelola zakat yang berupa dana struktural dengan persentase anggaran dana sebesar yang disepakati LAZDA. Dalam hal ini LAZDA dapat berperan sebagai penyalur dana parsial dan pinjaman. Pemosisian Bank dan LAZDA ini dapat dilakukan dengan

pertimbangan kedekatan mereka dengan masyarakat ( lihat Gambar 6) Job : Asistensi, Pemetaan Dan Pendampingan Two Step Intermediation

MUSTAHIK

Institusi 1.

Institusi 2. Job: Two Step


(28)

Gambar 6. Spesialisasi Berdasar Kerja ( 2)

Prinsipnya, Two Step Intermediation. adalah sebuah mekanisme yang mengkombinasi-kan perbankan syariah dan kelebihan zakat dalam sebuah

institusionalisasi. Bila kemudian terdapat beberapa variasi di lapangan, itu justru merupakan kebaikan selama hal ini tidak menimbulkan kontradiksi dalam

pengelolaan Two Step Intermediation. berupa pelanggaran atas hukum-hukum utama sistem islam dan ketidak patuhan atas prinsip-prinsip akuntansi yang manusiawi. Hal ini karena, pada dasarnya konstruksi Two Step Intermediation.

ini sangat terbuka dan hanya berupa prinsip-prinsip dasar.

Kontekstualisasi lebih lanjut dalam sistem ini dapat berupa; Kontekstualisasi prosedur akuntansi, Kontekstualisasi bentuk Intermediasi I, Kontekstualisasi skim yang terlibat , Kontekstualisasi pilihan metode akibat perbedaan pilihan mazhab Islam di suatu daerah tertentu, Kontekstualisasi manajemen resiko dan

Pergeseran Mustahik -Pengusaha Kecil /

Pengusaha Kecil / Muzakki

Mustahik

Struktural % Dana

Struktural Intermediasi Tahap I

Mustahik Kasuistis

% Dana Parsial Perbankan

Syariah LAZDA

MUZAKKI

MUZAKKI


(29)

Kontekstualisasi format pendampingan atas Mustahikagar dapat bergeser menjadi pengusaha kecil dan Muzakki.

III.4. Konstruksi Two Step Intermediation. Dan Kaitannya Dengan Aturan Hukum Positif Di Indonesia

Two Step Intermediation sebagai sebuah institusi pengumpul zakat dalam kaitannya dengan peraturan hukum positif di Indonesia, tidaklah luar biasa dan istimewa. Mekanisme ini, sebetulnya adalah mekanisme yang secara “ diam-diam” sudah ada dan mendapat legalitas secara hukum. Dengan kata lain, usaha untuk pembentukan institusi ini pada perbankan syariah tidak akan mendapatkan “hambatan” hukum apapun ataupun memerlukan sebuah regulasi yang sangat baru.

Dalam masalah pengelolaan zakat, perangkat Undang-Undang positif yang menjadi dasar dari pelaksanaannya adalah UU RI No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 373 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaannya serta Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam Dan Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Tehnis Pengelolaan Zakat. Tambahan lainnya yang berkenaan dengan zakat adalah UU RI No.17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Adapun yang berhubungan dan berkaitan

langsung dengan Perbankan Syariah dan Aspek Akuntansi di dalamnya,

terakomodir dalam ketentuan UU yang telah dikeluarkan pemerintah antara lain UU No. 7 Tahun 1992, Tahun 1998 dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang merubahan UU No. 7 Tahun 1992, Peraturan Bank Indonesia nomor: 8/3/PBI/2006 , Peraturan Bank Indonesia 6/24/2004 , Surat keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34 1999 tentang Bank Umum

Berdasarkan Prinsip Syariah, kemudian akhirnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan ( PSAK ) No.59 Tentang Standar Akuntansi Keuangan Perbankan Syariah dan PAPSI 2003.


(30)

Dalam UU RI No. 38 tahun 1999, dikatakan bahwa:

 Pengelolaan zakat bertujuan untuk; 1.) Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama; 2.) Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial 3.)

Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. ( Pasal 5 Ayat 1-3)

 Badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan

zakat sesuai dengan ketentuan agama.

( Pasal 9 )  Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam

pengumpulan zakat harta Muzakki yang berada di bank atas

permintaan Muzakki.

( Pasal 12) Dalam UU RI No.17 Tahun 2000, dikemukakan:

 Yang tidak termasuk obyek pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembagaamil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;

( Pasal 4 ayat 3, butir A1 ) Sedangkan hal-hal yang menyangkut dan berkaitan dengan perbankan syariah, dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan khususnya pasal 6 point m. Dikatakan bahwa salah satu Usaha Bank Umum adalah : “Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” . Selain itu, di dalam Peraturan Bank Indonesia 6/24/2004 Tentang Bank Umum Yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 37 ayat 2, terdapat redaksional:

“Bank syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah”


(31)

Hal inilah yang kemudian dirujuk oleh Peraturan Bank Indonesia nomor: 8/3/PBI/2006 tentang “Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional” pasal 40 ayat 2 tentang Kegiatan Usaha dengan redaksional:

“ Pengaturan mengenai kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

berpedoman pada ketentuan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam

Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah”.

Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dikatakan dalam pasal 28 bahwa Bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana yang meliputi prinsip Qard ( bantuan kebajikan ) serta pasal 29 ayat 2 yang isinya mengizinkan perbankan syariah untuk:

Bertindak sebagai lembaga Baitul Maal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, shadaqah,waqaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan ( Qardhul Hasan)”.

Sementara, untuk hal-hal yang berkaitan dengan Standar Akuntansi Keuangan Perbankan Syariah, telah dinyatakan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan ( PSAK ) No.59 dalam Kerangka Dasar Penyusunan Dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah paragraf (8) point ( c) bahwa kegiatan Bank Syariah antara lain: “sebagai pengemban fungsi sosial berupa pengelolaan dana zakat, infak, shadaqah, serta pinjaman kebajikan ( Qardhul Hassan) sesuai ketentuan yang berlaku”. Dalam Pengakuan dan Pengukuran Qardhul Hassan tersebut, telah dikemukakan bahwa Bank Syariah dapat mengelola Qardhul Hassan dan pelaporannya harus disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan dana karena dana tersebut bukan asset bank yang bersangkutan ( paragraf 140) dan sumber dana Qardhul Hassan tersebut berasal dari eksternal dan Internal perbankan yaitu dari pihak lain; zakat, infak, shadaqah ( eksternal ) dan dari dana yang disediakan oleh pemilik bank,


(32)

hasil tagihan Qardhul Hassan serta pendapatan non-halal ( Internal) (Paragraf 141).

Kelanjutan dan penjelasan tehnis lebih lanjut berkenaan dengan PSAK 59 inilah yang kemudian tercermin dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia PAPSI 2003. Yang mana di dalam peraturan itu, tergambar aturan-aturan lebih mendetail dan tidak menyimpang dari PSAK 59 yang sudah ada.

Kesimpulannya, usaha perbankan syariah dalam bentuk apapun untuk memaksimalkan jumlah pembayar zakat dan untuk mengoptimalkan pelaksanaannya dalam mekanisme yang berorientasi kesejahteraan sosial bukanlah hal yang sulit. Perbankan hanya perlu mengkombinasikannya secara tepat dengan metode, skim, dan fasilitas yang memang telah ada di dalam perbankan syariah itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya UU No. 38 tahun 1999, yang memberi izin untuk pendiriansebuah lembaga melakukan pengelolaan zakat, bekerja sama dengan perbankan dan melakukan penyaluran yang berorientasi kesejahteraan sosial. Di sisi Perbankan Syariah sendiri dalam UU No. 10 tahun 1998, secara implisit hal tersebut memang diperbolehkan. Terlebih lagi, dengan adanya Peraturan Bank Indonesia nomor: 8/3/PBI/2006, Peraturan Bank Indonesia 6/24/2004 ,SK Direksi BI No. 32/34 Tahun 1999 dan PSAK No. 59 serta PAPSI 2003 yang lebih memberi peluang Perbankan Syariah untuk melakukan pengumpulan dana Zakat yang dapat dimanfaatkan-lewat berbagai mekanisme-untuk kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, Two Step Intermediation. ini, adalah sebuah mekanisme yang “telah ada” dalam konstruksi sistem perbankan syariah, hanya saja metode pelaksanaannya belum begitu maksimal .

III.5. Sebuah Model Manifestasi Tehnis Pada Perbankan Syariah a. Beberapa Argumen Dalam Institusionalisasi

Sebagaimana penulis telah kemukakan, dalam seluruh masalah manajerial dan regulatif yang berkaitan dengan institusionalisasi zakat , perbankan syariah adalah institusi yang paling mungkin untuk melakukan institusionalisasi, agregasi dan terobosan-terobosan baru.


(33)

Berkaitan dengan seluruh persoalan tersebut, dapat dipertanggung jawabkan bahwa

1). Zakat dan Perbankan Syariah memiliki sebuah karakteristik yang sama. Yaitu kemampuannya melakukan dorongan investasi lewat intermediasinya yang berupa alat-alat produksi dan kemampuannya untuk mendorong daya beli masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, secara eksplisit diungkapkan bahwa;

Didalam menjalankan operasinya fungsi bank Islam akan bertindak :

• Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yangdipercayakan oleh pemegang rekening investasi / deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.

• Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana / sahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi)

• Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah

• Sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan ( fungsi optional )

( Baraba,1999)

2) Perbankan Syariah memiliki perangkat kerja dan fasilitas pendukung yang sangat menunjang untuk akselerasi mobilisasi dana. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan sebuah potensi untuk mengimplementasikan kombinasi Perbankan-Zakat.

3) Perbankan Syariah memiliki kemampuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan operasinya secara profesional. Hal ini tidak saja karena perbankan syariah

didukung oleh SDM yang lebih siap, melainkan juga karena perbankan syariah memiliki sistem yang secara inheren memang mendukung untuk pelaksanaan


(34)

pengumpulan dana. Dalam konteks ini, Laporan Keuangan Perbankan Syariah bahkan memberikan penekanan dan kekhususan dalam mengungkap sumber dan pemanfaatan dana zakat secara tersendiri. Oleh karena itu, Laporan akuntansi bank Islam pada umumnya akan terdiri dari :

 Laporan posisi keuangan / neraca  Laporan laba-rugi

 Laporan arus kas

 Laporan perubahan modal

 Laporan perubahan investasi tidak bebas /terbatas  Catatan atas laporan keuangan

 Laporan sumber dan penggunaan zakat

 Laporan sumber dan penggunaan dana qard/qardul hasan

( PSAK 59)

4) Dalam posisi perbankan syariah sebagai pemungut zakat ini, perbankan

syariah berada dalam posisi diuntungkan. Hal ini adalah karena perbankan syariah lebih dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan pengelolaan dana secara

akuntabel dan auditabel. 5) Tidak adanya hambatan apapun secara yuridis, manajerial dan ekonomis yang akan menimbulkan kontradiksi dalam pengelolaannya. 6) Setiap taklif zakat yang zahir maupun yang batin dapat terverifikasi dalam laporan keuangan tahunan yang akuntabel.

b. Sebuah Model Tehnis Dalam Manifestasi

Dari seluruh penjelasan tersebut tergambar bahwa kekuatan Perbankan Syariah dalam kombinasinya dengan zakat, adalah pada fasilitasnya yang lengkap dan manajerialnya yang mapan. Dari sudut pandang akuntansi, manajerial yang mapan tersebut dapat dimanifestasikan kedalam sebuah sistem akuntansi yang baik. Karena dengan sebuah sistem akuntansi yang baik, perusahaan akan berjalan di dalam sebuah frame dan sistem kerja yang jelas dan auditable. Hal ini selaras dengan tujuan dari diadakannya sistem akuntansi itu sendiri yaitu untuk:1). Memenuhi prinsip cepat, dalam artian bahwa sistem akuntansi mampu menyediakan data yang diperlukan tepat pada waktunya dan dapat memenuhi kebutuhan; 2) Memenuhi prinsip aman, dalam artian bahwa sistem tersebut


(35)

mampu membantu menjaga keamanan harta milik perusahaan dengan

mempertimbangkan prinsip-prinsip pengawasan Intern; 3) Memenuhi prinsip murah, dalam artian bahwa sistem tersebut dapat dilakukan dengan biaya yang seminimal mungkin. ( Baridwan,1981). Dengan demikian , manifestasi Two Step Intermediation. ini pada Sistem Akuntansi Perbankan Syariah diharapkan untuk tidak akan terlepas dari 3 buah asumsi dasar tujuan dari sebuah sistem

sebagaimana telah digambarkan di atas.

Namun demikian, sebelumkita mengkonstruksi sebuah sistem yang berkenaan dengan perbankan syariah tersebut, harus lebih dahulu disadari bahwa di dalam perbankan syariah terdapat 2 narasi besar dalam pengembangannya. Yang pertamaadalah narasi yang berkaitan dengan kelayakannya bila dilihat dari sudut pandang nilai-nilai syariah; narasi kedua adalah kemungkinan implementasinya bila dilihat dari sudut pandang regulasi ekonomis-perbankan. (Tentu saja hal ini menyebabkan Perbankan Syariah memerlukan kehati-hatian yang lebih

dibandingkan perbankan konvensional.) Dari 2 buah narasi besar ini, perbankan akan memunculkan lagi 2 buah bentuk orientasi umum produk perbankan syariah yaitu: Akad yang berorientasi keuntungan atau laba dan akad yang berorientasi sosial /Tabarru. ( Zulkifli,2003 ). Selanjutnya 2 buah bentuk orientasi akad inilah yang akan menghasilkan 3 buah derivasi kemungkinan-kemungkinan bentuk umum produk, yang ketiga hal tersebut merupakan pilar utama dari fungsi Intermediasi Perbankan di satu sisi dan kemampulabaan ( Profitabilitas ) perusahaan di sisi lainnya.

3 buah derivasi kemungkinan bentuk umum produk tersebut adalah: Aqad Tijarah ( Jual-beli), Aqad Syarikah( kerjasama/kongsi ) dan Aqad Hasan( Kebajikan). Dari 3 buah model umum produk ini, akan di dapat 5 buah prinsip pengembangan produk di dalam sebuah perbankan syariah ( Lihat Gambar 5 ) yaitu:

a. Prinsip Wadiah ( simpanan )

b. Prinsip Syarikah ( bagi hasil )


(36)

d.Prinsip Al-Ajr ( Pengambilan Fee)

e. Prinsip Al-Qard ( Biaya Administrasi )

Dengan 5 buah prinsip inilah produk perbankan syariah akan mengalami perkembangan. Di dalam kegiatan dan proses pengembangan produk perbankan tersebut, akan menimbulkan pengaruh terhadap Sistem Perbankan itu sendiri secara langsung. Hal ini berbeda dengan perusahaan pada umunmnya, namun serupa dengan perbankan lainnya. Hal tersebut, dapat terjadi karena antara Sistem Perbankan Syariah yang menghasilkan produk dan Produk Perbankan Syariah yang dihasilkan itu sendiri memiliki hubungan yang saling berhimpit. Atau dengan kata lain, “Produk” di dalam sebuah institusi perbankan adalah sebuah manifestasi langsungdari perkembangan “Sistemnya” itu sendiri.

Gambar 7. Peta Prinsip pengembangan Produk Perbankan Syariah

Prinsip Pengembangan Produk Pada Perbankan Syariah Aqad Hasan Aqad Syarikah

Aqad Tijarah Orientasi Laba

Prinsip Tijarah ( Jual beli / Pengembalian keuntungan )

Prinsip Al-Qard ( Biaya Administrasi )

Prinsip Syarikah ( bagi hasil )

Prinsip Al-Ajr (Pengambilan Fee)

Prinsip Wadiah ( simpanan )

Regulasi perbankan dan regulasi syariah


(37)

Dalam manifestasinya pada perbankan, Two Step Intermediation tidaklah mengandalkan sebuah prinsip ataupun sebuah produk perbankan saja. Two Step Intermediation. adalah sebuah kumpulan dari berbagai aktifitas atau produk perbankan yang dimanifestasikan dalam sebuah Skim yang padu dan

diimplementasikan pada sebuah sistem perbankan Syariah, yang mana sistem tersebut dalam bagian terbesar pelaksanaanya adalah usaha-usaha untuk melakukan terobosan-terobosan dan modus baru dalam memobilisasi, meng-organissasi, dan memfasilitasi aktivitas filantropy dalam sebuah rerangka akuntabilitas publik. Lebih lanjut, dalam manifestasi sistem tersebut, perbankan akan mengarahkan upaya-upayanya pada penekanan Perbankan Syariah sebagai kekuatan Transformatif dengan jalan: Pertama percepatan pemilikan sarana usaha ( alih kepemilikan dan alih kelola) yang konkritnya mengubah posisi ketergantungan Mustahikkepada pengusaha / pedagang besar atau pemilik modal lain. Kedua, percepatan produktivitas yang melekat di dalamnya transformasi daya inovatif, kreativitas, dan penambahan nilai produk (Added Value & Competitivness). Ketiga, percepatan penguasaan konsep bisnis dan alih teknologi

serta manajemen; dan keempat, percepatan penguasaan pasar dan jaringan.

Namun demikian sekalipun dana zakat yang dikelola diharapkan dapat berdaya guna sebagai perangkat produktif, perbankan juga tidak dapat mengabaikan kelompok besar masyarakat yang tidaklah siap dengan dana produktif karena kekurangan mereka atas konsep dan ilmu, kebutuhan mereka atas dana yang memang tidak sama dan tuntutan syariah yang memang tidak mengizinkan mereka sebagai penerima dana produktif. Hal ini karena, kelompok Mustahikitu tidaklah seragam jenisnya. Ada 8 asnaf yang berhak untuk mendapatkan dana zakat-hal ini bukanlah berarti bahwa semuanya harus mendapatkan jumlah yang seragam-namun demikian, setidaknya hal ini menggambarkan bahwa tidak satupun dari 8 asnaf tersebut yang boleh diperlakukan secara tidak adil. Jika sebuah amil zakat tidak melakukan pengelolaannya secara khusus terhadap dana zakat yang konsumtif / kasuistis / parsial, minimal amil tersebut memiliki solusi bila sewaktu-waktu dihadapkan pada tuntutan terhadap pengadaan dana kasuistis tersebut yang secara syar’i sudah menjadi hak penuh dari Mustahik.


(38)

saing, tidaklah berarti pengabaian hal-hal yang justru merupakan basis dasar dari pengelolaannya.

Menyikapi kondisi tersebut, untuk memanifestasikan sebuah sistem Two Step Intermediation. secara profesional, moderat serta akuntabel, di dalam manajemen perbankan sendiri haruslah siap dengan fungsi-fungsi manajemen yang baik yaitu : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan atau evaluasi (Mas’ud, Muhammad, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut, Two Step

Intermediation. memiliki alur manajemen sebagai berikut ( Lihat Gambar 6 ). Gambar 8. Alur Asistensi dan Evaluasi Two Step Intermediation

Dalam konstruksi di atas, tergambar bahwa alur pertama dari keseluruhan sistem ini adalah penyerahan / pemungutan dana zakat dari Muzakkikepada/ oleh perbankan yang kemudian diberikan kepada Mustahikdengan diiringi asistensi yang cocok berdasarkan karakteristik Mustahik. Mustahikyang mendapatkan asistensi diharapkan mengelola uang zakat secara produktif dan akuntabel. Untuk itu, perbankan juga akan terus menerus melakukan evaluasi dan pengawasan.

PERGESERAN DARI MUSTAHIKKE PENGUSAHA KECIL / MUZAKKI

MUSTAHIK

Pemetaan, Studi

Kelayakan, Potensi Usaha PERBANKAN

PENGUSAHA KECIL / MUZAKKI Muzakki

Evaluasi Dan Pengawasan

Studi Kelayakan, Potensi Usaha

DANA ZAKAT DAN ASISTENSI:

DANA PERBANKAN DAN ASISTENSI:


(39)

Diharapkan dengan begitu, akan menghasilkan Mustahik-Mustahikyang mandiri dan pada saat selanjutnya akan dapat menjadi Muzakki.

Dari keseluruhan penjelasan di atas, sebuah kesimpulan dapat di ambil bahwa bila perbankan akan menerapkan Two Step Intermediation ini dalam sistemnya, maka perbankan harus memperhatikan minimal 5hal yaitu : 1 )Prinsip-prinsip pengembangan produk dalam sebuah perbankan syariah. 2)Kombinasi berbagai produk (Skim ) yang sudah ada dalam perbankan syariah menjadi sebuah produk baru yang padu yaitu Two Step Intermediation. .Yang mana, dengan kombinasi produk-produk tersebut, akan tercapai tujuan utama dari konstruksi Two Step Intermediation. yaitu Transformasi alat produksi.3)Sebuah sistem dan prosedur yang mampu mengakomodir tujuan-tujuan internal perusahaan itu sendiri. Yaitu sebuah sistem yang tidak melenceng dari tujuan pembentukan sistem tersebut sedari awal. 4)Pengelolaan yang tepat-jelas atas asistensi serta komposisi dana zakat di perbankan. Yaitu, keseimbangan yang baik antara penggunaan dana yang kasuistis dan dana yang strategis. 5)Menyentuhkan seluruh proses pelaksanaanya dengan manajemen perbankan yang tepat. Berdasarkan 5 buah butir syarat

implementasi di atas, maka penulis telah mengkonstruksi Two Step Intermediation yang secara tehnis dapat berupa (Gambar 9 )


(40)

(41)

Penjelasan 1:

1. Muzakkimenyerahkan dana zakat ke perbankan. Pemungutan dana zakat ini akan terbagi ke dalam 2 bentuk, yaitu: dana zakat yang batin dan dana zakat yang zahir. Dana zakat yang zahir adalah dana zakat yang tampak, terlihat dan teranalisis oleh perbankan karena dapat di verifikasi dalam laporan keuangan. Dana zakat zahir ini, akan dipungut secara langsung oleh perbankan setelah sebelumnya Muzakkimenyetujui pemungutan langsung oleh perbankan. Dana zakat yang batin adalah dana zakat yang didapat dari pembayaran Muzakkisukarela karena sumber-sumbernya tidak dapat diverifikasi oleh laporan keuangan bulanan atau metode analisis lain dari perbankan. Perbankan dapat mengkombinasikan Self Assesment Sistem dan metode Pemotongan Langsung dengan pendekatan pajak.

2. Perbankan melakukan pengelolaan dana zakat yang di dapat dari Muzakki. Pengelolaan ini meliputi: a) Pemetaan Mustahikzakat dan

karakterisasinya; b) Perencanaan persentase ( % )Pool dana zakat yang Produktif dan persentase ( % ) Pool dana zakat yang konsumtif atau sertifikasi dana zakat tersebut agar dapat dicairkan sewaktu-waktu; c) Perencanaan kemitraan serta; d) Manajemen Resiko atas dana

3. Setelah dana zakat itu disiapkan ke dalam Pool dana tersendiri berdasarkan karakteristik dana, maka dana tersebut akan dibagikan kepada 3

karakteristik Mustahikyaitu: a) Mustahikyang mendapat dana

produktif ; b) Mustahikyang mendapat dana konsumtif; c) Mustahik

yang mendapat dana dalam bentuk sertifikat.

4. Dalam setiap langkah kegiatan di atas, diharapkan untuk selalu didampingi oleh perbankan sebagai sebuah institusi asistensi. Perbankan diharapkan untuk melakukan asistensi dan pembinaan, pengawasan dan regulasi kebijakan. Selain itu bank juga dapat membantu membuka peluang pasar dan pemasaran atau mungkin juga peluang distribusi produk jadi.

5. Output yang diharapkan dari seluruh kegiatan ini adalah adanya terobosan-terobosan baru yang berkaitan dengan pertambahan produktivitas dan pertambahan jumlah tenaga kerja. Pertambahan ini, munculnya adalah dari


(42)

bertambahnya UKM baru, pertambahan struktur modal dari UKM yang sudah ada, transfer konsep dari pembelajaran di dalam asistensi dan penyertaan modal serta bertambahnya tenaga kerja dalam sebuah institusi usaha.

6. Dalam seluruh kegiatan perbankan dengan dana zakat ini, diharapkan agar perbankan melakukan perhitungan dengan tepat bagian-bagian dan jumlah modal yang harus dikembalikan dan bagian modal yang tidak perlu di kembalikan. Pengembalian atas modal ini diperbolehkan dengan

pertimbangan sebuah bentuk penanaman tanggung jawab dan mencegah penyalahgunaan dana untuk hal yang tidak produktif.

7. Dengan demikian, hasil akhir yang diharapkan dalam Two Step

Intermediationini adalah terciptanya kemandirian usaha yang mengarah kepada pembentukan Muzakki-muzakkibaru dan terciptanya kondisi yang menguntungkan UKM untuk akhirnya terverifikasi sebagai perusahaan yang Bankable.

8. Dengan kondisi Mustahikyang telah bergeser menjadi UKM, diharapkan agar perusahaan/ UKM tersebut akan mendapatkan dana lanjutan dari perbankan yang akan diambil dari dana pebankan itu sendiri sebagai sebuah intermediasi dana kepada perusahaan.

c. Kombinasi Skim Yang Terlibat Dalam Two Step Intermediation

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Two Step Intermediationadalah sebuah sistem yang terdiri dari beberapa skim yang dipadukan menjadi sebuah sistem tunggal yang padu dan koheren. Masing-masing skim akan membawa karakteristiknya yang dasar, hanya saja karakteristik dasar tesebut akan “melebur” dalam karakteristik dasar Two Step Intermediation. Dalam hal ini, Two Step

Intermediationmerupakan kombinasi dari 2 buah format orientasi utama produk perbankan syariah yaitu: Kombinasi dari skim yang berorientasi Sosial/ Tabarru’ dengan skim yang berorientasi laba ( Syirkah / Tijarah). Dengan demikian, pada prinsipnya sistem ini merupakan kontekstualisasi dari skim Qardh( Dana


(43)

Kebajikan ) pada perbankan syariah dengan menyuntikkan unsur-unsur akad laba. ( Hal ini merupakan sebuah ijtihad, karena Skim Qardhtersebut dalam

pembiayaan perbankan syariah adalah sebuah keistimewaan dan hanya dapat dikumpulkan melalui bagian modal yang dialokasikan khusus ataupun dari dana zakat, infaq dan shadaqah ( Zulkifli, 2003) ataupun dari sumber-sumber non-halal parbankan syariah. )

Karena merupakan sebuah bentuk kombinasi, Skim yang terlibat dalam sistem ini sebetulnya tidak dapat dimonopoli dengan bentuk-bentuk yang tetap serta

monoton. Hanya saja, pada intinya skim yang di butuhkan adalah skim yang mampu mengakomodir dana pinjaman sosial, pinjaman syariah konvensional dalam kerja sama UKM, dan memenuhi prinsip kehati-hatian atas dana zakat yang dikelola serta dana pihak ketiga lain dalam perbankan itu sendiri. Dalam hal ini, kombinasi dari skim yang terlibat akan sangat terpengaruh dengan 3 buah bentuk utama pembiayaan dalam Two Step Intermediation. 3 buah bentuk utama itu adalah :

1) Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang berorientasi transfer perangkat produksi kepada Mustahik. Pembiayaan ini juga terbagi 2 yaitu, a) Pembiayaan yang berupa penyerahan 100 % dana yang akan dikelola penuh oleh Mustahikdan; b) Pembiayaan yang berupa penyertaan modal kepada UKM sehingga Mustahikakan menjadi pemilik modal secara bersama-sama dengan pemilik UKM. Dalam hal ini, selain mendapatkan sharebagi hasil dari keuntungan UKM, Mustahikjuga akan mendapatkan transfer konsep dan kemampuan tehnis dalam pengelolaan perusahaan. Dalam bentuk pembiayaan ini, hubungan kerja akan terjadi secara langsung antara bank dengan Mustahik.

Skim Yang Terlibat : Skim yang dapat dipakai dalam pembiayaan produktif ini adalah skim :

Qardh: Perbankan dapat memberikan pinjaman dengan model


(44)

terhadap Muzakkiterutama agar dana yang diperoleh tidak mengalami deviasi manfaat.

Rahn: Dalam Two Step Intermediation, perbankan dapat saja, bila mungkin, mengambil jaminan dari Mustahikatas dana yang diberikan. Hal ini akan mengurangi resiko atas dana yang diberikan sekaligus memberi tanggung jawab lebih besar atas kegiatan-kegiatan mustahik.

Wakalah: Wakalah ini dapat dipakai Dalam Two Step Intermediation,dengan cara: penyertaan dana ( Muwakkil) zakat pada sebuah UKM yang sehat, Mustahikakan diberi amanat untuk bersama-sama mengelola UKM tersebut atas nama Perbankan (Wakil).Dalam hal ini, perbankan dapat menyusutkan kepemilikan perbankan pada UKM tersebut dengan membuat schedule pelunasan yang disepakati bersama.

2) Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang berorientasi bantuan keuangan dan transfer kemampuan serta konsep. Pada pembiayaan model ini, perbankan akan menitipkan/memberikan/meminjamkan dana zakat kepada UKM yang telah mapan. Disaat yang sama, UKM akan di diikat dengan kerja sama untuk menyerap Mustahikkedalam penambahan kebutuhan kerjanya. Hal ini akan berjalan sampai jangka waktu tertentu yang mekanismenya ditentukan atau dimusyawarahkan bersama atau hingga adanya keputusan apakah Mustahiktersebut akan diserap kedalam kerja atau akan memulai usahanya sendiri.

Pembiayaan jenis ini akan di bedakan dari dana produktif , karena tipe Mustahikjenis ini sama sekali tidak memiliki kemampuan atau karena mereka pada saat ini memiliki prioritas kebutuhan akan konsumsi minimal yang sangat tinggi. Bila mereka dilibatkan dalam proses kerja yang produktif, dikhawatirkan akan menjadi beban untuk UKM yang bersangkutan atau menempatkan bank pada kondisi sangat beresiko.

Skim yang terlibat: Skim yang dapat dipakai dalam pembiayaan bagian ini adalah skim :


(45)

Mudharabah Al Muqayyadah:pada prinsipnya, Mudharabah Al Muqayyadahini adalah kontrak kerja bagi hasil dimana Mudharib akan diikat dengan persyaratan tertentu oleh perbankan tentang jenis, bentuk ataupun metode

pengelolaannya. Dengan adanya ikatan dengan Mudharib ini, perbankan dapat menentukan syarat-syarat pemakaian modal. Misalnya: Perbankan A akan memberikan dana kepada B dengan syarat B hanya boleh mengelola uang tersebut pada investasi-investasi yang kemungkinan ROI-nya 30 %. Pemakaian sistem ini dalam penyaluran dana Zakat

dimungkinkan dan tidak tergolong akad yang dilarang karena menyangkut fihak yang berbeda, bukan fihak yang sama. Perbankan dapat memakai dana zakat untuk penyertaan pada UKM yang sehat dengan akad Mudharabah Al Muqayyadah untuk memperkecil resiko dan memungkinkan pemberian syarat-syarat. Pada prakteknya, perbankan akan meminta UKM untuk menyerap tenaga kerja yang berasal dari mustahikagar dapat memiliki kemampuan dan pemahaman manajerial. Selain itu, mustahikjuga akan mendapatkan bantuan keuangan yang rutin dan lebih pasti dari bagian gaji pegawai UKM. Dari sisi UKM, dana zakat inipun akan sedikit demi sedikit mengalami penurunan jumlah karena bagaimanapun dana zakat ini harus dilunasi.

Wadiah Yad ‘Ad-dhamanah:skim ini sebenarnya sama dengan

skim Mudharabah , hanya saja bedanya pada Mudharabah pihak Mudharib diikat dengan perjanjian bagi hasil atau keuntungan, pada skim Wadiah Yad ad Dhamanahini pihak yang menyimpan dana dana / Mustawda’tidak terikat dengan kewajiban untuk memberikan bagian hasil kerja. Hal ini

dikarenakan pada prinsipnya Wadiah Yad ‘Ad-dhamanah adalah sebuah mekanisme titipan dari perbankan selaku muwaddi’ kepada UKM selaku mustawda’


(46)

Musyarakah: mekanisme musyarakah ini juga sebetulnya sama dengan mekanisme mudharabah. Yang membedakannya hanyalah reisiko yang harus ditanggung bersama antara Bank dengan nasabah.

Qardh: skim dana qardh, dalam hal ini tidaklah berfungsi sebagai dana produktif ataupun penyertaan. Dana qardh ini betul-betul akan diberikan kepada pihak yang membutuhkan untuk tujuan-tujuan yang sangat mendesak dan karena sebab yang sangat penting. Dalam konteks ini, memberikan bantuan transfer alat produksi atau kemampuan justru tidak produktif karena yang terjadi adalah sesuatu yang krusial dan tidak bisa ditunda lagi misalnya: bantuan keuangan kepada keluarga miskin yang anggota keluarganya sakit parah dan harus segera dirawat. Pemberian qardhuntuk kasus seperti ini sangat dianjurkan karena keluarga miskin itu dapat diqiaskan sebagai gharim / orang yang berhutang.

Bila pada pembiayaan produktif yang terlibat secara langsung adalah Bank dengan Mustahik. Maka dalam pembiayaan bagian ini, yang akan terlibat hubungan secara langsung adalah Perbankan dengan UKM. Mustahikadalah fihak yang akan merasakan imbas dari hubungan tersebut, tapi tidak secara langsung ( kecuali dalam kasus pemberian qardh)

3) Pembiayaan Sertifikasi, yaitu pembiayaan kepada Mustahikjenis tertentu yang berhak mendapatkan dana zakat bukan karena

kemiskinannya ( Fakir-miskin) atau karena kebutuhannya yang mendesak seperti : Budak ( Riqab), Berhutang( Gharim), tetapi karena sesuatu hal yang memang menyebabkan ia berhak untuk mendapatkan bagian dana zakat. Dengan sertifikasi, ia dapat

mencairkan uang zakat itu kapan saja ia membutuhkannya. Golongan mustahikjenis ini dapat saja dari golongan Amil zakat ( Amilin ), Fi sabilillah, orang yang baru masuk Islam ( Muallafatul Qulubuhum), atau musafir ( Ibn Sabil). Pada prinsipnya, sertifikasi dana ini


(1)

Berges, Arthur Asa, Prof., Phd. Teknik Analisis Media.

Chapra, M. Umer. Perlukah Memiliki Sistem Ekonomi Islam. Jurnal Muamalat. Yogyakarta. 2002.

Chapra, Umar. Islam dan Pembangunan Ekonomi. Gema Insani Press, kerjasana dengan Tazkia Institute. Jakarta. 2000.

Chapra, Umar. Sistem Moneter Islam. Gema Insani Press. 1999.

Chapra, Umer. The Future of Economics : An Islamic Perspective. SEBI. Jakarta. 2001. Direktorat Perbankan Syariah Statistik Perbankan Syariah ( Islamic Banking Statistics).

Desember. 2005

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Bimas Islam RI. Pedoman Pengelolaan Zakat. Departemen Agama RI. 2004.

Efendi, Rustam. Produksi dalam Islam. Magistra Insania Press. Yogyakarta. 2003. E., zainal Arifin. Dasar-Dasar Penulisan Karangan Ilmiah. Grasindo, Jakarta. 2003. Fakih Mansour. Editor : Eko Prasetyo. Jalan Lain : Manifesto Intelektual Organik. Insist

Press. Yogyakarta. 2002.

Fauzia, Amelia, Bazis DKI Jakarta. Peluang dan Tantangan. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta. Jakarta. 2005.

Gozali, Ahmad. Halal, Berkah, Bertambah, Mengenal dan Memilih Produk Investasi Syariah. Elex Media Komputindo. Jakarta. 2004.

Gunawan,Dhani. Perbankan Syariah Indonesia Menuju Millenium Baru: Suatu Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan Prospek . Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 1999

Hafidhuddin, Didin, Dr. MSc. Zakat dalam Perekonomian Modern. Gema Insani Press. Jakarta. 2004.

Hafidhuddin, Didin. Dr. MSc. Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak, Sedekah. Gema Insani Press. Jakarta. 1988.

Hakim, Cecep Maskanul. Problem Pengembangan Produk Dalam Bank Syariah. Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 1999

Hanafi, Hassan. Dari Akidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama. Paramadina. Jakarta. 2003.

Harahap, Sofyan Safri, S.E., M.Sc. Teori Akuntansi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1995.


(2)

Harahap, Sofyan Safri. Akuntansi Islam. PT Bumi Aksara. Jakarta. 1997.

Harahap, Sofyan Safri. Beberapa Dimensi Akuntansi : menurut Al Quran, Ilahiyah, Sejarah Islam, dan Kini. Makalah dalam Shariah Economics Days. Forum Studi Islam SMFE UI. 2001.

Harahap, Sofyan Safri. Menilai Perkembangan Penerpan Akuntansi Syariah. Media Akuntansi No. 33. Jakarta. 2003.

Harahap, Sofyan Safri. Riset Akuntansi Islam. Jurnal Muamalat. Yogyakarta. 2002. Harmanta. Ekananda, Mahyus Dr. Disintermediasi Fungsi Perbankan Di Indonesia Pasca

Krisis 1997 : Faktor Permintaan Atau Penawaran Kredit, Sebuah Pendekatan Dengan Model Disequilibrium. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2005

Hasbi, Ramli, Drs. H. SE, MM. Konsep Operasional & Penerapan Akuntansi Syariah Dalam Perbankan Syariah Di Indonesia. Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. Lampung. 2003

Hatta, Mohammad. Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi. Inti Idayu Press. Jakarta. 1985. Helmanila, Karlina. Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern dalam

Revitalisasi Filantropi Islam. Editor Chaider S. Bamuallim dan Irvan Abubakar. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta. Jakarta. 2005.

Hoesada, Jan. Filsafat Publik Sebagai Dasar Teori Akuntansi. Media Akuntansi edisi 26. Jakarta. 2002.

Hutagulung, Novianta. Strategic Management Accounting : Revolusi Paradigma Akuntansi Manajemen terhadap Tantangan Bisnis Abad 21. Media Akuntansi edisi 26. Jakarta. 2002.

Idat, Dhani Gunawan. Penurunan Terhadap Kepatuhan Prinsip Syariah. Media Akuntansi No. 33. Jakarta. 2003.

Institut Bankir Indonesia. Akuntansi Perbankan : Akuntansi Transaksi Bank dalam Valuta Rupiah. Institut Bankir Indonesia. Jakarta. 2000.

Jarot, Samijo. Peran BMT Dalam Pengembangan UMKM. Dalam Seminar Ekonomi Syariah. ROIS FE UNILA. 2004

Karim bisnis Konsulting. Sejarah, Akad Dan Produk Perbankan Syariah. Jakarta. 2004 Karim, Adiwarman A. Ir. SE, MBA, MAEP. Islamic Finance & Risk Management Makalah

pada Islamic Finance In Campus II - UIN Syarif Hidayatullah . 2004.

Karim, Adiwarman A. Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani Press. Jakarta. 2001.


(3)

Kasmir, S.E., MM. Manajemen Perbankan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001. M. Iqbal. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Jalasutra. Yogyakarta. 2004. Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Mizan. Bandung. 1999.

Madjid, Nurcholish. Pergeseran Pengertian "Sunnah" Ke "Hadits" Dan Implikasinya Dalam Pengembangan Syari'ah. Dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Budhy Munawar-Rachman ( Ed ). Yayasan Paramadina. Dalam Situs Paramadina. 2006. Majalah Ekonomi Syariah Vol. 4 No. 5. Binary Economics : Paradigma Ekonomi

Berkeadilan. 2005.

Mannan, Abdul, Prof., MA., Phd. Teori dan Prektek Ekonomi Islam. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1997.

Marx, Heinrich Karl-Engel, Freiderich. Manifesto Komunis. London. 1872. Marx, Karl. Kapital Volume 1. Hasta Mitra. Jakarta. 2004.

Moh. As’udi & Iwan Triyuwono. Akuntansi Syariah : Memformulasikan Konsep LAba dalam Konteks Metafora Zakat. Salemba Empat. Jakarta. 2001.

Muhamad. Manajemen Dana Bank Syariah. Ekonosia. Yogyakarta. 2004.

Muhammad Ridwan Mas’ud. Zakat dan Kemiskinan : Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. UII Press. Yogyakarta. 2005.

Muhammad, Penilaian Asset dalam Akuntansi Syariah. Jurnal Akuntansi dan Audit. Vol. 7 No. 1.Juni 2003.

Muhammad. Pengantar Akuntansi Syariah edisi 1 & 2. Salemba Empat. Jakarta. 2005. Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. UII Press. Yogyakarta. 2000. Muhammad. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. UII Press. Yogyakarta. 2001. Muhammad. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. UII Press. Yogyakarta. 2004. Mursyidi, BSc, S.E. Akuntansi Zakat Kontemporer. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2003. Mutasowifin, Ali. Menggagas Strategi Pengembangan PerbankanSyariah Di Pasar

Nonmuslim. Jurnal Universitas Paramadina Vol.3 No. 1 2003:

Perdana, Ari A. Peranan “Kepentingan” Dalam Mekanisme Pasar dan Penentuan Kebijakan Ekonomi di Indonesia. Economics Working Paper Series. CSIS. 2001

Peursen, C.A. Van, Prof. Strategi Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta. 1976. Pilliang, Yasraf Amir. Sebuah Dunia yang Dilipat. Mizan. Bandung. 1999.


(4)

Pontjowinoto, Iwan P. Konsep Ekonomi Syariah dan Ketahanan Ekonomi Indonesia. Makalah dalam Shariah Economics Days. Forum Studi Islam SMFE UI. 2001. Prihatna, Andi Agung. Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi

Filantropi Islam. Editor Chaider S. Bamuallim dan Irvan Abubakar. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta. Jakarta. 2005.

Purwanti, Ayu Safira. Analisis SWOT dalam Upaya Pengembangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Jurnal Eksis. Program Studi Timur Tengah dan Islam UI. Jakarta. 2005.

Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam Vol. 3. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1996. Rahman, Fazlur. Gelombang Perubahan dalam Islam : Studi tentang Fundamentalisme Islam.

Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999. Rahman, Fazlur. Islam. Penerbit Pustaka. 1984.

Rakhmat, Jalaluddin. Dari Sunnah Ke Hadits Atau Sebaliknya. Dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Budhy Munawar-Rachman ( Ed ). Yayasan Paramadina. Dalam Situs Paramadina. 2006.

Rahmat, M. Imadun, dkk. Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia. Tashwirul Afkar edisi 14. Jakarta Selatan. 2003.

Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis & Materialisme Historis). LKIS. Yogyakarta. 2000.

Ridwan, Syamsuri. Zakat di Dalam Islam. Pradnya Paramita. Jakarta. 1988.

Rofi F , Mukhson. Akuntansi Islam: Eforia Atau Realita? www.ppsdms.org - PPSDMS Online!

Rusyd, Ibn. Mendamaikan Agama dan Filsafah Kritik Epitemologi Dikotomi Ilmu. Tsawiah Institute dan Pilar Media. Yogyakarta. 2005.

Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1991 pp. 295-321

Sabzwari M.A. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin dalam Adiwarman Karim (ed) Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. IIIT. Jakarta. 2002. Salamudin, Ceceng. Melirik Pluralisme Post Modernisme. Jurnal Emanasi. IAIN Sunan

Gunung Jati. 2003.

Sardar, Ziaudin.Kembali Kemasa Depan.Serambi.Jakarta.2003

Shadr, Sayid Muhammad Baqir. Sistem Politik Islam : Sebuah Pengantar. Lentera. Jakarta. 2001.


(5)

Shihab, Quraish, Dr. Membumikan Al Quran. Mizan. Bandung. 1995. Shihab, Quraish, Dr. Wawasan Al Quran. Mizan. Bandung. 1995.

Sinungan, Muchdarsyah. Manajemen Dana Bank, edisi kedua. Bumi Aksara. Jakarta. 2000. Siregar, Mulya E & Ilyas Nasirwan. Penempatan Aktiva Produktif Bank Syariah. Jurnal

Muamalat. Yogyakarta. 2002.

Soesilo, Nining I. The Optimal Lending Rate Of Bank Perkreditan Rakyat.. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2005.

Siregar, Mulya E. Zakat Dan Pola Konsumsi Yang Islami. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 1999

Sugiarto, Agus. Dr. Mencari Struktur PerbankanYang Ideal. Kompas,. 2003.

Sugiarto, Agus Dr. Menengok Kembali Intermediasi di Sektor Keuangan. Kompas, 24 Juli 2003.

Sulayman, Abdul Hamidabu. Krisis Pemikiran Islam. Media Da’wah. Jakarta. 1994. Supriyono, RA., SU. Akt. Akuntansi Biaya. BPFE. Yogyakarta. 1983.

Surbakti, Muhamad Syarif. Analisis Faktor-faktor Penyebab Non-Performing Financing (Studi Kasus pada Bank Syariah “X” di Jakarta). Jurnal Eksis. Program Studi Timur Tengah dan Islam UI. Jakarta. 2005.

Susanto, Anang Arief. Zakat Sebagai Kebijakan Alternatif Anti Kesenjangan dan Anti Kemiskinan. Jurnal Muamalat. Yogyakarta. 2002.

Syahatah, Husayn, Dr. Akuntansi Zakat : Panduan Praktis Penghitungan Zakat Kontemporer. Penerbit Pustaka Progresif. Jakarta. 2004.

Syafe'i, Rachmat. Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah . Artikel ini disampaikan dalam seminar tentang eksistensi perbankan dalam perspektif pembinaan ekonomi umat Islam di Jawa Barat. 2005

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Djambatan. Jakarta. 2003.

Tuanakotta, Theodorus M. Teori Akuntansi, Buku 1 dan 2. LPFE-UI. Jakarta. 1986. Warjiyo, Peri. Default Risk Dan Penjaminan Kredit UKM. Buletin Ekonomi Moneter Dan

Perbankan. 2005


(6)

Zainudin, Rahman. Zakat Implikasinya Pada Pemerataan. Dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Budhy Munawar-Rachman ( Ed ). Yayasan Paramadina. Dalam Situs Paramadina. 2006.

Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Zikrul Hakim. Jakarta. 2003. ,. PSAK 59 Akuntansi Perbankan Syariah (Revisi 2003). IAI. 2007

,.PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah. IAI. 2007 ---, Bank Syariah Mulai Kelebihan Muatan Kompas. 2004

---, Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Makalah Seminar. Lampung. 2004.