EFEKTIVITAS MODEL LEARNING CYCLE 6E PADA MATERI KOLOID DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

Citra Nika Dianita

ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL LEARNING CYCLE 6E PADA MATERI KOLOID
DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN
DAN MENGKOMUNIKASIKAN
Oleh
CITRA NIKA DIANITA

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model Learning Cycle
6E pada materi koloid dalam meningkatkan keterampilan mengelompokan dan
mengkomunikasikan. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen
dengan Nonequivalent Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA YP Unila Bandar Lampung semester
genap tahun ajaran 2012-2013 dengan kelas XI IPA2 dan kelas XI IPA4 sebagai
sampel. Efektivitas model Learning Cycle 6E diukur berdasarkan perbedaan nGain yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu 0,65 dan
0,49; serta rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu 0,69 dan 0,59. Berdasarkan pengujian hipotesis
menggunakan uji-t, didapat kesimpulan bahwa model Learning Cycle 6E efektif
dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan
pada materi koloid.


Kata kunci: keterampilan mengelompokkan, keterampilan mengkomunikasikan,
model Learning Cycle 6E

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
I.

II.

III.

ix

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................

1


B. Rumusan Masalah ............................................................................

5

C. Tujuan Penelitian ..............................................................................

5

D. Manfaat Penelitian ............................................................................

6

E. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................

6

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstruktivisme ...............................................................................


8

B. Model Learning Cycl 6E ...................................................................

10

C. Keterampilan Proses Sains ...............................................................

13

D. Analisis Konsep ................................................................................

16

E. Kerangka Pemikiran .........................................................................

21

F. Anggapan Dasar ................................................................................


23

G. Hipotesis Umum ...............................................................................

23

METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................

24

B. Jenis dan Sumber Data ....................................................................

24

v

C. Metode dan Desain Penelitian ..........................................................

25


D. Variabel Penelitian ...........................................................................

25

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya ............................................

26

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ......................................................

26

G. Analisis Data Penelitian ...................................................................

38

H. Tekhnik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ..............................

30


IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ....................................................

34

B. Pembahasan .......................................................................................

41

V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ...........................................................................................

55

B. Saran ..................................................................................................

56

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
1.

Pemetaan SK-KD .....................................................................................

60

2.

Silabus.. ....................................................................................................

65

3.

RPP Kelas Eksperimen ...........................................................................

71

4.


LKS Kelas Eksperimen ........................................................................... 100

5.

Kisi-Kisi Soal Pretest............................................................................... 130

6.

Kisi-Kisi Soal Posttest ............................................................................. 131

7.

Soal Pretest ............................................................................................ 133

8.

Soal Posttest ............................................................................................ 136

9.


Pedoman Penskoran dan Rubrik Penilaian Pretest .................................. 139

10. Pedoman Penskoran dan Rubrik Penilaian Posttest ................................ 144

vi

11. Daftar nilai pretest, postest dan n-Gain ................................................... 149
12. Perhitungan dan Analisis data .................................................................. 157
13. Lembar Aktivitas siswa ............................................................................ 173
14. Lembar Observasi Kinerja Guru .............................................................. 181
15. Surat Keterangan Penelitian ..................................................................... 189

vii

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Ilmu kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan, namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori.
Hakekat ilmu kimia adalah sebagai produk, proses, dan sikap. Produk ilmu kimia
adalah pengetahuan yang berupa konsep, fakta, teori, prinsip dan hukum-hukum,
sedangkan proses ilmu kimia berupa kegiatan ilmiah yang ditekankan pada
pengamatan langsung peserta didik agar dapat melihat, mengamati dan memahami
sendiri keadaan alam sekitar sehingga peserta didik dapat melatih sikap ilmiah
pada saat proses pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran kimia yang ideal
harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses, produk dan sikap.

Faktanya pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan konsep,
hukum-hukum dan teori saja tanpa menyuguhkan bagaimana proses ditemukannya konsep, hukum-hukum dan teori tersebut sehingga tidak tumbuh sikap ilmiah
dalam diri siswa. Kebanyakan materi disampaikan dengan metode ceramah akibatnya siswa menyerap informasi secara pasif dan hanya mengenal banyak konsep
secara hafalan serta menganggap mata pelajaran kimia merupakan salah satu mata
pelajaran yang dianggap sulit untuk dipahami bagi siswa. Selain itu, pembelajaran kimia juga menjadi tidak menarik dan lepas relevansinya dengan dunia

2

nyata yang seharusnya menjadi objek ilmu pengetahuan tersebut (Depdik-nas,
2003).


Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara yang telah dilakukan di SMA YP Unila
Bandar Lampung, proses pembelajaran kimia disampaikan dengan pembelajaran
konvensional, yaitu pembelajaran dengan metode ceramah, diskusi dan presentasi
dengan menggunakan power point dan tidak dilakukan praktikum, misalnya pada
materi koloid. Saat diskusi berlangsung, faktanya diskusi sering dimonopoli oleh
siswa yang memiliki kemampuan akademis lebih baik sehingga hanya sebagian
kecil saja siswa yang berpartisipasi secara aktif, kebanyakan siswa kurang fokus
dan melepaskan diri dari tanggung jawab berdiskusi. Selain itu, siswa kurang dilibatkan secara aktif dalam menemukan konsep materi kimia serta banyak aktivitas-aktivitas yang dilakukan siswa yang dapat mengganggu proses pembelajaran
sehingga siswa tidak menemukan manfaat dari proses pembelajaran kimia dan
kemudian siswa hanya menghafal materi pada saat mengikuti tes.

Proses pembelajaran yang seperti ini cenderung berpusat pada guru (teacher centered) dan belum sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang proses pembelajarannya harus berpusat pada siswa (student centered). Untuk itu, salah satu upaya agar proses pembelajaran berpusat pada siswa, maka perlunya menekan proses pembelajaran pada sikap ilmiah siswa seperti melalui pendekatan keterampilan proses sains (KPS), dalam hal ini keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan. Keterampilan mengelompokkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) merupakan keterampilan untuk dapat memilah berbagai objek peristiwa yang didasarkan pada sifat-sifat khususnya, misalnya

3

mengelompokkan contoh-contoh koloid yang ada dalam kehidupan sehari-hari
seperti susu, santan, es krim, asap kendaraan, agar-agar, keju, dan lain-lain berdasarkan sifat-sifatnya. KPS lain yang dibahas dalam penelitian ini adalah keterampilan mengkomunikasikan. Terampil mengkomunikasikan penting bagi siswa
dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah yang kelak mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Melalui pengamatan langsung, seperti melakukan percobaan pada materi sistem koloid, siswa dituntut mampu mendiskusikan hasil percobaan, memberikan data hasil percobaan atau pengamatan dalam bentuk tabel,
membuat tabel, membaca tabel, menjelaskan hasil percobaan, mengubah data narasi ke dalam bentuk tabel, mengubah data dalam bentuk tabel ke dalam bentuk
narasi, dan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Kemampuan-kemampuan ini
merupakan indikator keterampilan mengkomunikasikan. Dengan demikian, pembelajaran dengan melatihkan KPS ini, dapat memberi kesempatan kepada siswa
untuk melatih cara berpikir, mengembangkan sikap ilmiah pada siswa untuk menemukan fakta, konsep dan prinsip lmu pengetahuan. Selanjutnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah dan tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan
belajar sekolah atau mendengarkan cerita tentang ilmu pengetahuan.

Salah satu model pembelajaran yang dapat melatihkan KPS pada saat pembelajaran adalah model Learning cycle 6E (LC 6E). Learning cycle adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Menurut Fajaroh dan Dasna (2008)
Learning cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang
harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Model LC 6E
adalah suatu model pembelajaran yang terdiri dari 6 fase yaitu engagement,

4

exploration, explaination, echo, extension dan evaluation, dimana pada setiap
fasenya terdapat kegiatan yang berbeda-beda yang akhirnya dapat menghasilkan
tujuan pembelajaran yang diharapkan. Keterampilan mengelompokkan pada penelitian ini dapat dilatihkan pada fase evaluation sedangkan keterampilan mengkomunikasikan dapat dilatihkan pada fase exploration, sehingga model pembelajaran LC 6E diharapkan cocok untuk melatihkan KPS, dalam hal ini keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan, misalnya pada materi koloid.

Salah satu materi yang cocok dibelajarkan melalui model LC 6E adalah materi
koloid. Koloid merupakan salah satu materi kimia yang dipelajari di kelas XI IPA
pada semester genap. Kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa dalam mempelajari koloid adalah mengelompokkan sifat-sifat koloid dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari dan membuat berbagai sistem koloid dengan bahan-bahan
yang ada di sekitar. Untuk mencapai kompetensi tersebut pengalaman belajar harus sesuai sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, konsep-konsep dan teoriteori dengan terlibat langsung dalam proses pembelajaran.

Beberapa hasil penelitian yang mengkaji penerapan model pembelajaran LC 6E
adalah Siregar (2012) dalam penelitiannya yang menjelaskan bahwa adanya peningkatan hasil belajar siswa dengan digunakannya keterampilan proses sains
dalam model LC 6E pada pembelajaran fisika. Hikmahwati (2010) juga menjelaskan dalam penelitiannya pada materi hasil kali kelarutan di kelas XI IPA SMA
Negeri 3 Bandar Lampung bahwa penggunaan LKS kimia model LC 6E memberikan pengaruh lebih tinggi terhadap keterampilan berpraktikum siswa dan
penguasaan konsep siswa.

5

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
yang berjudul “ Efektivitas Model Learning Cycle 6E Pada Materi Koloid Dalam
Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Mengkomunikasikan” .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Apakah model LC 6E efektif dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan pada materi koloid ?

2.

Apakah model LC 6E efektif dalam meningkatkan keterampilan
mengkomunikasikan pada materi koloid ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.

Mendeskripsikan efektivitas model LC 6E pada materi koloid dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan

2.

Mendeskripsikan efektivitas model LC 6E pada materi koloid dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu:
1. Siswa
Dapat membangkitkan perhatian siswa pada materi pelajaran, melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, serta memberikan suasana

6

belajar yang lebih menyenangkan dan variatif sehingga pembelajaran tidak
monoton serta mengajarkan siswa untuk bekerja sama dalam kelompokkelompok, memecahkan masalah bersama, berpendapat, dan bertanggung
jawab.
2.

Guru
Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan dan penerapan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran kimia, terutama pada materi
koloid.

3.

Sekolah
Penerapan model LC 6E dalam pembelajaran merupakan sumbangan pemikiran dan informasi dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran kimia di
sekolah.

E. Ruang Lingkup

Untuk membatasi penelitian yang dilakukan, maka ruang lingkup penelitian ini
yaitu sebagai berikut :
1.

Model LC 6E dikatakan efektif meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan apabila secara statistik hasil belajar siswa
menunjukkan perbedaan n-Gain yang signifikan antara kelas eksperimen
dengan kelas kontrol.

2.

Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model LC
6E menurut menurut Scheuermann dan Duran (2009) adalah salah satu model
pembelajaran yang berbasis konstruktivisme yang terdiri dari 6 fase sederhana yaitu (1) Fase engagement (pendahuluan), (2) Fase exploration (menyeli-

7

diki), (3) Fase explaination (menjelaskan), (4) Fase echo (penguatan konsep),
(5) Fase extension (memperluas) dan (6) Fase evaluation (menilai).
3.

Materi pelajaran yang diteliti dalam penelitian ini adalah koloid yang mencakup mengelompokkan sifat-sifat koloid dan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari serta membuat berbagai sistem koloid dengan bahan-bahan yang
ada di sekitarnya.

4.

Indikator keterampilan mengelompokkan yang diamati dalam penelitian ini
adalah mencari persamaan, mencari perbedaan, membandingkan, dan mencari dasar penggolongan.

5.

Indikator keterampilan mengkomunikasikan yang diamati dalam penelitian
ini adalah mendiskusikan hasil percobaan, memberikan data hasil percobaan
atau pengamatan dalam bentuk tabel, membuat tabel, membaca tabel, menjelaskan hasil percobaan, mengubah data narasi ke dalam bentuk tabel, mengubah data dalam bentuk tabel ke dalam bentuk narasi, dan mengungkapkan
gagasan secara tertulis.

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstruktivisme

Menurut Von Glaserfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001) konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von
Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan atau gambaran
dari kenyataan (realitas) yang ada. Tetapi pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikontruksikan dari pengalaman yang dialaminya yang diakibatkan dari
suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Dalam proses
kontruksi itu, menurut Glaserfeld diperlukan beberapa kemampuan sebagai
berikut :
1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membandingkan
sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya
untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya.
3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang
lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul
penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pembentukan pengetahuannya.

9

Menurut Suparno (1997) secara sederhana konstruktivisme merupakan konstruksi
dari kita yang mengetahui sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang
tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Konstruktivisme tidak hanya bertujuan mengerti hakikat
realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses kita menjadi tahu tentang
sesuatu.

Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997), antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif;
Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa;
Mengajar adalah membantu siswa belajar;
Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir;
Kurikulum menekankan partisipasi siswa;
Guru adalah fasilitator.

Prinsip yang penting dalam psikologi pendidikan menurut teori kontruktivis adalah guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya dan harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru
dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk
belajar. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran secara konstruktivisme adalah
pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru hanya berperan sebagai fasilitator
yang membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan suatu masalah
dimana pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan masalah yang disimulasikan.

10

Teori konstruktivisme ini berkembang dari kerja Piaget (Nur dalam Trianto,
2010). Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa
anak membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamanya sendiri dengan lingkungan. Menurut Piaget (Dahar, 1989), dasar dari belajar adalah aktivitas anak
bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Dalam
perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget
(Dahar,1989) yaitu struktur, isi dan fungsi.
a. Struktur, memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik,
tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan menuju
pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan
struktur-struktur.
b. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon
yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang
dihadapinya.
c. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan
intelektual. .

B. Model Learning Cycle 6E (LC 6E)

Learning Cycle pertama kali di kenalkan oleh Robert Karplus dalam Science
Curriculum Improvement Study/SCIS (Wenna, 2009). Learning Cycle atau dalam
penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada
siswa (student centered) dan salah satu model pembelajaran yang mengacu pada
teori belajar konstruktivisme. LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan
(fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan
aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan
konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application).

11

Fajaroh dan Dasna (2008) mengemukakan bahwa LC merupakan model
pembelajaran yang terdiri dari fase-fase atau tahap-tahap kegiatan yang diorganisasikan sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensikompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan
aktif.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Dahar (1989) bahwa LC merupakan salah
satu model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme.
Teori belajar konstruktivisme merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa
dalam pembelajaran siswa harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Model LC merupakan model pembelajaran yang menyarankan agar proses pembelajaran dapat melibatkan siswa dalam kegiatan belajar yang aktif. Bila terjadi
proses konstruksi pengetahuan dengan baik maka siswa akan dapat meningkatkan
pemahamannya terhadap materi yang dipelajari. Pada awalnya LC terdiri dari 3
fase yang terdiri dari fase eksplorasi, pengenalan konsep dan penerapan konsep.
Dalam perkembangannya, LC semakin berkembang dan semakin dikhususkan
oleh para ahli. Model LC 3E (tiga fase) yang semula dikembangkan menjadi LC
5E (lima fase) oleh Rodger W Bybee. Perkembangannya adalah menambahkan
fase engagement di awal pembelajaran dan fase evaluation ditambahkan pada
akhir pembelajaran. Sehingga lima fase tersebut terdiri dari engagement, exploration, explaination, extension dan evaluation (Lorsbach dalam Fajaroh dan
Dasna, 2008). Adapun penjelasan dari kelima fase sebagai berikut :
1. Fase Engagement (Pendahuluan)
Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri siswa agar terkondisi
dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) siswa tentang topik yang
akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula siswa diajak
membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan
dibuktikan dalam tahap eksplorasi.
2. Fase Exploration (Menyelidiki)
Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam
kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk

12

menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide
melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur.
3. Fase Explanation (Menjelaskan)
Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan
konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari
penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini
siswa menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari
4. Fase Extension (Memperluas)
Pada fase extention (elaboration), siswa menerapkan konsep dan keterampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum
lanjutan dan problem solving
5. Fase Evaluation (Menilai)
Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fasefase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman
konsep, atau kompetensi siswa melalui problem solving dalam konteks
baru yang kadang-kadang mendorong siswa melakukan investigasi lebih
lanjut.
Kemudian Model LC 5E ini berkembang lagi menjadi LC 6E bahkan ada pula
yang mengembangkan menjadi LC 7E. Model LC 6E menurut Scheuermann dan
Duran (2009) LC 6E terdiri dari fase-fase yang dapat dilihat pada Gambar 1.
1
Engangement

5

2

Extension

Exploration

6
Evaluation

4
Echo

3
Explaination

Gambar 1. Fase pelaksanaan pembelajaran menggunakan LC 6E

Pada LC 6E ditambahkan fase echo setelah fase explaination. Pada fase echo
siswa memperkuat konsep yang telah diperoleh pada fase exploration. Peran guru
pada fase echo mengkonfirmasi penguatan konsep oleh siswa dan memberikan
tambahan dukungan atau informasi serta pengalaman tambahan jika diperlukan.

13

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, model LC 6E adalah suatu model pembelajaran yang terdiri dari 6 fase yaitu engagement, exploration, explaination,
echo, extension dan evaluation, dimana pada setiap fasenya terdapat kegiatan
yang berbeda-beda yang akhirnya dapat menghasilkan tujuan pembelajaran yang
diharapkan. Proses pembelajaran dengan model LC 6E ini, siswa diharapkan dapat membangun sendiri pengetahuan kognitif melalui indera untuk melihat gejalagejala yang ada di sekitarnya dan kedudukan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) dan evaluasi berfungsi mengetahui sejauh mana
pengetahuan yang diperoleh.

C. Keterampilan Proses Sains

Menurut Hartono (2007) keterampilan proses sains (KPS) dibutuhkan untuk
menggunakan dan memahami IPA. Untuk dapat memahami hakikat IPA secara
utuh, yaitu IPA sebagai proses, produk dan sikap, siswa harus memiliki kemampuan KPS. Lebih lanjut, KPS menurut Semiawan (1992) adalah keterampilanketerampilan fisik dan mental untuk menemukan dan mengembangkan sendiri
fakta dan konsep sains serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai
yang dituntut. Jadi, KPS merupakan dasar dari pemecahan masalah dalam sains
dan metode ilmiah serta merupakan fondasi bagi terbentuknya landasan berfikir
logis. KPS sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan
metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki. Dengan KPS

14

ini, siswa diharapkan menjadi cerdas, terampil dan memiliki sikap dan nilai yang
diharapkan. KPS dikelompokkan menjadi keterampilan proses dasar dan keterampilan proses terpadu. Menurut Esler & Esler (1996) KPS dikelompokkan
seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Keterampilan Proses Sains
Keterampilan Proses Dasar

Keterampilan Proses Terpadu

Mengamati (observasi)
Inferensi
Mengelompokkan (klasifikasi)
Menafsirkan (interpretasi)
Meramalkan (prediksi)
Berkomunikasi

Mengajukan pertanyaan
Berhipotesis
Penyelidikan
Menggunakan alat/bahan
Menerapkan Konsep
Melaksanakan percobaan

Hartono (2007) menyusun indikator KPS dasar seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Indikator Keterampilan Proses Sains Dasar
Keterampilan
Dasar
Mengamati
(observing)

Inferensi
(inferring)
Klasifikasi
(classifying)
Menafsirkan
(predicting)

Berkomunikasi
(Communicating)

Indikator
Mampu menggunakan semua indera (penglihatan,
pembau, pendengaran, pengecap, peraba) untuk
mengamati, mengidentifikasi, dan menamai sifat benda
dan kejadian secara teliti dari hasil pengamatan.
Mampu membuat suatu kesimpulan tentang suatu benda
atau fenomena setelah mengumpulkan, menginterpretasi
data dan informasi.
Mampu menentukan perbedaan, mengontraskan
ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan
menentukan dasar penggolongan terhadap suatu obyek.
Mampu mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang
belum terjadi berdasarkan fakta dan yang menunjukkan
suatu, misalkan memprediksi kecenderungan atau pola
yang sudah ada menggunakan grafik untuk
menginterpolasi dan mengekstrapolasi dugaan
Memberikan/menggambarkan data empiris hasil
percobaan atau pengamatan dengan grafik/ tabel/
diagram, menyusun dan menyampaikan laporan secara
sistematis, menjelaskan hasil percobaan atau penelitian,
membaca grafik/ tabel/ diagram, mendiskusikan hasil
kegiatan suatu masalah atau suatu peristiwa.

15

KPS yang ingin ditingkatkan pada penelitian ini adalah keterampilan mengelompokkan. Mengelompokkan adalah proses yang digunakan ilmuan untuk mengadakan penyusunan atau pengelompokkan atas obyek-obyek atau kejadian-kejadian.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002), mengelompokkan merupakan keterampilan proses untuk memilah berbagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya, sehingga didapatkan golongan/ kelompok sejenis dari objek peristiwa
yang dimaksud. Indikator keterampilan mengelompokkan adalah mampu menentukan perbedaan, mengkontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan
dan menentukan dasar penggolongan terhadap suatu obyek. Mengelompokkan
berguna melatih siswa menunjukkan persamaan, perbedaan, dan hubungan timbal
baliknya (Hartono, 2007).

Salah satu KPS yang dibahas lainnya adalah keterampilan mengkomunikasikan.
Komunikasi merupakan dasar untuk memecahkan masalah baik berupa keterampilan menyampaikan sesuatu secara lisan maupun tulisan. Menurut Hartono
(2007) kemampuan komunikasi siswa dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Kemampuan mengungkapkan gagasan secara tertulis.
Kemampuan menjelaskan hasil pengamatan.
Kemampuan menyusun dan menyampaikan hasil kerja.
Kemampuan menggambarkan data dengan grafik atau bagan.
Kemampuan mengubah data narasi ke dalam bentuk tabel.

Keterampilan mengkomunikasikan menurut Semiawan (1992) adalah keterampilan untuk menyampaikan hasil penemuannya kepada orang lain baik secara lisan
maupun tulisan dapat berupa penyusunan laporan, pembuatan paper, penyusunan
karangan, pembuatan gambar, peta, tabel, diagram, dan grafik. Adapun indikator
dalam keterampilan mengkomunikasikan dalam kerja ilmiah menurut Semiawan
(1992) antara lain:

16

1.
2.
3.
4.

Menyimpulkan hasil penelitian.
Merekomendasikan tindak lanjut dari hasil penelitian.
Menginformasikan alasan logis perlunya penelitian/penyelidikan ilmiah.
Mendeskripsikan masalah penelitian/penyelidikan secara jelas dalam
laporan dan mengkomunikasikannya.
5. Menspesifikasi variabel yang diteliti.
6. Mengkomunikasikan prosedur perolehan data.
7. Mengkomunikasikan cara mengolah dan menganalisis data yang sesuai
untuk menjawab masalah penelitian.
8. Menyajikan hasil pengolahan data dalam bentuk tabel, grafik, diagram
alur, dan peta konsep.
9. Menggunakan media yang sesuai dalam menyajikan hasil pengolahan data.
10. Menjelaskan data baik secara lisan maupun tulisan.
11. Mengkomunikasikan kesimpulan dan temuan penelitian berdasarkan data.
12. Menyajikan model hubungan dengan simbol dan standar internasional
dengan benar.
Jenis keterampilan mengkomunikasikan yang akan diukur adalah mendiskusikan
hasil percobaan, memberikan data hasil percobaan atau pengamatan dalam bentuk
tabel, membuat tabel, membaca tabel, menjelaskan hasil percobaan, mengubah
data narasi ke dalam bentuk tabel, mengubah data dalam bentuk tabel ke dalam
bentuk narasi, dan mengungkapkan gagasan secara tertulis.

D. Analisis Konsep

Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) berpendapat bahwa belum ada definisi tentang konsep yang diterima atau disepakati oleh para ahli, biasanya konsep
disamakan dengan ide. Markle dan Tieman dalam Fadiawati (2011) mendefinisikan konsep sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin tidak ada satupun definisi yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu diperlukan
suatu analisis konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan konsep,
sekaligus menghubungkan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.

17

Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) mengemukakan bahwa analisis
konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Prosedur
ini telah digunakan secara luas oleh Markle, Tieman, dan Klausemer. Analisis
konsep dilakukan melalui tujuh langkah, yaitu menentukan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis konsep, atribut kritis, atribut variabel, posisi konsep,
contoh, dan non contoh

1

ANALISIS KONSEP
Nama Sekolah
Mata Pelajaran
Kelas
Semester
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
No
(1)
1

Label
Konsep
(2)
Campuran

: SMA YP Unila Bandar Lampung
: Kimia
: XI IPA
: Genap
: 5. Menjelaskan sistem dan sifat koloid serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
: 5.1 Mengelompokkan sifat-sifat koloid dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari

Definisi Konsep
(3)
Campuran merupakan
gabungan dari dua zat
atau lebih baik
campuran homogen
maupun campuran
heterogen yang tidak
memiliki komposisi
tertentu dan dapat
dipisahkan
secara fisika, dapat
berupa suspensi,
larutan, maupun
koloid.

Jenis
Konsep
(4)
Konsep
Konkret








Atribut Konsep
Kritis
Variabel
(5)
(6)
Gabungan
 Ukuran
dari dua zat
Partikel
atau lebih
 Zat
Campuran
terlarut
homogen
 Zat
Campuran
pelarut
heterogen
Tidak
memiliki
komposisi
tertentu
Komposisi
dapat dipisahkan secara fisika

Superordinat
(7)
 Materi

Konsep
Koordinat
(8)
 Unsur
 Senyawa

Contoh
Subordinat
(9)
 Larutan
 Koloid
 Suspensi

(10)
Campuran air
dan gula
Campuran air
dengan garam

Non
contoh
(11)
Garam,
gula, pasir

18

18

2

(1)
2.

(2)
Suspensi

(3)
Suspensi merupakan
campuran heterogen
yang terdiri dari dua
fasa dan dapat
dibedakan antara zat
terlarut dengan zat
pelarut.
Campuran homogen
yang terdiri dari satu
fasa dan tidak dapat
dibedakan antara zat
terlarut dengan zat
pelarut.

(4)
Konsep
konkret

(5)
 Campuran
heterogen
 Zat terlarut
dan zat
pelarut dapat
dibedakan

(6)
 Ukuran
Partikel
 Zat
terlarut
 Zat
pelarut

(7)
 Sistem
dispersi

(8)
 Larutan
 Koloid

(9)
 Zat pelarut
 Zat terlarut

(10)
Campuran air
dengan pasir,
campuran
minyak dengan
air

(11)
Santan,
susu,
larutan
garam

3.

Larutan

Konsep
konkret

 Campuran
homogen
 Zat terlarut
dan pelarut
tidak dapat
dibedakan

 Ukuran
Partikel
 Zat
terlarut
 Zat
pelarut

 Sistem
dispersi

 Suspensi
 Koloid

 Larutan
elektrolit
dan non
elektrolit
 Larutan
asam basa

Larutan gula,
larutan garam

Campuran
air dan
pasir,
campuran
minyak dan
air, susu

4.

Koloid

Koloid adalah suatu
bentuk campuran yang
keadaanya terletak
antara larutan dan
suspensi, dapat berupa
sol, emulsi, buih dan
aerosol.

Konsep
abstrak
contoh
konkret

 Ukuran
Partikel
 Sifat-sifat
 Jenisjenis

 Sistem
dispersi

 Larutan
 Suspensi

 Sol
 Emulsi
 Buih
 Aerosol

Susu, santan,
cat, tinta, dll

Campuran
air dengan
minyak,
campuran
pasir
dengan air

Aerosol

Aerosol merupakan
jenis koloid dengan
fase terdispersi zat
padat atau zat cair dan
zat pendispersi gas.

Konsep
abstrak
contoh
konkret

 Campuran
yang terletak
antara
suspensi dan
larutan
 Sol
 Aerosol
 Emulsi
 Buih
 Fase
terdispersi
padat atau
cair
Fase
pendispersi
gas.

5.

 Fase zat

 Jenis-jenis
koloid

 Sol
 Emulsi
 Buih

 Aerosol
padat
 Aerosol
cair

Awan,kabut,
asap, debu,
jelaga dalam
udara

Air sungai,
cat

19

3

(1)
6.

Sol

7

8.

(2)

(3)
Sol merupakan jenis
koloid dengan fase
terdispersi padat dan
fase pendispersi padat
atau cair

(4)
Konsep
abstrak
contoh
konkret

Emulsi

Emulsi merupakan
jenis koloid dengan
fase terdispersi cair
dan zat pendispersi
padat atau cair

Konsep
abstrak

Buih

Buih merupakan jenis
koloid dengan fase
terdispersi gas dan zat
pendispersi padat atau
zair

Konsep
abstrak
contoh
konkret

(5)
 Fase
terdispersi
padat
 Fase
pendispersi
padat atau
cair
 Fase
terdispersi
cair
 Fase
pendispersi
padat atau
cair
 Fase
terdispersi
gas
 Fase
pendispersi
padat atau
cair

(6)
 Fase zat

(7)
 Jenis-jenis
koloid

(8)
 Aerosol
 Emulsi
 Buih

(9)
 Sol cair
 Sol padat

(10)
Tinta,koloid
emas, paduan
logam.

(11)
Santan,
susu,
mayonaise

 Fase zat

 jenis-jenis
koloid

 Aerosol
 Sol
 Emulsi

 Emulsi
padat
 Emulsi
cair

Susu,santan,
jeli,mentega,

Kabut,
awan

 Fase zat

 Jenis-jenis
koloid

 Aerosol
 Sol
 Emulsi

 Buih cair
 Buih padat

Buih sabun,
karet busa, batu
apung

susu,
santan, jeli

20

21

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dikemukakan sebelumnya bahwa pada fase
pertama model LC 6E,terdiri dari 6 fase yaitu. Pada fase pertama yaitu engagement, mempersiapkan diri siswa agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan menggali pengetahuan awal dan ide-ide mereka mengenai
berbagai macam campuran, misalnya siswa diminta untuk membuat dugaan sementara tentang ciri-ciri larutan dan suspensi, kemudian siswa diberikan suatu
campuran yang ciri-cirinya menyerupai larutan dan suspensi. Dengan adanya
masalah ini akan mengundang rasa keingintahuan siswa dan siswa menjadi lebih
antusias dalam mengikuti proses pembelajaran. Fase kedua yaitu exploration,
pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelom-poknya
untuk menguji dan membuktikan prediksi mereka pada fase engangement, dengan
cara melakukan pengamatan langsung, misalnya melakukan percobaan untuk
mendefinisikan pengertian koloid berdasarkan ciri-ciri yang mereka amati dari beberapa contoh larutan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada fase ini pula,
dapat dilatihkan keterampilan mengkomunikasikan dengan cara mendiskusikan
hasil percobaan melalui presentasi dan memberikan data hasil percobaan dalam
bentuk tabel. Fase ketiga yaitu explaination, guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep yang telah di dapat pada tahap sebelumnya. Pada fase ini, siswa
dilatihkan untuk menginferensi pengertian dari larutan suspensi dan koloid dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada fase keempat yaitu fase echo, siswa
memperkuat konsep yang telah diperoleh pada fase exploration, siswa dituntut
untuk dapat menuliskan kembali pengertian koloid serta perbedaannya dengan

22

suspensi dan larutan. Peran guru pada fase echo mengkonfirmasi pengua-saan
konsep oleh siswa dan memberikan tambahan dukungan atau informasi serta pengalaman tambahan jika diperlukan. Kemudian fase kelima yaitu extension, siswa
diajak untuk menerapkan konsep pada contoh kejadian lain maupun berupa praktikum lanjutan. Pada fase ini, dapat pula melatihkan KPS yang dimiliki siswa, misalnya mengkomunikasikan sebuah narasi ke dalam bentuk tabel. Fase yang terakhir yaitu evaluation, pada tahap akhir, dilakukan evaluasi terhadap efektivitas
fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi siswa. Pada fase ini, siswa mengerjakan soal-soal evaluasi
yang melatihkan KPS yang mereka miliki, misalnya mengelompokkan beberapa
jenis koloid berdasarkan fase terdispersi dan medium pendispersinya.

Pada akhirnya, berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas, diharapkan model
LC 6E dapat meningkatkan KPS siswa, khususnya keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi koloid. Selain itu, diharapkan siswa
tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari
dengan memberikan pengalaman belajar pada siswa sebagai proses dengan menggunakan sikap ilmiah agar mampu memiliki pemahaman melalui fakta-fakta yang
mereka temukan sendiri, sehingga mereka dapat menemukan konsep, hukum, dan
teori, serta dapat mengaitkan dan menerapkan pada kehidupan.

23

F. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Siswa kelas XI IPA 2 dan XI IPA 4 semester genap SMA YP Unila Bandar
Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi sampel penelitian
mempunyai pengetahuan awal yang sama.
2. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keterampilan mengelompokan dan
mengkomunikasikan koloid siswa kelas XI IPA 2 dan XI IPA 4 semester genap
SMA YP Unila Bandar Lampung Tahun ajaran 2012/2013 diabaikan
3. Perbedaan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan untuk
materi koloid semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses
pembelajaran.

G. Hipotesis Umum

Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah :
Model LC 6E efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan
mengkomunikasiskan.

24

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMA YP Unila Bandar
Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 238 siswa yang tersebar dalam enam kelas. Dari populasi tersebut diambil 2 kelas yang akan dijadikan
sampel penelitian.

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu teknik
pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Adapun pertimbangannya yaitu kemampuan awal yang tidak
jauh berbeda atau dianggap sama. Setelah diperoleh dua kelas sampel maka ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu XI IPA 4 sebagai kelas kontrol
yang menggunakan pembelajaran konvensional dan XI IPA 2 sebagai kelas
eksperimen yang menggunakan model LC 6E.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil
tes sebelum penerapan pembelajaran (pretest) dan hasil tes setelah penerapan

25

pembelajaran (posttest) siswa. Adapun sumber data dibagi menjadi dua kelompok
yaitu seluruh siswa kelas eksperimen dan seluruh siswa kelas kontrol.

C. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain
penelitian yang digunakan adalah Non Equivalence Control Group Design
(Creswell, 1994). Desain penelitiannya yaitu :

Tabel 3. Desain penelitian
Pretes

Perlakuan

Postes

Kelas kontrol

O1

-

O2

Kelas eksperimen

O1

X

O2

(Creswell, 1994)
O1 adalah pretes yang diberikan sebelum diberikan perlakuan, O2 adalah postes
yang diberikan setelah diberikan perlakuan. X adalah perlakuan berupa penerapan
model LC 6E.

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Sebagai
variabel bebas adalah pembelajaran yang menggunakan model LC 6E dan
pembelajaran konvensional. Sebagai variabel terikat adalah keterampilan
mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa SMA YP Unila Bandar
Lampung.

26

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya

Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa silabus, RPP, LKS, serta
soal pretest dan posttest yang masing-masing terdiri dari 2 soal uraian. Dalam
pelaksanaannya, kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan soal pretes yang
sama. Agar data yang diperoleh dapat dipercaya, maka instrumen yang digunakan
harus valid. Dengan kata lain suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang
diteliti secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan pengujian terhadap instrumen
yang akan digunakan. Pengujian instrumen yang digunakan pada penelitian ini
adalah vailditas isi. Adapun pengujian validitas isi dilakukan dengan cara
judgment. Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan
keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini
dilakukan oleh dosen pembimbing yaitu Dra. Nina Kadaritna, M.Si. dan Dr. Ratu
Betta Rudibyani, M.Si untuk memvalidasinya dengan menelaah kisi-kisi terutama
kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir
pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data
sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan.

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA YP Unila Bandar Lampung. Secara garis
besar tahap-tahap penelitian dikelompokkan menjadi dua langkah yaitu pra penelitian dan pelaksanaan peneltian. Tahap pertama yang dilakukan dalam pra pene-

27

litian adalah membuat surat izin pendahuluan penelitian kemudian meminta izin
kepada kepala sekolah dan menyampaikan surat izin penelitian tersebut dan selanjutnya melakukan observasi pendahuluan. Observasi pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan sekolah, data siswa, data nilai, jadwal
dan tata tertib sekolah, serta sarana prasarana di sekolah, yang selanjutnya dari
data-data tersebut digunakan untuk menentukan dua kelas yang akan dijadikan
sampel dalam penelitian. Tahap terakhir dalam tahap pra penelitian ini adalah
penyusunan instrumen .

Langkah kedua dalam penelitian ini adalah pelaksanaan penelitian. Penelitian
diawali dengan melaksanakan pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Adapun tujuan pelaksanaan pretest sebelum pembelajaran dilakukan adalah untuk
mengetahui keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikkan awal siswa
pada kedua kelas tersebut. Selanjutnya pada kelas kontrol pembelajaran dilakukan dengan cara konvensional sedangkan pada kelas eksperimen pembelajaran
dilakukan dengan menggunakan model LC 6E dan akan diberikan media LKS
yang berbasis LC 6E. Selanjutnya setelah pembelajaran berlangsung dilakukan
posttest pada kelas kontrol dan juga kelas eksperimen. Adapun tujuan pelaksanaan posttest setelah pembelajaran dilakukan adalah untuk mengetahui perbedaan
hasil dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Langkah penelitian yang terakhir
adalah melakukan tabulasi dan analisis data. Langkah-langkah penelitian tersebut
ditunjukkan pada alur penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 2:

28

Observasi

Pembuatan instrumen
pembelajaran dan perangkat
pembelajaran

Pembuatan instrumen
pembelajaran dan perangkat
pembelajaran
Validasi instrumen

Validasi instrumen

Kelas kontrol

Kelas eksperimen

Pretest

Pretest

Pembelajaran konvensional

LC 6E

Posttest

Posttest
Analisis data
Kesimpulan

Gambar 2. Alur Penelitian

G. Hipotesis Statistik

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis
dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif
(H1). Adapun hipotesisnya yaitu:
1. Keterampilan Mengelompokkan
H0

: µ 1x ≤ µ 2x
Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan dengan model LC 6E
pada materi koloid lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain
keterampilan mengelompokkan dengan pembelajaran konvensional
SMA YP Unila Bandar Lampung.

29

H1

: µ 1x > µ 2x
Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan dengan model LC 6E
pada materi koloid lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan
mengelompokkan dengan pembelajaran konvensional SMA YP Unila
Bandar Lampung..

2. Keterampilan Mengkomunikasikan
H0

: µ 1y ≤ µ 2y
Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan pada materi koloid
dengan model LC 6E pada materi koloid lebih rendah atau sama dengan
rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan dengan pembelajaran konvensional SMA YP Unila Bandar Lampung.

H1

: µ 1y > µ 2y
Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan pada materi koloid
dengan model LC 6E pada materi koloid lebih tinggi daripada rata-rata
n-Gain keterampilan mengkomunikasikan dengan pembelajaran konvensional SMA YP Unila Bandar Lampung.
Keterangan:
µ 1 : Rata-rata (x,y) pada materi koloid pada kelas yang diterapkan model LC
6E.
µ 2 : Rata-rata (x,y) pada materi koloid pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.
x: keterampilan mengelompokkan.
y : keterampilan mengkomunikasikan

30

H. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

1. Analisis data
Tujuan analisis adalah untuk memberikan makna atau arti untuk menarik suatu
kesimpulan yang berkaitan dengan masalah, tujuan, dan hipotesis yang telah
dirumuskan sebelumnya. Hal-hal yang diperlukan dalam menganalisis data
setelah melakukan pretes dan postes pada siswa SMA YP Unila adalah :
a. Penentuan nilai siswa
Nilai siswa dapat dirumuskan sebagai berikut:
Nilai siswa = jumlah skor jawaban yang diperoleh
jumlah skor maksimal

x 100

…………..(1)

Dari data yang diperoleh kemudian dicari gain ternormalisasinya, dan selanjutnya
digunakan untuk menguji hipotesis.

b. Perhitungan gain ternormalisasi
Untuk mengetahui efektifitas model LC 6E dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan dan mengkomunikasikan, maka dilakukan analisis skor gain
ternormalisasi. Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan nilai
pretes dan postes dari kedua kelas. Menurut Meltzer besarnya peningkatan
dihitung dengan rumus n-Gain ( normalized gain), yaitu :
................... (2)

Data gain ternormalisasi yang diperoleh diuji normalitas dan homogenitasnya
kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.

31

2. Pengujian hipotesis

a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel berasal
dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Hipotesis untuk uji normalitas :
Ho = data penelitian berdistribusi normal
H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal
Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

= uji Chi- kuadrat
fo = frekuensi observasi
fe = frekuensi harapan

Data akan berdistribusi normal jika χ2 hitung ≤ χ2 tabel dengan taraf signifikan 5%
dan derajat kebebasan dk = k – 3 (Sudjana, 2005).
b. Uji homogenitas dua varians
Uji homogenitas dua varians dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel
penelitian berawal dari kondisi yang sama atau homogen, yang selanjutnya untuk
menentukan statistik t yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji
homogenitas dilakukan dengan menyelidiki apakah kedua sampel mempunyai
varians yang sama atau tidak. Hipotesis yang digunakan dalam uji homogenitas
adalah sebagai berikut:
H0 = 12   2 2 (data penelitian mempunyai varians yang homogen)
H1 = 12   2 2 (data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen)
Untuk menguji kesamaan dua varians, dalam Sudjana (2005)
digunakan rumus sebagai berikut:

………….(3)

32

Kriteria : Pada taraf 0,05, tolak H0 hanya jika F hitung ≥ F ½α (υ1, υ2)
Untuk menguji apakah kedua varians tersebut sama atau tidak, maka Fhitung
dikonsultasikan dengan Ftabel. Menggunakan α = 5 % dengan dk pembilang =
banyaknya data terbesar dikurangi satu dan dk penyebut = banyaknya data yang
terkecil dikurangi satu. Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima. Yang berarti
kedua kelompok tersebut mempunyai varians yang sama atau dikatakan homogen.

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk menentukan seberapa efektif perlakuan terhadap sampel dengan melihat gain ternormalisasi keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi koloid yang lebih ting