BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bumi, air dan ruang angkasa demikian pula yang terkandung di dalamnya adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Dari pernyataan tersebut semakin jelas bahwa kepentingan bersama itu lebih menonjol sehingga kalau kita tinjau kembali
kepada pasal 6 UUPA yang menyatakan : “Hak milik tanah mempunyai fungsi sosial”.
1
Medan merupakan salah satu kota terbesar ketiga di Indonesia, merupakan ibu kota Sumatera Utara. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi di wilayah Kota
Medan bergerak sangat cepat sehingga membutuhkan infrastruktur transportasi Salah satu kekayaan alam atau sumber daya alam yang diciptakan Tuhan
Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan
mendayagunakan tanah. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah merupakan modal bagi bangsa Indonesia dan suatu unsur utama dalam
pembangunan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945.
1
A.P Parlindungan, Hukum Agraria Serta Landreform, Ctk.Pertama, Bandung : CV. Mandar Maju, 1997, hal.87.
perkotaan untuk mendukung aktivitas sosial dan ekonomi masyarakatnya. Sehubungan dengan pembangunan infrastruktur jalan kota tersebut dan ketiadaan
tanah milik Pemerintah Kota Medan, maka diperlukan pengadaan tanah land
aquisition dari masyarakat. Acuan dalam melaksanakan pengadaan tanah tersebut adalah Keppres No. 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadann tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum. Namun, dalam perjalanannya proses pengadaan tanah tersebut sering tidak berjalan lancar. Salah satu hal yang sering
muncul adalah isu tanah, yaitu ketidaksepakatan tentang nilai ganti rugi dan asset yang diganti rugi antara masyarakat terkena proyek dengan pemerintah kota, yang
selanjutnya dapat mempengaruhi desain dan jadwal proyek, serta meningkatnya biaya proyek secara keseluruhan.
Begitu juga yang terjadi pada pembangunan jalan lingkar luar outer ring
road Kota Medan, dalam hal ini kasus pembangunan jalan Ngumban Surbakti sepanjang 3.468 meter, dimana proses pembebasan tanah banyak mengalami
kendala serta keterlambatan, khususnya pada isu nilai ganti rugi tanah harga tanah. Pada prinsipnya masyarakat setuju melepas hak atas tanahnya untuk
peningkatan jalan tersebut, hanya saja titik temu ganti rugi tanah belum terselesaikan. Lahan milik warga Jalan Ngumban Surbakti Medan yang hingga
kini belum menerima ganti rugi dari Pemerintah Kota Pemkot Medan di antaranya berlokasi di titik koordinat TR-15 A segmen tengah dengan total luas
14.664 meter persegi. Jumlah pemilik lahan di sekitar Jalan Ngumban Surbakti yang belum menerima ganti rugi hingga kini diperkirakan 20 kepala keluarga
KK lebih.
Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa munculnya permasalahan pembebasan tanah pada proyek jalan Ngumban Surbakti adalah
akibat ketidaksepakatan harga ganti rugi tanah. Pada proyek pembangunan jalan tersebut, penetapan nilai ganti rugi dibedakan berdasarkan status kepemilikan
tanah hak milik, hak guna bangunan dan tanah negara, lokasi tanah yang menghadap jalan Setia Budi, yang menghadap jalan Djamin Ginting dan yang
menghadap jalan Ngumban Surbakti dan kategori tanah tanah habis dan tidak habis. Salah satu alasan utama penolakan warga atas nilai ganti rugi pembebasan
tanah adalah perbedaan nilai ganti rugi berdasarkan lokasi tanah. Dimana lokasi yang menghadap jalan Djamin Ginting nilai ganti ruginya lebih besar dari 75
dibandingkan dengan lokasi tanah yang menghadap jalan Setia Budi dan 180 dibandingkan tanah yang menghadap jalan Ngumban Surbakti.
Kehidupan masyarakat Indonesia baik itu secara kualitas maupun kuantitas selalu mengalami peningkatan. Dari realitas tersebut luas tanah yang bersifat tetap
sementara jumlah penduduk atau masyarakat yang membutuhkan tanah untuk memenuhi kebutuhannya selalu bertambah terus. Selain bertambah banyaknya
manusia yang membutuhkan tanah untuk tempat tinggal, juga perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Jumlah tanah yang dirasakan menjadi
sempit dan sedikit, sedangkan permintaan bertambah, maka tidak heran kalau kebutuhan akan tanah menjadi meningkat. Tidak seimbangnya akan tanah dengan
kebutuhan tanah itu, telah meninggalkan berbagai persoalan yang banyak seginya.
2
Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari subyak hukum.
Agar hubungan hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil dalam arti setiap subyek mendapatkan apa yang menjadi hak-nya dan menjalankan
kewajiban yang diberikan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan-hubungan hukum tersebut.
3
Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan
hukum yang dilakukan pemerintah adalah keputusan-keputusan dan ketetapan- ketetapan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena
dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintah itu tergantung pada kehendak sepihak pemerintah.Ketetapan merupakan insterumen yang digunakan
oleh organ pemerintah dalam bidang publik dan digunakan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu akibat hukum yang dimaksud yang lahir dari
keputusan adalah munculnya hak, kewajiban, kewenangan, atau status tertentu.
4
2
R.Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tanah, Ctk.Pertama, Surabaya : Karya Anda, 1995, hal.15.
3
Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara, Ctk.Pertama, Yogyakarta, 2002 : UII Press Yogyakarta, , hal.209.
4
Ibid. hal. 119
Sengketa tanah tergolong masalah yang bersifat klasik dan akan selalu ditemukan di muka bumi. Oleh karena itu masalah atau sengketa yang
berhubungan dengan tanah senantiasa berlangsung secara terus-menerus, sebab itu
sudah menjadi kebutuhan setiap orang. Bukan hanya di dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih tetap membutuhkan tanah.
Pada awalnya di saat masyarakat belum berkembang sengketa masih dalam komunitas tertentu. Sengketa tanah yang ada masih bisa diselesaikan oleh
anggota warga bersama tokoh yang disegani dalam komunitas masyarakat yang bersangkutan. Namun disaat masyarakat sudah banyak mengalami perkembangan
seperti sekarang ini, apabila sengketa tersebut belum menemukan titik terang penyelesaian masalahnya, maka konflik tersebut akan berkembang meluas
menjadi permasalahan yang bersifat krusial. Dalam mengatasi masalah di bidang pertanahan tersebut, maka pemerintah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yaitu Undang- undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang
disebut dengan UUPA. UUPA merupakan pedoman pokok untuk mengatur masalah pertanahan dan meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, UU No.5 tahun 1960 UUPA mempunyai beberapa tujuan :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani, dalam rangka menciptakan
masyarakat adil dan makmur. 2.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hakhak atas tanah bagi rakyat sepenuhnya. UUPA dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya, bertujuan untuk
terwujudnya jaminan kepastian hukum rehadap hak-hak atas tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia.
5
Munculnya sengketa hukum adalah berawal dari keberatan dari tuntunan suatu hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya
dengan suatu harapan mendapatkan penyelesaian administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6
5
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, Bandung : Alumni, 1983, hal.5.
6
Rusmandi Murad, Penyelesaian Sengketa hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991, hal.22.
Terhadap sengketa batas, berawal dari perolehan hak yaitu pemberian hak secara derivatif, yaitu yang memperoleh haknya karena peralihan hak. Misalnya
dengan jual-beli, tukar-menukar, hibah dan lainnya. Sebagaimana telah diketahui dalam ilmu hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakekatnya adalah sesuatu
kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap suatu benda maupun orang.
Menurut sistem pendaftaran tanah yang diatur dalam UUPA Undang- Undang No.5 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997, maka
stelsel yang digunakan dalam administrasi pendaftaran tanah kita adalah stelsel negatif mengarah pada positif. Dimana dalam stelsel ini terkandung pengertian
bahwa tanda bukti hak sertifikat yang dipegang seseorang belum menunjukkan orang tersebut sebagai pemegang hak yang sebenarnya.
Sertifikat setiap waktu dapat dibatalkan apabila ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang sebenarnya.
Berbeda di dalam sistem hukum positif, yaitu tanda bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila ternyata terdapat bukti
yang cacat, menunjukkan cacat hukum dalam perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut pembatalan, kecuali tuntutannya pembayaran ganti kerugian.
Kesalahan di dalam penetapan batas atas suatu tanah yang berkaitan langsung dengan hak penguasaan tanah, maka apabila ada pihak yang dirugikan dan
menyatakan rasa tidak puas atas penetapan batas tersebut dapat mengajukan keberatannya ke kantor Pertanahan setempat yang berwenang.
Sesuai dengan tata aturan pihak tersebut dapat mengajukan keberatannya atas penetapan batas tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional yang berwenang
untuk itu. Sehinggga proses penerbitan sertifikat suatu hak atas tanah dapat ditunda terlebih dahulu untuk dapat dilakukan penyelesaiannya, agar tidak ada
yang merasa dirugikan. Permasalahan mengenai sengketa tanah yang telah penulis paparkan, maka
keberadaaan Badan Pertanahan Nasional sangat penting sebagai instansi pemerintah non departemen yang berkedudukan di bawah Presiden dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden dapat menyelesaikan sengketa pertanahan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri
Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 1999, yaitu yang berbunyi : “Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan
tanda bukti haknya, antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara
pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional”.
Di saat proses penerbitan sertifikat dalam tahap pengukuran harus melewati persetujuan para pihak yang bersangkutan atau yang berbatasan
sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 17 ayat 3 Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah serta sebagai perwujudan dari asas
ontradictoire Delimitatie, dengan tujuan apabila suatu ketika ada pihak yang mengajukan gugatan atas tanah tersebut berdasarkan sesuai kepentingannya
berfungsi untuk : 1.
Memberikan kepatian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah.
2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Dalam penyelesaiannya sengketa pertanahan di Kota Medan sering mengalami berbagai hambatan, namun diusahakan semaksimal mungkin oleh
pihak Kantor Pertanahan Kota Medan dapat memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi warga negara berupa keputusan atau
ketetapan setelah melakukan mediasi dengan pihak-pihak yang terkait. Selain itu secara sosiologis, kondisi masyarakat Kota Medan rata-rata
adalah pendatang khususnya nelayan yang tingkat pendidikannya rendah, sehingga tingkat kesadaran hukumnya sangat kurang yang pada akhirnya
mempengaruhi pola pikir mereka yang “asal” dalam mendirikan bangunan untuk rumah tinggal tanpa memikirkan status tanah yang ditempati bangunan tersebut.
Hal tersebut sangat berpontensi menimbulkan sengketa pertanahan dengan pihak lain, khususnya pemilik tanah yang sah secara hukum. Terkait dengan
penyelesaian permasalahan tanah, Kantor Pertanahan Kota Medan mengedepankan upaya mediasi, yaitu:
1. Perkembangan masyarakat dan bisnis menghendaki efisiensi dan
kerahasiaan lestarinya hubungan kerja sama dan tidak formalistis serta menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan keadilan;
2. Lembaga litigasi tidak dapat merespons karena dalam operasionalnya
dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu dan uang; 3.
litigasi tidak dapat memberikan win-win solution. Masyarakat yang berkepentingan akan menyelesaikan sengketa yang
sederhana dan efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Pemantapan dan pengetahuan akan pentingnya mediasi menganjurkan bagi para pencari keadilan
untuk dapat bertindak dalam memperoleh kebenaran sejati tanpa mengalami kerugian baik materiil maupun non materiil.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan dan menyusunnya dalam skripsi yang berjudul:
Tinjaun Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Secara Mediasi oleh Kantor Pertanahan Kota Medan.
B. Perumusan Masalah