Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

(1)

TESIS

Oleh

B E N N Y

127011067/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

B E N N Y

127011067/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 127011067 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum


(5)

Nama : BENNY

Nim : 127011067

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PENERAPAN KONSEPCYBER NOTARYDI INDONESIA

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2

TAHUN 2014

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : BENNY


(6)

juga dalam bidang hukum kenotariatan di Indonesia. Hal ini terlihat dalam penerapan konsep cyber notary yang meningkatkan efektivitas dan efisiensi para Notaris. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian dengan membahas penerapan konsep cyber notary di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaan yang mengatur penerapan dari konsep cyber notary tersebut. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang melakukan analisis deskriptif.

Dalam penelitian ini hukum dilihat untuk difungsikan sebagai sarana untuk pembaharuan masyarakat (Law as a tool of social engineering), seperti teori yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan menyesuaikan teori dari Roscoe Pound terhadap hukum di Indonesia, kemudian oleh Romli Atmasasmita dikembangkan lagi dengan teori Bureucratic and Social Engineering. Sebagaimana teori yang dikemukakan Romli Atmasasmita, hukum harus memegang peranan dalam memberdayakan masyarakat dan birokrasi untuk mewujudkan masyarakat madani.

Teori tersebut relevan terhadap penerapan konsepcyber notarydalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (UU 2/2014) melalui Ditjen AHU online proses birokrasi diperpendek dengan tidak diperlukan lagi pertemuan antara penyedia jasa dan pemakai jasa sehingga peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dapat dihindarkan. Yang mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat dalam membangun good governance menuju clean government dengan mengutamakan pelayanan yang profesional, cepat, tepat, efisien, murah dan bebas punggutan liar. Kemudian akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi para Notaris dalam memberikan kepastian waktu penyelesaian pelayanan terhadap masyarakat, dengan demikian berdampak pada berkembangnya perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa konsep cyber notary yang telah diakomodir sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 15 ayat 3 UU 2/2014 adalah kewenangan dalam mencetak dan melegalisasi surat dan/atau mencetak sertifikat yang dicetak melalui sistem Ditjen AHUonline, dan defenisi Pemohon dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan (Permenkumham 5/2014) dirasakan kurang tepat, karena faktanya Ditjen AHU online memperbolehkan pemohon yang dengan sendiri-sendiri atau bersama-sama secara langsung tanpa dikuasakan, dan permohonan selain pengesahan badan hukum Yayasan. Oleh karena itu, Penelitian ini menyarankan perbaikan definisi Pemohon dalam Permenkumham 5/2014 tersebut.


(7)

application of notary cyber concept which increases the effectiveness and the efficiency of a Notary. This condition had made the researcher did the research on the application of notary cyber concept in Indonesia and on Law No. 2/2014, and the regulation which regulated the application of the notary cyber concept. The research was judicial normative with qualitative approach and descriptive analysis.

In the research, law was viewed to be functioned as a means of social engineering which was in line with Mochtar Kusumaatmadja’ theory by adjusting to Roscoe Pound’ theory about law in Indonesia. Romli Atmasasmita, then, developed the theory of Bureucratic and Social Engineering, Romli Atmasasmita pointed out that law had to play its role in empowering people and bureaucracy in order to realize civil society.

The theory is relevant to the application of notary cyber concept in Law No. 2/2014 on Ditjen (Directorate General) AHU Online, the process of bureaucracy is cut short; there will be no more meeting between service providers and service users so that the opportunity for corruption, collusion, and nepotism can be avoided. The realization of prime service for people in establishing good governance which leads to clean government is by prioritizing professional, quick, accurate, efficient, and cheap service, plus free from illegal fee. It can also increase Notaries’ effectiveness and efficiency in providing people the punctuality of the service so that national trade and economy develop properly in order to increase social welfare.

The result of the research showed that a notary’s authority in certfying electronic transation as stipulated in Article 15, paragraph 3 of Law No. 2/2014 is the authority to print and to legalize the printed letters and/or certificates by using the system of Dijen AHU online, and definition of Request in the Regulation of the Minister of Law and Human Resources of the Republic of Indonesia No. 5/2014 on the Authorization of Foundation Legal Entity (Permenhumkam No. 5/2014) is not correct because the fact is that Dijen AHU online allows the applicant, either individually or together, without giving the authority to someone else, to get the request and the authorization for Foundation legal entity. It is recommended that definition of Request in Permenkumham No. 5/2014 should be corrected.


(8)

kasih dan anugrah, karena atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah berbentuk Tesis dengan judul “PENERAPAN KONSEP CYBER NOTARY DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014”. Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk melengkapi syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dengan penuh kesadaran bahwa tiada satupun yang sempurna di muka bumi ini, penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih dengan keterbatasan kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi. Penulisan tesis ini tidaklah mungkin akan menjadi sebuah karya ilmiah tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah ikut serta baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II dalam penelitian tesis ini, atas kesempatan yang


(9)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing III dalam penelitian tesis ini, atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini. 5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H, selaku Dosen Pembimbing Utama

dalam penelitian tesis ini, yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji dalam penelitian tesis ini, yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn, selaku Dosen Penguji dalam penelitian tesis ini, yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini.

8. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji dalam penelitian tesis ini, yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini.

9. Para Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu selama masa perkuliahan.

10. Segenap keluarga besar dan kekasih penulis atas segala doa, rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas sehingga menjadi dukungan untuk penulis selama perkuliahan, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini.


(10)

12. Rekan-rekan mahasiswaProgram Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjuang bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjasamanya selama penulis menjalankan perkuliahan, semoga sukses untuk kita semua.

13. Semua pihak yang telah membantu penulisan yang belum disebutkan satu per satu namanya yang telah memberikan masukan, mendukung dan mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi ini.

Akhirnya tidak lupa penulis memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Semoga Tuhan senantiasa melindungi dan membalas segala budi baik mereka semuanya, dengan segala kerendahan hati penulis berharap penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Medan, November 2014 Penulis


(11)

Nama : Benny

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 16 Oktober 1987 Jenis Kelamin : Pria

Agama : Buddha

Status : Belum Menikah

Alamat Rumah : Jalan Muchtar Basri, Komplek Gaharu Town House Blok F No. 8 B

Telepon/HP : 08116028778

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Sutomo 1 Medan 1994 - 2000 2. SLTP Sutomo 1 Medan 2000 - 2003 3. SLTA Sutomo 1 Medan 2003 - 2006 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa 2006 - 2011 5. S-2 Program Magister Kenotariatan FH USU 2012 – 2014


(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 9

1. Kerangka Teori ... 9

2. Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 16

BAB II KONSEP CYBER NOTARY DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 21

A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris... 21

B. Pengertian Dan Lingkup Transaksi Elektronik ... 29

C. Kekuatan Pembuktian Transaksi Elektronik... 35

D. Pengaruh Sistem Hukum Yang Dianut Di Indonesia... 41

E. Penerapan Konsep Cyber Notary Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ... 43

BAB III PENERAPAN KONSEPCYBER NOTARY DALAM DITJEN AHUONLINE... 48


(13)

Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan

Data Perseroan Terbatas... 51

C. Pengajuan Permohonan Pemakaian Nama, Dan Pengesahan Pendirian Yayasan... 70

D. Pengajuan Permohonan Pemakaian Nama dan Pengesahan Pendirian Perkumpulan ... 78

E. Pengajuan Permohonan Pendaftaran, Pendaftaran Perubahan, dan Penghapusan Jaminan Fidusia... 84

F. Pelaporan Wasiat dan Pelayanan Kenotariatan... 91

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94


(14)

juga dalam bidang hukum kenotariatan di Indonesia. Hal ini terlihat dalam penerapan konsep cyber notary yang meningkatkan efektivitas dan efisiensi para Notaris. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian dengan membahas penerapan konsep cyber notary di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaan yang mengatur penerapan dari konsep cyber notary tersebut. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang melakukan analisis deskriptif.

Dalam penelitian ini hukum dilihat untuk difungsikan sebagai sarana untuk pembaharuan masyarakat (Law as a tool of social engineering), seperti teori yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan menyesuaikan teori dari Roscoe Pound terhadap hukum di Indonesia, kemudian oleh Romli Atmasasmita dikembangkan lagi dengan teori Bureucratic and Social Engineering. Sebagaimana teori yang dikemukakan Romli Atmasasmita, hukum harus memegang peranan dalam memberdayakan masyarakat dan birokrasi untuk mewujudkan masyarakat madani.

Teori tersebut relevan terhadap penerapan konsepcyber notarydalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (UU 2/2014) melalui Ditjen AHU online proses birokrasi diperpendek dengan tidak diperlukan lagi pertemuan antara penyedia jasa dan pemakai jasa sehingga peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dapat dihindarkan. Yang mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat dalam membangun good governance menuju clean government dengan mengutamakan pelayanan yang profesional, cepat, tepat, efisien, murah dan bebas punggutan liar. Kemudian akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi para Notaris dalam memberikan kepastian waktu penyelesaian pelayanan terhadap masyarakat, dengan demikian berdampak pada berkembangnya perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa konsep cyber notary yang telah diakomodir sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 15 ayat 3 UU 2/2014 adalah kewenangan dalam mencetak dan melegalisasi surat dan/atau mencetak sertifikat yang dicetak melalui sistem Ditjen AHUonline, dan defenisi Pemohon dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan (Permenkumham 5/2014) dirasakan kurang tepat, karena faktanya Ditjen AHU online memperbolehkan pemohon yang dengan sendiri-sendiri atau bersama-sama secara langsung tanpa dikuasakan, dan permohonan selain pengesahan badan hukum Yayasan. Oleh karena itu, Penelitian ini menyarankan perbaikan definisi Pemohon dalam Permenkumham 5/2014 tersebut.


(15)

application of notary cyber concept which increases the effectiveness and the efficiency of a Notary. This condition had made the researcher did the research on the application of notary cyber concept in Indonesia and on Law No. 2/2014, and the regulation which regulated the application of the notary cyber concept. The research was judicial normative with qualitative approach and descriptive analysis.

In the research, law was viewed to be functioned as a means of social engineering which was in line with Mochtar Kusumaatmadja’ theory by adjusting to Roscoe Pound’ theory about law in Indonesia. Romli Atmasasmita, then, developed the theory of Bureucratic and Social Engineering, Romli Atmasasmita pointed out that law had to play its role in empowering people and bureaucracy in order to realize civil society.

The theory is relevant to the application of notary cyber concept in Law No. 2/2014 on Ditjen (Directorate General) AHU Online, the process of bureaucracy is cut short; there will be no more meeting between service providers and service users so that the opportunity for corruption, collusion, and nepotism can be avoided. The realization of prime service for people in establishing good governance which leads to clean government is by prioritizing professional, quick, accurate, efficient, and cheap service, plus free from illegal fee. It can also increase Notaries’ effectiveness and efficiency in providing people the punctuality of the service so that national trade and economy develop properly in order to increase social welfare.

The result of the research showed that a notary’s authority in certfying electronic transation as stipulated in Article 15, paragraph 3 of Law No. 2/2014 is the authority to print and to legalize the printed letters and/or certificates by using the system of Dijen AHU online, and definition of Request in the Regulation of the Minister of Law and Human Resources of the Republic of Indonesia No. 5/2014 on the Authorization of Foundation Legal Entity (Permenhumkam No. 5/2014) is not correct because the fact is that Dijen AHU online allows the applicant, either individually or together, without giving the authority to someone else, to get the request and the authorization for Foundation legal entity. It is recommended that definition of Request in Permenkumham No. 5/2014 should be corrected.


(16)

A. Latar Belakang

Indonesia yang berada dalam era globalisasi ditandai dengan era teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace,

virtual world) melalui jaringan internet, komunikasi dengan media elektronik tanpa

kertas. Seseorang akan memasuki dunia maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan tempat dan waktu melalui media elektronik ini.1 Globalisasi TIK tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat TIK dunia. Masyarakat Indonesia yakin bahwa TIK berperan untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan hukum, ekonomi, sosial dan budaya. TIK tersebut telah berkembang pesat dan melaju terus seiring perkembangan zaman, yang berdampak pada berbagai bidang kehidupan termasuk hukum kenotariatan di Indonesia.

Perkembangan dan kemajuan TIK yang demikian pesat menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru, penggunaan dan pemanfaatan TIK harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional demi kepentingan nasional. TIK berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

1Mariam Darus Badrulzaman,Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber ( Cyber Law ) di


(17)

Untuk mengimbangi dinamika perkembangan TIK, pemerintah mendukung pengembangan TIK melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan TIK dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan political will di bidang TIK dalam bentuk

peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Perubahan UUJN).

Pasal 4 UU ITE menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;

b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;

d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”

Sebagaimana diuraikan tersebut diatas maka peran Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan pelayanan publik dipersilakan untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan TIK seoptimal mungkin dan bertanggung jawab serta memanfaatkan TIK serta transaksi elektronik guna


(18)

meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Demikianlah dengan mengadopsi konsep cyber notary yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi

pelayanan publik.

Menurut Emma Nurita, konsepcyber notaryuntuk sementara dapat dimaknai

sebagai notaris yang menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi, yang berkaitan dengan tugas dan fungsi notaris, khususnya dalam pembuatan akta. Secara sederhana konsep Cyber Notary ingin memberikan

bingkai hukum, yaitu agar tindakan menghadap para pihak atau penghadap di hadapan Notaris (dalam pembuatan akta pihak atau akta relaas), dan Notarisnya tidak lagi harus bertemu secara fisik atau bertemu muka di suatu tempat tertentu. Dalam hal ini Notaris tetap berada di tempat kedudukannya (kota/ kabupaten), atau wilayah jabatannya (provinsi), dan para penghadap tidak menghadap secara fisik di hadapan Notaris, dan bisa saja para pihak berada di suatu tempat yang berbeda dengan tempat kedudukan, atau wilayah jabatan Notaris dengan pula para pihaknya berada pada tempat yang berbeda, hal tersebut dapat dilakukan secara teleconference, dengan

mempergunakan teknologi informasi, yang memungkinkan untuk dilakukan.2

Menurut Brian Amy Prastyo, esensi dari Cyber Notary saat ini belum ada

defenisinya yang mengikat. Akan tetapi, dapat dimaknai sebagai Notaris yang menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi. Tentu saja bukanlah legalitas penggunaan handphone atau faksimili untuk

2Emma Nurita,Cyber Notary, Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, Refika Aditama,


(19)

komunikasi antara Notaris dan kliennya. Tetapi berkaitan dengan tugas dan fungsi Notaris, khususnya dalam pembuatan akta.3

Asumsi bahwa kehadiran fisik sangat diperlukan bagi pembentukan sebuah akta otentik, masih menjadi tantangan bagi kemungkinan adanya adaptasi dari perkembangan TIK baik yang sudah ada maupun yang sedang berkembang untuk masa depan. Secara teknis, “kehadiran fisik” bukan tidak mungkin juga dapat dilakukan secara elektronik. Dengan melihat perkembangan mobile communication

(3G) sekarang ini, setiap orang dapat melakukan panggilan video conference, dan

dapat menanamkan tanda tangannya pada chip kartu telepon (SIM card) atau pada

handsetyang bersangkutan , dan dapat diketahui fakta riil di mana yang bersangkutan

berada dengan fasilitas satelit melaluiGPSataupun utilitasmapyang disediakan.4

Adalah suatu fakta, para notaris telah menggunakan komputer di kantornya masing-masing dan tidak dapat melepaskan keberadaan telekomunikasi (contoh:

telephone dan mobile-cellular) dalam kehidupannya. Semua produk teknologi

tersebut berikut informasi elektronik sebagai keluarannya ternyata telah diterima dalam kehidupan sehari-hari sebagai informasi yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Tidak dapat ditampik bahwa ilmu fisika dan elektronika adalah bagian dari ilmu fisik sehingga hubungan komunikasi elektronik selayaknya juga dipersepsikan telah memenuhi kehadiran fisik seseorang. Oleh karenanya, terkesan

3Brian Amy Prastyo, Peluang dan Tantangan Cyber Notary di Indonesia,

http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2009/11/29/peluang-cyber-notary-di-indonesia/, terakhir diakses tanggal 12 Juni 2014.

4 Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary


(20)

agak cenderung naif jika hukum menihilkan keberadaan teknologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.5

Dengan mengamati perkembangan di beberapa Negara, baik yang bercorak

Common Law maupun Civil Law, banyak negara telah memberdayakan fungsi dan

peran notarisnya dalam transaksi elektronik. Oleh karena itu, mau tidak mau Indonesia pun harus menstimulus penyelenggaraan jasa notarisnya dalam transaksi elektronik bahkan sampai dengan melakukan penyelenggaraan jasa kenotariatan itu sendiri secara elektronik. Hal ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma hukum tentang penerapan TIK dalam pekerjaan kenotariatan, tidak hanya cukup dengan komputerisasi secara internal di kantor notaris, melainkan juga peran eksternalnya kepada publik. Hal tersebut dapat berbentuk kepada suatu fungsi peran yang paling minim, di mana notaris hanya menverifikasi dan melegalisasi keberadaan data subjek hukum dalam pengaplikasian suatu Sertifikat elektronik, atau bahkan sampai dengan bentuk yang paling optimum dimana notaris itu sendiri melakukan pekerjaannya secara elektronik berikut pembuatan akta notarisnya secara elektronik.6

Menjadi suatu catatan penting bahwa baik Amerika Serikat maupun Prancis yang sudah cukup maju untuk membuat akta secara elektronik, ternyata juga masih meminta kehadiran semua pihak untuk berada langsung dihadapannya dan kemudian secara live melakukan pembuatan akta dengan sistem elektronik yang berada di

kantor notaris. Pada dasarnya mereka pun masih belum memberikan ruang untuk

5Ibid. 6Ibid.


(21)

pembuatan akta secara jarak jauh (remote). Edmon Makarim menilai bahwa mungkin

hal tersebut terjadi justru karena memang e-ID belum terselenggara dengan baik di

Prancis sehingga tidak dapat dikatakan sama dengan kehadiran fisik secara langsung. Jika seseorang yang tampil dalam video-conference telah sesuai antara penampakannya dengan foto yang terdapat padapersonal data IDyang terdapat pada

sumber data otentiknya (e-ID resources) yang dapat diakses online oleh notaris, maka

sulit mengatakannya adanya ruang untuk melakukan penolakan terhadap validitas data tersebut. Oleh karena itu, keberadaanremote transaction yang diaktakan secara

elektronik, ke depannya jelas akan sangat mungkin terjadi.7

Selama ini ada sedikit kesalapahaman dalam menafsirkan frasa “di hadapan” sesuai Pasal 1868 KUH Perdata yang dikaitkan dengan cyber notary. Yang

mengidentikkan dengan pembuatan akta yang dilakukan secara telekonferensi, padahal tidak. Prinsip kerja cyber notary tidak jauh berbeda dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan dengan para notarisnya. Hanya saja, para pihak langsung membaca draft aktanya di masing-masing komputer, setelah sepakat, para pihak segera menandatangani akta tersebut secara elektronik di kantor notaris. Jadi aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakanwebcam, tetapi para pihak

berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya menggunakan webcam,

negara lain juga belum menggunakan metode itu.8

7Edmon Makarim,Op. Cit., hal. 134.

8Edmon Makarim, INI Gembira Cyber Notary masuk ke UU Jabatan Notaris,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f6010370d79/ini-gembira-cyber-notary-masuk-ke-uu-jabatan-notaris, terakhir diakses tanggal 14 Juni 2014.


(22)

Sudah saatnya notaris Indonesia menjadi notaris cyber dalam upaya

meningkatkan sistem pelayanan jasa di bidang kenotariatan, dalam rangka ikut memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berasaskan Pancasila sesuai dengan pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4. Karena jika notaris tidak segera mengadakan reformasi tentang UUJN dan khususnya notaris itu sendiri, maka notaris akan terkurung di dalam dunianya sendiri. Sementara dunia modern sekarang yang serba cyber sangat

menuntut untuk semua dilakukan secara praktis, cepat dengan biaya terjangkau dan yang pasti tetap menjungjung tinggi nilai-nilai filosofis notaris itu sendiri dalam hal kredibilitas, harkat dan martabat tetap yang paling diutamakan dalam setiap tindak tanduk seorang notaris.9

Bentuk-Bentuk penerapan dari konsep cyber notary di Indonesia menjadi jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (perubahan UUJN) yang mengatur kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik, walaupun hanya tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat 3, yakni yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai “PENERAPAN KONSEP CYBER NOTARY DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014”.


(23)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk penerapan dari konsep cyber notary ditinjau

dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014?

2. Bagaimanakah peraturan pelaksanaan yang mengatur penerapan dari konsep

cyber notarytersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk-bentuk penerapan dari konsep cyber notary ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan pelaksanaan yang mengatur penerapan dari konsep cyber notary tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan dapat menambah khasanah pemikiran hukum bagi ilmu Hukum pada umumnya, dan Ilmu Kenotariatan pada khususnya. Dalam hal memperjelas kajian penerapan konsepcyber


(24)

2. Manfaat Praktis.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa masukan bagi kalangan praktisi, masyarakat luas, dan pelaku usaha dalam memahami aturan-aturan dalam penerapan konsepcyber notary, serta pemerintah dalam pengembangan

infrastruktur hukum dan pengaturannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik di lingkungan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara maupun perpustakaan Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian mengenai “Penerapan Konsep Cyber Notary di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014” belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi baik peneliti atau akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menurut M. Solly Lubis yang menyatakan konsep teori merupakan: “Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan,


(25)

masukan eksternal bagi peneliti.”10 Selain itu, Bruggink mengartikan teori hukum adalah : “suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan.”11

Teori merupakan bagian yang sangat penting dari penelitian ini. Dengan demikian, tentunya akan memudahkan penulis dalam menyusun arah dan tujuannya. Teori bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.12

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.13 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.14

Pada umumnya, bagi masyarakat yang mengalami perubahan, khususnya perubahan yang bersumber dari kemajuan teknologi akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah sosial karena masyarakat itu sendiri belum siap menerima

10M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Sofmedia, Medan, 2012, hal 80.

11

H. Salim H.S.,Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 53.

12J.J.J.M. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.

13Satjipto Rahardjo,llmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. ke-7, 2010, hal 254. 14Satjipto Rahardjo,Ibid., hal. 253.


(26)

perubahan tersebut sebagai akibat nilai-nilai masyarakat yang telah berubah menilai kondisi lama sebagai kondisi yang tidak lagi dapat diterima15

Menurut Soerjono Soekanto, proses pembangunan merupakan suatu perubahan yang harus diupayakan agar berjalan teratur dan berkelanjutan (sustainable

development) disetiap sektor antara lain politik, ekonomi, demografi, phisikologi,

hukum, intelektual maupun teknologi16 Apabila kita perhatikan lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan (dalam arti luas), yaitu:17

1. Pemikiran manusia. Akal budi yang diberikan Tuhan pada manusia akan selalu berkembang dari waktu ke waktu, kondisi ini mengakibatkan manusia untuk senantiasa mempergunakan pemikirannya dalam segala aspek kehidupannya.

2. Kebutuhan/tuntutan manusia. Disatu sisi manusia selalu menginginkan agar kebutuhannya selalu terpenuhi, sementara dilain sisi manusia tidak pernah akan terpuaskan, kondisi ini menyebabkan manusia dengan berbagai usahanya berupaya agar kebutuhannya secara relatif dapat terpenuhi.

3. Cara hidup manusia. Perkembangan jaman selalu berdampak pada timbulnya berbagai perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya cara hidup.

15Paul B. Horton dan Chester L.Hunt,Sosiologi, Erlangga, Jakarta, ed. ke-6, 1992, hal. 85. 16Soerjono Soekanto,Kegunaan Sosiologi hukum Bagi Kalangan Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, cet. ke-6, 1991, hal. 11.

17Dikdik M. Arief Mansur & Elisaris Gultom,Cyber Law,Aspek Hukum Teknologi Informasi,


(27)

4. Teknologi (kemampuan cipta sarana). Semakin maju kehidupan manusia semakin meningkat pula kemampuan manusia dalam melahirkan teknologi. 5. Komunikasi dan transportasi. Kemajuan sarana komunikasi dan transportasi

berakibat pada mudahnya interaksi antara satu tempat dengan tempat lain, negara-negara tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu, semuanya terhubung dalam suatu jaringan global.

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini hukum dilihat untuk difungsikan sebagai sarana untuk pembaharuan masyarakat (Law as a tool of social engineering) agar

pembangunan benar-benar berjalan menurut garis kebijaksanaan yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945, seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan menyesuaikan konsep dari Roscoe Pound terhadap hukum di Indonesia, kemudian oleh Romli Atmasasmita dikembangkan lagi dengan konsep Bureucratic

and Social Engineering. sebagaimana dikemukakan Romli Atmasasmita, hukum

harus memegang peranan dalam memberdayakan masyarakat dan birokrasi untuk mewujudkan masyarakat madani.18

Pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional, kemudian dikenal sebagai Teori Hukum Pembangunan, diletakkan di atas premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip sebagai berikut:19

18Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa depan Pembangunan Hukum Nasional,

Makalah pada Prapascasarjana Unpad, September 2005.

19Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum


(28)

a. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya. Beliau menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.

b. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.

c. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga (sebagai kaidah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat.

d. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.

e. Implementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan di dalam hukum itu. Untuk menutupi kelemahan pemberdayaan birokrasi dalam Teori Hukum Pembangunan yang lebih mengutamakan peranan hukum, maka dilengkapi dengan pendekatanbureucratic engineering(BE). Pendekatan BE ini mengutamakan konsep


(29)

pembaharuan masyarakat, karena konsep BE menciptakan persepsi dan sikap yang sama antara elemen birokrasi dan elemen masyarakat ke dalam suatu wadah yang disebut “Bureucratic and Social Engineering” (BSE). Pendekatan BSE ini oleh Romli

Atmasasmita disebut Teori Hukum Pembangunan Generasi II (1980), yang merupakan revisi atas Teori Hukum Pembangunan Generasi I (1970).20

Selanjutnya, melalui teori Hukum Integratifnya, Romli Atmasasmita menggabungkan teori Hukum Pembangunan Mochtar yang merupakan sistem norma (system of norms) dan teori Hukum Progresif Satjipto yang merupakan sistem

perilaku (systems of behavior) dengan teori hukumnya yang merupakan sistem nilai

(system of values). Ketiga hakikat Hukum dalam konteks kehidupan masyarakat

Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan pemikiran yang sesuai dalam menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terburuk abad globalisasi saat ini dengan tidak melepaskan diri dari sifat tradisional masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan nilai (value) moral dan sosial. Ketiga hakikat hukum dalam pemikiran

Romli disebut dengan “tripatite character of the Indonesian legal theory of Social

and Bureaucratic Engineering(SBE).” Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat

yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, itulah yang kemudian disebut Teori Hukum Integratif.21

20Romli Atmasasmita,Op. Cit., hal. 82-83. 21Op. Cit., hal. 96-97


(30)

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan defenisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Konsep termasuk bagian dari sebuah teori. Konsep dapat diartikan pula perencanaan yang dapat membuat kerelevanan hubungan terhadap realitas. Tujuan dari konsepsi sendiri agar penulis terhindar dari kesalah pahaman ataupun kesalah pengertian penafsiran terhadap setiap istilah yang digunakan dalam penelitian ini.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau defenisi operasional, yaitu :

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),

telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.22

22Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU


(31)

2. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.23

3. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.24

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu

23Ibid., Pasal 1 angka (3). 24Ibid., Pasal 1 angka (4).


(32)

sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.25

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan yang ada. Dalam penelitian ini pendekatan dilakukan dengan terlebih dahulu menelaah berbagai peraturan perundang-undangan terkait yang relevan atau berhubungan dengan apa yang menjadi permasalahan yang kemudian diangkat dalam penelitian ini.

Kemudian dilakukan juga kajian mengenai kasus yang hangat atau telah terjadi dan mendapat perhatian dari publik, lalu mengkaji atau menelaah perkembangan dinamika permasalahan penelitian yang diangkat. Setelah itu lalu membandingkannya semua hal yang terkait mengenai hal yang relevan atas kajian sebelumnya.

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu

analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.26

Bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti yang berdasarkan gambaran fakta yang

25Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hal 42.


(33)

dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai tinjauan yuridis penerapan konsepcyber notarydi Indonesia.

2. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tertier. Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber, baik sumber data tertulis seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal ini seorang peneliti di harapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.27 Bahan hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik itu diperpustakaan fakultas,

universitas, maupun pada perpustakaan lainnya yang menyangkut judul penelitian.

27Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, Ghalia Indonesia,


(34)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer.28 Bahan hukum sekunder biasanya berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks, konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet, majalah dan surat kabar serta berbagai kajian yang menyangkut judul penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder29 seperti kamus hukum atau bahan-bahan yang dapat memberikan sejumlah informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, ensiklopedia, dan lain-lain. Bahan hukum tersier biasanya memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan ini, adalah dengan metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dan informasi serta mempelajari dokumen-dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang ada hubunganya dengan judul penelitian.

28Ibid 29Ibid


(35)

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan penelahaan dan penguraian data, sehingga data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yaitu dengan penguraian deskriptis analitis dan preskriptif,30 yang dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yakni cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum, untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dan disajikan dalam bentuk preskriptif.

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan penelitian terhadap data yang terkumpul baik inventarisasi bahan pustaka, peraturan perundang-undangan, informasi media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian data sekunder dianalisis dengan penelitian secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini.

30 Soerjono Soekanto, Pengertian Penelitian Hukum, Lembaga Penerbit Universitas


(36)

BAB II

KONSEPCYBER NOTARYDALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris

Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlidungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dibuat dihadapan pejabat tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.31 Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak hukum dikenal masyarakat itu sendiri, oleh karena hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum, yaitu “ubi so cietes ibi ius” yang artinya dimana ada masyarakat di sana ada hukum.32

Notaris adalah profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat peranan dalam lalu lintas hukum kehidupan bermasyarakat melalui akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Tugas Notaris adalah mengkonstantir

31 Djuhad Mahja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Durat

Bahagia, Jakarta, 2005, hal. 59.

32 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,


(37)

hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.33 Langkah-langkah itu (antara lain mendengar pihak-pihak mengutarakan kehendaknya, kemudian membacakan isi akta kepada para penghadap, menandatangani akta, dan lain-lain) memang khusus diadakan pembuat undang-undang untuk menjamin bahwa apa yang tertulis dalam akta itu memang mengandung apa yang dikehendaki para pihak.34

Menurut Gandasubrata, notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.35 Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare

ambtenaren yang terdapat dalam Artikel 1 Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.

1860: 3), yang diterjemahkan oleh G.H.S Lumban Tobing menjadi pejabat umum, yang berbunyi “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai segala perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”36Dalam kamus hukum, salah satu

33Tan Thong Kie,Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris,

Buku I,Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 159.

34Tan Thong Kie,Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris,

Buku II, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 261.

35 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia Cabang

Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998, hal 484.


(38)

arti dari ambtenaren adalah Pejabat,37 kemudian dalam kamus istilah hukum

Fockema Andreae Belanda-Indonesia, istilah openbare diterjemahkan sebagai

umum.38 Dengan demikian openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai

tugas yang bertalian dengan kepentingan umum. Openbare ambtenaren dapat juga

diartikan sebagai Pejabat Publik.39 Berkaitan dengan openbare ambtenaren yang

diterjemahkan sebagai pejabat umum, diartikan sebagai pejabat yang diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti otentik yang melayani kepentingan masyarakat umum.

Oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, istilah Openbare ambtenaren yang

terdapat dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) diterjemahkan

menjadi pegawai-pegawai umum. Dengan terjemahannya bunyi Pasal 1868 BW menyatakan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”40 Menurut R. Subekti, yang dimaksud pegawai-pegawai umum adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil.41 Diterjemahkan sebagai pegawai-pegawai umum tersebut disebabkan perkembangan perundang-undangan yang memberikan

37Habib Adjie,Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,

Refika Aditama, Bandung, cet. ke-1, 2009, hal. 27.

38N.E. Algra, H.R.W. Gokkel,Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia,

diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Binacipta, Bandung, 1983, hal. 363.

39Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 009-014/PUU-III/2005,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diunduh pada tanggal 8 Juni 2014, hal. 119.

40R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,

Jakarta, cet. ke-40, 2009, hal. 475.


(39)

kewenangan pembuatan akta otentik tidak hanya diberikan kepada notaris saja. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum juga akan tetapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pegawai negeri sipil. Misalnya akta-akta yang dibuat oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Namun demikian juga bukan berarti notaris diberikan kualifikasi pegawai negeri sipil notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian, karena notaris tidak menerima gaji dari pemerintah, melainkan menerima honorarium dari klien atas jasa yang diberikan.

Dengan demikian Notaris bukanlah bagian dari Korps Pegawai Negeri Sipil yang tersusun dalam suatu struktur birokrasi dengan pola hubungan yang hirarkis, Notaris di angkat dan diberhentikan oleh pemerintah sesuai Pasal 2 UUJN yang mengatur pengangkatan dan pemberhentiannya melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengangkatan Notaris dilakukan dengan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perubahan UUJN, yakni:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


(40)

d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater;

e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan

h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Kemudian sesuai Pasal 8 UUJN notaris diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh pemerintah Apabila telah mencapai umur 65 tahun dan dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kondisi kesehatannya.

Kalimat “dibuat oleh atau di hadapan” dalam Pasal 1868 BW, mengandung makna adanya 2 macam akta, yaitu :

1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau

akta pejabat (ambtelijke akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat


(41)

dilihat atau disaksikan oleh notaris, sebagai contoh relaas akta misalnya berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, berita acara undian berhadiah dan sebagainya;

2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta

partij(partij akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan apa yang

diterangkan para pihak kepada notaris dalam melaksanakan jabatannya dimana para pihak ingin agar keterangan atau perbuatan tersebut dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik, sebagai contoh partij akta misalnya perjanjian hibah, jual beli, tukar menukar dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Irfan Fachruddin, Pasal 1868 BW secara implisit memuat perintah kepada pembuat undang supaya mengatakan suatu undang-undang yang mengatur perihal tentang Pejabat Umum, dimana harus ditentukan kepada siapa masyarakat dapat meminta bantuannya jika perbuatan hukumnya ingin dituangkan dalam suatu akta otentik.42Oleh pembuat undang-undang defenisi notaris terdapat dalam Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN, dan akta notaris terdapat dalam Pasal 1 angka (7) Perubahan UUJN, serta kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 Perubahan UUJN. Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN menyebutkan, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang

42Irfan Fachruddin,Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha


(42)

tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum (Openbare Ambtenaren), di mana kewenangannya atau kewajibannya yang

utama ialah membuat akta otentik berdasarkan perundang-undangan. Kemudian Pasal 1 angka (7) Perubahan UUJN menyebutkan, “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Menurut hukum, akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, adalah akta otentik, barang siapa yang membantah kebenaran suatu akta otentik, yang membantah harus dapat membuktikan sebaliknya.43

Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) perubahan UUJN. Ketentuan pasal 15 ayat (1) Perubahan UUJN menyebutkan “Notaris berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang tersirat, yaitu kewenangan notaris yang bersifat luas namun terbatas sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.


(43)

Dengan demikian tidak semua pembuatan akta otentik menjadi wewenang Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat lain, bukan merupakan wewenang Notaris, seperti akta kelahiran, pernikahan, dan perceraian dibuat selain Notaris. Akta yang dibuat Notaris tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai wewenang yang meliputi empat hal, yaitu:44

a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang;

b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Notaris baik karna perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan;

c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat. Bagi setiap Notaris ditentukan wilayah jabatannya dan hanya di dalam daerah yang ditentukan tersebut Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Dalam


(44)

Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Akta yang dibuat diluar daerah jabatannya adalah tidak sah;

d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu; keadaan dimana Notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat akta

otentik, yaitu:

1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris, ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 Perubahan UUJN. Notaris tidak berwenang membuat akta otentik sebelum mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris;

2. Selama Notaris diberhentikan sementara. Selama notaris diberhentikan sementara pemberhentian sementara maka notaris yang bersangkutan tidak berwenang membuat akta otentik sampai masa skorsingnya berakhir;

3. Selama Notaris cuti. Notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta otentik.

B. Pengertian Dan Lingkup Transaksi Elektronik

Menurut Pasal 1 UU ITE, yang dimaksud dengan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan segala perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan media elektronik


(45)

dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik. Adapun perbuatan hukum itu terdiri dari:45

a. Perbuatan hukum sepihak;

Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula, contoh:

1. Perbuatan membuat surat wasiat (pasal 875 KUH Perdata); 2. Pemberian hibah sesuatu benda (pasal 1666 KUH Perdata); 3. Dan lain-lain.

b. Perbuatan hukum dua pihak;

Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak-hak (timbal balik), Contoh:

1. persetujuan jual beli (pasal 1457 KUH Perdata); 2. perjanjian sewa menyewa (pasal 1548 KUH Perdata); 3. Dan lain-lain.

Untuk adanya suatu perbuatan hukum harus disertai dengan pernyataan kehendak dari yang melakukan perbuatan hukum tersebut dan akibat dari perbuatan itu diatur oleh hukum. Pernyataan kehendak pada asasnya tidak terikat dengan bentuk-bentuk tertentu dan tidak ada pengecualiannya. Oleh karena itu bentuk pernyataan kehendak dapat terjadi dengan:46

1. Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan dengan:

45C. S. T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

cet. ke-12, 2002, hal. 27.


(46)

a. Tertulis, yang dapat terjadi antara lain; ditulis sendiri, ditulis oleh pejabat tertentu, ditanda-tangani oleh pejabat itu, disebut juga akta otentik seperti mendirikan PT dan semacamnya.

b. Lisan, pernyataan kehendak ini cukup dengan mengucapkan kata setuju, misalnya dengan mengucapkan ya, dan semacamnya.

2. Pernyataan kehendak secara diam-diam, dapat diketahui dari sikap atau perbuatan, misalnya sikap diam yang ditunjukkan dalam rapat berarti setuju. Hal yang harus diperhatikan dalam peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum adalah akibat, oleh karena akibat itu dapat dianggap sebagai kehendak dari si pembuat (pelaku). Jika akibatnya tidak dikehendaki, maka perbuatan itu bukanlah perbuatan hukum. Jadi adanya kehendak agar dikatakan sebagai perbuatan hukum, perlu diperhatikan unsurnya yang esensil (werkelijk = sebenarnya) yang merupakan

hakekat dari perbuatan hukum itu.47 Adapun perbuatan yang akibatnya tidak dikehendari oleh pelaku adalah bukan perbuatan hukum, meskipun perbuatan tersebut diatur oleh peraturan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan tersebut.

Perbuatan hukum yang timbul dalam transaksi elektronik dapat dilaksanakan melalui 2 (dua) konteks, yaitu:48

1. Hubungan penyelenggara negara kepada publiknya (pelayanan publik);

47H. Hilman Hadikusuma,Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2005, hal. 40-41. 48 Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Rajawali Pers,


(47)

2. Hubungan perdata para pihak untuk melakukan perikatan atau kontrak elektronik.

Pada dasarnya baik untuk pelayanan publik maupun privat, suatu komunikasi elektronik bersifat privat hanya antara para pihak saja (baik B2B, B2C, C2C, G2C).49 Jenis-jenis transaksi elektronik tersebut antara lain:

a. Bussiness to Bussiness atau yang sering disebut B2B, adalah hubungan

perdagangan antara pebisnis, seperti antara produsen dan grosir, atau antara grosir dan pengecer. Perkembangan B2B lebih pesat jika dibandingkan dengan perkembangan jenis e-commerce yang lainnya. Contohnya adalah

http://www.alibaba.com, http://www.indotrading.com,dan sebagainya.

b. Bussiness to Customer atau yang dikenal dengan B2C, adalah hubungan

perdagangan antara produsen, grosir, atau pengecer ke pengguna akhir. Contohnya adalah http://www.amazon.com, http://www.bhinneka.com, dan

sebagainya.

c. Customer to Customer atau yang dikenal dengan C2C adalah hubungan

perdagangan dimana pengguna akhir saling menjual barang satu sama lain. Contohnya adalah http://www.ebay.com, http://www.olx.com (sebelumnya

http://www.tokobagus.com), dan sebagainya.

d. Government to Citizen atau yang dikenal dengan G2C adalah hubungan

pemerintah kepada warga negaranya dalam hal pemberian informasi, transaksi, ataupun pelayanan publik, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan


(48)

pemerintahan. Contohnya adalah http://www.indonesia.go.id,

http://insw.go.id, https://efiling.pajak.go.id, http://ahu.web.id, dan sebagainya.

Menurut Edmon Makarim, transaksi elektronik adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer based

information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan

jasa telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh

keberadaan jaringan komputer global internet (network of network).50 Dengan

demikian jika dipandang dari ruang lingkup hukum keperdataan, transaksi elektronik dapat dipandang sebagai bagian dari perikatan para pihak (Pasal 1233 KUH Perdata), Transaksi tersebut akan merujuk kepada semua jenis dan mekanisme dalam melakukan hubungan hukum secara elektronik itu sendiri yang akan mencakup jual beli, lisensi, asuransi, lelang, dan perikatan-perikatan lain yang lahir sesuai dengan perkembangan teknologi dalam lingkungan masyarakat.

Kemudian jika dipandang dalam ruang lingkup hukum dagang, transaksi elektronik dirumuskan definisinya dari terminologi electronic commerce (

e-commerce) yang lazim dipakai dalam perdagangan internasional. Defenisi

e-commerce secara eksplisit disebutkan dalam sub bab ruang lingkup pada United

Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law on

50Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kajian Kompilasi, Rajawali Pers


(49)

Electronic Commerce (1996) with additional article 5 bis as adopted in 1998

(MLEC)51, yang mendefinisikane-commerce, sebagai berikut:

“The title of the Model Law refers to “electronic commerce.” While a definition of “electronic data interchange (EDI)” is provided in article 2, the Model Law does not specify the meaning of “electronic commerce.” In preparing the Model Law, the Commission decided that, in addressing the subject matter before it, it would have in mind a broad notion of EDI, covering a variety of trade-related uses of EDI that might be referred to broadly under the rubric of “electronic commerce” (see A/CN.9/360, paras. 28-29), although other descriptive terms could also be used. Among the means of communication encompassed in the notion of “electronic commerce” are the following modes of transmission based on the use of electronic techniques: communication by means of EDI defined narrowly as the computer-to-computer transmission of data in a standardized format; transmission of electronic messages involving the use of either publicly available standards or proprietary standards; transmission of free-formatted text by electronic means, for example through the INTERNET. It was also noted that, in certain circumstances, the notion of “electronic commerce” might cover the use of techniques such as telex and telecopy.”52

Kemudian melihat pada dokumen kelompok kerja nomor A/CN.9/360 paragraph ke 28-29 disebutkan sebagai berikut:

As to the specific order in which issues should be discussed at the present session, a suggestion that the discussion generally follow the order in which the issues were presented in the paper before the Working Group was generally accepted, although it was noted that the list was not exhaustive and might require future additions. As to the definition of EDI, there was general agreement that in addressing the subject matter before it the Working Group would not have in mind a notion of EDI that was limited to the electronic exchange of information between closed networks of users that had become party to a communication agreement. Rather, the Working Group would have in mind a notion of EDI encompassing also open networks that allowed EDI users to communicate without having previously adhered to a communication agreement,

51Model hukum yang disarankan untuk diikuti oleh negara-negara anggota UNCITRAL saat

mereka membuat perundangan tentang e-commerce (atau transaksi elektronik secara umum), prinsip-prinsip yang ada didalamnya juga dapat diterapkan untuk transaksi perdagangan elektronik secara umum karena memuat prinsip-prinsip umum yang cukup universal untuk berbagai jenis transaksi elektronik.

52UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce, 1996with additional article 5 bis as


(50)

thus covering a variety of trade-related EDI uses that might be referred to broadly under the rubric of "electronic commerce.” Differing views were expressed as to whether the Working Group should attempt at the outset of its discussion to consider a more specific definition of EDI. One view was that such an exercise would usefully set out the scope of the issues to be considered by the Working Group since it might not be immediately clear whether certain methods of communicating information electronically (e.g., facsimile) were to be considered as falling within the notion of EDI. The prevailing view, however, was that, having the above-mentioned general notion of EDI or "electronic commerce" in mind for the purpose of defining the scope of the Working Group's task, it would be best to leave the matter of a specific definition to a later stage. This order of discussion was felt to be particularly appropriate because the question of the definition of EDI might arise repeatedly with respect to various points and in fact might differ with respect to different issues to be considered by the Working Group, and because the panoramic view of the issues involved would place the Working Group in a better position to consider a definition of EDI.”53

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa defenisi e-commerce

berdasarkan MLEC, adalah bentuk pertukaran dengan menggunakan teknik komunikasi secara elektronik dengan sarana EDI, yang dapat juga didefinisikan secara sempit sebagai pertukaran data antara komputer ke komputer dalam format yang ditentukan, pertukaran pesan elektronik tersebut baik yang tersedia untuk umum atau privat; pertukaran bebas dengan format teks secara elektronik, misalnya melalui internet. Oleh karena itu transaksi elektronik dapat ditafsirkan sebagai salah satu bentuk transaksi yang bersifatpaperless(tanpa berbasis kertas), danborderless(tanpa

batas geografis).

C. Kekuatan Pembuktian Transaksi Elektronik

Dalam transaksi elektronik, alat pembuktian yang lazim digunakan adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditransmisikan secara

53

UNCITRAL, Report of the Working Group on International Payments on the work of its twenty-fourth session, A/CN.9/360, http://www.uncitral.org, diunduh pada tanggal 18 Juni 2014, hal. 10.


(51)

elektronik antara para pihak. Menurut pasal 1866 KUH Perdata, dikenal adanya beberapa alat bukti, antara lain:

1. Bukti tulisan;

2. Bukti dengan saksi-saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan;

5. Sumpah;

Selanjutnya dalam Pasal 1867 KUHPerdata dinyatakan bahwa bukti tulisan ada dua jenis, yakni:

1. Akta bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (private deeds); dan

2. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (authentic deeds).54

Kedua jenis akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda dimana akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Selanjutnya bahkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dinyatakan bahwa akta otentik dianggap sempurna karena ia mengandung kebenaran formal. Namun perlu juga dipahami bahwa Pasal 1869 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, ia hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai tulisan dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.55

54Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary

atau Electronic Notary,Op. Cit., hal. 29.


(52)

Selanjutnya pada pasal 1872 KUHPerdata juga dinyatakan bahwa suatu akta otentik, yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka kekuatan eksekutorialnya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Reglement Acara Perdata. Kemudian disebutkan dalam Pasal 1877 KUHPerdata, jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya ataupun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

Dalam pemahaman kekuatan pembuktian yang paling lemah, suatu informasi elektronik adalah bernilai secara hukum karena secara fungsional keberadaannya adalah sepadan atau setara dengan suatu informasi yang tertulis di atas kertas, sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL tentang nilai hukum dari suatu rekaman elekronik (legal value of electronic records) karena memenuhi unsur-unsur

tertulis (writing), bertanda tangan (signed), dan asli (original).56 Hal tersebut

dikeluarkan oleh UNCITRAL dalam Recommendations to Governments and

international organizations concerning the legal value of computer records (1985)57,

dalam rekomendasinya disebutkan: "1. Recommends to Governments:

"(a)to review the legal rules affecting the use of computer records as evidence in litigation in order to eliminate unnecessary obstacles to their admission, to be assured that the rules are consistent with developments in technology, and to

56Op. Cit.hal. 24.

57UNCITRAL, Recommendations to Governments and international organizations

concerning the legal value of computer records(1985), http://www.uncitral.org, diunduh pada tanggal 18 Juni 2014, hal. 2.


(53)

provide appropriate means for a court to evaluate the credibility of the data contained in those records;

"(b)to review legal requirements that certain trade transactions or trade related documents be in writing, whether the written form is a condition to the enforceability or to the validity of the transaction or document, with a view to permitting, where appropriate, the transaction or document to be recorded and transmitted in computer-readable form;

"(c) to review legal requirements of a handwritten signature or other paper-based method of authentication on trade related documents with a view to permitting, where appropriate, the use of electronic means of authentication; "(d)to review legal requirements that documents for submission to governments be in writing and manually signed with a view to permitting, where appropriate, such documents to be submitted in computer-readable form to those administrative services which have acquired the necessary equipment and established the necessary procedures;

"2. Recommends to international organizations elaborating legal texts related to trade to take account of the present Recommendation in adopting such texts and, where appropriate, to consider modifying existing legal texts in line with the present Recommendation.”

Menindaklanjuti hal tersebut dengan keberlakuan UU ITE, suatu informasi elektronik di Indonesia juga telah diterima sebagai alat bukti sebagaimana telah diakomodir dalam Pasal 5 UU ITE, sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak hanya karena bentuknya yang elektronik.58Dalam Pasal 5 UU ITE, disebutkan:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

58Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary


(1)

dengan Fidusia diatur dalam Permenkumham 10/2014 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor AHU.OT.03.01-11 Tahun 2013, mengenai pelaporan wasiat dan pendaftaran calon notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

B. Saran

Tak ada gading yang tak retak, segala sesuatu tidak ada yang sempurna, pasti ada kekurangannya. Bila dicermati defenisi Pemohon dalam Pasal 1 angka 3 Permenkumham 5/2014 yang berbunyi “Pemohon adalah Notaris yang diberikan kuasa untuk mengajukan permohonan pengesahan badan hukum Yayasan melalui SABH”. Ketentuan tersebut menyebutkan pemohon hanyalah Notaris yang diberikan kuasa untuk mengajukan permohonan pengesahan badan hukum Yayasan melalui SABH, defenisi tersebut dirasakan kurang tepat karena faktanya Ditjen AHU online memperbolehkan pemohon yang dengan sendiri-sendiri atau bersama-sama secara langsung tanpa dikuasakan dan permohonan selain pengesahan badan hukum Yayasan, dalam hal ini pengajuan permohonan pemakaian nama Yayasan. Berbeda dengan defenisi yang pemohon yang lebih tepat dalam Pasal 1 angka 3 Permenkumham 6/2014 yang berbunyi “Pemohon adalah setiap orang sendiri-sendiri atau bersama-sama secara langsung atau memberikan kuasa kepada Notaris untuk mengajukan permohonan melalui SABH” ataupun defenisi Pemohon dalam Pasal 1 angka 3 Permenkumham 4/2014 yang berbunyi “Pemohon adalah pendiri bersama-sama atau direksi Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum atau Likuidator Perseroan bubar atau Kurator Perseroan pailit yang memberikan kuasa kepada Notaris untuk mengajukan permohonan melalui SABH”. Dengan demikian disarankan untuk merevisi definisi Pemohon dalam Permenkumham 5/2014 tersebut.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012.

Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, cet. ke-1, 2009.

Algra, N.E., H.R.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Binacipta, Bandung, 1983.

Gandasubrata, H.R. Purwoto S., Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia Cabang Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998.

Hadikusuma, H. Hilman,Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2005. Horton, Paul B. dan Chester L.Hunt,Sosiologi, Erlangga, Jakarta, ed. ke-6, 1992. Kansil, C. S. T.,Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, cet. ke-12, 2002.

Kie, Tan Thong,Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris, Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000.

______________,Studi Notariat,Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris, Buku II, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000.

Kohar, A.,Notaris Dalam Praktek Hukum, Bandung, Alumni, 1983. Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Sofmedia, Medan, 2012.

Mahja, Djuhad, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Durat Bahagia, Jakarta, 2005.

Mansur, Dikdik M. Arief & Elisaris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, cet. ke-2, 2009.

Makarim, Edmon, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary atau Electronic Notary, Rajawali Pers, Jakarta, ed. ke-2, 2013.


(3)

_______________,Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kajian Kompilasi, Rajawali Pers dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

_______________, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Nurita, Emma, Cyber Notary, Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, Refika Aditama, Bandung, 2012.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.

P., Wasis S., Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, 2002.

Rahardjo, Satjipto,llmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. ke-7, 2010.

_______________, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1983.

S., H. Salim H., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Soekanto, Soerjono,Kegunaan Sosiologi hukum Bagi Kalangan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. ke-6, 1991.

_______________, Pengertian Penelitian Hukum, Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2012.

Sunggono, Bambang,Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1990.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, cet. ke-40, 2009.

Subekti, R.,Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet. ke-32, 2009. Soeroso, R.,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, cet. ke-12, 2011. Tobing, G.H.S. Lumban,Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999.

Wuismanm, J.J.J.M., penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.


(4)

B. Artikel, Majalah, Karya Ilmiah, dan Internet

Atmasasmita, Romli,Menata Kembali Masa depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah pada Prapascasarjana Unpad, September 2005.

Badrulzaman, Mariam Darus,Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber ( Cyber Law ) di Indonesia, Pidato Purna Bhakti, Medan, 13 Nopember 2001.

Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, http://ahu.web.id, terakhir diakses tanggal 20 Juni 2014.

Fardhian, Legalisasi Dokumen Publik dan Transaksi Elektronik, http://lkht.org/diskusi-terbuka-cybernotary-5-februari-2014, terakhir diakses tanggal 18 Juni 2014.

Herlien Budiono, Akta Otentik Dan Notaris Pada Sistem Hukum Anglo-Saxon Dan Sistem Hukum Romawi, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke-III, Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni FH Unpar, Mandar Maju, Bandung, 1998.

Irfan, Fachruddin,Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, Varia Peradilan Nomor 111, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, Desember 1994.

Makarim, Edmon, INI Gembira Cyber Notary masuk ke UU Jabatan Notaris, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f6010370d79/ini-gembira-cyber-notary-masuk-ke-uu-jabatan-notaris, terakhir diakses tanggal 14 Juni 2014.

Prastyo, Brian Amy, Peluang dan Tantangan Cyber Notary di Indonesia, http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2009/11/29/peluang-cyber-notary-di-indonesia/, terakhir diakses tanggal 12 Juni 2014.

C. Peraturan-Peraturan Nasional dan Internasional

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 009-014/PUU-III/2005, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id.

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ________________, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

________________, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. ________________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas


(5)

________________, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

________________, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

________________, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

________________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

________________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

________________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

________________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

________________, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas.

________________, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan. ________________, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan.

________________, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Penanganan Laporan Pengaduan di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

________________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia .


(6)

________________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas .

________________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.

UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce, 1996 with additional article 5 bis as adopted in 1998.

__________, Report of the Working Group on International Payments on the work of its twenty-fourth session, A/CN.9/360.

__________, Recommendations to Governments and international organizations concerning the legal value of computer records (1985).