BAB II KONSEP CYBER NOTARY DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris - Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

BAB II KONSEP CYBER NOTARY DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlidungan hukum dibutuhkan alat

  bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dibuat dihadapan pejabat tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu

  31 mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.

  Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak hukum dikenal masyarakat itu sendiri, oleh karena hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum, yaitu

  32 “ubi so cietes ibi ius” yang artinya dimana ada masyarakat di sana ada hukum.

  Notaris adalah profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat peranan dalam lalu lintas hukum kehidupan bermasyarakat melalui akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Tugas Notaris adalah mengkonstantir 31 Djuhad Mahja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Durat Bahagia, Jakarta, 2005, hal. 59. 32 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 127.

  21 hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat

  33

  dalam suatu proses hukum. Langkah-langkah itu (antara lain mendengar pihak- pihak mengutarakan kehendaknya, kemudian membacakan isi akta kepada para penghadap, menandatangani akta, dan lain-lain) memang khusus diadakan pembuat undang-undang untuk menjamin bahwa apa yang tertulis dalam akta itu memang

  34 mengandung apa yang dikehendaki para pihak.

  Menurut Gandasubrata, notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada

  35

  masyarakat. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare

  ambtenaren yang terdapat dalam Artikel 1 Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.

  1860: 3), yang diterjemahkan oleh G.H.S Lumban Tobing menjadi pejabat umum, yang berbunyi “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai segala perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan

  36

  atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.” Dalam kamus hukum, salah satu 33 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris, Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 159. 34 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris, Buku II , Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 261. 35 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia Cabang Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998, hal 484. 36 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 31.

  37

  arti dari ambtenaren adalah Pejabat, kemudian dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, istilah openbare diterjemahkan sebagai

  38

  umum. Dengan demikian openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan umum. Openbare ambtenaren dapat juga

  39

  diartikan sebagai Pejabat Publik. Berkaitan dengan openbare ambtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum, diartikan sebagai pejabat yang diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti otentik yang melayani kepentingan masyarakat umum.

  Oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, istilah Openbare ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) diterjemahkan menjadi pegawai-pegawai umum. Dengan terjemahannya bunyi Pasal 1868 BW menyatakan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum

  40

  yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Menurut R. Subekti, yang dimaksud pegawai-pegawai umum adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu

  41

  pengadilan, pegawai pencatatan sipil. Diterjemahkan sebagai pegawai-pegawai umum tersebut disebabkan perkembangan perundang-undangan yang memberikan 37 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, cet. ke-1, 2009, hal. 27. 38 N.E. Algra, H.R.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Binacipta, Bandung,

  1983, hal. 363. 39 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 009-014/PUU-III/2005, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diunduh pada tanggal 8 Juni 2014, hal. 119. 40 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, cet. ke-40, 2009, hal. 475. 41 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet. ke-32, 2009, hal. 178. kewenangan pembuatan akta otentik tidak hanya diberikan kepada notaris saja. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum juga akan tetapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pegawai negeri sipil. Misalnya akta-akta yang dibuat oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Namun demikian juga bukan berarti notaris diberikan kualifikasi pegawai negeri sipil notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian, karena notaris tidak menerima gaji dari pemerintah, melainkan menerima honorarium dari klien atas jasa yang diberikan.

  Dengan demikian Notaris bukanlah bagian dari Korps Pegawai Negeri Sipil yang tersusun dalam suatu struktur birokrasi dengan pola hubungan yang hirarkis, Notaris di angkat dan diberhentikan oleh pemerintah sesuai Pasal 2 UUJN yang mengatur pengangkatan dan pemberhentiannya melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengangkatan Notaris dilakukan dengan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perubahan UUJN, yakni: a. warga negara Indonesia;

  b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

  c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

  f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan

  h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

  Kemudian sesuai Pasal 8 UUJN notaris diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh pemerintah Apabila telah mencapai umur 65 tahun dan dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kondisi kesehatannya.

  Kalimat “dibuat oleh atau di hadapan” dalam Pasal 1868 BW, mengandung makna adanya 2 macam akta, yaitu :

  1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian dari notaris suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris, sebagai contoh relaas akta misalnya berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, berita acara undian berhadiah dan sebagainya;

  2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta

  partij

  (partij akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan apa yang diterangkan para pihak kepada notaris dalam melaksanakan jabatannya dimana para pihak ingin agar keterangan atau perbuatan tersebut dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik, sebagai contoh partij akta misalnya perjanjian hibah, jual beli, tukar menukar dan sebagainya. Selanjutnya menurut Irfan Fachruddin, Pasal 1868 BW secara implisit memuat perintah kepada pembuat undang-undang supaya mengatakan suatu undang- undang yang mengatur perihal tentang Pejabat Umum, dimana harus ditentukan kepada siapa masyarakat dapat meminta bantuannya jika perbuatan hukumnya ingin dituangkan dalam suatu akta otentik.

42 Oleh pembuat undang-undang defenisi notaris

  terdapat dalam Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN, dan akta notaris terdapat dalam

  Pasal 1 angka (7) Perubahan UUJN, serta kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 Perubahan UUJN. Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN menyebutkan, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang 42 Irfan Fachruddin, Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha Negara , Varia Peradilan Nomor 111, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, Desember 1994, hal. 146. tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum (Openbare Ambtenaren), di mana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta otentik berdasarkan perundang-undangan. Kemudian Pasal 1 angka (7) Perubahan UUJN menyebutkan, “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Menurut hukum, akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, adalah akta otentik, barang siapa yang membantah kebenaran suatu akta otentik, yang membantah harus dapat membuktikan

  43 sebaliknya.

  Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) perubahan UUJN. Ketentuan pasal 15 ayat (1) Perubahan UUJN menyebutkan “Notaris berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang tersirat, yaitu kewenangan notaris yang bersifat luas namun terbatas sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 43 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Bandung, Alumni, 1983, hal. 28.

  Dengan demikian tidak semua pembuatan akta otentik menjadi wewenang Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat lain, bukan merupakan wewenang Notaris, seperti akta kelahiran, pernikahan, dan perceraian dibuat selain Notaris. Akta yang dibuat Notaris tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai

  

44

  wewenang yang meliputi empat hal, yaitu:

  a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang; b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai kepentingan siapa akta itu dibuat.

  Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Notaris baik karna perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.

  Maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan; c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.

  Bagi setiap Notaris ditentukan wilayah jabatannya dan hanya di dalam daerah yang ditentukan tersebut Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Dalam 44 G.H.S.L. Tobing, Op. Cit., hal. 49

  Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Akta yang dibuat diluar daerah jabatannya adalah tidak sah; d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu; keadaan dimana Notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat akta otentik, yaitu:

  1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris, ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 Perubahan UUJN. Notaris tidak berwenang membuat akta otentik sebelum mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris;

  2. Selama Notaris diberhentikan sementara. Selama notaris diberhentikan sementara pemberhentian sementara maka notaris yang bersangkutan tidak berwenang membuat akta otentik sampai masa skorsingnya berakhir;

  3. Selama Notaris cuti. Notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta otentik.

B. Pengertian Dan Lingkup Transaksi Elektronik

  Menurut Pasal 1 UU ITE, yang dimaksud dengan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan segala perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan media elektronik dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik. Adapun perbuatan hukum itu terdiri

  45

  dari:

  a. Perbuatan hukum sepihak; Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula, contoh:

  1. Perbuatan membuat surat wasiat (pasal 875 KUH Perdata);

  2. Pemberian hibah sesuatu benda (pasal 1666 KUH Perdata); 3. Dan lain-lain.

  b. Perbuatan hukum dua pihak; Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak- hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik), Contoh: 1. persetujuan jual beli (pasal 1457 KUH Perdata); 2. perjanjian sewa menyewa (pasal 1548 KUH Perdata); 3. Dan lain-lain.

  Untuk adanya suatu perbuatan hukum harus disertai dengan pernyataan kehendak dari yang melakukan perbuatan hukum tersebut dan akibat dari perbuatan itu diatur oleh hukum. Pernyataan kehendak pada asasnya tidak terikat dengan bentuk-bentuk tertentu dan tidak ada pengecualiannya. Oleh karena itu bentuk

  

46

  pernyataan kehendak dapat terjadi dengan:

  1. Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan dengan: 45 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cet. ke-12, 2002, hal. 27. 46 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, cet. ke-12, 2011, hal. 291.

  a. Tertulis, yang dapat terjadi antara lain; ditulis sendiri, ditulis oleh pejabat tertentu, ditanda-tangani oleh pejabat itu, disebut juga akta otentik seperti mendirikan PT dan semacamnya.

  b. Lisan, pernyataan kehendak ini cukup dengan mengucapkan kata setuju, misalnya dengan mengucapkan ya, dan semacamnya.

  2. Pernyataan kehendak secara diam-diam, dapat diketahui dari sikap atau perbuatan, misalnya sikap diam yang ditunjukkan dalam rapat berarti setuju.

  Hal yang harus diperhatikan dalam peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum adalah akibat, oleh karena akibat itu dapat dianggap sebagai kehendak dari si pembuat (pelaku). Jika akibatnya tidak dikehendaki, maka perbuatan itu bukanlah perbuatan hukum. Jadi adanya kehendak agar dikatakan sebagai perbuatan hukum, perlu diperhatikan unsurnya yang esensil (werkelijk = sebenarnya) yang merupakan

  47

  hakekat dari perbuatan hukum itu. Adapun perbuatan yang akibatnya tidak dikehendari oleh pelaku adalah bukan perbuatan hukum, meskipun perbuatan tersebut diatur oleh peraturan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan tersebut.

  Perbuatan hukum yang timbul dalam transaksi elektronik dapat dilaksanakan

  48

  melalui 2 (dua) konteks, yaitu:

  1. Hubungan penyelenggara negara kepada publiknya (pelayanan publik);

  47 48 H. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2005, hal. 40-41.

  Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 40.

  2. Hubungan perdata para pihak untuk melakukan perikatan atau kontrak elektronik.

  Pada dasarnya baik untuk pelayanan publik maupun privat, suatu komunikasi

  49 elektronik bersifat privat hanya antara para pihak saja (baik B2B, B2C, C2C, G2C).

  Jenis-jenis transaksi elektronik tersebut antara lain:

  a. Bussiness to Bussiness atau yang sering disebut B2B, adalah hubungan perdagangan antara pebisnis, seperti antara produsen dan grosir, atau antara grosir dan pengecer. Perkembangan B2B lebih pesat jika dibandingkan dengan perkembangan jenis e-commerce yang lainnya. Contohnya adalah

  http: //www.alibaba.com, http://www.indotrading.com, dan sebagainya.

b. Bussiness to Customer

  atau yang dikenal dengan B2C, adalah hubungan perdagangan antara produsen, grosir, atau pengecer ke pengguna akhir.

  Contohnya adalah http://www.amazon.com, http://www.bhinneka.com, dan sebagainya.

  c. Customer to Customer atau yang dikenal dengan C2C adalah hubungan perdagangan dimana pengguna akhir saling menjual barang satu sama lain.

  Contohnya adalah http://www.ebay.com, http://www.olx.com (sebelumnya

  http: //www.tokobagus.com), dan sebagainya.

  d. Government to Citizen atau yang dikenal dengan G2C adalah hubungan pemerintah kepada warga negaranya dalam hal pemberian informasi, 49 transaksi, ataupun pelayanan publik, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan Ibid .

  http:

  pemerintahan. Contohnya adalah //www.indonesia.go.id, http://insw.go.id, https://efiling.pajak.go.id, http://ahu.web.id , dan sebagainya.

  Menurut Edmon Makarim, transaksi elektronik adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan

  (computer based

  (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer

  information system

  ) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh

  50

  keberadaan jaringan komputer global internet (network of network). Dengan demikian jika dipandang dari ruang lingkup hukum keperdataan, transaksi elektronik dapat dipandang sebagai bagian dari perikatan para pihak (Pasal 1233 KUH Perdata), Transaksi tersebut akan merujuk kepada semua jenis dan mekanisme dalam melakukan hubungan hukum secara elektronik itu sendiri yang akan mencakup jual beli, lisensi, asuransi, lelang, dan perikatan-perikatan lain yang lahir sesuai dengan perkembangan teknologi dalam lingkungan masyarakat.

  Kemudian jika dipandang dalam ruang lingkup hukum dagang, transaksi elektronik dirumuskan definisinya dari terminologi electronic commerce (e-

  commerce

  ) yang lazim dipakai dalam perdagangan internasional. Defenisi e-

  commerce

  secara eksplisit disebutkan dalam sub bab ruang lingkup pada United

  Nations Commission on International Trade Law

  (UNCITRAL) Model Law on

50 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kajian Kompilasi, Rajawali Pers dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 255.

  Electronic Commerce

  (1996) with additional article 5 bis as adopted in 1998

  51

  (MLEC) , yang mendefinisikan e-commerce, sebagai berikut:

  “The title of the Model Law refers to “electronic commerce.” While a definition of “electronic data interchange (EDI)” is provided in article 2, the Model Law does not specify the meaning of “electronic commerce.” In preparing the Model Law, the Commission decided that, in addressing the subject matter before it, it would have in mind a broad notion of EDI, covering a variety of trade-related uses of EDI that might be referred to broadly under the rubric of “electronic commerce” (see A/CN.9/360, paras. 28-29), although other descriptive terms could also be used. Among the means of communication encompassed in the notion of “electronic commerce” are the following modes of transmission based on the use of electronic techniques: communication by means of EDI defined narrowly as the computer-to-computer transmission of data in a standardized format; transmission of electronic messages involving the use of either publicly available standards or proprietary standards; transmission of free-formatted text by electronic means, for example through the INTERNET. It was also noted that, in certain circumstances, the notion of “electronic commerce” might cover the

  52 use of techniques such as telex and telecopy.”

  Kemudian melihat pada dokumen kelompok kerja nomor A/CN.9/360 paragraph ke 28-29 disebutkan sebagai berikut: “As to the specific order in which issues should be discussed at the present

  session, a suggestion that the discussion generally follow the order in which the issues were presented in the paper before the Working Group was generally accepted, although it was noted that the list was not exhaustive and might require future additions. As to the definition of EDI, there was general agreement that in addressing the subject matter before it the Working Group would not have in mind a notion of EDI that was limited to the electronic exchange of information between closed networks of users that had become party to a communication agreement. Rather, the Working Group would have in mind a notion of EDI encompassing also open networks that allowed EDI users to communicate without having previously adhered to a communication agreement, 51 Model hukum yang disarankan untuk diikuti oleh negara-negara anggota UNCITRAL saat mereka membuat perundangan tentang e-commerce (atau transaksi elektronik secara umum), prinsip- prinsip yang ada didalamnya juga dapat diterapkan untuk transaksi perdagangan elektronik secara umum karena memuat prinsip-prinsip umum yang cukup universal untuk berbagai jenis transaksi elektronik. 52 UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce, 1996 with additional article 5 bis as adopted in 1998, http://www.uncitral.org, diunduh pada tanggal 18 Juni 2014, hal. 17-18.

  thus covering a variety of trade-related EDI uses that might be referred to broadly under the rubric of "electronic commerce.” Differing views were expressed as to whether the Working Group should attempt at the outset of its discussion to consider a more specific definition of EDI. One view was that such an exercise would usefully set out the scope of the issues to be considered by the Working Group since it might not be immediately clear whether certain methods of communicating information electronically (e.g., facsimile) were to be considered as falling within the notion of EDI. The prevailing view, however, was that, having the above-mentioned general notion of EDI or "electronic commerce" in mind for the purpose of defining the scope of the Working Group's task, it would be best to leave the matter of a specific definition to a later stage. This order of discussion was felt to be particularly appropriate because the question of the definition of EDI might arise repeatedly with respect to various points and in fact might differ with respect to different issues to be considered by the Working Group, and because the panoramic view of the issues involved would place the Working Group in a better position to consider a definition of

53 EDI.”

  Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa defenisi e-commerce berdasarkan MLEC, adalah bentuk pertukaran dengan menggunakan teknik komunikasi secara elektronik dengan sarana EDI, yang dapat juga didefinisikan secara sempit sebagai pertukaran data antara komputer ke komputer dalam format yang ditentukan, pertukaran pesan elektronik tersebut baik yang tersedia untuk umum atau privat; pertukaran bebas dengan format teks secara elektronik, misalnya melalui internet. Oleh karena itu transaksi elektronik dapat ditafsirkan sebagai salah satu bentuk transaksi yang bersifat paperless (tanpa berbasis kertas), dan borderless (tanpa batas geografis).

C. Kekuatan Pembuktian Transaksi Elektronik

  Dalam transaksi elektronik, alat pembuktian yang lazim digunakan adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditransmisikan secara 53 UNCITRAL, Report of the Working Group on International Payments on the work of its twenty- fourth session, A/CN.9/360, http://www.uncitral.org, diunduh pada tanggal 18 Juni 2014, hal. 10. elektronik antara para pihak. Menurut pasal 1866 KUH Perdata, dikenal adanya beberapa alat bukti, antara lain:

  1. Bukti tulisan;

  2. Bukti dengan saksi-saksi;

  3. Persangkaan-persangkaan;

  4. Pengakuan;

  5. Sumpah; Selanjutnya dalam Pasal 1867 KUHPerdata dinyatakan bahwa bukti tulisan ada dua jenis, yakni:

  1. Akta bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (private deeds); dan

  54 2. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (authentic deeds).

  Kedua jenis akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda dimana akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Selanjutnya bahkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dinyatakan bahwa akta otentik dianggap sempurna karena ia mengandung kebenaran formal. Namun perlu juga dipahami bahwa Pasal 1869 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, ia hanya mempunyai kekuatan pembuktian

  55 sebagai tulisan dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. 54 Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary , Op. Cit., hal. 29. atau Electronic Notary 55 Op. Cit.

  Selanjutnya pada pasal 1872 KUHPerdata juga dinyatakan bahwa suatu akta otentik, yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka kekuatan eksekutorialnya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Reglement Acara Perdata. Kemudian disebutkan dalam Pasal 1877 KUHPerdata, jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya ataupun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

  Dalam pemahaman kekuatan pembuktian yang paling lemah, suatu informasi elektronik adalah bernilai secara hukum karena secara fungsional keberadaannya adalah sepadan atau setara dengan suatu informasi yang tertulis di atas kertas, sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL tentang nilai hukum dari suatu rekaman elekronik (legal value of electronic records) karena memenuhi unsur-unsur

  56

  tertulis (writing), bertanda tangan (signed), dan asli (original). Hal tersebut dikeluarkan oleh UNCITRAL dalam Recommendations to Governments and

  57 international organizations concerning the legal value of computer records (1985)

  , dalam rekomendasinya disebutkan: "1. Recommends to Governments:

  "(a) to review the legal rules affecting the use of computer records as evidence in

  litigation in order to eliminate unnecessary obstacles to their admission, to be assured that the rules are consistent with developments in technology, and to 56 57 Op. Cit. hal. 24.

  UNCITRAL, Recommendations to Governments and international organizations

  (1985), http://www.uncitral.org, diunduh pada tanggal concerning the legal value of computer records 18 Juni 2014, hal. 2.

  provide appropriate means for a court to evaluate the credibility of the data contained in those records

  ; "(b) to review legal requirements that certain trade transactions or trade related

  documents be in writing, whether the written form is a condition to the enforceability or to the validity of the transaction or document, with a view to

permitting, where appropriate, the transaction or document to be recorded and

transmitted in computer-readable form

  ; "(c) to review legal requirements of a handwritten signature or other paper-

  based method of authentication on trade related documents with a view to permitting, where appropriate, the use of electronic means of authentication

  ; "(d) to review legal requirements that documents for submission to governments

  be in writing and manually signed with a view to permitting, where appropriate, such documents to be submitted in computer-readable form to those administrative services which have acquired the necessary equipment and established the necessary procedures

  ; "2. Recommends to international organizations elaborating legal texts related to

  trade to take account of the present Recommendation in adopting such texts and, where appropriate, to consider modifying existing legal texts in line with the present Recommendation

  .” Menindaklanjuti hal tersebut dengan keberlakuan UU ITE, suatu informasi elektronik di Indonesia juga telah diterima sebagai alat bukti sebagaimana telah diakomodir dalam Pasal 5 UU ITE, sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak hanya

  58

  karena bentuknya yang elektronik. Dalam Pasal 5 UU ITE, disebutkan: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

  (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

58 Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary atau Electronic Notary , Op. Cit., hal. 24-25.

  (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

  b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

  Kemudian terdapat Penjelasan Pasal 5 ayat 4 huruf a, yakni: Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.

  Berbeda dengan ketentuan dalam UNCITRAL, yang memasangkan secara satu per satu kesetaraan fungsional antar informasi tertulis dengan informasi elekronik terlebih dahulu (melalui kejelasan syarat pemenuhan unsur tertulis, bertanda tangan dan asli), sementara Pasal 6 UU ITE lebih merangkumkan semua

  59 unsur tersebut secara kumulatif sehingga akan lebih fleksibel dalam penerapannya.

  Dalam Pasal 6 UU ITE, disebutkan: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, 59 Ibid. ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Kemudian dalam Pasal 7 UU ITE, disebutkan: “Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang- undangan”.

  Perihal persamaan atau kesetaraan tersebut dikenal dengan istilah kesetaraan fungsional (functional equivalent approach) yakni mempersamakan secara fungsional bahwa suatu informasi elektronik adalah sama dengan bukti tulisan jika memenuhi setidaknya tiga dasar, yakni:

  1. Informasi tersebut dianggap tertulis jika ia dapat disimpan dan ditemukan kembali;

  2. Informasi tersebut dianggap asli jika yang disimpan dan ditemukan serta dibaca kembali tidak berubah substansinya atau dengan kata lain terjamin keotentikan dan integritasnya; dan

  3. Informasi tersebut dianggap bertandatangan apabila terdapat informasi yang menjelaskan adanya suatu subyek hukum yang bertanggungjawab di atasnya atau terdapat sistem otentikasi yang reliable menjelaskan identitas dan

  60 60 otorisasi ataupun verifikasi dari pihak tertentu.

  Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Op. Cit., hal. 40.

D. Pengaruh Sistem Hukum Yang Dianut Di Indonesia

  Kekuatan akta otentik sebagai alat bukti sempurna yang terkuat dan terpenuh tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum yang dianut di Indonesia, Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum sebagaimana yang diwariskan oleh Belanda yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Diantara berbagai sistem hukum yang ada di dunia secara garis besar terbagi dalam dua sistem hukum, yaitu sistem hukum Anglo Saxon atau juga disebut Common Law System dan Eropa Kontinental atau juga disebut sistem hukum Romawi atau Civil Law System. Sistem hukum Anglo Saxon adalah sistem hukum dimana yang diutamakan adalah hukum tidak tertulis yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang ditujukan kepadanya, yang pada umumnya menggunakan sistem juri pada peradilannya dan pembuktian diutamakan pada adanya saksi dan bukti tertulis hanya merupakan penunjang dari keterangan saksi, sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah sistem hukum dimana hukum dibuat dalam bentuk tertulis dan terkodifikasi

  61 yang dalam hal pembuktian diutamakan pada bukti tertulis.

  Hal ini juga berpengaruh dalam pratik kenotariatan di dunia juga yang secara garis besar terbagi menjadi dua aliran, yakni Notaris Latin dan Notaris Anglo Saxon.

  Notaris Latin diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Sipil (Civil Law

  System

  ), sedangkan Notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Kasus (Common Law System). Civil Law System mulai masuk ke Indonesia 61 Wasis S.P., Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, 2002. hal 29-31. pada permulaan abad ke-17, berdasarkan penelusuran sejarah zaman “Republik der

  Verenigde Nederlanden

  ฀, yang pada tahun 1620 Melchior Kerchem, diangkat

  62

  sebagai notaris pertama di Indonesia. Asal mula aliran Notaris Latin ini dimulai dari daerah Italia Utara. Dari Italia Utara, kemudian berkembang juga ke perancis, Belanda dan sampai ke Indonesia dengan keberadaan Vereenigde Oost Indische

63 Compagnie

  (VOC). Kelompok negara yang menganut Civil Law System adalah negara-negara Eropa seperti Belanda, Prancis, Luxemburg, Jerman, Austria, Swiss, Skandinavia, Italia, Yunani, Spanyol dan juga negara-negara bekas jajahan mereka. Untuk kelompok yang termasuk dalam negara yang menganut Common Law System

  64 adalah Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan.

  Bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, kewenangan notaris sangat berbeda dengan Notaris di negara-negara penganut sistem hukum Anglo Saxon. Notaris di negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental atau juga disebut Notaris Latin merupakan profesi yang dilakukan oleh ahli hukum (yurist) yang dijabat seumur hidup atau sampai memasuki masa pensiun, Notaris Latin dapat memberikan nasihat kepada kliennya dalam pembuatan alat bukti tertulis. Kewenangan notaris di negara-negara penganut sistem Anglo Saxon rata-rata hanyalah merupakan pendaftaran surat-surat saja, yang bagi notaris di Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental merupakan waarmerking (pendaftaran 62 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, PT.

  RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993 hal. 22. 63 64 G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., hal. 15.

  Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 50. surat di bawah tangan), notaris pada sistem hukum Anglo Saxon tidak berperan dalam pembuatan dan menentukan isi surat/ akta. Selain itu, untuk menjadi seorang Notaris di negara-negara penganut sistem Anglo Saxon rata-rata tidak menjalani pendidikan sebagai ahli hukum (yurist) dan menjabat dalam jangka waktu tertentu terlebih dahulu. Akta yang merupakan produk notaris Latin mempunyai kekuatan bukti formil, materiil dan untuk perbuatan hukum tertentu juga mempunyai kekuatan eksekutorial. Kekuatan alat bukti tertulis berupa akta otentik mempunyai tempat yang tertinggi, terkuat dan terpenuh atau alat bukti sempurna dalam sistem hukum Eropa Kontinental, hal tersebut menyebabkan kedudukan Notaris dalam sistem hukum Eropa Kontinental ini sangat penting mengingat tugas dan kewenangannya dalam

  65

  membuat akta otentik. Oleh karena itu penerapan konsep cyber notary pada sistem

  common law

  tidak akan berpengaruh pada kekuatan akta. Sedangkan Notaris di Indonesia yang menggunakan sistem civil law memandang bahwa akta yang dibuat

  66 oleh dan dihadapan notaris adalah akta yang otentik.

E. Penerapan Konsep Cyber Notary Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

  Bentuk-Bentuk penerapan dari konsep cyber notary di Indonesia menjadi jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (perubahan 65 Herlien Budiono, Akta Otentik Dan Notaris Pada Sistem Hukum Anglo-Saxon Dan

  Sistem Hukum Romawi, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke-III, Kumpulan Karangan Ilmiah , Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 104. Alumni FH Unpar 66 Emma Nurita, Op. Cit., hal. 36.

  UUJN), yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat 3 perubahan UUJN, yakni yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.

  Sesungguhnya pemakaian istilah cyber notary di Indonesia sebagai Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental dirasakan kurang tepat. Berdasarkan literatur yang menerangkan sejarahnya, istilah cyber notary dan electronic notary seakan lahir dari dua konsep yang berbeda, yakni istilah “e-notary” yang dipopulerkan oleh ahli hukum dari Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental, sementara istilah “cyber

  67

  notary” dipopulerkan oleh ahli hukum yang mewarisi tradisi Common Law. Dengan demikian pemakaian istilah electronic notary atau e-notary di Indonesia sebagai Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental dirasakan lebih tepat.

  Penelitian yang dilakukan oleh Leslie Smith mengemukakan bahwa istilah “electronic notary” digulirkan oleh delegasi Prancis dalam forum Trade Electronics

  Data Interchange System

  (TEDIS) legal workshop pada Konferensi EDI yang diselenggarakan oleh European Union tahun 1989 di Brussel. Esensinya adalah adanya suatu pihak yang menyajikan independen record terhadap suatu transaksi elektronik yang dilakukan para pihak. Sementara istilah cyber notary menurut Stephen Mason pada awalnya merupakan gagasan American Bar Association

68 Information Security Committe

  67 (1994). 68 Edmon Makarim, Op. Cit., hal. 10.

  Ibid . Berkenaan dengan pelaksanaan cyber notary tersebut, pada awalnya ketentuan mengenai pelayanan kenotariatan secara elektronik diharapkan dapat masuk ke dalam salah satu Pasal pada perubahan UUJN. Namun hal tersebut tidak dapat dipenuhi. Meskipun begitu, Pasal 15 ayat (3) perubahan UUJN mengatur bahwa notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

  Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3), kewenangan lain yang dimaksudkan tersebut adalah juga termasuk kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik atau cyber notary. Sesungguhnya kewenangan ini tidak terlalu tepat apabila dirujuk sebagai sertifikasi, karena makna yang dituju sebenarnya adalah ‘penguatan’ atau ‘menguatkan’ transaksi elektronik tersebut sehingga bisa dianggap sah secara hukum (legal). Salah satu bentuk penguatan atau legalisasi secara elektronik ini adalah dalam bentuk time stamp, atau mengesahkan terjadinya suatu transaksi pada waktu tertentu yang dilaksanakan antara para pihak. Bentuk legalisasi secara konvensional diantaranya adalah pengesahan tanda tangan dalam suatu dokumen, yang juga diatur sebagai salah satu kewenangan notaris berdasarkan

69 UUJN.

  Selain daripada itu, kewenangan lain dari profesi notaris adalah sebagai kuasa masyarakat untuk pembentukan Perseroan Terbatas (PT), pengurusan fidusia, dan lainnya yang memerlukan tanda tangan atau peran dari notaris agar sahnya suatu dokumen. Dalam hal pembentukan PT, Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak 69 Fardhian, Legalisasi Dokumen Publik dan Transaksi Elektronik, http://lkht.org/diskusi- terbuka-cybernotary-5-februari-2014/, terakhir diakses tanggal 18 Juni 2014. Asasi Manusia (Menkumham) untuk pembentukan sudah menggunakan aplikasi elektronik, namun notaris mengalami kendala dalam hal penyimpanan SK tersebut secara elektronik dan penggunaannya dikarenakan keabsahan atas SK elektronik tersebut secara hukum mungkin dipertanyakan oleh pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, menjadi perhatian bagi para notaris untuk dapat memiliki acuan prosedur atau sistem yang dapat menjamin pembuatan, penyimpanan, maupun penggunaan dokumen-dokumen publik yang mereka buat atau sahkan, agar dapat dianggap otentik, selayaknya akta otentik secara tertulis. Perubahan UUJN yang dirasa Fardian sebagai suatu langkah mundur dari perkembangan pelaksanaan legalisasi informasi atau dokumen secara elektronik, adalah yang tertuang dalam Pasal 16 huruf c perubahan UUJN, dimana diwajibkan bagi penghadap untuk melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari pada Minuta Akta. Dengan demikian, pembuatan akta secara elektronik dengan menggunakan tanda tangan elektronik bisa diragukan

  70 keotentikannya karena tidak adanya sidik jari penghadap dimaksud.

  Dalam hal konsep cyber notary yang oleh sebagian ahli hukum dikembangkan dengan pemanfaatan media elektronik secara telekonferensi, ternyata sebagaimana

  71

  dikemukakan Edmon Makarim , selama ini ada sedikit kesalapahaman dalam menafsirkan frasa “di hadapan” sesuai Pasal 1868 KUH Perdata yang dikaitkan dengan cyber notary. Yang mengidentikkan dengan pembuatan akta yang dilakukan secara telekonferensi, padahal tidak. Prinsip kerja cyber notary tidak jauh berbeda 70 . 71 Ibid

  Edmon Makarim, INI Gembira Cyber Notary masuk ke UU Jabatan Notaris, Op. Cit., terakhir diakses tanggal 14 Juni 2014 dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan dengan para notarisnya. Hanya saja, para pihak langsung membaca draft aktanya di masing-masing komputer, setelah sepakat, para pihak segera menandatangani akta tersebut secara elektronik di kantor notaris. Jadi aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi para pihak berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya menggunakan webcam, negara lain juga belum menggunakan metode itu.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

6 96 116

Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

9 89 114

Politik Hukum Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Ditinjau Dari Kelembagaan dan Hubungan Kewenangan Pusat-Daerah - Ubaya Repository

2 8 18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemberian Jaminan Produk Halal Terhadap Konsumen Muslim Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

0 0 19

BAB II PENGATURAN KEWAJIBAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BAGI PERUSAHAAN PUBLIK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PASAR MODAL INDONESIA A. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal - Tanggu

0 0 37

BAB II PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA A. Pengertian Pengelolaan Lingkungan Hidup - Aspek Hukum Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Sebagai Upaya Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 24

BAB II SYARAT DAN KETENTUAN MENDEPORTASI ORANG ASING MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Tentang Deportasi - Pengawasan Keimigrasian Terhadap Orang Asing dalam Rangka Pendoportasian Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tenta

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 21

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 14