Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Narasumber

64 kejahatan Pasal 5 dan Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik. Maka tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber terhadap narasumber-narasumber tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 165 KUHP.

C. Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Narasumber

Sebagai Pelaku Kejahatan Ditinjau Dari UU No. 40 Tahun 1999 UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik menjadi pedoman bagi insan pers dalam melaksanakan tugas menyebarkan informasi ataupun berita. Kinerja pers telah memperoleh legitimasi pengaturannya yaitu dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. UU Pers ini boleh dikualifikasikan sebagai pemberi perlindungan hukum terhadap kinerja pers, perlindungan terhadap kemerdekaan pers, dan perlindungan terhadap masyarakat akibat arogansi pers. Tetapi pada kenyataannya UU Pers belum dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi insan pers sendiri serta bagi masyarakat di sekitar insan pers. UU pers tersebut menimbulkan celah yang dapat digunakan oleh insan pers untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP sebagai lex generalis. Salah satu celah loopholes dalam UU Pers yang digunakan oleh insan pers untuk melanggar KUHP, khususnya Pasal 165 KUHP adalah mengenai tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber yang merujuk dalam Pasal 4 ayat 4 UU Pers yang menyatakan bahwa : “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”. Pada Pasal 1 Angka 10 UU Pers, dinyatakan bahwa : “Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus Universitas Sumatera Utara 65 dirahasiakannya”. Sesuai Penjelasan Pasal 4 UU Pers, dapat diartikan: “Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik danatau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan”. Sehingga dapat diartikan bahwa insan pers telah menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi, yakni melindungi si pelaku kejahatan. Kode Etik Jurnalistik mencantumkan hak tolak dalam Pasal 5 dan Pasal 7. Pasal 5 menyatakan bahwa : “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Penjelasan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan yang dimaksud dengan Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memu- dahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa : “Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan”. Penjelasan Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan Universitas Sumatera Utara 66 narasumbernya. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, di dalam UU Pers terlihat jelas bahwa penggunaan hak tolak tersebut merupakan celah bagi insan pers untuk merahasiakan identitas pelaku kejahatan yang menjadi narasumbernya. Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, wartawan menggunakan hak tolak untuk identitas korban kejahatan susila dan identitas anak pelaku kejahatan sedangkan di dalam Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik hanya disebutkan wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, jenis narasumber yang berhak disamarkan identitasnya, tidak disebutkan dalam Pasal tersebut. Kurangnya kepastian hukum dari UU Pers disebabkan karena dalam praktiknya di persidangan, pertimbangan yang diambil terhadap suatu putusan sebagian besar didasarkan pada KUHP bukan pada UU Pers. Majelis hakim lebih cenderung untuk mengacu pada tindak pidana kriminal dalam KUHP. Hal demikian tentunya memberatkan insan pers, padahal insan pers memiliki Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sendiri. Sehingga pemakaian UU Pers sangat jarang untuk kasus-kasus yang berujung di persidangan. UU Pers dijadikan sebagai acuan terakhir apabila hakim tidak menemukan tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers yang sesuai dengan pasal-pasal yang ada di dalam KUHP. Universitas Sumatera Utara 11

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pers merupakan salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Sebab pers merupakan lembaga yang tidak memihak kepada salah satu pihak dan bersifat netral. Berbicara mengenai pers maka tidak lepas berbicara tentang kebebasan pers. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis. Pers dengan masyarakat saling membutuhkan karena tanpa masyarakat, fungsi dan peranan pers tidak dapat berjalan dengan lancar. Sebaliknya, masyarakat tanpa pers akan tertinggal dalam informasi atau berita yang sedang berkembang. Secara etimologi, pers berasal dari Bahasa Belanda yang mempunyai arti yang sama dengan Bahasa Inggris “press” namun jika ditelusuri lebih dalam maka kata pers berasal dari istilah Latin pressare dari kata premere artinya tekan atau cetak. 1 Sehingga secara harafiah pengertian pers adalah media komunikasi cetak seperti surat kabar ataupun majalah. Namun, pada saat ini seiring dengan perkembangan zaman, pers tidak hanya diartikan sebagai media cetak saja tetapi juga di dalamnya media elektronik seperti radio ataupun televisi yang berfungsi menyebarkan informasi, berita, gagasan ataupun pikiran seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Di samping fungsinya sebagai media 1 Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm.7 Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Yang Dilakukan Oleh Pers Ditinjau Dari KUHP Dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

1 31 113

Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dalam Memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers Bagi Wartawan Kota Bandung

7 78 167

Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dalam Memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers Bagi Wartawan Kota Bandung

0 28 167

WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 14

PENDAHULUAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 2 34

KESIMPULAN DAN SARAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 40

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SECONDARY RAPE OLEH PERS ATAS PEMBERITAAN TENTANG PERKOSAAN DI MEDIA MASSA DIKAITAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS.

0 1 1

Kebebasan Pers dalam Konteks KUHP Pidana: Menyoal Undang-Undang sebagai Fungsi Komunikasi

0 0 6

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG - UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

0 0 11

PERBANDINGAN SISTEM PERS YANG DIANUT INDONESIA DI ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS) - repository perpusta

0 0 9