Hambatan Kepolisian Terhadap Tindakan Insan Pers Dalam

81

BAB IV PERANAN KEPOLISIAN TERHADAP INSAN PERS DALAM

MENINDAKLANJUTI TINDAKAN PERAHASIAAN IDENTITAS NARASUMBER SEBAGAI PELAKU KEJAHATAN

A. Hambatan Kepolisian Terhadap Tindakan Insan Pers Dalam

Merahasiakan Identitas Pelaku Kejahatan Setelah mengetahui bahwa adanya celah hukum yang terdapat di dalam UU Pers untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP sebagai lex generalis, yang selanjutnya menjadi perhatian adalah mengenai peranan pihak kepolisian dalam menindaklanjuti tindakan insan pers tersebut dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan. Sebelumnya, mengenai peranan kepolisian diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa: “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dala m negeri.” Adanya ketentuan di dalam UU Pers mengenai tindakan tersebut memunculkan pemahaman yang cukup luas sehingga menimbulkan kekeliruan baik bagi masyarakat, wartawan ataupun bagi pihak kepolisian. Dalam wawancara yang dilakukan penulis kepada Kasubbid Penmas Humas Polda Sumut AKBP MP Nainggolan, mengenai tindakan insan pers dalam menyiarkanmenyampaikan informasi dalam liputan yang berkaitan dengan kasus- kasus kejahatan beliau menyatakan bahwa tindakan pers tersebut sudah berimbang dan sejalan dengan tugas dan fungsi pers sesuai dengan ketentuan yang terdapat Universitas Sumatera Utara 82 dalam UU Pers. 77 Berkaitan dengan tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan beliau juga mengatakan jika tindakan yang dilakukan wartawan sebagai insan pers tersebut sekalipun telah memenuhi unsur tindak pidana dalam merahasiakan identitas pelaku kejahatan maka tindakan wartawan tersebut dapat dijadikan sebagai subjek dalam pekara pidana. Menurut beliau, mengenai tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi yang dilakukan wartawan tidaklah ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian karena adanya beberapa kendala. Pertama, bahwa tindakan yang dilakukan oleh wartawan tersebut haruslah terlebih dahulu memenuhi unsur-unsur tindak pidana yaitu: adanya subjek hukum, adanya perbuatan yang melawan hukum, adanya kesahalan dan adanya korban. Kedua, suatu hal yang sangat disayangkan bahwa suatu investigasi bukanlah merupakan tugas dari seorang wartawan. Mengenai hal investigasi, pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan hanya pejabat polisi Negara Republik Indonesia POLRI, tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi dan pejabat lain sebagai- mana tercantum dalam Pasal 4 KUHAP yaitu : “Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia”. Tidak terdapat Pasal-pasal dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan bahwa insan pers berfungsi atau bertugas untuk melakukan investigasi atau penyelidikan, tetapi dalam prakteknya dijumpai di berbagai media massa bahwa insan pers melakukan penyelidikan terhadap suatu kejahatan, 77 Dalam wawancara yang dilakukan penulis kepada Kasubbid Penmas Humas AKBP MP Nainggolan pada hari Senin, 28 Maret 2016 di Polda Sumut Universitas Sumatera Utara 83 bahkan berhasil mengumpulkan bukti-bukti kejahatan itu serta menemukan pelaku atau tersangka dari kejahatan itu narasumber. Ketiga, dalam hal wartawaninsan pers tidak berwenang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya lewat pemberitaan kejahatan yang diberitakan melalui media, akan tetapi penyidik ataupun polisi mempunyai kesibukannya masing-masing sehingga tidak mungkin setiap saat dapat mengetahui liputan investigasi yang diberitakan oleh insan pers tersebut. Oleh karena itu, penyidik ataupun polisi menerima terlebih dahulu laporan ataupun pengaduan dari masyarakat yang menjadi korban ataupun yang merasa diresahkan dari pemberitaan yang diinformasikan dari insan pers. Berdasarkan ketentuan Pasal 106 KUHAP menyatakan bahwa : “Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.” Apabila penyidik ataupun polisi telah mendapatkan laporan ataupun pengaduan dari masyarakat maka pemberitaan dari insan pers tersebut hanya dijadikan sebagai petunjuk saja maka harus didukung dengan dua alat bukti yang cukup. Selama ini pihak kepolisian belum melakukan tindakan lanjut terhadap liputan investigasi yang dilakukan oleh pers dikarenakan tidak adanya korban yang melapor ke pihak kepolisian sehingga pihak kepolisian menjadi kesulitan untuk dapat menentukan siapa korban yang harus melapor dalam suatu kejahatan karena harus ada orang yang dirugikan. Selama ini pun kasus-kasus yang diterima oleh pihak kepolisian adalah sebatas mengenai kasus-kasus kejahatan yang Universitas Sumatera Utara 84 dilaporkan ataupun diadukan kepada pihak kepolisian yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurut pendapat penulis yang didukung dengan penelaahan mengenai putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pers, bahwa tidak adanya penindaklanjutan dari pihak kepolisian terhadap tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan dikarenakan kemungkinan adanya potensi bahwa penyidik belum mengetahui substansi dari UU Pers dan mekanisme penyelesaian sengketa pers, semisal mengenai seorang wartawan atau insan pers yang melanggar suatu ketentuan yang sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana apakah dikenakan sanksi melalui KUHP atau UU Pers. Kasubbid Penmas Humas Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan, juga mengakui bahwa hak tolak yang dimiliki oleh insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber baik itu nama maupun identitas lainnya yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU Pers memunculkan pemahaman yang cukup luas sehingga menimbulkan banyak perdebatan. Diantaranya, Pasal 4 ayat 4 UU Pers yang menyatakan : “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.” Artinya bahwa tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan hanya berlaku dan dipertanggungjawabkan di depan hukum contohnya menjadi saksi di pengadilan. Dimana wartawan harus merahasiakan identitas narasumbernya tersebut terutama menyangkut keselamatan jiwa dan perlindungan narasumber. Universitas Sumatera Utara 85 Beliau juga menjelaskan, begitu wartawaninsan pers menjadi saksi di bawah sumpah dalam sidang pengadilan, saat itu juga insan pers tidak bisa melindungi narasumbernya dengan ancaman memberikan keterangan palsu terutama pada kasus yang mengancam keselamatan negara dan ketertiban umum, yang nantinya akan dijerat dengan Pasal 242 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan linsan atau tulinsan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Sehingga insan pers wajib menyebutkan identitas narasumbernya. Hal ini juga sejalan dengan asas equality before the law persamaan di depan hukum yang merupakan asas hukum yang bersifat umum dan prinsipiil. Artinya, hukum tidak membedakan status ataupun kedudukan seseorang. Dikaitkan dengan kesaksiaan, memberikan kesaksian dalam hal ini adalah kewajiban dari setiap warga negara. Maka, setiap orang yang berprofesi sebagai wartawan haruslah bersikap berani dan siap mempertanggungjawabkan informasi maupun keterangan yang disampaikan narasumbernya.

B. Upaya

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Yang Dilakukan Oleh Pers Ditinjau Dari KUHP Dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

1 31 113

Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dalam Memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers Bagi Wartawan Kota Bandung

7 78 167

Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dalam Memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers Bagi Wartawan Kota Bandung

0 28 167

WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 14

PENDAHULUAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 2 34

KESIMPULAN DAN SARAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 40

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SECONDARY RAPE OLEH PERS ATAS PEMBERITAAN TENTANG PERKOSAAN DI MEDIA MASSA DIKAITAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS.

0 1 1

Kebebasan Pers dalam Konteks KUHP Pidana: Menyoal Undang-Undang sebagai Fungsi Komunikasi

0 0 6

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG - UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

0 0 11

PERBANDINGAN SISTEM PERS YANG DIANUT INDONESIA DI ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS) - repository perpusta

0 0 9