Upaya PERANAN KEPOLISIAN TERHADAP INSAN PERS DALAM

85 Beliau juga menjelaskan, begitu wartawaninsan pers menjadi saksi di bawah sumpah dalam sidang pengadilan, saat itu juga insan pers tidak bisa melindungi narasumbernya dengan ancaman memberikan keterangan palsu terutama pada kasus yang mengancam keselamatan negara dan ketertiban umum, yang nantinya akan dijerat dengan Pasal 242 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan linsan atau tulinsan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Sehingga insan pers wajib menyebutkan identitas narasumbernya. Hal ini juga sejalan dengan asas equality before the law persamaan di depan hukum yang merupakan asas hukum yang bersifat umum dan prinsipiil. Artinya, hukum tidak membedakan status ataupun kedudukan seseorang. Dikaitkan dengan kesaksiaan, memberikan kesaksian dalam hal ini adalah kewajiban dari setiap warga negara. Maka, setiap orang yang berprofesi sebagai wartawan haruslah bersikap berani dan siap mempertanggungjawabkan informasi maupun keterangan yang disampaikan narasumbernya.

B. Upaya

Kepolisian Terhadap Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Pelaku Kejahatan Setiap kesulitan dapat diselesaikan dengan caranya masing-masing. Salah satu kesulitan itu dalam hal ini adalah kendala ataupun hambatan-hambatan pihak kepolisian dalam menindaklanjuti tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan. Kesulitan untuk menindaklanjuti Universitas Sumatera Utara 86 tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber terletak pada; pertama, pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan, yang kedua mengenai tindakan investigasi yang dilakukan oleh insan pers dan ketiga, tidak adanya pelaporan ataupun pengaduan dari korban atau dari masyarakat yang merasa diresahkan. Menurut Kasubbid Penmas Humas Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan, upaya pertama yang dilakukan oleh pihak kepolisian agar dapat menindaklanjuti tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan adalah memastikan terlebih dahulu terpenuhinya unsur-unsur kejahatan ataupun tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers dan juga diperlukannya kerjasama antara pihak kepolisian dengan pers. 78 Dalam hal ini berarti pihak kepolisian menjadi partner mitra pers. Kerjasama juga bergantung kepada kemauan pers. Pihak kepolisian juga tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan dan partisipasi dari masyarakat dalam memberantas kejahatan. Dalam beberapa kasus tertentu pihak pers dapat menjadi informan bagi pihak kepolisian, misalnya kasus korupsi, terorisme dan lain sebagainya, yang mana apabila informasi mengenai kasus tersebut dapat mengancam keselamatan jiwa wartawan atau keluarganya maka pihak kepolisian pun akan memberikan perlindungan kepada dirinya. Dilihat dari tugas dan wewenang pihak kepolisian yang diatur dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa : 78 Dalam wawancara yang dilakukan penulis kepada Kasubbid Penmas AKBP MP Nainggolan pada hari Senin, 28 Maret 2016 di Polda Sumut Universitas Sumatera Utara 87 “Tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat.” Berdasarkan ketentuan tersebut dalam menghadapi kendala yang berikutnya mengenai tidak adanya laporan ataupun pengaduan dari masyarakat terhadap pemberitaan insan pers dalam liputan investigasinya, maka menurut penulis seharusnya pihak kepolisian tidak menunggu adanya laporan ataupun pengaduan dari orang yang merasa dirugikan atau masyarakat yang merasa diresahkan karena dalam pemberitaan investigasi yang dilakukan oleh insan pers telah terang terjadi suatu tindak pidana yang merugikan ataupun meresahkan masyarakat. Kemudian terkait dengan ketentuan hukum dalam UU Pers yang penjelasannya kurang lengkap dan kurang jelas, dalam arti tidak secara rinci dan tegas menyebut ketentuan dan syarat-syarat yang tergolong melanggar suatu pasal. Oleh karena itu, masing-masing pihak dapat menginterprestasikan muatan pasal ini secara bebas. Dan akibat dari kekurangtegasan pasal tersebut, tidak salah pula kalau sebagian masyarakat ataupun penyidik lebih memilih menggunakan pasal-pasal KUHP untuk menjerat pers. Menurut penulis, seperti yang telah dibahas sebelumya sebagian masyarakat ataupun penyidik lebih menggunakan ketentuan dalam KUHP dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai UU Pers ketika tejadi adanya sengketa pers. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penyelesaian sengketa pers dapat diselesaikan terlebih dahulu dengan; Universitas Sumatera Utara 88 1 Hak Jawab Hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 5 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu : “Pers wajib melayani Hak Jawab”. Dan terkait pengertian dari hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 yakni : “Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.” Dari pemaparan di atas telah jelas bahwasannya hak jawab itu merupakan hak memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat yang menjadi narasumber atau objek pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita yang sudah di publikasikan atau di siarkan. Upaya ini merupakan jalur tempuh paling praktis dan cepat, yang dapat ditempuh warga masyarakat dan terjadi ketidakpuasan terhadap suatu pemberitaan yang berkaitan dengan hak jawab. 79 Sedangkan dalam Kode Etik Jurnalistik juga menegaskan terkait pelayanan terhadap hak jawab yakni pada Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik menyatakan : “Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional”. Melayani hak jawab merupakan wujud tanggung jawab dan suatu kewajiban bagi wartawan atau praktisi pers itu sendiri. Sebagai kewajiban, wartawan atau praktisi pers terkait wajib segera mencabut atau meralat kekeliruan atas suatu pemberitaan yang dimuatnya dalam bentuk hak jawab. Oleh karena 79 Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2005, hlm.103 Universitas Sumatera Utara 89 kesalahan terletak pada praktisi pers maka selain memuat hak jawab yang harus diperhatikan dan dilakukan adalah memuatnya pada halaman yang sama, bersamaan dengan itu, praktisi atau penerbit yang bersangkutan harus meminta maaf atas kekeliruan atau kesalahan tersebut. 80 2 Hak Koreksi Hak Koreksi telah dijelaskan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam Pasal 5 ayat 3 yang berbunyi : “Pers wajib melayani Hak Koreksi”. Dan terkait pengertian hak koreksi telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12, yakni : “Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.” Sedangkan kewajiban hak koreksi juga dijelaskan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 1 ayat 13 yakni : “Keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan”. Sedangkan dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik juga menjelaskan: “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar dan atau pemirsa .” Terkait hal tersebut, maka wartawan berhak segera mengambil suatu tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik sebelum ada maupun tidak adanya teguran dari luar untuk memperbaiki, mencabut, dan meralat pemberitaan dan penyiaran yang keliru dan tidak akurat dengan disertai 80 Ibid., Universitas Sumatera Utara 90 permintaan maaf. Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang salah atau tidak akurat. Dalam hal pemberitaan yang merugikan seseorang atau kelompok, pihak yang dirugikan harus memberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi. Apabila hak-hak tersebut telah digunakan oleh pembaca atau masyarakat, maka tidak boleh lagi dilakukan tuntutan ataupun gugatan perdata terhadap pers. Sebab jika mekanisme ini dibolehkan, maka kebebasan pers akan kembali tersungkur. Sehubungan dengan itu jika ada suatu berita yang merugikan individu, kelompok, masyarakat, pemerintah atau pejabat, tanggung jawab hukumnya diberikan dua pilihan, yaitu; pilihan yang pertama sekali didahulukan yaitu penggunaan hak jawab dan hak koreksi oleh insan pers. Kemudian barulah dilakukan diajukan suatu tuntutan pidana ataupun gugatan perdata sebagai bentuk upaya terakhir. Namun, saat ini mekanisme hak jawab dan hak koreksi belum menjadi suatu aturan yang dipahami dengan baik oleh masyarakat. Universitas Sumatera Utara 91

BAB V PENUTUP

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Yang Dilakukan Oleh Pers Ditinjau Dari KUHP Dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

1 31 113

Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dalam Memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers Bagi Wartawan Kota Bandung

7 78 167

Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dalam Memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers Bagi Wartawan Kota Bandung

0 28 167

WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 14

PENDAHULUAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 2 34

KESIMPULAN DAN SARAN WACANA KONGLOMERASI MEDIA NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG POKOK PERS (Analisis Wacana Mengenai Konglomerasi Media di Indonesia Menurut Bab IV Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

0 3 40

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SECONDARY RAPE OLEH PERS ATAS PEMBERITAAN TENTANG PERKOSAAN DI MEDIA MASSA DIKAITAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS.

0 1 1

Kebebasan Pers dalam Konteks KUHP Pidana: Menyoal Undang-Undang sebagai Fungsi Komunikasi

0 0 6

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG - UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

0 0 11

PERBANDINGAN SISTEM PERS YANG DIANUT INDONESIA DI ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS) - repository perpusta

0 0 9