79
Sementara itu di Thailand yang juga merupakan negara anggota dari Golden Triangle yang juga menjadi negara transit narkotika ke pasar
internasional, jenis narkotika yang banyak disini adalah ya’ba.Dan Vietnam juga merupakan negara yang sukses menanggulangi peredaran narkotika di negaranya
dan jenis narkotika yang sempat beredar disana adalah heroin
104
B. Peranan Hukum dalam Penanganan Kasus Narkoba di ASEAN
.
Konvensi internasional pertama yang mengatur tentang narkotika adalah The Hague Opium Convention 1912,
dan selanjutnya berturut-turut adalah The Geneva Internasional Opium Convention 1925, The Geneva Convention for
Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention for the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous
Drugs 1936 , Single Convention on Narcotic Drugs 1961, sebagaimana diubah dan
ditambah dengan Protokol 1972 dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988
atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988.
105
Uraian perkembangan Konvensi Internasional Narkotika dibatasi pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988, karena kedua
konvensi ini, merupakan resultante dari konvensi terdahulu mengenai narkotika dan psikotropika serta merupakan konvensi terpenting dalam sejarah pengaturan
internasional di bidang narkotika dan psikotropika, setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa.
106
104
https:en.wikipedia.orgwikiGolden_Triangle diakses tanggal 02 Pebruari 2017 Pukul
20.
00
Wib.
105
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 52
106
Ibid , hal.53.
Universitas Sumatera Utara
80
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 merupakan hasil konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di New York, tanggal 24 – 25
Maret 1961, dan setelah konvensi tersebut berlaku efektif selama 11 tahun, pada tanggal 6 – 24 Maret 1972 di Jenewa, telah diselenggarakan konferensi, United
Nations Conference to Consider Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs 1961
yang menghasilkan Protokol yang mengubah Konvensi Tunggal 1961.
107
107
Ibid
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menitikberatkan kepada aspek pengaturan dan pengawasan sedangkan Konvensi Wina 1988 menitikberatkan
kepada aspek penegakan hukum. Konvensi Wina 1988 merupakan pembaharuan secara mendasar terhadap konvensi internasional narkotika pada umumnya, dan
terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961 khususnya, karena strategi Konvensi Wina 1988 ditujukan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak
pidana narkotika. Kedua konvensi internasional ini memiliki perbedaan mendasar sejalan dengan perkembangan tindak pidana narkotika pada masanya. Perbedaan-
perbedaan ini meliputi perbedaan dari segi tujuan maupun dari substansinya. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 bertujuan melakukan konsolidasi
terhadap perjanjian-perjanjian terdahulu tentang narkotika dan memudahkan mekanisme pengawasan terhadap narkotika. Protokol perubahan tahun 1972
terhadap Konvensi Tunggal Narkotika tersebut di atas, bertujuan menyempurnakan ketentuan-ketentuan konvensi tersebut sehingga meliputi
ketentuan tentang perlakuan dan rehabilitasi pecandu-pecandu narkotika.
Universitas Sumatera Utara
81
Tujuan dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut dijabarkan dalam enam sub tujuan yaitu :
108
1. Kodifikasi perjanjian multilateral tentang narkotika yang telah ada
2. Menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional.
3. Memperluas sistem pengawasan atas penanaman obat-obatan alamiah
narkotika lain sebagai pelengkap candu dan yang menghasilkan akibat ketergantungan seperti ganja atau daun koka.
4. Membatasi perdagangan dan impor narkotika
5. Mengawasi perdagangan narkotika illegal
6. Mengambil tindakan-tindakan yang layak untuk perlakuan dan rehabilitasi
bagi pecandu-pecandu narkotika. Lingkup, sasaran dan tujuan Konvensi Wina 1988 adalah meningkatkan
kerjasama penegakan hukum di antara negara peserta terhadap lalu lintas perdagangan narkotika dan psikotropika ilegal, baik dari aspek legislatif,
administratif maupun aspek teknis operasional. Di dalam menjalankan kewajiban tersebut diharapkan agar peserta konvensi mengambil langkah-langkah yang
dipandang perlu sesuai dengan hukum nasional masing-masing Negara. Perwujudan lingkup, sasaran dan tujuan tersebut di atas, tampak dari
beberapa ketentuan yang dimuat dalam Konvensi Wina 1988, antara lain:
109
1. Pasal 3, mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan sanksi
2. Pasal 4, mengatur tentang yurisdiksi
108
Ibid , hal.55
109
Ibid , hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
82
3. Pasal 5, mengatur tentang penyitaan atau confiscation.
110
4. Pasal 6, mengatur tentang ekstradisi
5. Pasal 7, mengatur tentang perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana; 6.
Pasal 8, mengatur tentang alih prosedur atau transfer of proceedings.
111
7. Pasal 9, mengatur tentang bentuk-bentuk lain dan pelatihan.
8. Pasal 10, mengatur tentang kerjasama internasional dan bantuan untuk negara
transit. 9.
Pasal 11, mengatur tentang penyerahan yang diawasi atau controlled delivery. Sembilan ketentuan tersebut di atas, merupakan ciri utama yang
membedakan Konvensi Wina 1988 dari konvensi-konvensi internasional narkotika sebelumnya, sehingga konvensi tersebut merupakan konvensi narkotika
yang bersifat represif atau suppresive convention. Selain itu terdapat konvensi narkotika lain yang memiliki tujuan yang sama, sekalipun belum semaju dan
selengkap Konvensi Wina 1988 yaitu The Convention for The Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936.
Inisiatif pertama untuk melahirkan suatu konvensi narkotika yang bersifat represif, berasal dari International Criminal
Police Organization ICPO atau Interpol yang berpendapat bahwa diperlukan
suatu konvensi khusus yang bertujuan menetapkan langkah-langkah preventif dan
110
Penyitaan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP dirumuskan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah pengawasannya benda bergerak
atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Siklus
Hukum , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal 9
111
Transfer of proceedings merupakan suatu pilihan ketika ekstradisi tidak dapat
dilakukan. Dalam melakukan alih prosedur harus ada permintaan dari negara yang satu ke negara yang lain untuk melalukan proses hukum atas suatu tindakan yang merupakan pelanggaran baik di
negara yang diminta maupun negara yang meminta. Sejumlah konvensi internasional memuat tentang ketentuan transfer of proceedings ini, yaitu European Convention on Mutual Assistance in
Criminal Matters
, the European Convention on Extradition dan the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances
1988.
Universitas Sumatera Utara
83
represif terhadap peredaran gelap narkotika internasional sehingga diharapkan dapat mengatasi kesenjangan antara ketentuan konvensi-konvensi sebelumnya.
112
Perbedaan lain dan relevan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika berdimensi internasional adalah ketentuan mengenai yurisdiksi
kriminal. Konvensi Tunggal Narkotika 1961, tidak mengatur secara khusus masalah ini, sedangkan Konvensi Wina 1988 telah mengatur dan menetapkan
kemungkinan bagi setiap negara peserta untuk memperluas yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana narkotika internasional.
113
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1988, telah menetapkan antara lain sebagai berikut:
Negara peserta Konvensi Wina 1988 menyadari bahwa apabila penegakan hukum terhadap lalu lintas
perdagangan narkotika tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan hukum internasional, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yurisdiksi antar
negara-negara tersebut.
114
1. Para pihak harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan konvensi ini
dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dan integritas wilayah negara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri dari
negara lain. 2.
Salah satu pihak tidak akan mengambil tindakan dalam wilayah pihak lain untuk menerapkan yurisdiksi dan kekuasaannya yang secara khusus dimiliki
oleh pejabat berwenang dari pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.
112
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal 57
113
Ibid , hal. 59.
114
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
84
Wujud penegakan hukum yang sejalan dengan ketentuan tersebut di atas, ialah pembentukan perjanjian kerjasama antara negara-negara yang
berkepentingan. Di dalam Pasal 17 ayat 1 Konvensi Wina 1988 yang mengatur tentang perdagangan obat-obatan terlarang, ditetapkan bahwa, setiap peserta
konvensi berkewajiban untuk bekerjasama semaksimal mungkin menanggulangi lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui laut sesuai dengan hukum laut
internasional. Kerjasama yang diharapkan dalam konvensi dimaksud ternyata tidak
hanya semata-mata kerjasama dalam bentuk suatu penandatanganan perjanjian bilateral ataupun multilateral, melainkan suatu bentuk kerjasama yang lebih nyata
dalam upaya menanggulangi atau memberantas lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui jalur pelayaran di laut.
115
Didukung oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
psikotropika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran
produksi, distribusi dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Peredaran
Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.
116
Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran antara lain, sebagai berikut:
117
115
Ibid , hal. 60.
116
Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988
117
Eugenia Liliawati Muljono, Peraturan Perundang-Undangan Narkotika dan Psikotropika
, Harvarindo, Jakarta, 2006, hal. 307.
Universitas Sumatera Utara
85
1. Masyarakat internasional di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas
utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan
masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula. 3.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 perlu
dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas perdaran gelap narkotika dan psikotropika.
4. Perlunya memperkuat dan meningkatkan saran hukum yang lebih efektif
dalam rangka kerjasama internasional di bidang pidana untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika.
Dengan lahirnya Konvensi Wina 1988 yang bertujuan untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, maka semakin berkembanglah
penegakan hukum kejahatan transnasional peredaran gelap narkotika. Jika dilihat dari segi substansi dalam konvensi ini, telah muncul embrio dari upaya
internasional yang antara lain dapat diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang menyangkut ekstradisi, bantuan timbal balik, penanganan perdagangan gelap
narkotika melalui laut, controlled delivery, dan penguatan rezim anti pencucian uang termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil kejahatan tindak pidana
narkotika. Sebagai tindak lanjut dari semangat memerangi kejahatan lintas batas
negara, masyarakat ASEAN menyepakati melalui Deklarasi ASEAN tanggal 20
Universitas Sumatera Utara
86
Desember 1997 di Manila, dimana ASEAN juga menetapkan kejahatan yang termasuk dalam Transnational Crime, yaitu :
118
1. Illicit Drug Trafficking
perdagangan gelap narkotika 2.
Money Laundering pencucian uang
3. Terorism
terorisme 4.
Arm Smuggling penyelundupan senjata api
5. Trafficking in persons
perdagangan orang 6.
Sea Piracy pembajakan di paut
7. Economic Crime and Currency Counterfeiting
kejahatan di bidang ekonomi dan pemalsuan uang
8. Cyber Crime
kejahatan di dunia maya. Dengan ditetapkannya jenis-jenis kejahatan lintas negara yang harus
mendapatkan prioritas dalam penanggulangannya, maka dalam hal pemberantasan peredaran gelap narkotika, ASEAN membentuk ASOD ASEAN Senior Official
on Drugs , yaitu forum kerjasama ASEAN di bidang pencegahan, terapi dan
rehabilitasi, penegakan hukum dan penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
119
118
Thomson Siagian, Peranan Kejaksanaan Agung dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Transnasional
, Jakarta, 2008, hal. 1.
119
www.bnn.go.id, Pertemuan ASEAN Senior Official on Drug Matters dalam hal kerjasama Pengendalian narkoba dan obat-obatan
, diakses tanggal 02 Pebruari 2017 Pukul 20.
00
Wib..
Forum ini mengadakan pertemuan setiap tahun sekali secara bergiliran di negara-negara anggota ASEAN.
Universitas Sumatera Utara
87
C. Peranan The United Nations On Drugs and Crime UNODC dalam