Tabel 2 Analisa Kandungan Bahan Kimia Tanaman Obat Dengan Metode Gas Kromatografi Spektrometri Massa GC-MS
No. Tanaman Obat
Komponen Kimia Konsentrasi
≥ 0,5
1.
Sirih Merah
1. Chavikol 2. Chavibetol
3. 5-amino-1,2,4-triazole 0,78
1,39 5,75
Sumber : Setiyono et al. 2008 Carvacrol, eugenol dan chavibetol merupakan isomer dari eugenol, sebagai
komponen antibakteria paling aktif. Mekanisme kerja komponen tersebut yakni dengan merusak membran sitoplasma dan mengkoagulasi isi sel. Selain itu
chavibetol dan chavicol pun merupakan salah satu komponen yang mempunyai peranan penting sebagai antioksidan. Antioksidan adalah substansi yang
diperlukan tubuh menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektrolit yang
dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Radikal
bebas merupakan jenis oksigen yang memiliki tingkat reaktif yang tinggi dan secara alami ada di dalam tubuh sebagai hasil dari reaksi biokimia tubuh, radikal
bebas juga terdapat di lingkungan sekitar kita yang berasal dari polusi udara, asap tembakau, penguapan alkohol yg berlebihan, bahan pengawet dan pupuk, sinar
ultr violet, x-rays dan ozon Rachmawati 2010. Sedangkan menurut Han et al. 2006 antioksidan merupakan molekul yang mempunyai fungsi sebagai pengikat
radikal bebas yang ada di dalam tubuh maupun sel, selain itu antioksidan pun mempunyai peranan dalam meningkatkan sistim imun tubuh.
2. Hasil Evaluasi Histopatologi Hati
Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi perubahan terjadi pada seluruh kelompok baik kelompok kontrol positif maupun kelompok perlakuan. Berikut
persentase hasil skoring histopatologi organ hati dirangkum dalam Tabel 3.
Tabel 3 Persentase lesio histopatologi organ hati pada setiap perlakuan setelah pemberian ekstrak ethanol sirih merah dan di uji tantang dengan virus AI
H5N1 Kode
SKOR Perlakuan
Perlakuan Lesio Histopatologi
1 2
3 4
5 6
K 1
a
Virus AI H5N1 0 45
38 7
4 6
K2
b
Kontrol Negatif 0 38
38 21
3 P1
b
Sirih Merah + Virus AI H5N1 0 48
1 47
4 P2
b
Sirih Merah 0 37
4.6 41
0.4 17
Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata p0.05.
Keterangan : Skor 0= normal
Skor 2= degenerasi Skor 3= degenerasi difuse Skor 6= nekrosa
Skor 1= kongesti Skor 4= pendarahan
Skor 5 = infiltrasi sel radang
Berdasarkan hasil persentase lesio histopatologi pada masing-masing perlakuan, lesio didominasi oleh kongesti, degenerasi dan nekrosa. Pada
kelompok K1 perubahan didominasi oleh kongesti sebesar 45, kelompok K2 perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi sebesar 38, selanjutnya
pada kelompok P1 perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi difuse sebesar 48, dan sama halnya pada kelompok P2 perubahan didominasi oleh
degenerasi difuse sebesar 41. Kemudian, didapat hasil analisa statistik antara kelompok kontrol positif K1 dengan kelompok perlakuan P2, kelompok
kontrol positif K1 dengan kelompok kontrol negatif K2, kelompok kontrol negatif K1 dengan kelompok perlakuan P1, adalah berbeda nyata. Namun lain
halnya dengan kelompok kontrol positif K2 dibandingkan kelompok perlakuan P1 dan kelompok perlakuan P1 dengan kelompok perlakuan P2 adalah tidak
berbeda nyata. Perubahan patologi pada kelompok kontrol K1 adalah kongesti,
degenerasi dan nekrosis. Menurut Tabbu 2000, unggas yang terinfeksi virus AI H5N1 menimbulkan perubahan mikroskopik pada organ hati berupa degenerasi
dan nekrosis. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiantono 2003 bahwa, perubahan organ hati yang dilihat secara mikroskopis akibat
terinfeksi HPAI adalah kongesti, hemorhagi, degenerasi dan nekrosa. Hal ini dapat disebabkan adanya gangguan sirkulasi dan metabolisme baik pada organ
hati maupun pada organ lain. Selain itu, hal ini sesuai dengan pendapat Winekler
et al. 1971 bahwa oksigen sangat penting bagi reaksi seluler sehingga terganggunya suplai oksigen berakibat reaksi seluler tidak berjalan dengan
semestinya. Selain itu suplai oksigen dapat disebabkan oleh terganggunya sirkulasi darah, misalnya pada keadaan kongesti sehingga mengakibatkan sel hati
mengalami degenerasi hingga nekrosis karena kekurangan natrium dan oksigen. Sementara itu menurut Kwon et al. 2005 dalam kajian histologi unggas yang
terkena HPAI ditemukan beberapa fokus nekrosis dengan sel inflamatoris pada multipel organ seperti jantung, otak, pankreas dan hati. Pada hati terlihat
peningkatan aktivitas seluler pada sinusoidal dengan timbulnya hiperplasia dari sel Kuppfer, dan peningkatan jumlah sel mononuklear pada sistim portal hati.
Namun menurut Setiyono et al. 2008, dalam penelitian kali ini belum dapat diterangkan sejauh mana infeksi telah terjadi dan seberapa jauh agen
patogen berhasil masuk ke dalam jaringan atau organ ayam yang diinfeksi virus AI H5N1. Kongesti terjadi pada semua kelompok perlakuan terutama pada vena
sentralis dan sinusoid-sinusoid hati. Kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat
atau bagian tubuh. Sementara itu Harada et al. 1999 menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen
dan zat-zat makanan. Kongesti dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu 1 kenaikan jumlah
darah yang mengalir ke suatu lokasi atau 2 penurunan jumlah darah yang mengalir dari suatu lokasi. Jika aliran darah ke dalam lokasi bertambah dan
menimbulkan kongesti, maka disebut kongesti aktif. Sementara kongesti pasif tidak menyangkut kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu lokasi, tetapi
lebih merupakan gangguan aliran dari lokasi itu. Apapun yang dapat menekan venula-venula dan vena-vena yang mengalirkan darah dari jaringan dapat
menimbulkan kongesti pasif Price dan Lorraine 2006.
Gambar 6 Hati : Kongesti sinusoid a, kelompok K1 Pewarnaan HE, pembesaran objektif 20 kali.
Selanjutnya perubahan yang terlihat dari kelompok perlakuan P2 didominasi oleh sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropik baik lokal
maupun menyebar difuse. Degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak
membengkak dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan membran sel untuk melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang
berakibat masuknya air dalam jumlah yang berlebihan ke dalam sel Jones et al. 1997.
Ada beberapa literatur terkait dengan degenerasi hidropik diantaranya menurut Spector dan Spector 1993 degenerasi dalam patologi dapat
didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur fungsi normal, biasanya progresif, dan tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi
sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Degenerasi yang terjadi umumnya adalah degenerasi hidropis. Menurut
Underwood 1992 degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia. Gangguan metabolisme
a
a
a
a
sel biasanya di dahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh Rusmiati dan Lestari 2004.
Selain itu, perubahan yang terjadi pada kelompok perlakuan P2 dapat juga diakibatkan belum menemukan dosis maksimal ekstrak sirih merah.
Ketepatan dosis pemberian ekstrak sirih merah pun diduga dapat mempengaruhi, karena apabila ketepatan dosis yang diberikan tidak diperhitungkan secara baik,
maka akan menjadi toksik bagi tubuh sehingga secara langsung akan menimbulkan kerusakan pada sel hati sebagai organ detoksikasi. Hati adalah
organ pertama yang dicapai oleh obat atau zat sesudah diabsorpsi oleh intestinum. Sehingga di dalam hati, obat atau ekstrak sirih merah tersebut akan mengalami
proses metabolisme dan detoksifikasi yang meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi menjadi bentuk terlarut atau bentuk terionisasi sehingga
dapat dieksresikan oleh ginjal. Hati merupakan organ yang paling mudah mengalami kerusakan sesudah terpapar oleh zat kimia, terutama dengan
pemberian secara peroral. Pemberian obat atau zat yang bersifat toksik, setelah diabsorpsi dan mengalami seluruh proses yang terjadi dalam hati akan
mempengaruhi hati dengan timbulnya perubahan patologis Dewi 2005. Kerusakan dan perubahan patologi pada organ hati dapat disebabkan oleh ekstrak
sirih merah yang masuk ke dalam tubuh secara peroral, kemudian akan mengalami absorbsi di dalam usus halus. Ketika ekstrak ethanol sirih merah
tersebut yang mengandung saponin, tannin, flavonoid, minyak atsiri, dan alkaloid mengalami detoksifikasi dan biotransformasi di dalam hati tidak sempurna,
tentunya akan menimbulkan kerusakan hati, sehingga fungsi hati pun akan terganggu dan akan menyebabkan perubahan-perubahan patologis seperti
kongesti, degenerasi dan nekrosis. Menurut Spector dan Spector 1993, bahwa tiga penyebab utama kematian dan disfungsi sel hati adalah virus, kekurangan
oksigen dan keracunan sel, yaitu termasuk zat-zat toksik bakteri, yang berasal dari tumbuhan dan hewan atau sintetis.
Sementara itu menurut Henryk dan Peter 2010, degenerasi hidropik
ballooning degeneration, toxic swelling, vacuolar degeneration, hidropic change merupakan perubahan hepatoseluler yang bersifat reversibel, namun
perubahan ini akan bersifat letal apabila degenerasi hidropik ini berlangsung
dalam jangka waktu yang lama. Degenerasi hidropik dapat terjadi akibat virus, toksik alkohol, dan kerusakan akibat iskemik hati, terutama pada lokasi
sentrolobular zona 3 hepatosit. Oleh karena itu dosis optimum untuk penggunaan ekstrak sirih merah ini perlu diteliti lebih lanjut, supaya ekstrak sirih
merah tidak menjadi toksik dalam tubuh terutama pada organ hati .
Gambar 7 Hati : Degenerasi hidropis sel hepatosit a, kongesti pada sinusoid hati b pada kelompok P2, pewarnaan HE,
pembesaran objektif 40 kali.
Perubahan – perubahan yang terjadi pada kelompok kontrol K2 maupun
kelompok perlakuan P1 dan P2 tidak terlepas dari faktor lingkungan dan faktor stress, tepatnya pada penangan ayam selama perlakuan pemberian ekstrak sirih
merah, walaupun faktor stress ini hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap perubahan patologis. Faktor stress dalam jangka panjang akan mempengaruhi
peningkatan kortisol di dalam tubuh. Hal tersebut sesuai dengan Arifah dan Purwanti 2008 bahwa, peningkatan epinefrin dan kortisol secara terus menerus
dapat terjadi pada stres kronis, sehingga dapat menyebabkan penurunan sistem imun secara keseluruhan yang ditandai dengan mudahnya individu terserang
penyakit. Hal ini dapat disebabkan karena menurunnya produksi sel plasma akibat
b
a a
b
menurunnya jumlah germinal center. Tekanan jangka panjang akan menekan kemampuan sistem imun dalam melawan virus, bakteri dan parasit, dimana stres
kronis menurunkan kekebalan tubuh. Kemudian penurunan jumlah limfosit dapat disebabkan oleh penurunan proliferasi limfosit pada jaringan limfoid. Keadaan
kortisol yang tinggi menimbulkan mobilisasi cadangan energi glikogen di hati dan otot. Peningkatan kortisol dan epinefrin terjadi pada keadaan semua jenis stres
baik fisik, psikologis, lingkungan, kimiawi maupun trauma. Selain kortisol yang tinggi di dalam darah dapat menyebabkan ketidakseimbangan gula darah,
penurunan densitas tulang, dan jaringan otot Scott 2000.
Gambar 8 Hati : Fokus Nekrosis sel hepatosit a pada kelompok K1, pewarnaan HE, pembesaran objektif 20 kali.
Perubahan yang terjadi pada organ hati kelompok perlakuan P1 dapat diakibatkan oleh pemberian ekstrak sirih merah maupun infeksi virus H5N1, juga
dapat diduga bahwa ekstrak sirih merah belum mampu mengurangi perubahan patologis yang disebabkan oleh infeksi virus H5N1 pada organ hati tersebut.
a
3. Hasil Evaluasi Histopatologi Ginjal