V. PEMBAHASAN UMUM
Pepaya berpotensi menjadi buah utama Indonesia karena sifatnya yang multi fungsi. Indonesia mempunyai banyak plasma nutfah pepaya yang menjadi
kekuatan dan modal dasar untuk pengembangan pepaya. Pepaya yang dikembangkan dari hasil introduksi dan pemurnian kultivar lokal diantaranya
menghasilkan tiga kategori buah pepaya yang digunakan dalam serangkaian penelitian ini, yaitu: genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 yang dikategorikan sebagai
pepaya kecil; IPB 5, IPB 9 dan IPB 10 yang dikategorikan sebagai pepaya sedang dan IPB 2, IPB 7 dan IPB 8 yang dikategorikan sebagai pepaya besar.
Permasalahan dalam mutu buah pepaya ialah: keragaman bentuk buah, ukuran buah dan penentuan stadia kematangan buah terbaik untuk dipanen dan
dikonsumsi. Mutu buah, bentuk buah dan ukuran buah menjadi faktor yang mempengaruhi nilai ekonomi buah pepaya. Permasalahan dalam bentuk buah
pepaya terkait dengan sifat ekspresi seks tanaman. Ekspresi seks tanaman pepaya yang dicirikan dengan morfologi bunganya menentukan bentuk buah yaitu:
bentuk lonjong yang dihasilkan dari bunga hermafrodit dan bentuk buah membulat yang dihasilkan dari bunga betina, sehingga morfologi bunga pepaya
menentukan nilai ekonomi pepaya. Permasalahan lain dalam mutu pepaya yang terkait juga dengan bentuk buah ialah sifat penyerbukannya. Tanaman pepaya
pada umumnya tergolong tanaman menyerbuk terbuka, namun ada beberapa kultivar yang menyerbuk sendiri. Selain bentuk buah yang membedakan nilai
ekonomi pepaya, ukuran buah pepaya juga merupakan faktor yang ikut menentukan.
Permasalahan pertama tentang pembungaan pepaya diteliti dengan mempelajari karakter komponen-komponen bunga, karakter penyerbukan,
karakter masing-masing seks tanaman dan morfologi buah; dipelajari juga kemungkinan melakukan penyerbukan dengan serbuk sari dari berbagai kategori
buah kecil, sedang, besar untuk memperoleh buah dengan ukuran, bentuk dan mutu konsumsi yang baik. Permasalahan kedua tentang karakter pematangan dan
pasca panen buah dipelajari dengan studi stadia kematangan dan penyimpanan buah serta studi mutu buah pasca panen sehingga dapat diperoleh standar
indikator panen buah pepaya
.
112
Hasil penelitian menunjukkan tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit, dan ekspresi seks
tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga sehingga petani pepaya tidak dapat memilih jenis tanaman berdasarkan kelamin tanaman sesuai dengan
yang diinginkan dan yang pada akhirnya dapat merugikan secara ekonomi. Hasil penelitian tentang morfologi bunga menunjukkan bunga hermafrodit dan bunga
betina sudah dapat dibedakan dengan mengamati tunas bunga yang baru berumur 4–6 minggu sebelum antesis dan berukuran 3.0-5.0 mm di bawah mikroskop.
Menurut Jindal dan Singh 1976 penentuan tipe seks tanaman pepaya sudah lama diteliti dengan mengukur kandungan total fenol yang dapat membedakan tanaman
jantan dari tanaman betina pada stadia bibit, tetapi dengan uji chlorometric ini tidak dapat mendeteksi tanaman hermafrodit. Kemudian Magdalita dan Mercado
2003 mengemukakan bahwa penentuan tipe seks tanaman pepaya secara dini sudah diteliti juga dengan kromatografi yang mendeteksi transcinamic acid dan
dengan pola pita isozim peroksidase yang dapat membedakan tanaman jantan dan betina pada stadia bibit, tetapi tanaman betina tidak dapat dibedakan dari tanaman
hermafrodit. Hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscope SEM
menunjukkan bahwa bunga hermafrodit genotipe IPB 1 memiliki lima atau lebih cuping atau lekukan tangkai putik yang tidak teratur, sedangkan cuping tangkai
putik bunga betina selalu berjumlah lima dan teratur. Jumlah cuping tangkai putik terkait dengan jumlah lekukan rongga buah. Buah hermafrodit genotipe IPB 1
mempunyai lekukan rongga buah yang tidak teratur, dapat berjumlah lima atau lebih dari lima, tidak seperti buah betina IPB 1 yang selalu mempunyai lima
lekukan rongga buah dengan bentuk yang teratur. Ketidak teraturan jumlah lekukan rongga buah pada pepaya genotipe IPB 1 menyebabkan mutu buah
menurun karena buah yang dihasilkan bervariasi. Banyaknya lekukan rongga buah juga diikuti dengan jumlah biji yang banyak dan menyebabkan pengupasan
daging buah menjadi lebih sulit dilakukan pada saat akan dikonsumsi. Banyaknya biji dapat menurunkan bobot buah dapat dimakan. Menurut Nakasone 1986
jumlah biji menentukan ukuran dan bobot buah pepaya. Hasil penelitian tentang mutu buah pepaya genotipe IPB 1 pada bab IV dari disertasi ini Suketi et al.,
113
2010a; dan Suketi et al., 2010b. menunjukkan bahwa bobot biji menentukan bobot buah pepaya genotipe IPB 1 sebesar 7-12 .
Jumlah biji yang banyak ini dapat diperbaiki dengan mengendalikan penyerbukannya, misalnya dengan mengurangi jumlah serbuk sari yang
menyerbuk sehingga dapat mengurangi jumlah biji yang terbentuk. Hasil penelitian tentang penyerbukan bunga pepaya kategori buah kecil pada bab III.3.
dari disertasi ini menunjukkan bahwa pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya genotipe IPB 3
menyebabkan pengurangan dalam bobot buah, tebal daging buah dan jumlah biji. Dengan mengurangi cuping stigma bunga hermafrodit ditambah penyungkupan
berarti serbuk sari yang dapat mencapai ovari untuk melakukan pembuahan akan berkurang sehingga biji yang terbentuk lebih sedikit. Tetapi dilain pihak
pengurangan cuping stigma pada bunga hermafrodit pepaya genotipe IPB 3 kategori buah kecil menurunkan mutu kimia buah. Menurut Weaver 1972
endosperma dan embrio pada biji akan menghasilkan auksin yang merangsang perkembangan daging buah. Monselise 1986 mengemukakan bahwa biji pada
tanaman buah-buahan merupakan pengguna fotosintat yang kuat yang terkait dengan hormon auksin dan giberelin yang menentukan mutu daging buah.
Menurut Wattimena 1990 auksin alamiah dalam tanaman adalah IAA yang terdapat pada biji yang sedang berkembang. Hasil penelitian Stephenson et al.
1988 pada Cucurbita pepo menunjukkan bahwa sink strength ditentukan oleh jumlah biji dalam buah. Menurut Marcelis 1996 sink strength pada buah
menentukan pengaturan pembagian fotosintat. Hasil penelitian Marcelis 1997 pada buah paprika menunjukkan jumlah biji mempengaruhi kompetisi fotosintat
sehingga dapat mengendalikan kecepatan pertumbuhan buahnya
.
Masa reseptif stigma merupakan stadia penting dalam pematangan bunga yang dapat mempengaruhi laju fertilisasi. Masa reseptif stigma biasanya
dipengaruhi oleh stadia perkembangan bunga dan ada tidaknya eksudat pada permukaan stigma. Pengamatan keragaan papila stigma menunjukkan bahwa
stigma bunga pepaya bersifat kering tidak mengeluarkan eksudat seperti stigma bunga lainnya. Tetapi pengamatan keragaan stigma bunga pada penelitian ini
belum diamati lebih seksama, walaupun demikian menurut Rodriguez et al. 1990
114
reseptivitas atau kesiapan stigma bunga pepaya baik betina maupun hermafrodit untuk menerima serbuk sari tidak dicirikan dengan keadaan tertentu pada
permukaan stigmanya, sehingga diindikasikan bahwa penyerbukan pada bunga pepaya dapat terjadi sebelum bunga membuka atau pada saat bunga membuka dan
pada saat setelah bunga membuka. Keadaan fisiologi bunga pepaya demikian memungkinkan peluang tinggi untuk bunga betina diserbuki oleh serbuk sari dari
bunga hermafrodit atau dari bunga jantan yang ada di sekitar kebun sehingga dapat meningkatkan mutu buahnya. Hasil penelitian Suketi et al. 2010
menunjukkan bahwa serbuk sari bunga pepaya genotipe lain yang diserbukkan ke bunga pepaya betina genotipe IPB 3 dapat meningkatkan karakter fisik buah
seperti: bobot buah, diameter buah, ketebalan daging buah, bobot biji dan jumlah bijinya. Menurut Fitch 2005 bentuk buah pada pohon betina biasanya tidak akan
berubah akibat faktor umur, musim atau status unsur hara; karena perubahan bentuk buah dipengaruhi secara kuat oleh stamen yang tidak pernah terbentuk
pada bunga betina. Pada bunga hermafrodit genotipe IPB 1, keadaan stigma yang kering
memungkinkan terjadi penyerbukan sendiri sebelum bunga membuka dan penyerbukan terbuka open polinated dengan serbuk sari yang berasal dari bunga
lainnya, baik yang berasal dari satu tanaman maupun dari bunga tanaman lain. Hasil penelitian Damasceno et al. 2009 memperlihatkan bahwa stigma bunga
pepaya hermafrodit bersifat tidak mengeluarkan eksudat, masa reseptif stigma bunga pepaya hermafrodit terjadi sehari sebelum bunga membuka sampai 48 jam
setelah antesis, sehingga selain dapat melakukan penyerbukan sendiri maka penyerbukan buatan dapat dilakukan setelah antesis. Pada tanaman mentimun
yang diteliti oleh Le Deunff et al. 1993 masa reseptif stigma terjadi pada dua hari sebelum dan dua hari setelah antesis, tetapi pembentukan biji dan
perkembangan buahnya lebih banyak ditentukan oleh reseptivitas ovul daripada reseptivitas stigma.
Keterkaitan antara morfologi bunga dengan perilaku penyerbukan diduga dari letak benang sari terhadap stigma. Bunga yang mempunyai letak benang sari
berdekatan dengan stigma diduga akan melakukan penyerbukan sendiri, sedangkan bunga yang mempunyai letak benang sari di bawah stigma diduga
115
melakukan penyerbukan terbuka. Hasil penelitian tentang morfologi bunga pada bab III.1. disertasi ini Suketi et al., 2010c menunjukkan bahwa morfologi bunga
pepaya genotipe IPB 1 dan IPB 3 kategori buah kecil mempunyai letak benang sari yang berdekatan dengan permukaan stigma, sedangkan bunga pepaya
genotipe IPB 2, IPB 9 kategori buah besar dan sedang mempunyai letak benang sari di bawah stigma. Menurut Rodriguez et al. 1990 tanaman pepaya tergolong
tanaman menyerbuk terbuka open pollinated crop, namun ada beberapa yang menyerbuk sendiri self pollinated crop. Pepaya tipe Solo mempunyai stigma
bunga hermafrodit dan bunga betina yang bersifat reseptif sebelum dan setelah bunga antesis sehingga memungkinkan terjadi penyerbukan sendiri. Tetapi karena
ukuran stigma bunga dan anter besar sehingga sangat besar kemungkinan tanaman pepaya melakukan penyerbukan terbuka. Hasil penelitian Wang et al. 2004 pada
zingiberaceae menunjukkan bahwa keberhasilan penyerbukan tidak ditentukan oleh ukuran dan morfologi bunga, tetapi lebih kepada rasio antara serbuk sari dan
ovul sehingga rasio ini dapat dipakai untuk memperkirakan sistem reproduksi tanaman. Menurut Cruden 1977 rasio serbuk sari dan ovul yang rendah biasanya
menunjukkan tipe penyerbukan kleistogami dimana kematangan serbuk sari terjadi bersamaan waktunya dengan reseptivitas stigma pada saat bunga belum
membuka, memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri. Frankel dan Galun 1977 juga menyatakan bahwa pada tanaman yang mempunyai sifat kleistogami,
waktu kematangan serbuk sari dan reseptivitas stigma terjadi pada saat yang bersamaan ketika bunga belum membuka. Hasil penelitian Damasceno et al.
2009 menunjukkan bahwa pepaya hermafrodit dapat melakukan kleistogami seperti pada varietas Formosa, Golden dan Tainung yang buahnya kecil tipe
Solo. Keberhasilan fertilisasi secara umum sangat tergantung dari keselarasan
antara bunga betina atau pistil stigma, stilus, ovari, ovul dengan bunga jantan atau stamen serbuk sari, filamen. Mekanisme yang terjadi setelah penyerbukan
antara serbuk sari dengan stigma, lalu perkecambahan serbuk sari, sampai serbuk sari menembus stilus dan ovari melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga
jantan dan betina didalam ovari Weaver, 1972; Herrero et al., 1988. Daya berkecambah serbuk sari dan kecepatan pertumbuhan tabung sari dapat digunakan
116
untuk menduga keberhasilan proses pembuahan pada pepaya. Hasil dari penelitian tentang viabilitas dan pertumbuhan tabung sari pada bab III.2 disertasi ini Suketi
et al., 2011 adalah panjang tabung sari untuk pepaya kategori buah kecil IPB 1, IPB 3, IPB 4 lebih panjang dari kategori buah lainnya yaitu sebesar 1 030.67±
19.14 µm, sementara jarak antara stigma dan bakal buah pendek 14.85±2.19 mm sehingga diduga proses pembuahan akan terjadi lebih cepat dibandingkan pada
kategori buah pepaya lainnya. Keadaan ini memungkinkan proses pembuahan terjadi lebih cepat pada pepaya kategori buah kecil sehingga memungkinkan buah
dapat dipanen lebih awal. Hal ini memungkinkan untuk menguji melalui penelitian yang akan datang tentang percepatan panen buah pepaya dengan
pengendalian penyerbukannya, yaitu menggunakan serbuk sari dari bunga kategori buah kecil yang diserbukkan ke bunga pepaya dari kategori buah besar
yang biasanya mempunyai umur panen buah lama. Pertumbuhan dan perkembangan buah kategori kecil akan lebih cepat tercapai daripada buah
kategori besar. Hasil penelitian Widodo et al. 2010 menunjukkan bahwa pepaya genotipe IPB 9 kategori buah sedang dengan umur panen sekitar 140-150 HSA
jika diserbuki dengan serbuk sari genotipe IPB 1 dan IPB 3 kategori buah kecil ternyata dapat mempercepat pembuahan dan perkembangan buahnya sehingga
dapat dipanen dua minggu lebih awal dari waktu panen buah pepaya IPB-9 hasil penyerbukan sendiri. Hasil penelitian Al-Khalifah 2006 pada buah kurma dan
Ehlenfeldt 2003 pada blueberry, membuktikan bahwa sumber serbuk sari dapat mempengaruhi stadia kematangan buah sehingga buah dapat dipanen lebih awal.
Usaha perbaikan tanaman pepaya melalui pemuliaan akan menghasilkan tanaman hermafrodit yang bersifat heterozygot. Sifat ini akan menghasilkan
ketidak seragaman dalam bentuk buah. Buah yang dihasilkan dari bunga dan tanaman hermafrodit berbentuk lonjong dan buah dari bunga dan tanaman betina
berbentuk membulat, yang akan mempengaruhi keseragaman buah yang menentukan mutu buah dan di beberapa lokasi sentra pepaya dapat mempengaruhi
nilai ekonominya. Hasil penelitian Khan et al.2002 menyatakan bahwa biji dari bunga hermafrodit menghasilkan perbandingan seks tanaman hermafrodit 2.34
dan tanaman betina 1.0. Berdasarkan pengamatan morfologi bentuk bakal buah hermafrodit dan betina pada bab III.1. disertasi ini, keberadaan biji pada dinding
117
buah hermafrodit merata dari mulai ujung buah sampai pangkal buah. Keadaan letak biji pada dinding buah demikian memungkinkan perkembangan buah
maksimal sehingga menghasilkan buah lonjong. Pada buah betina letak biji terdistribusi pada bagian ujung buah yang berdekatan dengan bekas letak stigma
pada bunga dimana terjadi penyerbukan. Keberadaan biji terdistribusi di bagian ujung buah menyebabkan pertumbuhan daging buah lebih banyak terkonsentrasi
di ujung daripada di pangkal buah sehingga menyebabkan perkembangan bentuk buah tidak merata sampai ke pangkal. Menurut Weaver 1972 ukuran dan bentuk
buah terkait dengan jumlah biji dan distribusi biji dalam dinding buah. Biji akan menghasilkan auksin yang merangsang perkembangan daging buah, sehingga
bagian dinding buah yang tidak ada biji akan menghasilkan perkembangan daging buah yang lebih kecil daripada dinding buah yang mempunyai banyak biji.
Studi dasar untuk memahami perilaku penyerbukan bunga dan pertumbuhan buah pepaya menuju mutu buah yang baik diamati dengan melakukan percobaan
penyerbukan pada buah hermafrodit dan betina genotipe IPB 3 kategori buah kecil dan pada buah hermafrodit genotipe IPB 2 kategori besar. Pengendalian
penyerbukan dilakukan dengan melakukan modifikasi baik pada organ jantan benang sari, organ betina cuping stigma maupun pada keduanya. Hasil
penelitian ternyata menunjukkan bahwa pengurangan benang sari pada buah pepaya kategori buah kecil IPB 3 tidak mengakibatkan perbedaan karakter fisik
buah. Pengurangan jumlah benang sari pada pepaya kategori kecil yang disertai dengan penyungkupan menunjukkan pengurangan jumlah biji, bobot biji, panjang
buah, diameter buah dan kandungan PTT daging buah. Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya
kategori kecil menyebabkan pengurangan bobot buah, tebal buah dan jumlah biji. Perkembangan buah menurut Gillaspy et al. 1993 terdiri dari tiga fase yaitu: 1.
perkembangan ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. pembelahan sel, pembentukan biji dan perkembangan awal embrio, 3. pembesaran sel dan
pematangan embrio. Sedangkan menurut Reid 1985 perkembangan buah meliputi beberapa tahap antara lain: pertumbuhan buah, pematangan, matang
fisiologis, pemasakan dan penuaan. Pertumbuhan melibatkan proses pembelahan sel dan diteruskan dengan pembesaran sel yang mempengaruhi ukuran maksimal.
118
Pada pepaya kategori besar pengurangan benang sari, cuping stigma dan penyungkupan menyebabkan penurunan pada karakter fisik buah seperti: panjang,
diameter, bobot buah, kekerasan dan tebal daging buah, jumlah biji dan bobot biji; tetapi tidak mengurangi kandungan karakter mutu kimia buah. Pengurangan
jumlah biji mempengaruhi bobot biji sehingga mengurangi ukuran buah. Karakter mutu kimia buah tidak berkurang, diduga banyak faktor yang mempengaruhi yang
belum dapat dijelaskan dari hasil percobaan ini. Tetapi menurut Nakasone 1986 dan Metzger 1995 perkembangan biji melibatkan aktivitas biokimia termasuk
pengaruh zat pengatur tumbuh endogen. Pengurangan cuping stigma bunga pepaya betina genotipe IPB 3 kategori
buah kecil mengurangi jumlah biji dan bobot biji. Dengan mengurangi cuping stigma bunga betina maka permukaan bunga yang memerangkap serbuk sari akan
berkurang sehingga kemungkinan penyerbukan berkurang yang akhirnya menyebabkan biji yang terbentuk akan berkurang. Menurut Weaver 1972 dan
Herrero et al. 1988 pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya
serbuk sari membentuk tabung sari dan masuk ke tangkai putik untuk mencapai bakal biji. Pembuahan terjadi saat serbuk sari membuahi sel telur di dalam bakal
buah sehingga keberhasilan penyerbukan pada stigma menentukan pembentukan biji pada buah.
Penghalangan penyerbukan
dengan menyungkup
bunga betina
menghasilkan buah pepaya yang tidak memiliki biji. Penyungkupan bunga menyebabkan stigma tidak terserbuki sehingga tidak terjadi pembuahan dan biji
tidak terbentuk. Menurut Nakasone 1986 penyungkupan bunga betina sebelum antesis pada pepaya tipe Hawaii menghasilkan buah tidak berbiji. Weaver 1972
dan Wattimena 1990 mengemukakan bahwa buah tanpa biji masih bisa berkembang dan bertahan karena adanya hormon auksin IAA dan sitokinin 2-
iP yang mencegah rontoknya buah. Fenomena perkembangan buah tanpa didahului dengan proses fertilisasi, tanpa adanya biji dikenal dengan partenokarpi.
Morfologi bunga betina menurut Samson 1980 dan Ronse Decreane dan Smets 1998 mempunyai lima cuping stigma yang menyerupai kipas tidak bertangkai,
tidak memiliki benang sari dan mempunyai bakal buah besar berbentuk bulat telur.
119
Pada buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 tidak ada pengaruh genotipe sumber serbuk sari terhadap mutu fisik dan kimia buah seperti: panjang buah,
diameter buah, bobot buah, persentase bobot dapat dimakan, kekerasan kulit dan daging buah, tebal daging buah, jumlah biji, bobot biji, kandungan padatan
terlarut total, asam tertitrasi total dan vitamin C. Ukuran buah biasanya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan teknik budidayanya, tetapi Sedgley dan
Griffin 1989 mengemukakan bahwa secara umum ukuran buah dan waktu pematangan buah dapat dipengaruhi oleh sumber serbuk sari yang menyerbuki
bunga, yang dikenal dengan fenomena metaxenia. Para peneliti buah-buahan sudah lama berpendapat bahwa tingkat kematangan buah sangat dipengaruhi oleh
tingkat kematangan biji, oleh karena itu efek metaxenia pada komponen buah buahan lainnya merupakan hal yang bisa dipelajari lebih lanjut.
Penelitian mengenai studi mutu buah pepaya dilakukan pada stadia kematangan berbeda dan waktu simpan berbeda, menunjukkan bahwa waktu petik
pepaya lebih baik berdasarkan persentase warna kuning pada kulit buah, bukan berdasarkan jumlah hari setelah antesis. Buah yang dipanen pada jumlah hari
setelah antesis yang sama dapat menunjukkan keragaan persentase warna kuning kulit buah yang berbeda sehingga mempengaruhi stadia kematangan buahnya.
Pengamatan mutu buah pepaya yang paling sesuai untuk tujuan konsumsi segar dilakukan pada stadia kematangan IV dari enam stadia kematangan buah pepaya
atau pada saat persentase warna kuning pada kulit buah 75 . Genotipe yang diamati pada umumnya memiliki mutu buah yang sama, tetapi pada karakter
tertentu beberapa genotipe lebih baik dari genotipe lainnya. Genotipe IPB 4 mempunyai kekerasan kulit buah paling lunak. Genotipe IPB 9 memiliki nilai
kekerasan daging buah lebih baik dari IPB 1, IPB 4 dan IPB 8. Pertumbuhan dan perkembangan buah sebagian besar selesai pada saat buah
tersebut masih menempel pada pohonnya, sedangkan proses pematangan dan senescence akan berlanjut pada saat buah masih di pohon atau setelah dipetik dari
pohonnya. Selama proses pematangan, terjadi perubahan-perubahan secara fisik dan kimia yang mempengaruhi kualitas buah. Perubahan terjadi pada kandungan
padatan total terlarut PTT, kandungan vitamin C, kelunakan buah, bobot buah, rasa buah serta perubahan warna kulit dan daging buah. Tekstur buah dipengaruhi
120
oleh kelembaban, kandungan serat dan lemak dalam buah. Senyawa pektin biasanya terdapat diantara dinding sel yang berfungsi sebagai perekat. Enzim
pembentuk senyawa pektin pada lamela tengah yaitu pektin methyl esterase PME dan polygalakturonase PG meningkat aktivitasnya pada waktu buah mengalami
pemasakan. Aktivitas enzim – enzim tersebut mengakibatkan pemecahan senyawa pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Proses pemasakan dapat menambah
jumlah senyawa pektin yang dapat larut dalam air dan mengurangi bagian yang tidak terlarut sehingga mengakibatkan sel mudah terpisah dan mengakibatkan
buah menjadi lunak Pantastico et al., 1986. Hasil penelitian keseluruhan dari mulai studi dasar morfologi bunga,
perilaku penyerbukan bunga, perkembangan buah dan karakter pematangan buah pepaya yang menentukan mutu buah adalah bunga pepaya lebih baik dibiarkan
melakukan penyerbukan alami supaya dapat menghasilkan buah bermutu optimum. Kelemahan mekanisme penyerbukan alami pada pepaya adalah sulit
mengendalikan konsistensi genetiknya karena sifat pembiakan tanaman pepaya secara generatif akan menghasilkan segregasi terutama dalam ekspresi seks
tanaman. Ekspresi seks tanaman menentukan bentuk buah pepaya sehingga mutu buah pepaya yang dihasilkan akan beragam. Oleh karena itu untuk menghasilkan
buah pepaya bermutu optimum diperlukan perakitan kultivar pepaya yang menggabungkan antara hibridisasi konvensional dengan metode perbanyakan
vegetatif melalui kultur jaringan. Hibrida yang dihasilkan dijaga stabilitasnya dengan teknik in vitro sehingga perbanyakan benih dalam skala luas dapat
dipertahankan dengan menghasilkan benih vegetatif yang true to type. Chan dan Teo 1994; Panjaitan et al. 2007 dan Hidaka et al. 2008 menyatakan bahwa
produksi benih vegetatif secara massal pada tanaman pepaya hermafrodit secara in vitro sudah dilakukan dengan berbagai metode.
VI . KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Umum
Informasi tentang penyerbukan dan morfologi bunga terkait dengan ekspresi seks tanaman dapat digunakan untuk mengatur bentuk, ukuran dan mutu
buah pepaya. Tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit
menghasilkan bunga hermafrodit dan ekspresi seks bunga tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga. Karakter bunga betina dan hermafrodit
pepaya genotipe IPB 1 mempunyai perbedaan dalam: bentuk bunga, keberadaan benang sari, jumlah lekukan pada tangkai kepala putik, perkembangan bunga
menjadi bakal buah 4-5 hari pada bunga betina, dan 5-7 hari pada bunga hermafrodit. Buah pepaya betina memiliki nisbah PanjangDiameter PD antara
1.1-1.5 sehingga bentuk buahnya membulat. Buah pepaya hermafrodit cenderung berbentuk lonjong dengan nisbah PD berkisar 1.5-2.3.
Letak benang sari terhadap stigma bunga pepaya IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 kategori buah kecil berdekatan, sedangkan pada genotipe pepaya IPB 2, IPB 7
dan IPB 8 kategori buah besar letak benang sari di bawah stigma. Tabung sari dalam empat jam perkecambahan untuk pepaya kategori buah kecil IPB 1, IPB 3
dan IPB 4 tumbuh paling panjang, sementara jarak antara stigma dengan bakal buah pendek. Pola pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya genotipe IPB
1 kategori buah kecil dan IPB 2 kategori buah besar adalah kurva sigmoid tunggal.
Penyerbukan bunga pepaya secara alami menghasilkan mutu buah yang baik. Pengendalian penyerbukan dengan pengurangan benang sari, pengurangan
cuping stigma pada bunga pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 kategori buah kecil menurunkan mutu kimia buah tetapi tidak mempengaruhi mutu fisik buah.
Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya genotipe IPB 3 menyebabkan pengurangan dalam
bobot buah, tebal daging buah dan jumlah biji. Pengurangan benang sari, pengurangan cuping stigma dan penyungkupan pada bunga pepaya hermafrodit
genotipe IPB 2 kategori buah besar menurunkan mutu fisik buah tetapi tidak
122
mengurangi mutu kimia buah. Pengurangan cuping stigma bunga betina genotipe IPB 3 mengurangi jumlah biji dan bobot biji. Penghalangan penyerbukan dengan
menyungkup bunga betina menghasilkan buah pepaya betina yang tidak berbiji. Mutu fisik dan kimia buah pepaya hermafrodit IPB 3 tidak dipengaruhi genotipe
sumber serbuk sari. Mutu buah pepaya yang paling sesuai untuk tujuan konsumsi segar adalah
pada stadia kematangan IV persentase warna kuning pada kulit buah 75 . Waktu petik buah pepaya berdasarkan persentase warna kuning pada kulit buah
menghasilkan mutu buah lebih baik daripada berdasarkan jumlah hari setelah antesis. Pepaya genotipe IPB 1, IPB 2A, IPB 3, IPB 3A, IPB 4, IPB 7, IPB 8, dan
IPB 9 pada umumnya memiliki mutu buah yang sama, tetapi pada karakter tertentu beberapa genotipe lebih baik dari genotipe lainnya. Kandungan padatan
terlarut total PTT dan Asam tertitrasi total ATT daging buah pepaya meningkat dengan semakin tua umur petik dan semakin lamanya waktu simpan.
Daya simpan buah pepaya yang paling lama terdapat pada genotipe IPB 10A yaitu 8-9 hari, sedangkan untuk genotipe lainnya mempunyai daya simpan yang sama
yaitu 6-7 hari.
Saran
1. Hasil penelitian morfologi bunga, pola penyerbukan dan perkembangan buah dapat digunakan sebagai dasar penyusunan strategi pemuliaan pepaya.
2. Penanaman pepaya untuk tujuan produksi dapat dilakukan dengan berbagai genotipe pada kebun berdekatan
.
3. Penentuan kriteria panen buah pepaya sebaiknya berdasarkan stadia warna
pada kulit buah.
DAFTAR PUSTAKA
Abeywickrama K, Wijerathna C, Rajapaksha N, Kannangara S, Sarananda K. 2008. Integrated disease control strategies for storage life lengthening of
papaya Red lady and Rathna varieties. Paper 4
th
. International Symposium on Tropical and Subtropical Fruits. Bogor 3-7 November 2008.
Acquaah G. 2002. Horticulture Principles and Practices. 2
nd
. New Jersey: Practice Hall. 786p.
Aizen MA, Searcy KB. 1998. Selective fruit filling in relation to pollen load size in Alstroemeria aurea Alstroemeriaceae. Sexual Plant Reproduction
113:166-170. Akamine EK, Goo T. 1971. Relationship between surface color development and
total soluble solids in papaya. HortScience 14:138-139. Al-Khalifah NS. 2006. Metaxenia: influence of pollen on the maternal tissue of
fruits of two cultivars of date palm Phoenix dactylifera L. Bangladesh J. Bot. 352:151-161.
Allan P. 1963. Pollen studies in Carica papaya: Germination and storage of pollen. South African J. Agric. Sci. 6:613-624.
An JF, Paull RE. 1990. Storage temperature and ethylene influence on ripening of papaya fruit. HortScience 115:949-953.
Ansari M, Davarynejad GH. 2008. Marked improvement of Hungarian sour cherries by cross-pollination II: fruit quality. Asian J. Plant Sciences
78:771-774. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1988.
Analisis Pangan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. 233 hal.
Arkle TD Jr., Nakasone HY. 1984. Floral differentiation in the hermaphroditic papaya. HortScience 196:832-834.
Arriola MC, Calzada JF, Menchu JF, Rolz C, Garcia R. 1980. Papaya. p.316-329. In Nagy S, Shaw PE eds.. Tropical and Subtropical Fruits Composition.
Properties and Uses. AVI Publ. Westport Connecticut. Ashari S. 2002. On The Agronomy and Botany of Salak Salacca zalacca. PhD
Thesis. Wageningen University. 126p. Badan Standardisasi Nasional. 2007. Rancangan Standar Nasional Indonesia.
Pepaya Carica papaya L.. Badan Standardisasi Nasional.
124
Bari L, Hasan P, Absar N, Haque ME, Khuda MIIE, Pervin MM, Khatun S, Hossain MI. 2006. Nutritional analysis of local varieties of papaya Carica
papaya L. at different maturation stages. Pakistan J. Biol. Sci. 9:137-140. Birth GS, Dull GG, Magee JB, Chan HT, Cavaletto CG. 1984. An optical
method for estimating papaya maturity. J.Amer.Soc.Hort.Sci. 1091:62-66. Bolat I, Pirlak L. 1999. An investigation on pollen viability, germination and tube
growth in some stone fruits. Turk. J. Agric. Forest. 9923: 383-388. Bron IU, Jacomino AP. 2006. Ripening and quality of ’Golden’ papaya fruit
harvested at different maturity stages. Brazil J. Plant Physiol. 183: 389- 396.
Broto W, Suyanti, Sjaifullah. 1991. Karakterisasi varietas untuk standardisasi mutu buah pepaya Carica papaya L.. J. Hort. 12:41-44.
Budiyanti T, Purnomo S, Karsinah, Wahyudi A. 2005. Karakterisasi 88 aksesi pepaya koleksi Balai Penelitian Tanaman Buah. Bul. Plasma Nutfah
111:1-9. Burke JJ, Velten J, Oliver MJ. 2004. In vitro analysis of cotton pollen germination.
Agron. J. 96:359-368. Büyükkartal HN. 2003. In vitro pollen germination and pollen tube characteristics
in tetraploid red clover Trifolium pratense L.. Turk. J. Bot. 27:57-61. Chan HT Jr. 1979. Sugar composition of papayas during fruit development.
HortScience 14 2: 140-141. Chan LK, Teo CKH. 1994. Culture of papaya explant in solid liquid media
sequence as a rapid method for producing multiple shoots. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 172: 103-106.
Chan YK, Napakoonwong U, Broto W, Huat KS, Espino RRC. 1994. Commercial Papaya Cultivars in ASEAN. p.5-17. In Yon RMd. ed.. Papaya Fruit
Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia.
Chan YK. 1994a. Seed production. p.32-34. In Yon RMd. ed.. Papaya Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN.
ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia. Chan YK. 1994b. Taksonomi pepaya. hal. 2-4. In Chan YK, Raveendranathan P,
Raziah ML, Choo ST eds.. Penanaman Betik. MARDI. Malaysia, Kualalumpur. Malaysia.
125
Chan YK. 1995. Development of F1 Hybrids for Papaya Carica papaya L. Seed Production and Performance of F1 Hybrids. Dissertation. University of
Malaya. Malaysia. 208 p. Chan YK. 2007. Stepwise priorities in papaya breeding. Acta Horticulturae 740.
Int’l Symposium on Papaya. Abstr.. Chay-Prove P, Ross P, O’Hare P, Macleod N, Kernot I, Evans D, Grice K,
Vawdrey L, Richards N, Blair A, Astridge D. 2000. Papaw Information Kit. Agrilink Series. Your Growing guide to Better Farming. Queensland
Horticulture Institute and Department of Primary Industries. Queensland. Nambour, Qld.
Cheung AY. 1996. Pollen pistil interactions during pollen tube growth. Trends in Plant Science 12:45-51.
Cohen E, Lavi U, Spiegel-Roy P. 1989. Papaya pollen viability and storage. Scientia Horticulturae 40:317-324.
Crane JC, Iwakiri BT. 1980. Xenia and metaxenia in pistachio. HortScience 152:184-185.
Crane MB, Brown AG. 1942. The causal sequence of fruit development. J. Genetic 442-3:160-168.
Cruden RW. 1977. Pollen-ovule ratios: a conservative indicator of breeding systems in flowering plants. Evolution 31:32-46.
Damasceno PC Jr., Pereira TNS, Pereira MG, Filho da Silva F, Souza MM, Nicoli RG. 2009. Preferential reproduction mode of hermaphrodite papaya plant
Carica papaya L; Caricaceae. Rev. Bras. Frutic. 311:1-7. Department of Health and Ageing. 2008. The Biology of Carica papaya L.
Papaya, Papaw, Paw paw. Office of the Gene Technology Regulator Australian Government. Australia. 55p. Department of Primary Industries.
Queensland. p.54-63. http:www.ogtr.gov.au. [17 Desember 2008].
Desai UT, Wagh AN. 1995. Papaya. p.297-313. In Salunkhe DK, Kadum SS eds.. Handbook of Fruit Science and Technology. Production,
Composition, Storage and Processing. Marcel Dekker, Inc.,New York. Direktorat Mutu dan Standardisasi. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian. 2009. Asean Standard Fruits. Asean Ministers on Agriculture and Forestry AMAF. Asean Economic Community.
Edmond JB, Senn TL, Andrews FS, Halfacre RG. 1997. Fundamentals of Horticulture 4
th
. New Delhi: TATA Mc Grow-Hill Book Publ. Co. LTD. 560 p.
126
Ehlenfeldt MK. 2003. Investigations of metaxenia in Northern highbush blueberry Vaccinium corymbosum L. cultivars. J. Amer. Pomological Soc.
571. Abstr. Emmanuel D, N’DaAdopo A, Camara B, Emmanuel M. 2009. Influence of
maturity stage of mango at harvest on its ripening quality. Fruits 64: 13-18. Erdtman G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy-Angiosperms An
Introduction to Polynology. I. Hafner Publ. Co. New York. 553 p. Fabi JP, Cordenunsi BR, Barreto GP, Mercadante AZ, Lajolo FM, Nascimento
Oliveira DO. 2007. Papaya fruit ripening: response to ethylene and 1- methylcyclopropene 1-MCP. J. Agric. Food Chemistry 5515:6118-6123.
Fagundes GR, Yamanishi OK. 2001. Physical and chemical characteristics of fruits of papaya tree from Solo group commercialized in 4 establishments in
Brasilia-DF. Rev. Bras. Frutic. 233:541-545. FAO. 2010. Statistik Database. http:faostat.fao.org. [20 Oktober 2010].
Fitch MMM. 2005. Carica papaya. Papaya. p.174-207 In Litz RE. Biotechnology of Fruit and Nut Crops. Biotechnology in Agriculture. No. 29. Cambridge,
MA, USA. Frankel R, Galun E. 1977. Pollination Mechanism, Reproduction and Plant
Breeding. Springer Verlag. New York. Galleta GJ. 1983. Pollen and seed management. p.23-35. In Moore JN, Janick J
eds. Methods in Fruit Breeding. Purdue Univ. Press. West Lafayette Ind. George ST, Pillai KR, Lim KH, Tham S, Mohamed ZA. 1992. Recent
development in assisted cross pollination to enhance yield of Durian clone D24. p.63-70 In Osman M, Mohamed ZA, Osman MS eds. Proceeding
Recent Development in Durian Cultivation. MARDI. Malaysia.
Gillaspy G, Ben-David H, Gruissem W. 1993. Fruits: A developmental prespective. The Plant Cell 5:1439-1451.
Harder LD, Thomson JD, Cruzan MB, Unnasch RS. 1985. Sexual reproduction and variation in floral morphology in an ephemeral vernal lily, Erythronium
americanum. Oecologia 672:286-291. Hassan HSA, Mostofa EAM, Enas, Ali AM. 2007. Effect of self, open and cross
pollination on fruit characteristic of some plum cultivars. J. Agric. Environ. Sci. 22:118-112.
Helyes L, Pék Z, Lugasi A. 2006. Tomato fruit quality and content depend on stage of maturity. HortScience 416:1400-1401.
127
Herrero M, Arbeloa A, Gascon M. 1988. Pollen-pistil interaction in the ovary in fruit trees. p.297-302. In Cresti M, Gori P, Pacini E eds.. Sexual
Reproduction in Higher Plants. Proccedings of the Tenth Intl. Symposium on Sexual Reproduction in Higher Plants. 30 May-4 June 1988. Siena, Italy.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Hidaka T, Sado K, Masahiko Y, Hiroshi F. 2008. Mass production of papaya Carica papaya L. saplings using shoot tip culture for commercial use.
South Pasific Studies 282: 87-95. Honsho C, Yonemori K, Somsri S, Subhadrabandhu S, Sugiura A. 2004. Marked
improvement of fruitset in Thai durian by artificial cross pollination. Sci. Hort. 101:399-406.
Janse J, Verhaegh JJ. 2004. Effect of varying pollen load on fruitset, seedset and seedling performance in apple and pear. Sexual Plant Reproduction J.
62:122-126. Jeong J, Huber DJ, Sargent SA. 2002. Influence of 1-methylcyclopropene 1-MCP
on ripening and cell-wall matrix polysaccharides of avocado Persea americana fruit. Postharv. Biol. Tech. 25:241-256.
Jindal KK, Singh RN. 1976. Sex determination in vegetative seedlings of Carica papaya by phenolic test. Scientia Horticulturae 4: 33-39.
Joyce D. 2001. The quality cycle. p.1-10. In Dris R, Niskanen R, Jain SM eds.. Crop Management and Postharvest Handling of Horticulture Products.
Science Publishers, Inc. New Hampshire, USA. Kader AA. 1985. Quality Factor: Definition and evaluation for fresh horticultural
crops. p.118-121. In Kader AA, Kasmire RF, Mitchell FG, Reid MS, Sommer NF, Thompson JF eds.. Postharvest Technology of Horticulture
Crops. Agriculture and Natural Resources Publication, University of California. USA.
Kadzere I, Watkins CB, Merwin IA, Akinnifesi FK, Saka JDK, Mhango J. 2006. Fruit variability and relationships between color at harvest and quality
during storage of Uapaca kirkiana Muell Arg. fruit from natural woodlands. HortScience 412:352-356.
Kalie MB. 2001. Bertanam Pepaya. Jakarta: Penebar Swadaya. 120 hal. Kamalkumar R, Amutha R, Muthulaksmi S, Mareeswari P, Rani WB. 2007.
Screening of dioecious papaya hybrids for papain yield and enzyme activity. Res. J. Agric. Biol. Sci. 35:447-449.
128
Kays SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. Van Nostrand Reinhold. New York. 532 p.
Kelly JK, Rasch A, Kalisz S. 2002. A method to estimate pollen viability from pollen size variation. American J. Botany 896:1021-1023.
Khan S, AP Tyagi and A Jokhan. 2002. Sex ratio in hawaiian papaya Carica papaya L. variety ‘solo’. S. Pac. J. Nat. Sci. 20: 22 – 24.
Krishna KL, Paridhavi M, Patel JA. 2008. Review on nutritional, medicinal and pharmacological properties of papaya Carica papaya L.. Nat.Prod.
Radiance 74:364-373. Kumar R, Sharma RL, Kumar K. 2003. Results of experiments on metaxenia in
apple. ISHS Acta Horticulturae 696: VII International Symposium on Temperate Zone Fruits in the Tropics and Subtropics-Part Two Abstr..
Kumcha U, Chaikiattiyos S, Prasatsri V. 2009. Varietal improvement of papaya Carica papaya L. for fresh consumption. ISHS Acta Horticulturae 787
Abstr.. Lalel HJD, Singh Z, Tan SC. 2003. Maturity stage after harvest affects fruit
ripening quality and biosynthesis of aroma volatile compound in Kensington Pride Mango. J. Hort. Sci. Biotechnol. 78:225-233.
Lazan H, Ali ZM, Liang KM, Yee KL. 1989. Polygalacturonase activity and variation in ripening of papaya fruit with tissue depth and heat treatment.
Physiol. Plant 77:93-98. Le Deunff E, Sauton A, Dumas C. 1993. Effect of ovular receptivity on seed set
and fruit development in cucumber Cucumis sativus L.. Sexual plant reproduction 62:139-146.
Magdalita PM, Drew RA, Godwin LD, Adkins SW. 1998. An efficient interspecific hybridisation protocol for Carica papaya L. x C. cauliflora
Jacq. Aust. J. Exp. Agric. 38:523-530. Magdalita PM, Valencia LD, Mercado CP, Duka IMA. 2007. Recent
developments in papaya breeding in the Philippines. Acta Horticulturae 740. Int’l Symposium on papaya. Abstr.
Malik CP. 1979. Current Advantages in Plant Reproductive Biology. New Delhi: Kalyani Publ. 351p.
Manenoi A, Bayogan ERV, Thumdee S, Paull RE. 2006. Utility of 1-ethylcyclo propane as a papaya postharvest treatment. Postharvest Biology and
Technology. 441:55-62.
129
Marcelis LFM. 1996. Sink strength as a determinant of dry matter partitioning in the whole plant. J. Exp. Bot. 47: 1281-1291.
Marcelis LFM. 1997. Effect of seed number on competition and dominance among fruits in Capsicum annum L. Annals of Botany 79: 687-693.
Matto AK, Murata T, Pantastico ErB, Chan Chin K, Phan CT. 1993. Perubahan- perubahan kimiawi selama pematangan dan penuaan, hal.160-197. Dalam
Pantastico ErB ed.. Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest
Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub-Tropical Fruits and Vegetables. Diterjemahkan oleh: Kamariyani, Tjitrosoepomo G. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta. 223 hal.
Metzger JD. 1995. Hormones and reproductive development. p.617-748. In Davies PJ ed.. Plant Hormones: Physiology, Biochemistry, and Molecular
Biology. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, London. Mizrahi Y, Mouyal J, Nerd A, Sitrit Y. 2004. Metaxenia in the vine cacti
Hylocereus polyrhizus and Selenicereus spp. Annals Bot. 934: 469-472. Monselise SP. 1986. Closing remarks. In Monselise SP ed. CRC Handbook of
Fruit Set and Development. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universtas Pangan dan Gizi. IPB. 412 hal.
Muda P, Angeles DE, Raveendranathan P, Kosittrakan M. 1994. Fruit growth and development. p.35-47. In Yon RMd ed.. Papaya: Fruit Development,
Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia.
Muhtaseb J, Ghnaim H. 2006. Effect of pollen source on productivity, maturity and fruit quality of ‘Hayyani’ date palm. J. Applied Horticulture 82: 170-
172. Nakasone HY. 1986. Papaya. Basic flower types in Carica papaya L. p.277-301.
In Monselise SP ed.. Handbook of Fruit Set and Development. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida
Nakasone HY, Paull RE. 1999. Papaya. p.239-269. In Atherton J, Rees A eds.. Tropical Fruits. Centre for Agriculture and Bioscience International Publ.
London. 445 p. Pahlavani MH, Abolhasani K. 2006. Xenia effect on seed and embryo size in
cotton Gossypium hirsutum L.. J. Appl. Genet. 474: 331-335.
130
Pal DK, Iyes CPA, Divakar NG, Selvaraj Y, Subramanyam MD. 1980. Studies on the physico chemical composition of fruits of twelve papaya varieties. J.
Food. Sci. Technol. 176:254-256. Pandey BP. 1997. Taxonomy of Angiosperms. S.Chand and Company Ltd. Ram
Nagar. New Delhi. Panjaitan SB, Aziz MA, Rashid AA, Saleh NM. 2007. In vitro planlet
regeneration from shoot tip of fieldgrown hermaphrodite papaya Carica papaya L. cv. Eksotika. Int. J. Agric. Biol. 96: 827-832.
Pantastico ErB, Subramanyam H, Bhatti MB, Ali N, Akamine EK. 1986. Petunjuk-petunjuk untuk pemanenan hasil, hal.91-19. In Pantastico ErB
ed.. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest
Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. Diterjemahkan oleh: Kamariyani, Tjitrosoepomo G. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Paterson AH, Felker P, Hubbell SP, Ming R. 2007. The fruits of tropical plant genomics. Tropical Plant Biol.
Paull RE, Chen NJ. 1983. Postharvest variation in cell wall degrading enzymes of papaya Carica papaya L. during ripening. Plant Physiol. 72:382 -385.
Paull RE. 1993. Pineaple and papaya. p.291-323. In Seymour G, Taylor L, Tucker G eds.. Biochemistry of Fruit Ripening. Chapman and Hall. London.
Paull RE, Gross K, Qiu Y. 1999. Changes in papaya cell walls during fruit ripening. Postharv. Biol. Tech. 16:78-89.
Persley DM, Ploetz RC. 2003. Diseases of papaya. p.373-406. In Ploetz RC ed.. Diseases of Tropical Fruit Crops. CABI Publ. Cambridge, USA.
Perveen AS, AliKhan, Abid R. 2007. Maintenance of pollen germination capacity of Carica papaya L. Caricaceae. Pakistan J. Bot. 395:1403-
1406. PKBT. 2004. Laporan Utama Riset Unggulan Strategis Nasional: Pengembangan
Buah-Buahan Unggulan Indonesia. Pepaya. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika - IPB. Bogor.
Popenoe W. 1974. Manual of Tropical and Subtropical Fruits. London: Hafner Press. 474 p.
Purnomo S. 1999. Renstra pemuliaan pengelolaan plasma nutfah dan perbenihan tanaman buah 1999-2007. Balai Penelitian Tanaman Buah. Solok. Sumatra
Barat.
131
Purwoko BS., Fitradesi P. 2000. Pengaruh jenis bahan pelapis dan suhu simpan terhadap kualitas dan daya simpan buah Pepaya. Bul. Agron. 282 : 66-
72.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes RI.
Jakarta. 77 hal. Reid MB. 1985. Product maturation and maturity indices. p.8-11. In Kader AA
ed.. Postharvest Technology of Horticulture Crops. Agriculture and Natural Resources Publ. Univ. California. USA.
Riazi GH, Rahemi M. 1995. The effect of various pollen sources on growth and development of Pistachia vera L. nuts. Acta Horticulturae 419:67-72.
Rodriguez P, Galan S, Herrero M. 1990. Evaluation of papaya autogamy. Fruits 454:387-391.
Ronse Decraene LP, Smets EF. 1999. The floral development and anatomy of Carica papaya Caricaceae. Can. J. Bot 77:582-598.
Samson JA. 1980. Tropical Fruits. 2
nd
Ed. UK: Longman Inc. 336 p. Sankat CK, Maharaj R. 1997. Papaya. p.167-189. In Mitra SK Ed.. Postharvest
Physiology and Storage of Tropical and Subtropical Fruits. CAB International. USA.
Sedgley M, Griffin AR. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. CA: Acad. Press. Inc. 378p.
Shimizu-Yumoto, H. , K. Ichimura. 2006. Senescence of Eustoma flowers as affected by pollinated area of the stigmatic surface. J. Japan. Soc. Hort. Sci.
75:66-71. Sibarani S, Anwar F, Rimbawan, Setioso B. 1986. Penuntun Praktikum Analisa
Zat Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Sims D. 2003. Chlorophyll Method. http:vcsars.calstatela.edulabdocuments chlorophyll-method.doc. [25 Februari 2008].
Sippel AD, Claassens NJF, Holtzhausen LC. 1989. Floral differentiation and development in Carica papaya cultivar ‘Sunrise Solo’. Scientia
Horticulturae 40:23-33. Somsri S, Fletcher R, Drew RA, Jobin M, Lawson W, Grahm M. 1998.
Developing molecular markers for sex prediction in papaya Carica papaya L. Acta Hort. 461:141-148.
132
Stephenson AG, Devlin B, Horton JB. 1988. The effect of seed number and prior fruit dominance on the pattern of fruit production in cucurbita pepo. Annals
Bot. 62: 653-661. Storey WB. 1976. Papaya, Carica papaya. p.21-24. In Simmonds NW ed.
Evolution of Crop Plants. Longman Inc, London. Storey WB. 1986. Carica papaya. p. 147-157. In Halevy AH ed. Handbook of
Flowering. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Subhadrabandhu S, Nontaswatsri C. 1997. Combining ability analysis of some
characters of introduced and local papaya cultivars. Scientia Horticulturae 71:203-212.
Sudarmaji S, Haryono B, Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. 138 hal.
Sujiprihati S, Suketi K. 2009. Budi Daya Pepaya Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010a. Karakter fisik dan kimia buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. J. Agron.
Indonesia. 38 1:60-66. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010b. Studi karakter
mutu buah pepaya IPB. J. Hortikultura Indonesia 11:17-26.
Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010c. Analisis kedekatan hubungan antar genotipe pepaya berdasarkan karakter morfologi
dan buah. J. Agron. Indonesia. 382:130-137. Suketi K, Sujiprihati S, Handayani TL. 2010. Peningkatan kualitas buah pepaya
betina melalui pengendalian penyerbukan. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura Indonesia. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi
dan Rantai Nilai Hortikultura. Perhorti – Universitas Udayana. 25-26 November 2010. Denpasar. Bali.
Suketi K, Sujiprihati S, Mellyawati, Suni D. 2007. Kajian pertumbuhan, ekspresi seks tanaman dan kualitas buah pepaya genotipe IPB 1 dan IPB 2 dengan
pupuk organik. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai Oleh Hibah Kompetitif. Bogor, 1-2 Agustus 2007.
Suketi K, Tuharea CIH, Widodo WD, Poerwanto R. 2011. Pollen viability and pollen tube growth of IPB’s papaya. J. Agron. Indonesia 391:43-48.
133
Suketi K, Widodo WD, Purba KD. 2007. Kajian daya simpan buah pepaya. hal. 300-305. Dalam: Rostini N, Nurmala T, Karuniawan A, Nuraini A, Amien
S, Ruswandi D, Qosim WA eds.. Prosiding Seminar dan Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia PERAGI. Pengembangan dan
Optimalisasi Produksi Komoditas Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Bioenergi. Bandung, 15-17 November 2007.
Sulaeman A, Clarke B, Thompson AK. 2001. Banana harvest maturity and fruit position on the quality of ripe fruit. Ann. Appl. Biol. 139:329-335.
Swingle WT. 1928. Metaxenia in the date palm possibly a hormone action by the embryo or endosperm. J. Heredity 196:257-268.
Tamaki M, Urasaki N, Sunakawa Y, Motomura K. 2011. Seasonal variations in pollen germination ability, reproductive function of pistils, and seed and
fruit yield in papaya Carica papaya L. in Okinawa. J. Japan. Soc. Hort. Sci. 802: 156-163.
Thompson AK, Bhatti MB, Rubio PP. 1989. Pemanenan. hal.371-387. Dalam: Pantastico ErB ed.. Fisiologi Pasca Panen: Penanganan dan Pemanfaatan
Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan dari: Postharvest Handling and Utilization of Tropical Fruit and Vegetables.
Diterjemahkan oleh: Kamaryani, Tjitrosoepomo G. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Verheij EWM. 1986. Towards a classification of tropical fruit trees. Physiology of Tree Fruits. Acta Horticulturae 175:137-150.
Vezvaei A, Jackson JF. 1995. Effect of pollen parent and stages of flower development on almond nut production. Australian J. Exp. Agric.
351:109-113. Villegas VN. 1997. Carica papaya L. p. 108-112. In Verheij EWM, Coronel RE
eds.. Edible Fruit and Nuts. Plant Resources of South-East Asia. PROSEA Foundation. Bogor. Indonesia.
Wahyudin DS. 1999. Daya Simpan Serbuk Sari Salak Salacca sp. pada Tingkat Kemasakan yang Berbeda. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 51 hal. Walters SA, Taylor BH. 2006. Effects of honey bee pollination on pumpkin fruit
and seed yield. HortScience. 412:370-373. Wang YQ, Zhang DX, Chen ZY. 2004. Pollen histochemistry and pollen : ovule
ratios in zingiberaceae. Annals Botany. London. 94: 583-591. Wattimena GA. 1990. Biosintesis dan Metabolisme dari Sitokinin. Lab Kultur
Jaringan Tanaman-PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
134
Weaver RJ. 1972. Friut set and development. p. 222-290 In Weaver RJ. ed. Plant Growth Substances in Agriculture. W. H. Freeman and Co. San
Fransisco. Widodo, WD. 2000. Seedlessness Induction by Antibiotics and Its Mechanism in
Grapes. Doctorate Thesis. Okayama University. Widodo, WD, Sujiprihati S, Febriyanti N. 2010. Studi metaxenia pada buah
pepaya genotipe IPB 9. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura Indonesia. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai
Hortikultura. Perhorti – Universitas Udayana. 25-26 November 2010. Denpasar. Bali.
Wills RBH, McGlasson WB, Graham D, Joyce D. 1998. Postharvest, An Introduction to The Physiology and Handling of Fruit and Vegetable.
Wallingford: CABI International. 262 p. Wills RBH, Widjanarko SB. 1995. Changes in physiology, composition and
sensory characteristics of Australian papaya during ripening. Austr. J. Exp. Agric. 358:1173-1176.
Winarno FG, Wirakartakusumah A. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya. Jakarta. 97 hal.
Yon RMd., Serrano EP. 1994. Handling Systems. p.105-110. In Yon RMd. ed.. Papaya: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and
Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia.
Yon RMd. 1994. Introduction: General characteristics of the papaya. p. 1-4. In Yon RMd. ed.. Papaya: Fruit Development, Postharvest Physiology,
Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia.
Yu Q, Navajas-Perez R, Tong E, Robertson J, Moore PH, Paterson AH, Ming R. 2007. Recent origin of dioecious and gynodioecious Y chromosomes in
papaya. Tropical Plant Biol. 12:1-9. Yu Q, Steiger D, Kramer EM, Moore PH, Ming R. 2007. Floral MADS-box genes
in trioecious papaya: characterization of AG and AP1 subfamily genes revealed a sex-type-spesific gene. Tropical Plant Biol. 10:1-11.
Zebrowska J. 1997. Factors affecting pollen grain viability in the strawberry Fragaria x ananassa Duch.. J. Hort. Sci. 722:213-219.
Zhou L, Paull RE. 2001. Sucrose metabolism during papaya Carica papaya fruit growth and ripening. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 1263:351-357
ABSTRACT
KETTY SUKETI. Study on flower morphology, pollination and fruit
development of IPB’s papaya for fruit quality control. Supervised by: ROEDHY POERWANTO as the chairman, SRIANI SUJIPRIHATI, SOBIR and WINARSO
D. WIDODO as the member of advisory committee.
The purpose of this study were to identify the mechanism of flowering and fruit development of IPB’s papaya for fruit quality control. This experiments were
consisted study of: papaya flower morphology, papaya pollen viability and pollen tube growth, pollination and fruit development, and papaya fruit quality for
papaya fruit quality control. The general conclusion from this study is that information about pollination and flower morphology associated with sex
expression of plants can be used to control the shape, size and quality of papaya fruit Female plants produce pistillate flowers and hermaprodite plants produce
hermaphrodite flowers and sex expression of flowers became known after the flowering plants. Hermaphrodite flower development until the fruitset formed will
occur much longer than pistillate flower. Location of the stamen to the stigma of papaya small fruit and large fruit categories were different. Hermaphrodite style
flower of IPB 1 genotype has irregular and unstable shape of lobe, in the other hand pistillate style flower has five lobes. The purpose of the pollen germination
research was to examine the fertilization process in terms of papaya pollen germination process and growth rate of pollen tubes. Average length of pollen
tube within four hours of germination for small papaya fruit category IPB 1, IPB 3, and IPB 4 was long, while the distance between stigma and base of ovary was
short so that the expected of fertilization process occurred sooner. Pollination by decreasing the number of stamens in hermaphrodite papaya flower of IPB 3
genotype small fruit category resulted in reduction of the chemical characteristics but not the physical characteristics of the fruit. Bagging and
reduction of stigma lobes of hermaphrodite flowers IPB 3 causes a reduction in fruit weight, fruit flesh thickness and seed number. In the large fruit category of
papaya IPB 2 genotype reduction of stamens, stigma lobes and bagging in hermaphrodite papaya flower IPB 2 causes a decrease in physical characteristics
of the fruit but does not reduce the chemical characteristics of the fruit. Reduction of stigma lobes of pistillate flowers IPB 3 affects the number of seeds and seed
weight. Isolated pollination by bagging pistillate flower of IPB 3 genotype was showed seedless fruit. There is no metaxenia effect or no effect of genotype on
pollen sources on physical and chemical characteristics of hermaphrodite IPB 3. The IPB 1 genotype could be harvested at all stadia of maturity stage: stadium
25 130 DAA-Days after anthesis, 50 135 DAA and 75 140 DAA. The other genotype could be harvested at stadium 25 ripe and consumed at 75
ripe. There was no significant different on physical and chemical characteristics between papaya at stadium 75 and 100 ripe. Flesh firmness of IPB 9 genotype
was better than IPB 1, IPB 4 and IPB 8. The longest shelf life was shown by IPB 10A 8-9 days after picking, while the other genotypes had a similar shelf life of
6-7 days.
Keyword : flower morphology, pollen viability, pollen tube, pollination, fruit
development, fruit quality, pistillate, hermaphrodite.
RINGKASAN
KETTY SUKETI. Studi morfologi bunga, penyerbukan dan perkembangan buah
sebagai dasar pengendalian mutu buah pepaya IPB. Komisi Pembimbing: ROEDHY POERWANTO Ketua, SRIANI SUJIPRIHATI, SOBIR dan
WINARSO D. WIDODO Anggota.
Tujuan dari studi ini ialah: untuk mengetahui keragaan morfologi bunga pepaya IPB; mengetahui fisiologi pembuahan melalui viabilitas dan pertumbuhan
tabung sari pepaya; mengetahui pengaruh penyerbukan terhadap mutu buah pepaya IPB 3 dan IPB 2, dan karakter mutu buah yang dapat dijadikan dasar
pengendalian mutu buah pepaya. Penelitian dilakukan dengan percobaan- percobaan yang terdiri dari studi: morfologi bunga, viabilitas dan pertumbuhan
tabung sari, penyerbukan bunga dan mutu buah pepaya. Kesimpulan umum dari penelitian ini ialah informasi tentang penyerbukan dan morfologi bunga terkait
dengan ekspresi seks tanaman dapat digunakan untuk mengatur bentuk, ukuran dan mutu buah pepaya.
Tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit serta ekspresi seks bunga tanaman pepaya baru
diketahui setelah tanaman berbunga. Letak benang sari yang berdekatan dan di atas stigma bunga terdapat pada bunga pepaya kategori buah kecil, sedangkan
letak benang sari lebih jauh dan di bawah stigma bunga terdapat pada kategori buah sedang dan buah besar. Bunga hermafrodit genotipe IPB 1 menunjukkan
ketidak teraturan jumlah lekukan pada tangkai kepala putik, berbeda dengan lekukan pada tangkai kepala putik bunga betina IPB 1 yang konsisten berjumlah
lima lekukan. Perkembangan bunga betina genotipe IPB 1 sampai terbentuk bakal buah berlangsung selama 4-5 hari, sedangkan pada hermafrodit lebih lama yaitu
sekitar 5-7 hari.
Hubungan viabilitas yang dicerminkan oleh daya berkecambah serbuk sari dan kecepatan pertumbuhan tabung sari dapat dijadikan parameter penduga
keberhasilan proses pembuahan pada pepaya. Tabung sari dalam empat jam perkecambahan untuk pepaya kategori buah kecil IPB 1, IPB 3 dan IPB 4
tumbuh paling panjang, sementara jarak antara stigma dengan bakal buah pendek sehingga diduga proses pembuahan akan terjadi lebih cepat dibandingkan pada
pepaya kategori buah lainnya.
Pengurangan benang sari pada buah pepaya kategori kecil IPB 3 mengakibatkan pengurangan karakter kimia buah tetapi tidak pada karakter fisik
buah. Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya kategori buah kecil menyebabkan pengurangan dalam
bobot buah, tebal buah dan jumlah biji. Pada pepaya kategori buah besar IPB 2 pengurangan benang sari, cuping stigma dan penyungkupan menyebabkan
penurunan pada karakter fisik buah tetapi tidak mengurangi mutu kimia buah. Pengurangan cuping stigma bunga betina IPB 3 mempengaruhi jumlah biji dan
bobot biji yang terbentuk. Penyungkupan bunga betina genotipe IPB 3 menghasilkan buah pepaya betina yang tidak berbiji. Mutu karakter fisik dan
kimia buah hermafrodit IPB 3 tidak dipengaruhi oleh genotipe sumber serbuk sari sehingga tidak ada efek metaxenia pada buah pepaya hermafrodit IPB 3.
Buah pepaya genotipe IPB 1 dapat dipanen pada stadia kematangan buah 25 130 HSA-Hari setelah antesis, 50 135 HSA dan 75 140 HSA.
Genotipe lainnya dapat dipanen pada stadia kematangan buah 25 dan dikonsumsi pada stadia kematangan 75. Karakter mutu fisik dan kimia buah
tidak berbeda.pada stadia warna kuning kulit buah 75 dan 100. Genotipe IPB 9 memiliki nilai kekerasan daging buah lebih baik dari IPB 1, IPB 4 dan IPB 8.
Kandungan vitamin C ascorbic acid dan karoten genotipe IPB 4 lebih besar dari IPB 2A, IPB 3A. Buah genotipe IPB 10 A memiliki daya simpan 8-9 hari,
sedangkan daya simpan buah genotipe lainnya rata-rata mencapai 6-7 hari.
Kata kunci:
hermafrodit, betina, penyerbukan, tabung sari, serbuk sari, mutu buah pepaya.
STUDI MORFOLOGI BUNGA, PENYERBUKAN DAN PERKEMBANGAN BUAH SEBAGAI DASAR
PENGENDALIAN MUTU BUAH PEPAYA IPB
KETTY SUKETI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
I. PENDAHULUAN UMUM