Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya genotipe IPB 1 selama Penyimpanan dan Pematangan Buatan

(1)

GENOTIPE IPB 1 SELAMA PROSES PENYIMPANAN DAN

PEMATANGAN BUATAN

ATIKA HAMAISA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) Genotipe IPB 1 selama Proses Penyimpanan dan Pematangan Buatan adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalm bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2008

Atika Hamaisa


(3)

ATIKA HAMAISA. Effect of Maturity Stage to Quality of Papaya (Carica papaya L.) IPB 1 genotype during Storage and Artificial Ripening Process. Under the supervision of SUTRISNO and Y. ARIS PURWANTO

Papaya (Carica Papaya L.) is one of famous tropical fruits and consumed by people because of its softness, interesting color, sweetness, and high nutrition contents. The main problem of papaya fruit is very perishable characteristic because of the thin peel to be very sensitive of wounds and collision, which caused microorganism activities. Storage at low temperature is one of the method to maintain the shelf life of papaya fruit. The objectives of this study were to determine the effects of maturation stages and storage temperature on the shelf life and to evaluate the quality changes during storage and after ripening process of papaya fruit. Papaya IPB 1 genotype used in this study was harvested from Center for Tropical Fruit Studies (PKBT-IPB). The results indicated that the papaya IPB 1 genotype harvested at 0% maturity stage and stored at 10°C has the longest shelf life of 20 day, while the shortest shelf life of 14 day was occurred for papaya IPB 1 genotype harvested at maturity stage of 10% and stored in storage temperature of 15°C. Papaya IPB 1 genotype harvested at 0% maturity stage and stored at 10°C had better quality than other treatments.


(4)

ATIKA HAMAISA. Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) genotipe IPB 1 selama Penyimpanan dan Pematangan Buatan. Dibimbing oleh SUTRISNO dan Y. ARIS PURWANTO.

Penyimpanan dingin diperlukan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran buah pepaya hingga sampai ke tangan konsumen dalam keadaan baik. Untuk meningkatkan mutu juga dilakukan dengan pematangan buatan (artificial ripening) dengan menggunakan etilen sebagai trigger pada konsentrasi optimum agar diperoleh kecerahan warna, keseragaman kematangan dan menghindari rasa pahit pada saat buah berwarna merah. Selain itu, mutu buah pepaya juga ditentukan oleh stadia kematangan buah pada saat buah dipanen. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat ketuaan terhadap mutu buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan dan pematangan buatan, menganalisis pengaruh suhu terhadap perubahan mutu buah pepaya selama penyimpanan dan pematangan buatan, menganalisis pengaruh lama penyimpanan terhadap mutu buah pepaya selama perlakuan penyimpanan dingin dan pematangan buatan, dan mengkaji perubahan fisik maupun kimia buah pepaya selama pematangan buatan.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2007 sampai September 2007 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terdiri 3 faktor dengan 2 ulangan. Faktor pertama (A) yaitu lama penyimpanan dengan 3 taraf: 10 hari penyimpanan, 12 hari penyimpanan, dan 14 hari penyimpanan. Faktor kedua (B) yaitu tingkat ketuaan dengan 2 taraf: tingkat ketuaan 0% dan tingkat ketuaan 10%. Sedangkan faktor ketiga (C) yaitu suhu penyimpanan dengan 2 taraf: suhu 10°C, dan suhu 15°C. Pematangan buatan pada pepaya dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C dilakukan setelah penyimpanan selama 10, 12, 14, 16, 18 dan 20 hari dan suhu 15°C setelah penyimpanan selama 10, 12, 14, dan 16 hari. Sedangkan pematangan buatan pada pepaya dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 10°C dilakukan setelah penyimpanan selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari dan suhu 15°C setelah penyimpanan selama 10, 12, dan 14 hari. Buah pepaya dimasukkan ke dalam stoples dan disuntikkan etilen 100 ppm dengan perlakuan suhu pemeraman 20°C selama 24 jam. Selanjutnya, pepaya dibiarkan di udara terbuka dan dilakukan pengamatan parameter mutu.

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan 10% dan disimpan di suhu 10°C memiliki laju respirasi yang lebih rendah dibanding 15°C selama proses penyimpanan. Rata-rata laju produksi CO2 buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C dan 15°C adalah 4.46 ml/kg jam dan 10.68 ml/kg jam; dan buah pepaya dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 10°C dan 15°C adalah 6.60 ml/kg jam dan 10.26 ml/kg jam. Puncak klimakterik buah pepaya genotipe IPB 1 setelah diberi perlakuan pematangan buatan umumnya terjadi semakin cepat seiring dengan lama penyimpanan. Semakin lama buah pepaya disimpan maka puncak klimakterik terjadi lebih cepat.


(5)

kuning (b*) dan lama penyimpanan hanya berpengaruh terhadap susut bobot. Namun secara umum buah pepaya yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan disimpan pada suhu 10°C memiliki daya simpan yang paling lama yaitu hingga 20 hari serta dapat mempertahankan mutu buah pepaya genotipe IPB 1 (susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan warna) lebih baik dibanding perlakuan lainnya.


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

GENOTIPE IPB 1 SELAMA PROSES PENYIMPANAN DAN

PEMATANGAN BUATAN

ATIKA HAMAISA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Nama : Atika Hamaisa NRP : F051050021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pasca Panen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(9)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya kepada penulis sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga September 2007 ini adalah penyimpanan, dengan judul Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) genotipe IPB 1 selama Penyimpanan dan Pematangan Buatan

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc selaku pembimbing serta Ibu Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar/dosen serta seluruh staf pegawai atas ilmu, bantuan dan kerjasamanya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman TPP 2005, TEP 2005, dan semua anggota tim proyek Program Insentif Riset Terapan Ristek, 2007 atas bantuan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada papa, mama, ombai, adik-adikku dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008

Atika Hamaisa


(10)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 29 Januari 1982 dari ayah Kosasih Achyar, SH dan ibu Dra. Asmiati. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2005. pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Teknologi Pascapanen.

Selama mengikuti program S2, penulis menjadi panitia pada Lokakarya Nasional Peningkatan Dayasaing Beras Nasional melalui Perbaikan Kualitas pada bulan September 2006 di Jakarta, pemakalah pada Seminar Nasional XIII PERSADA pada bulan Agustus 2007 di Bogor, dan pemakalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan, PERTETA pada bulan November 2007 di Bandar Lampung.


(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Hipotesis ... 2

C. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Pepaya ... 3

B. Pepaya genotipe IPB 1 ... 4

C. Kandungan Kimia dan Gizi Buah Pepaya ... 5

D. Tingkat Ketuaan Buah Pepaya ... 5

E. Penyimpanan ... 7

F. Pematangan Buatan ... 9

G. Teknologi Near Infra Red (NIR) ... 11

III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat ... 13

B. Bahan dan Alat ... 13

C. Persiapan Bahan ... 14

D. Tahapan Penelitian ... 14

1. Penelitian Pendahuluan ... 14

2. Penyimpanan Dingin ... 15

3. Pematangan Buatan ... 16

E. Pengamatan ... 16

1. Laju Respirasi ... 16

2. Susut Bobot ... 17

3. Warna Kulit Buah ... 17

4. Kekerasan dan Padatan Terlarut Total ... 18

F. Rancangan Percobaan Penelitian ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Lama Penyimpanan ... 21

B. Laju Respirasi ... 22

C. Susut Bobot ... 29

D. Total Padatan Terlarut (TPT) ... 33

E. Kekerasan Buah ... 38

F. Warna Buah ... 42


(12)

xi

2. Derajat Warna Kuning (b*) ... 45

G. Pembahasan umum ... 47

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. Simpulan ... 52

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Deskripsi buah pepaya genotipe IPB 1 ... 4 2 Lama penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1 ... 21


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Buah Pepaya genotipe IPB 1 ... . 5 2 Buah pepaya IPB 1: (a) tingkat ketuaan 0% dan (b) tingkat ketuaan 10%.. 14 3 Diagram alir pelaksanaan penelitian ... ... 15 4 Laju Produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 24

5 Laju Produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 25

6 Gejala penyakit yang terdapat pada permukaan kulit buah pepaya

IPB 1 setelah pematangan buatan ... 28 7 Susut bobot buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0%

selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 30

8 Susut Bobot buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 31

9 Total Padatan Terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 35

10 Total Padatan Terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 36

11 Kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 40

12 Kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,

(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 41

13 Nilai perbandingan derajat kecerahan (L*), derajat warna hijau (a*),


(15)

xiv 14 Derajat warna hijau (a*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat

ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C... 44

15 Derajat warna hijau (a*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 44

16 Derajat warna kuning (b*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C... 46

17 Derajat warna kuning (b*) buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan:

(a) suhu ruang,(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C ... 46

18 Produksi CO2 kumulatif dan kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan ... 49

19 Produksi CO2 kumulatif dan kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan ... 49


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1a Sidik ragam laju produksi CO2 (ml/kg jam) rata-rata buah pepaya

genotipe IPB 1 ... 58

1b Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan tingkat ketuaan terhadap

laju produksi CO2 (ml/kg jam) rata-rata buah pepaya genotipe IPB 1 ... 58

2a Sidik ragam susut bobot (%) rata-rata buah pepaya genotipe IPB 1 ... 59

2b Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan lama penyimpanan terhadap

Susut bobot rata-rata (%) buah pepaya genotipe IPB 1 ... 59

2c Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan suhu penyimpanan terhadap

Susut bobot rata-rata (%) buah pepaya genotipe IPB 1 ... 59

3 Sidik ragam total padatan terlarut (°Brix) buah pepaya genotipe IPB 1 .... 60

4 Sidik ragam kekerasan (kgf) buah pepaya genotipe IPB 1 ... 60

5 Sidik ragam derajat warna hijau (a*) rata-rata buah pepaya genotipe

IPB 1 ... 61

6a Sidik ragam dan uji lanjut derajat warna kuning (b*) rata-rata buah

pepaya genotipe IPB 1 ... 61

2c Hasil uji lanjut Duncan untuk perlakuan suhu penyimpanan terhadap

derajat warna kuning (*b) rata-rata buah pepaya genotipe IPB 1 ... 61

7 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama penyimpanan ... 62

8 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 10% selama penyimpanan ... 63

9 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama pematangan buatan ... 64

10 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama pematangan buatan ... 65

11 Pengukuran konsentrasi etilen didalam stoples dengan menggunakan gas Kromatografi ... 66


(17)

(18)

A. Latar belakang

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah tropis yang sangat digemari sehingga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Buah ini disukai karena tekstur buah yang lunak, warna yang menarik, rasa yang manis, dan kandungan vitaminnya yang cukup tinggi. Di Indonesia, permintaan masyarakat terhadap buah pepaya cukup tinggi. Banyaknya permintaan terhadap buah pepaya diikuti dengan meningkatnya produksi buah tersebut. Menurut data BPS (2007), produksi pepaya di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2000 hingga 2004 yaitu 429 207 ton pada tahun 2000, 605 194 ton pada tahun 2002, dan 732 611 ton pada tahun 2004. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2005 yaitu hingga mencapai 548 657 ton dan kembali mengalami peningkatan yaitu 643 451 ton pada tahun 2006.

Masalah utama buah pepaya adalah sifatnya yang mudah rusak (perishable) karena kulit yang dimilikinya tipis sehingga sangat rentan terhadap benturan dan luka yang memungkinkan terjadinya aktivitas mikroorganisme. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas buah bahkan dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar. Sifat perishable pada buah pepaya ini juga mengakibatkan singkatnya selang waktu antara saat panen dan konsumsi apabila tidak mendapat perlakuan untuk memperpanjang masa simpannya ( shelf-life).

Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memberikan perlakuan penyimpanan pada ruang dingin (cold storage). Penyimpanan dingin yang dilakukan juga harus memenuhi persyaratan suhu rendah optimal untuk buah yang akan disimpan karena penggunaan suhu rendah yang tidak sesuai dapat menyebabkan kerusakan. Pantastico (1986) menyatakan kerusakan karena pendinginan merupakan penyebab kerugian-kerugian ekonomis yang besar bagi buah-buahan selama penyimpanan dan pengangkutan, terutama bila waktu pengangkutannya diperpanjang dari semestinya. Penyimpanan dingin diperlukan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran buah pepaya hingga sampai ke tangan konsumen dalam keadaan baik. Selain itu diperlukan juga


(19)

pematangan buatan (artificial ripening) dengan menggunakan etilen pada konsentrasi optimum untuk mendapatkan kecerahan warna, kematangan seragam dan menghindari rasa pahit pada saat buah berwarna merah.

Selain perlakuan penyimpanan pada suhu rendah dan pematangan buatan, kualitas buah pepaya juga ditentukan oleh stadia kematangan buah pada saat buah dipanen. Kays (1991) menyatakan bahwa stadia kematangan buah pada saat buah dipanen merupakan faktor penting yang menentukan ketahanan buah dari kerusakan-kerusakan setelah panen. Mutu yang baik akan diperoleh jika pemanenan dilakukan pada tingkat kematangan yang tepat. Penundaan waktu pemanenan buah akan meningkatkan kepekaan buah terhadap proses pembusukan sehingga mutu dan nilai jualnya rendah (Pantastico, 1986).

B. Hipotesis

Tingkat ketuaan, suhu dan lama penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1 dapat berpengaruh terhadap mutu buah setelah proses pematangan buatan baik secara fisik maupun kimia.

C. Tujuan

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengkaji tingkat ketuaan terhadap mutu buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan dan pematangan buatan. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Menganalisis pengaruh suhu terhadap perubahan mutu buah pepaya selama penyimpanan dan pematangan buatan

(2) Menganalisis pengaruh lama penyimpanan terhadap mutu buah pepaya selama perlakuan penyimpanan dingin dan pematangan buatan, dan

(3) Mengkaji perubahan fisik maupun kimia buah pepaya selama pematangan buatan.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Pepaya

Papaya (Carica papaya L.) berasal dari Amerika tropik, kemudian dibawa ke kepulauan Karibia dan Asia Tenggara semasa penjelajahan orang-orang Spanyol pada abad ke-16, dan dengan cepat menyebar ke India, Oseania, dan Afrika, serta kini tersebar ke seluruh daerah tropik dan subtropik hangat di dunia (Villegas, 1997). Pepaya dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Suhu udara optimum 22-26°C, curah hujan 1 000-2 000 mm/tahun. Tanaman pepaya dapat hidup dan berkembang di segala tipe tanah, namun tanah yang subur, remah (gembur), drainase baik dan pH tanah sekitar netral (6-7) lebih sesuai untuk tanaman pepaya (Ashari, 1995).

Pepaya tergolong tanaman yang memerlukan cahaya penuh, bila mendapat cahaya matahari penuh atau diproduksi pada musim kemarau akan menghasilkan produk yang menarik: warnanya kuning cerah dan penampilannya mulus. Hal tersebut akan berbeda dengan buah yang dihasilkan dari pohon yang ditanam secara terlindung atau dihasilkan pada musim hujan. Begitu pula buah pepaya yang dihasilkan dari dataran tinggi, warnanya tidak akan secerah atau sekuning buah yang ditanam di daerah dataran rendah (Kalie, 2007).

Pepaya merupakan tanaman yang tumbuhnya cepat, tingginya 2-10 m, umumnya tidak bercabang, kadang-kadang bercabang karena terjadi pelukaan, mengandung getah putih pada seluruh batangnya. Batangnya berbentuk silinder, berdiameter 10-30 cm, berongga, memiliki lampang (scar) daun yang jelas serta jaringan serat berbunga karang. Daun-daunnya tersusun spiral, berkelompok dekat dengan ujung batang; tangkai daunnya mencapai panjang 1 m, berongga, kehijau-hijauan atau hijau kelembayungan; lembaran daunnya berbentuk bundar, berdiameter 25-75 cm, bercuping 7-11 cm, menjari dalam, tidak berbulu, bervena menonjol, cuping-cupingnya bergerigi dalam dan lebar. Memiliki bunga jantan, bunga betina, atau bunga hermafrodit, berada di ketiak daun dan terdapat pada pohon yang terpisah.

Buahnya bertipe buah buni berdaging, berbentuk bulat telur-lonjong sampai hampir bulat atau berbentuk avokad, berbentuk silinder atau berlekuk,


(21)

panjangnya 7-30 cm, bobotnya mencapai 10 kg; kulit buahnya tipis, halus, jika matang berwarna kuningan atau jingga; dagingnya berwarna kekuning-kuningan sampai jingga-merah, dapat dimakan, rasanya manis, dengan aroma yang lembut dan sedap; rongga tengahnya bersudut 5, bijinya bulat, berdiameter 5 mm, berwarna hitam atau kehijau-hijauan, jumlahnya banyak, melekat di dinding dalam bakal buah, tersusun dalam 5 baris, terbungkus oleh sarkotesta yang berlendir (Villegas, 1997).

B. Pepaya genotipe IPB 1

Pepaya genotipe IPB 1 merupakan salah satu pepaya hasil pemuliaan Pusat Kajian Buah Tropik (PKBT) IPB.

Tabel 1. Deskripsi pepaya genotipe IPB 1

No. Deskripsi

1. Bentuk buah lonjong 2. Warna daging buah jingga 3. Ukuran buah kecil

4. Panjang buah : 17 ± 2 cm 5. Diameter buah : 8.75 ± 1 cm 6. Bobot per buah : 630 ± 199 g 7. Kadar air : 88 ± 2 %

8. Kadar vitamin C : 122 ± 30 mg/100 g

9. Rasa daging buah : 11-12 °Brix (sangat manis) 10. Umur berbunga : 138 ± 9 hst (hari setelah tanam) 11. Umur petik : ± 140 hsa (hari setelah anthesis)

Sumber: Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (2004)

Wilayah pemasaran buah pepaya IPB 1 saat ini hanya sebatas wilayah Jakarta dan sekitar Bogor karena produksinya masih terbatas dan lebih banyak digunakan untuk keperluan penelitian.


(22)

Gambar 1. Buah pepaya genotipe IPB 1.

C. Kandungan Kimia dan Gizi Buah Pepaya

Rata-rata 60% dari buah pepaya matang dapat dimakan. Kandungan rata-rata per 100 g bagian yang dapat dimakan adalah 86.6 g air, 0.5 g protein, 0.3 g lemak, 12.1 g karbohidrat, 0.7 g serat, 0.5 g abu, 204 mg kalium, 34 mg kalsium, 11 mg fosfor, 1 mg besi, 450 mg vitamin A, 74 g vitamin C, 0.03 mg tiamin, 0.5 mg niasin, dan 0.04 mg riboflavin. Nilai energinya 200 kJ/100 g. Gula-gula utamanya ialah sukrosa (48.3%), glukosa (29.8%), dan fruktosa (21.9%) (Villegas, 1997).

D. Tingkat Ketuaan Buah Pepaya

Tingkat kematangan buah merupakan faktor penting yang mempengaruhi ketahanan buah dari kerusakan mekanik. Beberapa jenis buah mengalami perubahan yang nyata pada teksturnya selama proses pematangannya, tekstur


(23)

buah menjadi semakin lunak yang menyebabkan semakin besar potensi terjadinya kerusakan mekanis. Karena itu, beberapa jenis buah dipanen sebelum buah-buahan tersebut mencapai tingkat kematangan yang sempurna (Kays, 1991).

Namun pemanenan pada buah juga perlu memperhatikan tingkat ketuaan yang tepat karena dapat mempengaruhi mutunya. Pantastico et al. (1986) menyatakan bahwa buah-buahan yang belum masak, bila dipanen akan menghasilkan mutu jelek dan proses pematangan yang salah. Sebaliknya penundaan waktu panen dapat meningkatkan kepekaan buah-buahan itu terhadap pembusukan yang mengakibatkan mutu dan nilai jualnya rendah.

Hasil penelitian Dasuki (1992) pada buah pisang Ambon Buai menyatakan bahwa buah pisang Ambon Buai yang dipetik pada derajat ketuaan 2 minggu setelah derajat ketuaan komersial memberikan nilai mutu yang terbaik dibandingkan dengan buah yang dipetik pada derajat ketuaan yang lebih muda, hal ini dikarenakan buah yang dipanen lebih tua kandungan karbohidrat hasil asimilasi yang terjadi adalah optimal. Buah pisang Ambon Buai yang dipanen pada derajat ketuaan lebih muda mempunyai tingkat respirasi yang lebih rendah, hal ini disebabkan karena buah masih dalam proses pertumbuhan, translokasi karbohidrat dari daun masih berlangsung dan biasanya puncak klimakteriknya akan terjadi lebih lama.

Hasil sidik ragam penelitian Warda et al., (1993) pada buah pisang Barangan menunjukkan bahwa umur panen buah pisang Barangan (75, 90, dan 105 hari setelah buah mekar) berpengaruh nyata terhadap warna kulit, warna daging, tekstur, rasa manis dan asam. Namun tidak berpengaruh nyata terhadap rasa sepat, flavor, dan kegemaran.

Pemanenan buah pepaya pada umumnya dilakukan dengan melihat warna kulit buah. Munculnya garis berwarna kuning pada kulit buah pepaya memberikan indikasi bahwa buah siap dipanen. Buah diputar sampai tangkainya lepas atau tangkai dikerat dengan pisau tajam. Diperlukan galah panjang atau tangga untuk memanen buah di pohon yang tinggi (Villegas, 1997).

Penelitian mengenai umur panen buah pepaya sudah banyak dilakukan. Selvaraj et al. (1982) menyatakan bahwa perkembangan buah dari penyerbukan hingga kulit buah semburat kuning adalah 134-140 hari untuk Coorg Honey Dew,


(24)

Pink Flesh Sweet, dan Sunrise; 140-145 hari untuk Thailand dan 150-155 hari untuk varietas Washington pada kondisi iklim sejuk di India. Di Indonesia, perkembangan buah dari bunga mekar penuh (anthesis) adalah 140.2-148.8 hari untuk kultivar Solo, 133.4-142.6 hari untuk kultivar Eksotika II, 140.3-149.1 hari untuk kultivar Redking, dan 133.8 -141.2 hari untuk kultivar pakuan (Aisyah, 2002).

Pada buah pepaya genotipe IPB 1, mutu fisik dan kimia yang baik diperoleh pada saat buah pepaya dipetik pada 130, 135, dan 140 hari setelah anthesis (Rafikasari, 2006). Suparno (2005) menyatakan bahwa kelompok umur petik buah pepaya genotipe IPB 1 yang lebih baik yaitu pada umur petik 120 hari dari bunga mekar sempurna karena memiliki sifat-sifat fisik dan kimia terbaik dengan cita rasa dan warna yang lebih disukai daripada buah yang lebih tua atau yang lebih muda.

Umur panen buah pepaya dapat ditentukan oleh jumlah hari setelah anthesis, jumlah warna kuning pada kulit buah dan letak buah yang biasanya terletak pada urutan paling bawah dari pucuk pohon. Reninda (2006) menyatakan bahwa panen berdasarkan jumlah warna kuning pada kulit buah dapat dilakukan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Priyono (2005) yaitu umur panen buah pepaya genotipe IPB 1 dari mekar penuh sampai panen (10% kuning) berkisar antara 120-130 hari. Mardiana (2003) menambahkan bahwa waktu yang dibutuhkan dari mekar penuh hingga buah mencapai semburat (25% kuning) adalah sekitar 128-161 hari.

E. Penyimpanan

Penyimpanan adalah salah satu tahap penting dalam rantai penanganan pascapanen produk hortikultura. Penyimpanan yang tepat dapat mempertahankan kondisi segar produk hortikultura dan memperpanjang masa simpannya sehingga dapat menjaga ketersediaannya sepanjang tahun. Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen (Pantastico et al., 1986).


(25)

Hingga saat ini pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan segar. Cara-cara lain untuk mengendalikan pematangan dan kerusakan, paling banyak hanya merupakan pelengkap bagi suhu yang rendah. Pendinginan merupakan proses menurunkan dan mempertahankan suhu suatu bahan di bawah suhu lingkungan dan di atas titik beku bahan tersebut. Suhu pendinginan merupakan faktor yang penting karena berhubungan dengan kerusakan bahan makanan akibat mikroba, perubahan fisik akibat pendinginan dan mempengaruhi kelembaban udara dalam ruang pendingin (Purwadaria, 1973).

Penyimpanan buah manggis dengan menghamparkan buah di suhu ruang dan AC menyebabkan buah hanya dapat bertahan dari kerusakan hingga 15 hari sedangkan penyimpanan dengan menggunakan kantong plastik dan berbagai suhu rendah (5, 10 dan 15°C) dapat mempertahankan buah dari kerusakan hingga 19-26 hari (Setyadjit dan Sjaifullah, 1994).

Proses pematangan dan laju resirasi buah-buahan yang disimpan pada penyimpanan dingin dapat dihambat namun tetap mengalami susut bobot. Arcbold dan Pomper (2003) menyatakan bahwa penyimpanan dingin pada buah pawpaw (Asimina triloba (L.) Dunal) yang dipanen pada dua tingkat kematangan berdasarkan kelunakan yaitu buah belum matang dengan kelunakan minimal dan buah matang dengan sedikit kelunakan dapat menghambat proses pematangan. Buah yang dipanen pada tingkat belum matang menunjukkan nilai respirasi CO2

dan etilenpada puncak klimakterik 4 hari setelah dipindahkan dari penyimpanan 4°C yaitu masing-masing 82 mg kg-1 h-1 dan 9.8 µg kg-1 h-1. Sedangkan pada buah yang dipanen pada tingkat matang menunjukkan puncak klimakterik yaitu pada nilai respirasi 90 mg kg-1 h-1 CO2 4 hari setelah dipindahkan dari pendingin 4°C

dan 14.4 µg kg-1 h-1 C2H4 7 hari setelah dipindahkan dari pendingin 4°C. Buah

pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan MG (matang hijau) dan QY (sebagian kuning) mengalami susut bobot rata-rata 5.0% dan 6.2% selama penyimpanan. Susut bobot dipengaruhi oleh suhu penyimpanan; buah yang matang pada 25°C, atau disimpan pada 10,12, atau 15°C dan kemudian dimatangkan, masing-masing mengalami penurunan susut bobot sebesar 4.1%, 5.8%, 6.0%, dan 6.7% (Miller dan McDonald, 1999).


(26)

Penggunaan suhu rendah pada penyimpanan berbeda untuk setiap jenis buah. Suhu yang lebih rendah dari suhu optimum dapat menyebabkan kerusakan karena pendinginan (chilling injury). Berdasarkan penelitian Camara et al. (1993) didapat bahwa suhu optimum untuk penyimpanan buah pepaya Solo (Carica

papaya Solo) adalah 8-12°C, sedangkan penyimpanan dibawah suhu 7°C dapat

mengakibatkan chilling injury.

Buah pepaya Solo varietas H-5 dengan tingkat kematangan 10% yang disimpan pada suhu ruang (24-25°C) mempunyai daya simpan selama 6 hari, sedangkan buah pepaya yang disimpan pada suhu dingin (15-18°C) mempunyai daya simpan mencapai 9.9 hari (Dominica, 1998). Penelitian lain dilakukan Fitradesi (1999) pada buah pepaya Solo cv. Tainung 3 yang disimpan pada suhu ruang (27-31°C) mempunyai daya simpan 5.3 hari, sedangkan buah pepaya yang disimpan pada suhu dingin (18-20°C) mempunyai daya simpan 8.7 hari.

Buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada umur yang berbeda yaitu 130 HSA, 135 HSA, 140 HSA dan disimpan pada suhu ruang mempunyai daya simpan masing-masing yaitu 7-9 hari, 6-8 hari, dan 6-7 hari (Purba, 2006). Sedangkan Priyono (2005) menyatakan bahwa buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada 120-130 HSA dan disimpan pada suhu dingin (16-20°C) akan masak pada 9 HSP (hari setelah panen).

F. Pematangan Buatan

Pematangan buatan (artificial ripening) dapat diartikan sebagai suatu usaha mengatur proses pematangan sehingga tidak hanya mengandalkan proses pematangan alami. Pematangan buatan dilakukan secara komersial untuk dapat memenuhi permintaan pasar terhadap buah yang masak optimum pada saat yang terjadwal, bisa mempercepat atau memperlambat proses pematangan tersebut.

Pematangan buatan atau pemeraman bertujuan untuk mempercepat dan menyeragamkan kematangan buah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mutu hasil pemeraman diantaranya tingkat kematangan buah, suhu dan kelembaban ruang pemeraman serta pemeraman dengan pemberian gas etilen. Etilen terkenal mampu menstimulasi proses pematangan buah dan sayuran. Namun efek pematangan etilen pada suhu rendah (misalnya pada O°C) tidak


(27)

bermakna, tetapi menjadi penting perannya pada suhu yang lebih tinggi. Efek pemberian gas etilen pada buah nonklimakterik yaitu menaikkan laju respirasi yang mengakibatkan meningkatnya laju pematangan buah, selain itu berhubungan juga dengan jumlah konsentrasi gas yang diberikan serta tidak berpengaruh terhadap waktu terjadinya puncak klimakterik. Pada buah klimakterik pemberian etilen akan mempercepat tercapainya puncak klimakterik tetapi tidak mempengaruhi laju respirasi (Winarno, 2002).

Konsentrasi etilen juga dapat mempengaruhi mutu buah setelah pemeraman. Buah sirsak yang dipanen pada 9, 10 dan 11 minggu sesudah pembuahan dan diperam dengan gas asetilen 0, 2 500 dan 5 000 ppm untuk pematangannya menunjukkan bahwa buah sirsak yang masak penuh dan bermutu pascapanen terbaik diberikan oleh buah sirsak pada tingkat ketuaan 11 minggu sesudah pembuahan dan diperam dengan 2 500 ppm gas asetilen. Buah tersebut mampu masak secara merata, tidak mengalami kerusakan selama pemeraman dan mengandung 71.40% sari buah (Sjaifullah et al., 1996). Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Syska (2006) pada buah pepaya IPB1 yang menyatakan bahwa konsentrasi etilen dan suhu pematangan berpengaruh terhadap buah pepaya selama pematangan. Pematangan pada suhu 20°C dengan konsentrasi etilen 50 ppm cukup efektif untuk memicu pematangan dan mempertahankan mutu buah pepaya secara fisik dan kimia (warna kulit, kekerasan, padatan terlarut total, dan susut bobot) hingga hari ke-4 setelah pematangan buatan.

Suhu dan kelembaban ruang pemeraman sangat berpengaruh terhadap mutu buah yang diperam. Suhu ruang yang tinggi dapat mengakibatkan kelainan fisiologis pada buah. Kelainan ini dapat ditandai dengan terjadinya fermentasi. Tanda-tanda kelainan fisiologis pada buah ialah warna kulit dan daging buah tidak sempurna. Buah yang diperam pada suhu tinggi menghasilkan warna kusam dan tidak cerah serta daging buah rusak. Semakin tinggi suhu ruang pemeraman semakin parah kerusakan fisiologisnya. Pemeraman pada suhu rendah dapat menghasilkan warna lebih menarik dibandingkan pada suhu lebih tinggi. Warna kuning pada pisang misalnya, timbul lebih cerah dan lebih menarik. Di daerah Puncak buah pisang diperam dalam suhu ruang yang rendah, berkisar antara 15-23° C.


(28)

Kelembaban ruang pemeraman sangat berpengaruh terhadap mutu buah yang diperam, terutama terhadap warna dan tekstur. Kelembaban yang baik berkisar antara 85-90%. Kelembapan tinggi dapat memperlambat terbentuknya wama kuning pada kulit buah dan menghambat laju respirasi serta produksi etilen dari buah tersebut. Pada pemeraman buah pisang kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan buah menjadi lunak, kulit buah mudah robek dan buah mudah lepas (rontok) dari tangkainya. Kelembaban terlalu rendah dapat menyebabkan tingginya kehilangan bobot selama pemeraman dan wama buah kurang menarik. Kadang-kadang buah gagal menjadi matang, wama kulit menjadi hitam, dan kulit buah mengerut akibat penguapan berlebihan (Satuhu, 1995).

G. Teknologi Near Infra Red (NIR)

Spektrum pada infra merah dekat merupakan gelombang eletromagnetik yang radiasi spektrumnya berada pada rentang panjang gelombang 700 sampai 3000 nm ( 0,7- 3 µm). Karena itu disebut sebagai “near IR” karena mendekati spektrum cahaya IR (3 – 300 µm). Daerah gelombang NIR sudah lama dipelajari dan digunakan sebagai metode analitik untuk menganalisis berbagai material baik organik maupun anorganik. Tujuan metode ini adalah mengukur kandungan kimia bahan, minyak, minuman, biji-bijian maupun bahan campuran. Metode ini sangat menarik karena bahan yang dianalisis cepat tanpa persiapan dan tidak merusak (non destruktif).

Kelebihan penggunaan metode NIR antara lain adalah karena banyak komposisi kimia dari bahan pertanian/pangan yang menyerap (absorbsi) atau memantulkan (reflektan) cahaya pada rentang panjang gelombang 0,7 – 3 µm. Protein, air, asam, lemak, gula dan senyawa-senyawa kimia lainnya memiliki pola serapan yang khas dan berbeda satu dengan lainnya pada setiap panjang gelombang cahaya yang diberikan.

Perbedaan pola serapan tersebut disebabkan berbedanya geometri maupun jumlah atom yang terletak pada ikatan C-H, O-H, C-H-O atau N-H. Tiga ikatan kimia ini merupakan ikatan dasar dari semua ikatan kimia dan organik. Penyerapan terjadi jika energi yang diradiasikan cahaya berkorespondensi dengan frekuensi vibrasi ikatan kimia NH, CH, OH. Energi cahaya tersebut akan diserap


(29)

oleh ikatan kimia tersebut. Energi yang tidak berkorespondensi dengan frekuensi tersebut akan dipantulkan. Karena setiap CH,NH dan OH memiliki frekuensi vibrasi tertentu, informasi penyerapan dapat dijelaskan dengan tiga parameter tersebut.

Parameter ini dijelaskan oleh panjang gelombang dalam nanometer, amplitude dengan tinggi puncak gelombang menjelaskan intensitasnya. Dengan tiga parameter ini seluruh informasi penyerapan dari suatu bahan dapat dijelaskan. Setiap bahan organik mengandung ribuan jenis ikatan CH, OH, dan NH akibatnya setiap bahan memiliki spektrum pantulan atau absorbsi cahaya infra merah dekat yang unik. Informasi ini tersimpan dalam daerah gelombang eletromagnetik yang sempit antara 800 - 2500 nm.

Aplikasi teknologi NIR telah banyak diterapkan dalam menganalisis kandungan suatu bahan atau pakan karena lebih mudah, sangat cepat, tidak menimbulkan polusi dan tidak merusak. Budiastra et al. (1995) mengklasifikasikan mangga kedalam tiga jenis rasa manis, manis asam dan asam yang diukur dengan teknologi NIR pada 200 contoh mangga dengan kisaran panjang gelombang 1400-1975 nm. Metode stepwise dari regresi berganda digunakan untuk memilih panjang gelombang optimal untuk menduga konsentrasi sukrosa dan asam malat. Validasi dilakukan dengan hasil pengukuran HPLC.

Teknologi NIR pada panjang gelombang 900 – 2000 nm dapat digunakan cukup akurat untuk menduga kadar karbohidrat, protein, lemak dan air tepung jagung (Zea mays) secara cepat dan simultan (Rochimawati, 2004). Penelitian yang dilakukan Ratnawati (2004) juga membuktikan bahwa teknologi NIR pada panjang gelombang 900-2000 nm dapat digunakan dalam menduga kadar asam amino jagung (Zea mays) secara cepat, akurat, simultan dan non-destruktif, kecuali untuk arginin.


(30)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai September 2007 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

Bahan penelitian adalah buah Pepaya Arum Bogor (genotipe IPB 1) yang diperoleh dari kebun percobaan Tajur dan Pasir Kuda. Buah dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan 10% (dilihat dari semburat yang terdapat pada bagian ujung buah), bobot buah seragam yaitu rata-rata 250-950 g dan utuh tanpa cacat. Kemudian buah yang telah dipetik dibungkus dengan kertas koran dan diletakkan ke dalam kotak kardus dengan hati-hati agar tidak terjadi benturan yang dapat mengakibatkan luka dan memar pada buah. Buah pepaya dibawa ke laboratorium dengan menggunakan mobil. Bahan lainnya adalah thiobendazole (fungisida), alkohol, lilin (malam) dan gas etilen untuk proses pematangan.

Peralatan yang digunakan adalah sistem pengukuran gelombang cahaya infra merah dekat untuk mengukur kekerasan dan padatan terlarut total (PTT) secara nondestruktif, sistem peralatan NIR (Budiastra et al., 1995) terdiri atas beberapa komponen yakni lampu halogen 150 watt (AT-100 HG), sebuah chopper (AT- 100 CH), tiga filter interferensi, monokromator (SPG-100 IR), bola integrating berdiameter 60 mm (ISR-260), probe sensor jenis Pbs, lensa, amplifier (AT-100 AM), sebuah interface, motor pengontrol pulsa (sanyo), dan CPU. Peralatan lain yang digunakan adalah continous gas analyzer merk Shimadzu tipe IRA-107 untuk mengukur konsentrasi gas CO2 dan Shimadzu tipe POT-101 untuk

mengukur konsentrasi gas O2, pengukur suhu dan kelembaban merk Hygrotherm,

timbangan digital merk Mettler tipe PM 4800 untuk mengukur bobot buah dan rangkaian peralatan analisis citra digital untuk menentukan warna kulit buah pepaya. Selain itu alat-alat pendukung yang digunakan adalah stoples, alat suntik, jepitan, aerator, dan mesin pendingin.


(31)

(a) (b)

Gambar 2. Buah pepaya genotipe IPB 1: (a) tingkat ketuaan 0% dan (b) tingkat ketuaan 10%

C. Persiapan bahan

Buah pepaya yang telah dipanen dibersihkan kemudian dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kotak kardus kemudian diangkut ke Laboratorium TPPHP IPB. Setelah tiba di laboratorium, buah pepaya disortasi terlebih dahulu untuk mendapatkan buah yang seragam dan tidak memar atau luka. Lalu buah dicuci pada air mengalir dan dibersihkan dari getah dan kotoran yang menempel pada kulit buah dan kemudian dikering-anginkan. Buah pepaya yang telah bersih disterilisasi dengan cara dicelupkan kedalam larutan Thiabendazole dengan dosis 1 mg/liter selama 1 menit, kemudian ditiriskan.

D. Tahapan Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perkiraan lama penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1. Pengamatan yang dilakukan adalah secara visual yaitu berdasarkan perubahan warna dan kondisi fisik buah pepaya. Buah pepaya yang digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah sebanyak 16 buah. Penelitian terdiri dari 2 faktor dengan 2 ulangan. Faktor pertama yaitu tingkat ketuaan buah pepaya dengan 2 taraf: tingkat ketuaan 0% dan tingkat ketuaan 10%, dan faktor kedua yaitu suhu penyimpanan dengan 3 taraf: suhu 10°C, suhu 15°C, dan suhu ruang.


(32)

2. Penyimpanan dingin

Penyimpanan dingin bertujuan untuk memperpanjang masa simpan pepaya sebelum dilakukan proses pemeraman. Buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% dan 10% dimasukkan ke dalam lemari pendingin yang masing-masing bersuhu 10°C dan 15°C dengan kelembapan (RH 90 – 95%). Lama penyimpanan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 hari, sedangkan buah yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, 14, dan 16 hari. Buah pepaya dengan tingkat ketuaan 10% disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari, sedangkan buah yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, dan 14 hari.

Gambar 3. Diagram alir pelaksanaan penelitian

Pepaya genotipe IPB 1

Pencucian dan Perendaman dalam larutan thiobendazole

Penelitian Pendahuluan:

Buah papaya disimpan pada suhu 10°C dan 15°C dan suhu ruang

Pengukuran awal terhadap parameter bobot, warna, TPT, dan kekerasan

Penyimpanan pada suhu ruang, 10°C dan 15°C

Pengukuran laju respirasi setiap 24 jam, bobot, warna, TPT dan kekerasan setiap 3 hari

Perlakuan pematangan buatan:

konsentrasi etilen 100 ppm pada suhu 20°C selama 24 jam

Pengukuran laju respirasi setiap 6 jam, bobot, warna, TPT, dan kekerasan setiap 24 jam


(33)

3. Pematangan buatan

Pematangan buatan buah pepaya bertujuan agar pepaya matang seragam dengan kondisi yang baik. Buah pepaya yang telah disimpan pada suhu 10°C dan 15°C dimasukkan ke dalam stoples dan disuntikkan etilen dengan konsentrasi 100 ppm. Perlakuan pematangan buatan pada suhu 20°C selama 24 jam. Selanjutnya, pepaya dibiarkan di udara terbuka dan dilakukan pengamatan parameter mutu.

E. Pengamatan

Parameter yang akan diamati adalah laju respirasi, warna kulit buah, susut bobot buah, total padatan terlarut (TPT) dan kekerasan.

1. Laju Respirasi

Penentuan laju respirasi dilakukan selama penyimpanan dan pematangan buatan. Pengukuran laju respirasi bertujuan untuk menentukan pola respirasi sampai terjadinya klimakterik Untuk mengukur laju respirasi selama penyimpanan, buah dimasukkan ke dalam stoples dan disimpan dalam lemari pendingin masing-masing bersuhu 10°C, 15°C dan suhu ruang. Pengukuran laju respirasi selama penyimpanan dilakukan secara periodik yaitu setiap 24 jam sekali, sedangkan setelah pematangan buatan dilakukan setiap 6 jam sekali hingga tercapai puncak respirasi (klimakterik). Buah pepaya yang digunakan untuk pengukuran respirasi pada penyimpanan dan pematangan buatan adalah buah yang berbeda. Dua buah slang dihubungkan dengan alat pengukur gas Analyzer Shimadzu dimasukkan ke dalam stoples untuk melewatkan gas CO2 dan O2.

Pada alat akan terbaca persen gas CO2 dan Q2.

Data laju respirasi yang diperoleh kemudian diplotkan dalam suatu kurva berupa kurva pola respirasi. Laju produksi gas CO2 atau O2 (ml/kg jam) selama

respirasi pada ruang tertutup diukur dengan persamaan Kays (1991) yaitu:

[ ]

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + Δ Δ = 15 . 273 1 * 4 . 22 * * * * 10 * T W t Mgas V gas


(34)

dimana: R adalah laju respirasi (ml/kg.jam), T adalah suhu (°C), W adalah berat segar produk (kg), V adalah volume bebas ruangan (dm3), dan Mgas adalah molekul gas (g).

2. Susut bobot

Pengukuran susut bobot dihitung berdasarkan persentase penurunan bobot buah sejak awal sampai akhir penyimpanan, dinyatakan dengan persamaan:

% 100

(%) x

Wi Wa Wi

Susutbobot = − ... (2) dimana: Wi = bobot bahan awal penyimpanan (g) dan Wa = bobot bahan akhir setelah penyimpanan (g).

Pengukuran susut bobot selama penyimpanan dilakukan setiap 3 hari sekali dan setelah pematangan buatan dilakukan setiap hari.

3. Warna kulit buah

Pengukuran warna berdasarkan nilai RGB dari keseluruhan pixel buah pepaya dengan menggunakan pengolahan citra (image processing). Citra buah pepaya diambil dengan kamera digital Pentax Optio A10 dengan jarak pengambilan 34 cm dari buah pepaya, penyangga kamera, 4 buah lampu neon (100 W, 220 V, 50 Hz), luxmeter, kain putih, seperangkat computer, dan perangkat lunak dalam bahasa Delphi. Nilai RGB dikonversi menjadi nilai L*a*b* dan diplotkan dalam grafik warna Munsell.

Nilai R, G, B objek (buah pepaya IPB 1) dikonversi menjadi nilai L*, a*, dan b* dengan persamaan sebagai berikut:

X = 0.607*R + 0.174*G + 0.201*B ..………. (3) Y = 0.299*R + 0.587*G + 0.114*B ..………. (4) Z = 0.066*G + 1.117*B ...(5)

Penentuan warna buah papaya dilakukan dengan mengukur bagian pangkal, tengah, dan ujung buah, kemudian dihitung nilai rata-ratanya pada setiap kode warna tersebut dan dibandingkan dengan kode warna buah berdasarkan hasil pengukuran dengan chromameter Minolta CR-200. Alat ini menunjukkan nilai Y, y, dan x yang kemudian melalui perhitungan dengan rumus diperoleh nilai L*, a*, dan b*. Nilai Hunter L menunjukkan kecerahan (lightness), nilai Hunter a


(35)

menunjukkan warna merah bila nilainya positif, abu-abu bilai nilai nol dan hijau apabila nilainya negatif, sedangkan nilai Hunter b apabila positif menunjukkan warna kuning, nol menunjukkan abu-abu, dan nilai negatif menunjukkan warna biru. Persamaan konversi nilai L*, a*, dan b* (MacDougall,2002) adalah sebagai berikut:

y Y x

X = * ……...………. (6)

(

X Y

)

x

X

Z ⎟− +

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

= …..……….. (7)

(

)

[

25* 100* /100 1/3

]

−16

= Y

L ...……..……….. (8)

⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = 3 / 1 3 / 1 100 071 . 98

500 X Y

a ………..……….(9)

⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = 3 / 1 3 / 1 225 . 118 100

200 Y Z

b …………..………. (10)

4. Kekerasan dan Total Padatan Terlarut

Pengukuran kekerasan dan TPT secara nondestruktif dilakukan dengan menggunakan sistem pengukuran gelombang cahaya infra merah dekat. Sebelum dilakukan pengukuran, alat NIR dinyalakan terlebih dahulu kurang lebih 30 menit untuk mendapatkan sinyal analog yang stabil. Celah masuk pada monokromator diatur sebesar 500 µm, gain sebesar 200, chopper dan sensor PbS dalam keadaan aktif, waktu tanggap (respons) adalah smooth (1 ms). Filter yang digunakan untuk menyaring cahaya masuk dalam chopper yaitu filter dengan kode 046 untuk panjang gelombang 900 nm - 1400 nm. Pengukuran pantulan dilakukan dengan cara mengukur standar putih terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pengukuran sampel dengan cara menempatkan buah pepaya pada unit deteksi. Cahaya dari lampu halogen pertama dipotong pada laju sebesar 270 Hz oleh pemutus cahaya (chopper) dan cahaya disaring oleh penyaring gangguan (inference) sebelum masuk ke dalam monochromator dan mengenai buah pepaya. Pantulan cahaya dari buah pepaya akan dikumpulkan oleh integrating sphere, ditangkap oleh sensor yang kemudian dikonversi dari data analog ke data digital


(36)

oleh A/D Converter. Selanjutnya komputer mengirim sinyal digital ke motor untuk melakukan pemindaian gelombang NIR dan pengukuran pantulan dilakukan lagi dan seterusnya sampai pemindaian gelombang NIR selesai. Kemudian sifat pantulan dihitung, grafik spektrum diperagakan dan data direkam. Reflektan (pemantulan) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

dar VS

VSampel R

tan

= ... (11) Keterangan: V Sampel adalah tegangan pantulan sampel (volt)

V Standar adalah tegangan pantulan standar putih (volt)

Pantulan (R) didapatkan dari perbandingan intensitas pantulan dari buah pepaya dengan intensitas pantulan standar putih. Sedangkan data absorbansi diperoleh dengan cara mentransformasikan nilai reflektan/pantulan kedalam bentuk log (1/R).

Panjang gelombang reflaktan buah pepaya yang dihasilkan dari sistem pengukuran non-destruktif dibandingkan dengan nilai adsorban menggunakan metode Stepwise Multiple Linier Regression (SMLR). Persamaan kalibrasi yang digunakan pada pendugaan TPT adalah hasil penelitian Susilowati (2007) yaitu : TPT = 15.6 + 54.7 [A1120] - 73.9 [A970] + 46.1 [A1110] + 104 [A1060] - 9.55 [A900] + 98.0 [A1000] - 96.2 [A1025] - 42.5 [A1115] - 65.8 [A1150] + 33.7 [A1175] - 24.2 [A1230] + 33.5 [A1315] + 32.8 [A935] - 54.4 [A1130] - 24.5 [A985] - 49.5 [A1010] + 30.2 [A1080] ... (12) dimana : A adalah absorbansi pada panjang gelombang terpilih.

Persamaan kalibrasi untuk menduga kekerasan buah pepaya IPB 1 (Susilowati, 2007) adalah sebagai berikut :

KGF = - 2.46 + 46.0 [A1235] - 94.3 [A1175] - 69.8 [A1260] + 71.2 [A1230] – 98.1 [A1160] + 84.4 [A1215] - 50.2 [A1340] + 26.4 [A900] - 29.1 [A925] + 32.0 [A1270] + 106 [A1040] - 78.0 [A1080] + 29.6 [A1325] - 33.4 [A945] + 38.2 [A1025] + 40.3 [A1210] - 18.8 [A1185] ... (13) dimana : A adalah absorbansi pada panjang gelombang terpilih.


(37)

F. Rancangan Percobaan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari 3 faktor dengan 2 ulangan. Faktor pertama (A) yaitu lama penyimpanan dengan 3 taraf: 10 hari penyimpanan, 12 hari penyimpanan, dan 14 hari penyimpanan. Faktor kedua (B) yaitu tingkat ketuaan dengan 2 taraf: tingkat ketuaan 0% dan tingkat ketuaan 10%. Faktor ketiga (C) yaitu suhu penyimpanan dengan 2 taraf: suhu 10°C, dan suhu 15°C. Model linier aditif untuk rancangan acak lengkap 3 faktor adalah sebagai berikut:

( ) ( ) ( )

ij ik jk

(

)

ijk ijkl k

j i ijkl

Y =μ+α +β +γ + αβ + αγ + βγ + αβγ +ε ... (14) Dimana: Yijk = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, faktor C taraf ke-k, ulangan ke-l

μ = Rataan umum

αi = Pengaruh utama faktor A βj = Pengaruh utama faktor B γk = Pengaruh utama faktor C

( )

αβ ij = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B

( )

αγ ik = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor C

( )

βγ jk = Komponen interaksi dari faktor B dan faktor C

(

αβγ

)

ijk = Komponen interaksi dari faktor A, faktor B, dan faktor C εijk = Pengaruh acak yang menyebar normal

(

0,σ2

)

Analisis data menggunakan sidik ragam. Jika hasil sidik ragam berbeda nyata (p-value < 0.05) dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multi Range Test.


(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Lama Penyimpanan

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan 10% dan disimpan pada suhu 10°C, 15°C dan suhu ruang (27-30°C) mempunyai lama simpan yang berbeda (Tabel 2). Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan didapat bahwa buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C, 15°C dan suhu ruang mempunyai lama simpan masing-masing yaitu 20, 16, dan 9 hari. Sedangkan buah pepaya IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% dan disimpan pada suhu 10°C, 15°C dan suhu ruang mempunyai lama simpan yaitu 18, 14, dan 7 hari.

Tabel 2. Lama penyimpanan buah pepaya genotipe IPB 1

Tingkat Ketuaan Suhu Simpan (°C) Lama Penyimpanan (hari)

0% 27-30 (ruang) 9

10 20

15 16

10% 27-30 (ruang) 7

10 18

15 14

Buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% mempunyai daya simpan yang lebih lama dibanding buah dengan tingkat ketuaan 10%. Hal ini dikarenakan buah pepaya yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% mengalami proses pematangan yang lebih lambat dibandingkan buah pepaya yang dipanen pada tingkat ketuaan 10%. Semakin tinggi tingkat ketuaan buah pepaya pada saat dipanen maka semakin rendah daya simpan buah pepaya tersebut. Purba (2006) menyatakan bahwa buah pepaya genotype IPB 1 yang dipanen pada umur yang berbeda yaitu 130 HSA, 135 HSA, 140 HSA dan disimpan pada suhu ruang mempunyai daya simpan masing-masing yaitu 7-9 hari, 6-8 hari, dan 6-7 hari.

Lama penyimpanan buah papaya genotipe IPB 1 juga dipengaruhi oleh suhu simpan. Semakin tinggi suhu simpan maka proses pematangan lebih cepat


(39)

terjadi. Hal ini terlihat pada buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% dan 10% yang disimpan pada suhu 10°C memiliki daya simpan yang lebih lama dibanding buah pepaya yang disimpan pada suhu 15°C dan suhu ruang. Ali et al. (1992) dalam Yon (1994) menyatakan bahwa pepaya cv. Eksotika yang disimpan pada suhu ruang (28-30°C) hanya dapat bertahan selama 1 minggu. Buah pepaya yang disimpan pada suhu 10°C dan 15°C masing-masing memiliki lama penyimpanan 22 hari dan 12 hari.

B. Laju respirasi

Respirasi merupakan proses pemecahan secara oksidatif substrat kompleks yang secara normal terdapat didalam sel untuk menghasilkan molekul-molekul sederhana (CO2 dan H2O) serta energi yang akan digunakan oleh sel dalam proses

metabolisme. Laju respirasi pada buah pepaya setelah panen dapat dihitung dari laju produksi CO2 dan konsumsi O2. Laju respirasi merupakan petunjuk yang

baik untuk daya simpan buah sesudah dipanen. Laju respirasi yang semakin tinggi biasanya menunjukkan daya simpan buah pepaya semakin rendah dan sebaliknya.

Laju respirasi buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan dan setelah pematangan buatan berdasarkan laju produksi CO2. Perubahan laju

produksi CO2 buah pepaya IPB 1 selama penyimpanan dan setelah pematangan

buatan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 4. Perhitungan laju respirasi selama penyimpanan dilakukan setiap 24 jam sekali dimulai pada jam ke-24 penyimpanan. Perhitungan laju respirasi setelah pematangan buatan dilakukan setiap 6 jam sekali dimulai pada jam ke-6 setelah buah pepaya dikeluarkan dari ruang inkubasi selama pematangan buatan ke ruang terbuka.

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan disimpan di suhu 10°C memiliki laju produksi CO2 yang lebih rendah dibanding

15°C selama proses penyimpanan. Rata-rata laju produksi CO2 yang disimpan

pada suhu 10°C dan 15 °C masing-masing adalah 4.46 dan 10.68 ml/kg jam. Hal ini juga terjadi pada buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 10%. Rata-rata laju produksi CO2 yang disimpan pada suhu 10°C dan 15°C

masing-masing adalah 6.60 dan 10.26 ml/kg jam. Perbedaan laju produksi CO2 selama


(40)

perbedaan laju respirasi pada penyimpanan suhu 10 dan 15°C menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 10°C dapat menghambat laju respirasi, aktifitas enzim, reaksi-reaksi kimia-biokimia maupun pertumbuhan mikroorganisme pada buah pepaya (Syska, 2006).

Buah pepaya adalah buah tropis yang termasuk golongan buah klimakterik, yaitu buah-buahan yang memperlihatkan produksi CO2 yang

mendadak meningkat tinggi pada saat matang (Satuhu, 1995). Oleh karena itu pada Gambar 4 dan 5 terlihat produksi CO2 yang mendadak meningkat selama

penyimpanan pada buah yang disimpan di suhu ruang maupun selama pematangan buatan setelah pemberian etilen 100 ppm pada buah yang disimpan di suhu 10 dan 15°C.

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu ruang tidak diberi perlakuan pematangan buatan karena buah mengalami proses pematangan selama penyimpanan dan telah layak untuk dikonsumsi. Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat ketuaan 0% dan disimpan pada suhu ruang adalah 27.27 ml CO2/kg jam pada hari ke-7 penyimpanan (Gambar 4a).

Pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat ketuaan 10% dan disimpan pada suhu ruang mengalami puncak klimakterik pada hari ke-4 yaitu sebesar 29.35 ml CO2/kg jam (Gambar 5a).

Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat ketuaan 0% dan disimpan di suhu 10°C pada lama penyimpanan 10, 12, 14, 16, 18 dan 20 hari adalah 47.16 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen,

45.87 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 49.63 ml CO2/kg

jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 51.55 ml CO2/kg jam pada jam

ke-12 setelah pemberian etilen, 56.55 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah

pemberian etilen, dan 50.29 ml CO2/kg jam pada jam ke-6 setelah pemberian


(41)

0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Lama Penyimpanan (Hari)

L a ju P ro d u ksi C O 2 (m l/ kg j a m ) 0% (a) 0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Lama Penyimpanan (Hari)

La ju p ro duk s i C O 2 ( m l / k g ja m )

10 hari 12 hari 14 hari 16 hari 18 hari 20 hari

(b) 0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Lama Penyimpanan (Hari)

La ju pr oduk s i C O2 ( m l / k g ja m

) 10 hari 12 hari 14 hari 16 hari

(c)

Gambar 4. Laju produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat

ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,(b) suhu10°C dan (c) suhu 15°C.

Puncak klimakterik

Puncak klimakterik


(42)

0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Lama Penyimpanan (Hari)

L aj u P ro d u ksi C O 2 ( m l/ kg j am ) 10% (a) 0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Lama Penyimpanan (Hari)

La ju p rodu k s i C O2 ( m

l / k

g

ja

m

) 10 hari 12 hari 14 hari 16 hari 18 hari

(b) 0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Lama Penyimpanan (Hari)

La ju pr od uk s i C O2 ( m l / k g ja m

) 10 hari 12 hari 14 hari

(c)

Gambar 5. Laju produksi CO2 buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat

ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang,(b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C.

Puncak klimakterik

Puncak klimakterik


(43)

Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% dan disimpan di suhu 15°C pada lama penyimpanan 10, 12, 14, dan 16 hari adalah 50.94 ml CO2/kg jam pada jam ke-18 setelah pemberian etilen, 38.10 ml CO2/kg

jam pada jam ke-18 setelah pemberian etilen, 48.24 ml CO2/kg jam pada jam ke

12 setelah pemberian etilen, dan 77.40 ml CO2/kg jam pada jam ke-6 setelah

pemberian etilen (Gambar 4c).

Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen dengan tingkat ketuaan 10% dan disimpan di suhu 10°C pada lama penyimpanan 10, 12, 14, 16 dan 18 hari adalah 70.71 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen,

53.89 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 55.37 ml CO2/kg

jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, 97.77 ml CO2/kg jam pada jam

ke-18 setelah pemberian etilen, dan 51.40 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah

pemberian etilen (Gambar 5b). Puncak klimakterik pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% dan disimpan di suhu 15°C pada lama penyimpanan 10, 12, dan 14 hari adalah 45.48 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian

etilen, 71.11 ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen, dan 52.49

ml CO2/kg jam pada jam ke-12 setelah pemberian etilen (Gambar 5c).

Puncak klimakterik buah pepaya genotipe IPB 1 setelah diberi perlakuan pematangan buatan umumnya terjadi semakin cepat seiring dengan lama penyimpanan. Semakin lama buah pepaya disimpan maka puncak klimakterik terjadi lebih cepat. Hal ini dikarenakan substrat karbohidrat (terutama glukosa) yang terdapat didalam buah semakin berkurang. Setelah dipanen buah tetap melakukan proses metabolisme yang membutuhkan substrat karbohidrat tersebut. Muchtadi (1992) menyatakan bahwa respirasi adalah proses oksidasi enzimatis substrat karbohidrat (terutama glukosa) yang menghasilkan gas karbondioksida dan air serta energi. Energi yang dihasilkan digunakan oleh buah untuk melangsungkan proses-proses metabolisme didalam selnya. Secara sederhana reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut:

C6H12O6 + 6O2 Enzim-enzim 6 CO2 + 6 H2O + E

Faktor penting yang mempengaruhi respirasi pasca panen pada buah antara lain adalah tingkat ketuaan dan suhu penyimpanannya. Buah yang dipanen lebih


(44)

cepat memiliki laju respirasi yang lebih tinggi dibanding buah yang dipanen lebih lama. Semakin meningkat umur tanaman atau organ tanaman maka laju respirasinya semakin menurun. Selain tingkat ketuaan, klimakterik respirasi pada buah pepaya juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu penyimpanan yang rendah dapat memperpanjang daya simpan dan menekan terjadinya puncak klimakterik. Oksigen yang rendah dan karbondioksida yang tinggi dapat memperpanjang waktu untuk terjadinya puncak klimakterik pada beberapa jenis buah, serta memperlama daya simpannya (Kays, 1991). Hasil penelitian Alique dan Zamorano (2000) membuktikan bahwa interaksi antara waktu panen yang berbeda dan penyimpanan dingin dapat mempengaruhi nilai dan waktu terjadinya laju respirasi maksimum pada buah cherimoya (Annona cherimoya Mill.).

Pematangan buatan yang dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan etilen dengan konsentrasi 100 ppm pada buah pepaya genotipe IPB 1 dan diinkubasi pada suhu 20°C selama 24 jam. Laju respirasi buah pepaya genotipe IPB 1 cenderung meningkat setelah diberi perlakuan pematangan buatan. Kartasapoetra (1994) menyatakan bahwa perlakuan etilen dari luar sampai 100 ppm dapat meningkatkan respirasi. Hal ini juga diperkuat oleh Alkamine dan Goo (1977) dalam Winarno (2002) yang memberikan indikasi suatu hubungan antara etilen dan dimulainya trigger klimakterik. Pada umumnya buah pepaya dapat ditrigger proses pematangannya. Pada suhu 25°C, RH 85-95% dengan etilen 1000 ppm, buah pepaya akan menjadi matang setelah 6-7 hari. Hasil penelitian Syska (2006) menyatakan bahwa pematangan pada suhu 20°C dengan konsentrasi etilen 50 ppm selama 24 jam cukup efektif untuk memicu pematangan.

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 1) terlihat bahwa suhu penyimpanan berpengaruh nyata (nilai p ≤ 0.05) terhadap laju respirasi selama penyimpanan dan pematangan buatan. Setelah diuji lanjut Duncan pada taraf 5% terlihat bahwa buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu 10°C berbeda nyata dengan buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu 15°C.

Laju produksi CO2 yang sangat tinggi pada buah pepaya genotipe IPB 1

dengan tingkat ketuaan 0%, disimpan pada suhu 15°C selama 16 hari dan buah pepaya IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10%, disimpan pada suhu 10°C selama 18


(45)

hari kemungkinan dikarenakan pada permukaan kulit buah telah ditumbuhi cendawan. Peningkatan laju produksi CO2 tersebut dikarenakan adanya

degradasi bahan organik oleh cendawan yang tumbuh pada kulit buah. Cendawan dapat menginfeksi buah ketika masih berada di pohon namun pada stadium tak-bergerak. Ketika buah mengalami proses pemasakan, cendawan akan menjadi aktif dan mulai dengan kegiatannya (Soesanto, 2006).

Pada Gambar 6 terlihat bahwa permukaan kulit buah pepaya genotipe IPB 1 terdapat gejala penyakit antraknosa yang disebabkan cendawan Colletotrichum gloeosporioides yaitu berupa bercak coklat dan tenggelam atau cekung, dengan bagian tepi berwarna cokelat muda atau hitam. Cendawan menghasilkan massa konidium di bagia pusat bercak, berwarna oranye muda sampai merah muda. Jaringan buah dibawah daerah terinfeksi menjadi keras, dan terjadi perubahan warna menjadi putih keabu-abuan yang kemudian menjadi berwarna coklat (Soesanto, 2006). Colletotrichum menyebabkan dua tipe gejala yaitu antraknosa dan bercak coklat. Gejala awal yang terlihat pada permukaan buah adalah keluarnya lateks pada titik kecil yang kemudian meluas menjadi bercak-bercak coklat (Turang dan Tuju, 2004). Penelitian Purba (2006) menemukan penyebab utama kebusukan pada buah pepaya yang disimpan hingga busuk adalah akibat serangan cendawan Colletotrichum, bahkan ada juga yang terkena cendawan Colletotrichum dan Fusarium sekaligus.

Gambar 6. Gejala penyakit yang terdapat pada permukaan kulit buah pepaya genotipe IPB 1 setelah pematangan buatan.

Gejala penyakit pada buah pepaya genotipe IPB 1 mulai terlihat setelah proses pematangan buatan yaitu ketika buah berada pada suhu ruang. Selama penyimpanan tidak terlihat adanya gejala penyakit pada permukaan kulit buah.


(46)

Hal ini disebabkan selama penyimpanan buah berada pada suhu rendah sehingga proses pematangan terhambat. Menurut Kartasapoetra (1994) perkembangbiakan cendawan banyak ditunjang oleh temperatur, pada temperatur optimal untuk kehidupannya ternyata perkembangbiakannya lebih cepat sedangkan pada temperatur rendah perkembangannya akan terhambat. Ketika buah matang maka substrat-substrat yang dibutuhkan cendawan untuk melakukan proses metabolisme tersedia sehingga cendawan dapat berkembangbiak dengan baik. Oleh karena itu, semakin matang buah pepaya maka cendawan yang terdapat pada buah tersebut semakin memenuhi permukaan kulit buah pepaya.

C. Susut bobot

Susut bobot pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan terjadi karena adanya kehilangan air yang disebabkan proses transpirasi. Kehilangan air ini tidak hanya berpengaruh langsung pada kehilangan kuantitatif (bobot) tetapi juga menyebabkan kehilangan kualitas dalam penampilan (layu dan pengkerutan), tekstur, dan kandungan gizi (Kader, 1992).

Kelembaban udara yang digunakan pada suhu ruang adalah berkisar antara 65-70% sedangkan untuk suhu penyimpanan 10 dan 15°C masing-masing berkisar antara 90-95% dan 85-95%. Menurut Winarno (2002), kelembaban udara dalam suatu ruang penyimpanan scara langsung berpengaruh terhadap masa simpan produk yang disimpan di dalamnya. Bila RH (Relative Humidity) terlalu rendah, akan terjadi pengkeriputan kulit produk dan bila RH terlalu tinggi, akan menciptakan kondisi yang memungkinkan mikroba pembusuk tumbuh dan berkembangbiak.

Peningkatan persentase susut bobot buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan dan pematangan buatan terlihat pada Gambar 7 dan 8. Buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0 dan 10% yang disimpan pada suhu ruang mengalami peningkatan persentase susut bobot yang lebih tinggi dibanding buah pepaya yang disimpan pada suhu 10 dan 15°C. Persentase susut bobot rata-rata buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0 dan 10% yang disimpan


(47)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (Hari)

S u s u t B o b o t ( % ) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

S u s ut bobot ( % )

10 hari 12 hari 14 hari

16 hari 18 hari 20 hari

(b) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

S us ut bob ot ( % )

10 hari 12 hari

14 hari 16 hari

(c)

Gambar 7. Susut bobot buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu10°C dan (c) suhu 15°C.


(48)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (Hari)

S u s u t B o b o t (% ) (a) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

Sus ut bobo t ( % )

10 hari 12 hari 14 hari

16 hari 18 hari

(b) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

S us ut bobot ( % )

10 hari 12 hari 14 hari

(c)

Gambar 8. Susut bobot buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu10°C dan (c) suhu 15°C.


(49)

pada suhu ruang masing-masing adalah 11.3 dan 12.9%. Buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% memiliki persentase susut bobot rata-rata yang lebih rendah dibanding buah pepaya dengan tingkat ketuaan 10%. Buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan MG (matang hijau) dan QY (sebagian kuning) mengalami susut bobot rata-rata 5.0% dan 6.2% selama penyimpanan (Miller dan McDonald, 1999). Menurut Ben-Yehoshua (1987) dalam Weichmann (1987), laju transpirasi dapat dipengaruhi oleh proses pematangan dan pemasakan pada buah. Laju transpirasi sebelum klimakterik meningkat tinggi dan cenderung konstan setelah klimakterik.

Peningkatan persentase susut bobot juga terjadi pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 10 dan 15°C. Buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 hari memiliki persentase susut bobot rata-rata sebesar 2.9, 2.7, 3.9, 4.3, 5.3, dan 6.4% (Gambar 7b). Buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, 14, dan 16 hari memiliki persentase susut bobot rata-rata sebesar 4.6, 5.4, 5.8, dan 7.5% (Gambar 7c).

Buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari memiliki persentase susut bobot rata-rata sebesar 2.8, 3.2, 4.1, 5.3, dan 4.1% (Gambar 8b). Sementara itu buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, dan 14 hari memiliki persentase susut bobot rata-rata sebesar 5.6, 5.9, dan 6.7% (Gambar 8c).

Hal ini menunjukkan bahwa umumnya peningkatan persentase susut bobot buah pepaya yang disimpan pada suhu 15°C lebih tinggi dibanding buah pepaya yang disimpan pada suhu 10°C. Menurut Winarno (2002), laju penguapan air sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan uap air antar buah dan lingkungan luar yang ditentukan oleh suhu dan RH. Semakin tinggi suhu semakin besar kemampuan ruang penerima uap air dari produk. Penelitian Miller dan McDonald (1999) menyatakan bahwa susut bobot dipengaruhi oleh suhu penyimpanan; buah yang matang pada 25°C, atau disimpan pada 10,12, atau 15°C dan kemudian


(50)

dimatangkan, masing-masing mengalami penurunan susut bobot sebesar 4.1%, 5.8%, 6.0%, dan 6.7%.

Faktor lain yang mempengaruhi transpirasi adalah proses respirasi. Respirasi mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap transpirasi karena menghasilkan CO2, air dan panas. Air yang dihasilkan tetap tinggal didalam

jaringan buah sedangkan CO2 terlepas ke lingkungan dan menyebabkan susut

bobot pada buah. Panas yang dihasilkan oleh proses transpirasi juga dapat meningkatkan susut bobot buah karena dapat menaikkan temperatur jaringan buah sehingga transpirasi buah meningkat (Ben-Yehoshua, 1987 dalam Weichmann, 1987).

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 2) terlihat bahwa lama penyimpanan dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata (nilai p ≤ 0.05) terhadap susut bobot buah pepaya selama penyimpanan dan pematangan buatan. Setelah diuji lanjut Duncan pada taraf 5% terlihat bahwa buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 10°C berbeda nyata dengan buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 15°C. Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan selama 10 hari tidak berbeda nyata dengan yang disimpan selama 12 hari namun berbeda nyata dengan yang disimpan selama 14 hari.

D. Total Padatan Terlarut (TPT)

Perubahan kuantitatif yang berkaitan dengan pemasakan umumnya pemecahan polimer karbohidrat, khususnya perubahan pati menjadi gula (Santoso dan Purwoko, 1995). Hal ini mempengaruhi perubahan rasa pada buah. Peningkatan gula cenderung menyebabkan rasa manis pada buah. Hasil pengukuran total padatan terlarut dapat digunakan sebagai indikator rasa manis pada buah. Semakin tinggi kandungan TPT pada buah maka semakin manis rasa buah tersebut.

Total padatan terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 selama di penyimpanan umumnya mengalami peningkatan. Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% dan disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 hari mengalami peningkatan TPT yaitu sebagai berikut: 9.4-9.9°brix, 8.1-9.6°brix, 8.0-9.1°brix, 9.0-8.1-9.6°brix, 8.8-10.5°brix, dan 9.1-10.7°brix (Gambar 9b).


(51)

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, 14, dan 16 hari mengalami peningkatan yaitu 9.9-10.4°brix, 8.8-10.1°brix, 9.0-10.3°brix, dan 8.8-10.5°brix (Gambar 9c). Peningkatan TPT juga terjadi pada buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu ruang yaitu 9.2-9.5°brix (Gambar 9a).

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 10% dan disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari mengalami peningkatan TPT yaitu sebagai berikut: 9.6-9.9°brix, 9.4-9.9°brix, 9.0-9.7°brix, 9.1-9.9°brix, dan 9.8-10.3°brix (Gambar 10b). Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, dan 14 hari mengalami peningkatan yaitu sebagai berikut: 8.7-10.3°brix, 8.6-9.8°brix, dan 8.9-9.5°brix (Gambar 10c). Peningkatan TPT juga terjadi pada buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu ruang yaitu 9.4-12.1°brix (Gambar 10a).

Kandungan TPT selama penyimpanan dan pematangan buatan cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan TPT selama pematangan buatan umumnya lebih tinggi dibanding selama penyimpanan. Hal ini terlihat dari nilai TPT tertinggi dari setiap perlakuan umumnya terjadi setelah pemberian etilen. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), bila pati terhidrolisis maka akan terbentuk glukosa sehingga kadar gula dalam buah akan meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa aktifitas enzim yang merubah pati, hemiselulosa, dan protopektin yang terdapat pada buah pepaya dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi etilen selama pematangan buatan.

Kandungan TPT tertinggi buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 hari adalah 9.6°brix pada hari ke-1 setelah pemberian etilen, 10.2°brix pada hari ke-1 setelah pemberian etilen, 9.5°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen, 9.9°brix pada hari ke-2 setelah pemberian etilen, 9.3°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen, dan 11.5°brix pada hari ke-1 setelah pemberian etilen. Buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, 14, dan 16 hari adalah 9.2°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen, 10.5°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen, 10.8°brix pada hari ke-1 setelah pemberian etilen, dan 10.4°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen.


(52)

2 4 6 8 10 12 14

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

To ta l Pad a ta n Ter lar ut ( B ri x) (a) 2 4 6 8 10 12 14

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

Tot a l P a da ta n Te rl a rut ( B ri x )

10 hari 12 hari 14 hari

16 hari 18 hari 20 hari (b)

2 4 6 8 10 12 14

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

Tot a l P a da ta n Te rl a rut ( B ri x )

10 hari 12 hari 14 hari 16 hari (c)

Gambar 9. Total padatan terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C.


(53)

2 4 6 8 10 12 14

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

Tot a l P a da ta n Te rl a rut ( B ri x ) (a) 2 4 6 8 10 12 14

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

Tot a l P a da ta n Te rl a rut ( B ri x )

10 hari 12 hari 14 hari 16 hari 18 hari

(b) 2 4 6 8 10 12 14

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

To ta l P a da ta n Te rl a rut ( B ri x)

10 hari 12 hari 14 hari (c)

Gambar 10. Total padatan terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C.


(54)

Sedangkan kandungan TPT tertinggi buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari adalah 10.8°brix pada hari ke-3 setelah pemberian etilen, 8.8°brix pada hari ke-2 setelah pemberian etilen, 9.9°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen, 10.3°brix pada hari ke-2 setelah pemberian etilen, dan 9.2°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen. Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, dan 14 hari adalah 10.2°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen, 10.0°brix pada hari ke-1 setelah pemberian etilen, dan 11.0°brix pada hari ke-0 setelah pemberian etilen.

Peningkatan TPT yang terjadi pada buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan terus berlangsung hingga pematangan buatan. Setelah perlakuan pemberian etilen, kandungan TPT cenderung meningkat dan kemudian menurun. Soares dkk. (2007) menyatakan bahwa TPT meningkat selama proses pematangan pada tingkat kematangan immature dan intermediate yaitu (7.40–8.6°brix) sedangkan pada tingkat kematangan mature menurun hingga 8.4°brix. Hal ini disebabkan zat pati yang tersedia sudah tidak ada lagi untuk dirombak menjadi gula karena buah pepaya telah berada pada tahap masak penuh (Suparno,2005).

Selain itu penurunan TPT selama proses pematangan buatan dapat disebabkan karena glukosa (gula) digunakan oleh buah untuk berlangsungnya proses respirasi. Winarno (2002) menyatakan bahwa pada waktu kandungan pati menurun, kandungan sukrosa akan naik, dan sukrosa yang terbentuk akan dipecah lagi menjadi fruktosa dan glukosa. Glukosa yang terbentuk akan digunakan sebagian untuk proses respirasi. Winarno dan Wirakartakusumah (1981) menambahkan bahwa kenaikan TPT terjadi karena karbohidrat terhidrolisis menjadi senyawa glukosa dan fruktosa, sedangkan penurunan TPT terjadi karena kadar gula sederhana yang mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid, dan asam.

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 3) terlihat bahwa semua perlakuan tidak berpengaruh nyata (nilai p ≤ 0.05) terhadap total padatan terlarut selama penyimpanan dan pematangan buatan.


(55)

E. Kekerasan buah

Pada berbagai hasil tanaman terkandung pektin yang terbentuk dari senyawa protopektin yaitu dengan adanya aktifitas enzim protopektinase, yang pembentukannya terutama pada bagian luar membran sel pada lamella di antara membran sel yang satu dengan yang lainnya. Aktifnya enzim-enzim pektinmetilasterase dan poligalakturonase pada buah dalam proses pemasakan, ternyata telah melangsungkan pemecahan atau kerusakan pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Pemecahan atau kerusakan tersebut menyebabkan berubahnya tekstur buah dari keras menjadi lunak (Kartasapoetra, 1994).

Penurunan nilai kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0 dan 10% yang disimpan pada suhu ruang adalah 3.0-1.4 kgf dan 2.9-1.3 kgf (Gambar 11a dan 12a). Penurunan nilai kekerasan pada buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang cenderung sama namun buah pepaya IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% memiliki masa simpan yang lebih lama dibanding buah pepaya IPB 1 dengan tingkat ketuaan 10%.

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 10 dan 15°C juga mengalami penurunan nilai kekerasan. Pada Gambar 11b terlihat bahwa buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 hari mengalami penurunan nilai kekerasan yaitu 4.6-0.6 kgf, 5.5-0.9 kgf, 4.9-1.0 kgf, 5.2-1.1 kgf, 5.4-0.7 kgf, dan 4.6-1.6 kgf. Pada Gambar 11c terlihat bahwa buah pepaya dengan tingkat ketuaan 0% yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, 14, dan 16 hari mengalami penurunan nilai kekerasan yaitu 2.8-0.8 kgf, 3.9-0.4 kgf, 4.2-0.7 kgf, dan 3.9-0.4 kgf.

Pada Gambar 12b terlihat bahwa buah pepaya dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 10°C selama 10, 12, 14, 16, dan 18 hari mengalami penurunan nilai kekerasan yaitu 5.4-0.6 kgf, 5.1-0.6 kgf, 4.7-0.6 kgf, 4.2-0.5 kgf, dan 5.0-0.6 kgf. Pada Gambar 12c terlihat bahwa buah pepaya dengan tingkat ketuaan 10% yang disimpan pada suhu 15°C selama 10, 12, dan 14 hari mengalami penurunan nilai kekerasan yaitu 5.6-0.9 kgf, 4.7-0.8 kgf, dan 4.5-0.8 kgf.

Penurunan nilai kekerasan ini terjadi karena proses pemecahan polimer karbohidrat, khususnya senyawa pektin dan hemisellulose, melemahkan dinding


(56)

sel dan gaya kohesif yang mengikat sel-sel bersama. Laju degradasi senyawa pektin ini secara langsung berhubungan dengan laju pelunakan buah (Santoso dan Purwoko, 1995). Hal ini juga dinyatakan Kertesz (1951) dalam Pantastico (1986) bahwa pelunakan buah berkaitan dengan zat-zat pektin. Zat-zat tersebut terdapat dalam bentuk protopektin, asam-asam pektinat, pektin, dan asam-asam pektat. Jumlah asam-asam pektat bertambah selama perkembangan buah. Pada waktu buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat sedangkan jumlah zat-zat pektat seluruhnya menurun. Perubahan ini mengakibatkan kekerasan buah berkurang atau buah menjadi lunak (Pantastico, 1986).

Buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 10°C mempunyai penurunan nilai kekerasan yang lebih rendah dibanding buah yang disimpan pada suhu 15°C. Matto et al. (1986) dalam Pantastico (1986) menjelaskan bahwa pada suhu tinggi terjadi perubahan kekerasan lebih cepat dibandingkan dengan suhu rendah. Buah pepaya Australia yang disimpan pada suhu 25°C dan 30°C memiliki konsentrasi karoten dan asam askorbat yang lebih tinggi, lebih cepat matang dan tekstur yang lebih lunak dibanding buah pepaya Australia yang disimpan pada suhu 20°C (Wills dan Widjanarko, 1995).

Nilai kekerasan buah pepaya selama penyimpanan semakin menurun. Hal ini berarti buah menjadi semakin lunak. Keadaan ini disebabkan selama penyimpanan buah pepaya mengalami proses pematangan. Proses pematangan ini mengakibatkan tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan komposisi dinding sel berubah. Perubahan tersebut akan mempengaruhi kekerasan buah. Biasanya buah menjadi lebih lunak apabila telah matang (Muchtadi, 1992).

Nilai kekerasan buah pepaya selama pematangan buatan cenderung memiliki penurunan lebih tinggi dibanding selama proses penyimpanan. Hal ini dikarenakan adanya perlakuan pemberian etilen yang merangsang proses pematangan pada buah sehingga tekstur buah menjadi lebih cepat lunak. Selain itu, buah pepaya genotipe IPB 1 yang telah diberi perlakuan pematangan buatan diletakkan pada suhu ruang sehingga terjadi perbedaan suhu antara proses penyimpanan dan pematangan buatan. Mikasari (2004) menyatakan bahwa selama


(57)

0 1 2 3 4 5 6

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

K eker asan ( kg f)

10 hari 12 hari 14 hari 16 hari 18 hari 20 hari

(b) 0 1 2 3 4 5 6

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

K eker asan ( kg f)

10 hari 12 hari 14 hari 16 hari

(c) 0 1 2 3 4 5 6

0 3 6 9 12 15 18 21 24

Lama Penyimpanan (hari)

K eke rasa n ( kg f) (a)

Gambar 11. Kekerasan buah pepaya genotipe IPB 1 dengan tingkat ketuaan 0% selama proses penyimpanan dan pematangan buatan: (a) suhu ruang, (b) suhu 10°C dan (c) suhu 15°C.


(1)

Lampiran 7 Perubahan warna pada buah papaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama penyimpanan

Suhu Penyimpanan 10°C

Suhu Penyimpanan 15°C

Suhu Ruang (27-30°C)

Keterangan: angka yang terdapat pada bagian kanan bawah gambar menunjukkan hari

0 2 4 6 8

10 12 14 16 18

20

0 2 4 6 8

10 12 14 16


(2)

Lampiran 8 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 10% selama penyimpanan

Suhu Penyimpanan 10°C

Suhu Penyimpanan 15°C

Suhu Ruang (27-30°C)

Keterangan: angka yang terdapat pada bagian kanan bawah gambar menunjukkan hari pengamatan selama proses penyimpanan.

0 2 4 6 8

10 12 14 16 18

0 2 4 6 8

10 12 14


(3)

Lampiran 9 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama pematangan buatan

Suhu Penyimpanan 10°C

Suhu Penyimpanan 15°C

Keterangan: angka yang terdapat pada bagian kanan bawah gambar menunjukkan hari pengamatan selama proses pematangan buatan.

0 1 2 3


(4)

Lampiran 10 Perubahan warna pada buah pepaya genotipe IPB 1 yang dipanen pada tingkat ketuaan 0% selama pematangan buatan

Suhu Penyimpanan 10°C

Suhu Penyimpanan 15°C

Keterangan: angka yang terdapat pada bagian kanan bawah gambar menunjukkan hari pengamatan selama proses pematangan buatan.

0 1 2


(5)

Lampiran 11 Pengukuran konsentrasi etilen didalam stoples dengan menggunakan gas Kromatografi


(6)