Karakteristik Kualitas Fisik Daging Landak Jawa (Hystrix javanica)

KARAKTERISTIK KUALITAS FISIK
DAGING LANDAK JAWA (Hystrix javanica)

HASAN ASHARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Kualitas
Fisik Daging Landak Jawa (Hystrix javanica) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Hasan Ashari
NIM B04100046

ABSTRAK
Karakteristik Kualitas Fisik Daging Landak Jawa (Hystrix javanica). Di bawah
bimbingan SUPRATIKNO dan DENNY WIDAYA LUKMAN.
Landak jawa (Hystrix javanica) merupakan hewan yang potensial untuk
dibudidayakan dan menjadi satwa harapan karena dagingnya dapat dimanfaatkan
sebagai pangan alternatif pengganti daging asal ternak. Tujuan penelitian ini
untuk memperoleh karakteristik kualitas fisik daging landak Jawa, khususnya nilai
pH, daya ikat air berupa nilai drip loss dan cooking loss, serta kesempurnaan
pengeluaran darah. Penelitian ini menggunakan 4 ekor landak Jawa. Penilaian
karakteristik kualitas fisik daging tersebut dilakukan dengan memeriksa langsung
ke-4 sampel daging landak Jawa. Nilai pH dilakukan 1 jam, 2 jam, 12 jam, dan
48 jam setelah penyembelihan dengan 3 kali pengulangan. Penilaian drip loss,
cooking loss, dan kesempurnaan pengeluaran darah dilakukan 3-4 jam setelah
penyembelihan. Nilai pH daging landak Jawa pada jam ke-1 setelah pemotongan
diperoleh rata-rata 5.87 (minimum 5.58; maksimum 6.18), kemudian meningkat
sampai jam ke-12 setelah pemotongan (rata-rata 6.69; minimum 6.55; maksimum
6.82) dan menurun kembali pada jam ke-48 setelah pemotongan menjadi rata-rata

6.42 (minimum 6.05; maksimum 6.73). Nilai pH setelah penyembelihan tersebut
relatif lebih tinggi seperti daging sapi. Nilai drip loss daging landak Jawa dalam
studi ini diperoleh berkisar antara 1.92% dan 4.35% (rata-rata 3.07%). Nilai drip
loss ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan nilai drip loss pada daging merah,
seperti daging sapi, daging babi, dan daging unta. Rata-rataan nilai cooking loss
ke-4 sampel daging landak adalah 35.62% (minimum 31.64%; maksimum
37.13%). Nilai cooking loss daging landak Jawa tersebut relatif lebih kecil
daripada nilai cooking loss daging sapi dan daging unta. Penelitian ini
menunjukkan pengeluaran darah sempurna yang mengindikasikan hewan landak
tidak dalam keadaan stres berlebih saat penyembelihan. Hal ini menunjukkan
bahwa restraining box dapat mengurangi tingkat stres.
Kata kunci: cooking loss, drip loss, landak Jawa, nilai pH.

ABSTRACT
Physical Quality Charateristics of Java Porcupine (Hystrix javanica).
supervision of SUPRATIKNO dan DENNY WIDAYA LUKMAN.

Under

Java porcupine (Hystrix javanica) is a potential animal for breeding and as

an expectant animal since the meat can be used as an alternative substitution food
from domestic animal. The aim of this study was to observe the physical quality
characteristics of Java porcupine meat, especially pH value, water holding
capacity such as drip loss and cooking loss, and blood complete released. This
study used 4 Java porcupines carcass. The pH value was measured at 1 h, 2 h, 12
h, and 48 h after slaughtering with 3 repetitions. The measurement of drip loss,

cooking loss, and blood complete release were conducted 3-4 h after slaughtering.
The study showed that the average of pH value of Java porcupine meat was 5.87
(minimum 5.58; maximum 6.18) at the 1 h after slaughtering, then increased at the
12 h after slaughtering (average 6.69; minimum 6.55; maximum 6.82) and then
decreased at 48 h after slaughtering until 6.42 (minimum 6.05; maximum 6.73).
The pH value of Java porcupine was relatively higher than one of beef meat. In
this study, the drip loss of Java porcupine meat was between 1.92% and 4.35%
(average 3.07%). The drip loss of Java porcupine was relatively lower than one
of red meat, such as beef, pork, and camel meat. The average of cooking loss of 4
porcupine meat samples was 35.62% (minimum 31.64%; maximum 36.13%).
The cooking loss of Java porcupine meat was relatively lower than one of beef
and camel meat. This study showed that blood of all samples was completely
released. It indicated that the porcupines were slaughtered not in stress condition.

It means that the restraining box could reduce the stress.
Key words: cooking loss, drip loss, Java porcupine meat, pH value

KARAKTERISTIK KUALITAS FISIK
DAGING LANDAK JAWA (Hystrix javanica)

HASAN ASHARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Karakteristik Kualitas Fisik Daging Landak Jawa (Hystrix
javanica)
Nama

: Hasan Ashari
NIM
: B04100046

Disetujui oleh

Drh Supratikno, MSi, PAVet
Pembimbing I

Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah
Karakteristik Kualitas Fisik Daging Landak Jawa (Hystrix javanica).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Supratikno, MSi, PAVet
dan Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi selaku pembimbing yang telah tanpa
lelah dan penuh kesabaran membimbing Penulis untuk menyelesaikan penulisan
ini dengan baik, serta Bapak Dr Drh Joko Pamungkas MSc yang telah banyak
memberi saran dan masukan tentang skripsi selama ini. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak, adik (Sahirman, Masruyah, Evan
Astriadi, Rejaya Selvi Astuti) dan seluruh keluarga besar atas segala doa,
semangat, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga disampaikan kepada Riena
Carlina yang selama ini sudah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan ini dan kepada Deka, Adit, Danny, dan Singgih serta teman angkatan
FKH 47 yang selama ini mendukung untuk kesuksesan penulisan ini. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Hasan Ashari


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Klasifikasi Landak Jawa

2

Perilaku dan Pakan

3

Karakteristik Kualitas Fisik Daging

3


Nilai pH Daging

3

Daya Ikat Air

3

Kesempurnaan Pengeluaran Darah

4

BAHAN DAN METODE

4

Waktu dan Tempat Penelitian

4


Alat dan Bahan

4

Metodologi

5

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Nilai pH daging

7


Nilai Drip Loss

8

Nilai Cooking Loss

9

Kesempurnaan Pengeluaran Darah

10

SIMPULAN DAN SARAN

10

DAFTAR PUSTAKA

11

RIWAYAT HIDUP

13

DAFTAR TABEL

1. Rataan nilai pH daging landak Jawa setelah penyembelihan

7

2. Hasil pemeriksaan nilai drip loss daging landak Jawa

8

3. Hasil pemeriksaan nilai cooking loss daging landak Jawa

9

4. Hasil pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah

10

DAFTAR GAMBAR
1. Landak Jawa (Hystrix javanica)

2

2. Restraining box

5

3. Landak setelah dicabut rambut

5

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan daging di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya
pemahaman masyarakat Indonesia akan pentingnya kesehatan. Daging sebagai
salah satu bahan pangan sumber protein hewani sangat dibutuhkan oleh tubuh
karena zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya sangat diperlukan untuk
kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang dalam masa
pertumbuhan. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber
protein hewani yang memiliki kandungan gizi lebih tinggi dari bahan pangan
lainnya. Selain itu, daging mengandung nilai asam amino esensial yang lengkap
dibandingkan dengan protein yang berasal dari nabati. Kebutuhan protein hewani
di Indonesia belum sepenuhnya tercukupi sehingga muncul ide untuk mencari
sumber protein hewani alternatif. Salah satu contohnya adalah daging landak
Jawa (Hystrix javanica).
Landak Jawa (Hystrix javanica) merupakan hewan yang potensial untuk
dibudidayakan dan dijadikan sebagai satwa harapan karena dagingnya dapat
dimanfaatkan sebagai pangan alternatif pengganti daging asal ternak (Wardi et al.
2011). Potensi landak Jawa sebagai ternak harapan menjadi tinggi karena hewan
ini memiliki karakteristik perdagingan yang tebal, daging bertekstur lembut,
rendah lemak, dan dipercaya memiliki khasiat obat (Wardi et al. 2011). Sebagian
besar tubuh landak Jawa bagian atas ditutupi rambut panjang yang keras berwarna
hitam keputihan dan tajam, sedangkan di bagian leher dan tubuh bagian bawah
ditutupi rambut pendek berwarna coklat kehitaman. Rambut yang menyerupai
duri pada landak tersusun dari bahan yang sama dengan rambut yaitu keratin,
sejenis protein (Sastrapradja 1996). Bagian tengah tubuh ke arah muka dan ke
arah perut tertutup oleh mantel rambut yang keras. Punggung bagian tengah ke
arah ekor ditumbuhi rambut-rambut yang sangat tajam. Rambut-rambut tersebut
berfungsi sebagai alat pertahanan diri. Mata landak Jawa kecil berwarna
kehitaman dengan telinga berbentuk seperti kepingan uang logam (Sukiya 2005).
Landak Jawa memiliki daerah penyebaran meliputi Pulau Jawa dan merupakan
hewan endemis pulau tersebut (Farida dan Ridwan 2011). Selain itu, menurut
Lunde dan Aplin (2008) spesies ini tersebar di wilayah yang lebih luas meliputi
Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Lombok, Madura, dan pernah dilaporkan di
Sulawesi pada akhir tahun 1800.
Salah satu aspek penting penelitian yang dapat dilakukan pada landak Jawa
adalah analisis karakteristik kualitas fisik daging. Aspek ini penting karena saat
ini informasi mengenai kualitas daging landak Jawa masih belum banyak tersedia,
sedangkan daging landak Jawa telah banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia seperti di daerah Solo, Karanganyar, Magelang, Yogyakarta, dan
Malang sehingga masih diperlukan penelitian mengenai kualitas daging landak
Jawa. Dalam penelitian ini, analisis karakteristik kualitas fisik daging landak
Jawa meliputi pengujian nilai pH, drip loss, dan cooking loss, serta kesempurnaan
pengeluaran darah. Daging yang memiliki kualitas fisik yang baik akan
mempermudah proses pengolahan daging dan memberikan produk hasil
pengolahan yang baik.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data karakteristik kualitas fisik
daging landak Jawa (Hystrix javanica) khususnya nilai pH, daya ikat air berupa
nilai drip loss dan cooking loss, serta kesempurnaan pengeluaran darah.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi nilai pH, daya ikat
air berupa nilai drip loss dan cooking loss, serta kesempurnaan pengeluaran darah
daging landak Jawa (Hystrix javanica) yang berguna bagi pengembangan standar
kualitas daging landak Jawa dalam rangka pengembangan penyediaan daging
alternatif selain daging sapi yang aman dan layak dikonsumsi masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Landak Jawa
Menurut International Union for The Conservation of Nature (2011),
taksonomi dari landak Jawa diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Hystricidae
Genus
: Hystrix
Spesies
: Hystrix javanica
Di Indonesia landak memiliki nama sesuai daerah penyebarannya. Landak
raya (Hystrix brachyura) di Pulau Sumatera dan Kalimantan, landak Jawa
(Hystrix javanica) endemik di Pulau Jawa dan landak Butun (Hystrix crassispinis)
di Pulau Kalimantan. Berikut ini dapat dilihat morfologi secara umum landak
Jawa pada Gambar 1.

Gambar 1 Landak Jawa (Hystrix javanica) (sumber: koleksi pribadi)

3
Perilaku dan Pakan
Landak digolongkan dalam hewan yang bersifat nokturnal karena hewan ini
tidak aktif pada siang hari dan beraktifitas pada malam hari. Pada siang hari
hewan ini bersembunyi di dalam lubang dan akan keluar lubang untuk mencari
pakan jika malam telah tiba.
Landak berjalan mengendus-endus untuk
mendapatkan pakan dan juga mengantipasi jika ada bahaya yang mengancam, jika
bahaya datang maka rambut-rambutnya akan berdiri untuk mempertahankan diri
(Vaughan 1978).
Di habitat aslinya landak Jawa ini memakan bagian-bagian tanaman seperti
akar, ubi-ubian, kulit kayu, dan buah-buahan dari berbagai jenis. Menurut Wardi
et al. (2011) landak memiliki tingkat kesukaan terhadap pakan yang diberikan
yaitu jagung manis, ubi jalar, jambu biji, bengkuang, dan kangkung. Bengkuang,
mentimun, talas, dan pelet merupakan pakan yang dikonsumsi dalam jumlah yang
tinggi (Farida dan Ridwan 2011).
Karakteristik Kualitas Fisik Daging
Nilai pH Daging
Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging,
khususnya di rumah potong hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan (hewan
telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam
jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuensi tidak adanya aliran darah
ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang
terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian
(36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis
anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain
dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut
akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH
jaringan otot (Lukman 2010).
Penurun nilai pH setelah kematian pada otot hewan yang sehat dan
ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu
dari nilai pH sekitar 7.0 – 7.2 akan mencapai 5.6 – 5.7 dalam waktu 6 - 8 jam
postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir (pH ultimate) sekitar 5.5 – 5.6.
Menurut Lukman (2010), nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di
bawah 5.3. Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5.3 enzim-enzim
yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif bekerja. Pengukuran nilai pH
umumnya dilakukan sebanyak dua kali, yaitu 1 jam setelah pemotongan dan 24
atau 36 jam setelah pemotongan yang disebut pH akhir. Pengukuran nilai pH
setelah 36 jam tidak lagi bermanfaat untuk menilai kualitas daging dan tidak dapat
dipakai untuk menentukan daging busuk (apalagi tidak diketahui waktu setelah
kematian) atau daging bangkai (Lukman 2010).
Daya Ikat Air
Kemampuan daging segar untuk mempertahankan air merupakan
karakteristik kualitas yang sangat penting. Daya ikat air didefinisikan sebagai air
yang berada di sekitar bahan-bahan non-cair seperti protein dan memiliki

4
mobilitas yang telah tereduksi, yang artinya tidak mudah berpindah ke tempat atau
kompartemen lain (Huff-Lonergan dan Lonergan 2005). Kemampuan daging
untuk mengikat air atau air yang ditambahkan tanpa adanya tekanan dari luar
(Warriss 2000). Umumnya air dalam otot terdapat dalam miosin, di antara
miofibril dan antara miofibril dan sel membran (sarkolema), di antara sel-sel otot,
dan antara bundel-bundel otot (Offer dan Cousins 1992 dikutip oleh HuffLonergan dan Lonergan 2005). Air dalam sel-sel otot tersebut sangat terikat kuat
dengan protein.
Pengukuran daya ikat air dapat dilakukan dengan mengukur nilai drip loss
atau cairan yang keluar dari daging dengan metode gravitasi, yaitu dengan cara
menggantung sampel daging di dalam plastik pada suhu 1-5 ºC selama 48-72 jam,
kemudian persentase cairan yang keluar dari daging dihitung dengan
membandingkan berat daging sebelum dan setelah disimpan. Metode pengukuran
daya ikat air adalah nilai cooking loss, yaitu pengukuran nilai drip loss yang
menggunakan panas (Warriss 2000). Semakin tinggi cairan yang keluar dari
daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut
semakin rendah.
Kesempurnaan Pengeluaran Darah
Pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah mempunyai peran penting
dalam menentukan kualitas suatu daging. Melalui uji ini dapat ditentukan daging
telah mengalami pengeluaran darah dengan sempurna atau tidak. Hewan yang
dipotong dengan tidak sempurna akan dijumpai banyak hemoglobin (Hb) dalam
daging. Adanya O2 (dari H2O2) dalam reaksi, Hb akan diikat, sehingga malachite
green tidak dioksidasi (tetap berwarna hijau). Jika ada Hb, maka O2 akan
mengoksidasi malachite green menjadi berwarna biru (Lukman et al. 2012).

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Anatomi dan Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013
sampai dengan Februari 2014.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian adalah pH meter, timbangan,
restraining box, tisu, label, spidol, tabung reaksi, Erlenmeyer, kertas saring,
penangas air, plastik, dan refrigerator. Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah 4 sampel daging landak Jawa, akuades, H2O2 3%, malachite green.

5
Metodologi
Desain Penelitian
Penelitian ini menilai karakteristik fisik daging landak yang meliputi nilai
pH, drip loss, dan cooking loss, serta kesempurnaan pengeluaran darah. Penilaian
nilai pH dilakukan 1 jam, 2 jam, 12 jam dan 48 jam setelah penyembelihan
dengan tiga kali pengulangan. Penilaian nilai drip loss, cooking loss, dan
kesempurnaan pengeluaran darah dilakukan 3-4 jam setelah penyembelihan.
Penyediaan Sampel Daging Landak
Landak difiksasi dengan restraining box (Gambar 2) sampai kepala landak
keluar pada lubang di ujung alat. Landak disembelih pada bagian leher, lalu
dilakukan proses pencabutan rambut landak sampai hanya tersisa kulitnya
(Gambar 3). Setelah itu, dilakukan proses pembedahan untuk memisahkan bagian
jeroan dan otot. Otot yang telah dipisahkan dari jeroan kemudian diambil
beberapa bagian untuk diteliti diantaranya otot punggung dan otot paha belakang.

Gambar 2 Restraining box (sumber: koleksi pribadi)

Gambar 3 Landak setelah dicabut rambut (sumber: koleksi pribadi)
Pengukuran Nilai pH Daging
Nilai pH diukur mengacu pada metode menurut Lukman et al. (2012).
Sebelum pengukuran nilai pH, pH meter dikalibrasi dengan larutan bufer dengan
pH 4.0 lalu dikalibrasi dengan larutan bufer dengan pH 7.0. Setiap selesai
pencelupan atau pengukuran pada sampel, elektroda dibilas dengan akuades,
kemudian dikeringkan dengan tisu secara hati-hati. Pengukuran dilakukan dengan
cara menempelkan elektroda ke dalam sampel daging sampai nilai pH terbaca

6
konstan. Nilai pengukuran diperoleh dari rata-rata hasil pengukuran yang
dilakukan sebanyak tiga kali di tempat yang berbeda pada setiap sampel.
Pemeriksaan Nilai Drip loss
Nilai drip loss diukur mengacu pada metode menurut Lukman et al. (2012).
Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menimbang sepotong daging
kurang lebih 5 gram per setiap sampel (a), lalu daging digantung dengan benang
dan dimasukkan ke dalam plastik yang diatur sedemikian rupa sehingga daging
tidak bersentuhan dengan sisi bagian dalam kantong plastik. Daging tersebut
digantung di dalam lemari es (7 oC) selama 48 jam. Setelah 48 jam daging
dikeluarkan dan permukaannya dikeringkan dengan tisu secara perlahan-lahan,
kemudian ditimbang (b). Nilai drip loss (%) dihitung dengan rumus:
a - b
drip loss (%) =

x 100 %
a

Pemeriksaan Nilai Cooking Loss
Nilai cooking loss diukur mengacu pada metode menurut Lukman et al.
(2012). Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menimbang sampel
daging (70-100 gram), lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah
dihilangkan udaranya (a). Air dipanaskan hingga suhu 75 oC, lalu kantong plastik
berisi sampel daging dimasukkan ke dalam air panas dan didiamkan selama 50
menit. Selanjutnya air kran dialirkan di atas kantong plastik selama 40 menit,
kemudian daging dikeluarkan dan lalu permukaan daging dikeringkan
menggunakan tisu secara hati-hati tanpa ditekan. Setelah itu, daging ditimbang
kembali (b). Nilai cooking loss (%) dihitung dengan rumus:
a - b
cooking loss (%) =

x 100 %
a

Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah
Nilai kesempurnaan pengeluaran darah diukur mengacu pada metode
menurut Lukman et al. (2012). Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu
membuat ekstrak daging. Sebanyak 6 gram sampel daging dipotong kecil-kecil
dan dimasukkan ke dalam 14 ml akuades dalam Erlenmeyer. Sampel didiamkan
selama 15 menit lalu disaring dan diambil ekstraknya. Sebanyak 0.7 ml filtrat
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya diteteskan ke dalam
tabung reaksi satu tetes larutan malachite green dan satu tetes H2O2 3%. Reaksi
dibiarkan berlangsung selama 20 menit pada suhu kamar, kemudian diamati
warna larutan. Larutan warna biru menunjukkan kesempurnaan darah sempurna.
Larutan berwarna hijau dan keruh menunjukkan kesempurnaan darah tidak
sempurna.

7
Analisis Data
Data pengujian yang terdiri dari nilai pH, nilai drip loss dan cooking loss,
serta kesempurnaan pengeluaran darah dianalisis secara deskriptif dan
dibandingkan dengan data pada daging merah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai pH Daging
Nilai pH daging landak pada jam ke-1 setelah pemotongan diperoleh ratarata 5.87, kemudian meningkat sampai jam ke-12 setelah pemotongan (6.69) dan
menurun kembali pada jam ke-48 setelah pemotongan menjadi 6.42 (Tabel 1).
Pada daging merah lainnya, nilai pH menurun hingga mencapai nilai pH akhir
kemudian dapat meningkat kembali bergantung pada perlakuan dan aktivitas
mikroorganisme pada daging (Soeparno 2009).
Tabel 1 Rataan nilai pH daging landak Jawa setelah penyembelihan
Nilai pH setelah penyembelihan
Sampel
1 jam
2 jam
12 jam
48 jam
Landak 1
5.70
6.78
6.55
6.05
Landak 2

5.58

6.27

6.68

6.23

Landak 3

6.18

6.23

6.71

6.67

Landak 4

6.01

6.11

6.82

6.73

Rataan

5.87

6.35

6.69

6.42

Berdasarkan data di atas, nilai pH daging landak sedikit berbeda dengan
daging merah lainya, yang mana hasil rataan nilai pH daging landak berada di atas
rata-rata kisaran normal pH daging segar yaitu sebesar 5.87 – 6.69 (Tabel 1).
Menurut Lawrie (2006) pH normal daging merah segar berkisar antara 5.4 – 5.8.
Hal tersebut dapat disebabkan adanya variasi antar individu yang sangat besar.
Nilai pH daging landak yang diperoleh pada jam ke-1 setelah pemotongan
mengindikasikan adanya penurunan pH yang relatif cepat akibat pengaruh suhu
(daging landak tidak ditangani pada rantai dingin). Proses ini memicu terjadinya
denaturasi protein yang menghasilkan NH3 yang bersifat basa dan menyebabkan
nilai pH otot meningkat. Hal inilah yang menyebabkan nilai pH otot pada jam ke2 dan ke-12 setelah pemotongan meningkat. Setelah beberapa jam, aktivitas
bakteri mempercepat denaturasi protein dan selanjutnya menyebabkan deteriorasi
atau kebusukan/kerusakan daging yang ditandai dengan adanya bau busuk akibat
munculnya senyawa indol, metil amin, H2S, merkaptan, amina, dan asam-asam
lemak. Penurunan nilai pH pada jam ke-48 setelah pemotongan dapat disebabkan
oleh aktivitas bakteri asam laktat sebagai bakteri pencemar yang mengubah

8
karbohidrat menjadi asam laktat sehingga menyebabkan sedikit penurunan nilai
pH (Soeparno 2009).
Nilai pH yang tercapai setelah glikogen otot habis dan enzim glikolitik tidak
aktif pada pH rendah disebut pH akhir daging. Kualitas daging dipengaruhi nilai
pH akhir daging, penurunan glikogen dan akumulasi asam laktat pada saat
sebelum dan sesudah pemotongan (Kadim et al. 2008). Nilai pH akhir daging
landak pada perlakuan kali ini tidak dapat ditentukan karena dimungkinkan masih
bisa turun kembali mengingat nilai pH terendah yang teramati sebesar 5.58 (Tabel
1) sedangkan enzim-enzim glikolisis masih dapat bekerja menghasilkan asam
laktat pada pH tersebut.

Nilai Drip Loss
Berdasarkan hasil pengujian pada ke-4 sampel daging landak didapatkan
rataan nilai drip loss sebesar 3.07%. Nilai terendah didapat pada sampel daging
landak-2 sebesar 4.35%, sedangkan nilai tertinggi didapat pada sampel daging
landak-1 yaitu sebesar 1.92% (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil pemeriksaan nilai drip loss daging landak Jawa
No Sampel

Nilai drip Loss (%)

Landak 1

1.92

Landak 2

4.35

Landak 3

4.00

Landak 4

2.00

Rataan

3.07

Nilai drip loss daging landak sampel berkisar antara 1.92% dan 4.35%.
Pada daging sapi berkisar 1% sampai 30% (Hariss dan Karmas 1989), sedangkan
pada daging babi berada dikisaran 0.2% sampai 14.9% (Prevolnik et al. 2009).
Daging unta yang disimpan selama 10 hari pada suhu 20 oC berkisar dari 8.2%
sampai 12.3% (Kadim et al. 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai
drip loss daging landak sampel lebih kecil dibandingkan dengan daging merah
lainnya seperti daging sapi dan daging unta. Daging landak dalam penelitian ini
memiliki nilai drip loss lebih rendah daripada daging merah berkaitan dengan
nilai pH daging landak yang lebih tinggi daripada daging merah. Menurut
Soeparno (2009), nilai pH otot mempengaruhi daya ikat air yang selanjutnya
mempengaruhi nilai drip loss. Daya ikat air akan tinggi pada nilai pH otot yang
tinggi dan akan mencapai nilai minimum pada nilai pH titik isoelektrik. Daya ikat
air tinggi ditandai dengan nilai drip loss rendah dan sebaliknya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai drip loss adalah protein sel, suhu,
rigor, integritas membran, stres sebelum pemotongan, proses pengolahan dan
pengemasan daging (Troy dan Kerry 2010). Proses kehilangan cairan juga dapat
diperburuk dengan memotong daging menjadi bagian-bagian kecil. Nilai drip
loss pada potongan daging sangat dipengaruhi oleh ketebalan potongan, rasio luas

9
permukaan dan volume potongan, orientasi pemotongan dengan serabut otot, dan
distribusi pembuluh darah besar (Troy dan Kerry 2010).

Nilai Cooking Loss
Berdasarkan hasil pengujian pada ke-4 sampel daging landak, sampel
landak-2 memperoleh nilai cooking loss tertinggi yaitu sebesar 37.13% dan nilai
cooking loss terendah diperoleh sampel landak-4 yaitu sebesar 31.54%. Ratarataan nilai cooking loss ke-4 sampel daging landak adalah 35.62%. Nilai cooking
loss ke-4 sampel daging landak berkisar dari 31.54 % sampai dengan 37.13 %
(Tabel 3).
Tabel 3 Hasil pemeriksaan nilai cooking loss daging landak Jawa
No Sampel

Nilai Cooking loss (%)

Landak 1

37.01

Landak 2

37.13

Landak 3

36.78

Landak 4

31.54

Rataan

35.62

Nilai cooking loss daging sapi yang termasuk dalam kisaran normal adalah
antara 15% – 40% (Soeparno 2009). Dibandingkan dengan data tersebut, nilai
cooking loss sampel daging landak lebih kecil daripada nilai cooking loss daging
sapi. Nilai cooking loss yang relatif lebih kecil diakibatkan nilai pH daging
landak relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Hal itu juga tampak
pada nilai drip loss yang relatif kecil pada daging landak. Semakin tinggi nilai pH
maka daya ikat air semakin tinggi yang mengakibatkan nilai drip loss dan cooking
loss semakin rendah (Soeparno 2009).
Nilai cooking loss sangat dipengaruhi oleh cara, waktu, dan suhu pemasakan.
Proses perubahan karakteristik air di dalam daging selama proses pemasakan
serupa dengan denaturasi protein otot spesifik.
Secara umum, protein
terdenaturasi melalui 3 tahapan. Tahap pertama, denaturasi miosin pada suhu 4060 ºC. Tahap kedua, denaturasi sarkoplasmik protein dan kolagen pada suhu 6070 ºC. Tahap terakhir, denaturasi aktin pada suhu 80 ºC (Pearce et al. 2011).
Menurut Bouton et al. (1976), faktor yang mempengaruhi nilai cooking loss yaitu
status kontraksi miofibril. Menurunnya kadar air disebabkan terjadinya degradasi
protein miofibril (aktin dan miosin) sehingga protein tidak dapat mengikat air
lebih banyak. Kondisi serabut otot yang lebih pendek dapat meningkatkan nilai
cooking loss, sebaliknya pertambahan umur ternak atau penggemukan yang
semakin lama akan menurunkan nilai cooking loss. Menurut Soeparno (2009)
daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif
baik dari pada susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama
pemasakan akan lebih sedikit.

10
Kesempurnaan Pengeluaran Darah
Berdasarkan hasil pengujian pada ke-4 sampel daging landak, hasil
pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah menunjukkan bahwa semua landak
mengalami proses pengeluaran darah yang sempurna (Tabel 4). Hal ini terlihat
dari hasil percobaan yang menunjukkan semua larutan sampel landak berwarna
biru yang mengindikasikan bahwa di dalam otot tidak terdapat hemoglobin (Hb)
sehingga malachite green teroksidasi oleh oksigen dari H2O2 (Lukman 2012).
Tabel 4 Hasil pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah
No Sampel

Hasil

Landak 1

Sempurna

Landak 2

Sempurna

Landak 3

Sempurna

Landak 4

Sempurna

Pengujian terhadap ke-4 sampel daging menunjukkan pengeluaran darah
sempurna yang mengindikasikan hewan landak tidak mengalami stres berlebih
saat penyembelihan. Hal ini menunjukkan bahwa alat fiksasi penyembelihan
(restraining box) dapat mengurangi tingkat stres landak. Penyembelihan hewan
yang sempurna diindikasikan dengan telah terpotongnya 3 saluran utama yaitu
saluran pernafasan (trachea), pencernaan (esofagus), dan pembuluh darah (arteri
dan vena). Menurut Lukman et al. (2012) hewan yang disembelih dalam keadaan
sakit atau stres akan menyebabkan darah tertinggal dalam otot sehingga
ditemukan adanya hemoglobin dalam otot.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pola penurunan nilai pH
daging landak mirip seperti daging merah lainnya. Nilai pH menurun setelah
pemotongan dan akan meningkat sejalan dengan waktu setelah pemotongan. Nilai
pH daging landak lebih tinggi dibandingkan dengan daging merah yang
menyebabkan daya ikat air daging tinggi dan menyebabkan nilai drip loss dan
cooking loss relatif lebih rendah. Penelitian ini mengindikasikan bahwa landak
tidak mengalami stres yang berlebih saat penyembelihan yang ditunjukkan dengan
tidak adanya darah dalam otot. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan
pengekangan landak menggunakan alat fiksasi penyembelihan (restraining box)
dapat mengurangi tingkat stres yang berlebih.

11
Saran
Dari penelitian ini dapat disarankan agar dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai karakteristik kualitas daging landak lainnya dengan perbandingan
daging merah. Daging harus segera ditangani pada rantai dingin setelah
pemotongan untuk menghambat aktivitas enzim dan mikroorganisme. Alat fiksasi
penyembelihan (restraining box) sangat cocok digunakan untuk mengurangi stres
sebelum penyembelihan.

DAFTAR PUSTAKA
Bouton PE, Harris PV, Shorthose WR. 1976. Influence cooking loss from meat. J
Food Sci. 41: 1080.
Farida WR, Ridwan R. 2011. Giving formulated pellet on Javan porcupine
(Hystrix javanica): effects on fees intake, feed coversion, and digestibility in
pre-domestication condition. J Bio Indones.7(1): 157-170.
Harris RS, E Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengelolaan Pangan. Bandung
(ID): ITB.
Huff-Lonergan E, Lonergan SM. 2005. Mechanisms of water-holding capacity
of meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat
Sci. 71:194–204.
[IUCN] International Union for the Conservation Nature. 2011. IUCN red list of
thereated animal. [Internet].[diunduh 2014 Jan 31]. Tersedia pada:
http://www.iucnredlist.org.
Kadim IT, Mahgoub O, Purchas RW. 2008. A review of the growth, and of the
carcass and meat quality characteristics of the one-humped camel (Camelus
dromedaries). Meat Sci. 80: 555–569.
Lawrie RA. 2006. Lawrie’s Meat Science. Ed ke-7. England (UK): Woodhead.
Lukman DW. 2010. Nilai pH daging. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 11]. Tersedia
pada: higiene pangan dan kesmavet
Lukman DW, Sudarwanto S, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2012. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Pisestyani H,
editor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lunde D, Aplin K. 2008. Hystrix javanica. Di dalam: IUCN red list of threatened
species. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 31]. Tersedia pada:
http://www.iucnredlist.org.
Pearce KL, Rosenvold K, Andersen HJ, Hopkins DL. 2011. Water distribution
and mobility in meat during the conversion of muscle to meat and ageing
and the impacts on fresh meat quality attributes. Meat Sci. 89: 111–124.
Prevolnik M, Čandek-Potokar M, Novič M, Škorjanc D. 2009. An attempt to
predict pork drip loss from pH and colour measurements or near infrared
spectra using artificial neural networks. Meat Sci. 83: 405–411.
Sastrapradja S. 1996. Binatang Hama. Bogor (ID): Lembaga Biologi Nasional
LIPI.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed ke-5. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Sukiya. 2005. Biology Vertebrata. Malang (ID): UM Pr.

12
Troy DJ, Kerry P. 2010. Consumer perception and the role of science in the meat
industry. Meat Sci. 86: 214–226.
Vaughan AT. 1978. Mammalogy. Ed ke-2. Philadelpia (US): Saunders College.
Wardi, Farida WR, Siregar HCH. 2011. Tingkah laku harian landak Raya (Hystrix
brachyura) pada siang hari di penangkaran. J Hayati Indonesia. 4 (2): 21-25.
Warriss PD. 2000. Meat Science: An Introductory Text. Wallingford, Oxon
(UK): Cabi Pub.

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Desa Gelumbang, Manna Bengkulu Selatan, Provinsi
Bengkulu pada tanggal 14 Mei 1992 dari Ayah bernama Sahirman dan Ibu
bernama Masruyah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis
pernah bersekolah di SDN 12 Bengkulu Selatan pada tahun 1998-2004, SMPN 2
Bengkulu Selatan tahun 2004-2007, lulus dari SMAN 5 Bengkulu Selatan tahun
2010 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) di Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, Penulis mendapatkan beasiswa PPA/BBM.
Penulis juga aktif menjadi anggota di UKM catur pada tahun 2010, anggota
Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro Ruminansia) tahun 2012-2013,
anggota divisi musik Komunitas Seni STERIL tahun 2012-2013, dan Ketua
Pengurus Cabang IMAKAHI IPB pada tahun 2013-2014.