Kajian Morfologi Lambung Landak Jawa (Hystrix javanica)

(1)

(Hystrix javanica). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan SUPRATIKNO. Penelitian ini bertujuan memberikan data morphology dan morphometry lambung landak Jawa (Hystrix javanica). Sampel yang digunakan adalah dua organ lambung landak Jawa. Pengamatan organ lambung dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Lambung landak Jawa berbentuk seperti huruf C terbalik dengan ukuran kurvatura minor sangat pendek dan kuvatura mayor yang relatif panjang. Panjang kurvatura mayor lambung landak Jawa adalah 25.25±2.55cm dan kurvatura minor adalah 1.7±0.2 cm. Bagian fundus berbentuk seperti kantong buntu yang dinamakan fundic caecum. Pada hubungan antara pilorus dan duodenum terdapat lapisan otot tebal di daerah kurvatura mayor dan kurvatura minor yang dinamakan sphincter. Hasil pengamatan mikroskopis memperlihatkan bahwa mukosa lambung landak Jawa dilapisi oleh epitel silindris sebaris dan ditutupi oleh lapisan mukus yang sangat tebal. Kelenjar lambung landak Jawa terdiri atas kardia, fundus, dan pilorus. Kelenjar kardia sangat sempit, sedangkan kelenjar fundus adalah kelenjar lambung yang sangat luas. karakteristik distribusi sel-sel kelenjarnya adalah sel chief sangat banyak ditemukan pada daerah fundic caecum, sedangkan sel parietal sangat banyak ditemukan pada daerah kurvatura mayor dan kurvatura minor. Perbatasan antara pilorus dan duodenum ditandai dengan adanya sphincter pilorus. Vili-vili usus yang mengandung sel goblet juga ditemukan pada mukosa duodenum. Namun kelenjar Brunner mulai ditemukan pada bagian proksimal duodenum, tidak pada batas antara pilorus dan duodenum.


(2)

FAIZZA MAILILLA WULANSARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Morfologi Lambung Landak Jawa (Hystrix javanica)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Faizza Maililla Wulansari


(4)

(Hystrix javanica). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan SUPRATIKNO. Penelitian ini bertujuan memberikan data morphology dan morphometry lambung landak Jawa (Hystrix javanica). Sampel yang digunakan adalah dua organ lambung landak Jawa. Pengamatan organ lambung dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Lambung landak Jawa berbentuk seperti huruf C terbalik dengan ukuran kurvatura minor sangat pendek dan kuvatura mayor yang relatif panjang. Panjang kurvatura mayor lambung landak Jawa adalah 25.25±2.55cm dan kurvatura minor adalah 1.7±0.2 cm. Bagian fundus berbentuk seperti kantong buntu yang dinamakan fundic caecum. Pada hubungan antara pilorus dan duodenum terdapat lapisan otot tebal di daerah kurvatura mayor dan kurvatura minor yang dinamakan sphincter. Hasil pengamatan mikroskopis memperlihatkan bahwa mukosa lambung landak Jawa dilapisi oleh epitel silindris sebaris dan ditutupi oleh lapisan mukus yang sangat tebal. Kelenjar lambung landak Jawa terdiri atas kardia, fundus, dan pilorus. Kelenjar kardia sangat sempit, sedangkan kelenjar fundus adalah kelenjar lambung yang sangat luas. karakteristik distribusi sel-sel kelenjarnya adalah sel chief sangat banyak ditemukan pada daerah fundic caecum, sedangkan sel parietal sangat banyak ditemukan pada daerah kurvatura mayor dan kurvatura minor. Perbatasan antara pilorus dan duodenum ditandai dengan adanya sphincter pilorus. Vili-vili usus yang mengandung sel goblet juga ditemukan pada mukosa duodenum. Namun kelenjar Brunner mulai ditemukan pada bagian proksimal duodenum, tidak pada batas antara pilorus dan duodenum.


(5)

Javan porcupine (Hystrix javanica). Supervised by CHAIRUN NISA’ and SUPRATIKNO.

The study was aimed to provide data on the morphology and morphometry of the stomach of Javan porcupine (Hystrix javanica). Two samples of stomach of Javan porcupine was used in the study. The stomach was observed macroscopically and microscopically. Javan porcupine has a C shape like stomach. The lesser curvature was shorter than those of the greater curvature. The lengths of stomach’s greater curvature were 25.25±2.55 cm and the lesser curvature were 1.7±0.2 cm. Fundus region formed a dead-end pocket which called fundic caecum. At the pyloric-duodenal junction a thickened of muscle layer at the side of greater curvature and lesser curvature made a sphincter-like shape. The result of microscopic observation showed that gastric mucosal of Javan porcupine was lined by simple columnar epithelium and covered with thickened mucous fluid. The gastric gland consisted of cardiac, fundic, and pyloric glands. The cardiac gland was narrowest while the fundic gland was widest among the gastric glands. The distribution characteristic of the chief cells were mostly in the fundic caecum region, while those of the parietal cells were mostly in the lesser and the greater curvatures. In the junction between pylorus and duodenum, there was a pyloric sphincter. Intestinal villi which contained goblet cells was observed in the duodenal mucosae. However Brunner cells was found in the proximal duodenum, but not in the pyloric-duodenal junction.


(6)

FAIZZA MAILILLA WULANSARI. Kajian Morfologi Lambung Landak Jawa (Hystrix javanica). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan SUPRATIKNO.

Landak merupakan rodensia berukuran besar yang seluruh permukaan tubuhnya ditutupi oleh rambut keras yang disebut duri. Keberadaan landak di alam masih cukup banyak dan di beberapa tempat dianggap sebagai hama. Oleh karena itu, satwa ini masuk ke dalam daftar least concern, artinya status landak tidak terlalu diperhatikan. Landak merupakan hewan yang memiliki potensi cukup tinggi sebagai ternak harapan untuk dimanfaatkan daging dan durinya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, agar tidak selalu mengambil dari alam, maka landak harus ditangkarkan. Dalam upaya penangkaran landak, diperlukan pengetahuan mengenai data-data biologi untuk menunjang tatalaksana manajemen pemeliharaannya. Sampai saat ini data-data tersebut masih sangat terbatas pada landak Jawa. Salah satu data yang penting untuk diteliti adalah data mengenai saluran pencernaan khususnya organ lambung. Data ini sangat diperlukan karena berkaitan dengan adaptasi terhadap jenis dan pola pakan landak Jawa pada saat dikandangkan.

Sampel yang digunakan adalah organ lambung dari dua ekor landak Jawa, berjenis kelamin jantan, memiliki berat 8.5 kg (Landak A) dan 8 kg (Landak B). Langkah awal yang dilakukan adalah pembiusan landak dengan menggunakan xylazine HCl 2% dengan dosis 2 mg/kg BB dan ketamin HCl 10%. dengan dosis 5 mg/kg BB. Landak diletakkan pada posisi dorsal (terlentang). Penyayatan dilakukan pada linea alba dari perineum hingga pangkal tulang dada dengan membuka lapisan kulit dan fascia. Selanjutnya beberapa tulang dada dipotong dan diafragma disayat hingga terlihat jantung. Proses perfusi diawali dengan menusukkan kanul dari peralatan infus yang berisi larutan NaCl fisiologis ke ventrikel kiri jantung. Selanjutnya atrium kanan digunting sehingga darah akan keluar. Proses ini dilakukan sampai cairan yang keluar dari atrium kanan terlihat jernih, lalu diganti dengan larutan fiksatif paraformaldehid 4%. Setelah larutan fiksatif keluar dari atrium kanan, seluruh organ dikeluarkan dari rongga tubuh dan direndam dalam larutan fiksatif selama 2-3 hari. Selanjutnya organ dipindahkan kedalam larutan alkohol 70% sebagai stopping point dan disimpan sampai proses berikutnya.

Pengamatan makroskopis yang dilakukan meliputi pengamatan bentuk (morfologi) dan ukuran (morfometri) lambung. Pengamatan morfologi luar secara makroskopik pada masing-masing bagian lambung yang terdiri atas daerah kardia, fundus, dan pilorus. Pengukuran organ lambung meliputi pengukuran panjang kurvatura mayor dan kurvatura minor. Pengukuran menggunakan benang nilon sebagai alat bantu, selanjutnya benang nilon diukur menggunakan mistar. Setelah pengamatan dan pengukuran, dilakukan pemotretan organ lambung secara keseluruhan.

Pengamatan struktur mikroskopis dilakukan setelah organ diproses sesuai dengan standar pembuatan preparat histologi. Preparat diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin untuk mengamati distribusi kelenjar lambung.


(7)

bermuara ke bagian proksimal lambung sebelah kiri. Bagian fundus membentuk suatu kantong buntu yang dinamakan fundic caecum. Struktur unik duodenum landak Jawa adalah pada bagian pangkal duodenum yang berhubungan dengan bagian distal lambung (pilorus) memiliki diameter yang lebih besar dibanding mamalia lain pada umumnya.

Lambung landak memiliki dinding otot yang relatif tipis karena pada saat pengambilan sampel, lambung dalam keadaan penuh ingesta. Mukosa lambung cukup rapuh dan mudah terkelupas. Pada kurvatura mayor dan kurvatura minor bagian distal pilorus ditemukan adanya sphicter pilorus yang merupakan batas antara lambung dan duodenum. Hasil pengukuran panjang kurvatura mayor dari dua sampel landak adalah 25.25±2.55 cm dan panjang kurvatura minor adalah 1.7±0.2 cm.

Secara mikroskopis, dinding lambung landak Jawa terdiri atas empat lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Seluruh permukaan mukosa lambung dilapisi oleh epitel silindris sebaris yang ditutupi oleh cairan mukus yang sangat tebal.

Pada perbatasan antara esofagus dan lambung ditandai dengan adanya perubahan epitel dari epitel pipih banyak lapis menjadi epitel silindris sebaris. Landak Jawa memiliki daerah kardia yang sempit, kelenjarnya pendek, dan sel-sel kelenjarnya berbentuk kubus dengan inti berbentuk elips terletak di basal.

Daerah kelenjar fundus landak Jawa cukup luas, meliputi daerah fundic caecum sampai bagian distal lambung berbatasan dengan daerah pilorus. Kelenjar fundus berbentuk tubular sederhana atau bercabang dan berukuran cukup panjang. Distribusi sel-sel pada kelenjar fundus berbeda antara kurvatura mayor, kurvatura minor dan daerah fundic caecum. Pada daerah fundic caecum lambung landak Jawa, sel-sel chief terdistribusi merata pada bagian apikal hingga basal kelenjar. Sebaliknya pada daerah kurvatura mayor dan kurvatura minor, sel-sel parietal ditemukan sangat banyak dibanding sel-sel chief. Namun sel-sel chief pada daerah kurvatura minor lebih sedikit dibanding kurvatura mayor.

Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam. Secara mikroskopis, perbatasan antara pilorus dan duodenum ditandai adanya vili usus dan sel-sel goblet pada epitelnya. Pada lambung landak Jawa, kelenjar Brunner tidak ditemukan pada pangkal duodenum, namun ditemukan pada bagian proksimal lambung


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

FAIZZA MAILILLA WULANSARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(10)

Disetujui

Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet Drh. Supratikno, MSi, PAVet

Ketua Anggota

Diketahui

Drh. Agus Setiyono, MS.PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


(11)

Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka

menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya

menuju Jannah. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan

sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai tanda ridha

terhadap yang dia perbuat. “

(Hadits riwayat Muslim)


(12)

karunia berupa nikmat dan rahmatNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Morfologi Lambung Landak Jawa (Hystrix javanica).

Terimakasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada

1. Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet dan Drh. Supratikno, MSi, PAVet selaku Dosen Pembimbing atas segala didikan, dukungan moril, perhatian, waktu, serta kesabaran dalam membimbing.

2. Dr. Drh. M. Agus Setiadi selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan bimbingan dalam kegiatan akademik.

3. Keluarga tercinta, ibunda dan ayahanda, adik-adikku Fiki Yulia Ummu Hajiroh dan Rahmat Afandi Trizarkasih. Serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril dan materil.

4. Dr. Drh. Nurhidayat PAVet, Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D. PAVet (K), Dr. Drh. Heru Setijanto PAVet (K), Drh. Savitri Novelina, M.Si, dan Drh. Sri Wahyuni atas bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan penelitian ini.

5. Seluruh staf Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi, dan Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

6. Rekan penelitian satu laboratorium (Aidel, Santi, Elsye, Danang, Miko, Fakhri, Ayu, Sheila, Chaca) terima kasih atas kebersamaan, kerjasamanya, dan semangat yang telah diberikan.

7. Sahabat-sahabat (Muhni, Adi ningrum, Trisma Wati, Zulinarti, Dwi Nirvana Bahari, Desi Khairani) atas kesempatan dan perhatiannya mendengarkan dan memberi solusi tiap permasalahan.

8. Rekan KSE (Karya Salemba Empat) dan tim RUSA (Rumah Sahabat) khususnya Muntamah, Intan, Denis, Fandi, dan Veni, yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam penyusunan skripsi.

9. Rekan Pondok Shintarana (Niati Patry, Miftahul Jannah, Siti Nabilah, Putri Rahmayati, Reni Citra Pradani, Zulfa, Nurul Rahmawati, dan Rindi


(13)

10. Teman-teman seperjuangan Gianuzi yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-satu.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga sangat diharapkan adanya saran dan masukan demi kesempurnaan karya ini. Semoga bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2012


(14)

1989 dari ibunda Khusna Aryani dan ayahanda Idrus M. Sholeh. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Pada tahun 1995, penulis mengawali pendidikan pertama di SDN 2 Bima dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri Bima. Tahun 2007 Penulis lulus dari SMA Negeri Kota Bima dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di organisasi Himpro Ruminansia dan divisi kaderisasi Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB 2008-2009, DKM An Nahl periode 2008-2011, dan pengurus Rohis periode 2007-2011. Penulis menerima bantuan beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) periode 2009-2012 serta aktif menjadi pengajar RUSA (Rumah Sahabat) KSE IPB. Selain aktif dalam organis kampus, Penulis menjadi pengajar bimbel Nurul Center Ilmi (NIC).


(15)

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan dan Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica)... 3

Organ Pencernaan ... 4

Lambung Mamalia ... 8

METODE PENILITIAN Waktu dan Tempat ... 13

Materi ... 13

Metode Penelitian a. Struktur Makroskopis ... 14

b. Struktur Mikroskopis ... 14

HASIL Situs Viscerum ... 17

Morfologi Lambung Landak ... 17

a. Makroskopis ... 17

b.Mikroskopis ... 19

PEMBAHASAN. ... 27

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. ... 31

Saran. ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32


(16)

1 Pengukuran kurvatura mayor dan kurvatura minor dari dua sampel organ lambung landak Jawa………. 18


(17)

2 Komparasi saluran pencernaan Rodensia ... 4

3 Skema anatomi lambung ... 8

4 5 Skema organ lambung Hystrix javanica ... Alur pewarnaan hematoksilin eosin ... 14 16 6 Situs viscerum saluran pencernaan landak Jawa ... 17

7 Gambaran morfologi lambung landak Jawa sebelum disayat (A) dan setelah disayat (B) ... 18

8 Gambaran interior lambung landak Jawa ... 19

9 Gambaran mikroskopis batas esofagus dan lambung ... 20

10 Gambaran mikroskopis lapisan dinding lambung ... 20

11 Gambaran mikroskopis daerah kardia landak Jawa ... 21

12 Gambaran mikroskopis daerah fundic caecum ... 22

13 Gambaran mikroskopis daerah kurvatura mayor ... 23

14 Gambaran mikroskopis daerah kurvatura minor ... 24

15 Gambaran mikroskopis kelenjar pilorus dan batas antara lambung dan duodenum ... 25


(18)

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Landak merupakan rodensia berukuran besar yang seluruh permukaan tubuhnya ditutupi oleh rambut keras yang disebut duri. Seekor landak mempunyai kurang lebih 30.000 duri di tubuhnya. Duri yang berwarna hitam terletak pada tubuh bagian depan, warna coklat pada ujung kepala dan muka, dan warna putih pada bagian leher dan punggung (Roze 1989). Landak secara umum mempunyai panjang tubuh antara 40-91 cm, panjang ekor berkisar antara 6-25 cm, dan bobot badan berkisar antara 5.4-16 kg (Parker 1990).

Keberadaan landak di alam masih cukup banyak dan di beberapa tempat dianggap sebagai hama. Oleh karena itu, pada tahun 2008 CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan satwa ini ke dalam daftar least concern, artinya status landak tidak terlalu diperhatikan (Lunde dan Aplin 2008).

Persebaran landak di Indonesia terdapat di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, kecuali sebelah timur Flores. Landak dapat hidup pada berbagai tipe habitat dari mulai hutan primer, perkebunan, semak-semak, padang rumput, bahkan sepanjang perkampungan yang ada di pulau Jawa dan pulau Madura (Sastraprapdjo 1980). Di Afrika, penyebaran landak meliputi daerah hutan tropis, padang savana, padang rumput, dan daerah kering di sepanjang Afrika Selatan (Aarde 1985). Sedangkan di Amerika, landak yang asalnya dari Amerika Selatan dapat ditemukan juga di Kanada dan Amerika bagian barat. Landak memiliki kemampuan adaptasi yang baik secara ekologis hingga dapat ditemukan juga di Alaska utara, seperti di hutan-hutan yang tersisa, padang pasir di dataran rendah seperti Mojave di California, padang pasir di dataran tinggi, dan hutan pinus di seluruh kawasan Amerika Barat (Olson dan Lewis 1999).

Landak merupakan ternak harapan yang memiliki potensi cukup tinggi untuk dimanfaatkan daging dan durinya, bahkan di Malaysia sudah banyak dijumpai peternakan landak. Masyarakat beberapa daerah menganggap daging landak memiliki khasiat yang dipercaya dapat meningkatkan vitalitas laki-laki dan


(20)

menghilangkan gatal-gatal. Selain itu, empedu landak diyakini dapat mengobati penyakit asma (Sulistya 2007). Selain daging dan empedunya, duri landak juga merupakan komoditas yang cukup bernilai untuk dijadikan bahan baku kerajinan tangan dan bahan campuran obat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, agar tidak selalu mengambil dari alam, maka landak harus ditangkarkan.

Dalam upaya penangkaran landak, diperlukan pengetahuan mengenai data-data biologi, perilaku, dan habitat yang cocok untuk menunjang tatalaksana manajemen pemeliharaannya. Sampai saat ini data-data tersebut masih sangat terbatas, terutama pada landak Jawa. Salah satu data yang penting untuk diteliti adalah data mengenai saluran pencernaan. Data ini sangat diperlukan berkaitan dengan adaptasi terhadap jenis dan pola pakan landak Jawa pada saat ditangkarkan.

Struktur dan bentuk saluran pencernaan antar spesies memiliki beberapa variasi khususnya organ lambung. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan habitat, jenis pakan dan perilaku makan, serta proses pencernaan yang terjadi di dalamnya.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi organ lambung landak Jawa (Hystrix javanica), baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan data dasar tentang morfologi makroskopis dan mikroskopis lambung landak H. javanica, sehingga dapat menduga proses pencernaan yang terjadi di dalam saluran pencernaan. Hal ini akan menjadi sumbangan informasi yang berguna bagi penelitian berikutnya dalam upaya penangkaran hewan ini.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Landak Jawa (Hystrix javanica)

Landak termasuk ke dalam ordo Rodensia, famili Hystricidae, genus Hystrix. Genus ini memiliki tiga spesies yang tersebar di Indonesia yaitu, H. javanica, H. brachyura, dan H. sumatrae (Duff dan Lawson 1990). Hystrix javanica atau biasa dikenal sebagai landak ekor pendek Jawa ditemukan oleh F. Cuvier pada tahun 1823 di Jawa (Grzimek 1975). Landak merupakan hewan nokturnal, sehingga kegiatan mencari makan dilakukan pada malam hari. Beberapa jenis pakan yang dikonsumsi landak adalah bagian-bagian tanaman seperti akar, umbi-umbian, kulit kayu, kelapa sawit, dan singkong (Sastraprapdjo 1980).

Hewan ini bersifat soliter dan hidup di tanah (terestrial) (Olson dan Lewis 1999). Landak membuat beberapa lubang di dalam tanah sebagai sarangnya. Sarang landak memiliki kedalaman sekitar 5 meter. Lubang ini terdiri beberapa cabang di dalam tanah. Satu lubang (berukuran lebih besar) menjadi pintu masuk utama dan beberapa lubang (berukuran lebih kecil) sebagai pintu keluar. Karena habitatnya berada didekat pemukiman warga dan ladang masyarakat, tidak jarang landak dianggap sebagai hama yang merusak tanaman di ladang para petani (Sastraprapdjo 1980).

Gambar 1 Landak Jawa (H. javanica) yang dipelihara dalam kandang individual dan diberi pakan beberapa jenis sayuran dan buah.


(22)

Menurut Duff dan Lawson (2004), klasifikasi landak adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodensia Famili : Hystricidae Genus : Hystrix

Spesies : Hystrix javanica

Organ Pencernaan

Organ pencernaan merupakan organ yang berperan penting dalam memperoleh energi yang diperlukan untuk aktivitas. Organ pencernaan terdiri saluran pencernaan dan organ asesoris. Saluran pencernaan berupa suatu tabung muskulo-membran yang dimulai dari rongga mulut, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, dan anus. Sedangkan organ asesoris meliputi gigi, lidah, kelenjar saliva, pankreas, hati, dan kantung empedu (Getty 1975). Morfologi saluran pencernaan bervariasi sesuai dengan adaptasi jenis dan perilaku pakannya (Gambar 2).

Gambar 2 Komparasi saluran pencernaan rodensia. Tikus (A) memiliki saluran pencernaan yang relatif lebih pendek dibandingkan hamster (B) (Sumber: Stevens 1988).

Saluran pencernaan berfungsi dalam mencerna makanan menjadi molekul yang lebih sederhana, menyerap sari-sari makanan dan mengeliminasi sisa-sisa


(23)

makanan yang sulit dicerna (Kent dan Miller 1997). Proses pencernaan makanan terjadi secara mekanik dan kimiawi. Proses pencernaan mekanik yang terjadi di sepanjang saluran pencernaan dibantu oleh adanya gerakan otot polos pada dinding saluran pencernaan yang dinamakan gerak peristaltik. Sedangkan proses pencernaan kimiawi dilakukan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar di lambung, usus, dan kelenjar asesoris (pankreas) (Frandson 1992).

Rongga mulut merupakan permulaan saluran pencernaan. Rongga mulut dibatasi oleh adanya gingiva dan gigi dibagi atas cavum oris proprium yang terletak di medial dan vestibulum oris yang terletak di lateral. Cavum oris proprium bagian dorsal dibatasi oleh palatum durum dan bagian ventral oleh lidah. Vestibulum oris dibatasi oleh labia superior et inferior pada bagian anterior, pada bagian medial oleh gigi dan processus alveolaris, serta pada bagian lateral dibatasi oleh dinding buccalis (Getty 1975). Di dalam rongga mulut terjadi proses pencernaan mekanis atau fisik dan enzimatis. Proses pencernaan mekanis atau fisik terjadi dengan bantuan gigi, lidah dan otot-otot di dalam rongga mulut, serta pelumasan dan pelarutan oleh sekresi kelenjar ludah seperti kelenjar parotis, kelenjar mandibular, dan kelenjar sublingual. Adapun proses pencernaan ezimatis awal dilakukan oleh enzim ptyalin yang terdapat di dalam saliva (Miller 1996).

Esofagus merupakan saluran muskulo-membran yang berfungsi sebagai jalan makanan dari mulut menuju ke lambung. Mukosa esofagus dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis, dan pada beberapa hewan mengalami keratinisasi untuk melindungi mukosa dari abrasi oleh makanan yang kasar atau keras. Tunika muskularis eksterna bagian proksimal umumnya tersusun oleh otot bergaris melintang dan selanjutnya oleh otot polos. Pada beberapa spesies seperti ruminansia, seluruh tunika muskularis eksterna tersusun oleh otot bergaris melintang, sehingga hewan dapat mengontrol gerakan peristaltik dan anti peristaltik esofagus pada saat ruminasi (Bacha dan Bacha 2000).

Pada sebagian spesies hewan terdapat kelenjar mukus yang akan membasahi dan melicinkan makanan untuk mempermudah jalannya makanan menuju ke lambung. Bergeraknya bolus makanan dari esofagus ke lambung juga dibantu oleh gerakan peristaltik pada otot dinding esofagus (Frandson 1992).


(24)

Pada bangsa unggas, terdapat perluasan esofagus yang disebut tembolok (crop) yang berfungsi sebagai tempat penyimpan sementara dan untuk melunakkan pakan yang keras seperti biji-bijian, sebelum dicerna dalam lambung (Stevens 1988).

Lambung merupakan perluasan saluran pencernaan yang terletak di distal esofagus. Pada perbatasan antara lambung dan esofagus beberapa spesies hewan (contohnya kuda) terdapat sphincter kardia yang secara refleks akan terbuka dan menutup pada saat bolus makanan masuk ke lambung. Sedangkan di bagian pilorus terdapat sphincter pilorus yang akan secara otomatis membantu pengaturan ingesta menuju ke duodenum. Di lambung, makanan ditampung, disimpan, dan dicampur dengan asam lambung dan cairan mukus, serta pencernaan oleh enzim-enzim lambung (Gartner dan Hiatt 2001).

Usus dibagi atas usus halus dan usus kasar. Usus halus terbagi atas tiga bagian berdasarkan perbedaan struktur histologi, yaitu duodenum, yeyunum, dan ileum. Duodenum adalah bagian pertama dari usus halus, tempat bermuaranya ductus choledochus yang menyalurkan cairan empedu dan ductus pancreaticus yang menyalurkan sekresi dari pankreas (Dellmann dan Brown 1992). Pada duodenum terjadi proses pencernaan lanjutan bahan-bahan yang belum dicerna di lambung. Pada beberapa mamalia, bagian proksimal duodenum terdapat kelenjar submukosa yang disebut kelenjar Brunner. Kelenjar Brunner berfungsi mensekresikan cairan alkali dan mukus yang berguna untuk menetralisir keasaman ingesta dari lambung (Stevens 1988).

Yeyunum merupakan usus yang paling panjang karena sebagai tempat terjadinya penyerapan makanan. Bagian ini ditandai dengan adanya vili-vili usus yang tinggi. Adapun ileum adalah bagian paling distal dari usus halus, umumnya pendek dan menjadi batas dengan usus besar (Dellmann dan Brown 1992).

Sel epitel usus terdiri atas dua macam, yaitu sel penyerap dan sel mangkok (sel goblet). Sel mangkok berfungsi mensekresikan substansi mukus dan tersebar di antara sel-sel penyerap. Mukus berfungsi selain sebagai pelumas dan pelunak makanan juga sebagai lapisan pelindung mukosa usus terhadap benda-benda asing (Tartaglia dan Waugh 2005).


(25)

Usus kasar terdiri atas sekum, kolon, dan rektum. Mukosa usus besar tidak memiliki vili dan pada epitelnya banyak terdapat sel goblet. Sekum merupakan kantung buntu yang berbatasan dengan ileum. Sekum sangat kecil atau bahkan rudimenter pada hewan yang pakannya tinggi protein (karnivora, insektivora), dan cukup besar pada hewan yang pakannya tinggi serat kasar (herbivora). Pada hewan herbivora seperti kuda, sekum, berbentuk seperti koma, sangat besar, dan pada muskularis eksterna membentuk pita otot yang mengandung serabut elastik yang disebut taenia ceci. Sekum kuda berfungsi sebagai tempat terjadinya fermentasi serat kasar (selulosa) oleh mikroba penghasil enzim selulase. Begitu pula dengan kolon karnivora juga ukurannya sangat kecil, tetapi cukup besar pada herbivora (Dellmann dan Brown 1992). Kolon dapat dibedakan menjadi kolon ascenden, transversum, dan descenden. Rektum adalah bagian usus besar yang paling distal, terletak di rongga pelvis dan langsung berhubungan dengan anus. Selain proses fermentasi, di usus besar terjadi proses penyerapan air, beberapa vitamin dan mineral, serta pembentukan feses (Frandson 1992).

Kelenjar asesoris organ pencernaan yang terdapat di ruang abdomen adalah pankreas dan hati. Pankreas adalah suatu kelenjar tubulo-alveolar yang memiliki bagian endokrin dan eksokrin. Bagian endokrin pankreas disebut pulau Langerhans, terdiri atas sel-sel penghasil hormon terutama insulin (sel Beta) dan glukagon (sel Alfa). Bagian eksokrin dari pankreas menghasilkan NaHCO3 dan

enzim-enzim pencernaan (Frandson 1992).

Hati merupakan kelenjar terbesar yang berperan penting dalam membantu proses pencernaan. Hati berfungsi dalam perombakan sel-sel darah merah yang mati untuk menghasilkan empedu yang akan berperan dalam mengemulsikan lemak sehingga membantu kerja enzim lipase. Selain itu hati juga berperan penting dalam detoksikasi bahan-bahan yang masuk melalui saluran pencernaan, karena semua hasil penyerapan dari yeyunum akan dibawa masuk ke hati melalui vena porta hepatica sebelum disalurkan ke seluruh tubuh (Guyton dan Hall (1997).


(26)

Lambung Mamalia

Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang memiliki sifat dapat berdilatasi dan memiliki struktur seperti kantung. Lambung berfungsi menampung makanan sementara, dilanjutkan dengan proses pencernaan secara mekanik oleh gerakan peristaltik dan secara enzimatik yang dibantu oleh asam hidroklorida (HCl) dan enzim-enzim protease seperti pepsin dan renin (Telford dan Bridgman 1995).

Secara anatomis, lambung mempunyai dua kurvatura, yaitu kurvatura mayor dan kurvatura minor, serta dua permukaan yaitu permukaan parietalis dan visceralis. Lambung mamalia dibagi atas empat daerah, yaitu kardia, fundus, korpus, dan pilorus (Gambar 3). Daerah kardia merupakan bagian yang sempit dan berbatasan dengan gastroesophageal junction. Fundus merupakan daerah awal kurvatura mayor yang berbentuk kubah, dan terletak sebelah kiri dari esofagus. Korpus merupakan bagian terluas dari lambung (kurang lebih 2/3 bagian lambung) dari fundus inferior sampai ke batas pilorus. Pilorus merupakan bagian paling akhir dari lambung (Telford dan Bridgman 1995). Miller (1996) menyatakan, pilorus berbentuk corong yang menyempit ke kaudal. Bagian yang luas dan berbatasan dengan korpus disebut pyloric antrum sedangkan ujungnya yang menyempit disebut pyloric canal. Pada bagian akhir pilorus terdapat sphincter pyilorus yang berfungsi mengatur pelepasan chime ke dalam duodenum.

Gambar 3 Skema anatomi lambung (Modifikasi dari sumber: Tartaglia dan Waugh 2005).

Berdasarkan distribusi sel-sel penyusun kelenjarnya, daerah kelenjar lambung dibagi atas kelenjar kardia, fundus dan pilorus. Menurut Frappier (1998), dinding lambung memiliki empat lapisan dari luar ke dalam, yaitu tunika

Esofagus kardia fundus

korpus duodenum

Sphincter pilorus

Pyloric canal


(27)

serosa, tunika muskularis (lapisan serabut otot polos), tunika submukosa dan tunika mukosa. Tunika serosa yang melapisi saluran pencernaan paling luar adalah adventisia atau serosa. Tunika serosa tersusun dari jaringan longgar yang mengandung lemak, pembuluh darah, dan syaraf (Beveleander dan Ramaley1988).

Gartner dan Hiatt (2001) menyatakan bahwa tunika muskularis pada lambung terdiri atas tiga lapis otot. Lapisan dalam berupa lapisan obliqus, lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler, dan lapisan luar berupa lapisan otot longitudinal. Antara lapisan sirkuler dan lapisan longitudinal dipisahkan oleh pleksus syaraf enterikus dan sel ganglion parasimpatis (pleksus Auerbach’s) yang menginervasi kedua lapis otot tersebut.

Di profundal tunika muskularis terdapat lapisan submukosa. Lapisan submukosa umumnya lebih luas, banyak mengandung jaringan ikat longgar yang bersifat fibroelastik, serta tempat berjalannya cabang-cabang pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan pleksus syaraf (pleksus Meissner) (Telford dan Bridgman 1995).

Tunika mukosa melapisi seluruh permukaan dalam saluran pencernaan. Membran mukosa lambung membentuk lipatan longitudinal yang disebut rugae untuk mengantisipasi lambung pada saat membesar (distensi) ketika lambung penuh berisi makanan. Lipatan mukosa ini tampak jelas pada saat lambung kosong. Membran mukosa terdiri atas tiga komponen, yaitu, epitelium, lamina propia, dan muskularis mukosa. Epitel mukosa umumnya tersusun oleh sel-sel silindris penghasil mukus yang berfungsi melapisi dan melindungi mukosa lambung. Pada lapisan mukosa terdapat gastric pit yang merupakan lubang permuaraan kelenjar lambung (Gartner dan Hiatt 2001).

Kelenjar lambung berbentuk tubular sederhana atau bercabang yang meluas ke bagian basal. Kelenjar lambung dibagi menjadi tiga daerah, yaitu kardia, fundus dan pilorus yang masing-masing disusun oleh sel-sel yang berbeda. Kelenjar kardia disusun oleh sel-sel penghasil mukus. Kelenjar fundus disusun oleh beberapa macam sel seperti sel-sel mukus permukaan, sel-sel mukus leher, sel-sel utama (sel chief), sel-sel parietal (sel oksintik) dan sel-sel endokrin.


(28)

Sedangkan kelenjar pilorus disusun oleh sel-sel mukus dan sel-sel endokrin, terutama sel-sel penghasil hormon gastrin (Dellmann dan Brown 1992).

Sel-sel mukus permukaan berbentuk silindris rendah atau tinggi yang melapisi seluruh permukaan mukosa lambung dan menghasilkan mukus yang cukup tebal untuk melindungi mukosa lambung dari HCl dan abrasi. Sel-sel mukus leher berukuran lebih kecil dari sel permukaan, bersifat basofil, jumlahnya relatif sedikit, mempunyai dasar yang lebar dan menyempit dibagian puncaknya. Sel mukus leher berfungsi mensekresikan mukus yang berfungsi terutama dalam menetralisir HCl. Sel chief terdistribusi terutama di bagian basal kelenjar lambung dan mempunyai bentuk sel yang khas. Sel ini mengandung bahan yang bersifat basofilik, sebagian besar mitokondria dan granula sekresi yang mengandung pepsinogen, zat pemula pepsin (Telford dan Bridgman 1995). Sedangkan sel-sel parietal berbentuk bulat, berukuran relatif besar, bersifat asidofil, dan letaknya tersebar pada lumen yang dipisahkan oleh sel-sel chief. Sel-sel enteroendokrin berjumlah lebih sedikit, letaknya tersebar di antara membran basal dan sel-sel kelenjar lambung. Sel-sel ini menghasilkan hormon yang berfungsi mengatur komposisi sekresi lambung (air, enzim, dan kadar elektrolit), motilitas dinding usus, proses penyerapan, dan penggunaan makanan (Gartner dan Hiatt 2001).

Guyton dan Hall (1997) menyatakan bahwa lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis, dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel yang mensekresi mukus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar tubular yang penting, yaitu kelenjar oksintik (gastric) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada bagian korpus dan fundus lambung. Kelenjar oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan mensekresikan mukus, asam hidroklorida (HCl), faktor intrinsik, dan pepsinogen. Kelenjar pilorik berfungsi mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus.

Fungsi motorik lambung terdiri atas (1) penyimpanan sejumlah besar makanan hingga dapat diproses dalam duodenum, (2) pencampuran makanan dengan sekresi lambung hingga membentuk suatu campuran setengah cair yang


(29)

disebut kimus (chyme), dan (3) pengosongan makan dari lambung ke dalam usus dengan lambat pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan Lester 1994; Guyton dan Hall 1997).

Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan barier antara lambung dengan berbagai bahan yang masuk melalui saluran pencernaan, seperti makanan, produk-produk pencernaan, bahan toksin, obat-obatan, mikroorganisme asing, dan bahan-bahan yang berasal dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem proteksi yang berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi (faktor pertahanan) tersebut dilakukan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Faktor proteksi-epitelial

Faktor proteksi-epitelial adalah faktor pertahanan paling atas saluran pencernaan yang letaknya merata pada lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran pencernaan. Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi sebagai proteksi lapisan epitel terhadap enzim-enzim proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman di sekitar lapisan sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif di sekeliling dan di dalam lapisan epitel mukosa dapat bekerja dengan baik (Guyton dan Hall 1997).

Menurut Guyton dan Hall (1997), mukus adalah sekresi kental yang tediri atas air, elektrolit, dan campuran beberapa glikoprotein yang mengandung sejumlah besar polisakarida, berikatan dengan protein yang jumlahnya lebih sedikit. Lapisan mukus lambung yang tebal dan liat merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994).

Mukus menutupi lumen saluran pencernaan dan berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras), (b) berier terhadap asam, (c) barier terhadap enzim proteolitik (pepsin), dan (d) pertahanan terhadap organisme patogen.


(30)

2. Faktor epitelial

Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi sekresi dan absorpsi saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada mukosa seperti gastritis dapat diperbaiki dengan mempercepat pergantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel saluran pencernaan akan Sel-selalu mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari (Malik 1992).

3. Faktor sub-epitelial

Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus-menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi, dan sebagai sumber energi (Julius 1992). Fungsi aliran darah mukosa juga sebagai bufer difusi balik ion H+ (Setiawati 1992).

4. Proteksi sebagai sistem imun lokal dan sistemik

Sistem pencernaan juga diproteksi oleh sistem imun lokal dan sistemik, serta sistem limfatis terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya. Sistem imun lokal terdapat dalam saluran pencernaan, sedang sistem imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari sistem imun dalam saluran pencernaan adalah sel-sel radang lokal (sel plasma, sel limfosit, sel monosit) dan jaringan limfoid yang bersifat sistemik (Malik 1992).


(31)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan mulai dari bulan November 2010 hingga September 2011. Pengamatan struktur anatomi dan pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah organ lambung dari dua ekor landak Jawa berjenis kelamin jantan, dengan berat 8.5 kg (Landak A) dan 8 kg (Landak B) yang telah difiksasi dalam larutan paraformaldehid 4% untuk pengamatan makroskopis dan mikroskopis.

Bahan dan alat yang digunakan adalah bahan dan alat untuk pengamatan standar secara makroskopis dan mikroskopis, serta prosedur pembuatan preparat histologis. Peralatan yang digunakan dalam pengamatan makroskopis dan mikroskopis adalah mikroskop cahaya, mikroskop stereo, tali/benang, penggaris, pinset dan alat dokumentasi berupa kamera. Bahan dan alat yang digunakan dalam prosedur pembuatan preparat histologis adalah adalah satu set larutan dehidrasi, parafin, satu set larutan deparafinisasi dan rehidrasi, pewarna hematoksilin eosin (HE), scalpel, basket, blok kayu, parafin, inkubator parafin, mikrotom, object glass, dan cover glass.

Metode Penelitian

Pembiusan landak dilakukan dengan cara memasukkan landak ke dalam kandang, kemudian dijepit dengan menggunakan papan dan bilah kayu. Setelah landak terjepit, dilakukan penyuntikan obat bius dengan menggunakan xylazine HCl 2% dengan dosis 2 mg/kg BB dan ketamin HCl 10% dengan dosis 5 mg/kg BB. Penyuntikkan dilakukan secara intramuscular (IM) pada otot di bagian dorsal ekor landak. Setelah terbius landak diletakkan di atas papan preparasi pada posisi dorsal (terlentang). Penyayatan dilakukan pada linea alba dari perineum


(32)

hingga pangkal tulang dada dengan membuka lapisan kulit dan fascia. Kemudian beberapa tulang dada dipotong dan diafragma disayat hingga terlihat jantung. Proses perfusi diawali dengan menusukkan kanul dari peralatan infus yang berisi larutan NaCl fisiologis ke ventrikel kiri jantung. Selanjutnya atrium kanan digunting sehingga darah akan terbilas. Proses ini dilakukan sampai cairan yang keluar dari atrium kanan terlihat jernih, lalu diganti dengan larutan fiksatif paraformaldehid 4%. Setelah larutan fiksatif keluar dari atrium kanan, seluruh organ dikeluarkan dari rongga tubuh dan direndam dalam larutan fiksatif selama 2-3 hari. Selanjutnya organ dipindahkan kedalam larutan alkohol 70% sebagai stopping point dan disimpan sampai proses berikutnya.

a. Struktur Makroskopis

Pengamatan makroskopis yang dilakukan meliputi pengamatan bentuk (morfologi) dan ukuran (morfometri) lambung. Pengamatan morfologi luar dilakukan dengan mata telanjang (makroskopik) pada masing-masing bagian lambung yang terdiri atas daerah kardia, fundus, dan pilorus.

Pengukuran organ lambung meliputi pengukuran panjang kurvatura mayor dan kurvatura minor. Pengukuran menggunakan benang nilon sebagai alat bantu, selanjutnya benang nilon diukur menggunakan mistar. Setelah pengamatan dan pengukuran, dilakukan pemotretan organ lambung secara keseluruhan.

b. Struktur Mikroskopis Pembuatan preparat histologis

Sebelum dilakukan tahap dehidrasi dan embedding, organ dipotong sesuai dengan bagian yang diamati. Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera pada Gambar 4 di bawah ini

Gambar 4 Skema organ lambung (Hystrix javanica) yang menunjukkan lokasi pengambilan sampel pada lambung.

Eso = Esofagus, Duo = Duodenum. Eso


(33)

Bagian-bagian sampel dipotong dengan menggunakan scapel dan pisau mikrotom, lalu dimasukkan ke dalam basket. Selanjutnya dilakukan proses dehidrasi untuk menarik air dari dalam jaringan. Dehidrasi dilakukan menggunakan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100% I, 100% II, dan 100% III. Setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dalam xylol untuk menghilangkan bahan yang dapat mengganggu proses embedding. Proses infiltrasi parafin dilakukan dalam inkubator dengan pengulangan sebanyak tiga kali untuk menyempurnakan proses masuknya sampel. Penanaman jaringan (embedding) dilakukan dengan cara menanam jaringan yang telah melalui proses infiltrasi parafin ke dalam parafin cair untuk dijadikan blok parafin.

Setelah blok parafin terbentuk, blok tersebut dilekatkan pada balok kayu untuk memudahkan proses pemotongan. Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom rotary dengan ketebalan 5μm. Hasil sayatan dibentangkan di atas permukaan air matang (30ºC) kemudian dipindahkan ke permukaan air hangat (40ºC) selama beberapa detik. Hasil sayatan kemudian diletakkan di atas object glass yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan diberi label sesuai dengan sediaan preparat. Preparat tersebut kemudian diinkubasi selama 1 malam pada suhu 37ºC-40ºC.

Pewarnaan yang digunakan dalam pengamatan adalah hematoksilin eosin (HE). Pewarnaan HE merupakan pewarnaan yang digunakan untuk melihat struktur histologis secara umum. Proses pewarnaan diawali dengan deparafinisasi, dan rehidrasi menggunakan xylol I (5 menit), xylol II (3 menit), xylol III (3 menit), alkohol 100% I (5 menit), alkohol 100% II (3 menit), alkohol 100% III (3 menit), alkohol 95% (3 menit), alkohol 90% (3 menit), alkohol 80% (3 menit), alkohol 70% (3 menit) dan direndam dengan air keran dan aquades masing masing selama 5 menit.

Proses pewarnaan hematoksilin eosin dimulai dengan mencelupkan preparat ke dalam larutan hematoksilin selama 20 detik, kemudian dibilas dengan aquades. Setelah itu, proses dilanjutkan dengan direndam di dalam eosin selama 1 menit dan dibilas kembali dengan aquades. Setelah tahap pewarnaan, dilakukan proses dehidrasi kembali dengan menggunakan alkohol bertingkat, mulai dari


(34)

70%, 80%, 90%, 95%, 100% I, 100% II, 100% III, kemudian dimasukkan kembali ke dalam xylol I,II, dan III selama 5 menit.

Gambar 5 Alur pewarnaan hematoksilin eosin

Pengamatan preparat mikroskopis.

Pengamatan struktur mikroskopis organ lambung dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Beberapa bagian lambung diamati pada bagian tunika mukosa, tunika submukosa, tunika serosa, dan distribusi sel-sel kelenjar pada lambung.

Deparafinisasi dan rehidrasi

Aquadest Air keran

Eosin Aquadest Hematoksilin

Mounting Clearing


(35)

HASIL

Situs viscerum

Lambung landak Jawa terletak transversal di bagian kranial ruang abdomen. Pada permukaan kranio-ventral tertutup oleh hati dan pada bagian medio-kranial terdapat processus xyphoideus yang menutupi bagian tengah organ hati. Di sepanjang permukaan kranio-lateral lambung sebelah kiri terdapat organ limpa berukuran relatif panjang (Gambar 6).

Gambar 6 Situs viscerum saluran pencernaan landak Jawa.

a. esofagus, b. trakhea, c. paru-paru, d. jantung e. limpa yang terletak di sepanjang permukaan kranio-lateral lambung, f. hati yang menutupi dengan bagian kranio-ventral lambung, g. lambung, h. duodenum. Bar = 5 cm.

Morfologi Lambung Landak Jawa a. Makroskopis

Lambung landak Jawa berbentuk seperti huruf C terbalik dengan ukuran kurvatura minor yang pendek dan kuvatura mayor yang relatif panjang. Landak A memiliki panjang kurvatura mayor 22.7 cm dan kurvatura minor 1.5 cm. Sedangkan landak B panjang kurvatura mayor 27.8 cm dan kurvatura minor 1.9 cm. Pengukuran panjang kurvatura mayor dan kurvatura minor dari dua sampel organ lambung landak Jawa dapat dilihat dalam Tabel 1.

a

b d c

e

f


(36)

Tabel 1 Pengukuran kurvatura mayor dan kurvatura minor dari dua sampel organ lambung landak Jawa.

Fundus terletak disebelah kiri esofagus, pilorus sebelah kanan esofagus dan menjadi penghubung ke duodenum. Bagian fundus lebih sempit dibanding bagian korpus dan pilorus. Bagian fundus membentuk suatu kantong buntu yang dinamakan fundic caecum (Gambar 7).

Gambar 7 Gambaran Morfologi lambung landak Jawa sebelum disayat (A) dan setelah disayat (B)

a. pangkal esofagus yang berhubungan langsung dengan kardia lambung, b. fundic caecum yang cukup panjang, c. korpus lambung yang berbentuk setengah lingkaran, d. duodenum yang berdiameter lebih besar pada perbatasan dengan pilorus. Bar = 3 cm.

Lambung landak memiliki dinding yang relatif tipis karena pada saat pengambilan sampel, lambung dalam keadaan penuh ingesta. Saat lambung dalam keadaan kosong, terlihat adanya lipatan-lipatan mukosa yang tampak jelas pada bagian fundic caecum. Mukosa lambung cukup rapuh dan mudah terkelupas. Pada bagian distal dari pilorus ditemukan sphincter pilorus pada kurvatura mayor dan kurvatura minor yang menjadi batas antara lambung dan duodenum. Sphincter pilorus kurvatura minor memiliki otot yang lebih tebal dibanding kurvatura mayor (Gambar 8).

Ukuran Lambung Landak A Landak B Rata-rata Kurvatura Mayor 22.7 cm 27.8 cm 25.25±2.55 cm Kurvatura Minor 1.5 cm 1.9 cm 1.7±0.2 cm

a b d

c

d a

b

c


(37)

Gambar 8 Gambaran interior (A) lambung landak Jawa, (B) daerah fundic caecum yang () permukaan mukosanya membentuk lipatan-lipatan, (C) sphincter lambung pada kurvatura minor.

Bar A = 4 cm, Bar B = 1 cm, Bar C = 0,5 cm.

b. Mikroskopis

Lapisan Dinding Lambung Landak Jawa

Secara mikroskopis, perbatasan antara esofagus dan lambung ditandai dengan adanya perubahan epitel dari epitel pipih banyak lapis menjadi epitel silindris sebaris (Gambar 9). Dinding lambung landak Jawa memiliki empat lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Seluruh permukaan mukosa lambung dilapisi oleh epitel silindris sebaris dan ditutupi oleh cairan mukus yang sangat tebal. Kelenjar lambung terdapat dalam lamina propia dan pada bagian profundalnya terdapat lamina muskularis mukosa yang cukup tebal dan menjadi batas dengan lapisan submukosa (Gambar 10).

Tunika submukosa adalah lapisan yang terdapat di profundal lapisan mukosa. Lapisan ini didominasi jaringan ikat longgar dan banyak ditemukan buluh darah (arteri dan vena) dan kumpulan sel-sel syaraf yang membentuk plexus Meissner (Gambar 10).

Tunika muskularis adalah lapisan otot yang tebal dan disusun oleh otot polos yang terbagi menjadi dua lapisan. Lapisan dalam merupakan otot yang tesusun secara sirkuler, sedangkan lapisan luar merupakan otot yang tersusun secara longitudinal. Diantara kedua lapis tunika muskularis ditemukan adanya


(38)

jaringan ikat longgar, pembuluh darah dan kumpulan sel-sel syaraf yang membentuk plexus Myenteric. Bagian terluar dari lambung dilapisi oleh tunika serosa yang disusun oleh jaringan ikat longgar (Gambar 10).

Gambar 9 Gambaran mikroskopis batas esofagus dan lambung.

() batas esofagus dan lambung, (a) epitel pipih banyak lapis, (b) epitel silindris sebaris. Pewarnaan HE, Bar =5 µm.

Gambar 10 Gambaran mikroskopis lapisan dinding lambung landak Jawa yang tersusun atas (Mu) tunika mukosa, (SM) tunika submukosa, (TM) tunika muskularis, dan (Se) tunika serosa

a. lapisan mukus yang sangat tebal, b. epitel permukaan,

c. muskularis mukosa, d. tunika muskularis yang tersusun secara sirkular, e. tunika muskularis yang tersusun secara longitudinal.

Pewarnaan HE, Bar = 15 µm.

Mu SM TM

Se a

b

c

d e

a


(39)

Distribusi Kelenjar Lambung Landak

Landak Jawa memiliki daerah kardia yang sempit, kelenjarnya pendek dan lurus. Sel-sel kelenjar kardia berbentuk kubus dengan inti berbentuk elips terletak di basal. Lumen kelenjar telihat lebih jelas dan luas dibanding daerah fundus dan pilorus (Gambar 11). Beberapa sel parietal mulai ditemukan pada daerah peralihan, yaitu batas antara daerah kardia dan daerah fundus

Gambar 11 Gambaran mikroskopis daerah kardia lambung landak yJawa yang sangat sempit dengan sel kelenjar berbentuk kubus dengan inti berbentuk elips () terletak di basal. Lumen kelenjar (*) terlihat lebih jelas dan lebih luas.

Pewarnaan HE, Bar A = 15 µm, A’ = 3µm. A

A’


(40)

Gambar 12 Gambaran mikroskopis daerah fundic caecum.

sel chief (

)tersebar mulai dari apikal hingga basal kelenjar di antara sel parietal () yang relatif sedikit, (a) lamina propia, (b) muskularis mukosa. Pewarnaan HE, Bar A =10 µm, A’ = 2 µm.

Daerah kelenjar fundus landak Jawa cukup luas, meliputi daerah fundic caecum sampai bagian distal lambung berbatasan dengan daerah pilorus. Kelenjar fundus berbentuk tubular sederhana atau bercabang dan berukuran cukup panjang. Distribusi sel-sel pada kelenjar fundus berbeda antara kurvatura mayor, kurvatura minor dan daerah fundic caecum. Pada daerah fundic caecum lambung landak Jawa, sel-sel chief terdistribusi merata pada bagian apikal hingga basal kelenjar (Gambar 12). Sebaliknya pada daerah kurvatura mayor dan kurvatura minor, sel-sel parietal ditemukan sangat banyak dibanding sel-sel-sel-sel chief (Gambar 13).

a

b

A


(41)

Namun sel-sel chief pada daerah kurvatura minor lebih sedikit dibanding kurvatura mayor (Gambar 14).

Gambar 13 Gambaran mikroskopis daerah kurvatura mayor, sel parietal () ditemukan sangat banyak di antara sel chief (

). Pewarnaan HE, Bar A = 8 µm, A’ = 4 µm.

Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam. Secara mikroskopis, perbatasan antara pilorus dan duodenum ditandai adanya vili usus dan sel-sel goblet pada epitelnya (Gambar 15). Pada lambung landak Jawa, kelenjar Brunner tidak ditemukan pada pangkal duodenum, namun ditemukan pada bagian proksimal lambung (Gambar 16).

A


(42)

Gambar 14 Gambaran mikroskopis daerah kurvatura minor yang didominasi oleh sel parietal (), dan sel chief () yang sangat sedikit. Pewarnaan HE, Bar A = 6 µm, A’ = 3 µm.

A


(43)

Gambar 15 Gambaran mikroskopis kelenjar pilorus () landak Jawa dan batas antara lambung dan duodenum (). a. vili usus, b. sel goblet, c. lapisan mukus yang sangat tebal.

Duo = Duodenun, Pilo = pilorus. Pewarnaan HE. Bar A = 20 µm, A’= 5 µm.

Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam. Secara mikroskopis, perbatasan antara pilorus dan duodenum ditandai adanya vili usus dan sel-sel goblet pada epitelnya (Gambar 15). Pada lambung landak Jawa, kelenjar Brunner tidak ditemukan pada pangkal duodenum, namun ditemukan pada bagian proksimal lambung (Gambar 16).

A

c

A’

a

b Duo

Pilo Duo


(44)

Gambar 16 Gambaran mikroskopis bagian proksimal duodenum.

a.vili usus, b. kelenjar Brunner, c. pembuluh darah, d. tunika muskularis. Pewarnaan HE, Bar = 10 µm.

a

b

c


(45)

PEMBAHASAN

Situs viscerum

Lambung landak Jawa terletak transversal di bagian kranial ruang abdomen. Pada permukaan kranio-ventral tertutup oleh hati dan pada bagian medio-kranial terdapat processus xyphoideus yang menutupi bagian tengah organ hati. Kondisi ini mirip dengan letak lambung pada trenggiling (Nisa’ 2005). Di sepanjang permukaan kranio-lateral lambung sebelah kiri terdapat organ limpa berukuran relatif panjang.

Morfologi Lambung Landak Jawa a. Makroskopis

Secara makroskopis lambung landak Jawa berbentuk seperti huruf C terbalik dengan ukuran kurvatura minor yang pendek dan kuvatura mayor yang relatif panjang. Esofagus bermuara ke bagian proksimal lambung sebelah kiri. Landak memiliki struktur duodenum yang unik yaitu bagian pangkal duodenum yang berhubungan dengan bagian distal lambung (pilorus) memiliki diameter yang lebih besar dibanding mamalia lain pada umumnya.

Kardia adalah bagian lambung yang sempit dan berbatasan dengan gastroesophagel junction, fundus merupakan bagian yang berbentuk seperti kubah, terletak di sebelah kiri esofagus, dan pilorus merupakan bagian paling akhir dari lambung. Pilorus berbentuk corong dengan perluasan kerucut, pada bagian yang berbatasan dengan korpus disebut pyloric antrum, sedangkan ujungnya yang menyempit disebut pyloric canal.

Bagian fundus landak Jawa membentuk suatu kantong buntu yang dinamakan fundic caecum. Menurut Fleming (1988), fundic caecum adalah bagian fundus lambung yang membentuk suatu kantong buntu menyerupai sekum. Struktur fundic caecum juga ditemukan pada beberapa rodensia lain seperti pada tikus (Rattus sp.), hamster (Cricetus sp.), dan kelinci (Oryctolagus sp.) (Steven 1988). Struktur ini juga ditemukan pada kelelawar pemakan serangga (Scotophilus kuhli) dan kelelawar pemakan buah (Cynopterus brachyotis) (Nisa’ 1997). Adanya struktur fundic caecum menunjukkan bahwa landak membutuhkan


(46)

ruang lambung yang lebih besar untuk menampung dan mengolah makanan. Pada bagian distal dari pilorus ditemukan adanya sphincter pilorus. Sphincter pilorus tampak lebih tebal pada bagian kurvatura minor dibanding kurvatura mayor.

b. Mikroskopis

Lapisan Dinding Lambung Landak Jawa

Secara mikroskopis, dinding lambung landak Jawa memiliki empat lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa lambung terdiri atas epitelium, lamina propia, dan muskularis mukosa (Telford dan Bridgman 1995). Seluruh permukaan mukosa lambung landak Jawa dilapisi oleh epitel silindris sebaris dan ditutupi oleh lapisan mukus yang sangat tebal. Adanya lapisan mukus yang sangat tebal mengakibatkan epitel permukaan mukosa lambung mengerut dan tertarik oleh cairan mukus. Epitel permukaan ini akan beregenerasi bila mengalami kerusakan. Epitel ini akan diganti oleh sel-sel dari alur gastrikum dalam waktu tiga sampai empat hari (Dellmann dan Brown 1992).

Lapisan mukus yang sangat tebal diduga untuk melindungi mukosa lambung terhadap proses autodigesti (Guyton dan Hall 1997) atau abrasi akibat trauma mekanis dan kimiawi (Wilson dan Lester 1994). Hal ini disebabkan di alam pakan landak adalah bagian-bagian tanaman seperti akar, umbi-umbian, kulit kayu yang kasar dan mengandung bahan-bahan toksik yang berbahaya (Sastraprapdjo 1980).

Distribusi Kelenjar Lambung Landak

Lambung landak terbagi atas tiga daerah kelenjar, yaitu kardia, fundus, dan pilorus. Menurut Telford dan Bridgman (1995), kardia merupakan bagian lambung yang sempit dan berbatasan dengan gastroesophageal junction. Landak Jawa memiliki daerah kardia yang sempit, kelenjarnya pendek, dan sel-sel kelenjarnya berbentuk kubus dengan inti berbentuk elips terletak di basal. Lumen kelenjar kardia telihat lebih jelas dan luas dibandingkan dengan daerah fundus dan pilorus. Kondisi daerah kelenjar kardia yang sempit ini juga ditemukan pada lambung kelelawar pemakan serangga (Scotophilus kuhli) dan kelelawar pemakan buah (Cynopterus brachyotis) (Nisa’ 1997), dan sangat berbeda dengan lambung


(47)

babi yang memiliki daerah kelenjar kardia yang mencapai hingga sepertiga lambung (Bloom and Fawcett 2002). Menurut Guyton dan Hall (1997), kelenjar kardia berfungsi menghasilkan lendir (mukus). Kelenjar ini juga berfungsi sebagai petahanan terhadap autodigesti dan memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994 ).

Daerah kelenjar fundus landak Jawa cukup luas, meliputi daerah fundic caecum sampai bagian distal lambung berbatasan dengan daerah kelenjar pilorus. Kelenjar fundus berbentuk tubular sederhana atau bercabang dan berukuran cukup panjang. Distribusi sel-sel pada kelenjar fundus berbeda antara kurvatura mayor, kurvatura minor dan daerah fundic caecum. Pada umumnya sel parietal terdistribusi pada bagian apikal hingga medial kelenjar, sedangkan sel chief terdistribusi pada bagian medial sampai basal kelenjar. Namun pada lambung landak Jawa terdapat pola distribusi yang berbeda.

Pada daerah fundic caecum lambung landak Jawa, sel-sel chief terdistribusi merata pada bagian apikal hingga basal kelenjar. Daerah fundic caecum berfungsi untuk menampung makanan sementara, dan adanya sel-sel chief memberikan dugaan bahwa pada daerah ini terjadi proses pencernaan sebagian bahan pakan yang lunak dan mengandung protein. Menurut Isnaeni (2006), sel chief berfungsi menghasilkan pepsinogen yang merupakan bentuk inaktif dari enzim pepsin. Pesinogen akan diubah menjadi bentuk aktif (pepsin) oleh HCl. Selanjutnya, pepsin akan menguraikan protein dengan cara memutus ikatan peptida sehingga menjadi asam amino yang dapat diserap oleh darah.

Sebaliknya pada daerah kurvatura mayor dan kurvatura minor, sel-sel parietal ditemukan sangat banyak dibanding sel-sel chief. Namun sel-sel chief pada daerah kurvatura minor lebih sedikit dibanding kurvatura mayor. Sel-sel parietal ditemukan dalam jumlah besar menunjukkan besarnya peranan HCl pada lambung landak. Hal ini sesuai dengan hipotesa yang mengatakan bahwa HCl berperan dalam menguraikan bahan-bahan dari tanaman yang mengandung serat kasar. Fungsi lain dari HCl adalah membunuh mikroorganisme tertentu yang masuk bersama makanan (Tjay dan Rahardja 2007).

Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam. Daerah pilorus merupakan bagian lambung


(48)

paling akhir dan berbatasan dengan duodenum. Pada perbatasan antara pilorus dan duodenum selain ditandai oleh adanya sphincter pilorus, secara mikroskopis juga mulai ditemukan adanya vili usus dan sel-sel goblet pada epitelnya. Sel goblet ini berfungsi menghasilkan mukus pelindung. Pada sebagian mamalia, kelenjar Brunner ditemukan pada submukosa duodenum bagian proksimal dekat dengan sphincter pilorus. Kelenjar Brunner berfungsi mensekresikan cairan alkali dan mukus (Stevens 1988). Pada lambung landak Jawa, kelenjar ini tidak ditemukan pada pangkal duodenum, namun ditemukan pada bagian proksimal lambung. Hal ini diduga karena banyaknya sel mukus dalam lambung, sehingga kelebihan asam lambung sudah dapat dinetralisir sebelum memasuki daerah duodenum.


(49)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Landak Jawa memiliki lambung berbentuk seperti huruf C terbalik dengan ukuran kurvatura minor yang pendek dan kuvatura mayor yang relatif panjang. Lambung landak Jawa membentuk suatu kantong buntu yang dinamakan fundic caecum dan memiliki tiga daerah kelenjar yaitu kardia, fundus, dan pilorus. Daerah kelenjar kardia sangat sempit, sel-sel kelenjarnya berbentuk kubus dengan inti berbentuk elips terletak di basal. Daerah kelenjar fundus sangat luas, bentuk kelenjarnya cukup panjang dan bercabang. Kelenjar fundus pada bagian fundic caecum didominasi oleh sel-sel chief sedangkan daerah kurvatura mayor dan minor didominasi oleh sel-sel parietal. Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam. Perbatasan antara pilorus dan duodenum selain ditandai dengan adanya sphincter pilorus, juga vili-vili usus dan sel-sel goblet pada vili usus. Pada landak Jawa, kelenjar Brunner mulai ditemukan pada bagian proksimal duodenum, tidak pada perbatasan antara pilorus dan duodenum.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem pencernaan landak Jawa secara lebih komprehensif, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap khususnya mengenai jenis pakan dan aktivitas pencernaan landak.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Aarde RJV. 1985. Reproduction in Captive Female Cape Porcupines (Hystrix africaeaustralis). J Reprod & Fertility. 75: 577-582.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. hlm 221-243.

Bevelender G, Ramaley JA. 1988. Dasar-dasar Histology. Edisi ke-8. Penerjemah: Wisnu Gunarso. Jakarta: Erlangga.

Bloom W, Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi ke-12. Penerjemah: Jan Tambayong. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Indonesia EGC.

Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Edisi ke-3. Penerjemah: R. Hartono. Jakarta: Penerbit universitas Indonesia.

Duff A, Lawson A. 2004. Mammals of the World a Checlist. London: Yale University Press.

Frappier B. 1998. Digestive System Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.

Fleming TH. 1988. The Short-tailed Fruit Bat. London: The University of Chicago.

Frandson FD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Penerjemah; B. Srigandono, Koen Praseno. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Gartner LP, Hiatt JL. 2001. Color Textbook of Histology. Edisi ke-2. Philadelphia:

WB Saunders Company.

Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Vol. II Mammals II. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Getty S. 1975. The Anatomy of the Domestic Animals. Edisi ke-5. London: W.B. Saunders Company.

Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Julius. 1992. Patogenesis Tukak Peptik. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 79: 9-13.

Kent GC, Miller L. 1997. Comparative Anatomy of the Vertebrates. Edisi ke-8. America: Cannon University.

Lunde D, Aplin K. 2008. Hystrix javanica. Di dalam: IUCN Red list of Threatened Species. [Terhubung berkala] http://www.iucnredlist.org [7 November 2010].

Malik A. 1992. Mekanisme Proteksi Mukosa Saluran Cerna. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran.79: 5-8.


(51)

Miller GKL. 1996. Comperative Anatomy of the Vertebrates. Edisi ke-8 New York: Ganon University.

Nisa’ C. 2005. Morphological Studies of the Stomach of Malayan Pangolin. [Disertasi]. Bogor: Graduate School Bogor Agricultural University. Nisa’ C. 1997. Studi Komparatif Morfologi Saluran Pencernaan Kelelawar

Pemakan Serangga (Scotophilus kuhli) dan Kelelawar Pemakan Buah (Cynopterus brachyotis). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Olson R, Lewis AM .1999. Porcupine Ecology and Damage Management Techniques for Rural Homeowners. University of Wyoming, Cooperative Extension Service. p. 4. http://ces.uwyo.edu/PUBS/B1073.pdf. Retrieved 29 June 2007.

Parker SB. 1990. Grzimek’s Encyclopedia of Mammals. New York: McGraw Hill.

Roze U. 1989. The North American Porcupine. Washington: Smithsonian Institution Press.

Sastraprapdjo S. 1980. Binatang Hama. Bogor: LIPI.

Setiawati A. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Situproteksi. Penerbit: Cermin Dunia kedokteran EGC.

Stevens CE. 1988. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive system. New York: Cambridge University Press.

Sulistya SJ. 2007. Sate Landak Dipercaya Tingkatkan Stamina Pria. [terhubung berkala]. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/2703/16 [17 oktober 2010].

Tartaglia L, Waugh A. 2005. Veterinary Physiology and Applied Anatomy. London: Butterworth Heinemann.

Telford IR, Bridgman CF. 1995. Introduction to Functional Histology. Edisi ke-2 New York: Harper Collins College.

Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-obat penting. Edisi ke-6 Jakarta: PT Elex Media komputindo

Wilson LM, Lester L.1994. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. penerjemah: Peter Anugrah; editor: Caroline Wijaya. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Pathophysiology Clinical Concept of Disease Processe.


(52)

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

Dehidrasi jaringan dilakukan untuk mengikat seluruh cairan dalam jaringan, baik cairan interstisial maupun cairan intrasel sebelum dilakukan penanaman jaringan. Adapun proses dehidrasi adalah sebagai berikut:

1. Preparat yang telah disimpan di dalam basket direndam dalam alkohol 100% I, II, III, dan alkohol 95% masing-masing selama 24 jam.

2. Proses perendaman dilanjutkan dengan alkohol 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 12 jam.

3. Setelah proses dehidrasi, dilakukan clearing, yaitu perendaman jaringan di dalam larutan xylol I, II, dan III. Perendaman jaringan dalam larutan xylol I dan II dilakukan masing-masing selama 12 jam, sedangkan perendaman dalam larutan xylol III dilakukan selama 6 jam, dengan 2 jam berada di inkubator suhu 62º C.

4. Infiltrasi dilakukan dalam parafin cair di dalam inkubator suhu 62º C sebanyak tiga kali ulangan sebelum dilakukan penanaman jaringan.


(53)

Lampiran 2 Prosedur Pewarnaan Haematoksilin Eosin

Pewarnaan Haematoksilin Eosin merupakan pewarnaan standar untuk mengetahui struktur umum sel maupun jaringan dalam suatu organ. Tahapan pewarnaan Haematoksilin Eosin adalah sebagai berikut:

1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit.

2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan

dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit.

4. Preparat diwarnai dengan haematoksilin selama 5-10 detik kemudian direndam di dalam air keran selama beberapa saat.

5. Warna yang dihasilkan dikrontrol di bawah mikroskop. Jika warna ungu yang dihasilkan kurang kontras, maka preparat dicelupkan kembali ke dalam pewarna haematoksilin selama 3-5 detik. Namun jika warnanya terlalu ungu maka preparat dapat dicelupkan dalam pemucat haematoksilin 1-2 kali (0,5% HCl dalam 70% alkohol).

6. Preparat kembali direndam di dalam air keran selama 10 menit lalu direndam di dalam aquadest selama 5 menit.

7. Preparat diwarnai dengan eosin selama 30-45 detik.

8. Preparat di dehidrasi dengan alkohol bertingkat dimulai dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, dan 100% (I, II, dan III) masing-masing 2-4 kali celup.

9. Preparat dijernihkan dengan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 5 menit.

10.Proses mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan cover glass menggunakan entelan®.

Hasil : inti berwarna biru hingga ungu, sitoplasma, kolagen, keratin dan eritrosit berwarna merah.


(54)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Landak merupakan rodensia berukuran besar yang seluruh permukaan tubuhnya ditutupi oleh rambut keras yang disebut duri. Seekor landak mempunyai kurang lebih 30.000 duri di tubuhnya. Duri yang berwarna hitam terletak pada tubuh bagian depan, warna coklat pada ujung kepala dan muka, dan warna putih pada bagian leher dan punggung (Roze 1989). Landak secara umum mempunyai panjang tubuh antara 40-91 cm, panjang ekor berkisar antara 6-25 cm, dan bobot badan berkisar antara 5.4-16 kg (Parker 1990).

Keberadaan landak di alam masih cukup banyak dan di beberapa tempat dianggap sebagai hama. Oleh karena itu, pada tahun 2008 CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan satwa ini ke dalam daftar least concern, artinya status landak tidak terlalu diperhatikan (Lunde dan Aplin 2008).

Persebaran landak di Indonesia terdapat di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, kecuali sebelah timur Flores. Landak dapat hidup pada berbagai tipe habitat dari mulai hutan primer, perkebunan, semak-semak, padang rumput, bahkan sepanjang perkampungan yang ada di pulau Jawa dan pulau Madura (Sastraprapdjo 1980). Di Afrika, penyebaran landak meliputi daerah hutan tropis, padang savana, padang rumput, dan daerah kering di sepanjang Afrika Selatan (Aarde 1985). Sedangkan di Amerika, landak yang asalnya dari Amerika Selatan dapat ditemukan juga di Kanada dan Amerika bagian barat. Landak memiliki kemampuan adaptasi yang baik secara ekologis hingga dapat ditemukan juga di Alaska utara, seperti di hutan-hutan yang tersisa, padang pasir di dataran rendah seperti Mojave di California, padang pasir di dataran tinggi, dan hutan pinus di seluruh kawasan Amerika Barat (Olson dan Lewis 1999).

Landak merupakan ternak harapan yang memiliki potensi cukup tinggi untuk dimanfaatkan daging dan durinya, bahkan di Malaysia sudah banyak dijumpai peternakan landak. Masyarakat beberapa daerah menganggap daging landak memiliki khasiat yang dipercaya dapat meningkatkan vitalitas laki-laki dan


(55)

menghilangkan gatal-gatal. Selain itu, empedu landak diyakini dapat mengobati penyakit asma (Sulistya 2007). Selain daging dan empedunya, duri landak juga merupakan komoditas yang cukup bernilai untuk dijadikan bahan baku kerajinan tangan dan bahan campuran obat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, agar tidak selalu mengambil dari alam, maka landak harus ditangkarkan.

Dalam upaya penangkaran landak, diperlukan pengetahuan mengenai data-data biologi, perilaku, dan habitat yang cocok untuk menunjang tatalaksana manajemen pemeliharaannya. Sampai saat ini data-data tersebut masih sangat terbatas, terutama pada landak Jawa. Salah satu data yang penting untuk diteliti adalah data mengenai saluran pencernaan. Data ini sangat diperlukan berkaitan dengan adaptasi terhadap jenis dan pola pakan landak Jawa pada saat ditangkarkan.

Struktur dan bentuk saluran pencernaan antar spesies memiliki beberapa variasi khususnya organ lambung. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan habitat, jenis pakan dan perilaku makan, serta proses pencernaan yang terjadi di dalamnya.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi organ lambung landak Jawa (Hystrix javanica), baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan data dasar tentang morfologi makroskopis dan mikroskopis lambung landak H. javanica, sehingga dapat menduga proses pencernaan yang terjadi di dalam saluran pencernaan. Hal ini akan menjadi sumbangan informasi yang berguna bagi penelitian berikutnya dalam upaya penangkaran hewan ini.


(56)

TINJAUAN PUSTAKA

Landak Jawa (Hystrix javanica)

Landak termasuk ke dalam ordo Rodensia, famili Hystricidae, genus Hystrix. Genus ini memiliki tiga spesies yang tersebar di Indonesia yaitu, H. javanica, H. brachyura, dan H. sumatrae (Duff dan Lawson 1990). Hystrix javanica atau biasa dikenal sebagai landak ekor pendek Jawa ditemukan oleh F. Cuvier pada tahun 1823 di Jawa (Grzimek 1975). Landak merupakan hewan nokturnal, sehingga kegiatan mencari makan dilakukan pada malam hari. Beberapa jenis pakan yang dikonsumsi landak adalah bagian-bagian tanaman seperti akar, umbi-umbian, kulit kayu, kelapa sawit, dan singkong (Sastraprapdjo 1980).

Hewan ini bersifat soliter dan hidup di tanah (terestrial) (Olson dan Lewis 1999). Landak membuat beberapa lubang di dalam tanah sebagai sarangnya. Sarang landak memiliki kedalaman sekitar 5 meter. Lubang ini terdiri beberapa cabang di dalam tanah. Satu lubang (berukuran lebih besar) menjadi pintu masuk utama dan beberapa lubang (berukuran lebih kecil) sebagai pintu keluar. Karena habitatnya berada didekat pemukiman warga dan ladang masyarakat, tidak jarang landak dianggap sebagai hama yang merusak tanaman di ladang para petani (Sastraprapdjo 1980).

Gambar 1 Landak Jawa (H. javanica) yang dipelihara dalam kandang individual dan diberi pakan beberapa jenis sayuran dan buah.


(1)

31

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Landak Jawa memiliki lambung berbentuk seperti huruf C terbalik dengan ukuran kurvatura minor yang pendek dan kuvatura mayor yang relatif panjang. Lambung landak Jawa membentuk suatu kantong buntu yang dinamakan fundic caecum dan memiliki tiga daerah kelenjar yaitu kardia, fundus, dan pilorus. Daerah kelenjar kardia sangat sempit, sel-sel kelenjarnya berbentuk kubus dengan inti berbentuk elips terletak di basal. Daerah kelenjar fundus sangat luas, bentuk kelenjarnya cukup panjang dan bercabang. Kelenjar fundus pada bagian fundic caecum didominasi oleh sel-sel chief sedangkan daerah kurvatura mayor dan minor didominasi oleh sel-sel parietal. Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam. Perbatasan antara pilorus dan duodenum selain ditandai dengan adanya sphincter

pilorus, juga vili-vili usus dan sel-sel goblet pada vili usus. Pada landak Jawa, kelenjar Brunner mulai ditemukan pada bagian proksimal duodenum, tidak pada perbatasan antara pilorus dan duodenum.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem pencernaan landak Jawa secara lebih komprehensif, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap khususnya mengenai jenis pakan dan aktivitas pencernaan landak.


(2)

FAIZZA MAILILLA WULANSARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

32

DAFTAR PUSTAKA

Aarde RJV. 1985. Reproduction in Captive Female Cape Porcupines (Hystrix africaeaustralis). J Reprod & Fertility. 75: 577-582.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Edisi ke-2.

Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. hlm 221-243.

Bevelender G, Ramaley JA. 1988. Dasar-dasar Histology. Edisi ke-8. Penerjemah: Wisnu Gunarso. Jakarta: Erlangga.

Bloom W, Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi ke-12. Penerjemah: Jan Tambayong. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Indonesia EGC.

Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Edisi ke-3. Penerjemah: R. Hartono. Jakarta: Penerbit universitas Indonesia.

Duff A, Lawson A. 2004. Mammals of the World a Checlist. London: Yale University Press.

Frappier B. 1998. Digestive System Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.

Fleming TH. 1988. The Short-tailed Fruit Bat. London: The University of Chicago.

Frandson FD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Penerjemah; B. Srigandono, Koen Praseno. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Gartner LP, Hiatt JL. 2001. Color Textbook of Histology. Edisi ke-2. Philadelphia:

WB Saunders Company.

Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Vol. II Mammals II. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Getty S. 1975. The Anatomy of the Domestic Animals. Edisi ke-5. London: W.B. Saunders Company.

Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Julius. 1992. Patogenesis Tukak Peptik. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 79: 9-13.

Kent GC, Miller L. 1997. Comparative Anatomy of the Vertebrates. Edisi ke-8. America: Cannon University.

Lunde D, Aplin K. 2008. Hystrix javanica. Di dalam: IUCN Red list of Threatened Species. [Terhubung berkala] http://www.iucnredlist.org [7 November 2010].

Malik A. 1992. Mekanisme Proteksi Mukosa Saluran Cerna. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran.79: 5-8.


(4)

Miller GKL. 1996. Comperative Anatomy of the Vertebrates. Edisi ke-8 New York: Ganon University.

Nisa’ C. 2005. Morphological Studies of the Stomach of Malayan Pangolin.

[Disertasi]. Bogor: Graduate School Bogor Agricultural University.

Nisa’ C. 1997. Studi Komparatif Morfologi Saluran Pencernaan Kelelawar

Pemakan Serangga (Scotophilus kuhli) dan Kelelawar Pemakan Buah

(Cynopterus brachyotis). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Olson R, Lewis AM .1999. Porcupine Ecology and Damage Management Techniques for Rural Homeowners. University of Wyoming, Cooperative Extension Service. p. 4. http://ces.uwyo.edu/PUBS/B1073.pdf. Retrieved 29 June 2007.

Parker SB. 1990. Grzimek’s Encyclopedia of Mammals. New York: McGraw Hill.

Roze U. 1989. The North American Porcupine. Washington: Smithsonian Institution Press.

Sastraprapdjo S. 1980. Binatang Hama. Bogor: LIPI.

Setiawati A. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Situproteksi. Penerbit: Cermin Dunia kedokteran EGC.

Stevens CE. 1988. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive system.

New York: Cambridge University Press.

Sulistya SJ. 2007. Sate Landak Dipercaya Tingkatkan Stamina Pria. [terhubung berkala]. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/2703/16 [17 oktober 2010].

Tartaglia L, Waugh A. 2005. Veterinary Physiology and Applied Anatomy.

London: Butterworth Heinemann.

Telford IR, Bridgman CF. 1995. Introduction to Functional Histology. Edisi ke-2 New York: Harper Collins College.

Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-obat penting. Edisi ke-6 Jakarta: PT Elex Media komputindo

Wilson LM, Lester L.1994. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.

penerjemah: Peter Anugrah; editor: Caroline Wijaya. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Pathophysiology Clinical Concept of Disease Processe.


(5)

34

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

Dehidrasi jaringan dilakukan untuk mengikat seluruh cairan dalam jaringan, baik cairan interstisial maupun cairan intrasel sebelum dilakukan penanaman jaringan. Adapun proses dehidrasi adalah sebagai berikut:

1. Preparat yang telah disimpan di dalam basket direndam dalam alkohol 100% I, II, III, dan alkohol 95% masing-masing selama 24 jam.

2. Proses perendaman dilanjutkan dengan alkohol 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 12 jam.

3. Setelah proses dehidrasi, dilakukan clearing, yaitu perendaman jaringan di dalam larutan xylol I, II, dan III. Perendaman jaringan dalam larutan xylol I dan II dilakukan masing-masing selama 12 jam, sedangkan perendaman dalam larutan xylol III dilakukan selama 6 jam, dengan 2 jam berada di inkubator suhu 62º C.

4. Infiltrasi dilakukan dalam parafin cair di dalam inkubator suhu 62º C sebanyak tiga kali ulangan sebelum dilakukan penanaman jaringan.


(6)

Lampiran 2 Prosedur Pewarnaan Haematoksilin Eosin

Pewarnaan Haematoksilin Eosin merupakan pewarnaan standar untuk mengetahui struktur umum sel maupun jaringan dalam suatu organ. Tahapan pewarnaan Haematoksilin Eosin adalah sebagai berikut:

1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit.

2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan

dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit.

4. Preparat diwarnai dengan haematoksilin selama 5-10 detik kemudian

direndam di dalam air keran selama beberapa saat.

5. Warna yang dihasilkan dikrontrol di bawah mikroskop. Jika warna ungu yang

dihasilkan kurang kontras, maka preparat dicelupkan kembali ke dalam pewarna haematoksilin selama 3-5 detik. Namun jika warnanya terlalu ungu maka preparat dapat dicelupkan dalam pemucat haematoksilin 1-2 kali (0,5% HCl dalam 70% alkohol).

6. Preparat kembali direndam di dalam air keran selama 10 menit lalu direndam di dalam aquadest selama 5 menit.

7. Preparat diwarnai dengan eosin selama 30-45 detik.

8. Preparat di dehidrasi dengan alkohol bertingkat dimulai dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, dan 100% (I, II, dan III) masing-masing 2-4 kali celup. 9. Preparat dijernihkan dengan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 5

menit.

10.Proses mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan cover glass

menggunakan entelan®.

Hasil : inti berwarna biru hingga ungu, sitoplasma, kolagen, keratin dan eritrosit berwarna merah.