Pemodelan Prevalensi Malaria di Indonesia dengan Regresi Lasso Terboboti Geografis

PEMODELAN PREVALENSI MALARIA DI INDONESIA DENGAN
REGRESI LASSO TERBOBOTI GEOGRAFIS

ITA MIRANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Pemodelan Prevalensi
Malaria di Indonesia dengan Regresi Lasso Terboboti Geografis” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Ita Miranti
G152130414

RINGKASAN
ITA MIRANTI. Pemodelan Prevalensi Malaria di Indonesia dengan Regresi
Lasso Terboboti Geografis. Dibimbing oleh ANIK DJURAIDAH dan
INDAHWATI.
Malaria merupakan penyakit yang masih endemis di sebagian besar
wilayah Indonesia. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi angka prevalensi
malaria yaitu faktor pengobatan malaria dan faktor perilaku pencegahan gigitan
nyamuk. Faktor pengobatan malaria yaitu mendapat obat ACT (Artemisininbased Combination Therapy) sesuai program, mendapat pengobatan ACT dalam
24 jam pertama, minum obat ACT selama 3 hari, pengobatan efektif dengan ACT,
serta mengobati sendiri. Faktor perilaku pencegahan gigitan nyamuk yaitu
menggunakan kelambu, kasa nyamuk, insektisida, obat nyamuk bakar, repelen,
dan minum obat pencegah malaria (RISKESDAS 2013).
Angka prevalensi malaria merupakan suatu fenomena spasial yang
ditunjukan dengan kecenderungan daerah rawan malaria yang mengelompok pada
suatu wilayah tertentu. Regresi Terboboti Geografis (RTG) merupakan salah satu

pengembangan model OLS yang digunakan untuk mengatasi masalah
heterogenitas spasial. Model RTG belum bisa mengatasi kasus multikolinieritas
lokal sehingga penambahan Lasso (Least Absolute Shrinkage and Selection
Operator) diharapkan lebih efektif dalam pemodelan. Lasso yang diaplikasikan
pada model RTG yang dikenal dengan istilah Regresi Lasso Terboboti Geografis
(RLTG) diharapkan dapat diperoleh pendugaan parameter yang lebih efesien
sehingga hasil prediksi pada model lebih akurat.
Pada data prevalensi malaria terdapat keheterogenan spasial dan
multikolinieritas lokal. Pada penelitian ini permasalahan tersebut diselesaikan
dengan model RLTG. Model yang dihasilkan digunakan untuk menentukan
peubah-peubah yang berpengaruh nyata terhadap prevalensi malaria di setiap
provinsi di Indonesia.
Model RLTG menghasilkan nilai R2 sebesar 99.65%, peubah yang
dominan berpengaruh nyata terhadap prevalensi malaria di sebagian besar
provinsi di Indonesia yaitu proporsi penduduk yang mengobati sendiri dan
proporsi rumah tangga yang menggunakan kelambu. Hasil pemodelan RLTG
dapat dimanfaatkan pemerintah daerah dalam upaya pengendalian malaria dengan
memperhatikan peubah-peubah yang dapat menurunkan prevalensi malaria di
masing-masing wilayahnya.
Kata kunci : keheterogenan spasial, multikolinieritas lokal, prevalensi malaria,

regresi lasso terboboti geografis.

SUMMARY
ITA MIRANTI. Modeling Malaria Prevalence in Indonesia with Geographically
Weighted Lasso Regression. Supervised by ANIK DJURAIDAH and
INDAHWATI.
Malaria is a disease that still endemic in most parts of Indonesia. Several
factors thought to influence the prevalence of malaria are factor malaria treatment
and behavioral factors mosquito bite prevention. The treatment of malaria factors
are variables that receiving the drug ACT (Artemisinin-based Combination
Therapy) according to the program, receiving ACT treatment within 24 hours,
receiving ACT treatment for 3 days, receiving effective ACT treatment and
treating the disease by themselves. The prevention of behavioral factors mosquito
bites is to use mosquito nets, mosquito screen, insecticides, mosquito coils,
repellent, and taking drugs to prevent malaria (RISKESDAS 2013).
The prevalence rate of malaria is a phenomenon of spatial shown by the
tendency of malaria-prone areas clustered in a certain area. Geographically
Weighted Regression (GWR) is one of the development model of the OLS being
used to overcome the problem of spatial heterogeneity. GWR models have not
been able to solve the case of a local multicollinearity so the addition of Lasso

(Least Absolute Shrinkage and Selection Operator) expected to be more effective
in modeling. Lasso is applied to the GWR models known as Geographically
Weighted Lasso Regression (GWLR) is expected to be obtained prediction
parameters efficiently so that the result is more accurate predictive models.
There were spatial heterogeneity and local multicollinearity on malaria
prevalence data. In this study, the problem is solved by GWLR model. The
models are used to determine the variables that significantly affect malaria
prevalence in every province in Indonesia.
These results indicate GWLR models have R2 value of 99.65%. The
dominant variables that influence malaria prevalence in most of the provinces in
Indonesia namely proportion of people who treat their own medical treatment and
proportion of households using mosquito nets. GWLR modeling results can be
used local governments in an effort to control malaria by observing the variables
that may reduce the prevalence of malaria in each region.
Keywords: spatial heterogeneity, local multicollinearity, malaria prevalence,
geographically weighted lasso regression.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PEMODELAN PREVALENSI MALARIA DI INDONESIA
DENGAN REGRESI LASSO TERBOBOTI GEOGRAFIS

ITA MIRANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Statistika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Aji Hamim Wigena, MSc

Judul Tesis : Pemodelan Prevalensi Malaria di Indonesia dengan Regresi Lasso
Terboboti Geografis
Nama
: Ita Miranti
NIM
: G152130414

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Anik Djuraidah, MS
Ketua

Dr Ir Indahwati, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Statistika Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Indahwati, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
ridho-Nya, kesempatan, dan kesehatan yang dikaruniakan-Nya sehingga tesis yang
berjudul “Pemodelan Prevalensi Malaria di Indonesia dengan Regresi Lasso
Terboboti Geografis” ini dapat terselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Anik Djuraidah, MS dan Ibu
Dr Ir Indahwati, MSi selaku pembimbing, atas kesediaan dan kesabaran untuk
membimbing dan membagi ilmunya kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Aji Hamim Wigena, MSc selaku penguji tesis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada seluruh
Dosen Departemen Statistika IPB yang telah mengasuh dan mendidik penulis
selama di bangku kuliah hingga berhasil menyelesaikan studi, serta seluruh staf
Departemen Statistika IPB atas bantuan, pelayanan, dan kerjasamanya selama ini.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga juga
penulis ucapkan kepada Ayahanda (Bapak Ikin Setiawan), Ibunda tercinta (Ibu
Ai Tarmah S.Pd) yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh
kasih sayang demi keberhasilan penulis selama menjalani proses pendidikan, suami
tercinta (Lalu Yuriade Mulana, S.ST), ananda tercinta (Baiq Aisha Shafana
Almahyra) serta keluarga besar atas doa dan semangatnya.
Terakhir tak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh
staf Program Studi Statistika Terapan, teman-teman Statistika (S2 dan S3) dan
Statistika Terapan (S2) atas bantuan dan kebersamaannya selama menghadapi
masa-masa terindah maupun tersulit dalam menuntut ilmu, serta semua pihak yang
telah banyak membantu dan tak sempat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.


Bogor, Agustus 2015

Ita Miranti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Malaria
Uji Otokorelasi dan Keragaman Spasial
Regresi Terboboti Geografis
Regresi Lasso Terboboti Geografis

2
2
3
4
6

3 METODE PENELITIAN
Data

Metode Analisis

7
7
7

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi data
Mendeteksi Otokorelasi dan Keragaman Spasial
Model Regresi Terboboti Geografis
Model Regresi Lasso Terboboti Geografis
Pola Sebaran Penduga Parameter Model RLTG

10
10
16
16
18
22

5 SIMPULAN

30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1 Peubah Penjelas
2 Analisis ragam model RTG
3 Nilai VIF global

7
18
18

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian
2 Peta sebaran prevalensi malaria per propinsi di Indonesia
3 Diagram kotak garis setiap peubah
4 Peta sebaran proporsi penduduk yang mendapat program ACT
5 Peta sebaran proporsi penduduk yang mendapat obat ACT dalam 24 jam
6 Peta sebaran proporsi penduduk yang minum obat ACT selama 3 hari
7 Peta sebaran proporsi penduduk yang mendapat pengobatan efektif
8 Peta sebaran proporsi penduduk yang mengobati sendiri
9 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan kelambu
10 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan obat nyamuk
bakar
11 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan kasa nyamuk
12 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan repelen
13 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan insektisida
14 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang minum obat pencegah malaria
15 Diagram kotak garis setiap penduga parameter model RTG
16 Diagram kotak garis nilai VIF lokal
17 Diagram kotak garis setiap penduga parameter model RLTG
18 Peta sebaran wilayah model RLTG
19 Peta sebaran jumlah peubah yang mempengaruhi prevalensi malaria
20 Grafik nilai prevalensi malaria aktual dan prevalensi malaria dugaan
21 Peta sebaran nilai dugaan parameter b1
22 Peta sebaran nilai dugaan parameter b2
23 Peta sebaran nilai dugaan parameter b3
24 Peta sebaran nilai dugaan parameter b4
25 Peta sebaran nilai dugaan parameter b5
26 Peta sebaran nilai dugaan parameter b6
27 Peta sebaran nilai dugaan parameter b7
28 Peta sebaran nilai dugaan parameter b8
29 Peta sebaran nilai dugaan parameter b9
30 Peta sebaran nilai dugaan parameter b10
31 Peta sebaran nilai dugaan parameter b11

9
10
11
12
12
12
13
13
14
14
15
15
15
16
17
19
19
20
21
22
23
24
24
25
25
26
27
27
28
29
29

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penduga parameter model RTG
2 Nilai VIF variabel penjelas di setiap lokasi model RTG
3 Penduga parameter model RLTG

31
32
33

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit yang masih endemis di sebagian besar wilayah
Indonesia. Prevalensi malaria merupakan banyaknya kejadian penyakit malaria
dalam kurun waktu satu tahun dibanding dengan jumlah populasi. Prevalensi
malaria penduduk Indonesia tahun 2013 sebesar 6.0 persen. Lima provinsi dengan
prevalensi tertinggi adalah Papua (28.6%), Nusa Tenggara Timur (23.3%), Papua
Barat (19.4%), Sulawesi Tengah (12.5%), dan Maluku Utara (11.3%). Dari 33
provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria di atas angka
nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur (KEMENKES 2013).
Dalam lima tahun terakhir, API (Annual Parasite Incidence) di Indonesia
telah berhasil diturunkan dari 1,8 per 1000 penduduk (2009) menjadi 1.38 per 1000
penduduk (2013). Upaya keras masih sangat dibutuhkan agar Indonesia dapat
menurunkan angka API sesuai dengan target Millenium Development Goals
(MDGs) 2015 yaitu 1 per 1000 penduduk. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menetapkan 25 April sebagai Hari Malaria Sedunia (HMS). Pencanangan ”Menuju
Indonesia Bebas Malaria” pada 7 Mei tahun 2008 langsung oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Kemudian terbit Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang
Eliminasi Malaria di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang hidup sehat,
terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030. Tahapan
eliminasi dimulai dari Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Bali, dan Batam
pada tahun 2010. Selanjutnya, Jawa, Provinsi Aceh, dan Provinsi Kepulauan Riau
pada tahun 2015. Tahap ketiga adalah Sumatera (kecuali Aceh dan Kepulauan
Riau), NTB, Kalimantan, dan Sulawesi pada tahun 2020. Terakhir adalah Provinsi
Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, dan Maluku Utara, pada tahun 2030.
Angka prevalensi malaria merupakan suatu fenomena keheterogenan
spasial yang ditunjukkan dengan adanya kecenderungan daerah rawan malaria yang
mengelompok pada suatu wilayah tertentu maka perlu dilakukan analisis dengan
metode spasial. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi angka prevalensi
malaria yaitu faktor pengobatan malaria dan faktor perilaku pencegahan gigitan
nyamuk. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, untuk faktor
pengobatan malaria, peubah-peubahnya yaitu mendapat obat ACT (Artemisininbased Combination Therapy) sesuai program, mendapat obat ACT dalam 24 jam
pertama, minum obat ACT selama 3 hari, pengobatan efektif dengan ACT, serta
mengobati sendiri. Peubah-peubah untuk faktor perilaku pencegahan gigitan
nyamuk yaitu menggunakan kelambu, kasa nyamuk, insektisida, obat nyamuk
bakar, repelen, dan minum obat pencegah malaria.
Model regresi sering digunakan untuk menjelaskan hubungan antara peubah
respon dengan peubah penjelas. Model ini menganggap bahwa koefisien regresi
yang sama dapat diaplikasikan pada seluruh lokasi geografis. Dalam model berbasis
regional, model global baik diterapkan jika tidak ada variasi spasial antar wilayah.
Dengan kata lain, model global bisa diterapkan jika hubungan antara peubah respon
dan penjelas tidak tergantung wilayah, atau disebut stasioner secara spasial
(Fotheringham et al. 2002).

2

Regresi Terboboti Geografis (RTG) merupakan salah satu pengembangan
model regresi yang digunakan untuk mengatasi masalah heterogenitas spasial yang
disebabkan oleh kondisi lokasi yang satu dengan lokasi lain tidak sama. Menurut
Fotheringham et al. (2002) pemilihan fungsi pembobot merupakan salah satu
penentu hasil dari analisis RTG. Fungsi pembobot yang digunakan untuk
membangun model RTG dalam penelitian ini adalah fungsi kernel bisquare. Fungsi
pembobot tersebut dipilih karena melibatkan unsur jarak antar lokasi amatan yang
nilainya kontinu dalam membangun matriks pembobot, sehingga setiap lokasi akan
mendapat bobot sesuai dengan jarak lokasi tersebut dengan lokasi amatan.
Lasso yang diaplikasikan pada model RTG yang dikenal dengan istilah
Regresi Lasso Terboboti Geografis (RLTG) merupakan metode yang digunakan
untuk mengatasi multikolinieritas lokal sehingga diharapkan dapat diperoleh
pendugaan parameter koefisien yang tidak bias dan efesien sehingga hasil prediksi
pada model lebih akurat (Wheller 2005). Multikolinieritas lokal yaitu adanya
korelasi antara satu atau lebih peubah penjelas dengan peubah penjelas lainnya.
Model RTG belum bisa mengatasi kasus multikolinearitas lokal sehingga
penambahan Lasso (Least Absolute Shrinkage and Selection Operator) diharapkan
lebih efektif dalam pemodelan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menentukan model Regresi Lasso Terboboti Geografis dalam mengatasi kasus
heterogenitas dan multikolinieritas lokal pada kasus prevalensi malaria di
Indonesia.
2. Mengidentifikasi peubah-peubah yang berpengaruh nyata terhadap prevalensi
malaria untuk setiap provinsi di Indonesia tahun 2013.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Malaria
Penyakit malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi,
anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan
dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyebab malaria adalah parasit
Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Dikenal 5
(lima) macam spesies yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi (KEMENKES
2012). Jenis- jenis malaria diantaranya:
1. Malaria falciparum : Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala
demam timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini paling sering
menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian.
2. Malaria vivaks : Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam
berulang dengan interval bebas demam 2 hari.
3. Malaria ovale : Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi klinis
biasanya bersifat ringan. Pola demam seperti pada malaria vivaks.
4. Malaria malariae: Disebabkan oleh Plasmodium malariae. Gejala demam
berulang dengan interval bebas demam 3 hari.

3

Malaria knowlesi: Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam
menyerupai malaria falsiparum.
Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut yang didahului
oleh stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian berkeringat
banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non imun (berasal dari
daerah non endemis). Selain gejala diatas, dapat ditemukan gejala lain seperti nyeri
kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot. Gejala tersebut biasanya
terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis. Jika tidak ditangani
segera dapat menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian, menyebabkan
anemia yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia dan pada
wanita hamil jika tidak diobati dapat menyebabkan keguguran, lahir kurang bulan
(prematur) dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) serta lahir mati.
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan malaria di Indonesia
adalah terjadinya penurunan efikasi pada penggunaan beberapa obat anti malaria,
bahkan terdapat resistensi terhadap klorokuin. Hal ini dapat disebabkan antara lain
oleh karena penggunaan obat anti malaria yang tidak rasional. Sejak tahun 2004
obat pilihan utama untuk malaria falciparum adalah obat kombinasi derivat
Artemisinin yang dikenal dengan Artemisinin-based Combination Therapy (ACT).
Kombinasi artemisinin dipilih untuk meningkatkan mutu pengobatan malaria yang
sudah resisten terhadap klorokuin dimana artemisinin ini mempunyai efek
terapeutik yang lebih baik (KEMENKES 2012).
Pengobatan penderita malaria harus mengikuti kebijakan nasional
pengendalian malaria di Indonesia. Pengobatan dengan ACT hanya diberikan
kepada penderita dengan hasil pemeriksaan darah malaria positif. Setiap tenaga
kesehatan harus memastikan kepatuhan pasien meminum obat sampai habis melalui
konseling agar tidak terjadi resistensi Plasmodium terhadap obat. Upaya
pencegahan malaria adalah dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko
malaria dan mencegah gigitan nyamuk. Pencegahan gigitan nyamuk dapat
dilakukan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, repelen, kasa nyamuk dan
lain-lain.
5.

Uji Otokorelasi dan Keragaman Spasial
Koefisien Moran’s I atau Indeks Moran digunakan untuk uji dependensi
spasial atau otokorelasi antar amatan atau lokasi. Hipotesis yang digunakan untuk
uji korelasi spasial:
H : I = (tidak ada otokorelasi antar lokasi)
H : I ≠ ( ada otokorelasi antar lokasi)
Persamaan Indeks Moran adalah sebagai berikut:
− ̅ ( − ̅)
n∑ ∑≠
I=
(∑ ∑ ≠
)∑
−̅
dengan W adalah elemen matriks pembobot spasial hasil standarisasi baris, y
adalah vektor amatan dan n adalah jumlah pengamatan.
Statistik Uji:
I−E I
Z
=
σ I
E I =−

n−

4

dengan:
I
E(I)
σ I
n
Kriteria Uji:

= Indeks Moran
= nilai harapan dari Indeks Moran
= simpangan baku dari Indeks Moran
= jumlah pengamatan

Zα⁄ , terima H
> Zα⁄ , tolak H
Nilai dari indeks I adalah antara -1 dan 1. Apabila I > E(I) maka data memiliki
otokorelasi positif yaitu nilai untuk tetangga mirip satu sama lain. Jika I < E(I)
maka data memiliki otokorelasi negatif yaitu nilai untuk tetangga tidak mirip satu
sama lain (Anselin 1999).
Perbedaan karakteristik data antar titik lokasi pengamatan dapat
menyebabkan keragaman spasial. Uji yang digunakan untuk mendeteksi keragaman
spasial menggunakan uji Breusch-Pagan (BP). Menurut Breusch dan Pagan (1979)
dalam Arbia (2006) kehomogenan ragam terpenuhi jika persamaannya sebagai
berikut:
E | = α x + α x + ⋯+ α x
dengan nilai α bernilai nol (j = 2, 3, ..., p), x adalah konstanta regresi yang selalu
bernilai satu dan x , ..., x adalah peubah penjelas ke-2 sampai ke-p. Berdasarkan
kriteria tersebut, hipotesis uji kehomogenan ragam sebagai berikut:
H : α =α =⋯=α =
H : minimal ada satu α =
Statistik Uji:
|Z

|={

�P =
�P = {

χ



=

=

Kriteria Uji:

dengan � =



(∑ � ) (∑
χ


�i

̂
σ







, terima H
, tolak H

,� =

− �̂′

) (∑ � )
=

dan σ
̂ = ∑ = � . Uji statistik BP menyebar

dengan p adalah banyaknya parameter regresi.

Regresi Terboboti Geografis

Pada analisis spasial seringkali data digambarkan dalam suatu unit geografis
tertentu dan diduga menggunakan satu persamaan regresi global. Hal tersebut
berakibat pada terbentuknya penduga parameter global yang diasumsikan sama
pada setiap area penelitian. Regresi Terboboti Geografis (RTG) adalah salah satu
metode yang digunakan untuk menduga data yang memiliki spatial heterogeneity.
RTG akan menghasilkan pendugaan parameter lokal, masing-masing area
penelitian akan memiliki parameter yang berbeda.
Pada model RTG, masing-masing lokasi pengamatan memiliki koordinat
spasial. Koordinat spasial pada lokasi pengamatan ke-i dilambangkan
u , v dengan Persamaan umum RTG menurut Fotheringham et al. (2002) adalah:

5

dengan

+�

= � u ,v + ∑� u ,v
=

: Nilai peubah respon untuk lokasi ke-i.
: Menyatakan koordinat letak geografis (longitude, latitude) dari
u ,v
lokasi pengamatan ke-i.
: Nilai intersep model RTG.
� u ,v
: Koefisien regresi peubah penjelas ke-k pada lokasi pengamatan ke-i.
� u ,v
: Nilai peubah penjelas ke-k pada lokasi pengamatan ke-i.

: Galat pengamatan ke-i, � ~N �, σ � .
RTG merupakan model regresi linier lokal (locally linier regression) yang
menghasilkan pendugaan parameter model untuk setiap lokasi pengamatan dengan
metode kuadrat terkecil terboboti atau Weighted Least Square (WLS), yaitu :

̂� u , v =
(1)
u ,v
u ,v
dengan
u , v adalah matriks pembobot berukuran nxn. Elemen diagonalnya
merupakan pembobot lokasi ke-i yang nilainya ditentukan oleh jarak antar lokasi
pengamatan, sedangkan elemen selain diagonalnya bernilai nol (Leung et al. 2000).
Matriks pembobot RTG merupakan fungsi kernel lokal yang memodelkan
pengaruh jarak lokasi ke-i ke lokasi ke-j. Banyak fungsi kernel lokal yang
digunakan sebagai pembobot (Fotheringham et al. 2002). Penelitian ini
menggunakan fungsi pembobot spasial kernel bisquare. Fungsi pembobot tersebut
digunakan karena melibatkan unsur jarak antar lokasi amatan yang nilainya kontinu
dalam membangun matriks pembobot, sehingga setiap lokasi akan mendapat bobot
sesuai dengan jarak lokasi tersebut dengan lokasi amatan. Fungsi pembobot kernel
bisquare dituliskan sebagai berikut:
={

[ −

d
b

] jika d < b

untuk d

b

dengan d adalah jarak dari lokasi ke-i ke lokasi ke-j dan b adalah lebar jendela,
yaitu sebuah nilai parameter penghalus fungsi yang nilainya selalu positif.
Validasi silang (cross validation) merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan sebagai kriteria untuk mendapatkan nilai lebar jendela optimum. Lebar
jendela optimum yang digunakan adalah nilai lebar yang menghasilkan nilai
koefisien validasi silang minimum dengan rumus koefisien :
�V = ∑[y − ŷ≠ b ]
=

dengan ŷ≠ b adalah nilai dugaan y (fitting value) dengan pengamatan di lokasi
ke-i dihilangkan dari proses prediksi (Fotheringham et al.2002). Lebar jendela
optimum diperoleh dengan proses iterasi hingga didapatkan CV minimum.
Untuk mendeteksi secara global pengaruh model RTG dibandingkan regresi
dengan metode OLS untuk data kasus yang digunakan, dapat diuji dengan analisis
ragam (ANOVA) yang diusulkan Brunsdon et al. (1998) sebagai berikut :
H :� = � u ,v
H :� ≠ � u ,v

6

Statistik Uji:

dengan

F
JK
JK

=
L

JK

G /v

= jumlah kuadrat galat dari model OLS
G

= jumlah kuadrat galat dari model RTG

Kriteria Uji:
F

− JK
JK G /

L

={

F

α

>F

v
v

α

v
v

,δ /δ

,δ /δ

, terima H
, tolak H

Nilai F
akan mendekati sebaran F dengan derajat bebas pembilang
v /v dan derajat bebas penyebut
/ , dengan = tr[ � − � ′ � − � ] , i = 1,2.
Besaran v adalah nilai dari n-p-1- dan v adalah nilai dari n-p-1+

sedangkan � =
(u , v )
(u , v ), S disebut juga matriks hat.
Regresi Lasso Terboboti Geografis

Operator Least Absolute Shrinkage and Selection Operator (Lasso)
diperkenalkan pertama kali oleh Tibshirani pada tahun 1996. Pendugaan koefisien
̂ La
pada metode Lasso (�
diperoleh dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat
sisaan dengan kendala ∑ = |� | t seperti persamaan berikut (Tibshirani 1996):
̂ La


= argmin {∑ =

−� −∑=



} + λ ∑ = |� |

Nilai t merupakan parameter tuning yang ukuran numeriknya ditentukan oleh
validasi silang. Pendugaan koefisien Lasso diperoleh dengan menentukan batas
̂ | dengan t=∑ |�
̂ | (Dewi 2010). Jika
yang dibakukan, yaitu
s = t/ ∑ = |�
=
̂ adalah penduga kuadrat terkecil untuk model penuh dan t0 = ∑ |�
̂ |, nilai t <

=

t0 menyebabkan sejumlah koefisien menjadi nol (Tibshirani 1996).
Regresi Lasso Terboboti Geografis (RLTG) menggunakan algoritma LARS
(Least Angel Regression) dengan tipe Lasso ke dalam RTG sehingga pendugaan
koefisien parameter pada model RLTG diduga dengan Weighted Least Square
dengan menambahkan fungsi pengganda Lagrange seperti pada persamaan berikut:
̂� u , v = argmin {∑ = ( − � u , v − ∑
� u , v ) } + λ ∑ = |� u , v | (2)
=

7

3 METODE PENELITIAN
Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Peubah respon dalam penelitian ini
adalah prevalensi malaria per provinsi di Indonesia. Beberapa faktor yang diduga
mempengaruhi angka prevalensi malaria yaitu faktor pengobatan malaria dan faktor
perilaku pencegahan gigitan nyamuk. Faktor pengobatan malaria yang diduga
berpengaruh terhadap prevalensi malaria yaitu mendapat obat ACT (Artemisininbased Combination Therapy) sesuai program, mendapat obat ACT dalam 24 jam
pertama, minum obat ACT selama 3 hari, pengobatan efektif dengan ACT, serta
mengobati sendiri. Faktor perilaku pencegahan gigitan nyamuk yang diduga
berpengaruh terhadap prevalensi malaria yaitu menggunakan kelambu, kasa
nyamuk, insektisida, obat nyamuk bakar, repelen, dan minum obat pencegah
malaria. Peubah penjelas dalam penelitian ini tertera pada Tabel 1.

Peubah
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11

Tabel 1 Peubah penjelas
Nama Peubah
Proporsi penduduk yang mendapat program ACT
Proporsi penduduk yang mendapat obat ACT dalam 24 jam
Proporsi penduduk yang minum obat ACT selama 3 hari
Proporsi penduduk yang mendapat pengobatan efektif dengan ACT
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri
Proporsi rumah tangga yang menggunakan kelambu
Proporsi rumah tangga menggunakan obat nyamuk bakar
Proporsi rumah tangga menggunakan kasa nyamuk
Proporsi rumah tangga menggunakan repelen
Proporsi rumah tangga menggunakan insektisida
Proporsi rumah tangga minum obat pencegah malaria

Metode Analisis
Tahapan analisis pada penelitian ini selengkapnya tertera pada Gambar 1 dengan
uraian sebagai berikut:
1. Membuat deskripsi dan peta sebaran prevalensi malaria menurut provinsi di
Indonesia tahun 2013.
2. Mendeteksi otokorelasi spasial antar pengamatan yang saling berdekatan
dengan Indeks Moran.
3. Mendeteksi keragaman spasial pada data prevalensi malaria menggunakan
uji Breusch-Pagan.
4. Melakukan pendugaan parameter masing-masing model RTG dengan
metode kuadrat terkecil terboboti seperti pada persamaan (1).
5. Mendeteksi multikolinieritas lokal di setiap lokasi pengamatan dengan
dengan R u , v adalah
menggunakan rumus VIF u , v =
− k

,

8

koefisien determinasi pada saat x diregresikan dengan peubah penjelas lain
untuk setiap lokasi.

6. Melakukan pemodelan Regresi Lasso Terboboti Geografis (RLTG) untuk
mengatasi multikolinieritas lokal pada model RTG. pendugaan koefisien
parameter pada model RLTG diduga dengan Weighted Least Square dengan
menambahkan fungsi pengganda Lagrange seperti pada persamaan (2).
Regresi Lasso Terboboti Geografis menggunakan algoritma LARS (Least
Angel Regression) dengan tipe Lasso ke dalam RTG. Efron et al. (2004)
telah menyelesaikan masalah Lasso dengan cara modifikasi algoritma
LARS. Adapun algoritma LARS secara umum sebagai berikut:
a. Membakukan semua peubah respon dan penjelas.
b. Memilih peubah penjelas yang memiliki koefisien korelasi tertinggi
dengan peubah respon.
c. Menduga koefisien � untuk yang memiliki korelasi tertinggi dengan
peubah respon.
d. Menghitung residual peubah penjelas
yang masuk ke dalam model.
e. Menghitung korelasi parsial antara peubah penjelas yang tersisa dengan
peubah respon.
f. Mengulangi langkah b,c dan d untuk peubah penjelas yang memiliki
koefisien korelasi tertinggi kedua dengan peubah respon dan berhenti
jika korelasi antara y dan x bernilai nol.
Tahapan pendugaan koefisien Lasso pada model RLTG menurut Wheller
(2009) sebagai berikut:
a. Pendugaan shrinkage dan bandwidth kernel (ϕ) minimum dengan
menggunakan fungsi cross-validation (CV) dengan langkah sebagai
berikut:
(i) Hitung W menggunakan ϕ
(ii) Untuk setiap lokasi i , i = 1,2,3 … , n
/
 Tetapkan
i = , yaitu, menetapkan unsur diagonal (i,i)
pada matriks bobot bernilai nol, sehingga secara efektif
menghilangkan pengamatan ke-i.
/
/
 Tetapkan
=
i dan
=
i menggunakan
akar kuadrat dari bobot kernel W pada lokasi i.
 Selanjutnya gunakan LARS untuk mendapatkan solusi Lasso
.
yang meminimumkan error
 Simpan hasil pendugaan yang dihasilkan oleh kernel.
b. Pendugaan parameter final sesuai dengan CV dan didasarkan pada
batasan nilai shrinkage.

9

10

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data
Persebaran prevalensi malaria di Indonesia tahun 2013 pada Gambar 2
menunjukkan adanya kecenderungan bahwa prevalensi malaria wilayah timur
Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia. Lima
provinsi dengan prevalensi malaria tertinggi adalah Papua (28.6%), Nusa Tenggara
Timur (23.3%), Papua Barat (19.4%), Sulawesi Tengah (12.5%), dan Maluku Utara
(11.3%). Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria
di atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur. Lima provinsi
dengan prevalensi malaria terendah adalah Riau (2.5%), Bali (2.7%), Lampung
(3.4%), Sumatera Selatan (4 %) dan Kepulauan Riau (4.2%) (Kementerian
Kesehatan 2013).

Gambar 2 Peta sebaran prevalensi malaria di Indonesia tahun 2013
Diagram kotak garis setiap peubah pada Gambar 3 menunjukkan keragaman
cukup besar pada peubah X6, X7 dan X1. Hal tersebut menunjukkan bahwa
proporsi rumah tangga yang menggunakan kelambu, proporsi rumah tangga yang
menggunakan obat bakar dan proporsi penduduk yang mendapat program ACT
memiliki nilai yang cukup beragam. Sedangkan peubah X5 (proporsi penduduk
yang mengobati sendiri) dan X11 (proporsi rumah tangga yang minum obat
pencegah malaria) memiliki ragam yang kecil karena nilainya hampir sama.
Pencilan pada peubah Y terdapat pada Provinsi Papua, Nusa Tenggara
Timur dan Papua Barat yang mempunyai angka prevalensi malaria terbesar
dibandingan provinsi lainnya. Peubah X1, X3, X4, X6, X7, X8 dan X11 tidak
memiliki pencilan. Pencilan pada peubah X2 terdapat di Provinsi Jawa Barat dan
DKI Jakarta yang mempunyai nilai proporsi penduduk yang mendapatkan ACT
dalam 24 jam terkecil dibandingkan provinsi lainnya. Pencilan pada peubah X5
terdapat di Provinsi Papua Barat yang mempunyai nilai proporsi penduduk yang
mengobati sendiri terbesar. Pencilan pada peubah X9 terdapat di Provinsi Banten,
DKI Jakarta dan Jawa Barat yang memiliki nilai proporsi rumah tangga
menggunakan repelen terbesar dibandingkan provinsi lainnya. Pencilan pada

11

Nilai Peubah Respon dan Peubah Penjelas (%)

peubah X10 terdapat di provinsi DKI Jakarta yang memiliki nilai proporsi rumah
tangga menggunakan insektisida terbesar dibanding provinsi lainnya.
90
80
70
60
50
40
30

Banten
Papua

DKI Jakarta
DKI Jakarta

NTT

20

Jawa Barat

Papua Barat

DKI Jakarta

Jaw a Barat
Papua
Barat

10
0
y

x1

x2

x3

x4

x5

x6

x7

x8

x9

x10

x11

Peubah Respon dan Peubah Penjelas

Gambar 3 Diagram kotak garis setiap peubah
Gambar 4 sampai dengan Gambar 8 menunjukkan pengobatan malaria
sesuai program dan penduduk yang mengobati sendiri penyakit malaria.
Pengobatan malaria sesuai acuan program pengendalian malaria harus dilakukan
secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar, dan cara meminumnya harus tepat.
Pengobatan efektif adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan
obat harus diminum habis dalam 3 hari. Provinsi dengan proporsi penduduk yang
mendapat program ACT tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (55%), Maluku
Utara (52.3%), Papua (49.6%), Bangka Belitung (47.9%) dan Gorontalo (44.8%).
Provinsi dengan proporsi penduduk mendapat obat ACT dalam 24 jam tertinggi
adalah Bangka Belitung (67.1%), Papua Barat (63.4%), Sumatera Utara (62.9%),
Bengkulu (62.7%) dan Riau (60%). Provinsi dengan proporsi penduduk minum
obat ACT selama 3 hari tertinggi adalah Bali (89.2%), Kalimantan Timur (88.1%),
Nusa Tenggara Timur (86.8%), Bangka Belitung (86,4%) dan Maluku Utara
(85.2%). Provinsi dengan proporsi penduduk yang mendapat pengobatan malaria
secara efektif tertinggi adalah Bangka Belitung (27.8%), Nusa Tenggara Timur
(25.3%), Papua (22.9%), Papua Barat (21.2%) dan Maluku Utara (20.9%). Provinsi
dengan proporsi penduduk mengobati sendiri penyakit malaria tertinggi adalah
Papua Barat (5.1%), Papua (4.1 %), Sulawesi Tengah (2.8%), Nusa Tenggara Timur
(2.7%) dan Maluku Utara (2.3%).

12

Gambar 4 Peta sebaran proporsi penduduk yang mendapat program ACT

Gambar 5 Peta sebaran proporsi penduduk yang mendapat obat ACT dalam 24 jam

Gambar 6 Peta sebaran proporsi penduduk yang minum obat ACT selama 3 hari

13

Gambar 7 Peta sebaran proporsi penduduk yang mendapat pengobatan efektif

Gambar 8 Peta sebaran proporsi penduduk yang mengobati sendiri
Gambar 9 sampai dengan Gambar 14 menunjukkan proporsi rumah tangga
dalam upaya mencegah gigitan nyamuk di Indonesia baik secara mekanis (kelambu
dan kasa nyamuk) maupun kimiawi (insektisida, obat anti nyamuk bakar, repelen
dan minum obat pencegah malaria). Lima provinsi yang memiliki proporsi rumah
tangga yang menggunakan kelambu tertinggi adalah Sulawesi Barat (80.7%),
Kalimantan Tengah (72.7%), Sulawesi Tenggara (70.2%), Sulawesi Selatan
(68.5%) dan Lampung (65.8%). Lima provinsi yang memiliki proporsi rumah
tangga yang menggunakan obat nyamuk bakar tertinggi adalah Kalimantan Selatan
(83.4%), Kalimantan Tengah (79.1%), Kalimantan Barat (70.5%), Kalimantan
Timur (69.8%) dan Sumatera Barat (68.6%). Lima provinsi yang memiliki proporsi
rumah tangga yang menggunakan kasa nyamuk tertinggi adalah DKI Jakarta
(21.9%), Banten (18.8%), Kalimantan Timur (16.7%), Aceh (16.5%) dan Papua
Barat (15.2%). Lima provinsi yang memiliki proporsi rumah tangga yang
menggunakan repelen tertinggi adalah Banten (35%), DKI Jakarta (31.3%), Jawa
Barat (26.4%), Jawa Tengah (19.9%) dan Jawa Timur (19.5%). Lima provinsi yang
memiliki proporsi rumah tangga yang menggunakan insektisida tertinggi adalah

14

DKI Jakarta (28.6%), Kalimantan Timur (28.5%), Bangka Belitung (22%),
Kepulauan Riau (21.7%) dan Kalimantan Selatan (18.5%). Lima provinsi yang
memiliki proporsi rumah tangga minum obat pencegah malaria tertinggi adalah
Lampung (1.8%), Aceh (1.5%), Papua (1.4%), Bangka Belitung (1.3%) dan
Kalimantan Barat (1.3%).

Gambar 9 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan kelambu

Gambar 10
Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan obat nyamuk bakar

15

Gambar 11 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan kasa nyamuk

Gambar 12 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan repelen

Gambar 13 Peta sebaran proporsi rumah tangga yang menggunakan insektisida

16

Gambar 14
Peta sebaran proporsi rumah tangga yang minum obat pencegah malaria
Mendeteksi Otokorelasi dan Keragaman Spasial
Hasil uji otokorelasi spasial dengan Indeks Moran didapatkan nilai Indeks
Moran sebesar 0.544 dengan nilai-p sebesar 0.01 yang kurang dari taraf nyata 0.05
sehingga diperoleh keputusan tolak H0 yang berarti bahwa terdapat otokorelasi
spasial pada data prevalensi malaria di Indonesia. Nilai Indeks Moran berada pada
rentang 0 dan 1 sehingga dapat disimpulkan otokorelasi yang dihasilkan adalah
otokorelasi spasial positif. Otokorelasi positif mengindikasikan provinsi yang
berdekatan mempunyai nilai yang mirip dan prevalensi malaria di Indonesia
cenderung mengelompok.
Pengujian keragaman spasial menggunakan uji Breusch-Pagan (BP)
menghasilkan nilai BP sebesar 21.1837 dengan nilai-p sebesar 0.0315 yang kurang
dari taraf nyata 0.05 sehingga diperoleh keputusan tolak H0 yang berarti bahwa
terdapat keragaman spasial pada data prevalensi malaria per provinsi di Indonesia
tahun 2013. Keragaman spasial pada prevalensi malaria tersebut menunjukkan
bahwa setiap provinsi di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, sehingga
diperlukan pendekatan lokal dalam memodelkan dan untuk mengatasi keragaman
yang terjadi pada prevalensi malaria. Salah satu pemodelan yang bersifat lokal
adalah pemodelan menggunakan Regresi Terboboti Geografis (RTG).

Model Regresi Terboboti Geografis
Langkah awal dalam analisis RTG adalah menentukan matriks pembobot.
Matriks pembobot yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fungsi
pembobot kernel bisquare. Fungsi pembobot memerlukan nilai lebar jendela (b)
optimum yang diperoleh melalui teknik validasi silang. Nilai lebar jendela (b)
optimum jika nilai CV kecil. Pada model RTG dengan fungsi pembobot kernel
bisquare lebar jendela optimum yang menghasilkan CV minimum sebesar 407.499
adalah 4626.667 km. Nilai lebar jendela optimum menunjukkan bahwa jarak antar

17

provinsi yang lebih dari atau sama dengan 4626.667 km dianggap sudah tidak
mempengaruhi pengamatan data yang dianalisis.
Sifat lokal dari model RTG dapat ditunjukkan dari hasil nilai penduga
parameternya. Hasil nilai penduga parameter model RTG akan berbeda-beda untuk
setiap lokasi penelitian (Lampiran 1). Gambar 15 menunjukkan penduga parameter
yang berbeda-beda di setiap lokasi penelitian. Keragaman yang cukup besar pada
penduga parameter b11 dan b5 menunjukkan bahwa pengaruh proporsi rumah
tangga yang menggunakan obat pencegah malaria dan proporsi penduduk yang
mengobati sendiri terhadap prevalensi malaria cukup beragam antar propinsi di
Indonesia sedangkan nilai penduga parameter lainnya memiliki ragam yang kecil.
Dengan demikian model RTG dapat menjelaskan lebih banyak fenomena
dibandingkan model regresi.

3

Nilai penduga parameter RTG

2

1

0

-1

-2

-3
b1

b2

b3

b4

b5

b6

b7

b8

b9

b10

b11

Penduga parameter model RTG

Gambar 15 Diagram kotak garis setiap penduga parameter model RTG
Analisis ragam untuk menguji kebaikan model RTG dibandingkan model
regresi tertera pada Tabel 2. Nilai F-hitung untuk peningkatan jumlah kuadrat
model RTG sebesar 7.583 dengan nilai-p sebesar 0.001 lebih kecil dari taraf nyata
0.05 sehingga diperoleh keputusan tolak H0 yang berarti bahwa ada perbedaan
yang nyata antara model regresi dengan model RTG. Hal ini menunjukkan bahwa
model RTG secara statistik lebih baik dibandingkan model regresi dalam
menjelaskan hubungan antara prevalensi malaria dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Model RTG menghasilkan nilai R2 sebesar 92.63% yang
menunjukkan bahwa sebesar 92.63% keragaman prevalensi malaria mampu
dijelaskan oleh model sedangkan sisanya sebesar 7.37% dijelaskan peubah lain
diluar model.

18

Sumber Keragaman

Tabel 2 Analisis ragam model RTG
Derajat
Jumlah
Kuadrat F hitung
Kuadrat
Tengah
Bebas
21
123.905
1.466
44.941
30.653
7.583
19.534
78.964
4.042

Galat MKT
RTG Improvement
Galat RTG
.
Model Regresi Lasso Terboboti Geografis

Nilai-p

0.001

Metode yang digunakan dalam mendeteksi adanya kasus multikolinearitas
antar peubah penjelas pada model RTG adalah dengan Variance Inflation Factor
(VIF).Pada Tabel 3 Nilai VIF global untuk peubah X1 dan X4 memiliki nilai VIF
lebih dari 10 yaitu sebesar 35.096 pada peubah X1 dan 54.057 pada peubah X4
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat multikolinieritas pada peubah penjelas
yang digunakan. Diagram kotak garis pada Gambar 16 menunjukkan keragaman
yang cukup besar pada nilai VIF lokal peubah X1 dan X4 dengan nilai VIF lebih
dari 10 di semua lokasi pengamatan. Nilai VIF pada peubah X1 memiliki selang
nilai antara 28.39 hingga 46.11 dan nilai VIF pada peubah X4 memiliki selang
nilai antara 43.33 hingga 79.04 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada peubah
X1 dan X4 mengandung multikolinieritas lokal. Nilai VIF lokal untuk masingmasing peubah di setiap wilayah secara rinci tertera pada Lampiran 2.
Tabel 3 Nilai VIF Global
Peubah
VIF
X1
35.096
X2
6.332
X3
3.350
X4
54.047
X5
2.92
X6
2.149
X7
2.193
X8
4.707
X9
4.184
X10
4.112
X11
2.669
Salah satu cara untuk mengatasi adanya multikolinieritas lokal pada model
RTG adalah Regresi Lasso Terboboti Geografis (RLTG). Pada model RLTG
peubah yang mempengaruhi prevalensi malaria di setiap wilayah provinsi di
Indonesia berbeda-beda, ada peubah yang disusutkan menjadi nol sehingga tidak
mempengaruhi prevalensi malaria di suatu wilayah. Model RLTG menghasilkan
nilai R2 sebesar 99.65% yang menunjukkan bahwa sebesar 99.65% keragaman
prevalensi malaria mampu dijelaskan oleh model sedangkan sisanya sebesar 0.35%
dijelaskan peubah lain diluar model. Nilai penduga parameter model RLTG
tercantum pada Lampiran 3.

19

80
70

Nilai VIF Lokal

60
50
40
30
20
10
0
x1

x2

x3

x4

x5

x6

x7

x8

x9

x10

x11

Peubah Penjelas

Gambar 16 Diagram kotak garis nilai VIF Lokal

15

Nilai penduga parameter model RLTG

Papua

10

Maluku

5

Sulawesi
Papua Barat
Selatan Sulawesi
Tenggara

Lampung

0
Bengk ulu

Papua
Papua Barat

Sulawesi Selatan

Papua Barat
NTT
Lampung

-5
b1

b2

b3

b4

b5

b6

b7

b8

b9

b10

b11

Penduga parameter model RLTG

Gambar 17 Diagram kotak garis setiap penduga parameter model RLTG
Gambar 17 menunjukkan keragaman nilai penduga parameter
menggunakan model RLTG yang bernilai positif atau negatif pada wilayah berbeda
untuk peubah yang sama. Model RLTG bersifat lokal sehingga setiap lokasi
pengamatan menghasilkan pendugaan parameter model yang berbeda-beda. Peubah
penjelas yang sama bisa memberi kontribusi positif maupun negatif terhadap
prevalensi malaria di wilayah yang berbeda. Pada peubah penjelas yang memiliki
nilai VIF besar, koefisien parameter menjadi mengecil bahkan bernilai nol.
Koefisien parameter pada model RLTG kecil karena adanya pembakuan.
Keragaman koefisien parameter yang cukup besar terdapat pada penduga b11 dan

20

b5. Nilai penduga lainnya menunjukkan keragaman yang kecil sehingga
memberikan kontribusi yang hampir sama terhadap prevalensi malaria.
Parameter b11 menunjukkan pengaruh proporsi rumah tangga yang
menggunakan obat pencegah malaria terhadap prevalensi malaria. Penggunaan obat
pencegah malaria telah berhasil menurunkan prevalensi malaria di beberapa daerah
terutama di Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara Timur yang memiliki pengaruh
terbesar menurunkan prevalensi malaria sedangkan di Provinsi Papua dan Maluku
penggunaan obat pencegah malaria belum dapat menurunkan prevalensi malaria.
Pada Gambar 18 parameter b11 ditunjukan dengan grafik batang berwarna merah.
Parameter b5 memiliki selang nilai positif dari 1.654 hingga 8.235. Hal ini
menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang mengobati sendiri belum dapat
menurunkan prevalensi malaria di seluruh wilayah, sehingga perlu adanya
sosialisasi mengenai pengobatan yang efektif untuk menyembuhkan penyakit
malaria yaitu dengan mengunjungi tenaga kesehatan untuk mendapat obat malaria
yang efektif. Pada Gambar 18 parameter b5 ditunjukan dengan grafik batang
berwarna biru.

Gambar 18 Peta sebaran wilayah model RLTG
Parameter b8 menunjukkan pengaruh proporsi rumah tangga yang
menggunakan kasa nyamuk terhadap prevalensi malaria, Penggunaan kasa nyamuk
telah berhasil menurunkan prevalensi malaria di beberapa daerah terutama di
Provinsi Papua Barat dan Bengkulu yang memiliki pengaruh terbesar menurunkan
prevalensi malaria sedangkan di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Utara penggunaan kasa nyamuk belum berhasil menurunkan prevalensi
malaria
Parameter b9 menunjukkan pengaruh proporsi rumah tangga yang
menggunakan repelen terhadap prevalensi malaria. Penggunaan repelen telah
berhasil menurunkan prevalensi malaria di beberapa daerah terutama di Provinsi
Papua Barat dan Papua yang memiliki pengaruh terbesar menurunkan prevalensi
malaria sedangkan di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara penggunaan
repelen belum berhasil menurunkan prevalensi malaria

21

Parameter b10 menunjukkan pengaruh proporsi rumah tangga yang
menggunakan insektisida terhadap prevalensi malaria, Penggunaan insektisida
telah berhasil menurunkan prevalensi malaria di beberapa daerah terutama di
Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah yang memiliki pengaruh terbesar
menurunkan prevalensi malaria sedangkan di Provinsi Bengkulu penggunaan
insektisida belum dapat menurunkan prevalensi malaria.

Gambar 19
Peta sebaran jumlah peubah yang mempengaruhi prevalensi malaria
Peubah yang berpengaruh terhadap prevalensi malaria di sebagian besar
provinsi di Indonesia yaitu peubah proporsi penduduk yang mengobati sendiri (X5)
mempengaruhi prevalensi malaria di 28 provinsi di indonesia dan peubah proporsi
rumah tangga yang menggunakan kelambu (X6) mempengaruhi prevalensi malaria
di 26 provinsi di Indonesia. Di Provinsi Lampung dan Kalimantan Tengah seluruh
peubah mempengaruhi prevalensi malaria. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 19
yaitu wilayah yang berwarna biru.
Provinsi Papua memiliki angka prevalensi tertinggi sebesar 28.6%, ada
empat peubah penjelas yang mempengaruhi prevalensi malaria di Provinsi Papua
yaitu proporsi penduduk yang berobat minum obat ACT selama 3 hari (X3),
proporsi rumah tangga yang menggunakan repelen (X9), proporsi rumah tangga
yang menggunakan insektisida (X10) dan proporsi rumah tangga minum obat
pencegah malaria (X11).
Provinsi Aceh memiliki angka prevalensi malaria mendekati angka nasional
prevalensi malaria yaitu 6.1%. Peubah penjelas yang mempengaruhi prevalensi
malaria di Propinsi Aceh ada dua peubah yaitu proporsi rumah tangga yang
menggunakan obat nyamuk bakar (X7) dan proporsi rumah tangga yang
menggunakan kasa nyamuk (X8).
Provinsi dengan prevalensi malaria terendah adalah Provinsi Riau sebesar
2.5%, peubah penjelas yang mempengaruhi prevalensi maria di Provinsi Riau ada
tiga peubah yaitu proporsi penduduk yang mengobati sendiri (X5), proporsi rumah
tangga yang menggunakan kelambu (X6) dan proporsi rumah tangga minum obat
pencegah malaria (X11).

22

Variasi peubah penjelas yang mempengaruhi prevalensi malaria di setiap
wilayah menunjukkan bahwa pemerintah setiap wilayah memiliki tugas
memprioritaskan program-program khusus dalam upaya pengendalian penyakit
malaria di wilayahnya, pemerintah melalui tenaga kesehatan daerah dapat
meningkatkan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara
yang efektif dalam pencegahan gigitan nyamuk dan cara mendapat pengobatan
malaria yang efektif di wilayahnya.

Prevalensi Malaria (%)

35
30
25
20
15
10

y aktual

5

y dugaan
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

0

Propinsi
Gambar 20
Grafik nilai prevalensi malaria aktual dan prevalensi malaria dugaan
Gambar 20 menunjukkan bahwa model RLTG mampu melakukan pendugaan
prevalensi malaria yang mengikuti pola prevalensi malaria aktual. Selain itu jarak
antara nilai prevalensi malaria aktual dengan prevalensi malaria dugaan yang
dihasilkan sangat dekat. Model RLTG pada data prevalensi malaria dapat
menghasilkan dugaan prevalensi malaria yang sangat akurat di setiap wilayah
provinsi di Indonesia dengan nilai RMSE sebesar 0.335.

Pola Sebaran Penduga Parameter Model RLTG
Pada peta sebaran nilai dugaan parameter b1 (Gambar 21) diketahui bahwa
peubah proporsi penduduk yang mendapat program ACT berpengaruh nyata
terhadap prevalensi malaria terjadi di tiga belas provinsi. Parameter b1 memiliki
selang nilai dari -0.316 sampai 0.300. Program pengobatan ACT telah berhasil
menurunkan prevalensi malaria di empat provinsi diantaranya Provinsi Lampung,
DI Yogyakarta, Kepulauan Riau dan Jawa Timur sedangkan di sembilan provinsi
lainnya yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan,
Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, DKI Jakarta,

23

Papua Barat dan Kalimantan Barat program pengobatan ACT
menurunkan prevalensi malaria.

belum dapat

Gambar 21 Peta sebaran nilai dugaan parameter b1
Pada peta sebaran nilai dugaan parameter b2 (Gambar 22) diketahui bahwa
peubah proporsi penduduk yang medapat obat ACT dalam 24 jam berpengaruh
nyata terhadap prevalensi malaria terjadi di enam belas provinsi. Parameter
b2memiliki selang nilai dari -