Siklus Reproduksi Anak Tikus Dari Induk Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan.

SIKLUS REPRODUKSI ANAK TIKUS DARI INDUK YANG
DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG SELAMA
13–21 HARI KEBUNTINGAN

MEILANY CYNTIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Siklus Reproduksi Anak
Tikus Dari Induk Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21
Hari Kebuntingan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Meilany Cyntia
NIM B04110009

ABSTRAK
MEILANY CYNTIA. Siklus Reproduksi Anak Tikus Dari Induk Yang Diberi
Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan Dibimbing oleh
PUDJI ACHMADI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Purwoceng (Pimpinella alpina) adalah salah satu tanaman herbal asli
Indonesia yang berasal dari area dataran tinggi seperti Dieng di Jawa Tengah.
Akar tanaman ini berkhasiat sebagai afrodisiak karena kandungan didalamnya
yakni kelompok isoflavon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji
kandungan fitoestrogen dalam purwoceng terhadap penurunan testis, pembukaan
vagina dan siklus estrus. Penelitian ini menggunakan dua kelompok tikus bunting.
Kelompok pertama empat tikus betina bunting yang diberikan ekstrak etanol akar
purwoceng dengan dosis 25 mg/ml per 300 g BB secara oral pada 13–21 hari
kebuntingan. Kelompok kedua dengan pemberian air pada 13–21 hari
kebuntingan sebagai kontrol. Semua tikus bunting dipilih yang memiliki rata rata
jumlah anak 8–9 ekor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu penurunan

testis dan pembukaan vagina pada kelompok purwoceng lebih cepat daripada
kontrol, penurunan testis pada kelompok purwoceng terjadi pada hari ke 29, dan
pembukaan vagina pada hari ke 36. Penurunan testis pada kelompok kontrol
terjadi pada hari ke 34, dan pembukaan vagina pada hari ke 38. Panjang siklus
estrus kelompok purwoceng lebih lama daripada kontrol dengan fase proestrus
dan estrus juga lebih panjang dibanding kontrol.
Kata kunci: Akar purwoceng, ekstrak etanol, pembukaan vagina, Rattus
norvegicus, siklus estrus

ABSTRACT
MEILANY CYNTIA. Reproduction Cycle of Rat Pups That Given Purwoceng
Roots Ethanol Extract Thourgh Their mother at 13–21 of Pregnancy Supervised
by PUDJI ACHMADI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS
Purwoceng (Pimpinella alpina) is one of Indonesian medicinal herbals that
was originating from high altitudes area such as Dieng at Central Java. Its root has
an efficacious as aphrodisiac because of its compound such as isoflavon group.
The aim of this study was to test the efficacy of phytoestrogens contained in
purwoceng (Pimpinella alpina) on the descended testes, vaginal opening and
estrous cycle. This study used two groups of pregnant rats. The first group consist
of four pregnant rats which were given purwoceng root ethanol extract with dose

of 25 mg / ml per 300 g BW orally at 13–21 gestation. The second group of rats
were given water at the 13th day of gestation to 21 as a control. All pregnant rats
were selected rats which has delivered 8–9 pups. The results showed that time of
descended testes and vaginal opening of purwoceng group was earlier than control,
descended testes of purwoceng group was on day 29 and vaginal opening was on
day 36. Descended testes of control group was on day 34 and vaginal opening was
on day 38. Length of estrous cycle in purwoceng group were longer than control
with proestrus and estrus phase were also longer than control.
Keyword: Estrous cycle, ethanol extracted, purwoceng roots, Rattus norvegicus,
vaginal opening.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


SIKLUS REPRODUKSI ANAK TIKUS DARI INDUK YANG
DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG SELAMA
13–21 HARI KEBUNTINGAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini ialah “Siklus Reproduksi Anak Tikus Dari Induk Yang

Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan” ini
berhasil diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Drh. Aryani Sismin Sayaningtijas, MSc dan Drs. Pudji Achmadi, MSi
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dari
awal dimulai penelitian sampai penyusunan skripsi ini selesai.
2. Keluarga tercinta yakni ibunda Dedeh dan ayahanda Ujang Suryana, nenek
tercinta (H. Juariah (alm)), keluarga besar H. Az’ari, keluarga besar dari
bapak Karim, keluarga bapak oman dan saudara Ganjar Tri Ramdhani atas
segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang selalu diberikan.
3. Staf laboratorium Fisiologi yakni ibu Ida dan ibu Sri serta pak Edi yang
selalu berkenan membantu penelitian ini.
4. Teman-teman penelitian: Wahyu Sri Wulandari, Rio Topan, Maulana
Syidik, dan Riska Amalia NJ yang telah bekerja sama, bekerja keras, suka
dan duka dalam menjalani penelitian ini.
5. Teman-teman tercinta yang selama ini selalu bersedia membantu dalam
hal apapun yakni Nia Sari, Erfiandini Eka P, Rianti Andari, Elma Nefia,
Ayu Herawati, Sylvia Oscarina, Rifky Rizkiantino, Faisal Amri Satrio, Sri
Rahayu, ka Dirwan, ka Alfonsa, serta seluruh teman-teman Ganglion
(FKH 48).

Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan
skripsi ini. Namun, penulis tetap berharap, semoga penulisan skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberikan ilmu yang baru. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Meilany Cyntia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Siklus Reproduksi
PELAKSANAAN PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Tahap Persiapan Hewan
Tahap Pengamatan
Analisis Statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Kinerja Reproduksi Anak Tikus Betina
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap
Penurunan Testis Anak Tikus Jantan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

vi

vi
vi
1
1
1
1
2
2
2
3
4
4
4
5
5
5
7
7
8
8

11
12
12
12
12
15
17

DAFTAR TABEL
1 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih
2 Perbandingan bobot badan dan pembukaan vagina antara anak tikus yang
diberi purwoceng dan kontrol
3 Nilai rataan panjang siklus estrus pada anak tikus betina
4 Perbandingan bobot badan dan penurunan testis antara anak tikus yang
diberi purwoceng dan kontrol

4
8
9
11


DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Morfologi dari tanaman purwoceng berumur 6 bulan.
Tikus Putih galur Sprague Dawley
Bagan Pembagian induk dan anak tikus jantan dan betina
Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina

2
3
6
7

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengolahan ANOVA pada pembukaan vagina
2 Hasil pengolahan ANOVA pada Siklus Estrus

3 Hasil pengolahan ANOVA pada penurunan testis

15
15
16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman asli Indonesia yang
hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa
Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur.
Keberadaan purwoceng pada saat ini sulit untuk ditemukan karena mengalami
erosi genetik secara besar-besaran, bahkan populasinya di Gunung Pangrango,
Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur dilaporkan sudah musnah.
Potensi tanaman purwoceng cukup besar, tetapi masih terkendala oleh langkanya
penyediaan benih dan keterbatasan lahan yang sesuai untuk tanaman tersebut
(Yuhono 2004). Rahardjo (2003) dan Rahayu (2002) melaporkan bahwa saat ini
tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng, bukan di habitat aslinya
melainkan di area budi daya yang sangat sempit di Desa Sekunang.
Secara ilmiah khasiat purwoceng sebagai afrodisiak masih dalam tahap
penelitian. Purwoceng diduga bersifat afrodisiak karena dapat meningakatkan
kadar hormon testosteron pada tikus jantan (Naihun 2009). Berdasarkan hasil
penelitian Achmadi (2011) dilaporkan bahwa purwoceng juga bersifat estrogenik
karena dapat menimbulkan perubahan pada panjang siklus estrus tikus betina dara .
Paparan agen estrogenik pada saat kebuntingan dan laktasi telah diketahui
dapat mempengaruhi perkembangan morfologi dan fungsional organ reproduksi
(Hughes et al. 2004). Fetus tikus pada masa organogenesis (6–15 hari) dan anak
yang baru lahir (neonate) lebih peka terhadap estrogen oleh sebab itu konsumsi
fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi dapat mempengaruhi periode
penting dari perkembangan dan pertumbuhan (Hughes et al. 2004). Penelitian ini
diharapkan dapat membuktikan bahwa ekstrak akar purwoceng dapat
ditransmisikan ke fetus melalui transplasenta. Penelitian ini akan mengamati
penurunan testis pada anak tikus jantan dan pembukaan vagina (vaginal opening)
serta siklus estrus pada anak tikus betina dari induk yang diberi ekstrak etanol
akar purwoceng selama 13–21 hari kebuntingan.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji manfaat pemberian ekstrak
purwoceng (Pimpinella alpina) pada tikus betina bunting (13–21 hari) terhadap
kinerja reproduksi anak tikus jantan dan betina berupa penurunan testis,
pembukaan vagina dan siklus estrus.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi
mengenai ekstrak etanol purwoceng yang diberikan pada induk bunting pada hari
ke 13–21 terhadap siklus reproduksi anak tikus (jantan dan betina).

2
Hipotesis
H0

H1

Hipotesis penelitian ini adalah:
: Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama
13–21 hari kebuntingan tidak berpengaruh terhadap kinerja reproduksi
anak tikus jantan dan betina (Rattus norvegicus) yang dilahirkan.
: Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama
13–21 hari kebuntingan berpengaruh terhadap kinerja reproduksi anak
tikus jantan dan betina (Rattus norvegicus) yang dilahirkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Nasihun (2009) menjelaskan bahwa purwoceng dapat meningkatkan kadar
hormon testosteron pada tikus jantan, sehingga purwoceng dapat bersifat
afrodisiak. Tanaman herba lain yang bersifat afrodisiak adalah cabe jawa karena
mengandung senyawa piperin (Nuraini 2003). Ekstrak akar ginseng jawa
(Talinum paniculatum Gaertn) juga dapat meningkatkan jumlah spermatozoa
hidup (Rahmi et al. 2011). Pasak bumi juga merupakan salah satu tanaman herba
yang bersifat afrodisiak (Nainggolan dan Simanjuntak 2005). Kedelai dengan
kandungan fitoestrogennya juga dapat meningkatkan aktivitas biologi terutama
aktivitas reproduksi (Tsourounis 2004).
Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiak pada purwoceng ini
diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain
yang dapat melancarkan peredaran darah. Alkaloid dan flavonoid yang dikandung
oleh purwoceng merupakan suatu senyawa yang bersifat estrogenik, yang mampu
berfungsi seperti estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen.
Tampilan tanaman purwoceng dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi dari tanaman purwoceng berumur 6 bulan.
(Sumber: Darwati dan Rostika 2006)
Suzery et al. (2004) dan Rahardjo et al. (2006) menunjukkan adanya
senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng. Purwoceng yang dipakai dalam
penelitian ini sudah melalui uji fitokimia Balittro (2011) yang menjelaskan bahwa
kandungan akar purwoceng terdiri dari alkaloid, tanin, flavonoid, triterfenoid,

3
steroid, glikosida. Purwoceng mengandung steroid dengan hasil positif lemah (+),
alkaloid dan flavonoid dengan hasil positif kuat (+++).

Siklus Reproduksi
Tikus merupakan hewan yang biasa digunakan untuk mempelajari
perkembangan seksual. Tikus dengan pertumbuhan yang cepat, reproduksi yang
relatif sering, harga yang murah, dan mudah di handle sangat sesuai untuk
dijadikan sebagai hewan laboratorium (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus
yang digunakan adalah Rattus norvegicus atau tikus albino galur Sprague Dawley.

Gambar 2 Tikus putih galur Sprague Dawley (koleksi pribadi)
Hewan ini memiliki banyak keistimewaan diantaranya adalah
reproduksinya yang hampir sama dengan mamalia besar. Tikus mulai dikawinkan
pada umur 65–110 hari untuk jantan dan betina, umur sapih 21 hari, umur
pubertas 50–60 hari, pembukaan vagina pada umur 35–90 hari, dan testis turun
pada umur 20–50 hari, siklus estrus yang pendek 4–5 hari dengan fase siklus yang
terlihat jelas, lama estrus 9–12 jam dan lama kebuntingan tikus antara 21–23 hari
(Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Periode kebuntingan tikus terdiri dari
preimplantasi, implantasi dan organogenesis. Tahap preimplantasi terjadi pada
hari ke 0-5 kebuntingan sedangkan tahap implantasi dan organogenesis terjadi
pada hari ke 6-21 kebuntingan. Pembentukan plasenta terjadi setelah tahap
implantasi yakni hari ke 9 (Baker et al 1980).
Tikus merupakan hewan poliestrus yang dapat beberapa kali mengalami
siklus estrus dan melahirkan anak dalam satu tahunnya. Siklus estrus tikus ratarata berkisar antara 4–5 hari yang terdiri atas fase proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus. Setiap fase memiliki gambaran fisiologis yang berbeda pada sel epitel
vaginanya. Keempat siklus ini sangat erat kaitannya dengan pembukaan vagina,
siklus ovarium dan pengaruh hormonal. Siklus pada ovarium terbagi menjadi fase
folikuler dan fase luteal. Fase proestrus dan estrus terjadi pada saat ovarium
mengalami fase folikuler, sedangkan fase metestrus dan diestrus terjadi pada fase
luteal (Baker et al. 1980).
Keempat fase ini dapat diketahui dari hasil pemeriksaan preparat ulasan
vagina yang dicirikan oleh keberadaan sel yang lebih dominan pada saat itu.
Gambaran epitel pada keempat fase dapat dilihat pada Tabel 1.

4
Tabel 1 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih
Fase

Ulasan Vagina
Awal: sel-sel berinti banyak
Akhir:
sel-sel
bartanduk
sebanyak 25%
Awal:
sel-sel
bartanduk
sebanyak 75%
Akhir: sel-sel pavement 25%
Awal: sel-sel pavement 100%
Akhir: sel-sel pavement dan
leukosit
Awal: leukosit
Akhir: leukosit dan sel berinti
banyak muncul

Proestrus

Estrus

Metestrus

Diestrus

(Sumber: Baker et al. 1980)
Pada saat hari pertama dilahirkan sampai beberapa hari kemudian, testis
pada anak jantan tidak langsung turun dan belum berada dalam kantong skrotum.
Penurunan testis dapat terjadi bergantung pada kondisi hewan itu sendiri.
Penurunan testis tikus jantan biasanya terjadi pada umur 20–50 hari. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi fisiologis anak tikus jantan dan keadaan lingkungannya.
Sekresi testosteron yang cukup akan memicu penurunan testis ke dalam skrotum
selama 2–3 bulan terakhir masa kehamilan (Guyton dan Hall 2007). Akibatnya
peningkatan jumlah testosteron akan mempercepat penurunan testis pada hewan
jantan.

PELAKSANAAN PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai Mei 2015. Penelitian
ini dilakukan di bagian Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan di Kandang Hewan
Coba, Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium FKH IPB.

Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu 20 ekor tikus betina
dan jantan galur Sprague-Dawley, akar purwoceng, sekam, pakan tikus (pelet),
NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, dan akuades. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kandang tikus berupa kotak plastik, tutup kandang berupa
kawat, timbangan analitik digital, sonde lambung, botol minum tikus, spoit,

5
gunting, blender, objek gelas, mikroskop, pipet, cotton bud, tisue, Rotavapor
Buchi (R-205), chiller, oven, porselin, termometer, kapas, kertas nama,
erlenmeyer, gelas ukur, corong, spidol.

Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Tanaman purwoceng merupakan salah satu tanaman yang memiliki
banyak manfaat terutama bagian akar tanaman yang biasa dibuat sebagai ekstrak
untuk selebihnya dimanfaatkan dalam dunia kesehatan. Bagian akar dipanaskan
terlebih dahulu di bawah sinar matahari dengan suhu tidak boleh melebihi 50ºC.
Tanaman yang telah kering selanjutnya dipotong tipis dan kecil-kecil, kemudian
dihaluskan menggunakan blender sehingga menjadi serbuk. Serbuk yang
dihasilkan sebanyak 700 g kemudian direndam dalam etanol 70% sebanyak 3.5 l
zat pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk sampai homogen,
kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring untuk mendapatkan
filtratnya.
Hasil filtrat disimpan ke dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam
kembali dalam etanol 70% sebanyak 3.5 l selama 24 jam dan setiap dua jam
diaduk supaya homogen (sama seperti perlakuan sebelumnya). Setelah itu, larutan
disaring dan filtratnya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama ke dalam
Erlenmeyer ukuran 5 l. Filtrat tersebut kemudian diuapkan dengan menggunakan
rotary evaporator (rotavapor) Buchi pada suhu 48 ºC dengan kecepatan putaran
sebesar 60 rpm untuk menguapkan pelarut etanol 70% dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam oven pengering pada suhu sekitar 45°C selama 48 jam
untuk menguapkan airnya. Hasil dari pengeringan dalam oven adalah ekstrak
kental berwarna cokelat. Ekstrak kental ditempatkan dibotol kaca steril disimpan
di dalam lemari es dan ekstrak dapat diencerkan kembali dengan akuades jika
ingin digunakan pada hewan coba sesuai dosis perlakuan.

Tahap Persiapan Hewan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor
tikus putih (Rattus norvegicus) dari galur Sprague-Dawley dengan jenis kelamin
betina yang telah dewasa kelamin berumur 50-60 hari. Tahap persiapan hewan ini
terdiri dari adaptasi dan perkawinan selama 2 minggu. Adaptasi merupakan tahap
penyesuaian hewan coba terhadap lingkungan sebelum masuk tahap perkawinan.
Tahap ini berlangsung selama 3 minggu, saat tahap adaptasi dilakukan
pemeriksaan feses terhadap keberadaan telur cacing dengan metode natif. Metode
natif dilakukan dengan cara menyiapkan objek gelas yang telah ditetesi NaCl
fisiologis kemudian ditambah sedikit feses dari tikus yang akan diperiksa lalu
ditutup dengan cover glass dan diamati di bawah mikroskop. Jika hasil
pengamatan menunjukkan adanya telur cacing maka tikus diganti. Tikus ini
dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik,

6
berukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm. Kandang tersebut dilengkapi dengan jaring
kawat sebagai penutup dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta botol air minum
yang dijepit pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut diberikan pakan pelet sehari
dua kali (pagi dan sore hari) sebanyak 10% dari Bobot badan dan diberikan
minum ad libitum.
Tahap selanjutnya adalah tahap perkawinan, perkawinan tikus ini
dilakukan secara alamiah dengan mencampurkan jantan dan betina dengan rasio
1:1 dalam satu kandang. Tikus betina yang digunakan adalah tikus bunting
sebanyak 20 ekor, untuk perlakuan 10 ekor dan untuk kontrol 10 ekor dipelihara
sampai dengan melahirkan. Pemberian perlakuan dimulai dari umur 13 sampai 21
hari kebuntingan, dimana kelompok kontrol diberikan akuades melalui oral
dengan menggunakan sonde lambung sebanyak 25 mg/ml per 300 g BB (Nasihun
2009) dan kelompok perlakuan diberikan ekstrak etanol akar purwoceng dengan
dosis yang sama. Tahap pengambilan sampel dilakukan dengan memilih sebanyak
8 induk yang memiliki jumlah anakan antara 7-9 ekor/induk dengan rasio jantan
dan betina yang mendekati serta memiliki bobot badan berkisar antara 5-6 g.
Kemudian anak-anak tikus yang dilahirkan selanjutnya diambil dan masuk ke
tahap pengamatan. Total 10 ekor anak jantan dan 10 ekor anak betina masingmasing dari 4 ekor induk kontrol dan 4 induk purwoceng dijadikan objek untuk
pengamatan terhadap penurunan testis, pembukaan vagina dan siklus estrus.
20 ekor betina
bunting
8 ekor betina
(jumlah anakan
sama)
4 ekor induk
kontrol

10 ekor anak
jantan

Penurunan
testis

4 ekor induk
perlakuan

10 ekor anak
betina
Pembukaan
vagina dan
siklus estrus

10 ekor anak
jantan

Penurunan
testis

10 ekor anak
betina
Pembukaan
vagina dan
siklus estrus

Gambar 3 Bagan Pembagian induk dan anak tikus jantan dan betina
Penelitian ini menggunakan anak tikus jantan dan betina dari 8 ekor induk
tersebut. Cara membedakan jenis kelamin tikus dilihat dari jarak celah anogenital.
Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina menurut Hrapkiewicz
dan Medina (1998) dapat dilihat berdasarkan Gambar 4.

7

Gambar 4 Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
Tahap Pengamatan
Parameter pengamatan pada penelitian ini berupa penurunan testis,
pembukaan vagina, dan siklus estrus dari anak tikus jantan dan betina yang
dilahirkan tersebut. Penurunan testis pada tikus jantan (kontrol dan perlakuan)
diamati setiap hari mulai dari lepas sapih (21 hari) sampai dengan testis turun dan
dicatat hari keberapa testis mulai mengalami penurunan. Pengamatan pembukaan
vagina dan siklus estrus pada betina dilakukan setiap hari dimulai dari anak tikus
lepas sapih (21 hari) sampai vagina terbuka. Pengamatan pembukaan vagina
dilakukan dengan menggunakan cotton bud yang telah dibasahi oleh NaCl
fisiologis lalu dimasukan kedalam vagina. Jika cotton bud belum dapat masuk ke
dalam vagina maka vagina belum terbuka dan pengamatan dilanjutkan sampai
vagina benar benar terbuka.
Pengamatan untuk siklus estrus dilakukan dua kali setiap harinya yakni
pagi hari (pukul 06.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) setelah vagina
terbuka. Namun jika hasil pengamatan menunjukkan fase awal metestrus atau
diestrus maka pengulasan vagina dilakukan satu kali sehari karena kedua fase ini
berlangsung lebih dari 1 hari. Pengamatan ini dilakukan dengan melakukan
apusan ulas vagina. Pengambilan apusan ulas vagina dilakukan dengan
menggunakan cotton bud berukuran kecil yang sudah dibasahi NaCl fisiologis
0,9%. Cotton bud dimasukkan ke dalam vagina dan diputar 360°. Apusan ulas
vagina dioleskan pada gelas objek dengan merata kemudian di fiksasi dalam
metanol selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30
menit lalu dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tisue lalu preparat
diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Pembacaan apusan ulas
vagina dilihat berdasarkan gambaran sel epitelnya sehingga dapat diperoleh
panjang siklusnya, kemudian dicatat hasil pembacaan setiap harinya. Pengamatan
ini dilakukan selama 15 hari.

Analisis Statistik
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan
baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik dengan analisis
sidik ragam (ANOVA-Analysis of Variance) dilanjutkan dengan Duncan.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap Kinerja
Reproduksi Anak Tikus Betina
Kinerja reproduksi anak tikus betina dalam penelitian ini yang akan
diamati adalah waktu terjadinya awal pembukaan vagina dan siklus estrus anak
tikus serta kinerja reproduksi anak tikus jantan berupa penurunan testis dari induk
betina bunting yang dicekok ekstrak etanol akar purwoceng pada umur 13–21 hari
dibandingkan dengan anak yang berasal dari tikus kontrol. Pada umur
kebuntingan 13–21 hari merupakan tahap organogenesis yang terjadi pada hari ke
6–21 kebuntingan dan waktu pembentukan plasenta yang terjadi pada hari ke 9
(Baker et al 1980). Purwoceng yang diberikan pada induk betina bunting umur
13–21 hari diduga dapat memengaruhi waktu pembukaan vagina dan panjang
siklus estrus. Hasil pengamatan bobot badan dan waktu awal pembukaan vagina
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan bobot badan dan pembukaan vagina antara anak
tikus yang diberi purwoceng dan kontrol
Umur Tikus Bobot Badan (g)
(hari)
K
P
36
31.5±5.8a 37.5±3.5b
38
33.5±1.5a 39.5±5.5b

Pembukaan vagina
K
+

P
+
+

% populasi
K
0
100

P
60
40

Keterangan : + (terjadi pembukaan vagina)
- (belum terjadi pembukaan vagina)

Bobot badan anak tikus betina kontrol dan purwoceng terlihat berbeda nyata
(P