Analisis fungsi produksi dan efisiensi usahatani kopi rakyat di Aceh Tengah

(1)

TESIS

Oleh :

ZURAIDA FATMA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ZURAIDA FATMA. Analisis Fungsi Produksi dan Efisiensi Usahatani Kopi Rakyat di Aceh Tengah (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua, SRI HARTOYO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peranan sebagai sumber perolehan devisa, penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan bagi petani pekebun kopi maupun pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan maupun dalam mata rantai pemasaran. Salah satu daerah penghasil utama kopi Indonesia adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah sentra pertama penghasil kopi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini. Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah yang memiliki luas areal tanam maupun produksi kopi yang paling besar sekitar 66 persen dari luas kopi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Umumnya tanaman kopi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikelola dengan pola perkebunan rakyat. Pola perkebunan yang seperti ini pengelolaannya masih bersifat tradisional dan belum menggunakan teknologi budidaya kopi secara baik dan benar. Hal ini menggambarkan masih rendahnya pengetahuan petani kopi tentang teknologi budidaya kopi. Permasalahan yang mendasar dalam pengelolaan usahatani kopi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah rendahnya produktivitas. Menurut Aradi (2008), beberapa hal yang diduga mempengaruhi rendahnya produktivitas usahatani kopi daerah ini adalah rata-rata tanaman kopi sudah berumur tua dan pemeliharaan secara intensif belum dilaksanakan secara sempurna karena rendahnya pengetahuan dan keterampilan petani.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi pada usahatani kopi di Kabupaten Aceh Tengah, menganalisis kondisi skala ekonomi kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah dan menganalisis efisiensi ekonomi pada usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah. Kerangka pendekatan masalah dilakukan dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode pendugaan Ordinary Least Squares. Sedangkan analisis efisiensi dilihat dari ratio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal.

Sehubungan dengan tujuan penelitian tersebut maka diharapkan hasil penelitian ini berguna sebagai bahan masukan bagi petani kopi dalam mengalokasikan faktor produksi secara efisien sehingga didapatkan pendapatan yang maksimal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi lembaga penentu kebijakan dan pengembangan usahatani kopi rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam dalam meningkatkan kesejahteraan petani kopi. Penelitian ini menggunakan metoda survai. Petani contoh ditentukan dengan teknik penarikan contoh acak sederhana.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variasi produksi usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi sebesar 52.3%. Faktor produksi yang berpengaruh signifikan terhadap produksi kopi adalah jumlah tenaga kerja, luas lahan dan umur pohon kopi. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan, semakin luas lahan produktif dan semakin


(3)

return to scale atau berada pada kondisi produksi yang semakin meningkat. Penambahan proporsi faktor produksi dalam usahatani kopi akan menghasilkan proporsi pertambahan hasil produksi yang semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena penggunaan faktor produksi belum optimal. Fungsi produksi merupakan respon terhadap jumlah tenaga kerja, luas kebun kopi produktif, umur tanaman kopi dan lama pengalaman berusahatani kopi. Kenaikan jumlah tenaga kerja, luas kebun kopi produktif, umur tanaman kopi dan lama petani berusahatani kopi masing-masing sebesar 10 persen akan menyebabkan peningkatan produksi masing-masing sebesar 4.52 persen, 2.31 persen, 4.30 persen, dan 0.06 persen

Analisis efisiensi menunjukkan bahwa ratio efisiensi tenaga kerja belum optimal, sehingga untuk mencapai hasil produksi yang maksimum maka perlu ditambah penggunaan tenaga kerja. Belum optimalnya penggunaan tenaga kerja dalam usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh tengah ini disebabkan karena rata-rata kepala keluarga di Kabupaten Aceh Tengah mempunyai dan mengelola lahan perkebunan sendiri dan cenderung mencurahkan tenaga kerjanya untuk mengelola perkebunan sendiri dibandingkan bekerja pada petani pekebun lainnya terutama pada musim panen. Untuk ratio efisiensi luas lahan menunjukkan telah melampaui titik efisiensi, sehingga luas lahan tidak bisa ditingkatkan lagi dalam rangka meningkatkan produksi.


(4)

ZURAIDA FATMA. ANALYSIS OF PRODUCTION FUNCTION AND

EFFICIENCY OF THE SMALLHOLDER COFFEES IN ACEH TENGAH (YUSMAN

SYAUKAT as Chairman, SRI HARTOYO as Members of Advisory Committee). Aceh Tengah Regency is the main coffee-producing areas in Province of Nanggroe Aceh Darussalam. This study aims : (1) to identify contributing factors to the production of smallholder coffee, (2) to analyze the condition of the economic scale of the smallholder coffee, and (3) to analyze the economic efficiency of smallholder coffee in Central Aceh Regency. The study used survey method. Farm sample determined by simple random sampling technique.

Data were analyzed by using production function Cobb-Douglas type. Study results showed significant factor affecting the coffee production at 10% significance level are the amount of labour, land area and coffee tree’s age. The more labour is used, the more productive land area and the older the tree’s age, the higher coffee production. The coffee production in the sloping land higher than in flat land.

Coffee farming in Central Aceh Regency is on increasing return to scale condition or in increasing production condition. Adding the proportion factor of production in coffee farming will produce the greater profit proportionally. Efficiency analysis showed the technical efficiency of all production factors efficiently, and the amount of labour still can be improved to increase the coffee production economically.


(5)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI KOPI RAKYAT DI ACEH TENGAH

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2011

Zuraida Fatma, S.TP A151030041


(6)

Oleh :

ZURAIDA FATMA

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D

(Dosen Departemen Ilmu Ekonomi,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, MS

(Dosen Departemen Agribisnis,


(8)

Nomor Pokok : A151030041

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Ketua Anggota

Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS

Mengetahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(9)

Nomor Pokok : A151030041

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Ketua Anggota

Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS

Mengetahui:

2. Ketua Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(10)

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 18 September 1978 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan H. Udin Ibrahim Alyonner dan Hj. Nuraini MA. Penulis menikah dengan Eka Sofyan Iskandar pada tahun 2005, dikaruniai satu orang putri Fina Khalisha Raikaputri dan satu orang putra Farhat Athari Raikaputra.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1990 di SDN 36 Banda Aceh. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1993 dari SMPN 4 Banda Aceh. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1996 pada SMAN 5 Banda Aceh. Gelar sarjana Teknologi Pertanian diperoleh pada tahun 2002 pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(11)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasih-Nya yang telah memberi kesempatan dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Adapun judul penelitian ini adalah Analisis Fungsi Produksi dan Efisiensi Usahatani Kopi Rakyat di Aceh Tengah sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku anggota komisi, yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan dan masukan sejak awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yang sangat membantu dalam penyelesaian studi penulis.

3. Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis yang telah memberi waktu luang dan masukan-masukan pada tesis penulis.

4. Ibunda Hj. Nuraini MA, S.Pd dan Ayahanda DRS. H. Udin Ibrahim Alyonner. Kakak Ainun Fitriani Alyonner, SE. Abang Windi Affandi Alyonner, SE, M.Si. Adik Win Alfiandi Alyonner, SP, MBA dan ponakan tersayang Moza Fathia Sassikirana untuk dukungan semangat, materi dan do’a yang diberikan. 5. Ibunda M. Huzaemah dan Bapak H. Muchtadi, atas dukungan semangat dan


(12)

pengorbanan, do’a dan kasih sayang yang dicurahkan.

7. Syahirman Hakim, Iwan Hasri terima kasih telah dengan ikhlas membantu dan mendukung penulis.

8. Teman-teman EPN angkatan 2003, Arif Karyadi Uswandi, Citra Rapati, Lidya Kalangi dan Tri Wahyu Nugroho, terima kasih selalu memberikan dukungan semangat untuk penulis.

9. Keluarga besar Program Studi EPN khususnya mba Ruby Garniwan dan mba Suryani Falatehan yang telah membantu dari awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan studi.

Akhir kata semoga karya penulis ini bermanfaat untuk kita semua.

Bogor, Januari 2011


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4.Batasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1.Teori Produksi ... 9

2.2.Produksi Kopi di Indonesia ... 11

2.3.Hasil Penelitian Terdahulu ... 13

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 19

3.1.Dasar Pemikiran ... 19

3.2.Kerangka Teoritis ... 21

3.2.1. Fungsi Produksi ... 21

3.2.2. Skala Usaha ... 24

3.2.3. Elastisitas dan Efisiensi Ekonomi ... 26

3.3.Hipotesis ... 31

IV. METODE PENELITIAN ... 32

4.1.Daerah Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh ... 32

4.2.Jenis dan Sumber Data ... 32


(14)

xiv

4.3.3. Analisis Elastisitas dan Efisiensi Ekonomi ... 34

4.4.Peubah dan Pengukurannya ... 35

V. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 37

5.1.Letak Geografis ... 37

5.2.Keadaan Topografi ... 37

5.3.Keadaan Iklim ... 37

5.4.Penduduk dan Angkatan Kerja ... 38

5.5.Potensi Pembangunan Perkebunan ... 40

5.6.Identifikasi Petani Contoh ... 42

5.7.Penggunaan Faktor Produksi ... 42

VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI KOPI RAKYAT ... 44

6.1.Analisis Fungsi Produksi ... 44

6.1.1. Deskripsi Data ... 44

6.1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Kopi Rakyat ... 47

6.1.3. Pengujian Hipotesis ... 51

6.2.Analisis Skala Usaha ... 57

6.3.Analisis Efisiensi Ekonomi ... 58

6.3.1. Analisis Elastisitas ... 59

6.3.2. Analisis Efisiensi Ekonomi ... 60

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

7.1.Kesimpulan ... 63

7.2.Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(15)

1.1 Latar Belakang

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber perolehan devisa, penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan bagi petani pekebun kopi maupun pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan maupun dalam mata rantai pemasaran. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha biji kering pertahun, tingkat produktivitas tanaman kopi Indonesia ini cukup rendah bila di bandingkan dengan negara produsen kopi di dunia lainnya seperti Vietnam (1 540 kg/ha/th), Colombia (1 220 kg/ha/th) dan Brazil (1 000 kg/ha/th) (Kominfo, 2010). Namun dalam dunia perkopian internasional, posisi Indonesia dinilai cukup strategis dimana Indonesia merupakan negara pengekspor kopi terbesar keempat setelah Brazil, Colombia dan Vietnam seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Posisi Ekspor Kopi Negara-negara Produsen Kopi Utama

(Ton)

No Negara 2005 2006 2007 2008

1 2 3 4 5 6 7 8 Brazil Colombia Vietnam Indonesia India Mexico Guatemala Cote d’lvoire

2 173 000 1 087 000 1 343 000 624 000 197 000 198 000 347 000 182 000

2 273 000 1 094 000 1 385 000 468 000 458 000 257 000 331 000 240 000

2 332 000 1 130 000 1 860 000 446 000 466 000 291 000 373 000 258 000

2 345 000 1 182 000 1 728 000 534 000 401 000 276 000 387 000 233 000

Sumber : Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), 2010.

Produksi kopi petani rakyat Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, tahun 2004 total produksi sebesar 640 365 ton dengan produktivitas


(16)

sebesar 683.13 kg/ha dan tahun 2008 total produksi mencapai 698 016 ton dengan produktivitas sebesar 729 kg/ha seperti yang terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa tingkat produksi sejalan dengan luas areal tanam kopi dimana akan terjadi penurunan produksi diakibatkan oleh penurunan luas areal tanam kopi.

Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kopi Perkebunan Rakyat Seluruh Indonesia Tahun 2004 - 2007

No Propinsi

2004 2005 2006 2007

Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) 1 NAD 95 127 37 100 100 263 35 012 107 544 41 894 112 113 48 080 2 Sumatera Utara 73 462 46 560 51 353 41 493 79 613 50 032 79 646 50 158 3 Sumatera Barat 49 351 23 886 51 600 24 075 48 714 29 615 47 512 29 229 4 Riau 10 326 2 791 10 380 2 889 10 816 3 804 10 192 4 068 5 Jambi 24 372 5 555 24 638 9 208 24 458 12 398 24 217 10 190 6 Sum. Selatan 277 542 140 812 273 451 140 463 276 864 150 167 276 864 148 281 7 Bengkulu 12 383 64 043 122 844 61 187 121 579 63 757 103 640 56 128 8 Lampung 166 058 142 599 168 006 142 761 164 006 141 305 163 092 140 095 9 Bangka belitung 109 45 47 16 43 14 47 21 10 Kepulauan Riau 278 53 281 19 156 14 143 29 11 Jawa Barat 1 614 7 781 18 346 8 516 21 723 7 719 25 322 7 476 12 Jawa Tengah 41 196 14 306 41 993 14 216 39 289 14 268 38 549 14 991 13 DIY 1 754 315 1 880 309 1 832 396 1 584 388 14 Jawa Timur 93 206 44 237 92 488 43 099 91 801 50 132 93 945 47 000 15 Banten 8 439 2 505 8 459 2 509 8 474 2 509 9 527 2 778 16 Bali 36 298 19 083 31 470 16 987 31 385 14 309 31 775 15 653 17 NTB 12 656 4 332 13 069 4 354 12 876 4 979 13 436 3 698 18 NTT 73 648 18 875 61 437 16 467 69 211 18 972 70 710 17 965 19 Kal. Barat 14 673 4 092 14 483 4 424 13 937 4 303 13 095 4 166 20 Kal. Tengah 8 793 3 614 8 978 3 659 8 133 2 818 7 958 2 794 21 Kal. Selatan 7 699 1 975 7 533 2 696 7 701 2 810 7 611 2 870 22 Kal. Timur 16 104 5 626 17 787 5 098 17 469 4 614 15 074 4 413 23 Sulawesi Utara 9 772 3 487 9 603 5 903 9 579 5 951 9 703 6 016 24 Sulawesi Tengah 16 061 5 039 11 756 4 915 10 714 2 987 11 428 5 018 25 Sulawesi Selatan 67 788 29 806 68 577 29 992 71 622 30 257 72 755 32 736 26 Sulawesi Tenggara 1 054 3 587 10 602 4 217 10 703 3 682 11 306 4 350 27 Gorontalo 1 629 839 1 643 850 1 642 869 1 642 868 28 Sulawesi Barat 31 218 10 759 16 469 10 541 26 730 12 857 23 019 12 592 29 Maluku 3 925 555 3 982 734 7 964 1 469 7 964 1 501 30 Papua 9 106 2 501 8 267 2 583 708 218 8 207 2 451 31 Maluku Utara 2 873 414 2 881 415 3 129 457 3 128 254 32 Papua Barat 708 214 708 218 8 318 2 583 708 220

Produktivitas (kg/ha) 683 13 695 00 673 00 729 00 Indonesia 1 255 272 640 365 1 308 732 682 158 1 295 111 676 475 1 295 112 698 016 Sumber : Departemen Pertanian, 2009.


(17)

Salah satu daerah penghasil utama kopi Indonesia adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Pada Tahun 2007 produksi kopi propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 48 080 ton. Di provinsi ini tanaman kopi diusahakan dengan pola perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Pola perkebunan rakyat merupakan pola pengusahaan kopi yang terbesar, sedangkan perkebunan swasta hanya sebagian kecil. Pusat penghasil tanaman kopi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diusahakan di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah yang memiliki luas areal tanam maupun produksi kopi yang paling besar sekitar 66 persen dari luas kopi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Karim, 1993). Perkembangan produksi kopi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum sejalan dengan perkembangan luas areal lahan tanaman kopi yang terjadi. Tanaman kopi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam umumnya dikelola dengan pola perkebunan rakyat. Pola perkebunan yang seperti ini pengelolaannya masih bersifat tradisional dan belum menggunakan teknologi budidaya kopi secara baik dan benar, hal ini menggambarkan masih rendahnya pengetahuan petani kopi tentang teknologi budidaya kopi.

Aradi (2008), menyatakan bahwa masalah yang dihadapi petani kopi di Aceh Tengah adalah konservasi tanah, rekomendasi pemupukan, naungan pohon pelindung yang tidak terawat dengan baik, pemangkasan yang jarang dilakukan, jarak tanam yang terlalu rapat, serangan hama dan penyakit. Sehingga produksi kopi yang menurun selain disebabkan karena penurunan luas areal tanam disebabkan pula oleh adanya sistem tanaman kopi pola perkebunan rakyat yang


(18)

belum menggunakan teknologi menurut petunjuk teknis budidaya kopi yang dianjurkan. Selain hal tersebut rendahnya modal usaha petani kopi mengakibatkan sistem pengelolaan kebun menjadi tidak baik juga menjadi penyebab menurunnya produksi kopi petani, kemudian juga luas lahan yang diusahakan petani relatif masih sempit dan dikelola secara tradisional, dimana bibit yang digunakan berasal dari tanaman yang tersedia secara lokal tanpa seleksi.

Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu penghasil kopi Arabika organik terbesar di Indonesia. Kopi Arabika organik mulai dikembangkan sejak tahun 1990, tanaman kopi di wilayah Kabupaten Aceh Tengah seluas 46 391 ha, terdiri dari tanaman menghasilkan 31 749 ha, tanaman belum menghasilkan 3 742 ha, tanaman rusak 10 091 ha dengan total produksi 22 757 ton dan rata-rata produksi 720.71 kg/ha (Dinas Perkebunan Aceh Tengah, 2008). Rata-rata produksi kopi arabika ditingkat petani di Kabupaten Aceh Tengah baru mencapai 723 kg/ha (Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Tengah, 2008), padahal tahun 1999 saja produksi kopi di demplot kopi di Kabupaten Aceh Tengah telah dapat mencapai 1 259 – 1 399 kg/ha (Karim, 1999 dalam Aradi, 2008). Adanya ketimpangan produksi di demplot dan di tingkat petani disebabkan, masih ditemukan kopi arabika ditanam pada lahan yang mempunyai daya dukung lahan rendah dan tidak dikelola secara maksimal seperti kesuburan tanah tidak terlestarikan, teknik budidaya belum memadai dan adaptasi teknologi belum dilakukan menyeluruh, dan karakteristik petani yang berbeda antara satu dengan lainnya (Aradi, 2008).

Tujuan utama pengelolaan usahatani kopi adalah untuk meningkatkan produksi agar pendapatan petani kopi juga meningkat, oleh karena itu petani


(19)

sebagai pengelola usahanya harus mengerti cara mengalokasikan sumberdaya atau faktor produksi yang dimilikinya sehingga tujuan tersebut dapat tercapai.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan pembinaan melalui penumbuhan minat dan perbaikan sistem pola tanam petani kopi dalam rangka peningkatan produksi dan pengembangan usahatani kopi rakyat di propinsi ini. Usaha meningkatkan kehidupan yang layak bagi petani harus didukung oleh pemerintah setempat terutama dalam hal pembenahan kegiatan tataniaga komoditi kopi, karena besarnya pendapatan petani sangat ditentukan oleh pembentukan harga jual. Perbaikan mutu kopi juga harus dilakukan, karena mutu kopi sangat mempengaruhi stabilitas harga. Apabila mutu kopi bagus maka harganya akan tinggi demikian sebaliknya. Harga jual kopi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan petani kopi yang umumnya masih relatif rendah.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas terdapat berbagai permasalahan yang harus dipecahkan dalam upaya pengembangan usahatani kopi rakyat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Permasalahan yang mendasar dalam pengelolaan usahatani kopi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah rendahnya produktivitas. Menurut Aradi (2008), beberapa hal yang diduga mempengaruhi rendahnya produktivitas usahatani kopi daerah ini adalah rata-rata tanaman kopi sudah berumur tua dan pemeliharaan secara intensif belum dilaksanakan secara sempurna karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani.

Permasalahan lain yang dijumpai pada usahatani kopi rakyat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini adalah tingkat pendapatan yang dicapai belum maksimal. Timbulnya masalah ini disebabkan karena tidak efisiennya petani


(20)

dalam mengalokasikan faktor produksi dan belum optimalnya penggunaan faktor produksi yang ada. Masalah ini mengakibatkan membesarnya biaya produksi yang digunakan sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi rendah. Banyak faktor yang menyebabkan tidak mengertinya petani mengalokasikan faktor produksi secara efisien antara lain rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya modal petani.

Menurut Kastijadi dalam Suciaty (2004), salah satu penyebab rendahnya produktivitas suatu tanaman adalah para petani belum sepenuhnya menerapkan teknologi produksi. Selanjutnya menurut Supena Friyatno dan Sumaryanto (1993), faktor produksi tenaga kerja bersama-sama dengan faktor produksi yang lain, bila dimanfaatkan secara optimal akan meningkatkan produksi secara maksimal. Setiap penggunaan tenaga kerja produktif hampir selalu dapat meningkatkan produksi.

Upaya peningkatan produksi dapat dilakukan dengan perluasan areal, peningkatan produktivitas dan penggunaan teknologi, serta insentif bagi petani dengan penetapan harga input dan output yang layak. Upaya peningkatan produksi tersebut tidak akan tercapai apabila tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari petani, oleh karena itu perlu diciptakan keadaan yang dapat merangsang petani untuk meningkatkan produksi. Keputusan petani dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya seperti lahan, tenaga kerja maupun modal untuk kegiatan usahatani sangat ditentukan oleh respon petani terhadap perubahan faktor-faktor ekonomis seperti harga komoditas itu sendiri, harga faktor produksi, dan juga faktor-faktor non ekonomis seperti iklim, teknologi, sarana transfortasi maupun kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan komoditi tersebut.


(21)

Permasalahan yang menjadi kendala dalam aspek pemasaran adalah rendahnya mutu, rendahnya mutu kopi bersumber dari kesalahan penanganan sebelum panen maupun penanganan setelah lepas panen. Mutu bibit yang rendah dengan pemeliharaan dan sistem panen yang tidak tepat akan menyebabkan kualitas kopi menjadi rendah. Kualitas kopi yang rendah akan menurunkan harga jual kopi yang akhirnya menurunkan pendapatan petani.

Melihat permasalahan dan kendala tersebut maka produksi yang diperoleh belum optimal. Peningkatan produksi dapat diperoleh dengan mengalokasikan input produksi secara tepat dan berimbang. Hal ini berarti petani secara rasional melakukan usahatani dengan tujuan meningkatkan produksi untuk memaksimumkan keuntungan.

Berdasarkan uraian diatas maka secara spesifik masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi kopi pada usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah

2. Bagaimana kondisi skala usaha kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah 3. Bagaimana efisiensi ekonomi pada usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh

Tengah.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi pada usahatani kopi di Kabupaten Aceh Tengah


(22)

3. Menganalisis efisiensi ekonomi pada usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah.

Sehubungan dengan tujuan penelitian tersebut maka diharapkan hasil penelitian ini berguna sebagai bahan masukan bagi petani kopi dalam mengalokasikan faktor produksi secara efisien sehingga didapatkan pendapatan yang maksimal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi lembaga penentu kebijakan dan pengembangan usahatani kopi rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam dalam meningkatkan kesejahteraan petani kopi.

1.4 Batasan Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini terbatas pada menganalisis fungsi produksi usahatani kopi di Kabupaten Aceh Tengah. Analisis ini mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kopi rakyat, tidak melihat alokasi penggunaan faktor produksi jika petani mengusahakan tanaman selain kopi.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori produksi

Menurut Pindyck and Rubinfeld (1999), produksi adalah perubahan dari dua atau lebih input (sumberdaya) menjadi satu atau lebih output. Dalam kaitannya dengan pertanian, produksi merupakan esensi dari suatu perekonomian. Untuk berproduksi diperlukan sejumlah input, dimana umumnya input yang diperlukan adalah kapital, tenaga kerja dan teknologi. Dengan demikian terdapat hubungan antara produksi dengan input, yaitu output maksimal yang dihasilkan dengan input tertentu atau di sebut fungsi produksi.

Dalam istilah ekonomi faktor produksi kadang disebut dengan Input dimana macam input atau faktor produksi ini perlu diketahui oleh produsen. Antara produksi dengan faktor produksi terdapat hubungan yang kuat yang secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi, 1990) :

) ,..., ,

(X1 X2 Xn f

Y = ...(2.1) dimana :

Y = produk atau variabel yang dipengaruhi oleh faktor produksi X Xi = faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi Y, i = 1,2,3....n Dalam mengelola sumberdaya produksi, aspek penting yang dimasukkan dalam klasifikasi sumberdaya pertanian adalah aspek alam (tanah), modal dan tenaga kerja, selain itu juga aspek manajemen. Dalam proses produksi terdapat tiga tipe reaksi produksi atas input (faktor produksi) (Soekarwati, 1990), yaitu : 1. Increasing return to scale, yaitu apabila tiap unit tambahan input

menghasilkan tambahan output yang lebih banyak daripada unit input sebelumnya.


(24)

2. Constant return to scale, yaitu apabila tiap unit tambahan input menghasilkan tambahan output yang sama daripada unit sebelumnya.

3. Decreasing return to scale, yaitu apabila tiap unit tambahan input menghasilkan tambahan output yang lebih sedikit daripada unit input sebelumnya.

Ketiga tipe reaksi produksi tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep produk marjinal (marginal product) yang merupakan tambahan satu-satuan unit input X yang dapat menyebabkan penambahan atau pengurangan satu-satuan unit output Y, dan produk marjinal (PM) umum ditulis dengan ∆Y/∆X (Soekartawi, 1990). Dalam proses produksi tersebut setiap tipe reaksi produksi mempunyai nilai produk marjinal yang berbeda.

Nilai produk marjinal berpengaruh besar terhadap elastisitas produksi yang diartikan sebagai persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, dengan rumus sebagai berikut :

X X Y

Y

Ep= ∆ ∆ = Y X X Y . ∆ ∆

...(2.2)

Hubungan antara faktor produksi variabel dengan kuantitas produksi mempunyai perilaku tertentu, dimana pada waktu faktor produksi nol. Kuantitas produksi juga nol. Semakin banyak kuantitas faktor variabel yang digunakan semakin besar kuantitas produksi. Penambahan kuantitas faktor variabel ini berjalan terus sampai suatu ketika penggunaannya terlalu banyak sehingga dikombinasikan dengan faktor produksi lain yang justru menurunkan kuantitas produksi (Sudarsono, 1984). Dalam bidang ekonomi kejadian ini disebut the law of diminishing return (hukum hasil tambah yang semakin berkurang). Produktivitas dari suatu faktor produksi dalam kaitannya dengan faktor produksi


(25)

yang lain, dicerminkan dari produk marginalnya. Produk marginal adalah tambahan produksi yang diperoleh dari penambahan kuantitas faktor produksi yang digunakan. Besarnya produk marginal ini tergantung pada besarnya tambahan kuantitas faktor produksi, sehingga besarnya dapat dirumuskan sebagai perbandingan antara tambahan produk dengan tambahan faktor produksi.

2.2 Produksi Kopi di Indonesia

Produksi kopi Indonesia tidak respon terhadap perubahan harga kopi dan komoditas substitusi dipasar domestik, tingkat upah dan luas areal (Sihotang, 1996). Produksi kopi bertambah karena adanya kebijakan penerapan quota ekspor kopi (Lifianthi, 1999)

Penawaran kopi Indonesia dipengaruhi oleh tingkat teknologi dan jumlah penawaran setahun sedangkan pengaruh harga kopi sendiri dan teh secara statistik tidak berpengaruh nyata. Tanda koefisien peubah teh yang negatif menunjukkan bahwa kopi dan teh di Indonesia adalah merupakan competiting product (Darmansyah, 1986). Penawaran kopi di dalam negeri mengalami fluktuasi yang cukup tajam dikarenakan fluktuasi harga kopi di pasaran dunia menyebabkan terjadinya fluktuasi produksi serta ekspor secara langsung (Zebriani, 2000).

Ekspor kopi dipengaruhi secara nyata oleh harga ekspor kopi, harga komoditas substitusi, teknologi, pendapatan, permintaan kopi dalam negeri dan kota (Darmansyah,1986). Jumlah ekspor kopi di Sumatera Selatan lebih responsif terhadap perubahan produksi kopi dibandingkan terhadap perubahan harga ekspor kopi. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan ekspor kopi terhadap arus produksi kopi domestik. Analisis mengenai ekspor kopi Indonesia sebagian besar ditentukan oleh variabel-variabel non ekonomi, yaitu terutama dari


(26)

aspek produksi sedangkan variabel ekonomi seperti harga dan pendapatan tidak berpengaruh (Lifianthi, 1999).

Dinamika ekspor kopi Indonesia berkaitan dengan harga dunia kopi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Dimana kenaikan harga dunia kopi sebesar 1 persen akan mendorong kenaikan ekspor sebesar 0.17 persen, ini menegaskan bahwa ekspor tidak elastis terhadap perubahan harga karena tidak elastisnya penawaran kopi Indonesia, untuk impor kopi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu harga kopi domestik, harga kopi dunia, nilai tukar dan tarif impor. Apabila harga kopi domestik tinggi sedangkan kopi dunia harga rendah, nilai tukar menguat dan tarif impor rendah maka impor akan naik (Wayan, 2000).

Elastisitas penawaran kopi pada jangka pendek maupun jangka panjang cenderung inelastis dalam suatu negara, dimana komoditas itu dominan bagi pertaniannya. Meskipun harga kopi inelastis dalam jangka pendek, petani maupun negara tidak akan mengganti usahatani kopinya karena sudah sangat tergantung pada komoditas tersebut. Pada Jangka panjang agak sulit pula waktu untuk mengembangkan usahatani lain, karena begitu banyak sumberdaya yang telah diinvestasikan (Singh et al. 1977). Kopi mempunyai elastisitas penawaran rendah, petani tidak dapat segera langsung merespons perubahan harga yang terjadi. Pada saat harga tinggi petani berusaha merawat kebun secara intensif, tetapi hasilnya tidak dapat diperoleh pada saat itu juga, sementara pada saat harga turun petani tidak berhenti berproduksi (Retnandari dan Tjokrowinoto,1991).

Pada saat peran kopi tidak dominan, maka kondisi yang responsif akan ditunjukkan oleh petani dan pemerintah terhadap perubahan harga yang terjadi. Namun demikian usahatani kopi rakyat kurang begitu responsif terhadap


(27)

perubahan harga karena pertanian tidak mempunyai alternatif sumber pendapatan. Kopi merupakan komoditi ekspor sehingga pangsa pasar kopi yang diutamakan oleh pangsa pasar luar negeri, sedangkan pangsa pasar dalam negeri dipenuhi apabila target ekspor telah terpenuhi.

Mengenai substitusi kopi sebenarnya cukup banyak namun karena sifat dari rasa dan aroma kopi, pengaruh dari komoditas substitusi tidak begitu besar. Komoditi substitusi kopi antara lain adalah teh, cacao, soft drink, akar chicory, biji kacang maupun biji kedelai. Akar chicory diperkenalkan oleh perusahaan Inggris pada tahun 1975 dengan nama Coffesub. Pada tahun yang sama di AS muncul soya coffe yang bahan utamanya terbuat dari kedelai. Namun barang-barang tersebut tampaknya juga tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan kopi (Retnandari dan Tjokrowinoto, 1991).

2.3 Hasil Penelitian Terdahulu

Alokasi penggunaan sumberdaya dapat didekati dengan beberapa pendekatan, diantaranya adalah dengan pendekatan fungsi produksi, pendekatan perancangan linier, dan pendekatan fungsi keuntungan.

Sudaryati (2004), melakukan penelitian penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi rakyat di Kabupaten Temanggung. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi rakyat digunakan metode fungsi produksi frontier. Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi kopi secara signifikan adalah luas lahan, jumlah tanaman, dan penggunaan pupuk.

Sianipar et al. (2009), menganalisis fungsi produksi intensifikasi usahatani padi di Kabupaten Manokwari dengan menggunakan fungsi produksi


(28)

Cobb-Douglas. Hasil analisis menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi adalah benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK dan intensitas usahatani.

Nufus (2004), melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi nilam dan minyak nilam di kecamatan Padang Jaya Bengkulu Utara. Penelitian ini menggunakan alat analisis fungsi produksi Cobb-Douglas yang ditransformasi dalam bentuk logaritma natural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Urea, TSP dan pestisida decis serta tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi daun nilam kering sedangkan faktor luas lahan, jumlah benih, pupuk KCL dan pestisida sevin berpengaruh tidak nyata terhadap produksi daun nilam kering. Pada industri penyulingan minyak nilam diketahui bahwa jumlah bahan baku, jumlah bahan bakar dan lama penyulingan berpengaruh nyata terhadap hasil minyak nilam, sedangkan pengalaman menyuling berpengaruh tidak nyata.

Suciaty (2004), menggunakan model produksi Cobb-Doughlas, untuk mengetahui tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dalam usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi lahan, pestisida dan pupuk buatan masih belum efisien.

Sukiyono (2004), melakukan analisa fungsi produksi dan efisiensi teknis pada usahatani cabai di Kabupaten Rejang Lebong. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa mayoritas variabel bebas adalah signifikan dan mempunyai tanda yang sesuai dengan yang diharapkan kecuali variabel tenaga kerja.

Penelitian terdahulu yang menggunakan model Cobb-Douglas telah dilakukan oleh Salim (1986), menggunakan pendekatan Unit Output Price Profit


(29)

Function atau dikenal sebagai fungsi keuntungan UOP untuk menelaah keuntungan usaha, permintaan input dan penawaran output, efisiensi usaha, dan skala usaha dari usahatani padi sawah di daerah Subang Jawa Barat. Dalam penelitian tersebut, peubah-peubah yang diduga berpengaruh pada keuntungan (jangka pendek) produksi padi sawah (yang dinormalkan dengan harga pasar padi) adalah harga bibit padi, harga pupuk urea, harga pupuk TSP, harga obat-obatan, harga (upah) tenaga kerja manusia, dan upah tenaga kerja ternak, dimana semua peubah tersebut dinormalkan dengan harga padi. Sementara peubah lain yang berupa input tetap, yang diduga berpengaruh pada keuntungan adalah luas lahan sawah dan biaya lain-lain, yang tidak dinormalkan dengan harga padi.

Nurung (2003), melakukan estimasi fungsi keuntungan usahatani kedelai dan jagung di provinsi Bengkulu dengan model Regresi Linier Berganda. Dalam penelitian tersebut bibit dan pupuk Urea paling berpengaruh terhadap pendapatan usahatani kedelai dan jagung. Peningkatan jumlah penggunaan bibit dan pupuk Urea dapat meningkatkan pendapatan masing-masing usahatani tersebut. Sedangkan pupuk KCL, jumlah tanggungan keluarga dan luas lahan usahatani walaupun berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan usahatani kedelai dan jagung namun kontribusinya masih kecil.

Syam et al. (2004), melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani kakao di Sulawesi Tenggara. Untuk melihat hubungan antara keuntungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan model fungsi keuntungan Cobb-Douglash. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani kakao secara nyata adalah luas areal dan harga pupuk. Keuntungan maksimal akan


(30)

diperoleh petani dengan memperluas areal pertanaman dan meningkatkan penggunaan pupuk sampai batas rekomendasi dosis pemupukan.

Studi mengenai tingkat efisiensi usahatani telah dilakukan oleh beberapa peneliti ekonomi. Para peneliti tersebut adalah Utama (2003), Cardenas et al. (2004), Rios dan Shively (2005), dan Nchare (2007).

Utama (2003), meneliti tentang efisiensi usaha tani padi sawah di Sumatera Barat. Informasi efisiensi teknis tersebut digali dari hasil analisis production stochastic frontier yang diestimasi dengan teknis maximum likelihood. Dimana data yang digunakannya adalah data cross section dari dua belas desa yang mengikuti Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), dan dengan jumlah responden sebanyak 216. Hasil estimasi model menampilkan beberapa faktor yang mempengaruhi produksi padi dan tingkat efisiensinya. Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi produksi padi adalah nitrogen, tenaga kerja, insektisida, irigasi dan SLPHT. Koefisien elastisitas tenaga kerja sebesar 0.48, yang menunjukkan bahwa satu persen kenaikan dalam tenaga kerja dapat meningkatkan produksi sebesar 0.48 persen. Kemudian, terdapat perbedaan efek dari SLPHT yang diimplementasikan pada tahun 1995 dan 1999. Rata-rata efisiensi teknis kelompok tani yang mengikuti SLPHT tahun 1999 lebih tinggi dibanding SLPHT tahun 1995.

Cardenas et al. (2004), melihat bahwa meskipun telah terjadi penurunan harga kopi pada tahun 1990-an, namun produksi kopi tetap menjadi kegiatan ekonomi utama bagi produsen di Meksiko Tenggara. Mereka kemudian menganalisa sistem produksi kopi pada 24 kabupaten di Veracruz, Meksiko, selama periode tanam lima tahun. Pendekatan stokastik frontier digunakan untuk


(31)

mengevaluasi efisiensi produksinya. Faktor-faktor seperti kualitas kopi dan akses terhadap pasar diuji untuk melihat efeknya terhadap efisiensi teknis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses produksi pada setiap kabupaten, yang diukur dengan efisiensi teknis, tampak menjadi stabil dari waktu ke waktu meskipun terjadi fluktuasi harga di pasar global. Produksi tanaman pokok (jagung) bersama dengan kopi menghasilkan efisiensi yang lebih rendah. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap efisiensi adalah kepadatan penduduk lebih tinggi, produksi tanaman khusus selain kopi atau tanaman pokok, dan ketinggian lahan yang biasanya berhubungan dengan produksi kopi berkualitas tinggi.

Rios dan Shively (2005), meneliti efisiensi perkebunan kopi petani di Vietnam. Data bersumber dari survei 2004 dari lahan pertanian di dua kabupaten di Provinsi Dak Lak. Kajian efisiensi teknis dilakukan dengan dua langkah. Langkah pertama, efisiensi biaya dihitung dengan menggunakan DEA, dan kedua, dilakukan regresi Tobit untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan efisiensi teknis dan inefisiensi biaya, hasilnya menunjukkan bahwa pertanian ukuran kecil kurang efisien dari peternakan besar. Inefisiensi diamati pada peternakan kecil tampaknya sebagian berkaitan dengan skala investasi di bidang infrastruktur irigasi.

Nchare (2007), menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis petani kopi arabika di Kamerun. Untuk melakukan analisis ini, ia menggunakan fungsi produksi frontier stokastik translog, di mana efek inefisiensi teknis ditetapkan menjadi fungsi dari variabel sosial ekonomi yang diestimasi dengan menggunakan metode maximum likelihood. Data yang digunakan dikumpulkan dari sampel dari 140 petani pada tahun 2004. Hasil yang diperoleh


(32)

menunjukkan beberapa hasil yang meningkat untuk skala produksi kopi. Indeks efisiensi teknis diperkirakan mencapai 0.896, dan sebanyak 32 persen petani yang disurvei memiliki indeks efisiensi teknis kurang dari 0.91. Analisis ini juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani, dan akses terhadap kredit merupkan variabel sosial ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap efisiensi teknis petani. Akhirnya, temuan membuktikan bahwa keuntungan produktivitas lebih lanjut terkait dengan peningkatan efisiensi teknis masih dapat direalisasikan pada produksi kopi di Kamerun.


(33)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Dasar Pemikiran

Masalah utama yang perlu dipikirkan sehubungan dengan kegiatan usahatani kopi di Nanggroe Aceh Darussalam adalah rendahnya produktivitas yang dihasilkan. Tingkat produktivitas lahan kopi sangat menentukan jumlah produksi yang dihasilkan. Jumlah produksi yang rendah mengakibatkan rendahnya pendapatan petani. Oleh karena itu wajar apabila dilakukan upaya perbaikan pada aspek produksi sehingga dapat mendorong petani untuk meningkatkan produksi dengan tujuan untuk mendapatkan pendapatan ataupun keuntungan yang lebih tingg, dalam mencapai tujuan tersebut petani menghadapi beberapa kendala. Tujuan yang hendak dicapai dan kendala yang dihadapinya merupakan faktor penentu bagi petani untuk mengambil keputusan dalam usahataninya. Oleh karena itu petani sebagai pengelola usahataninya akan mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya sesuai tujuan yang hendak dicapai. Masalah alokasi sumber daya ini berkaitan erat dengan tingkat produksi yang akan dicapai. Dalam hal mencapai tujuan tersebut petani menghadapi beberapa kendala seperti keterbatasan tanah, modal sehingga produsen akan mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya sesuai tujuan yang akan dicapai.

Dalam analisis ini diasumsikan: (1) keadan iklim, tanah, dan topografi dalam jangka pendek tidak ada perubahan yang mencolok, dan (2) produk yang dihasilkan dalam bentuk biji kopi kering. Variabel yang dimasukkan dalam model ini yaitu jumlah tenaga kerja, luas lahan, umur pohon dan lamanya pengalaman petani dalam berusaha tani. Oleh karena itu dapat disusun suatu kerangka


(34)

pemikiran teoritis untuk menganalisis fungsi produksi dan efisiensi usahatani kopi rakyat di Aceh Tengah. Berdasarkan landasan teori yang telah dibahas dan hasil penelitian terdahulu, maka dapat disusun kerangka pemikiran teoritis yang menunjukkan rangkaian hubungan faktor input variabel, skala usaha dan efisiensi pada usahatani kopi rakyat. Hasil-hasil analisa yang dilakukan diharapkan akan dapat berguna untuk mengambil kebijakan-kebijakan pengembangan. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

Tenaga Kerja

Luas Lahan

1. Estimasi fungsi

Produksi Kopi 2. Skala Usaha Umur Pohon 3. Efisiensi Usahatani

Pengalaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Usahatani Kopi Rakyat di Aceh Tengah

3.2 Kerangka Teoritis

3.2.1 Fungsi Produksi

Dalam arti sempit, kegiatan produksi berarti menghasilkan suatu barang dengan menggunakan faktor-faktor yang tersedia. Dengan kata lain, produksi merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi. Menurut Soekartawi (1989) faktor produksi adalah segala sesuatu yang digunakan dalam menghasilkan suatu produk atau output, faktor produksi ini dapat disebut sebagai sumberdaya atau input yang


(35)

dibutuhkan dalam proses produksi. Faktor produksi umumnya digolongkan menjadi tanah, tenaga kerja dan modal. Dalam praktek, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibedakan menjadi dua kelompok : (1) faktor biologi, yaitu lahan pertanian dengan macam dan tingkat kesuburannya, bibit, pupuk, obat-obatan, dan gulma, dan (2) faktor sosial ekonomi yaitu biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, resiko dan ketidakpastian, kelembagaan dan tersedianya kredit.

Fungsi produksi sangat penting dalam teori produksi karena dengan fungsi produksi dapat diketahui hubungan antara faktor produksi dan produksi (input) secara langsung dan hubungan tersebut dapat dengan mudah dimengerti, dan juga dengan fungsi produksi maka dapat diketahui hubungan antara variabel yang dijelaskan (dependent variable) Y dan variabel yang menjelaskan (independent variable) X, sekaligus juga untuk mengetahui hubungan antara variabel penjelas.

Menurut Adiningsih (1999), fungsi produksi menunjukkan berapa banyak jumlah maksimum output yang dapat diproduksi apabila sejumlah input tertentu digunakan dalam proses produksi. Jadi fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat penggunaan input dan karena fungsi ini hanya menunjukkan hubungan fisik antara input dan output maka dapat dituliskan :

Y max = f ( input ) ...(3.1) Y max = f (X1, X2, X3 , ...Xn) ………...(3.2) Dimana Xn adalah jumlah input yang digunakan oleh setiap jenis input. Penggunaan kata maksimum pada tingkat output yang dihasilkan disini hanya ingin menekankan bahwa produsen hanya akan berproduksi pada kombinasi input


(36)

yang efisien. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan himpunan produksi (production set), seperti yang terlihat pada gambar 2.

Y

Y2

Y1 A

0 X1 X

Sumber : Adiningsih (1999)

Gambar 2. Fungsi Produksi

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penggunaan input sebesar 0X1, output maksimum yang dapat dihasilkan adalah 0Y2 , yaitu tepat pada fungsi produksi Y = f (X). Sedangkan produksi di titik A adalah layak dilaksanakan namun belum efisien. Oleh karena itu produsen yang rasional tidak akan memilih berproduksi di titik A.

Bentuk fungsi produksi ada bermacam-macam antara lain bentuk linear, bentuk kuadratik, polinomial akar pangkat dua dan bentuk Cobb-Douglas (Soekartawi, 1990) setiap bentuk fungsi produksi menunjukkan karakteristik dari suatu fungsi produksi.

Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi logaritmik yang umum digunakan dalam penggunaan fungsi produksi khususnya di bidang pertanian. Secara matematis fungsi Cobb-Douglas dapat ditulis sebagai berikut :


(37)

u aD e n b b b X X X X b

Y = 1 2 3... +

3 2 1

0 ...(3.3)

Untuk melakukan penaksiran, model ini ditransfer ke dalam logaritma natural linier sehingga menjadi :

U aD X b X b X b X b b

LnY =ln 0 + 1ln 1 + 2ln 2 + 3ln 3+...+ nln n + + .(3.4)

dimana:

Y = output i

X = input

0

lnb = intercept j

b = parameter fungsi, juga merupakan elastisitas faktor produksi a = koefisien dummy variabel

D = dummy variabel

U = kesalahan karena faktor acak (residual term)

Penggunaan penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier. Dimana terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi (Soekartawi, 1990):

1. Tidak ada pengamatan variabel penjelas (X) yang bersifat nol sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite)

2. Dalam fungsi produksi, diasumsikan tidak terdapat perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technologies). Dalam artian bahwa kalau fungsi produksi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan analisis yang memerlukan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut.

3. Tiap variabel X adalah perfect competition

4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah mencakup pada faktor kesalahan


(38)

Beberapa hal yang menjadi alasan pokok dari model Cobb-Douglas lebih banyak dipakai para peneliti adalah :

1. Penggunaannya lebih praktis karena persamaannya mudah ditransfer ke dalam logaritma linear

2. Hasil pendugaan akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus merupakan elastisitas

3. Jumlah elastisitas sekaligus merupakan tingkat skala usaha (return to scale)

3.2.2 Skala Usaha

Skala Usaha (return to scale) perlu diketahui untuk mengetahui apakah kegiatan dari suatu usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale. Analisis skala usaha merupakan analisis produksi guna melihat kemungkinan perluasan usaha dalam suatu proses produksi. Dalam suatu proses produksi, perluasan skala usaha pada hakekatnya merupakan suatu upaya maksimisasi keuntungan dalam jangka panjang. Dengan perluasan skala usaha, rata-rata komponen biaya input tetap per unit output menurun sehingga keuntungan produsen meningkat. Dalam hal ini tidak selamanya perluasan skala usaha akan menurunkan biaya produksi, sampai suatu batas tertentu perluasan skala usaha justru dapat meningkatkan biaya produksi.

Analisis skala usaha sangat penting untuk menetapkan skala usaha yang efisien. Dalam hubungan antara faktor produksi atau input dengan tingkat produksi atau output skala usaha (returns to scale) menggambarkan respon dari output terhadap perubahan proposional dari input. Dalam hal ini Teken (1977), menyebutkan ada tiga kemungkinan hubungan antara input dengan output, yaitu :


(39)

1. Skala usaha dengan kenaikan hasil bertambah (increasing returns to scale) yaitu kenaikan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin bertambah. Pada keadaan demikian alastisitas produksi lebih besar dari satu ( Ep>1), atau Marginal Product (MP) lebih besar dari Average Product (AP). Disamping itu dalam skala usaha ini Average Variabel Cost (AVG) lebih besar dari Marginal Cost (MC).

2. Skala usaha dengan kenaikan hasil tetap (constan return to scale). Yaitu penambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output dengan proporsi yang sama. Pada keadaan ini elastisitas produksi sama dengan satu (Ep=1), atau Marginal Product (MP) sama dengan Average Product (AP) dan Average Variable Cost (AVC) sama dengan Marginal Cost (MC).

3. Skala usaha dengan kenaikan hasil yang berkurang (decreasing return to scale) yaitu bila pertambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin berkurang. Pada keadaan elastisitas produksi lebih kecil dari satu (Ep<1), atau Marginal Product (MP) lebih kecil Average Product (AP) dan Average Variabel Cost (AVC) lebih kecil Marginal Cost (MC).

Pengetahuan mengenai keadaan skala usaha sangat penting sebagai salah satu pertimbangan mengenai pemilihan ukuran usahatani. Kalau keadaan skala usahatani dengan kenaikan hasil berkurang telah tercapai, hal ini berarti luas usaha sudah perlu dikurangi. Sebaliknya kalau keadaan skala usaha berada pada keadaan kenaikan hasil bertambah, maka luas usaha diperbesar untuk menurunkan biaya produksi rata-rata dan diharapkan dapat menaikan keuntungan. Kalau keadaan skala usaha dengan kenaikan hasil tetap, maka luas rata-rata unit usaha yang ada tidak perlu dirubah. Dalam hubungan antara faktor produksi atau input


(40)

dengan tingkat produksi atau output, skala usaha (returns to scale) menggambarkan respon dari output terhadap perubahan proporsional dari input.

3.2.3 Elastisitas dan Efisiensi Ekonomi

Nurung (1997), mengadakan studi tentang efisiensi penggunaan faktor produksi pertanian, dimana dalam analisanya memanfaatkan fungsi produksi Cobb-Douglas. Persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditulis sebagai berikut:

Y = AX1α1…..Xm αmZ1β1,…..Znβn )

)(

1 1

j

i n

j j m

i

i Z

X

β α

= =

Y = A ( ...(3.5)

Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, koefisien pangkat sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi. Pengertian efisiensi dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif/ harga dan efisiensi Ekonomi (Soekartawi 2003, Indah Susantun 2000). Efisiensi merupakan salah satu tolok ukur dalam menilai keberhasilan proses produksi usahatani. Terdapat tiga jenis efisiensi (1) efisiensi teknik; mengukur tingkat produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan faktor produksi tertentu. Petani secara teknik dikatakan lebih efisien dibandingkan dengan petani lainnya, apabila dengan penggunaan jenis dan jumlah faktor produksi yang sama menghasilkan produksi yang lebih tinggi, (2) efisiensi harga; mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum. Keuntungan maksimum dicapai pada saat marginal dari masing-masing faktor produksi sama dengan biaya marginalnya, dan (3) Efisiensi ekonomi yang merupakan kombinasi efisiensi teknik dan efisiensi harga. Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka


(41)

efisiensi yang digunakan adalah efisiensi harga dimana perhitungan efisiensi ini sangat dipengaruhi oleh harga faktor produksi dan harga produksi.

Bila model fungsi produksi yang dipakai, maka kondisi efisiensi harga yang sering dipakai sebagai patokan, yaitu bagaimana mengatur penggunaan faktor produksi sedemikian rupa, sehingga nilai produk marginal suatu input X, sama dengan harga faktor produksi (input) tersebut. Dengan menggandakan produk fisik marginal (MPPxi) dan harga produksi akan diperoleh nilai produk marginal untuk Xi (NPMxi

b AX Y =

) sama dengan harga korbanan.

Dengan demikian, keuntungan maksimum petani usahatani kopi akan dicapai apabila jumlah korbanan yang digunakan harus sedemikian rupa sehingga nilai produk marginal dari korbanan tersebut sama besarnya dengan harga satuan korbanan yang bersangkutan. Menurut Nurung (2003), dalam banyak kenyataannya NPM (Nilai Produksi Marjinal) tidak selalu sama dengan BKM (Biaya Korbanan Marjinal).

Bila fungsi produksi digunakan model fungsi produksi Cobb–Douglas, maka :

...(3.6)

bLogX LogA

LogY = + ...(3.7) b

Y X X Y

p =

∂ ∂ =

ε ...(3.8)

Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, maka b disebut dengan koefisien regresi yang sekaligus menggambarkan elastisitas produksi. Apabila elastisitas produksi terletak antara bilangan 0 – 1 berarti penggunaan faktor produksi berada pada tahap rasional, bila elastisitas produksi lebih dari 1 berarti penggunaan faktor-faktor produksi itu masih dapat ditambah untuk mencapai hasil produksi


(42)

yang lebih besar dengan kata lain petani masih mempunyai kesempatan untuk mengatur kombinasi dengan penggunaan faktor-faktor produksi dalam upayanya untuk memperoleh hasil produksi yang lebih besar. Bila elastisitas produksi bernilai negatif atau kurang dari nol berarti penggunaan faktor produksi itu sudah berlebihan dan berada pada tahap produksi yang tidak rasional lagi karena penambahan jumlah input akan diikuti dengan pengurangan pada total hasil produksi (Soekartawi, 1990). Dengan demikian, maka nilai produk marginal (NPM) faktor produksi X, dapat dituliskan sebagai berikut :

X Y b Py MPPx Py

NPMX i

i

.

. =

= ...(3.9)

dimana :

b = elastisitas produksi Y = produksi

Py = harga Produksi

X = jumlah faktor produksi i

MPPx = nilai produk fisik marginal

i

X

NPM = nilai produksi marginal faktor produksi Xi Kondisi efisien harga menghendaki

i

X

NPM sama dengan harga faktor produksi X, atau dapat dituliskan :

i

i Px

MPPx

Py. = ...(3.10)

atau 1

. . . = X Px Y b Py ...(3.11)

dimana : Px = harga faktor produksi X

Dalam praktek nilai Y, Py, X dan Px adalah diambil nilai rata-ratanya . sehingga persamaan (3.10) dapat dituliskan :

1 . . . = X Px Y b Py


(43)

1 . . . > X Px Y b Py

artinya bahwa penggunaan faktor produksi X tidak efisien,

untuk mencapai efisien maka penggunaan input X perlu dikurangi. 1 . . . < X Px Y b Py

artinya bahwa penggunaan faktor produksi X tidak efisien,

untuk mencapai efisien maka penggunaan input X perlu ditambah.

Menurut Susantun (2000), efisiensi ekonomi akan tercapai jika terpenuhi dua kondisi berikut : Pertama ; proses produksi harus berada pada tahap kedua yaitu pada waktu 0 ≤ Ep ≤ 1. Kedua ; kondisi keuntungan maksimum tercapai dimana value marginal product sama dengan marginal factor cost resource. P’

Output

B F’ π1 Frontier Potensial Y1 P’

P A’ Frontier Aktual Y2 A

π2 Y4 D F π4 C Y3 π3 A

X2 X3 X1 Input

Sumber : Singh (2002)


(44)

Singh et al. (2002), asumsi dasar untuk mengukur efisiensi teknis adalah penyimpangan (perbedaan) antara potensi dengan realisasi kinerja perusahaan secara teknis atau terdapat gap antara tingkat kinerja teknis riil dengan potensial dalam sebuah kegiatan ekonomi. Untuk lebih jelasnya konsep efisiensi dapat diihat pada Gambar 3.

Dengan informasi harga input seperti garis PP', maka efisiensi ekonomis dicapai apabila perusahaan beroperasi di titik B. Misalnya titik B menunjukan penggunaan input X1, output Y1 dan tingkat laba π1. Dengan beroperasi di titik B, perusahaan telah mengalokasikan inputnya secara efisien. Apabila perusahaan beroperasi disepanjang batas produksi, selain titik B, maka perusahaan tidak mengalokasikan inputnya secara efisien (allocative inefficient). Secara umum, istilah efisiensi ekonomis mencerminkan “alokasi input yang efisien”, karena perusahaan dianggap selalu beroperasi pada garis batas produksi ( efisien teknis). Apabila perusahaan beroperasi dititik A, dengan input X2, produksi Y2 dan laba

2

π , maka tingkat efisiensi perusahaan tersebut adalah (π2 π1), kurang dari 1.

Misalnya perusahaan memiliki “teknologi” baru, namun belum bisa mengoperasikannya seratus persen, maka perusahaan tidak bisa beroperasi pada daerah batas produksi ( didaerah frontier), sesuai dengan teknologi baru tersebut. Misalnya perusahaan beroperasi disepanjang AA' yang lebih rendah FF', dengan mempergunakan input sebanyak X2, perusahaan beroperasi di titik C, memproduksi Y3 dan memperoleh laba π3. Menurut “fungsi produksi aktual” yang dihadapi perusahaan, maka perusahaan ini sudah mengalokasikan inputnya secara efisien. Untuk memaksimumkan labanya π4, perusahaan harus beroperasi


(45)

di titik D. Namun dititik D ini, perusahaan belum mencapai efisiensi potensial , karena masih beroperasi dibawah potensial teknologi yang ada.

Konsistensi dengan teori neoklasik, efisiensi harus diukur berdasarkan batas kemampuan produksi FF'. Dengan demikian, bila perusahaan beroperasi di titik C, efiensi ekonomisnya sebesar π3 π1. Efisiensi teknis sebesar Y3 Y2 . Dengan demikian perusahaan beroperasi secara tidak efisien yang bersumber dari tidak efisien secara teknis dan secara alokasi input . Dengan mempergunakan laba, perusahaan yang beroperasi dititik C kehilangan efisiensi ekonomi sebesar

3

1 π

π − . Kehilangan efisiensi ini terkomposisi atas “kehilangan efisiensi teknis “

3

2 π

π − dan “kehilangan efisiensi alokasi” π −1 π3.

Menurut Susantun (2000), pengertian efisiensi dalam produksi, bahwa efisiensi merupakan perbandingan output dan input berhubungan dengan tercapainya output maksimum dengan sejumlah input, artinya jika ratio output input besar, maka efisiensi dikatakan semakin tinggi.

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. Diduga pada usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah alokasi penggunaan faktor produksi belum optimal.

2. Diduga kondisi skala usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah berada pada constant return to scale

3. Diduga usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah belum efisien dalam penggunaan faktor produksi.


(46)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Daerah Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh

Penelitian ini dilakukan secara sengaja, yaitu di kabupaten Aceh Tengah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan daerah yang merupakan penghasil utama kopi rakyat dan mayoritas masyarakat daerah tersebut adalah petani kopi dan sebagian besar waktunya dialokasikan kepada usahatani kopi dan sebagian besar pendapatannya berasal dari usahatani kopi.

Petani contoh dilakukan dengan teknik penarikan contoh acak sederhana. Teknik penarikan contoh acak sederhana digunakan karena pada umumnya petani menggunakan teknologi, pola budidaya, panen dan pasca panen yang cenderung homogen, dipertimbangkan pula bahwa petani contoh yang diambil adalah petani yang sebagian besar waktunya dialokasikan kepada usahatani kopi dan sebagian besar pendapatannya berasal dari usahatani kopi.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan kuisioner dan wawancara yang menyangkut; karakteristik petani dan keadaan usahatani kopi rakyat.

Karakteristik petani meliputi umur petani, jumlah anggota keluarga dan jumlah angkatan kerja usaha tani kopi, tingkat pendidikan dan pengalaman usahatani kopi. Informasi mengenai keadaan usahatani kopi rakyat meliputi luas lahan usaha tani kopi, umur tanaman kopi, jumlah Hari Kerja Orang (HKO), biaya


(47)

yang dikeluarkan untuk tenaga kerja pada kegiatan pemeliharaan sampai dengan pemasaran serta jumlah dan nilai produksi kopi yang diperoleh petani sampel.

Data sekunder dikumpulkan sebagai data pendukung dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari BPS propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas perkebunan Kabupaten Aceh Tengah, dan lembaga terkait. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain adalah keadaan umum wilayah, perkembangan produksi kopi, perkembangan luas areal kopi dan perkembangan harga kopi.

4.3 Perumusan Model Penelitian

4.3.1 Analisis Fungsi Produksi

Model fungsi produksi yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan rumus sebagai berikut :

u D e X X X X

Y = 1. 2. 3. 4. 1 1+

4 3 2 1 δ β β β β

α ... (4.1)

dimana :

Y = produksi kopi rakyat (kg/thn) X1 = jumlah tenaga kerja (orang/ha) X2 = luas lahan (ha)

X3 = umur pohon X4 = pengalaman

e = bilangan natural (e=2.71828) D1 u D LnX LnX LnX LnX Ln

LnY = α +β1 12 23 34 41 1+ = variabel dummy kemiringan

1 = lahan datar (kemiringan ≤25%) 0 = lahan miring (kemiringan >25%) atau dalam bentuk transformasi logaritma :

...(4.2) dimana :

Y = produksi kopi rakyat (kg/thn)

X1 = jumlah tenaga kerja (orang/ha) X2 = luas lahan (ha)

X3 = umur pohon X4 = pengalaman


(48)

1 = lahan datar (kemiringan ≤25%) 0 = lahan miring (kemiringan >25%) α = koefisien intersept

βi

βj <1

= koefisien regresi faktor produksi ke-i (slop ke-i) u = unsur kekeliruan model

4.3.2 Analisis Skala Usaha

Untuk mengetahui skala usaha (return to scale) berdasar kriteria pada fungsi produksi Cobb-Douglash, maka akan tercapai kondisi :

1. Decreasing return to scale, jika

2. Constant return to scale, jika

βj =1 3. Increasing return to scale, jika

βj >1

4.3.3 Analisis Elastisitas dan Efisiensi Ekonomi

Berdasarkan fungsi produksi pada persamaan (4.1) maka

1 1 1

1 X

Y X

Q

MPX

∂ ∂

= dan

1 1

X Y

APx = …...……(4.3)

jika persamaan (4.3) dimasukkan ke dalam persamaan (4.1) maka di peroleh :

1

ω = elastisitas produksi

1

β = koefisien produksi

Input tidak tetap atau faktor produksi dikatakan telah digunakan secara efisien, apabila input tersebut menghasilkan keuntungan maksimum. Penggunaan input secara optimal terjadi apabila nilai marjinal produk (NPM) sama dengan biaya korbanan marjinal (BKM). Oleh karena itu penggunaan input secara optimal jika : Py.MPPx1=Px1


(49)

4.4 Peubah dan Pengukurannya

Dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas, maka untuk memperjelas definisi dari masing-masing peubah dan pengukurannya adalah :

1. Jumlah Tenaga Kerja (X1

Untuk jumlah tenaga kerja, diukur dari banyaknya pekerja dalam satu hari yang digunakan untuk pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran.

)

2. Luas Lahan Kebun Kopi Produktif (X2)

Luas areal kebun kopi produktif adalah laus areal kebun kopi yang produktif. Luas areal kebun kopi produktif yang dimiliki petani baik dalam satu hamparan ataupun terpisah. Luas areal kebun kopi diukur dalam hektar (ha).

3. Umur Pohon Kopi (X3)

Umur pohon kopi dalam satu areal kebun merupakan umur rata-rata tanaman kopi yang dihitung mulai saat tanam dan diukur dalam tahun. 4. Pengalaman Petani Berusahatani (X4)

Pengalaman petani berusahatani adalah lamanya petani telah mengusahakan tanaman kopi sampai dengan tahun 2008, dinyatakan dalam tahun.

5. Dummy Kemiringan Lahan (D1)

Dummy kemiringan lahan adalah peubah yang membedakan antara usahatani kopi yang dilakukan dilahan datar (kemiringan lahan ≤ 25 persen) dan yang dilakukan di lahan miring (kemiringan lahan > 25 persen). Bila dilakukan di lahan datar diberi nilai satu, dan bila dilakukan dilahan miring diberi nilai nol.


(50)

6. Harga Kopi Biji (P)

Harga kopi yang dihitung merupakan rata-rata harga kopi biji yang diterima petani pada saat penjualan dan dinyatakan dalam rupiah per kilogram (Rp/Kg). Bila penjualan kopi dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun, maka penentuan harga kopi dengan cara harga tertimbang. Perumusannya :

= Y

Y P

P i i

t

.

dimana : t

P = harga rata-rata tertimbang i

P = harga penjualan ke-i i

Y = kuantitas penjualan ke-i Y = kuantitas penjualan total

7. Peubah-peubah dalam fungsi tersebut diukur dalam satuan per hektar untuk menghindari multikolinieritas.


(51)

V. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1 Letak Geografis

Kabupaten Aceh Tengah, merupakan salah satu dari 23-kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten yang ber ibu kota Takengon ini, memiliki luas wilayah 4 318,39 km2 atau 431 830 hektar terdiri dari 14

Kecamatan dan 268 Desa. Terdapat di dataran tinggi Gayo, membentang di pundak Bukit Barisan dengan ketinggian 200 – 2.600 meter diatas permukaan laut. Daerah ini terletak pada 4010’ - 4058’ Lintang Utara dan 96018’ - 96022’ Bujur Timur, dengan batas wilayah sebelah timur dengan Kabupaten Aceh Timur, sebelah barat dengan Kabupetan Pidie dan Kabupaten Aceh Barat, sebelah utara dengan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Utara dan sebelah selatan dengan Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Gayo Lues.

5.2 Keadaan Topografi

Kabupaten Aceh Tengah, memiliki tofografi wilayah yang bervariasi. Kondisi permukaan tanah menurut tingkat kemiringan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Tanah Menurut Tingkat Kemiringan

No Kemiringan

(%)

Bentuk Morfologi Luas Wilayah

(Ha)

Persentase (%)

1 0 – 8 Dataran 24 175 5.54

2 9 – 12 Berombak 58 865 13.49

3 26 – 40 Bergelombang 121 527 27.85

4 40< Berbukit-bergunung 227 272 53.12

Sumber : Aceh Tengah Dalam Angka, 2008

5.3Keadaan Iklim

Sesuai dengan letak geografis, Kabupaten Aceh Tengah termasuk daerah yang beriklim tropis. Curah hujan rata setiap tahun 1.624 mm dengan


(52)

rata-rata hujan setiap tahun 118 hari. Musim penghujan berlangsung dari bulan September sampai Desember, sedangkan musim kemarau dari bulan Januari sampai Agustus. Temperatur maksimum 260C dan minimum 150C. Kelembaban maksimum 96 persen dan minimum 65 persen. Adapun data-data curah hujan, hari hujan, bulan kering bulan basah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Data Curah Hujan Tahunan Kabupaten Aceh Tengah

No Tahun Curah Hujan

(mm) Hari Hujan (HH) Bulan Basah (BB) Bulan Kering (<75 mm/bln) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1961 1232 1297 1570 1976 2172 1234 1898 1090 1811 149 156 149 176 179 143 140 153 103 139 8 5 6 10 9 9 5 9 3 7 3 4 3 1 0 3 5 2 7 5

Jumlah 13340 1245 61 21

Rata-rata 1667.50 155.6 7.6 2.6

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Aceh Tengah (2008) Jenis tanah sangat bervariasi, umumnya didominasi oleh jenis Podzolik Cokelat (49.36 persen) dan Podzolik Merah Kuning (23.30 persen) dengan tekstur liat berpasir. Keadaan geologi terbentuk dari batuan pra-tersier yang terdiri dari jenis batuan beku dan batuan metamorfik, batuan sedimen tersier dan kuarter.

Sesuai dengan kondisi fisik daerah, Kabupaten Aceh Tengah adalah merupakan daerah pertanian dan sangat cocok/memenuhi syarat tumbuh yang baik untuk berbagai jenis tanaman pertanain,seperti tanaman pangan dan palawija, hortikultura dan tanaman perkebunan

5.4 Penduduk dan Angkatan Kerja

Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan registrasi tahun 2008 tercatat 183 478 jiwa. Terdiri dari penduduk laki-laki 90 870 jiwa dan


(53)

perempuan 92 608 jiwa. Distribusi penduduk perkecamatan sangat variatif. Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar di atas rata-rata kecamatan 12 811 secara berurutan yaitu kecamatan Kebayakan, Laut Tawar, Pegasing, Silih Nara dan Bebesen. Sedangkan kecamatan lainnya memiliki jumlah penduduk di bawah rata-rata kecamatan.

Penyebaran penduduk Kabupaten Aceh Tengah perkecamatan sampai dengan akhir tahun 2008 disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Data Penyebaran Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah

No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah (jiwa)

Laki-laki Perempuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Linge Bintang Lut Tawar Kebayakan Pegasing Bebesen Kute Panang Silih Nara Ketol Celala Jagong Jeget Atu Lintang Bies Rusip Antara 4 476 4 556 9 203 6 947 8 976 17 319 3 674 10 432 5 938 4 341 4 835 3 645 3 321 3 207 4 582 4 652 9 971 6 851 9 295 18 637 3 529 10 217 5 902 4 346 4 335 3 541 3 601 3 149 9 058 9 208 19 174 13 798 18 271 35 956 7 203 20 649 11 840 8 687 7 186 9 170 6 922 6 356

Jumlah 90 870 92 608 183 478

Sumber : Aceh Tengah Dalam Angka, 2008

Dari jumlah penduduk Kabupaten Aceh Tengah, penduduk angkatan kerja pada usia kerja produktif antara umur 15-64 tahun adalah 60.04 persen. Dari jumlah tersebut penduduk yang bekerja sebanyak 60.32 persen, setengah menganggur 17.81 persen, dan menganggur 5.91 persen. Lapangan kerja penduduk bekerja meliputi lapangan usaha sektor pertanian, industri,


(54)

pertambangan, listrik-gas dan air, bangunan, perdagangan-restoran-hotel, ankutan dan telekomunikasi dan jasa-jasa lainnya.

5.5 Potensi Pembangunan Perkebunan

Tabel 6. Luas Panen dan Jumlah Produksi Komoditi Perkebunan

Komoditi Tahun Luas Areal

(ha) Luas Panen (ha) Produksi (ton/tahun) Produktivitas (kg/ha) Kopi Arabika

2007 46 493 31 750 22 575 717

2008 46 493 38 153 27 444 718

2009 48 001 42 771 28 344 723

Kopi Robusta

2007 3 303 2 089 1 137 544

2008 3 303 2 089 1 137 544

2009 3 303 3 015 1 137 544

Tebu

2007 5 424 1 808 14 464 8 000

2008 5 532 1 883 15 039 8 000

2009 6 064 4 034 32 118 8 000

Kemiri

2007 645 343 135 393.6

2008 641 590 211 377

2009 641 641 211 377

Cassia Vera*

2007 610 309 348 1 126.2

2008 617 401 468 1 000

2009 617 401 468 1 000

Tembakau

2007 316 122 73 598,4

2008 22 7 4 500

2009 22 7 4 500

Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Tengah, 2009 * Kulit manis

Kabupaten Aceh Tengah memiliki potensi utama kopi Arabika dan sekitar 85 persen masyarakat menggantungkan hidup dari perkebunan kopi dan sebagian juga dari sayur serta buah-buahan. Tanaman perkebunan di Kabupaten Aceh Tengah tercakup dalam areal 51 854.7 hektar dengan 16 jenis tanaman. Total produksi tanaman perkebunan mencapai 21 619.93 ton. Rata-rata produksi perjenis tanaman 1 351.25 ton. Jenis tanaman yang paling penting diantaranya yaitu tanaman kopi. Berdasarkan Tabel 6 tanaman ini memiliki luas dan produksi relatif lebih besar dari jenis tanaman perkebunan lainnya.

Luas tanaman kopi di daerah ini mencapai 46 493 hektar yang terdiri dari tanaman menghasilkan 38 153 hektar, tua/rusak 4 181 hektar, dan belum


(55)

menghasilkan 4 159 hektar. Rumah tangga petani yang terlibat dalam usaha perkebunan kopi mencapai 32 583 kepala keluarga. Per kepala keluarga mengusahakan tanaman kopi rata-rata 1.46 ha. Pada Tabel 7 dapat dilihat perkembangan luas tanaman perkebunan kopi menghasilkan, belum menghasilkan, tua, rusak di Kabupaten Aceh Tengah tahun 2008.

Tabel 7. Luas Tanaman Perkebunan Kopi Menghasilkan, Belum Menghasilkan, Tua, Rusak di Kabupaten Aceh Tengah

(Ha)

Lahan Tahun

2007 2008

Tanaman belum menghasilkan 6 429 4 159

Tanaman menghasilkan 31 750 38 153

Tanaman tua dan rusak 8 314 4 181

Luas areal lahan 46 493 46 493

Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Tengah, 2009

Usaha perkebunan kopi di Kabupaten Aceh Tengah didominasi oleh usahatani perkebunan rakyat, perkembangan dan perluasan areal kopi dilaksanakan atas bantuan pemerintah maupun swadaya masyarakat.

Menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Aceh Tengah seperti yang terlihat pada Tabel 8, luas areal perkebunan kopi arabika yang terdapat di kabupaten itu pada tahun 2008 seluas 46 493 hektar dengan produksi biji kopi 27 444 ton. Produktivitas kopi itu meningkat dari tahun 2007 dimana dengan luas lahan yang sama hanya mampu memproduksi 22 575 ton biji kopi.

Kopi Arabika sebagai komoditi unggulan daerah mendominasi usahatani perkebunan rakyat di Kabupaten Aceh Tengah. Perekonomian daerah dingin ini juga tergantung dari kopi. Apabila saat produksi kopi melimpah maka harga tinggi dan masyarakat sejahtera namun jika produksi turun atau harga rendah maka ekonomi akan lesu.


(1)

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan

DAFTAR PERTANYAAN

Perhatian : - Mohon diisi dengan keadaan yang sesuai

- Beri tanda silang (x ) terhadap jawaban yang sesuai

I. IDENTITAS RESPONDEN

Untuk Petani

1. Nama : ... 2. Umur : ... 3. Alamat : ... ... 4. Pendidikan : ...

a. Tidak pernah sekolah

b. SD/SR (tamat/tidak tamat) kelas ... c. SMP (tamat/tidak tamat kelas ... d. SMA (tamat/tidak tamat) kelas ... e. Akademi D1 – D3 (tamat/tidak tamat) semester ... f. Sarjana (tamat/tidak tamat) semester ... g. Lainnya (sebutkan) ... 5. Pekerjaan sampingan : ...

II. JENIS KOPI DAN BIBIT

1. Jenis/varietas kopi yang dikelola a. Arabika

b. Robusta c. Lainnya

2. Darimana memperoleh sumber bibit? a. Bibit sendiri

b. Dari penangkar bibit c. Lainnya : ...

3. Cara melihat sumber bibit kopi yang akan ditanam/dikembangkan a. Melihat sumber benih dan pertumbuhan bibit

b. Melihat pertumbuhan bibit saja

4. Apabila membuat bibit sendiri apa yang perlu diperhatikan a. Melihat kondisi benih yang sesuai varietas dan benih yang bagus

b. Tidak melihat kondisi benih yang baik dan tidak memilih varietas


(2)

Bibit

III. JUMLAH TENAGA KERJA

1. Berapa jumlah tenaga kerja yang ikut dalam mengelola kebun kopi...orang

Terdiri atas :

a. Tenaga kerja dalam keluarga

Laki-laki : ... orang Perempuan : ... orang

b. Tenaga kerja dari luar keluarga Laki-laki : ... orang

Perempuan : ... orang

2. Apabila tenaga kerja dari luar keluarga berapa upah yang diberikan Rp.../hari

Terdiri atas :

a. Tenaga kerja dalam keluarga Laki-laki : ... orang Perempuan : ... orang

b. Tenaga kerja dari luar keluarga Laki-laki : ... orang Perempuan : ... orang

IV. PRODUKSI

1. Berapa produksi per tahun : ... kg/ton/tahun. Luas Kebun ...ha

V. PENGETAHUAN PETANI

1. Menurut Bapak/Ibu kopi sangat cocok ditanami baik pertumbuhan maupun hasil pada tanah bagaimana :

a. Subur

b. Kurang subur c. Tidak subur

2. Apakah curah hujan berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun hasil ?

a. Kurang berpengaruh b. Tidak berpengaruh c. Berpengaruh

3. Berapa ketinggian diatas permukaan laut (dpl) yang sangat cocok untuk penanaman kopi arabika?

a. 1000 - 1500 dpl b. 500 – 700 dpl


(3)

c. 200 – 500 dpl

4. Dalam penanaman kopi maupun pembukaan lahan baru yang akan ditanami kopi, apakah keadaan tanah berlereng, datar, curam menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan maupun hasil?

a. Sangat mempengaruhi b. Kurang mempengaruhi c. Tidak mempengaruhi

5. Dalam mengelola kopi mulai dari pembibitan sampai masa panen dikelola secara

a. Organik b. An Organik c. Kedua-duanya

6. Apabila dikelola secara An organik jenis pupuk berapa kali diberikan pupuk selama setahun

a. 3 kali b. 2 kali c. 1 kali

7. Apabila dikelola secara An Organik jenis pupuk yang diberikan a. Pemakaian herbisida, insektisida dan pemakaian pupuk buatan

b. Pemakaian herbisida dan pemakaian pupuk buatan c. Hanya memakai pupuk buatan

8. Apabila dikelola secara organik jenis yang diberikan

a. Kompos dan Pupuk organik yang ada dijual dipasar b. Pupuk kandang saja

c. Sisa-sisa rumput yang telah membusuk di sekeliling batang

9. Dalam pemakaian pupuk organik berapa kali diberikan dalam setahun

a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali

10.Dalam mengelola kebun kopi secara organik apa yang sudah dirasakan manfaatnya

a. Produksinya tinggi

b. Pertumbuhannya kelihatan subur c. Mudah dicari (di sekitar kebun)

VI. LUAS LAHAN

1. Luas lahan pertanian (garapan) : ...Ha a. Milik sendiri

b. Milik bersama (komunal) c. Sewa

2. Luas lahan yang ditanami komoditi arabika : ...Ha a. Milik sendiri

b. Milik bersama (komunal) c. Sewa


(4)

Lampiran 2. Tabulasi Data

No Umur JAK JTKK Pddk Pglm LL

Jumlah pohon

umur

pohon produksi Dummy TK Upah

1 46 6 3 16 15 2 1600 10 3500 0 16 50000

2 63 2 1 15 35 1.5 1000 30 2000 0 7 33000

3 83 9 0 0 60 1.5 1000 25 2000 1 13 40000

4 48 5 4 16 15 1.5 2400 10 950 1 12 46000

5 55 6 6 16 25 2 2500 15 1000 1 12 46000

6 27 3 3 16 14 2 1800 10 1500 1 7 50000

7 40 7 4 15 20 2 2000 22 4500 1 16 30000

8 42 3 1 20 8 1 1000 10 500 0 3 50000

9 48 5 1 16 20 1.5 1350 14 1800 1 22 40000

10 46 5 3 14 19 1 1600 16 1500 1 19 30000

11 50 3 2 12 30 2 2000 15 2500 1 27 50000

12 38 4 2 12 20 1.5 1500 10 2000 0 27 50000

13 45 8 5 12 25 2 2000 18 2500 0 26 50000

14 50 7 4 12 30 2 2000 18 2000 1 23 50000

15 46 5 3 12 30 1.5 2000 20 2000 1 21 50000

16 50 7 4 12 17 2 2000 9 2000 1 21 50000

17 42 6 3 12 15 1.5 1300 10 1500 1 17 50000

18 40 6 3 12 11 1.5 1500 13 2500 1 17 50000

19 38 5 2 12 10 1.5 1500 15 2000 1 17 50000

20 35 4 2 12 5 2 1500 8 1500 1 15 50000

21 45 5 2 15 20 2 1000 7 1000 0 14 50000

22 40 4 2 12 25 1.5 1500 15 2000 0 12 60000

23 50 8 5 12 30 1.5 1500 16 2000 0 12 60000

24 50 3 3 12 35 2.5 1500 18 2000 1 23 70000

25 48 3 3 12 35 2 2500 15 3500 1 28 70000

26 25 4 2 12 30 2 2000 10 3000 0 26 60000

27 40 5 2 12 30 2 2000 15 3000 1 26 60000

28 55 8 5 12 30 1.5 2000 20 2500 1 24 50000

29 37 4 3 12 20 2 2000 17 3000 1 27 60000

30 35 4 3 9 25 2 2000 16 2500 0 26 60000

31 60 7 5 12 40 2 2000 18 2000 1 25 60000

32 60 4 3 9 30 2 1500 18 2000 1 10 60000

33 60 3 2 9 30 2.5 2000 16 2000 1 11 60000

34 60 7 5 6 30 2 2000 16 2500 1 10 60000

35 50 6 5 6 40 1.5 2000 16 2500 0 13 60000

36 28 3 2 12 20 1.5 1500 14 2000 1 20 60000

37 38 4 2 12 30 2 2000 19 2000 0 23 70000

38 40 7 3 12 30 1 2000 16 2500 0 13 60000

39 27 4 2 9 15 2 1000 15 1500 0 10 60000

40 38 5 2 12 25 2 2000 16 2500 0 14 60000

41 45 7 4 9 30 1.5 2000 15 2500 0 12 60000

42 30 3 2 12 15 1.5 1500 15 2000 1 13 60000

43 30 3 2 12 25 1 1500 15 2000 1 19 65000

44 25 3 2 9 20 1 1000 17 1500 1 20 60000

45 30 3 1 12 25 2 1000 19 2000 1 22 60000

46 35 4 2 9 10 1.5 2000 19 2500 1 24 60000


(5)

Lampiran 2. Lanjutan

No Umur JAK JTKK Pddk Pglm LL

Jumlah pohon

umur

pohon produksi Dummy TK Upah

48 50 3 2 9 30 1 1000 15 1000 1 10 56000

49 56 4 2 9 40 1.5 1500 15 1500 1 11 60000

50 52 6 4 9 30 1 1500 16 1500 1 9 60000

51 56 4 2 6 35 1 1000 17 1000 1 10 60000

52 53 7 5 12 33 2 1000 17 1500 1 10 60000

53 52 8 7 9 30 1 2000 16 2000 1 13 60000

54 50 7 4 12 30 1.5 1000 17 1000 1 13 60000

55 53 8 5 12 30 1.5 1500 18 2000 1 10 60000

56 40 6 3 9 20 1.5 1500 16 1500 1 14 60000

57 35 4 2 9 20 1.5 1500 16 1500 1 10 60000

58 53 6 5 12 40 2 2000 18 2000 1 20 70000

59 45 6 2 9 22 1 1000 15 2000 1 15 50000


(6)

Lampiran 3. Hasil Pengolahan Data Variables Entered/Removed

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 d2, x4, x2, x1,

x3a

. Enter a. All requested variables entered.

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 .723a .523 .479 .252 2.094

a. Predictors: (Constant), d2, x4, x2, x1, x3 b. Dependent Variable: Q

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 3.758 5 .752 11.861 .000a

Residual 3.421 54 .063

Total 7.179 59

a. Predictors: (Constant), d2, x4, x2, x1, x3 b. Dependent Variable: Q

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardize d Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics B

Std.

Error Beta

Toleran

ce VIF

1 (Constan

t)

5.112 .397 12.86

4

.000

x1 .452 .083 .557 5.454 .000 .846 1.182

x2 .231 .133 .176 1.741 .087 .866 1.155

x3 .430 .143 .321 2.995 .004 .766 1.305

x4 .006 .086 .008 .073 .942 .775 1.291

d2 -.138 .076 -.176 -1.806 .076 .927 1.079