Hubungan Kondisi Fisiologis Domba Ekor Gemuk Jantan dan Palatabilitas Limbah Tauge sebagai Ransum Selama Penggemukan

ABSTRACT
The Relationship between Physiological Response and Palatability of Bean Sprout as
a Fat Tailed Sheep Feed during the Research
Ifafah. W.W., S. Rahayu., and D. Diapari
Sheep farming has been increasing to meet demand of animal protein for human
needs. In the livestock business, feed cost is the largest cost. In this study, bean
sprouts waste which have no economic value was used as a sheep feed to increase
sheep productivity. Productivity of sheep was affected by internal factors and
external factors. The external factors are physiological responses and the internal
factors are nutrient contents of feed. Bean sprout waste contains 13,63% of crude
protein and 49,44% of crude fiber which are useful for sheep feed. The treatment
level were P1 (100% concentrate), P2 (75% concentrate + 25% bean sprout waste),
P3 (50% concentrate + 50% bean sprout waste), and P4 (25% concentrate + 75%
bean sprout waste). The result showed that physiological response and palatability
were increased along with the increasing of bean sprouts waste in the feed content. In
this research, there were no significant relationship between palatability and
physiological response.
Keywords : Bean sprout waste, Physiological response, Palatability, Sheep

ii


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba merupakan ternak sumber protein hewani yang dapat dikembangkan
sebagai produk unggulan di sektor peternakan. Beberapa aspek yang menjadi
keunggulan dalam beternak domba yaitu mudah menyesuaikan diri terhadap
lingkungan dan dagingnya relatif digemari masyarakat. Selain itu, keunggulan ternak
itu sendiri diantaranya prolifik, menjadi budaya untuk mengonsumsi daging domba
pada hari raya dan berbagai produk domba dapat dimanfaatkan. Berbagai metode
diterapkan untuk meningkatkan produktivitas ternak domba sebagai upaya
memajukan peternakan domba.
Biaya pakan merupakan bagian terbesar dari keseluruhan biaya produksi di
dalam usaha peternakan domba. Pakan yang selama ini digunakan adalah konsentrat
yang harganya cukup mahal, oleh karena itu dibutuhkan alternatif lain yang dapat
menurunkan biaya produksi. Penggunaan limbah pasar yang kebanyakan adalah
hijauan yang sering kali dijadikan alternatif bagi peternak, namun belum ada yang
dapat menyaingi pertambahan bobot badan domba yang diberi pakan konsentrat dan
juga diperlukan proses lebih lanjut agar nutrisi pakan dapat mencukupi kebutuhan
ternak. Adapun penggunaan ampas tahu yang berasal dari limbah pembuatan tahu
harganya juga sudah mulai tinggi. Limbah pasar yang digunakan pada penelitian ini
adalah limbah tauge yang belum banyak tersentuh oleh kalangan peternak. Limbah

tauge adalah bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi manusia, kulit tauge atau
tudung atau angkup yang berwarna hijau dan biasanya bercampur dengan sedikit
potongan-potongan ekor dan kepala tauge yang tidak utuh. Melihat adanya
kandungan zat makanan yang sangat baik, maka limbah tauge perlu dicoba untuk
dijadikan sebagai pakan tambahan domba untuk meningkatkan nilai gunanya.
Pakan dan lingkungan yang tidak tepat dapat menurunkan palatabilitas dan
respon fisiologis sehingga dapat menurunkan produktivitas domba. Oleh karena itu,
manajemen pakan dan lingkungan sangat penting dalam upaya peningkatan
produktivitas ternak.

1

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan
kondisi fisiologis Domba Ekor Gemuk (DEG) jantan dan palatabilitas limbah tauge
sebagai ransum selama penggemukan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Domba
Domba adalah ternak penghasil daging dan sering digembalakan di tepi jalan
dan pematangan sawah serta di tepi saluran irigasi maupun di tanah lapang. Domba
mempunyai sifat alami senang bergerombol dan tidak memilih pakan (Setiyono,
2000). Ternak domba secara umum termasuk dalam phylum Chordata (hewan
bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan yang menyusui), ordo Artiodactyla
(hewan berteracak atau berkuku genap), family Bovidae (hewan memamah biak),
genus Ovis, spesies Ovis aries (Blakely dan Bade, 1992). Ternak domba merupakan
salah satu ternak yang berkembang di Indonesia, terutama di pedesaan, karena
domba memiliki peranan yang besar dalam menunjang ekonomi keluarga peternak.
Karakteristik domba lokal yaitu bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak
seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak
putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya (Devendra dan
McLeroy, 1992).
Domba Ekor Gemuk
Domba ekor gemuk umunya tidak bertanduk, tetapi ada beberapa domba
jantan yang memiliki benjolan tanduk dan umumnya mempunyai telinga berukuran
medium dengan posisi agak menggantung dengan warna bulu putih, dan wolnya
kasar. Warna bulu yang putih ini juga dapat mengurangi stres akibat panas. Bentuk
tubuh domba ekor gemuk lebih besar dari domba ekor tipis. Domba Ekor Gemuk

banyak dipelihara di wilayah Indonesia Timur seperti Jawa Timur, Sulawesi, dan
kepulauan Nusa Tenggara dan diduga berasal dari Asia Barat dan Afrika Timur
melaui jalur perdagangan dan terjadi persilangan dengan domba lokal (Devendra dan
McLeroy, 1992).
Mulyaningsih (1990) menyatakan bahwa domba ekor gemuk memiliki
karakteristik ekor yang besar, lebar dan panjang. Bagian pangkal ekor yang
membesar merupakan timbunan lemak (cadangan energi), sedangkan bagian kecil
tidak berlemak. Pada saat banyak pakan, ekornya terlihat gemuk, saat kekurangan
pakan ekornya terlihat mengecil karena cadangan energi digunakan untuk kebutuhan
tubuh.

3

Domba ekor gemuk mempunyai keistimewaan, yaitu kemampuannya dalam
beradaptasi terhadap lingkungan kering (Mulyaningsih, 1990) dan juga terhadap
lingkungan panas (Mason, 1980 dan Hardjosubroto, 1994). Domba ekor gemuk
merupakan tipe pedaging dengan bobot badan pada jantan dewasa 40-60 kg, dan
betina dewasa 25-35 kg. Ukuran tinggi badan pada jantan dewasa berkisar antara 6065 cm, dan betina dewasa antara 52-60 cm (Hardjosubroto, 1994). Sutama (1993)
menyatakan bahwa pengembangan domba ekor gemuk meliputi daerah yang cukup
luas dan umumnya mengarah ke wilayah Indonesia bagian timur dengan kondisi

agroekosistem yang kering. Pertumbuhan domba ekor gemuk setelah sapih
tergantung dari jumlah dan kualitas yang dikonsumsi. Kisaran berat badan dewasa
domba ekor gemuk cukup besar yaitu 20-78 kg dengan rataan 30,5±6,9 kg untuk
jantan dan 27,2 ± 4,7 kg untuk betina.
Limbah Tauge
Penanganan limbah pertanian sebagian besar belum mendapatkan perhatian
yang cukup dalam penanganannya. Sebagian besar limbah yang dihasilkan dari alam
meliputi proses pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Setelah hasil
utamanya digunakan, limbahnya dibuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan dengan
baik (Winarno, 1985). Menurut Judoamidjojo et al. (1989), selain memberikan nilai
ekonomis

dan

mengurangi

pencemaran

lingkungan,


pemanfaatan

atau

pendaurulangan limbah pertanian menjadi komoditas baru dapat memberikan
keuntungan lain seperti penyerapan tenaga kerja dan menghasilkan produk baru yang
berguna sehingga dapat meningkatkan keuntungan petani atau produsen. Limbah
tauge berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik dan
dapat merugikan masyarakat seperti pencemaran sungai dan juga pencemaran udara
yang dapat menimbulkan penyakit.
Limbah tauge merupakan bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh
manusia, yaitu berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup
tauge yang berwarna hijau. Limbah tauge biasanya bercampur dengan sedikit
potongan ekor atau kepala tauge yang tidak utuh. Limbah tauge umumnya termasuk
limbah pasar karena pemisahan tauge dengan limbahnya terjadi di pasar dan limbah
ini menumpuk di pasar bersamaan dengan limbah pasar. Di kota Bogor, total
produksi tauge sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang untuk menghasilkan limbah tauge
4

sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge dapat diperoleh dari 10%-15% bagian tauge segar

melalui proses pengayakan atau pencucian.
Kecambah kacang hijau termasuk dalam famili leguminoceae, sub family
Papilionideae, genus phaseolus dan spesies Radiatus. Tauge berasal dari kacang
hijau Vigna Radiata (L) Wilczek atau phaseolus aureus Roxb atau P. Radiatus L.
yang dikecambahkan (Sutarman dan Soeprapto, 1982). Kacang hijau adalah tanaman
daerah tropis dengan iklim panas namun dapat tumbuh di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Fernandez et al. (1997), tauge secara luas dikonsumsi terutama di Asia
Tenggara dan Afrika Timur sebagai salah satu jenis sayuran yang sudah lama
dikembangkan dan dimanfaatkan yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi.
Kandungan zat makanan kacang hijau secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Kacang Hijau per 100 gram Bahan yang Dapat
Dimakan
Komponen
Energi (kal)
Air (g)
Lemak (g)
Protein (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)

Besi (mg)
Vitamin A (IU)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)

345,00
10,00
1,26
22,20
62,90
125,000
320,000
6,70
157,000
0,64
6,00

Sumber : Hardiansyah dan Briawan (1994)

Tauge atau kecambah merupakan bahan pangan yang memikili keuntungan

yaitu mudah diproduksi dan tidak mengenal musim (Imril, 1991). Harga tauge yang
relatif murah menjadikan konsumsi tauge di masyarakat cukup tinggi yaitu sekitar
88% dengan konsumsi per rumah tangga lebih dari 3 kali seminggu (Fernandez et al.,
1997). Selama perkecambahan, terjadi hidrolisis protein, karbohidrat, dan lemak
sehingga mudah dicerna. Pati sebagai bahan persediaan dirombak oleh α-amilase
menjadi dekstrin, sedangkan oleh β-amilase, dekstrin dipecah menjadi maltose.
Aktivitas enzim tersebut distimulir oleh hormon giberelin yang dihasilkan embrio
setelah menyerap air (Pomeranz, 1987). Selama perkecambahan, kandungan gula

5

mengalami perubahan yaitu kadar glukosa dan fruktosa meningkat 10 kali lipat
dibandingkan saat sebelum mengalami perkecambahan. Namun kandungan sukrosa
hanya meningkat 2 kali lipat sehingga kandungan galaktosa menghilang (Winarno,
1981). Kandungan zat makanan kecambah kacang hijau dapat dilihat secara lengkap
pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Kecambah Kacang Hijau (Tauge) dalam 100 gram
Bahan yang Dapat Dimakan
Komponen
Energi (kal)

Air (g)
Lemak (g)
Protein (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (IU)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)

23,0
92,4
0,2
2,9
4,1
29,0
69,0
0,8
1,0

0,07
15,0

Sumber : Hardinsyah dan Briawan (1994)

Protein dari sel-sel selama penyimpanan dirombak oleh sekumpulan enzim
proteolitik yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas bersama dengan
amida dari asam glutamat dan asparat. Hal ini ditunjukkan dari kenaikan konsentrasi
asam amino lisin sebanyak 24%, treonin 19%, alanin 29%, dan fenilalanin 7%
(Winarno, 1981).
Konsentrat
Konsentrat merupakan bahan makanan berupa biji-bijian, umbi-umbian, dan
limbah dari biji-bijian yang mengandung protein, lemak, dan karbohidrat dengan
kandungan serat kasar (terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin) kurang dari
18%. Konsentrat merupakan bahan penguat dan apabila diberikan terlalu banyak
dapat menyebabkan bloat. Pemberian konsentrat yang terlalu banyak akan
meningkatkan konsentrasi energi pakan dan dapat menurunkan tingkat konsumsi
(Parakkasi, 1999). Pemberian pakan konsentrat dalam ransum dapat meningkatkan
konsumsi pakan domba dan juga produktivitas domba. Sesuai dengan pernyataan
Martawidjaja et al. (1986), bahwa rata-rata konsumsi pakan domba yang diberikan
6

konsentrat adalah 580 gram/ekor/hari atau meningkat 57% dibandingkan dengan
yang tidak diberi konsentrat yaitu 371 gram/ekor/hari sedangkan pertambahan bobot
badannya meningkat 294% dari 18 gram/ekor/hari menjadi 71 gram/ekor/hari.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang
dimakan oleh ternak yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut
(Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi
oleh ternak bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad libitum. Konsumsi
merupakan faktor esensial sebagai dasar untuk hidup pokok dan untuk produksi.
Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu faktor hewan,

faktor makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban).
Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi produktivitas ternak
(Arora, 1989). Konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, besarnya
tubuh, keaktifan, dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lainnya, suhu dan
kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi menyebabkan turunnya konsumsi pakan
karena konsumsi air minum yang tinggi yang akan berakibat pada penurunan
konsumsi energi (Siregar, 1984).
Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada
beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan suhu
lingkungan (Church dan Pond, 1998). Konsumsi pakan secara umum

akan

meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan karena pada umumnya
kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi
(1999) adalah faktor hewan itu sendiri, pakan yang diberikan dan lingkungan. Faktor
hewan yang dimaksud adalah permintaan fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup
pokok dan produksi.
Palatabilitas
Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan yang dicerminkan oleh
organoleptik seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan
temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk

7

mengonsumsinya (Yusmadi et al., 2008). Palatabilitas dapat didefinisikan sebagai
tingkat penerimaan pakan atau bahan pakan melalui rasa atau tingkat penerimaan
untuk dimakan oleh ternak yang dapat ditentukan dengan penampilan, bau, rasa,
tekstur, suhu, dan alat-alat panca indera lainnya terhadap pakan. Church dan Pond
(1998) mendefinisikan palatabilitas sebagai respon yang diberikan ternak terhadap
pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi
juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang
diberikan.
Palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa faktor
yang berbeda yang dirasakan oleh ternak dan mewakili rangsangan dari penglihatan,
aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor sifat fisik dan sifat kimia
(nutrien) pakan dari ternak yang berbeda (Pond et al., 1995). Selain zat-zat nutrien
yang harus terpenuhi dalam jumlah yang tepat, pemberian ransum atau pakan juga
harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk dikonsumsi, disukai ternak,
ekonomis, dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak
(Afriyanti, 2002). Ransum ternak di daerah yang temperate memiliki palatabilitas
yang lebih baik. Bahan ransum di daerah temperate memiliki tingkat palatabilitas
yang lebih baik dari bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis seperti
Indonesia. Menurut Parakkasi (1999), bahwa semakin meningkatnya nutrien suatu
ransum akan meningkatkan konsumsi dari ransum tersebut. Komposisi nutrien terdiri
dari komposisi bahan-bahan kimia yang merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi palatabilitas tetapi hubungan antara palatabilitas dengan komposisi
nutrien sangat lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam
mengukur palatabilitas suatu pakan ternak (Kaitho et al., 1997). Terdapat empat
macam bau yang dapat terdeteksi oleh penciuman ternak yaitu harum, asam, tengik,
dan hangus (Winarno, 1992).
Lingkungan
Lingkungan pada ternak domba dapat mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, dan produksi domba (Ensiminger et al., 1990). Lingkungan dapat
mempengaruhi produktivitas ternak melalui dua cara, yaitu 1) lingkungan nutritif
yang dapat mempengaruhi konsumsi pakan, air dan pola penyakit; 2) lingkungan
fisik diantaranya suhu, kelembaban, udara dan kecepatan angin, namun yang paling
8

berpengaruh terhadap domba yaitu akibat cekaman panas (Devendra dan Faylon,
1989).
Cekaman lingkungan yang panas pada domba dapat menyebabkan perubahan
pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan
produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang
mengganggu fisiologis normal. Agar fungsi pertumbuhan dan reproduksi berjalan
dengan lancar, maka dibutuhkan daerah lingkungan yang optimal yaitu
Thermoneutral Zone (TNZ). TNZ ini merupakan daerah kisaran suhu yang paling
nyaman bagi ternak. Daerah TNZ untuk domba pada daerah pemeliharaan berkisar
antara 22-31oC. Ternak akan berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya dengan
lingkungan dengan cara melakukan evaporasi ketika suhu lingkungan panas dan akan
memproduksi panas ketika suhu lingkungan dingin (Yousef, 1985).
Respon Fisiologis Domba
Respon fisiologis adalah respon terhadap berbagai macam faktor, baik secara
fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985). Rangkaian proses
fisiologis akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan
faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien, 2007). Respon fisiologis dapat
mengakibatkan perubahan suhu tubuh, laju respirasi dan laju denyut jantung.
Domba merupakan hewan mamalia yang berdarah panas dan dapat
mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Domba
termasuk hewan yang memiliki daya tahan kekeringan dan mempunyai daya adaptasi
tinggi (Ensminger et al., 1990). Namun jika keadaan lingkungan tersebut melebihi
batas kemampuan domba dalam mempertahankan kondisinya, maka akan timbul hal
yang merugikan. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan
melihat suhu tubuh, laju respirasi dan denyut jantung.
Suhu Rektal
Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu
internal tubuh ternak. Suhu rektal dapat dijadikan parameter untuk menggambarkan
efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Baillie (1988) mengemukakan
bahwa suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lingkungan,
konsumsi pakan, minum dan aktivitas. Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu

9

tubuh akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. (Purwantoet et al.,
1994). Ensiminger et al. (1990) mengemukakan bahwa suhu lingkungan sangat
rendah di bawah titik kritis minimum dapat mengakibatkan suhu rektal menurun
tajam diikuti dengan pembekuan jaringan dan terkadang diiringi kematian akibat
kegagalan mekanisme homeotermis. Sebagai hewan berdarah panas, domba akan
mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran normal yaitu 38,2- 40oC (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988). Edey (1983) mengemukakan bahwa pada suhu rektal harian
diketahui rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari.
Laju Respirasi
Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam
tubuh serta membuang CO2

dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Laju respirasi

merupakan ukuran yang menunjukkan konsentrasi O2, CO2, dan H2O dalam cairan
tubuh (Subronto, 1985). Fungsi-fungsi dari sistem respirasi tersebut membantu dalam
regulasi keasaman cairan ekstraselular dalam tubuh, membantu pengendalian suhu,
eliminasi air dan fonasi (pembentukan suara) (Frandson, 1992). Respirasi sangat
mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan
zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan
akan dibuang (Awabien, 2007).
Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernafasan dapat
diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air
antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernafasan (Yousef, 1985). Ratarata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 26-32 kali tiap menit.
Sedangkan kambing mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 26-54 kali tiap
menit (Frandson, 1992). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak
bereaksi pertama-tama dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat
berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui
pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara
efektif untuk menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25 oC
(Yousef, 1985).
Ali (1999) menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi energi, nyata
meningkatkan laju pernapasan. Peningkatan konsumsi energi dan protein akan
mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan
10

metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus di imbangi
dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal.
Laju Denyut Jantung
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai
kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing
bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah yang melalui
pembuluh arteri (Frandson, 1992).
Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan
menjalankan potensi aksi keseluruhan otot jantung untuk menimbulkan denyut
jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh
syaraf, antara lain rangsangan kimiawi seperti hormon dan perubahan kadar O2 dan
CO2 ataupun rangsangan panas (Isnaeni, 2006).
Secara umum, kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih tinggi
pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah
besarnya ukuran hewan (Awabien, 2007). Kisaran denyut jantung domba normal
yang dikemukakan oleh Duke (1995) adalah antara 60-120 kali tiap menit. Isnaeni
(2006) mengatakan bahwa denyut jantung dapat meningkat lebih dari dua kalinya
pada saat aktif melakukan kegiatan. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam
terjadi saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983).

11

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Mitra Tani Farm (MT
Farm), Desa Tegal Waru RT 04 RW 05, Ciampea, Bogor. Waktu penelitian dimulai
pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2010.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan adalah domba ekor gemuk (DEG) jantan yang
berumur dibawah satu tahun (Io) sebanyak 24 ekor. Kisaran bobot badan domba
yaitu 9-14 kg dengan koefisien keragaman 11,24%. Domba ekor gemuk ini berasal
dari Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Domba dikelompokkan menjadi kelompok
bobot badan kecil (9-12,5 kg) dan bobot badan besar (12,6-14,6kg).
Pakan dan Minum
Pakan yang diberikan adalah pakan campuran konsentrat komersial dan
limbah tauge yang dicampur secara manual hingga tercapai kondisi yang homogen.
Limbah tauge tersebut berasal dari pasar Bogor yang dikumpulkan oleh para
pedagang melalui proses pengayakan terlebih dahulu. Kondisi limbah tauge ini
sedikit tercampur dengan tauge yang tidak tersaring. Mekanisme pengumpulan
limbah tauge ini adalah dengan menghubungi para pedagang tauge untuk
mengumpulkan limbah tauge tersebut kedalam karung lalu setelah terkumpul,
dibawa ke tempat tujuan. Konsentrat yang dipakai merupakan konsentrat yang biasa
digunakan di peternakan MT Farm. Pencampuran dilakukan di atas triplek dan
dimasukkan ke dalam tong dengan cara memampatkan ransum tersebut kemudian
ditutup rapat agar tidak mudah mengalami kebusukan. Air diperoleh dari sumur yang
terdapat di MT Farm dan dituangkan ke dalam ember yang ada pada masing-masing
kandang individu domba. Pakan dan minum diberikan secara ad libitum. Kondisi
pakan sebelum melalui proses pencampuran dapat dilihat pada Gambar 1.

12

(a)

(b)

Gambar 1. Kondisi Konsentrat dan Limbah Tauge sebelum dihomogenisasi. (a) =
Konsentrat; (b) = Limbah tauge
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individu dengan tipe kandang
panggung dengan bahan dasar kayu dan bambu. Tempat makan diberi alas karpet
yang berbahan karet sedangkan lantai bercelah ± 1-1,5 cm. Kandang dibersihkan
setiap hari selama penelitian. Adapun Peralatan yang digunakan adalah timbangan
pakan kapasitas 10 kg, timbangan domba digital berkapasitas 150kg, stopwatch,
thermohygrometer, stetoskop, termometer, ember, karung, dan tong.
Prosedur
Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian dilakukan dengan mempersiapkan kandang, peralatan,
dan pakan. Domba yang didatangkan dari Jawa Timur tersebut diistirahatkan terlebih
dahulu, lalu diberikan obat-obatan seperti antibiotik, obat cacing dan vitamin agar
stamina dan kondisi tubuh domba membaik setelah mengalami stres dan lelah selama
perjalanan dari Jawa Timur hingga Jawa Barat. Sebelum memasuki kandang
individu,

dilakukan

pencukuran

bulu

terlebih

dahulu

agar

mencegah

perkembangbiakan ektoparasit dan juga untuk menjadikan penampilan domba
terlihat lebih bersih. Setelah proses pencukuran, dilakukan pemasangan kode domba
agar tidak tertukar. Pakan limbah tauge diberikan secara bertahap agar sistem
pencernaan domba dapat beradaptasi dengan pakan baru selama penelitian.

13

Pelaksanaan Penelitian
Pemeliharaan dilakukan selama

dua bulan.

Domba

dikelompokkan

berdasarkan bobot badannya kemudian diberi empat taraf perlakuan. Pakan diberikan
setiap hari secara ad libitum begitu pula dengan minumnya. Kandang juga
dibersihkan setiap hari. Pengukuran fisiologis dilakukan seminggu satu kali yang
terdiri dari pengukuran denyut jantung dan respirasi menggunakan stetoskop, dan
suhu rektal menggunakan termometer. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan
setiap hari yaitu pada pagi jam 07:00 WIB, siang jam 13:00 WIB dan sore jam 18:00
WIB. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap hari dengan cara mengurangi
jumlah pemberian pakan dengan sisa pakan dari pakan yang diberikan kemarin.
Rancangan Percobaan
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan adalah pemberian campuran konsentrat dengan
limbah tauge dengan taraf yang berbeda-beda. Domba dikelompokkan berdasarkan
bobot badan besar dan bobot badan kecil. Adapun beberapa taraf perlakuan pakan
yang diberikan berdasarkan segar adalah sebagai berikut :
P1

: 100 % konsentrat : 0 % limbah tauge

P2

: 75 % konsentrat : 25 % limbah tauge

P3

: 50 % konsentrat : 50 % limbah tauge

P4

: 25 % konsentrat : 75 % limbah tauge

Model
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan tiga kali ulangan. Adapun model rancangan tersebut menurut Mattjik
dan Sumertajaya (2002) yaitu :
Yijk = µ + Pi + Kj + εij
Keterangan :
Yijk

= Nilai pengamatan pemberian pakan ke-i dan ulangan ke-j

µ

= Nilai tengah umum pengamatan pemberian pakan

Pi

= Pengaruh pemberian pakan pada taraf ke-i (i = P1, P2, P3, P4)

Kj

= Pengaruh pemberian pakan pada kelompok ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5, 6)

14

εij

= Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan ANOVA untuk mengetahui
pengaruh perlakuan. Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati
maka dilakukan uji banding dengan menggunakan uji Tukey untuk mengetahui
perlakuan yang terbaik. Hubungan palatabilitas dan respon fisiologis di analisis
korelasi dengan faktor tetap (x) yaitu konsumsi pakan dan faktor variabel (y) yaitu
respon fisiologis yang meliputi denyut jantung, respirasi dan suhu rektal.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi pakan, kondisi
fisiologis yang terdiri dari denyut jantung, respirasi dan suhu rektal.
Palatabilitas
Konsumsi pakan merupakan salah satu cara untuk melihat tingkat
palatabilitas domba terhadap pakan yang diberikan. Konsumsi pakan dapat diperoleh
dengan cara menghitung pakan dikurangi dengan sisa pakan (gram/ekor/hari) setiap
harinya menggunakan timbangan pakan.
Konsumsi Pakan Segar (gram/hari) = Pakan yang diberikan – Sisa pakan
Laju Respirasi
Laju respirasi pada domba diukur dengan cara mendengar hembusan nafas
domba melalui stetoskop pada bagian rongga dada selama satu menit menggunakan
stopwatch pada pagi, siang dan sore hari.
Laju Denyut Jantung
Denyut jantung dapat diperoleh dengan menghitung banyaknya detak jantung
domba melalui stetoskop selama satu menit pada bagian dada kiri dengan
menggunakan stopwatch pada pagi, siang dan sore hari.
Suhu Rektal
Pengukuran suhu rektal dilakukan menggunakan termometer dengan cara
memasukkan termometer ke dalam anus domba selama dua sampai tiga menit
menggunakan stopwatch pada pagi, siang dan sore hari.

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian
Limbah Tauge dan Konsentrat
Limbah tauge merupakan bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh
manusia, yaitu berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup
tauge yang berwarna hijau. Kondisi atau penampakan umum dari limbah tauge
umumnya sedikit bercampur dengan kepala atau ekor tauge yang tidak utuh. Hal ini
disebabkan karena pada saat proses penyaringan, beberapa tauge yang tidak utuh
terbawa sehingga menjadi limbah tauge. Berdasarkan pengamatan di Pasar Bogor,
limbah ini tidak dikonsumsi manusia karena para pedagang tauge mengumpulkan
limbah tersebut untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah ataupun diberikan
kepada seseorang yang membutuhkannya untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Hal
ini menunjukkan bahwa limbah tauge dapat digunakan sebagai pakan karena tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia. Sedangkan konsentrat ialah bahan makanan
berupa biji-bijian, umbi-umbian, dan limbah dari biji-bijian yang mengandung
protein, lemak, dan karbohidrat dengan kandungan serat kasar (terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, lignin dan silika) kurang dari 18% yang biasa digunakan sebagai pakan
domba pada usaha penggemukan domba di kalangan peternak (Parakkasi, 1999).
Kondisi Lapang
Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Mitra Tani Farm, Ciampea,
Bogor. Tempat penelitian yang sering disebut MT Farm ini terletak sedikit berjauhan
dengan akses jalan raya namun sudah ditempati warga masyarakat. Jenis ternak yang
ada di MT Farm adalah sapi pedaging, domba dan kambing. Bangunan yang terdapat
di MT Farm adalah bangunan kandang untuk penggemukan dan pembibitan, kantor,
WC, tempat penyimpanan pakan, tempat pemotongan hewan, tempat pengolahan
daging domba, tempat istirahat dan mushola dengan luas lahan keseluruhan yaitu 800
m2. Rata-rata suhu dan kelembaban lingkungan pada pagi, siang dan sore selama
penelitian yaitu 24,6 0C dan 89,9%; 30,7 0C dan 64%; 26 0C dan 85%. Rata-rata suhu
lingkungan pada pagi dan sore hari lebih rendah dibandingkan dengan suhu
lingkungan pada siang hari karena kelembaban pada pagi dan sore hari lebih tinggi
dibandingkan siang hari. Menurut Yousef (1985), daerah termoneutral zone untuk

16

domba pada daerah pemeliharaan berkisar antara 22-31oC. Ternak akan berusaha
menyesuaikan suhu tubuhnya dengan lingkungan dengan cara melakukan evaporasi
ketika suhu lingkungan panas dan akan memproduksi panas ketika suhu lingkungan
dingin. Data curah hujan, kelembaban dan suhu udara daerah Dermaga dan
sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu Lingkungan Daerah Darmaga
dan sekitarnya Tahun 2010.
Bulan

Waktu (WIB)

Suhu (oC)

Kelembaban (%)

07:00

23,0

95

13:00

30,9

61

18:00

26,1

84

07:00

23,1

96

13:00

30,2

65

18:00

24,7

90

07:00

23,4

94

13:00

29,2

68

18:00

25,5

86

Agustus

September

Oktober

Curah hujan (mm)

477,6

601,0

436,2

Sumber : BMKG (2010)

Berdasarkan data BMGK (2010), curah hujan selama bulan Agustus hingga
Oktober (selama penelitian) sedikit mengalami fluktuasi. Terlihat dari jumlah curah
hujan yang meningkat dari 477,6 mm pada bulan Agustus hingga 601,0 mm pada
bulan September dan mengalami penurunan kembali menjadi 436,2 mm pada bulan
Oktober. Curah hujan yang fluktuatif dapat mempengaruhi konsumsi pakan maupun
respon fisiologis domba. Namun, selama penelitian, suhu masih berada pada kisaran
yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis menurut Yousef (1985)
yaitu pada suhu 22-31 oC. Rata-rata suhu dari bulan Agustus hingga Oktober yaitu
26,2 oC. Sedangkan untuk kelembaban dari bulan Agustus hingga Oktober sedikit
berada di atas kisaran normal yaitu 82,1%. Kisaran kelembaban yang nyaman bagi
domba yaitu dibawah 75% (Yousef, 1985). Kelembaban yang tinggi ini dapat
disebabkan tingginya curah hujan yang terjadi saat penelitian.

17

Kondisi Domba
Ternak yang digunakan pada penelitian ini yaitu domba ekor gemuk yang
berasal dari Malang Jawa Timur. Selama di Jawa Timur, domba tersebut dipelihara
secara ekstensif atau digembalakan yang sebagian besar makanannya adalah rumput
lapang. Setelah sampai di MT Farm, domba diistirahatkan dan diberikan obat-obatan
yaitu vitamin, antibiotik dan obat cacing untuk memulihkan kondisi setelah
pengangkutan. Kondisi domba yang digunakan yaitu berbadan kurus namun sehat
agar lebih mudah dalam mengetahui perkembangan pertumbuhannya seperti yang
dikemukakan oleh Yamin (2001) bahwa kondisi masa pertumbuhan yang relatif
kurus dari pasar akan cukup ideal untuk penggemukan domba yang berlangsung 2-3
bulan. Sebagian besar penyakit yang diderita domba yaitu orf, sakit mata dan
mencret. Penyakit orf ditandai dengan benjolan di daerah sekitar mulut yang
menyebabkan domba sulit untuk makan. Sakit mata ditandai dengan mata merah dan
berlendir dan kadang kelopak mata sulit terbuka. Mencret ditandai dengan
berubahnya tekstur feses menjadi lebih cair dan bau yang lebih menyengat. Selama
penelitian, terdapat satu ekor domba yang terkena orf pada perlakuan pakan
menggunakan kandungan 50% limbah tauge dan domba yang sakit mata rata-rata
terjadi pada perlakuan 100% konsentrat dan campuran 25% limbah tauge dalam
ransum. Domba yang mengalami sakit mata pada perlakuan P1 (100% konsentrat)
dan P2 (75% konsentrat dan 25% limbah tauge) dapat disebabkan karena sifat
konsentrat yang berdebu yang masuk ke mata.
Kondisi Pakan
Kondisi limbah tauge yang diberikan kepada domba adalah dalam bentuk
segar yang langsung diambil dari pasar Bogor. Kondisi limbah tauge sedikit
tercampur dengan ekor badan, atau kepala tauge yang tidak tersaring. Agar kondisi
kesegaran ransum tetap terjaga, dilakukan pemampatan ke dalam tong sehingga
kondisi ransum lebih tahan lama dibandingkan dengan disimpan di dalam karung.
Sebelum dimasukkan kedalam tong, limbah tauge dicampur dengan konsentrat
sesuai dengan perlakuan dengan cara manual di atas hamparan triplek dengan cara
diaduk dengan menggunakan kaki hingga tercapai kondisi homogen. Setelah
homogen, ransum langsung dimasukkan ke dalam tong masing-masing perlakuan.
Ransum campuran limbah tauge dan konsentrat rata-rata habis dalam jangka waktu
18

4-5 hari dalam seminggu sehingga kondisi ransum masih dapat terjaga kesegarannya.
Adapun perbandingan kandungan zat makanan pada konsentrat dan limbah tauge
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Konsentrat dan Limbah Tauge
Bahan Makanan

BK

ABU

PK

SK

BETA-

LK

N

TDN

-----------------------------------------%------------------------------------As fed

80,52

11,36

10,58

13,62

4,81

40,15

36,03

Kering

100

14,11

13,14

16,92

5,97

49,86

62,11

Limbah

As fed

44,62

3,28

6,08

22,06

0,52

12,68

35,44

Tauge

Kering

100

7,35

13,63

49,44

1,16

28,42

64,65

Konsentrat

Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan tahun 2010

Berdasarkan Tabel 4, Kandungan protein kasar yang terdapat pada limbah
tauge cukup tinggi bahkan sedikit lebih tinggi dari protein kasar yang terkandung
pada konsentrat yaitu sebanyak 13,63%. Kandungan serat kasar pada limbah tauge
pun tinggi yaitu sebanyak 49,44%. Kandungan protein yang tinggi pada limbah tauge
yang hampir mirip dengan leguminosa menjadikan keunggulan tersendiri sebagai
bahan pakan ternak yang berkualitas murah, dan mudah didapat. Okoronkwo et al
(2010) menyatakan bahwa perubahan kandungan protein kasar pada kacang hijau
menjadi

kecambah

mengalami

peningkatan

dari

23,57%

menjadi

25%.

Meningkatnya kandungan protein kasar pada tauge memungkinkan pula berdampak
pada kandungan protein limbah tauge. Adapun kondisi pakan masing-masing
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan, persentase bahan kering masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Persentase Bahan Kering Masing-masing Perlakuan
Persentase
(LT : KT)

P1

P2

P3

P4

------------------------------------------%----------------------------------------Bahan Segar

0 : 100

25 : 75

50 : 50

75 : 25

Bahan Kering

0 : 80,52

15,59 : 84,41

35,66 : 64,34

62,44 : 37,56

Keterangan : LT = Limbah Tauge ; KT = Konsentrat ; P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge, P2 =
75% konsentrat + 25% limbah tauge, P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge, P4 =
25% konsentrat + 75% limbah tauge

19

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 2. Kondisi Ransum Campuran Konsentrat dan Limbah Tauge. (a) = P1
(100% konsentrat); (b) = P2 (75% konsetrat + 25% limbah tauge); (c) =
P3 (50% konsentrat + 50% limbah tauge); (d) = P4 (25% konsentrat +
75% limbah tauge)
Berdasarkan persentase bahan kering masing-masing perlakuan, terlihat
bahwa dari seluruh perlakuan pakan, konsentrat memiliki bahan kering yang lebih
tinggi dibandingkan limbah tauge. Sehingga meskipun domba mengonsumsi limbah
tauge dalam jumlah banyak, bahan kering yang terkonsumsi tidak akan sebanyak
apabila mengkonsumsi konsentrat dalam jumlah banyak.
Palatabilitas
Konsumsi pakan dapat mencerminkan palatabilitas atau tingkat kesukaan
ternak terhadap pakan yang diberikan. Rataan konsumsi pakan segar selama
penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge
berpengaruh nyata (P