membendung konsep metafisika dari logosentrisme Barat. Dari ketiga prinsip dasar ini, Derrida berpendapat bahwa pusat-pusat kebenaran tidak boleh
terbungkam begitu saja atau terlalu bergantung pada subjek tertentu, tetapi membiarkan terurai dalam pemaknaan tiada henti untuk dapat lebih memahami
realita sesungguhnya. Dekonstruksi bermakna pembongkaran atas oposisi biner hierarkis yang
berkontribusi terhadap terciptanya kebenaran atas penafikan pasangan yang lebih inferior dalam tiap-tiap oposisi dalam paham modernisme Barker,
2005:102. Pembongkaran teks berdasarkan asumsi-asumsi teks tersebut merupakan ciri khas dari dekonstruksi. Teori dekonstruksi dalam penelitian ini
digunakan untuk mengungkap permasalahan tradisi Makotek yang meliputi pandangan masyarakat, pelaksanaan, dan implikasinya bagi masyarakat yang
bersangkutan pada era global.
2.3.2 Teori Praktik
Teori praktik merupakan kerangka pikir tentang hal-hal terkait dengan praktik, yang kebenarannya telah teruji. Bourdieu dalam Harker 2009
mengusulkan sebuah pemetaan hubungan kuasa dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini lebih
berupa suatu lingkungan pembedaan modal dan komponen modal-modal tersebut. Harker mengungkapkan bahwa modal secara konseptual merupakan
sumber tinjauan Bourdieu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan di tengah masyarakat.
Bourdieu menggolongkan modal menjadi tiga jenis, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya sebagai basis keberadaan struktur
sosial. Sehubungan dengan itu, Makotek merupakan praktik ritual masyarakat Desa Munggu yang telah mentradisi dan unsur kekhasannya menunjukan
nilai lebih dari modal budaya dalam kesatuan masyarakat tersebut. Hingga kini, kearifan tradisi Makotek masih lestari di tengah
diferensiasi sosial ekonomi masyarakat Desa Munggu menunjukkan formulasi pemetaan sumber daya khusus dalam transmisinya. Secara fungsional,
tindakan massa di tengah diferensiasi tersebut sulit untuk direalisasikan, apalagi konsisten dalam dinamika masyarakat dengan mobilitas tinggi Beaner dan
Veaner, 2008. Untuk itu teori praktik dipandang relevan digunakan untuk mengkaji tradisi Makotek, yang tentunya tidak terlepas dari relasi potensi
atau modal dan orientasi budaya masyarakat Desa Munggu pada ranah kehidupan, terutama pada ranah budaya desa tersebut yang menunjukkan
konfiguratifnya dalam praktik budaya religi setiap hari raya Kuningan.
2.3.3 Teori Simbol
Teori Simbol merupakan kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait dengan simbol, diungkapkan manusia melalui tanda yang telah disepakati
dengan makna tertentu. Manifestasi dan karakteristik simbol tidak terbatas pada isyarat fisik, tetapi dapat berwujud penggunaan kata-kata yakni simbol suara
yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Triguna 2000: 7 mengatakan bahwa simbol dapat memimpin pemahaman subjek kepada objek.
Artinya, pada makna tertentu, simbol sering memiliki makna mendalam, paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat.
De Saussure 1996 menyatakan bahwa ada tiga komponen pokok dalam simbol. Pertama, adanya tanda yang diwujudkan dalam bentuk
peristiwa, yang dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi Makotek. Kedua, adanya masyarakat di Desa Munggu sebagai penerima tandapesan
yang disampaikan oleh para pelaku. Ketiga, adanya mediaperantara kedua belah pihak yang dalam konteks ini adalah ritual upacara tolak bala yang
dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Prosesnya diawali dengan mempersembahkan sesaji kepada para dewata sebagai penguasa alam,
kemudian ditutup dengan pelaksanaan tradisi Makotek. Masyarakat di Desa Munggu, Badung menerima pesan, tanda dan makna yang disampaikan oleh
pelaksanaan tradisi Makotek sebagai sebuah simbol penyucian terhadap alam lingkungan di Desa Munggu agar mereka terhindar dari malapetaka dan
memperoleh kedamaian dalam menjalankan kehidupannya. Tradisi tersebut sangat bermakna bagi kedamaian hidup masyarakat di
Desa Munggu. Dengan demikian, hingga saat ini mereka tidak berani untuk tidak melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan rangkaian prosesi
Makotek mengelilingi wilayah di Desa Munggu. Selain menjaga kontinuitas pelaksanaan tradisi Makotek, mereka juga tampak sangat kuat menjaga dan
menghormati simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi Makotek tersebut. Walaupun orang lain menilai bahwa pelaksanaan tradisi Makotek
tersebut sebagai sebuah tindakan yang tidak masuk akal karena tradisi Makotek
dianggap memiliki makna penting bagi kehidupannya, maka mereka pun sangat menghargai dan menjaga baik kesakralan peralatan maupun
pelaksanaan tradisi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sikap mereka yang sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan, melaksanakan
tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu menganggap bahwa dengan melaksanakan tradisi tolak bala yang disimbolkan sebagai proses penyucian
alam dapat menghindari kehidupannya dari mara bahaya Cassirer, 1987:36-- 40.
Pelaksanaan tradisi Makotek oleh kaum laki-laki di desa tersebut menimbulkan keyakinan bahwa para anak-anak dan kaum perempuan di desa
tersebut telah memperoleh perlindungan dari kaum laki-laki. Mereka berkeyakinan bahwa kaum laki-laki harus mampu memberikan perlindungan,
baik kepada anggota masyarakat maupun keluarganya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, sesulit apa pun kondisi kehidupan mereka, warga
masyarakat Desa Munggu selalu melaksanakan upacara ritual tolak bala yang dilengkapi prosesi Makotek. Mereka meyakini bahwa tradisi Makotek dapat
membersihkan segala macam penyakit yang ada di lingkungan Desa Munggu. Perilaku masyarakat di Desa Munggu sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Tunner 1970 dan Brown 1979 bahwa ketika manusia tidak mampu mengatasi permasalahan hidupnya dengan akal sehat, mereka cenderung
melakukan tindakan yang kurang rasional, antara lain melakukan upacara dan ritus. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan
masyarakat di Desa Munggu untuk menghilangkan rasa gelisah dan rasa takut
terhadap serangan wabah penyakit yang dikhawatirkan menimpa kenyamanan hidupnya.
Hendropuspito 1983: 41 mengatakan bahwa suatu upacara yang dilakukan secara rutin dan berkelanjutan bisa saja berkembang menjadi tradisi.
Artinya, perilaku religi yang diyakini dapat menyelesaikan permasalahan hidup dapat saja terus dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal itu
disebabkan oleh mereka karena yakin akan kekuatan magis tradisi ritual tersebut. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini secara rutin tetap
dilaksanakan oleh masyarakat Desa Munggu untuk menyikapi masalah penyucian alam dari mara bahaya segala penyakit.
Tradisi Makotek di Desa Munggu merupakan ekspresi budaya masyarakat yang religius. Artinya, tradisi Makotek yang dilaksanakan masyarakat Desa
Munggu merupakan simbol religiusitas masyarakat tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Kusmayati 1990:2-3 bahwa suatu ritual dilakukan sesuai
dengan konteksnya. Hal itu dapat dipahami dari tanda, pesan dan simbol-simbol yang diungkapkan oleh para pelakunya. Oleh sebab itu, teori simbol dipandang
relevan digunakan untuk mengkaji pelaksanaan tradisi Makotek yang penuh dengan simbol bermakna religius.
2.3.4 Teori Religi