Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung Pada Era Global.

(1)

DISERTASI

TRADISI

MAKOTEK

DI DESA MUNGGU, BADUNG

PADA ERA GLOBAL

GEDE YOGA KHARISMA PRADANA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

DISERTASI

TRADISI

MAKOTEK

DI DESA MUNGGU, BADUNG

PADA ERA GLOBAL

GEDE YOGA KHARISMA PRADANA NIM. 1390371006

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

TRADISI

MAKOTEK

DI DESA MUNGGU, BADUNG

PADA ERA GLOBAL

Disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

GEDE YOGA KHARISMA PRADANA NIM. 1390371006

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Pengesahan

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI Tanggal 19 Januari 2016

Promotor,

Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. NIP 196102121988031001

Kopromotor I,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP 194807201978031001

Kopromotor II,

Dr. I Nyoman Dhana, M.A. NIP 195709161984031002

Mengetahui,

Ketua

Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Program

Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP 194807201978031001

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K). NIP 195902151985102001


(5)

Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 28 Desember 2015.

Panitia Penguji Disertasi berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 4301/UN.14.4/HK/2015

Tanggal 28 Desember 2015.

Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.

Anggota : 1. Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. 2. Dr. Drs. I Nyoman Dhana, M.A.

3. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S.

4. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.S.Kar., M. Hum.

5. Dr. Drs. Putu Sukardja, M.Si. 6. Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum.


(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Gede Yoga Kharisma Pradana

NIM : 1390371006

Program Studi : Program Doktor Kajian Budaya Pascasarjana Universitas

Udayana

Judul Disertasi : “Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global”

Pada kesempatan ini menyatakan bahwa disertasi berjudul “Tradisi Makotek di Desa

Munggu, Badung pada Era Global” bebas plagiat. Apabila pada kemudian hari karya

ilmiah ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan

peraturan Mendiknas RI No. 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Denpasar, 19 Januari 2016 Yang membuat pernyataan,

Gede Yoga Kharisma Pradana


(7)

Om Swastiastu, pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur dan terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas asung wara nugraha-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., sebagai promotor; Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U., selaku kopromotor I; dan Dr. Drs. I Nyoman Dhana, M.A., selaku kopromotor II, atas bimbingan, dorongan, dan semangat yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.

Dalam proses penyusunan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis memberikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak berikut.

1) Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.P.D-KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktoral (S3) Kajian Budaya, PascasarjanaUniversitas Udayana.

2) Ibu Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)., selaku Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, Assisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Assisten Direktur II, Prof. Ir. Made Sudiana Mahendra, M.AppSc., Ph.D.

3) Ketua Program Studi Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana, Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U., dan Sekretaris Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, Dr. Putu Sukardja,M.Si., yang telah banyak memberikan kemudahan dalam pelayanan dan dorongan untuk penyusunan disertasi ini.

4) Tim penguji, yakni Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Dr. Drs. I Nyoman Dhana. M.A., Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S., Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum., Dr. Drs. Putu Sukardja. M.Si., Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum. yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud.

5) Teman sekampus dan sekelas Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah berperan sebagai penyemangat dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu secara langsung atau tidak langsung sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan syukur untuk doa dan kesempatannya berbagi waktu kepada segenap keluarga, khususnya Ibunda tercinta Dr. Ni Made Ruastiti, S.S.T., M.Si., Made Yogi Dwiyana Utama, Brigjen Pol. Drs. I


(8)

Nyoman Rubrata, S.H., M.Sc., Ir. I Ketut Ruastika, saudara-saudaraku, orang-orang terdekat atas dukungan, bantuan dan motivasinya selama penulis menempuh studi pada Program Doktor Kajian Budaya, Pascasarjana Universitas Udayana.

Tidak lupa juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Universitas Hindu Indonesia dan pihak Asosiasi Kajian Tradisi Lisan, Kemenristek Dikti yang telah memberikan dukungan, beasiswa kepada penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana. Semoga budi baik dan segala partisipasi yang telah diberikan memperoleh rahmat dari Tuhan Yang Mahaesa.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Namun, penulis berharap mudah-mudahan disertasi ini dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pembaca pada umumnya dan bagi ilmuwan sosial khususnya Cultural Studies yang mengkaji masalah tradisi lisan sebagai salah satu kekuatan kultural bangsa pada era global.

OM Santih Santih Santih OM

Denpasar, 19 Januari 2016

Penulis


(9)

TRADISI MAKOTEK DI DESA MUNGGU, BADUNG PADA ERA GLOBAL

Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat di Desa Munggu, Badung. Tradisi itu dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya Kuningan. Hingga pada era global, tradisi Makotek yang melibatkan banyak pihak dan komponen budaya itu tetap dilaksanakan masyarakat Desa Munggu. Hal itu merupakan tantangan bagi masyarakat Desa Munggu yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi.

Tujuan penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan tradisi Makotek pada era global. Penelitian yang berlokasi di Desa Munggu ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan dianalisis dengan teori dekonstruksi, teori religi, teori simbol, teori praktik, dan teori kuasa pengetahuan. Permasalahan yang dikaji meliputi (1) mengapa masyarakat di Desa Munggu hingga pada era global tetap melaksanakan tradisi Makotek; (2) bagaimana mereka melaksanakan; dan (3) apa implikasinya bagi mereka hingga pada era global tetap melaksanakan tradisi Makotek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) masyarakat Desa Munggu memandang mereka harus tetap melaksanakan tradisi Makotek karena dalam kehidupannya dilatari oleh ideologi religi, ideologi konservasi, ideologi kuasa, dan ideologi budaya yang membuatnya patuh terhadap tradisi yang telah mereka miliki; (2) pada era global masyarakat Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek sangat meriah namun tetap sesuai dengan tahapan, tradisi, dan adat istiadat yang telah mereka miliki; (3) Implikasi pelaksanaan tradisi Makotek pada era global bagi masyarakat Desa Munggu tampak langsung menyentuh ciri khas kehidupannya, penguatan terhadap solidaritas mekanik dan solidaritas organik dalam kehidupannya, penguatan terhadap kualitas nilai budaya kebersamaan bagi mereka dalam menghadapi tantangan perubahan budaya pada era global.

Kata kunci: tradisi Makotek, era global, masyarakat di Desa Munggu, ideologi religi, solidaritas mekanik.


(10)

TRADITION OF MAKOTEK AT MUNGGU VILLAGE, BADUNG REGENCY, IN GLOBALIZATION ERA

Makotek is a cultural tradition which is performed as a ritual to ward off misfortune for those living at Munggu Village, Badung Regency. It is performed once in six months, namely, every Kuningan Feast Day. It has been inherited from generation to generation as an oral tradition. In the globalization era, it involves numerous parties and cultural components. It is still performed until now; however, those living at Munggu Village are also open to the impact of modernization.

This present study is intended to identify the matters pertaining to the performance of the Makotek tradition. Therefore, the target of the present study is the performance of the Makotek tradition in the globalization era. The study was conducted at Munggu Village using the qualitative method. The data were analyzed using the theory of Deconstruction, the theory of Practice, the theory of Symbol, the theory of Religion, and the theory Power of Knowledge. The problems of the study are formulated as follows; (1) why those living at Munggu Village still perform the Makotek tradition in the globalization era; (2) how they perform it in the globalization era?; (3) what is the implication of the Makotek tradition in the globalization era.

The result of the study shows that (1) those living at Munggu Village still find it necessary to perform the Makotek tradition in the globalization era due to the religious ideology, the ideology of conservation, the ideology of power, and the cultural ideology; they all have caused the villagers to perform such a tradition faithfully; (2) those living at Munggu Village have performed such a tradition step by step, in accordance with the tradition they have had since a long time ago; (3) the implication of the study is that the Makotek tradition seems to touch the specific characteristic of the society’s life at Munggu Village; the villagers strengthen their mechanic and organic solidarities and the quality of the cultural value; the villagers become motivated to face the changes in the globalization era.

Keywords: performance of Makotek tradition, globalization era, Munggu society, religious ideology, mechanic solidarity.


(11)

RINGKASAN

Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat di Desa Munggu, Badung. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya Kuningan. Hingga pada era global, tradisi Makotek yang melibatkan banyak pihak dan komponen budaya tersebut tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Hal itu merupakan tantangan bagi kehidupan mereka yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi.

Secara ideologis, kehidupan masyarakat pada era global akan cenderung sibuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar sesuai dengan zamannya. Hal itu menyebabkan mereka akan menempatkan ekonomi kapitalistik pada posisi sentral dan dominan dalam jaringan sosialnya. Dalam kehidupannya pun mereka akan cenderung melibatkan konstruksi pasar kapitalis lengkap dengan rangkaian relasi sosial, aliran komoditas, modal, teknologi, dan ideologi dari berbagai budaya belahan dunia. Kondisi tersebut membuat mereka sibuk mengejar dan berkompetisi untuk memenangkan pertarungan dalam memperoleh keuntungan finansial. Namun, di tengah-tengah kesibukannya mengarungi arus globalisasi yang identik dengan ekonomi kapitalistik tersebut hingga kini masyarakat Desa Munggu tetap melaksanakan tradisi Makotek. Padahal, tradisi tersebut tidak memberikan mereka keuntungan finansial. Bahkan, untuk itu mereka pun harus mengorbankan waktu, materi, dan sebagainya agar bisa ikut serta dalam pelaksanaan tradisi tersebut.

Di Bali banyak terdapat tradisi lisan yang dimaknai masyarakatnya sebagai ritual tolak bala. Beberapa di antaranya terdapat tradisi Geret Pandan di Desa Tenganan, Karangasem; tradisi Ngusaba Dangsil di Desa Sulahan, Bangli; tradisi Ngusaba Nini di Desa Bongaya, Karangasem; tradisi Masuryak di Desa Bongan, Tabanan; tradisi Perang Tipat di Desa Kapal, Badung; tradisi Omed-omedan di Desa Sesetan, Kota Denpasar; tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung, dan lain-lainnya. Namun, dari semua tradisi tersebut, tradisi Makotek yang paling menarik untuk dikaji. Selain keberlangsungannya yang cukup panjang, pelaksanaannya yang melibatkan


(12)

seluruh warga masyarakatnya serta penyajiannya yang semakin meriah dan semarak pada era global tersebut membuat tradisi Makotek menarik untuk dikaji.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan terkait dengan tradisi Makotek yang hingga pada era global tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Munggu. Penelitian yang berlokasi di Desa Munggu tersebut dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan dianalisis dengan teori dekonstruksi, teori praktik, teori simbol, teori religi, dan teori kuasa pengetahuan. Fokus permasalahan yang dikaji meliputi (1) mengapa masyarakat Desa Munggu masih tetap melaksanakan tradisi Makotek pada era Global; (2) bagaimana mereka melaksanakannya; dan (3) apa implikasinya bagi masyarakat di Desa Munggu pada era global.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat Desa Munggu, Badung. Hingga pada era global tradisi Makotek yang melibatkan banyak pihak dan komponen budaya tersebut masih lestari. Hal itu merupakan tantangan bagi masyarakat di Desa Munggu yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi. Penelitian yang berlokasi di Desa Munggu, Badung dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan dianalisis dengan teori dekonstruksi, teori religi, teori simbol, teori praktik, teori kuasa pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut.

Pertama. Masyarakat Desa Munggu hingga pada era global tetap melaksanakan tradisi Makotek karena dalam kehidupan kolektifnya dilatari ideologi religi dan mitos. Secara ideologis, masyarakat Desa Adat Munggu memiliki keyakinan bahwa dengan melaksanakan tradsi Makotek mereka akan dapat memproteksi sumber daya pada kesatuan humanitasnya. Begitu kuatnya ideologi religi kolektif mereka hingga konstruksi stigmatis bahwa tradisi agama budaya yang dianggap antik dan kuno tidak berlaku baginya. Mitos tentang keberhasilan leluhurnya dalam menyikapi masalah wabah penyakit pada masa lampau juga sangat kuat melatari kehidupannya. Masyarakat Desa Munggu lebih percaya dengan apa yang mereka yakini, sehingga walaupun kehidupan mereka kini telah maju tetapi tidak mempengaruhi sikapnya dalam melaksanakan tradisi tersebut. Bahkan justru tampak sebaliknya. Semakin


(13)

mapan sumber daya masyarakatnya, membuat tradisi Makotek semakin kuat melembaga. Hal itu terefleksi secara sosial struktural hingga pada era global ini.

Kedua. Hingga pada era global, masyarakat Desa Munggu tetap melaksanakan tradisi Makotek berdasarkan awig-awig desa adat setempat. Pada tahap awal mereka melakukan persiapan ritual Makotek di rumahnya masing-masing. Pada saat itu mereka melakukan upacara penyucian diri dan peralatan (kayu pulet) yang akan digunakan dalam perayaan Makotek. Kayu pulet yang telah dihiasi tamiang, pandan, dan plawa itu disucikan dengan upakara penyucian dilengkapi percikan tirta dan sarana mantra. Pada pukul 13.00 WITA seluruh warga berkumpul di Balai Banjar masing-masing dengan menggunakan pakaian adat ringan. Ditandai bunyi kulkul mereka kemudian berjalan beramai-ramai menuju Pura Puseh untuk melaksanakan upacara pecaruan, penyucian alam wilayah Desa Munggu. Seluruh peralatan upacara, seperti kober, umbul-umbul, tombak, dan tamiang kolem yang disucikan di Pura Puseh turut disucikan. Seusai upacara pecaruan dan proses penyucian peralatan dilakukan, rombongan prosesi Makotek yang terdiri atas : (1) barisan kotekan kayu (2) barisan benda-benda sakral pura seperti tombak, umbul-umbul, tamiang kolem, dan kober (3) barisan pemangku dan penyarikan pura membawa sarana pusaka keramat, (4) barisan sekaa gamelan balaganjur, (5) barisan sekaa kidung perlahan-lahan bergerak ke arah selatan mengelilingi wilayah Desa Munggu. Pada setiap persimpangan jalan, barisan pemuda pembawa tongkat kayu pulet berputar-putar, mengadupadankan tongkatnya hingga membentuk formasi kerucut berupa piramida dan mengadukan diri antarkelompok kotekan. Seorang pemuda kemudian menaiki puncak formasi piramida itu diiringi gemuruhnya gamelan balaganjur. Pemangku memercikkan tirta pada setiap pura yang dilewati barisan prosesi tersebut sebagai simbol penyucian. Setelah prosesi ngider bhuana selesai dilakukan, seluruh peserta prosesi diperciki tirta sebagai simbol berkah yang diyakini dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup mereka.

Ketiga. Pelaksanaan tradisi Makotek pada era global berimplikasi bagi pelaku, masyarakat, dan pada budaya Desa Munggu. Bagi pelaku, pelasanaan tradisi Makotek dapat meningkatkan kesadaran kolektif. Bagi masyarakat Desa Munggu, pelaksanaan tradisi tersebut berimplikasi pada politik dan perekonomian masyarakat setempat yang


(14)

ditandai meningkatnya solidaritas organik dan solidaritas mekanik. Bagi kebudayaan Desa Munggu, berimplikasi pada penguatan nilai budaya khususnya peningkatan pemahaman akan pelestarian tradisi budaya mereka.

Temuan Baru

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan terdapat temuan baru antara lain, sebagai berikut.

Tradisi makotek tetap hidup pada era global, tetapi telah mengalami glokalisasi. Semakin mapannya sumberdaya masyarakat Desa Munggu ternyata tidak membuat mereka meninggalkan tradisinya. Bahkan justru sebaliknya tradisi Makotek tampak melembaga semakin kuat.

Tradisi Makotek dilaksanakan tidak hanya untuk tolak bala, tetapi juga untuk pelebur dasa mala (10 sifat keburukan manusia).

Makotek ternyata sebuah prosesi tolak bala berkonstruksi teatrikal seni bernuansa religius dengan struktur terdiri atas barisan kotekan, barisan umat pembawa benda keramat, barisan pemangku pembawa pusaka, barisan sekaa gong, barisan sekaa santhi, dan barisan umat.

Hingga pada era global, sebagai sebuah tradisi lisan Makotek ternyata masih mampu mendidik, menuntun warganya dalam menata konstruksi masalah gender, menumbuhkan sikap peduli lingkungan melalui mekanisme kultural yang damai sebagai perayaan, memediasi kebebasan berekspresi secara kultural dan menetralisir politik praktis bagi kesahajaan hidup, memberdayakan sumberdaya lokal, mempertebal religisiusitas masyarakat, dan menyelamatkan beragam habitus melalui momen bermartabat.


(15)

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan sebagai berikut.

Kepada masyarakat Desa Adat Munggu disarankan agar tradisi Makotek terus dikembangkan dan dipromosikan sebagai tontonan budaya terkait dengan pariwisata dalam rangka pelestarian budaya lokal pada era global.

Kepada dinas kebudayaan, asosiasi tradisi lisan, dan Balai Pelestarian Budaya Tradisional agar mengupayakan penelitian tradisi lisan secara berkelanjutan, memberi penghargaan dan merancang regulasi sebagai upaya pelestarian budaya lokal pada era global.

Kepada masyarakat akademik disarankan agar terus melakukan penelitian untuk menggali dan menemukan hal-hal yg belum terungkap dalam rangka pemberdayaan sumber daya masyarakat.


(16)

GLOSARIUM

amertha : sesuatu yang terberkati oleh Ida Sang Hyang Widhi untuk kepentingan dan kelanggengan kebahagiaan makhluk, diyakini dapat membuat manusia menjadi panjang umur. Dalam mitologi disebutkan bahwa terdapat energi suci, murni dan menyejukan yang disebut amertha. Amertha layak diberikan kepada makhluk pemohon setelah memenuhi persyaratan, prinsip-prinsip dan tata tertib tertentu. Persyaratan mendasar yaitu dengan

mempersembahkan makanan, minuman atau bahan dasar lain sebagai pengganti amerta itu di alam kesucian. Setelah

melakukan proses penyucian berulang-ulang pada akhirnya roh pemohon bersama bahan persembahannya dapat mencapai alam dewa guna mendapatkan amertha.

animo : hasrat yang disertai keinginan kuat untuk berbuat atau mengikuti sesuatu. Keinginan itu disertai semangat karena minat, kesukaan dan keadaan.

anonim : identitas pribadi tidak dapat diketahui. Identitas itu tidak dapat diketahui karena disembunyikan atau tidak memiliki identitas pribadi.

awig-awig : aturan, tata krama adat. Awig-awig dapat dimaknai sebagai sesuatu yang membuat menjadi baik. Secara harfiah, awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur pergaulan dalam masyarakat untuk kebertahanan masyarakat. Norma dan aturan itu dibuat oleh krama desa pakraman atau krama banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam bermasyarakat.

banten : sarana upakara. Sarana yang memiliki simbol yang mewakili diri umat, kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi dan alam semesta (bhuana agung).

dedemit : makhluk gaib yang dipercaya masyarakat dapat menyakiti orang dan sebaliknya dapat menjadi penjaga dan pelindung ketika diberikan persembahan pada saat ritual. Istilah itu mewakili makhluk halus yang tergolong dimensi rendah. Secara umum, Dedemit juga seringkali mewakili penampakan makhluk halus yang mengejutkan manusia di daerah angker.

gaib : tidak tampak, tidak nyata, dan secara religius memiliki potensi kedahsyatan supranatural. Gaib dapat berarti unsur spiritualitas dalam interaksi maupun penjelajahan alam gaib.


(17)

hari raya kuningan

: hari raya yang diselenggarakan umat hindu bali setiap saniscara kliwon kuningan. Kata kuningan memiliki arti mencapai

peningkatan spiritual melalui mengadakan janji, pemberitahuan kepada Ida sang Hyang Widhi, interospeksi diri. Pada hari itu, diyakini umat bahwa Ida Sang Hyang Widhi memberikan berkahnya sejak pukul 00.00 sampai 12.00 wita.

jaba tengah pura

: area bagian tengah dari arsitektur pura. Jaba tengah disebut madya mandala dalam prinsip asta kosala-kosali. Bagian tengah termasuk bagian dalam pura. Pada bagian itu umat diharapkan perhatiannya mulai terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi. Pada areal ini terdiri dari bangunan bale agung, bale pegongan, bale penyimpenan. Di atas pintu masuk bale penyimpenan terdapat karang bhoma yang berfungsi menjaga barang-barang dalam ruangan tersebut.

jeroan pura : area bagian terdalam dan tersuci sebuah pura. Area itu disebut utama mandala dalam prinsip asta kosala-kosali. Pada bagian utama ini, umat sudah diharuskan benar-benar terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi dengan melupakan nafsu keduniawiannya. Pada area itu terdapat pelinggih-pelinggih seperti padmasana sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi atau pelinggih lain untuk pemujaan roh leluhur. Selain bangunan pelinggih juga terdapat bale piasan dan bangunan panglurah untuk para pengawal-Nya.

kaul : janji yang diikrarkan oleh orang suci, orang religius dengan pertukaran spiritual. Pada umumnya, kaul diucapkan setelah masa novisiat. Ada dua macam kaul, kaul sementara dan kaul kekal. Kaul itu bisa berupa niat untuk melakukan perjalanan suci. Oleh karenannya, kaul menyempit maknannya terbatas pada kaum religius. Istilah itu pada perkembangannya menyempit lagi pada kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan yang diikrarkan oleh kaum religius. Orang yang berkaul pada kondisi tertentu dapat membatalkan kaulnya. Akan tetapi butuh proses lama dan melalui dukungan rohaniawan yang kompeten.

kober : Bendera yang berfungsi sebagai sarana pelengkap ritual umat hindu pada upacara panca yadnya. Ukuran ideal kober dapat dilihat pada asta kosala-kosali.

kotekan : sejenis kayu yang digunakan sebagai sarana Makotek. Kayu yang dipergunakan berasal dari kayu pulet. Kayu dengan karakteristik kuat dan awet yang mudah ditemui di desa Munggu, Badung. laskar Munggu : bala tentara dari Desa Munggu ketika perang melawan


(18)

Blambangan. Bala tentara tersebut dikenal sebagai kumpulan pasukan yang tangguh dan telah berjasa dalam masa kejayaan kerajaan Mengwi.

mitologis : kisah suci yang dikaitkan dengan keyakinan. Mitologi dekat dengan legenda maupun cerita rakyat. Mitologi dapat mencakup kisah penciptaan dunia sampai asal mula suatu bangsa yang disucikan.

mitos : pernyataan irasional yang secara religius memiliki arti kebenaran pada komunitasnya. Mitos merupakan bagian dari cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya.

ngiring : sebuah bentuk pengabdian umat Hindu Bali. Sebuah bentuk loyalitas umat hindu dalam menjaga integrasi dan integritas komunitas religiusnya.

ngrebeg : upacara adat tolak bala di Bali. Prosesi upacara itu

mempergunakan sarana upakara lengkap dengan pusaka yang diusung keliling desa agar terhindar dari mara bahaya.

pasupati : proses penjiwaan sarana di Bali untuk meningkatkan kesucian, kedahsyatan kekuatan supranatural. Pasupati dapat berarti permohonan yang tujukan kepada sanghyang Pasupati melalui mantra weda dan banten pasupati yang dimohonkan kepada para dewa.

primitif : kesukuan yang masih sangat tergantung dengan alam. Suatu kebudayaan masyarakat primitif belum mengenal dunia luar, tidak mengenal tata krama dan belum beradab.

punggawa : pemimpin pasukan. Posisi kehormatan bagi seorang tokoh dalam memimpin pasukan dan bertugas memberi komando serangan. ritual : serangkaian kegiatan religius yang secara simbolis dilaksanakan

berdasarkan tradisi dari komunitas tertentu. Rangkaian kegiatan itu pada umumnya diatur oleh suatu kaidah agama.

sesaji : persembahan kepada makhluk halus. Persembahan itu

mempergunakan upakara maupun bahan dasar lainnya sebagai sarana demi keseimbangan dan kelancaran penyelenggaraan upacara.


(19)

takhayul : suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti. Padahal, seringkali sebaliknya.

tapakan : dasar tumpuan yang menjadi tinjauan simbolik. Beragam simbol dari tapakan disucikan oleh umat. Oleh karena itu, peletakannya ditempatkan pada tempat khusus yang tergolong keramat dan ketika hendak diusung memerlukan upacara tertentu.

tolak bala : penangkal wabah dan bencana penyakit. Upaya tersebut

merupakan mekanisme menanggulangi penyakit secara preventif dalam skala makro. Bentuk penanggulangannya sering dilakukan pada komunitas masyarakat tradisional dan masih dilakukan secara anonim dan irasional.

ulam suci : daging sebagai sarana upakara sebagai simbol utama permohonan

umat supaya dijauhkan dari marabahaya. Simbol itu diyakini sebagai prasyarat paling penting dalam rangkaian upakara dan telah disucikan sebagai bagian ritual.

yadnya : upacara kurban suci pada umat Hindu Bali di dasari oleh pemahaman terhadap tri rna. Upacara itu terdiri dari lima jenis yaitu dewa yadnya, pitra yadnya, manusia yadnya, rsi yadnya dan bhuta yadnya.


(20)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………. v

UCAPAN TERIMA KASIH………. vi

ABSTRAK... viii

ABSTRACT……….. ix

RINGKASAN……… x

GLOSARIUM……… xv

DAFTAR ISI... xix

DAFTAR TABEL ……… xxiii

DAFTAR GAMBAR... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xxvi

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 7 1.3 Tujuan Penelitian... 8 1.4 Manfaat Penelitian... 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN……… .. 10 2.1 Kajian Pustaka... 10 2.2 Konsep……… ….. 16 2.2.1 Tradisi Makotek……… 17 2.2.2 Era Global………. 18


(21)

……… 2.2.3 Masyarakat Desa

Munggu... 19 2.3 Landasan Teori... 21 2.3.1 2.3.2 2.3.3 Teori Dekonstruksi……….. ………… Teori Praktik……… Teori Simbol... 21 22 23 2.3.4 Teori Religi... 26

2.3.5 Teori Kuasa

Pengetahuan………

30

2.4 Model

Penelitian……….

31

BAB III METODE PENELITIAN………..……... 37 3.1 Rancangan

Penelitian...

37

3.2 Lokasi

Penelitian...

42

3.3 Penentuan Informan... 43 3.4 Jenis dan Sumber Data………... 45 3.5 Instrumen Penelitian... 46 3.6 Teknik Pengumpulan

Data... 48 3.6.1 Observasi... ... 48 3.6.2 Wawancara... .... 51 3.6.3 FGD………... .... 57 3.6.4 Studi Kepustakaan... 59


(22)

3.6.5 Studi

Dokumentasi...

60

3.7 Teknik Analisis

Data...

61

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis

Data………..

66

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA MUNGGU..………....….. ………

68

4.1 Gambaran Umum Desa Munggu, Kabupaten Badung…...

68

4.2 Demografi dan

Kependudukan………...

78

4.3 Mata Pencaharian

Hidup... 91 4.4 Kekerabatan……… … 95

4.5 Kehidupan Beragama……….

………...

97

4.6 Sejarah Singkat Desa

Munggu………...

114

BAB V PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN TRADISI MAKOTEK PADA ERA

GLOBAL………

128

5.1 Hakikat Pelaksanaan Tradisi Makotek pada Era Global. ……….

128

5.2 Visi Kolektif Pelaksanaan Tradisi Makotek pada Era Global……..……..………… 168 5.3 Kesatuan Humanitas

………...

175

5.4 Ideologi dalam Pelaksanaan Tradisi Makotek pada Era Global…………. ………….

181

5.4.1 Ideologi

Religi………...


(23)

5.4.2 Ideologi Konservasi……….. ……….

197

5.4.3 Ideologi Kuasa……….……..

………

207

5.4.4 Ideologi Budaya………..……..

…….

220

BAB VI PELAKSANAAN TRADISI MAKOTEK PADA ERA GLOBAL………….

222

6.1 Persiapan Pelaksanaan Tradisi Makotek………..…. 225 6.2 Pelaksanaan Tradisi Makotek……….………. 238 6.3 Peralatan dalam Pelaksanaan Tradisi Makotek………... 248 6.4 Estetika dalam Pelaksanaan Tradisi Makotek……….. 275 6.5 Pelaku Tradisi Makotek………. 291 6.5 Penerusan Nilai Budaya Melalui Pelaksanaan Tradisi Makotek…………... 303

BAB VII IMPLIKASI PELAKSANAAN TRADISI MAKOTEK.. ………

310

7.1 Implikasi bagi Masyarakat Desa Munggu…..………... 311 7.2 Implikasi terhadap Politik dan Perekonomian Masyarakat Desa Munggu... 376 7.3 Implikasi terhadap Budaya Masyarakat Desa Munggu... 396

BAB VIII PENUTUP..………. 413

8.1 Simpulan... 413

8.2 Temuan Baru………..

…………

417

8.3 Saran………..……… 419

DAFTAR PUSTAKA... 422 LAMPIRAN... .. 430


(24)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin... 92 Tabel 4.2 Penduduk Digolongkan Menurut Tingkat Pendidikan Tahun

2005

94

Tabel 4.3 Penduduk Digolongkan Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012

96


(25)

Tabel 4.5 Penduduk Digolongkan Menurut Mata Pencaharian Hidup…….. 99 Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Menurut Agama, 2004--2005………... 102 Tabel 4.7 Jumlah Penduduk Menurut Agama, 2012……….. 103

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Jalan Umum Desa

Munggu………...

69

Gambar 4.2 Peta Desa Munggu………. ………...

71

Gambar 4.3 Kehidupan Gotong Royong Masyarakat Desa Munggu.…..…... 72 Gambar 4.4 Pura Kahyangan Wisesa Munggu, pusat perayaan 74


(26)

Makotek…….

Gambar 5.1 Warga Desa Munggu Musyawarah Menjelang Pelaksanaan Makotek……….………

135

Gambar 5.2 Ekspresi Heroik Pelaksanaan Tradisi Makotek……… 141 Gambar 5.3 Tradisi Makotek………..

……..

152

Gambar 5.4 Masyarakat Desa Munggu Melaksanakan Tradisi Makotek…….

159

Gambar 5.6 Pegarahan Menjelang Pelaksanaan Makotek………....

165

Gambar 5.7 Menjelang Pelaksanaan

Makotek………..

169

Gambar 6.1 Warga Desa Munggu Melaksanakan Prosesi Ritual Makotek.... 223 Gambar 6.2 Warga Desa Munggu Mempersiapkan Peralatan Upacara

Makotek………... 229

Gambar 6.3 Persiapan Tradisi Makotek di Jaba Pura Puseh Desa Munggu………..

………...

232

Gambar 6.4 Ketertiban Warga Desa Munggu Melaksanakan Tradisi Makotek………...……….. ……...

244

Gambar 6.5 Kesemaraan Pelaksanaan

Makotek………...

245

Gambar 6.6 Warga Desa Munggu Mempersiapkan Banten

Makotek……….... …………

252

Gambar 6.7 Penggunaan Padupaan Dalam Prosesi Ritual Makotek………...………. ………

254

Gambar 6.8 Banten Daksina Pada Pelaksanaan Ritual Makotek………. ………...

255

Gambar 6.9 Prayascita Pada Pelaksanaan Ritual

Makotek……….


(27)

………...

Gambar 6.10 Tombak, Umbul-umbul Pada Prosesi

Makotek……….………. ……..

259

Gambar 6.11 Kayu Kotekan………….……….. ……

261

Gambar 6.12 Ciri Kotekan……..………. …...

262

Gambar 6.13 Tamiang Kolem Pada Ritual Makotek……… 264 Gambar 6.14 Penampilan Adat Masyarakat Pada Ritual Makotek…………... 294 Gambar 6.15 Pecalang Pada Pelaksanaan Ritual Makotek……….. 300 Gambar 7.1 Masyarakat Desa Munggu Melaksanakan Makotek……… 323 Gambar 7.2 Kebersamaan Masyarakat Dalam Pelaksanaan Makotek …….. 338 Gambar 7.3 Implikasi Ekonomi Pelaksanaan Makotek……….. 342 Gambar 7.4 Seragam Pakaian Adat ……… 378


(28)

Lampiran 1 Daftar Informan Lampiran 2 Pedoman Wawancara Lampiran 3 Surat Izin Penelitian

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Penggandaan Naskah Disertasi Lampiran 5 Lembar Pengesahan Tim Penguji


(29)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fakta menunjukkan bahwa di Desa Munggu, Badung terdapat suatu tradisi

budaya masih lestari yang melibatkan seluruh warga masyarakatnya. Bahkan,

hingga kini tradisi tersebut secara rutin tetap dilaksanakan warga masyarakat

dengan baik. Padahal, kehidupan masyarakat di Desa Munggu tampak tergolong

maju. Hal itu dapat dilihat, baik dari tampilan fisik bangunan maupun kehidupan

masyarakat sehari-hari.

Jika melintasi Desa Munggu akan dapat dilihat betapa asrinya suasana dan

sejahteranya kondisi fisik desa tersebut. Berdasarkan tampilan bangunan fisik

rumah penduduk, gedung-gedung fasilitas publik, jalan aspal yang melintasi desa

tersebut, dan gaya hidup masyarakatnya sehari-hari dapat diketahui bahwa kondisi

sosial ekonomi masyarakat di Desa Munggu telah tergolong maju.

Desa Munggu yang letaknya berdekatan dengan Pusat Pemerintahan

Kabupaten Badung dan objek wisata Tanah Lot secara tidak langsung

sesungguhnya berdampak terhadap kehidupan masyarakat di Desa Munggu.

Namun, kenyataannya tidak demikian adanya. Kehidupan masyarakat di Desa

Munggu yang telah maju, tampaknya tidak mampu memengaruhi sikap mereka

untuk mengabaikan pelaksanaan tradisi Makotek, sebagai suatu tradisi ritual tolak bala walaupun kini mereka telah hidup pada era global.


(30)

2

Fenomena keberlangsungan tradisi budaya, yakni Makotek di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang telah maju pada era global ini menjadi

menarik untuk dikaji. Hal itu disebabkan oleh masyarakat yang telah maju,

terlebih hidup pada era global pada umumnya akan cenderung menganut budaya

global, berideologi kapitalisme, berorientasi profit, mengejar keuntungan finansial

dan sejenisnya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kehidupan masyarakat pada era global secara ideologis cenderung

menerapkan strategi tertentu untuk meningkatkan pendapatannya. Dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup agar layak sesuai dengan eranya. Hal itu

menyebabkan kehidupan masyarakat pada era global cenderung melibatkan

konstruksi pasar kapitalis lengkap dengan rangkaian relasi sosial, aliran

komoditas, modal, teknologi dan ideologi dari berbagai budaya belahan dunia.

Masyarakat pada era global menempatkan ekonomi kapitalistik pada posisi

sentral dan dominan dalam jaringan sosial mereka. Kondisi itu membuat mereka

terus sibuk mengejar, berstrategi, berkompetisi untuk memenangkan pertarungan

dan memperoleh keuntungan finansial. Sebagaimana diungkapkan Ritzer (2004:

636) bahwa era global melibatkan kontruksi pasar, secara tidak langsung akan

menyeret masyarakatnya dalam arus gelombang ekonomi kapitalistik.

Namun, kenyataannya di tengah-tengah arus globalisasi yang identik

dengan ekonomi kapitalistik itu masyarakat di Desa Munggu hingga kini masih

tetap melaksanakan tradisi Makotek. Padahal, tradisi tersebut tidak dapat memberikan mereka keuntungan finansial. Bahkan, untuk melaksanakan tradisi


(31)

3

ikut serta dalam pelaksanaan tradisi Makotek. Mereka pun tidak jarang harus mengeluarkan uang dari kantong pribadi, meninggalkan aktivitas kehidupan yang

penuh dengan pergulatan ekonomi global, hanya karena ingin dapat turut serta

terlibat dalam pelaksanaan tradisi Makotek tersebut.

Masyarakat di Desa Munggu sangat sibuk bergelut dengan rutinitas

kehidupan mereka sehari-hari, tetapi masih tetap mau melaksanakan tradisi

Makotek. Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan. Belum lagi muncul stigma bahwa tradisi ritual diidentikkan dengan keterbelakangan, ortodok,

irasional, kaku, dan banyak menterpurukan budaya memunculkan berbagai

pertanyaan. Hal itu kiranya dapat dijawab dengan menelusurinya secara

mendalam, sebagaimana tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga pada era global tetap dilaksanakan masyarakatnya.

Tradisi Makotek yang dimaknai sebagai tradisi tolak bala bagi umat Hindu di Desa Munggu dilaksanakan masyarakat setiap enam bulan sekali, tepatnya pada

setiap hari raya Kuningan. Tradisi tersebut dilakukan untuk tolak bala dan

memohon keselamatan. Setiap penduduk laki-laki dewasa ke luar rumah

membawa kayu pulet. Mereka kemudian beramai-ramai berjalan mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi gamelan balaganjur dan nyanyian-nyanyian kidung. Setiap melintasi persimpangan jalan dan pura, mereka berkumpul dan

berputar-putar mengadupadankan kayunya hingga berbentuk kerucut menyerupai

piramida. Benturan antarkayu pulet yang menimbulkan suara “tek..tek..tek..… tek..tek..tek” membuat tradisi tersebut diberikan nama Makotek oleh masyarakat


(32)

4

meninggi, mereka berputar-putar semakin kencang dan histeris. Suasana tersebut

mendidihkan jiwa patriotik para peserta prosesi Makotek. Hingga kemudian di antara mereka ada yang naik memanjat ujung piramida. Setelah tiba di atas

piramida, mereka menari-nari diiringi sorak-sorai dan riuhnya gamelan

balaganjur. Hal itu menciptakan suasana kemeriahan yang sangat religius. Setelah melaksanakan tradisi ritual tolak bala tersebut, mereka pun kembali ke rumah

masing-masing dengan perasaan lega.

Dikatakan bahwa dahulu para leluhur masyarakat di desa tersebut berhasil

menanggulangi wabah penyakit yang sempat meresahkan kehidupannya.

Keberhasilan mereka menanggulangi permasalahan hidup tentang wabah penyakit

yang timbul akibat bencana alam berupa air bah karena meluapnya Sungai Penet

tersebut kemudian diwariskan para tetua desa secara tradisi lisan hingga kini.

Tradisi Makotek yang telah mentradisi pernah ditiadakan pelaksanaannya. Hal itu terjadi sekitar tahun 1920-an ketika Belanda menguasai daerah Bali.

Karena alasan politik, pemerintah Belanda melarang pelaksanaan tradisi tersebut.

Namun, tidak berselang lama, masyarakat Desa Munggu merasa resah. Hal itu

disebabkan oleh ada sekitar empat sampai dengan enam orang warga meninggal

secara mendadak tanpa sebab yang pasti. Mereka meyakini bahwa kejadian

tersebut ada kaitannya dengan tidak dilaksanakannya tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu berkeyakinan bahwa hanya dengan melaksanakan tradisi ritual

Makotek, bencana wabah penyakit tersebut dapat diatasi. Mereka pun memohon kebijakan kepada pemerintah Belanda agar diperkenankan melaksanakan kembali


(33)

5

masyarakat Desa Munggu akhirnya diperkenankan kembali melaksanakan ritual

tolak bala tersebut. Sejak saat itu, agar bisa melangsungkan ritual Makotek, warga

Desa Munggu memutuskan untuk selalu menggunakan kayu pulet dalam pelaksanaan tradisi tersebut.

Di Bali, terdapat banyak tradisi ritual tolak bala. Beberapa di antaranya

adalah tradisi Geret Pandan di Desa Tenganan, Karangasem, tradisi Ngusaba Dangsil di Desa Sulahan, Bangli, tradisi Ngusaba Nini di Karangasem, tradisi

Perang Tipat di Desa Kapal, tradisi Omed-omedan di Sesetan, Denpasar, dan tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung.

Masyarakat Bali yang dominan menganut agama Hindu memiliki

keyakinan bahwa di sekitar kehidupannya ada pula kehidupan lain. Kehidupan itu

disebut sebagai kehidupan alam gaib, yang diyakini memiliki kekuatan gaib pula

melampaui kemampuan manusia. Kekuatan gaib tersebut diyakini ada yang

positif, tetapi ada pula yang negatif. Mereka yakin bahwa jika kekuatan gaib

tersebut dikelola dan disikapi dengan baik, maka akan dapat menimbulkan efek

baik, positif bahkan diyakini mampu menolong manusia dalam memecahkan

segala masalah dalam kehidupannya, seperti musibah bencana alam, wabah

penyakit, rezeki, jodoh, konflik sosial dan sebagainya yang tidak dapat

dipecahkan dengan akal sehat.

Tradisi Makotek dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Desa Adat Munggu yang terdiri atas tiga belas banjar dan diikuti kurang lebih 2000-an orang


(34)

6

beramai-ramai ke luar rumah. Masyarakat yang laki-laki membawa kayu pulet, sementara yang perempuan membawa sesaji. Semua warga mengenakan pakaian

adat madya, busana adat tingkat menengah. Busana warga yang laki-laki terdiri atas kain, dililitkan dengan ujungnya dilepas berbentuk kancut, disertai udeng

sebagai ikat kepala mereka. Sementara, warga yang perempuan menggunakan

busana baju kebaya, kain yang dililitkan dengan selendang sebagai ikat pinggang. Setiap warga laki-laki yang membawa kayu pulet berukuran kurang lebih dua meter. Mereka kemudian membagi diri menjadi beberapa kelompok, selanjutnya

berjalan bersama-sama mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi gamelan

balaganjur dan nyanyian-nyanyian kidung oleh warga masyarakat perempuan. Tradisi Makotek bisa dilaksanakan secara kompak, bersama-sama oleh ribuan orang warga pada era global, bahkan secara berkelanjutan merupakan suatu

peristiwa yang langka. Sebagai masyarakat rasional dan berkesadaran kritis,

semestinya masyarakat Desa Munggu tidak melakukan tindakan yang kurang

rasional seperti melindungi diri dari musibah bencana alam, wabah penyakit, dan

sebagainya dengan tradisi Makotek, yang kurang rasional. Oleh karena itu, fenomena Makotek menimbulkan banyak pertanyaan dan sangat menarik untuk

dikaji. Apa sesungguhnya yang melatari, bagaimana mereka melakukan, apa

relevansi, kontribusi, implikasinya bagi mereka, dan sebagainya hingga pada era

global masyarakat Desa Munggu yang telah memiliki kehidupan modern tetap


(35)

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa masyarakat di Desa

Munggu melakukan tradisi Makotek berdasarkan pemikiran dan kesadaran penuh. Bertolak dari dugaan tersebut, maka hal-hal yang mendasari mereka

melaksanakan tradisi Makotek pada era global menunjukkan suatu permasalahan. Namun, dengan keterbatasan kemampuan, waktu, dan sebagainya maka

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Mengapa masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global tetap

melaksanakan tradisi Makotek?

2. Bagaimana masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global melaksanakan

tradisi Makotek?

3. Apa implikasi tradisi Makotek bagi masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah disusun terkait dengan

tradisi Makotek yang hingga pada era global tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu, maka tujuan penelitian ini dapat dibagi dua. Kedua tujuan itu

diperinci sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum


(36)

8

hal yang dimaksud adalah hal-hal yang melatari, bagaimana mereka melakukan,

dan apa relevansi, implikasinya bagi masyarakat Desa Munggu hingga pada era

global mereka tetap melaksanakan tradisi Makotek.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui kebenaran tentang

hal-hal terkait dengan tradisi Makotek. Adapun hal tersebut adalah (a) Hal-hal yang melatari masyarakat Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek pada era global; (b) Pelaksanaan tradisi Makotek pada era global; (c) Implikasi dari pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat di Desa Munggu pada era global.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian tradisi Makotek yang hingga kini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Munggu dapat diperinci sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Akademis

Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

dunia ilmu pengetahuan terkait dengan proses transmisi budaya yang berimplikasi

bagi kelestarian budaya Bali pada era global. Adapun manfaat akademis penelitian

ini yaitu 1) Model formatif dari tradisi Makotek yang dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu pada era global; 2) hasil penelitian ini juga diharapkan dapat


(37)

9

juga diharapkan bermanfaat sebagai referensi bagi para peneliti yang tertarik

mengkaji objek penelitian serupa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian tradisi Makotek pada era global ini diharapkan bermanfaat sebagai dokumentasi tertulis, referensi bagi masyarakat di

Desa Munggu, masyarakat Bali dan pemerintah. Manfaat praktis yang dimaksud

yaitu dalam upaya untuk melestarikan maupun mengembangkan tradisi Makotek

sebagai salah satu kearifan lokal Bali, berbasis kekuatan kultural kolektif pada

era global. Disamping itu, untuk memahami secara benar realitas distorsif tradisi

Makotek yang hingga pada era global tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu.


(38)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka, hasil-hasil penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi dan untuk menunjukkan orijinalitas penelitian ini. Beberapa kepustakaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Widyastuti dalam skripsinya yang berjudul ”Prosesi dan Fungsi Upacara Ngerebeg (Makotekan) di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung” (2006) mengungkapkan bahwa upacara tradisi Makotek yang disebut sebagai Makotekan itu diyakini keramat oleh masyarakat di Desa Munggu. Dikatakan bahwa masyarakat di Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek untuk memohon keselamatan, penyembuhan penyakit, dan menolak bala bagi masyarakat yang bersangkutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini memang sama-sama mengkaji tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara saksama, dapat dipahami bahwa tujuan, objek formal dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Widyastuti mengkaji awal mula muncul serta keterkaitan tradisi Makotek dengan upacara Ngerebeg, sementara disertasi ini


(39)

11

melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Widyastuti melaksanakan penelitian pada tahun 2006, sementara penelitian disertasi ini dilaksanakan pada tahun 2015.

Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa penelitian Widyastuti dan penelitian disertasi ini memang sama-sama mengkaji ”Tradisi Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati tujuan, fokus kajian dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut tampak berbeda. Widyastuti mengkaji tradisi Makotek secara monodisipliner, sementara disertasi ini mengkaji tradisi Makotek secara interdisipliner. Perbedaan tersebut tentu juga berimplikasi terhadap simpulan kedua penelitian tradisi lisan ini.

Wiryani dalam skripsinya “Tari Makotekan dalam Upacara Ngrebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung” (2011) mengatakan bahwa Makotekan adalah sebuah tari tradisional masyarakat di Desa Munggu. Tradisi Makotek yang dipandang sebagai sebuah tari oleh Wiryani dikatakan pentas di Desa Munggu setiap hari raya Kuningan. Tradisi diawali dengan ritual penyucian di Pura Desa Munggu, masyarakat setempat mementaskan tari Makotekan di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu. Tari Makotekan dikatakan memiliki ragam gerak sederhana, menggunakan pakaian adat madya, dan diiringi gamelan balaganjur.

Penelitian yang dilakukan oleh Wiryani dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” tampak sama-sama mengkaji


(40)

12

dapat dipahami bahwa tujuan penelitian, perspektif, objek formal dan tahun pelaksanaan kedua penelitian berbeda.

Wiryani mengkaji tradisi Makotek dalam perspektif seni, secara monodisipliner. Sementara disertasi ini mengkaji tradisi lisan dalam perspektif kajian budaya secara interdisipliner. Wiryani mengkaji objek formal tentang bentuk dan fungsi tari Makotek, sementara fokus kajian disertasi ini adalah tentang hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Lokasi penelitian Wiryani dan disertasi ini memang sama-sama di Desa Munggu, tetapi jika dicermati pelaksanaannya, tampak bahwa Wiryani melaksanakan penelitian pada tahun 2011, sementara penelitian disertasi ini dilakukan pada tahun 2015. Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa skripsi Wiryani dan disertasi ini memang sama-sama mengkaji obyek material yang sama, yakni ”Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati dari tujuan, perspektif, fokus kajian, dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Wiryani mengkaji Makotek dalam perspektif seni, secara monodisipliner. Sementara disertasi ini mengkaji Makotek dalam perspektif kajian budaya secara interdisipliner. Dengan demikian, perbedaan tentu juga terdapat pada simpulan kedua penelitian.

Relin dalam disertasinya yang berjudul ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, (2011)


(41)

13

dapat menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari ancaman penderitaan dari Bhatara Kala. Ritual tersebut hingga kini masih eksis, tetapi dikatakan bahwa pada pelaksanaan tradisi ruwatan tersebut terjadi gejolak hiperspiritualitas terhadap Bhatara Kala. Melalui simbol-simbol, Bhatara Kala dikatakan ada kaitannya dengan manusia dan Tuhan. Tuhan diyakini sebagai sumber ketenteraman, kebahagiaan dan sumber perlindungan yang dapat memediasi munculnya beragam makna sosial religius serta multikultural baru dalam penguatan lokal jenius, fisiologis, ekonomi dan sosial pada masyarakat Jawa.

Disertasi ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, yang ditulis oleh Relin tampak sama-sama mengkaji tradisi lisan yang hingga era global ini masih tetap lestari. Kedua penelitian sama-sama mengkaji kearifan lokal sebagai suatu potensi kekuatan kultural dan kebanggaan masyarakat bersangkutan. Kedua penelitian memang sama-sama mengkaji kearifan lokal yang bermakna sebagai ritus tolak bala. Namun, jika dicermati kedua penelitian tersebut sesungguhnya mengkaji materi, objek formal, lokasi dan tahun pelaksanaan yang berbeda.

Relin mengkaji ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan pada Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, sedangkan penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global”. Materi yang dikaji oleh Relin adalah pelaksanaan ruwatan yang diyakini masyarakat di Jawa dapat menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari ancaman


(42)

14

melatari dan implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat yang bersangkutan. Relin melaksanakan penelitiannya di Jawa pada tahun 2011, sementara penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

Renawati dalam disertasinya yang berjudul ”Mrateka Marana Hama Tikus sebagai Praktik Sosial Budaya Petani di Desa Bedha, Tabanan” (2012) mengungkapkan bahwa (1) praktik petani dalam penanggulangan hama tikus di Desa Bedha dalam skala sosial secara ideologis berupa kepercayaan tradisional, komunalisme, kesejahteraan bersama (sosial ekonomi); (2) bentuk mrateka marana dilaksanakan dari penangkapan dan pengropyokan tikus secara massal hingga diaben, ngroras atau memukur yang dirangkaikan dengan pecaruan di Pura Puseh Bedha dan di Pantai Yeh Gangga. Seluruh rangkaian upacara itu disebut ngelanus. Setelah upacara ngelanus, beberapa hari kemudian dilakukan upacara nyalanan. Upacara nyalanan merupakan ritual ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan. Upacara mrateka marana dikatakan berbeda dibandingkan dengan upacara ngaben. Upacara ngaben yang dilakukan untuk manusia Bali disebut ngaben, ngroras/memukur manusia, atmanya (rohnya) ditempatkan pada pelinggih Dewa Hyang, sementara mrateka marana, roh binatang tersebut dikembalikan ke laut; (3) mrateka marana berdampak pada ekonomi, sosial dan psikologis. Sementara, makna upacara mrateka marana hama tikus dikatakan terdiri atas makna teologi, kelestarian, kesuburan alam, keselamatan, ketentraman hati, dan makna


(43)

15

Jika dibandingkan antara disertasi yang ditulis oleh Renawati dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini tampak keduanya sama-sama mengkaji objek material sejenis. Sama-sama mengkaji tradisi lisan yang hingga pada era global ini masih tetap lestari. Namun, jika dicermati, tampak bahwa kedua penelitian memiliki perbedaan. Perbedaan itu dapat dilihat pada materi, tujuan, objek formal, lokasi dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut.

Renawati mengkaji ”Mrateka Marana Hama Tikus”, sementara penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek”. Objek formal penelitian Renawati tentang kearifan praktik petani dalam penanggulangan hama tikus, sementara penelitian ini mengkaji hal-hal yang melatari mengapa, bagaimana, dan implikasi pelaksanaan tradisi Makotek itu bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini.

Objek material kedua penelitian tersebut tampak sangat berbeda. Renawati mengkaji ritual mrateka merana, sementara penelitian ini mengkaji tradisi Makotek. Perbedaan itu juga tampak pada lokasi dan tahun pelaksanaan penelitiannya. Renawati melaksanakan penelitian di desa Bedha, Tabanan pada tahun 2012, sementara penelitian tradisi Makotek ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

Gunayaksa dalam disertasinya yang berjudul ”Cepung Sasak : Tradisi Lisan di Lombok Nusa Tenggara Barat” (2010) mengatakan bahwa Cepung Sasak memiliki formula tersendiri (bentuk, tema, bunyi, gaya, dsb). Proses penciptaan


(44)

16

penceritaan Cepung Sasak adalah untuk mengingatkan pentingnya genealogisitas historis etnik Sasak dalam konteks kekinian, pendidikan, hiburan, solidaritas antaretnis, pengendalian sosial, protes sosial, dan religius. Di pihak lain makna Cepung Sasak meliputi kasih sayang, ritual, sosial legitimatif dan kesadaran kolektif.

Jika diamati antara disertasi ”Cepung Sasak di Lombok Nusa Tenggara Barat”, yang ditulis oleh Gunayaksa dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu” ini memang sama-sama mengkaji tradisi lisan sebagai suatu potensi kekuatan kultural dan kebanggaan masyarakat yang bersangkutan. Namun, jika diamati dari objek material, tujuan, objek formal, lokasi, dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda.

Gunayaksa mengkaji tradisi lisan ”Cepung Sasak”, sedangkan penelitian ini mengkaji tentang tradisi lisan ”Makotek”. Gunayaksa melaksanakan penelitian di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, sementara penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

2.2 Konsep

Konsep merupakan pengertian-pengertian dasar yang berlaku umum, baik secara teoretis maupun praktis, terkait dengan objek material suatu penelitian. Konsep menyangkut unit-unit analisis objek penelitian yang dikaji. Konsep dalam penelitian perlu dideskripsikan, dijelaskan makna serta ruang lingkupnya agar analisis, pembahasan terfokus sesuai dengan tujuan


(45)

17

sumber dan jenis data dalam penelitian lebih mudah dilakukan. Untuk itu, beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Tradisi Makotek

Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat Desa Munggu, Badung. Tradisi ritual tolak bala tersebut dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya Kuningan. Tradisi Makotek merupakan manifestasi dari praktik budaya yang telah melembaga pada masyarakat di Desa Munggu dalam kurun waktu yang cukup lama. Tradisi tersebut diperkirakan telah berlangsung secara berkelanjutan 2--3 generasi, kurang lebih seratus tahun. Lamanya tradisi tolak bala tersebut melembaga di Desa Munggu tidak terlepas dari dukungan masyarakatnya, berbagai komponen budaya Desa Munggu, seperti adat istiadat yang terdapat pada sistem budaya kolektif masyarakat di desa tersebut.

Tradisi yang dimaknai sebagai ritual tolak bala tersebut melibatkan hampir seluruh warga masyarakat di Desa Munggu. Sebagai sebuah praktik budaya, Makotek identik dengan tradisi etnis warga masyarakat Hindu Bali yang diteruskan secara tradisi lisan turun-temurun di Desa Munggu. Tradisi Makotek bersifat sangat khas untuk memohon keselamatan. Semua warga masyarakat laki-laki dewasa membawa kayu pulet berjalan beramai-ramai mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi nyanyian kidung dan gamelan


(46)

18

mengadupadankan tongkat kayu pulet yang dibawanya, berputar-putar hingga berbunyi ‘tek..tek...tek..’, membentuk semacam piramida diiringi sorak-sorai masyarakat dan riuhnya gamelan balaganjur.

Sebagai sebuah bentuk puji syukur, pelaksanaan tradisi Makotek yang diiringi nyanyi-nyanyian kidung menyiratkan arti simbol kemenangan dan kebanggaan kolektif atas keberhasilan para leluhur warga Desa Munggu dalam menangkal musibah dan wabah penyakit pada masa lampau.

2.2.2 Era Global

Era global merupakan zaman yaitu kehidupan manusia di berbagai belahan dunia seolah tanpa batas karena adanya kemajuan, kecanggihan teknologi yang mampu membuat setiap orang dengan mudah dapat mengakses segala informasi, pengetahuan di berbagai belahan dunia. Pada era global ideologi difusi gaya baru itu seolah menjadikan dunia ini satu dimensi. Selain itu, berpengaruh kuat terhadap perubahan, pelestarian hingga pembentukan masyarakat melalui proses identifikasi diri dan pembedaan status antarorang.

Abdullah ( 2009) dan Appadurai (2006) mengatakan bahwa era global dicirikan dengan adanya keadikuasaan tatanan global. Artinya, etos kapitalistik menjadi kekuatan paling berpengaruh dalam menentukan, mengarahkan, sampai dengan mengubah status. Bahkan, nilai-nilai budaya luar bisa saja menjadi basis sub-sub unit kebudayaan lokal melalui globalisasi yang melibatkan berbagai dimensi, antara lain etnoscape, ideoscape,


(47)

19

Tradisi Makotek merupakan salah satu jenis lokal jenius Bali yang menarik untuk dikaji. Pelaksanaan tradisi Makotek melibatkan seluruh warga masyarakat Desa Munggu masih tetap lestari hingga pada era global.

2.2.3 Masyarakat Desa Munggu

Masyarakat Desa Munggu merupakan kolektif sosial yang bertempat tinggal di salah satu wilayah Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Kehidupan kolektif masyarakat tersebut tampak sangat religius. Hal itu dapat diamati dari perilaku mereka dalam menyikapi kehidupannya sehari-hari.

Pada umumnya mereka selalu melaksanakan upacara persembahan, baik secara personal maupun kolektif, ketika akan memulai atau mengakhiri suatu kegiatan. Secara individual, mereka pada umumnya melakukan persembahyangan di rumahnya masing-masing. Sementara secara kolektif, pada umumnya mereka melakukan persembahyangan secara bersama-sama di balai banjar, di pura khayangan tiga, dan sebagainya. Agar dapat melakukan kegiatan ritus secara kolektif, mereka bahkan rela meninggalkan kegiatannya sejenak agar dapat berkumpul, melakukan perembahyangan bersama. Padahal, mereka memiliki profesi yang heterogen. Namun, dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari mereka tampak sangat kompak melakukan kegiatan-kegiatan upacara secara kolektif.

Salah satu kegiatan ritus upacara berskala besar yang hingga kini secara rutin mereka laksanakan adalah Makotek. Tradisi Makotek merupakan


(48)

20

tolak bala. Tradisi tersebut telah diteruskan secara tradisi lisan, turun-temurun oleh masyarakat di Desa Munggu. Tradisi budaya tersebut secara kolektif dimaknai sebagai penyucian terhadap alam lingkungan tempat tinggal mereka yang hingga kini masih tetap dilaksanakan secara rutin.

Tradisi Makotek sangat khas dan terwariskan sebagai sebuah tradisi budaya Hindu Bali di Desa Munggu. Setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya Kuningan warga desa Munggu melaksanakan tradisi tersebut. Masyarakat Desa Munggu yang dominan sebagai petani sejak dahulu melakukan tradisi Makotek untuk menjaga kesucian alam lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka yakin bahwa di sekitar mereka ada kekuatan gaib yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Jika mereka rajin melaksanakan kewajibannya, yaitu mempersembahkan sesaji sebagai salah satu bentuk penghormatan ataupun puji syukur atas berkah yang telah dinikmati selama ini. Untuk itu, secara kolektif masyarakat Desa Munggu tidak berani meninggalkan tradisi Makotek hingga kini. Walaupun mereka telah memiliki kehidupan yang heterogen. Bahkan, banyak dari mereka telah bertempat tinggal di luar wilayah Desa Munggu.

Karakteristik budaya masyarakat Desa Munggu yang religius tersebut secara simbolik direpresentasikan dalam bentuk lambang Desa Munggu, yang ditandai dengan lingkaran padma ngelayang berhuruf Bali ‘ongkara’ dan di bawahnya terdapat sebuah pita bertuliskan moto “Manggeh Jayeng Rat”. Simbol tersebut dimaknai masyarakatnya sebagai harapan keberhasilan mereka


(49)

21

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan instrumen logika untuk menjelaskan, memberikan gambaran tentang objek yang dikaji melalui mekanisme prediksi dan deskripsi. Konstruksi teori berupa narasi-narasi untuk membedakan, menerangkan ciri-ciri umum sampai dengan mendefinisikan (Barker, 2005: 525). Terkait dengan hal itu, dalam penelitian ini digunakan beberapa teori yang relevan untuk menjelaskan permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu sebagai berikut.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi secara umum dapat dipahami sebagai pembongkaran teks tatanan sosial yang telah terkonstruksi (Barker, 2005:102). Pembongkaran teks secara dekonstruktif didasari oleh asumsi-asumsi teks tersebut. Teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar, membahas, dan mengkaji permasalahan tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan oleh warga masyarakat Desa Munggu. Sehubungan dengan itu, mekanisme dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara pengurangan terhadap daya intensitas atau konstruksi berdasarkan susunan baku bahkan universal. Terdapat tiga prinsip dasar pemikiran dekonstruksi Derrida yaitu (1) berawal dari konstruksi oposisi biner, Derrida berupaya menunda pembenaran pusat terhadap ordinat untuk menyimak realita ordinat; (2) Derrida mengkritik dominasi struktur yang paling benar sehingga dekonstruksi mengandung arti lain sebagai upaya menolak


(50)

22

membendung konsep metafisika dari logosentrisme Barat. Dari ketiga prinsip dasar ini, Derrida berpendapat bahwa pusat-pusat kebenaran tidak boleh terbungkam begitu saja atau terlalu bergantung pada subjek tertentu, tetapi membiarkan terurai dalam pemaknaan tiada henti untuk dapat lebih memahami realita sesungguhnya.

Dekonstruksi bermakna pembongkaran atas oposisi biner hierarkis yang berkontribusi terhadap terciptanya kebenaran atas penafikan pasangan yang lebih inferior dalam tiap-tiap oposisi dalam paham modernisme (Barker, 2005:102). Pembongkaran teks berdasarkan asumsi-asumsi teks tersebut merupakan ciri khas dari dekonstruksi. Teori dekonstruksi dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap permasalahan tradisi Makotek yang meliputi pandangan masyarakat, pelaksanaan, dan implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global.

2.3.2 Teori Praktik

Teori praktik merupakan kerangka pikir tentang hal-hal terkait dengan praktik, yang kebenarannya telah teruji. Bourdieu dalam Harker (2009) mengusulkan sebuah pemetaan hubungan kuasa dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini lebih berupa suatu lingkungan pembedaan modal dan komponen modal-modal tersebut. Harker mengungkapkan bahwa modal secara konseptual merupakan sumber tinjauan Bourdieu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan di


(51)

23

Bourdieu menggolongkan modal menjadi tiga jenis, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya sebagai basis keberadaan struktur sosial. Sehubungan dengan itu, Makotek merupakan praktik ritual masyarakat Desa Munggu yang telah mentradisi dan unsur kekhasannya menunjukan nilai lebih dari modal budaya dalam kesatuan masyarakat tersebut.

Hingga kini, kearifan tradisi Makotek masih lestari di tengah diferensiasi sosial ekonomi masyarakat Desa Munggu menunjukkan formulasi pemetaan sumber daya khusus dalam transmisinya. Secara fungsional, tindakan massa di tengah diferensiasi tersebut sulit untuk direalisasikan, apalagi konsisten dalam dinamika masyarakat dengan mobilitas tinggi (Beaner dan Veaner, 2008). Untuk itu teori praktik dipandang relevan digunakan untuk mengkaji tradisi Makotek, yang tentunya tidak terlepas dari relasi potensi atau modal dan orientasi budaya masyarakat Desa Munggu pada ranah kehidupan, terutama pada ranah budaya desa tersebut yang menunjukkan konfiguratifnya dalam praktik budaya religi setiap hari raya Kuningan.

2.3.3 Teori Simbol

Teori Simbol merupakan kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait dengan simbol, diungkapkan manusia melalui tanda yang telah disepakati dengan makna tertentu. Manifestasi dan karakteristik simbol tidak terbatas pada isyarat fisik, tetapi dapat berwujud penggunaan kata-kata yakni simbol suara yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Triguna (2000: 7)


(52)

24

Artinya, pada makna tertentu, simbol sering memiliki makna mendalam, paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat.

De Saussure (1996) menyatakan bahwa ada tiga komponen pokok dalam simbol. Pertama, adanya tanda yang diwujudkan dalam bentuk peristiwa, yang dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi Makotek. Kedua, adanya masyarakat di Desa Munggu sebagai penerima tanda/pesan yang disampaikan oleh para pelaku. Ketiga, adanya media/perantara kedua belah pihak yang dalam konteks ini adalah ritual upacara tolak bala yang dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Prosesnya diawali dengan mempersembahkan sesaji kepada para dewata sebagai penguasa alam, kemudian ditutup dengan pelaksanaan tradisi Makotek. Masyarakat di Desa Munggu, Badung menerima pesan, tanda dan makna yang disampaikan oleh pelaksanaan tradisi Makotek sebagai sebuah simbol penyucian terhadap alam lingkungan di Desa Munggu agar mereka terhindar dari malapetaka dan memperoleh kedamaian dalam menjalankan kehidupannya.

Tradisi tersebut sangat bermakna bagi kedamaian hidup masyarakat di Desa Munggu. Dengan demikian, hingga saat ini mereka tidak berani untuk tidak melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan rangkaian prosesi Makotek mengelilingi wilayah di Desa Munggu. Selain menjaga kontinuitas pelaksanaan tradisi Makotek, mereka juga tampak sangat kuat menjaga dan menghormati simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi Makotek tersebut.


(53)

25

dianggap memiliki makna penting bagi kehidupannya, maka mereka pun sangat menghargai dan menjaga baik kesakralan peralatan maupun pelaksanaan tradisi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sikap mereka yang sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan, melaksanakan tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu menganggap bahwa dengan melaksanakan tradisi tolak bala yang disimbolkan sebagai proses penyucian alam dapat menghindari kehidupannya dari mara bahaya (Cassirer, 1987:36--40).

Pelaksanaan tradisi Makotek oleh kaum laki-laki di desa tersebut menimbulkan keyakinan bahwa para anak-anak dan kaum perempuan di desa tersebut telah memperoleh perlindungan dari kaum laki-laki. Mereka berkeyakinan bahwa kaum laki-laki harus mampu memberikan perlindungan, baik kepada anggota masyarakat maupun keluarganya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, sesulit apa pun kondisi kehidupan mereka, warga masyarakat Desa Munggu selalu melaksanakan upacara ritual tolak bala yang dilengkapi prosesi Makotek. Mereka meyakini bahwa tradisi Makotek dapat membersihkan segala macam penyakit yang ada di lingkungan Desa Munggu.

Perilaku masyarakat di Desa Munggu sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Tunner (1970) dan Brown (1979) bahwa ketika manusia tidak mampu mengatasi permasalahan hidupnya dengan akal sehat, mereka cenderung melakukan tindakan yang kurang rasional, antara lain melakukan upacara dan ritus. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan


(54)

26

terhadap serangan wabah penyakit yang dikhawatirkan menimpa kenyamanan hidupnya.

Hendropuspito (1983: 41) mengatakan bahwa suatu upacara yang dilakukan secara rutin dan berkelanjutan bisa saja berkembang menjadi tradisi. Artinya, perilaku religi yang diyakini dapat menyelesaikan permasalahan hidup dapat saja terus dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal itu disebabkan oleh mereka karena yakin akan kekuatan magis tradisi ritual tersebut. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini secara rutin tetap dilaksanakan oleh masyarakat Desa Munggu untuk menyikapi masalah penyucian alam dari mara bahaya segala penyakit.

Tradisi Makotek di Desa Munggu merupakan ekspresi budaya masyarakat yang religius. Artinya, tradisi Makotek yang dilaksanakan masyarakat Desa Munggu merupakan simbol religiusitas masyarakat tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Kusmayati (1990:2-3) bahwa suatu ritual dilakukan sesuai dengan konteksnya. Hal itu dapat dipahami dari tanda, pesan dan simbol-simbol yang diungkapkan oleh para pelakunya. Oleh sebab itu, teori simbol dipandang relevan digunakan untuk mengkaji pelaksanaan tradisi Makotek yang penuh dengan simbol bermakna religius.

2.3.4 Teori Religi

Teori religi adalah suatu kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait dengan keyakinan, kepercayaan suatu masyarakat, yang telah teruji kebenarannya


(55)

27

oleh banyak pihak. Kepercayaan pada ritual atau ritus dan upacara merupakan prinsip penting dalam sistem religi (Donder, 2005).

Dojosantoso (1986:2-3) mengatakan bahwa untuk memperoleh ketenteraman, manusia menerima ikatan Tuhan sebagai pelindung utama. Artinya, manusia menganggap bahwa melalui pelaksanakan berbagai ritual mereka akan memperoleh kebahagiaan hidup, baik batin maupun lahir. Eliade (2002:13--22) mengatakan bahwa ada dua hal penting yang dapat dilakukan untuk memahami aktivitas religius, yaitu sakral dan profan. Sakral berkaitan dengan hal-hal yang suci, keramat, sementara profan adalah sebaliknya. Dalam kehidupan suatu masyarakat selalu ada nilai-nilai yang disakralkan atau disucikan.

Dhavamony (1995: 90--93) dan Sutrisno (2005: 89--96) mengatakan bahwa sesuatu yang sakral dapat diwujudkan melalui simbol-simbol yang diyakini masyarakatnya. Artinya, simbol-simbol yang bernilai sakral sering digunakan masyarakat untuk menjaga keutuhan ikatan sosial warga dalam hidup bermasyarakat. Sebagaimana masyarakat di Desa Munggu yang hingga kini menggunakan berbagai simbol dalam Makotek sebagai aktivitas upacara ritual tolak bala untuk mempererat ikatan sosial antarmereka.

Sejarah menunjukkan bahwa manusia sudah mengenal kepercayaan terhadap leluhur atau nenek moyang, keyakinan terhadap kekuatan-kekuatan alam, kekuatan gaib yang dapat memengaruhi kehidupannya. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib merupakan naluri manusia yang kemudian


(56)

28

jika agama suatu masyarakat tersebut masih primitif, akan selalu terkait dengan mitos, makhluk-makhluk spiritual, nenek moyang mereka dalam kehidupannya. Bahkan, gunung, batu, pohon besar dan laut pun diyakini memiliki kekuatan gaib.

Dhurkeim dalam Sanderson (1993:517--527) mengemukakan bahwa masyarakat umumnya lebih mengutamakan pelaksanaan ritual karena tindakan religius itu dianggap dapat menjaga keselamatan hidupnya. Sebagaimana masyarakat di Desa Munggu, Badung yang hingga kini secara rutin melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan pelaksanaan Makotek mengelilingi wilayah Desa Munggu. Mereka melaksanakan tradisi Makotek sebagai aktivitas ritual untuk menjaga keselamatan hidup mereka dari hal-hal yang tidak diinginkannya.

Masyarakat Desa Munggu percaya bahwa melalui sistem kepercayaan yang diyakini itu mereka akan memperoleh keselamatan. Aktivitas seperti itu oleh Peursen (1988:18) sering dikatakan sebagai budaya mitis. Dalam alam pikiran mitis berkembang mitos yang diwujudkan melalui cerita, sebagai pedoman hidup bagi masyarakat yang bersangkutan. Sistem kepercayaan itu berkembang sesuai dengan tingkat sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Semakin baik ekonomi masyarakatnya maka semakin besar upacara yang dipersembahkan.

Mitos dalam suatu masyarakat ada yang dituturkan, dan ada pula yang diungkapkan melalui berbagai ekspresi karya seni. Sebagaimana mitos grubug


(1)

31

pengetahuan telah berada dalam relasi kuasa yang telah terbangun dan bekerja dengan baik dalam pembenaran lintas generasi dan menopang kesinambungan penyelenggaraan tradisi Makotek.

Foucault memaknai kuasa tidak berada dalam term kepemilikan. Pada suatu term kepemilikan, seseorang sangat jelas mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Baginya, kuasa tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup yang secara strategis melibatkan posisi satu dengan lainnya. Demikian pula masyarakat di Desa Munggu memaknai tradisi Makotek dapat diselenggarakan pada era global bukanlah karena jasa seorang tokoh, bahkan dilakukan masih secara anonim menunjukkan ketidakjelasan dalam pengelolaan sumber kekuasaan. Namun, di sisi lain tradisi Makotek selalu dipraktikan oleh umat Hindu di Desa Munggu bertepatan dengan hari raya Kuningan merepresentasikan tatanan kuasa secara sistematik. Oleh karena itu, teori kuasa pengetahuan dipandang sangat relevan digunakan untuk mengkaji implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi kehidupan masyarakat Desa Munggu pada era global.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan sebagian realitas fenomena budaya yang merepresentasikan alur pemikiran dalam sebuah penelitian. Adapun model penelitian tradisi Makotek di Desa Munggu dapat disimak sebagai berikut.


(2)

Keterangan Tanda Panah :

: Hubungan Berdampak Sepihak : Hubungan Timbal Balik

Penjelasan :

Masyarakat di Desa Munggu memiliki karakter khas yang mentradisi dari generasi ke generasi. Tradisi Makotek merupakan ritual rutin yang diselenggarakan masyarakat di Desa Munggu berkaitan dengan perayaan hari


(3)

33

raya Kuningan. Karakteristik tradisi ritual tersebut tampak khas yang dipengaruhi oleh modal budaya dan modal sosial masyarakat di Desa Munggu sebagai basisnya. Hal itu dapat dipahami terjadi karena pada dasarnya soliditas modal budaya dan modal sosial yang dimilikinya tidak terlepas dari mata pencaharian hidup masyarakat bersangkutan. Bilamana semakin tertata modal budayanya, maka representasi modal sosial sebagai basis produksinya akan terkonsentrasi kekuatannya menjadi budaya yang mentradisi dari masa ke masa. Terlepas dari kebenaran formulatif yang terdapat dalam tradisi, sebagai pedoman yang telah membantu dalam melegitimasi sampai menanggulangi persoalan hidup masyarakat tersebut maka mereka tentu akan melaksanakan tradisi upacara itu secara berkelanjutan.

Globalisasi yang telah merambah kehidupan masyarakat di Desa Munggu, tampak tidak terpengaruh dalam menyikapi persoalan hidupnya tentang wabah penyakit. Walaupun mereka telah hidup pada era global yang membuat seseorang berpikir secara logika, hingga kini mereka tampak tetap melaksanakan tradisi Makotek sebagai solusi untuk menghindari dirinya dari bencana wabah penyakit. Representasi tradisi religius itu tentu tidak terlepas dari sistem sosial khususnya peran serta pemerintah daerah setempat dalam menyikapi pergulatan nilai-nilai budaya lokal di tengah arus globalisasi.

Globalisasi merupakan proses global yang mengakomodasi perjuangan lokal menjadi global. Hal itu dapat mendorong terjadinya pergulatan yang mendalam antara grobal dan glokal. Grobalisasi dapat megakibatkan terjadinya peningkatan pertumbuhan, penjualan, dan keuntungan, sehingga mendorong


(4)

berbagai organisasi negara untuk melakukan ekspansi secara lebih luas. Oleh sebab itu, grobalisasi menimbulkan banyak dampak yang negatif bagi kebertahanan suatu tradisi. Ardika (2007) dan Atmadja (2010) mengatakan bahwa globalisasi sulit dihindari karena eksistensinya tidak luput dari pengaruh global yang tersubstitusi melalui mediascape, ethnoscape, technoscape, finanscape dan ideoscape. Salah satu komponen grobalisasi yang paling berpengaruh terhadap konstruksi keadilan sosial pada suatu masyarakat adalah pelembagaan agama pasar dari dimensi finanscape (Maguire, 2004). Agama pasar berpadu dengan pembangunanisme yang menjanjikan peningkatan terhadap kualitas hidup, khususnya bagi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diungkapkan oleh Evers (1997:80) bahwa agama pasar dapat meningkatan kualitas hidup seseorang.

Pada umumnya tradisi budaya suatu masyarakat tidak terlepas dari sistem religi masyarakatnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Piliang (1998) bahwa agama pasar banyak mengeksplorasi hasrat dan keinginan masyarakat mulai dari yang bersifat karnal sampai dengan libidinal. Oleh sebab itu, banyak terdapat tradisi budaya lokal termarginalkan bahkan tersingkirkan karena tidak sesuai dengan etos agama pasar. Etos agama pasar berkaitan erat dengan pembangunanisme.

Fakih (2004: 29--30) mengatakan bahwa dalam pembangunanisme terdapat stigma ”tradisi merupakan bagian dari persoalan hidup yang mesti segera diubah”. Pembangunanisme yang berpadu dengan agama pasar sering membawa model gerakan detradisionalisasi yang bersifat mengancam,


(5)

35

mereduksi, dan melemahkan sistem keyakinan masyarakat konvensional. Begitu pula halnya dengan keberadaan tradisi Makotek di Desa Munggu pada era global masih eksis dan bertumpu pada sistem keyakinan dan sistem adat masyarakat yang bersangkutan.

Pemarginalan yang mengarah kepada pelenyapan praktik budaya dianggap mengganggu pembangunan (Rich, 1999:276). Praktik budaya merupakan ciri pembangunanisme yang dinamis rasional. Kondisi tersebut tentu dapat menjadi masalah krusial karena tidak semua modal budaya bersifat menghambat pembangunan dan tidak semua kelompok masyarakat menginginkan pembangunanisme untuk perubahan nasib dan peningkatan modal ekonominya (Dove, 1985). Berkaitan dengan hal tersebut, perubahan sosial yang radikal bisa saja dapat meluluhlantakkan modal budaya lokal seperti tradisi Makotek yang mengandung nilai-nilai budaya adiluhung masyarakat Desa Munggu yang diteruskan secara lisan. Hal itu juga diungkapkan Piliang (2004a: 102--103) bahwa kearifan lokal yang tersirat dalam tradisi budaya suatu masyarakat secara ideologis pada umumnya dijadikan pedoman bagi masyarakat bersangkutan untuk melestarikan tradisi budaya daerahnya secara lintas generasi.

Giddens (2005) mengungkapkan bahwa refleksivitas tradisi budaya ditunjukkan warga melalui praktik budaya oleh segenap anggota masyarakat yang bersangkutan. Reflektivitas sosial itu termediasi dalam ruang sosial religius sebagaimana praktik tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga kini tetap berlangsung secara berkelanjutan.


(6)

Reflektivitas merupakan bagian penelaahan sistem pengetahuan berbasis praktik budaya. Sehubungan dengan itu, tidak akan mungkin terjadi pelenyapan suatu praktik tradisi ritual oleh masyarakat pendukungnya sendiri hanya karena janji terhadap peningkatan kualitas kenikmatan hidup semata. Berkaitan dengan hal itu, terdapat sangat banyak permasalahan menarik untuk dikaji menyangkut fenomena tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga pada era global masih berkelanjutan. Akan tetapi, mengingat keterbatasan kemampuan, waktu, dan sebagainya maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan yang dikaji yaitu bagaimana pandangan masyarakat Desa Munggu, bagaimana pelaksanaan, serta apa implikasinya bagi masyarakat Desa Munggu pada era global ini.