Kajian Pustaka KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka, hasil-hasil penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi dan untuk menunjukkan orijinalitas penelitian ini. Beberapa kepustakaan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Widyastuti dalam skripsinya yang berjudul ”Prosesi dan Fungsi Upacara Ngerebeg Makotekan di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung” 2006 mengungkapkan bahwa upacara tradisi Makotek yang disebut sebagai Makotekan itu diyakini keramat oleh masyarakat di Desa Munggu. Dikatakan bahwa masyarakat di Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek untuk memohon keselamatan, penyembuhan penyakit, dan menolak bala bagi masyarakat yang bersangkutan. Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini memang sama-sama mengkaji tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara saksama, dapat dipahami bahwa tujuan, objek formal dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Widyastuti mengkaji awal mula muncul serta keterkaitan tradisi Makotek dengan upacara Ngerebeg, sementara disertasi ini mengkaji hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap 10 melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Widyastuti melaksanakan penelitian pada tahun 2006, sementara penelitian disertasi ini dilaksanakan pada tahun 2015. Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa penelitian Widyastuti dan penelitian disertasi ini memang sama-sama mengkaji ”Tradisi Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati tujuan, fokus kajian dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut tampak berbeda. Widyastuti mengkaji tradisi Makotek secara monodisipliner, sementara disertasi ini mengkaji tradisi Makotek secara interdisipliner. Perbedaan tersebut tentu juga berimplikasi terhadap simpulan kedua penelitian tradisi lisan ini. Wiryani dalam skripsinya “Tari Makotekan dalam Upacara Ngrebeg di Desa Munggu Kabupaten Badung” 2011 mengatakan bahwa Makotekan adalah sebuah tari tradisional masyarakat di Desa Munggu. Tradisi Makotek yang dipandang sebagai sebuah tari oleh Wiryani dikatakan pentas di Desa Munggu setiap hari raya Kuningan. Tradisi diawali dengan ritual penyucian di Pura Desa Munggu, masyarakat setempat mementaskan tari Makotekan di Pura Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu. Tari Makotekan dikatakan memiliki ragam gerak sederhana, menggunakan pakaian adat madya, dan diiringi gamelan balaganjur. Penelitian yang dilakukan oleh Wiryani dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” tampak sama-sama mengkaji tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara saksama, dapat dipahami bahwa tujuan penelitian, perspektif, objek formal dan tahun pelaksanaan kedua penelitian berbeda. Wiryani mengkaji tradisi Makotek dalam perspektif seni, secara monodisipliner. Sementara disertasi ini mengkaji tradisi lisan dalam perspektif kajian budaya secara interdisipliner. Wiryani mengkaji objek formal tentang bentuk dan fungsi tari Makotek, sementara fokus kajian disertasi ini adalah tentang hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Lokasi penelitian Wiryani dan disertasi ini memang sama-sama di Desa Munggu, tetapi jika dicermati pelaksanaannya, tampak bahwa Wiryani melaksanakan penelitian pada tahun 2011, sementara penelitian disertasi ini dilakukan pada tahun 2015. Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa skripsi Wiryani dan disertasi ini memang sama-sama mengkaji obyek material yang sama, yakni ”Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati dari tujuan, perspektif, fokus kajian, dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Wiryani mengkaji Makotek dalam perspektif seni, secara monodisipliner. Sementara disertasi ini mengkaji Makotek dalam perspektif kajian budaya secara interdisipliner. Dengan demikian, perbedaan tentu juga terdapat pada simpulan kedua penelitian. Relin dalam disertasinya yang berjudul ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, 2011 mengatakan bahwa pelaksanaan ruwatan di Jawa diyakini oleh masyarakat dapat menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari ancaman penderitaan dari Bhatara Kala. Ritual tersebut hingga kini masih eksis, tetapi dikatakan bahwa pada pelaksanaan tradisi ruwatan tersebut terjadi gejolak hiperspiritualitas terhadap Bhatara Kala. Melalui simbol-simbol, Bhatara Kala dikatakan ada kaitannya dengan manusia dan Tuhan. Tuhan diyakini sebagai sumber ketenteraman, kebahagiaan dan sumber perlindungan yang dapat memediasi munculnya beragam makna sosial religius serta multikultural baru dalam penguatan lokal jenius, fisiologis, ekonomi dan sosial pada masyarakat Jawa. Disertasi ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, yang ditulis oleh Relin tampak sama-sama mengkaji tradisi lisan yang hingga era global ini masih tetap lestari. Kedua penelitian sama-sama mengkaji kearifan lokal sebagai suatu potensi kekuatan kultural dan kebanggaan masyarakat bersangkutan. Kedua penelitian memang sama-sama mengkaji kearifan lokal yang bermakna sebagai ritus tolak bala. Namun, jika dicermati kedua penelitian tersebut sesungguhnya mengkaji materi, objek formal, lokasi dan tahun pelaksanaan yang berbeda. Relin mengkaji ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan pada Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, sedangkan penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global”. Materi yang dikaji oleh Relin adalah pelaksanaan ruwatan yang diyakini masyarakat di Jawa dapat menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari ancaman dari Bhatara Kala. Di pihak lain disertasi ini mengkaji pelaksanaan, hal-hal yang melatari dan implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat yang bersangkutan. Relin melaksanakan penelitiannya di Jawa pada tahun 2011, sementara penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015. Renawati dalam disertasinya yang berjudul ”Mrateka Marana Hama Tikus sebagai Praktik Sosial Budaya Petani di Desa Bedha, Tabanan” 2012 mengungkapkan bahwa 1 praktik petani dalam penanggulangan hama tikus di Desa Bedha dalam skala sosial secara ideologis berupa kepercayaan tradisional, komunalisme, kesejahteraan bersama sosial ekonomi; 2 bentuk mrateka marana dilaksanakan dari penangkapan dan pengropyokan tikus secara massal hingga diaben, ngroras atau memukur yang dirangkaikan dengan pecaruan di Pura Puseh Bedha dan di Pantai Yeh Gangga. Seluruh rangkaian upacara itu disebut ngelanus. Setelah upacara ngelanus, beberapa hari kemudian dilakukan upacara nyalanan. Upacara nyalanan merupakan ritual ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan. Upacara mrateka marana dikatakan berbeda dibandingkan dengan upacara ngaben. Upacara ngaben yang dilakukan untuk manusia Bali disebut ngaben, ngrorasmemukur manusia, atmanya rohnya ditempatkan pada pelinggih Dewa Hyang, sementara mrateka marana, roh binatang tersebut dikembalikan ke laut; 3 mrateka marana berdampak pada ekonomi, sosial dan psikologis. Sementara, makna upacara mrateka marana hama tikus dikatakan terdiri atas makna teologi, kelestarian, kesuburan alam, keselamatan, ketentraman hati, dan makna hiperialitas. Jika dibandingkan antara disertasi yang ditulis oleh Renawati dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini tampak keduanya sama-sama mengkaji objek material sejenis. Sama-sama mengkaji tradisi lisan yang hingga pada era global ini masih tetap lestari. Namun, jika dicermati, tampak bahwa kedua penelitian memiliki perbedaan. Perbedaan itu dapat dilihat pada materi, tujuan, objek formal, lokasi dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut. Renawati mengkaji ”Mrateka Marana Hama Tikus”, sementara penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek”. Objek formal penelitian Renawati tentang kearifan praktik petani dalam penanggulangan hama tikus, sementara penelitian ini mengkaji hal-hal yang melatari mengapa, bagaimana, dan implikasi pelaksanaan tradisi Makotek itu bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Objek material kedua penelitian tersebut tampak sangat berbeda. Renawati mengkaji ritual mrateka merana, sementara penelitian ini mengkaji tradisi Makotek. Perbedaan itu juga tampak pada lokasi dan tahun pelaksanaan penelitiannya. Renawati melaksanakan penelitian di desa Bedha, Tabanan pada tahun 2012, sementara penelitian tradisi Makotek ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015. Gunayaksa dalam disertasinya yang berjudul ”Cepung Sasak : Tradisi Lisan di Lombok Nusa Tenggara Barat” 2010 mengatakan bahwa Cepung Sasak memiliki formula tersendiri bentuk, tema, bunyi, gaya, dsb. Proses penciptaan Cepung Sasak dilakukan di dalam dan di luar penceritaan. Fungsi penceritaan Cepung Sasak adalah untuk mengingatkan pentingnya genealogisitas historis etnik Sasak dalam konteks kekinian, pendidikan, hiburan, solidaritas antaretnis, pengendalian sosial, protes sosial, dan religius. Di pihak lain makna Cepung Sasak meliputi kasih sayang, ritual, sosial legitimatif dan kesadaran kolektif. Jika diamati antara disertasi ”Cepung Sasak di Lombok Nusa Tenggara Barat”, yang ditulis oleh Gunayaksa dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu” ini memang sama-sama mengkaji tradisi lisan sebagai suatu potensi kekuatan kultural dan kebanggaan masyarakat yang bersangkutan. Namun, jika diamati dari objek material, tujuan, objek formal, lokasi, dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Gunayaksa mengkaji tradisi lisan ”Cepung Sasak”, sedangkan penelitian ini mengkaji tentang tradisi lisan ”Makotek”. Gunayaksa melaksanakan penelitian di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, sementara penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

2.2 Konsep