Adab Takziyah

3. Adab Takziyah

Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Ia memerlukan ber- gaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya,

terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Ber- hubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala.

Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah muamalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak. Salah satu dari bentuk muamalah tersebut adalah takziyah, atau biasa disebut melayat.

a. Pengertian Takziyah

Kata takziyah, secara etimologi kata takziyah merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-azâu, yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.

58 Buku Guru Kelas X

Secara terminologi, takziyah didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya.

Penulis kitab Radd Al-Mukhtar berkata, “bertakziyahlah kepada ahlul mayyit (kelu-

arga yang ditinggal mati) maksudnya ialah menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendoakannya.”

Imam Nawawi berkata, takziyah adalah memotivasi orang yang tertimpa musibah

agar bisa lebih bersabar, dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya.

b. Hukum Takziyah

Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Quda- mah, hukumnya adalah sunnah. Hal ini diperkuatkan oleh Hadis Rasulullah Saw.

Sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang bertakziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut.” (HR Tir-

midzi).

c. Hikmah Takziyah

Di samping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Antara lain meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat, memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah dan berharap pahala dari Allah Swt., memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah dan menyerahkannya kepada Allah Swt. Selain itu, hikmah takziyah juga untuk mendoakan keluarganya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.

d. Hal-hal yang bermanfaat bagi mayit :

1) Doa seorang muslim untuknya. Ini didasarkan pada firman Allah Swt.

Artinya; “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang tel-

ah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan keden- gkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesung- guhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr [59] :10).

2) Membayar hutang mayit, oleh siapa saja. Berdasarkan Hadis pelunasan hutang

59 Akhlak Kurikulum 2013 59 Akhlak Kurikulum 2013

3) Membayarkan nadzar mayit, baik nadzar dalam bentuk berpuasa ataupun lainnya.

4) Apa-apa yang ditinggalkannya berupa amal jariyah dan amal shalih lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga (hal); (pertama) berupa amal jariyah, (kedua) ilmu yang bermanfaat, atau (ketiga) anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim,Tirmidzi dan Nasa’i).

e. Larangan ketika terjadi musibah kematian

1) Meratapi mayit (niyahah). Rasulullah Saw. bersabda,“Perempuan yang meratap dan tidak bertaubat sebelum matinya maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan mengenakan jubah dari ter dan dibungkus baju dari kudis”.

2) Menampar-nampar pipi dan merobek-robek kain pakaian sebagai ekspresi perasaan tidak terima dengan takdir. Nabi Saw. bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

3) Mencukur rambut karena tertimpa musibah. Sahabat Abu Musa mengatakan, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah Saw. berlepas diri darinya. Karena Rasulullah Saw. berlepas diri dari shaaliqah, haaliqah dan syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih).

4) Mengurai atau mengacak-acak rambut.