B esarnya potensi kelautan Indonesia yang hingga saat

B esarnya potensi kelautan Indonesia yang hingga saat

ini belum termanfaatkan secara optimal, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan dukungan sarana

kelautan yang dimiliki, salah satunya sarana perkapalan. Pada tanggal 22-26 Maret 2005, Tim Kajian Direktorat Pengembang an K awasan Khusus dan Ter ting g al melakukan kunjungan ke sentra usaha pembuatan kapal rak yat yang ada di Kecamatan Wera dan Sape, Kabupaten Bima. Kunjungan ini dilakukan dalam rangka penyusunan “Kajian Pengembangan Klaster Usaha Pembuatan Kapal Rakyat”.

Kabupaten Bima memiliki kekayaan sumber daya perikanan laut yang cukup baik. Beberapa komoditi perikanannya telah dipasarkan hingga skala regional bahkan internasional, seperti kerapu, tuna, lobster, dan mutiara. Demikian halnya dengan komoditi pertanian tanaman pangan, yaitu bawang merah dan kacang tanah, yang juga telah dipasarkan ke daerah-daerah lain. Kemudian, Kabupaten Bima juga memiliki aset wisata yang cukup baik. Tidak hanya lokasinya yang berada di segitiga emas wisata nasional (Bali – Komodo – Toraja), namun juga dikelilingi oleh pantai-pantai dan pemandang an bawah laut yang indah, sehing g a berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata bahari. Dengan potensi-potensi ini, mutlak bagi Kabupaten Bima memerlukan kapal sebagai sarana penunjang perekonomian daerah, yaitu sebagai sarana perikanan tangkap, sebagai sarana angkutan komoditi perdagangan dan angkutan penumpang, serta sebagai sarana penunjang wisata bahari (kapal pesiar).

Kapal-kapal rakyat produksi Kecamatan Wera lebih banyak memproduksi kapal-kapal angkut, oleh sebab itu ukuran kapal yang diproduksi cukup besar, bisa mencapai 500 GT. Proses pembuatan cukup unik karena tidak menggunakan perhitungan dan perancangan kapal yang sesuai dengan standar-standar yang berlaku layaknya kapal-kapal modern, namun mengandalkan pengalaman

dan keteramnpilan tradisional yang dimiliki oleh pembuat- pembuat kapal. Peralatan yang digunakan masih sederhana. Begitu pula dengan prasarana dan sarana galangan kapal yang menggunakan balok-balok kayu untuk menopang badan kapal selama kapal tersebut dibuat. Kayu yang merupakan bahan baku utama, diperoleh dari hutan yang ada di sekitar Kabupaten Bima. Hingga saat di Kabupaten Bima belum tersedia unit-unit usaha ataupun industri yang khusus menyediakan kayu- kayu untuk membuat kapal. Usaha budidaya kayu juga belum dilakukan, hing g a menjadi ancaman bagi lingkungan di masa mendatang. Permasalahan lain yang cukup pelik dihadapi oleh para pengusaha UPKR adalah keterbatasan modal, sedangkan modal yang dibutuhkan cukup besar. Keterbatasan modal sering menyebabkan membuat proses pembuatan kapal menjadi terkatung- katung. Kapal yang semestinya bisa diselesaikan selama

5 hingga 6 bulan, bisa menjadi bertahun-tahun. Dana bantuan pemerintah melalui Program Modal Awal dan Padanan (MAP) yang disalurkan melalui koperasi, masih jauh dari kebutuhan.

Dari Kecamatan Wera, Tim Kajian kemudian bertolak menuju sentra usaha pembuatan kapal rakyat di Kecamatan Sape. Kondisi usaha yang ada di Kecamatan Sape tidak jauh berbeda dengan yang ada di Kecamatan Wera. Perbedaan terletak pada jenis kapal, dimana masyarakat di Kecamatan Sape lebih banyak memproduksi kapal-kapal penangkap ikan. Hal ini terjadi karena Kecamatan Sape juga merupakan sentra perikanan. Di kecamatan ini terdapat Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) dan Pelabuhan Sape yang melayani angkutan penumpang dan barang antar pulau.

Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh usaha pembuatan kapal rakyat di Kabupaten Bima membuat usaha ini menjadi sulit berkembang. Mereka menghadapi kondisi persaingan yang semakin ketat, baik antar usaha kapal rakyat maupun dengan kapal-kapal yang lebih modern. Dengan semakin tingginya tuntutan pasar, usaha pembuatan kapal rakyat di Kabupaten Bima harus memperbaiki kualitas kapal itu sendiri. Kendala lainnya adalah belum adanya kebijakan pemerintah setempat untuk mengembangkan usaha ini sebagai salah satu aset yang dapat memberikan manfaat ekonomi maupun sosial bagi pengembangan wilayah. Terbatasnya perhatian pemerintah sebetulnya tidak hanya dihadapi oleh UPKR di Kabupaten Bima, namun juga dihadapi oleh industri perkapalan di seluruh tanah air, baik skala rakyat/ tradisional maupun skala industri dan besar. Perhatian dari sektor perbankan juga masih sangat minim, karena masih menganggap industri ini berisiko tinggi. Perlu komitmen pemerintah di seluruh sektor yang terkait untuk mengembangkan usaha/industri perkapalan di Indonesia. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.

5 Tahun 2005, diharapkan dapat menjadi titik kebangkitan bagi usaha/industri perkapalan di Indonesia guna mengoptimalkan kekayaan laut Indonesia yang sangat melimpah.