Kedelai dan Kesalahan Insentif

c. Kedelai dan Kesalahan Insentif

Manajemen komoditas kedelai sebenarnya semakin rumit karena produksi dalam negeri sangat tidak mencukupi kebutuhan konsumsi kedelai nasional yang mencapai 2,5 – 3 juta ton per tahun. Laju konsumsi kedelai masih akan terus meningkat, selain karena pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,5 persen per tahun, juga karena perkembangan industri pengolahan dengan

162 162 162162 162 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025 162 162 162162 162 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

Ketika harga kedelai di pasar dunia tiba-tiba melambung sangat tinggi mencapai US$520 per ton per Januari 2008, Indonesia nyaris dilanda krisis kedelai di dalam negeri. Akibatnya, harga kedelai impor juga melonjak berlipat-lipat sehingga perajin tahu-tempe harus menanggung dampak kenaikan harga yang besar.

Pada masa Orde Baru, Indonesia memang pernah mem beri- kan keleluasaan kepada Bulog untuk melakukan mono poli impor kedelai dengan pertimbangan untuk stabilitas harga dan pasokan kedelai, terutama bagi pelaku usaha kecil dan koperasi perajin tahu-tempe Indonesia (Kopti). Fluktuasi harga kedelai di pasar dunia ikut mempengaruhi harga kedelai di pasar domestik, walaupun pada tingkat harga yang rendah. Kondisi ini tidak memberikan insentif kepada petani kedelai untuk berproduksi sebanyak 2,1 juta ton/tahun agar tercapai target swasembada kedelai.

Pada puncak krisis ekonomi, atas saran IMF pemerintah meliberalisasi perdagangan kedelai dengan memberlakukan bea masuk nol persen. Pedagang besar diuntungkan oleh kebijakan penghapusan monopoli karena margin bruto riil kedelai pada

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 163 Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 163

Studi yang dilakukan Tim Institute for Development of Economic and Finance (Indef ) 2005, menunjukkan bahwa Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) tanpa captive market kedelai menjadi kurang dapat bersaing dengan pedagang swasta. Sebagian Kopti ada yang keluar dari core business kedelai, dan berpindah kepada usaha lain yang cukup jauh dari kedelai. Perusahaan asing yang bergerak di bidang kedelai, terutama yang berasal dari AS beserta beberapa partnernya di Indonesia pernah sangat agresif mempromosikan kedelai impor kepada para perajin tahu-tempe di seluruh pelosok negeri dan kepada industri pangan skala kecil lain dengan bahan baku kedelai. Para pelaku usaha yang telah masuk ke dalam zona nyaman (comfort zone) dengan harga kedelai murah dan sistem dagang yang memuaskan benar-benar terkejut atas kenaikan harga kedelai impor yang mencapai 2-3 kali lipat lebih tinggi.

Perajin tahu-tempe sampai berdemonstrasi di hadapan pemegang kekuasaan di Jakarta, dan debat publik tentang krisis kedelai muncul ke permukaan. Pemerintah segera mengambil ‘tindakan konkret’ dengan menurunkan tarif impor kedelai

164 164 164164 164 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025 164 164 164164 164 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

Menariknya, masyarakat tidak terlalu mempermasalahkannya dibandingkan, misalnya, jika Indonesia melakukan impor beras, walaupun hanya 200 ribu ton. Apalagi kondisi selama hampir

10 tahun ini telah membuat para konsumen kedelai di dalam negeri, yaitu perajin tahu-tempe, berada dalam comfort zone karena menikmati harga kedelai impor murah. Ketergantungan pada impor kedelai terjadi karena di dalam negeri tidak terdapat upaya yang serius untuk meningkatkan produksi kedelai Indonesia. Insentif nyaris tidak ada. Bahkan yang tampak adalah insentif negatif yang ‘menghukum’ petani kedelai. Harga beli kedelai di tingkat petani benar-benar menyakitkan. Pada awal 2007, harga beli kedelai lokal hanya Rp3.000 per kg atau sering lebih mahal dibandingkan dengan kedelai impor. Sementara biaya produksi kedelai di tingkat petani, dengan kenaikan harga pupuk, pestisida dan lain-lain, saat ini mencapai Rp4.500 per kg atau lebih. Hukum ekonomi di mana pun pasti menyimpulkan bahwa petani kedelai di dalam negeri mendapat ‘hukuman’ bukan insentif untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya.

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 165

Produksi kedelai yang hanya di bawah 850 ribu ton biji kering tersebut adalah konsekuensi logis dari ketidakseriusan upaya peningkatan produksi kedelai. Indonesia pernah memiliki target swasembada kedelai pada 2015 yang nampaknya tidak akan tercapai dalam waktu dekat. Sebenarnya tidak ada yang mustahil di bumi Indonesia untuk dapat menghasilkan kedelai dengan produktivitas yang lebih baik dari saat ini, yang hanya tercatat 1,31 ton per hektare. Angka produktivitas itu hanya setengah dari produktivitas kedelai di luar negeri. Tentu tidak seimbang membandingkan produktivtias kedelai Indonesia dengan kedelai AS yang memperoleh dukungan penuh dari pemerintahnya karena besarnya kekuatan lobi politik asosiasi kedelai di sana (American Soybean Association).

Sementara di Indonesia, kekuatan lobi kedelai adalah perajin tahu-tempe atau yang tergabung dalam Kopti, yang nota bene merupakan konsumen kedelai, bukan petani kedelai. Mereka menjadi gamang sendiri, dan tidak jarang serba salah, mengingat agenda yang diperjuangkan adalah untuk menurunkan harga kedelai di dalam negeri, bukan untuk memberikan insentif pagi peningkatan produksi. Potret demografis dan kondisi sosio- psikologis perajin tahu-tempe saat ini berbeda dengan potret orang tua atau generasi perajin tahu-tempe pada era 1990- an. Jika pada dekade lalu, perajin tahu-tempe masih merangkap sebagai petani kedelai, generasi saat ini umumnya hanya menjalankan profesi sebagai perajin saja, dan hanya sedikit yang memiliki lahan usaha tani kedelai. Fenomena spesifikasi usaha seperti itu menjadi faktor ”terbelahnya” sistem insentif di sektor

166 166 166166 166 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025 166 166 166166 166 MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DEMI MASA DEPAN INDONESIA 2015-2025

Dalam kondisi yang tanpa pemihakan seperti saat ini, usaha tani kedelai di dalam negeri kurang mampu bersaing dengan kacang tanah, kacang hijau, jagung, dan bahkan padi (lihat Arifin, 2005). Catatan areal tanam kedelai Indonesia pada 2007 yang hanya 464 ribu hektare atau turun 20 persen per tahun adalah fakta nyata keberpalingan pemerintah yang sulit dibantah. Apabila pemerintah memang ingin mencapai target swasembada kedelai pada 2015, areal tanam kedelai perlu diperluas sampai 2,02 juta hektare dan produktivitas harus ditingkatkan menjadi 3,68 ton per hektare. Pemerintah harus bersiap-siap kehilangan muka secara politik jika target-target tersebut tidak tercapai.

Para pemulia tanaman (breeder) di lingkungan Deptan sebenarnya telah mampu menghasilkan galur harapan varietas kedelai, yang sekaligus tahan serangan penyakit virus kerdil (soybean stunt virus, SSV). Di tingkat percobaan, produktivitas kedelai galur ini mampu menghasilkan biji kedelai 2,8 ton per hektare, suatu pekerjaan penelitian panjang yang tidak sia-sia. Sekarang, semua terpulang kepada pemerintah: (1) Untuk mengembangkan varietas kedelai lokal yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti terbaik di negeri ini; atau (2) Akan terus mengandalkan kedelai impor AS yang sangat mungkin menggunakan benih rekayasa genetika (transgenik) yang kontroversial tersebut.

Manajemen Kebijakan Pangan: RAWAN PRAKTIK TIDAK SEHAT’ 167

Jika langkah pertama yang ingin Catatan areal tanam

diambil, pemerintah perlu segera kedelai Indonesia

melakukan terobosan dalam uji adaptasi, pada 2007 yang hanya uji multilokasi, dan memberikan

464 ribu hektare atau turun 20 persen per

insentif bagi Pemda yang melaksanakan tahun adalah fakta

misi nasional yang sangat penting ini. nyata keberpalingan

Indonesia sebenarnya pernah mampu pemerintah yang sulit

menghasilkan produksi kedelai sampai dibantah.

di atas 1,6 juta ton pada 1993 sebelum akhirnya secara drastis menurun terus

sampai hanya 600 ribu ton saat ini. Strategi pengembangan produktivitas kedelai memang memerlukan waktu lama, tidak akan mampu dilihat hasilnya dalam 2-3 tahun, tapi sejarah akan mencatat bahwa masa administrasi pemerintahan sekarang telah meletakkan fondasi yang sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pangan dari negara lain. Jika langkah kedua yang ingin diambil, seperti melanjutkan kebijakan tarif impor

0 persen, secara semu akan terlihat bahwa keteraturan pasokan kedelai akan terjamin dan harga riil kedelai impor akan murah. Langkah ini dikatakan semu karena petani kedelai benar- benar diadu langsung dengan petani luar negeri, koperasi tahu- tempe lambat-laun akan mati, dan soko guru ekonomi Indonesia akan dikuasai pedagang besar.